Mata Rantai Penerbitan Buku

TAK banyak yang memahami bahwa sebuah penerbitan buku terdiri atas mata rantai yang amat panjang dan melibatkan demikian banyak profesi. Mulai dari para penulis, editor senior, editor bahasa, editor artistik, layouter (penata letak), periset foto, desain grafis, pemeriksa aksara (proof reader) percetakan, distributor, hingga dipajang di toko buku. Sebuah buku yang terbit dan dipajang, pastilah telah melewati mata rantai yang amat panjang dan berkelok-kelok tersebut.

Tak banyak yang paham kalau para pekerja di dunia penerbitan buku tak bisa dengan seenaknya memaksakan agar buku segera terbit. Semuanya melewati proses dan tahapan. Kita hanya bisa memberi motivasi dan masukan, tanpa bisa mengintervensi tahapan yang sedang berjalan. Meski anda punya banyak uang, anda harus sabar dalam menghadapi proses itu. Ketika satu saja mata rantai terganggu, maka saat itu juga akan mengganggu seluruh mata rantai penerbitan yang lain. Marah? Itu bukan solusi. Kemarahan kian memperumit proses penerbitan buku. Satu unsur yang hengkang, maka proyek tersebut bisa batal.

Seperti halnya pengalaman saya ketika menyiapkan penerbitan buku Naskah Buton, Naskah Dunia. Sudah dua bulan ini saya bekerja keras menyiapkan buku. Saya melaksanakan beberapa kegiatan sekaligus. Mulai dari mengedit naskah, menulis catatan editor, menjalin kontak dengan para penulis dan pemberi kata pengantar, juga menghubungi percetakan. Itu belum cukup.

Saya juga harus bekerja keras untuk menyiapkan layout dan tampilan fisik buku. Saya harus selalu koordinasi dengan teman-teman di daerah untuk menyiapkan sampul, serta sambutan dari sejumlah pihak yang berkompeten. Saya masih harus melakukan riset kecil-kecilan, mulai dari jenis huruf yang digunakan, tampilan bahasa, juga bagaimana kemasan buku agar menarik.

Untuk melakukan semua pekerjaan itu, saya sama sekali tak mengeluh. Justru, saya sangat menikmati proses-proses seperti ini. Saya bahagia dengan proses seperti ini. Saya ikut tegang menunggu-nunggu, kapan buku ini akan terbit. Betapa ingin rasanya menimang buku, kemudian memperlihatkannya pada orang lain, dan mendengarkan kesan-kesan atas buku itu. Kalau pujian, saya senang. Kalau cacian, saya tampung.

Akan tetapi, sebelum sampai titik akhir itu, saya harus siap menjalani proses hari ini yang berliku-liku dan bisa mempengaruhi mata rantai penerbitan. Hari ini saya agak stres karena sampul buku yang dikerjakan di daerah, belum juga sampai di Makassar. Padahal, sampul itu sangat penting untuk menuntaskan keseluruhan proses layout. Kemudian, petinggi yang memberikan sambutan juga belum menyerahkan hasil kerjaannya. Teman-teman merasa dipimpong dan seolah tak berdaya.

Seorang teman memberitahu bahwa hal yang juga parah adalah kita tidak bisa berharap bahwa ketika hari ini diantar ke percetakan, maka keesokan harinya buku bisa keluar. Percetakan punya aturannya sendiri dan kadang seenaknya menentukan mana yang harus dicetak dan mana yang harus di-pending. Meski kita ngotot memaksakan agar buku kita segera dicetak, mereka bisa saja berkilah dan mengeluarkan sejuta alasan yang membuat kita makin tak berdaya. Kita hanya bisa ikut, atau mungkin kalau tidak puas bisa segera mencari percetakan yang lain. Apalagi, biasanya, jelang dan seminggu sudah lebaran, semua percetakan akan tutup sehingga pekerjaan mereka akan menumpuk.

Dalam situasi begini, kita hanya bisa bersabar dan berharap agar buku kita bisa segera selesai. Semoga!

0 komentar:

Posting Komentar