Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

ARSJAD RASJID Terlalu Lembut untuk Bertarung di Rimba Politik

 


Di bulan September, nama Arsjad Rasjid disebut sebagai Ketua TPN Ganjar. Saat itu, nama Ganjar meroket semua survei dan disebut-sebut akan memenangkan kontestasi pilpres. 

Kini, di akhir Desember, nama Ganjar tidak seterang dua bulan sebelumnya. Tak ada satupun lembaga survei yang menempatkannya di puncak. Strategi marketing politik apa yang dimainkan Arsjad dalam waktu yang tinggal 47 hari?

*** 

Suatu hari di bulan Oktober 2023. Di satu kampus di kawasan timur Indonesia, Arsjad datang untuk membawakan kuliah umum. Sejak mendarat di kota itu, dia mendadak diserbu banyak orang. Bukan hanya pengusaha, politisi dan akademisi antri untuk menemuinya.

Semua tahu kalau namanya setiap hari dibahas media massa. Arsjad akan memimpin tim besar untuk memenangkan Ganjar, yang saat itu memuncaki semua survei politik. Dia akan berada di barisan yang didukung Presiden Jokowi. 

Sebelah kakinya seolah sudah di ambang kemenangan. Dia akan ikut menemani presiden dalam menentukan siapa menteri, siapa kepala lembaga negara, hingga siapa saja yang akan menjadi komisaris perusahaan.

BACA: Kisah Bahlil, Dari Tomia, Banda, Hingga Papua


Arsjad menyatakan bersedia setelah mendapat restu dari dua sosok yang dikaguminya, yakni Megawati dan Jokowi. Megawati melihat Arsjad seperti anak kandung, sebab Arsjad berasal dari Palembang, sekampung dengan Taufik Kiemas, suami Mega.

Sedangkan Jokowi juga dianggap meng-anakemas-kan Arsjad, sejak merestuinya untuk memimpin Kadin, organisasinya para pengusaha papan atas negeri ini. Di banyak kegiatan, Arsjad sering mendampingi Jokowi, khususnya di acara yang menghadirkan banyak pengusaha.

Di awal-awal, Arsjad mengumumkan rencana-rencananya. Dia ingin menjadikan politik sebagai arena yang riang gembira. Dia ingin mengelola politik sebagaimana seorang CEO mengelola perusahaan. Dia ingin menerapkan marketing politik yang fokus pada ide-ide dan gagasan.

Semua kalangan melihat Arsjad sosok yang tepat. Dia paham interaksi kaum milenial di platform digital. Apalagi, pilpres mendatang akan didominasi generasi digital savvy. Generasi ini sering disebut milenial dan Gen Z. Mereka meramaikan wacana, menentukan arah baru di dunia kerja, serta mengubah lanskap komunikasi di abad ini.

Arsjad adalah idola bagi pebisnis yang ingin tumbuh besar. Dia seorang CEO handal, serupa Raja Midas yang semua sentuhannya bisa menjadi emas. Dia sukses di bisnis media, tambang, hingga motor listrik. Dia juga dekat dengan kalangan milenial. Setiap hari dia tampil di media sosial, membagikan hal baik, dan menebar inspirasi. Dia sosok yang suka berbagi ilmu.

Kini setelah tiga bulan berlalu, politik tidak berjalan seperti yang dikehendaki Arsjad. Dia bertubi-tubi menghadapi realitas politik, yang jauh dari apa yang dibayangkannya. Politik kita jauh lebih kompleks dari bisnis. Politik kita tidak sesederhana seorang pebisnis mengejar cuan.

Dia menghadapi beberapa tantangan besar:

Pertama, berubahnya haluan Presiden Jokowi. Arsjad yang menerima posisi Ketua TPN karena meyakini ada Jokowi terpaksa harus memutar kemudi tim untuk menghadapi gelombang yang lebih besar. Jika sebelumnya perahu yang dikemudikannya mulus untuk mencapai tujuan, kini harus siap menghadapi turbulensi.

Dia harus menjadi pemimpin di tengah krisis. Tak perlu menunggu angin dari Jokowi untuk membawa kapal melaju, melainkan harus tetap berlayar dengan mengandalkan dengan angin yang tak sekencang sebelumnya.

Positioning, yang tadinya hendak melanjutkan program pemerintah, sontak berubah, sehingga berdampak pada hilangnya pemilih loyal. Jika berbagai survei benar, maka dalam waktu dua bulan, Ganjar kehilangan banyak pemilih yang hijrah ke kubu sebelah.

Padahal, Arsjad figur yang tak suka konflik. Dia menghormati Megawati, sebagaimana dia juga menghormati Jokowi. Apa daya, dia tak bisa memilih. Dia terlanjur megawal Mega dan harus siap di kubu yang berbeda dengan Jokowi.

Kedua, kewenangan yang dimilikinya sangat terbatas. Di dunia politik, dia tak akan pernah menjadi CEO yang efektif. Mengapa? Sebab CEO sesungguhnya adalah pemilik partai, serta politisi-politisi yang butuh tampil di media jika ingin kembali terpilih masuk Senayan. 

Kekuasaannya tak sebesar kuasa milik sekjen partai merah yang leluasa menyerang pemerintah, tanpa peduli irama permainan yang dikehendaki Arsjad. 

Politik yang dibayangkannya sebagai arena riang gembira, menjadi arena yang penuh semburan kata. Semua orang melampiaskan kesal, tanpa menimbang pola-pola marketing yang sedang dibangun. 

Dalam bisnis, keputusan suka pada produk bisa melalui proses trial and error. Setelah beli dan suka, maka seseorang bisa merekomendasikan. Jika tak suka, maka seseorang tidak akan membeli lagi. Tak ada repeat order.

Dalam politik, tak ada trial and error. Jika Anda salah memilih, maka kesalahan itu hanya bisa diperbaiki lima tahun mendatang. Dalam momentum yang sangat terbatas, kerja-kerja marketing menjadi sangat penting untuk memberi pencerahan kepada publik tentang siapa yang dipilih.

Ketiga, Arsjad mengedepankan kelembutan di arena politik. Padahal arena ini dipenuhi mereka yang pandai bersiasat dan sesekali berkelahi untuk merebut kemenangan. Dia memilih merangkul, dan perlahan memperkenalkan Ganjar ke khalayak lebih luas.

BACA: Permainan Deseptif di Balik Gibran


Pendekatannya lebih ke arah soft selling, yang fokus pada menjalin relasi, kemudian perlahan mengajak orang lain masuk ke ruang politik. Namun, pendekatan ini akan efektif jika sedang berada di atas angin. Saat di posisi underdog, harus diimbangi dengan kengototan, serta keberanian untuk memasuki arena tempur.

Pendekatan soft selling sering tidak bisa efektif jika berhadapan dengan kebutuhan mendesak. Pendekatan ini sering tidak bisa langsung dipahami konsumen sebab membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memanam kebaikan, juga pengetahuan, hingga perlahan akan dicintai konsumen atau khalayak.

Di sisi lain, pendekatan soft selling sering kalah dalam kompetisi sebab tidak secara langsung menampilkan keunggulan produk. Dalam kompetisi elektoral yang ketat, mau tak mau, tim sukses harus jualan hard selling. Differensiasi harus dibangun, agar suara menebal di satu pihak.

***

Tanggal 27 Desember 2023, lembaga CSIS mengumumkan hasil surveinya. Dalam rentang pilpres tinggal 47 hari lagi, Ganjar berada di posisi ketiga dengan angka 19 persen. Di atasbta ada Prabowo dengan 43,7 persen, dan Anies 26,1 persen. Jika survei ini dianggap kredibel, Ganjar perlahan ditinggalkan.

Angka ini hanyalah representasi dari satu keping kenyataan. Realitas terus bergerak. Namun Arsjad dan tim sudah seyogyanya memainkan strategi yang lebih intens. Dia harus memainkan perang kota untuk merebut wilayah yang selama ini menjadi basis. Dia mesti menurunkan tim kerja yang lebih massif untuk merebut basis lawan, dan mengamankannya.

Dia harus memperlebar kemenangan di Jateng, merebut Jabar, Jatim, juga Jakarta. Melihat suara yang kian tergerus, dia perlu memiliki kendali yang lebih kuat. Di sisi lain, dia tak berdaya melihat elite politik sibuk memperburuk situasi, melalui komentar yang tidak bermutu.

Dia harus punya banyak skenario demi memenangkan Ganjar. Sekali lagi, politik tidak sama dengan bisnis. Dia terlalu baik untuk bertarung dalam arena politik. Jika semua rencana tak berjalan, dia mesti menunggu lima tahun untuk menerapkan apa yang dipelajarinya di pilpres kali ini.

Sebagai anak bangsa terbaik, dia pantas duduk di posisi yang lebih penting. Dia pantas memimpin bangsa ini demi melalui samudera dan gelombang tantangan yang kian bertubi. 

Semoga dia seperti ras Saiyan dalam kisah Dragon Ball, yang semakin terluka akan semakin perkasa. Semoga dia semakin belajar, semakin sempurna. Kita menunggu Arsjad for Indonesia 2029.


Gampang Cuan


Ini film komedi. Tapi yang saya dapatkan bukan sekadar ketawa ngakak sampai perut sakit. Tapi saya juga belajar banyak hal, khususnya literasi keuangan. 

Film ini mengangkat hal-hal seperti utang, saham, reksadana, dengan cara-cara yang sangat menghibur. Keluar dari bioskop, tiba-tiba saja disergap hasrat ingin kaya melalui pasar saham.

Kisahnya tentang dua kakak beradik yang terjebak utang. Rumah di kampung disita bank. Adiknya datang dan ngotot ingin kuliah di kampus mahal. Mereka harus putar otak untuk mencari uang banyak dalam waktu singkat.

Singkat cerita, mereka lalu ikut dalam pasar saham. Mulanya belajar pada seorang playboy yang naksir si adik. Dalam keadaan kepepet, mereka mesti paham istilah-istilah dalam dunia saham.

Saya sudah lama tidak nonton komedi Indonesia yang seru, dan mencerahkan. Namun komedinya akan sangat terasa jika Anda paham bahasa Sunda. Sebab 80 persen dialog dalam film ini menggunakan bahasa Sunda. Untungnya, saya nonton di Bogor, di mana semua penonton tak henti tertawa ngakak.

Hal yang terasa aneh adalah film ini menggambarkan proses jual beli saham seperti Aladin mengusap lampu wasiat. Seolah-olah, Anda memasukkan uang, dan dalam waktu singkat, langsung cuan ratusan juta.

Yang saya alami, prosesnya tidak sesederhana itu Mesti rajin update informasi, mesti belajar analisis teknikal, dan banyak lagi. Juga siap jatuh bangun. Gak selalu bisa cuan. Beberapa bulan lalu, saya pernah boncos hingga tiga digit. Rasanya gak enak bahas pengalaman itu.

Tapi sebagai hiburan, film ini sukses menghibur. Saya suka bagian ending film, yang menjelaskan bedanya saham, investasi, trader, deposito, reksadana, obligasi, dan sukuk. Hal-hal yang rumit, tapi dibuat sederhana dengan analogi peternakan ayam.

Keren.


Peradaban Rambut


Di sela-sela melakukan perjalanan, saya membaca buku berjudul Peradaban Rambut Nusantara, yang ditulis Oky Andries dan Fatsi Anzani. Ini salah satu buku menarik yang saya baca dalam sebulan ini. 

Yang dibahas adalah hal unik mengenai sejarah. Bukan sejarah-sejarah heroik dari para bangsawan, pahlawan, jagoan, atau mereka yang bertarung di medan laga. Rasanya jenuh dan bosan juga membahas orang-orang besar ataupun merasa besar di kanvas sejarah.

Buku ini membahas hal remeh-temeh mengenai rambut. Spektrum pembahasannya cukup luas. Mulai dari bagaimana relief Mesir Kuno yang menggambarkan bangsawan sedang dicukur, kemudian relief di Candi Borobudur yang menampilkan kegiatan memotong rambut. Ada juga dibahas bagaimana rambut dalam peradaban Cina, Romawi, hingga Yunani.

Buku ini memberi wawasan baru buat saya. Bahwa memotong rambut adalah aktivitas yang sudah ada sejak manusia mulai wara-wiri di muka bumi. Jauh sebelum era Mesir kuno, rambut sudah menjadi lifestyle, identitas, juga menggambarkan kelas sosial. 

Di buku ini, saya menemukan catatan sejarawan Anthony Reid mengenai Arung Palakka yang membuat upacara pemotongan rambut di Gunung Cempalagi, Bone, saat kemenangannya atas Makassar di tahun 1972. 

Rambut menjadi simbol kesucian dan kekuatan. Di era perdagangan (age of commerce), para lelaki dan perempuan didorong untuk menumbuhkan rambut selebat mungkin.

Selain Arung Palakka, Pangeran Diponegoro juga bernazar akan menggunduli rambutnya jika menang dalam pertempuran.  Bahkan Pakubuwono I juga membuat ikrar serupa.

Para pejuang kemerdekaan juga membuat nazar terkait rambut. Di antaranya adalah Bung Tomo yang tidak akan mencukur rambut sebelum Indonesia merdeka.

Saya jadi paham kenapa Aji, kawan saya di Pare-Pare, menggunduli rambutnya seusai PSM Makassar juara. Rupanya itu tradisi kuno yang masih bertahan di era jaman now.

Bagian favorit saya di buku ini adalah kisah mereka yang mencukur para Presiden Indonesia. Mulai dari Yusuf Soebari yang selama puluhan tahun jadi tukang cukur Presiden Gus Dur. Juga kisah Agus Wahidin, pria asal Garut yang disebut sebagai satu-satunya orang yang berani memegang dan memutar kepala Presiden SBY. 

Ada juga pria bernama Herman, lagi-lagi asal Garut, yang rutin mencukur Presiden Jokowi. Orang-orang ini sering diabaikan sejarah, tetapi merekalah yang berani meletakkan pisau di leher presiden. Hanya mereka yang berani memiring-miringkan kepala Presiden Indonesia, di saat yang lain hanya bisa nyinyir dari kejauhan. Hebat kan?

Ini buku yang cukup menarik. Setelah ini saya ingin membaca dua buku lainnya. Satu mengenai sejarah para pembuat roti di Batavia, juga tentang bagaimana peradaban seks di Nusantara. 

Hmm. Sepertinya saya tertarik membaca buku kedua. Seru.


Nene Mallomo


Kawan itu menyambut dengan sumringah. Di Pangkajene, Sidrap, dia mengajak saya ke satu resto paling enak. Tak jauh dari situ, ada plang tertulis Selamat Datang di Bumi Nene Mallomo. 

Siapa Nene Mallomo? “Dia orang bijaksana. Dia cendekiawan masa lalu,” kata kawan saya. Di kalangan Bugis, kata nenek berlaku untuk semua gender. Ada istilah nenek laki2, dan ada nenek prempuan. Tak ada kakek.

Saya terdiam dan merenung. Di banyak tempat, sosok masa silam yang jadi ikon di masa kini adalah para petarung, para pahlawan, para jagoan, ataupun mereka yang bertarung di medan laga. Yang dicatat sejarah adalah para raja yang kadang berkuasa dengan buas, lalu mengakuisisi wilayah sekitarnya.

Tapi di Sidrap, sosok masa silam yang dikenang itu adalah seorang cendekiawan, yang melahirkan banyak petuah, nasihat, juga pesan-pesan kehidupan. Dia serupa Lao Tze di China, juga sosok Socrates di kebudayaan Yunani.

Kata kawan, Nene Mallomo adalah sosok legendaris yang pernah hidup di abad ke-17. Dia seorang ahli hukum yang dahulu menjadi penasihat raja dan datu. 

Dahulu, hampir semua kerajaan di tanah Bugis memiliki cendekiawan yang membimbing masyarakat. Ada lima cendekiawan yang terkenal. Mereka adalah Kajao Laliddo (Bone), Nene’ Mallomo (Sidrap), Arung Bila (Soppeng), La Megguk (Luwu), dan Puang ri Maggalatung (Wajo).

“Mereka bertemu dan berdiskusi, serta tukar pengalaman yang menambah wawasan baru. Dari sekian banyak pertemuan, yang dikenang orang adalah pertemuan di Cenrana,” kata kawan.

Di pertemuan itu, Nene’ Mallomo kemudian melahirkan buah pikirannya yang disepakati oleh para cendekiawan yang hadir. Buah pikirannya berupa sebuah prinsip yang harus dijalankan oleh aparat kerajaan dalam mewujudkan masyarakat yang taat hukum. 

Prinsip tersebut dikenal dengan ungkapan “Naia Adek Temmakkeana Temmakkeappo” (hukum tidak mengenal anak cucu). Hukum itu berlaku adil untuk semua. 

Siapapun yang bersalah harus diproses di pengadilan. Dia memperkenalkan prinsip kesetaraan, yang lebih awal dari semboyan Revolusi Perancis; liberte, egalite, dan fraternite.

Para cendekiawan melahirkan pedoman dan tata nilai, yang di Bugis disebut sebagai pangadereng, yang menurut budayawan Mattulada adalah keseluruhan norma, meliputi bagaimana bertingkah laku terhadap sesama manusia.

Salah satu ajaran Nene Mallomo, yang kemudian jadi semboyan Pemerintah Sulsel adalah “Resopa Temmangingngi Malomo Naletei Pammase Dewata.” Hanya dengan kerja keras, rahmat Dewa akan turun dari langit.” Inilah prinsip, yang disebut Marx sebagai kerja, di mana semua orang menafsir dan membentuk dunianya.

Mungkin semua semboyan ini perlu dilihat secara kritis. Bisa jadi, di masa silam, semua nilai ini dikonstruksi kelas berkuasa untuk mengendalikan kelas paling bawah. Nampaknya, Nene Mallomo mewakili keresahan cendekia melihat prilaku kelas berkuasa. 

Kata kawan saya, beberapa kalimat dari Nene Mallomo lahir untuk menghardik kelas berkuasa. Dia adalah orang istana, yang mengeluarkan kalimat-kalimat untuk membela orang luar istana. Melalaui prinsip itu, dia mendambakan masyarakat yang teratur, harmonis, dan saing menjaga.

Saya sedang memikirkan kalimat dari Nene Mallomo, saat seorang politisi masuk kafe dan menyapa. Dia bercerita tentang mimpi-mimpinya untuk menang pilkada. Dia sudah menyiapkan sekarung uang untuk serangan fajar. Dia pun siap menyingkirkan semua lawan politiknya. “Kalau mereka macam-macam, saya akan gergaji,”katanya.

Yah, Nene Malomo telah lama berpulang. Ajarannya pun menjadi kisah yang dituturkan saat senja memeluk malam.

.

.

PS: Ini bukan foto Nene Mallomo, tapi foto saat berjumpa dua pemuda Rappang


Relawan Digital


Pemilu sudah dekat. Semua politisi sedang berebut pengaruh. Semua ingin melalui tahapan marketing politik, yakni diketahui, dikenal, disukai, didukung, dan dipilih. 

Di Sidrap, seorang caleg meminta saya untuk membawa materi tentang relawan digital di hadapan tim suksesnya. Tadinya pengen nolak, tetapi rasanya tidak enak hati. Sebab sebelumnya saya ditraktir kuliner nasu palekko, bebek olahan yang nikmatnya luar biasa.

Caleg dan relawannya itu hendak merambah ke ranah digital. Namun, tak semuanya paham kalau di dunia itu tak ada sesuatu yang instan. Di ranah digital, Anda mesti setia dengan proses. Tidak mungkin langsung populer dalam seketika.

Anda harus mulai dari memetakan siapa audiens, setelah itu memberi asupan konten, hingga akhirnya follower kian membesar. Di titik itu, Anda bisa membangun satu Digital Tribe, kata Seth Godin, di mana Anda menjadi gravitasi dari satu komunitas.

Saya lihat problem bagi mereka yang baru merambah di dunia digital adalah seringkali mengira dunia itu sama dengan dunia yang dijalaninya. Jika dia populer di dunia nyata, maka dikiranya hal yang sama berlaku di dunia digital.

Sering pula ada gap atau jarak antar generasi. Seorang senior yang masih boomer sering marah-marah saat berinteraksi di WA haya karena dipanggil Om. Padahal panggilan itu biasa saja. Di Kaskus hingga forum jual beli, panggilan Om sering digunakan.

Yang sering saya lihat ada anggapan kalau relawan digital adalah gratisan. Soal ini sering dikeluhkan para pelaku industri kreatif di berbagai daerah. 

Seorang kawan fotografer pernah bercerita betapa dirinya sering dipandang remeh oleh klien Profesinya dianggap hanya hobi, sehingga dirinya sering tidak dibayar. “Kan ko Cuma klik-klik saja. Masak harus dibayar?” kata seseorang kepadanya.

Tak semua caleg paham kalau bermain-main di medsos tidak selalu gratisan. Anda mesti punya strategi menjangkau jutaan audiens dengan mengoptimalkan berbagai strategi. Perlu pula membentuk satu tim yang profesional.

Tak sekadar menghimpun barisan anak muda. Namun ada beberapa profesi yang akan saling terhubung dan membentuk satu ekosistem. Mulai dari konten kreator, graphic designer, video editor, hingga digital marketeer.

“Apa ada di antara kalian yang punya pengalaman kelola akun di medsos?” tanyaku. Semua menggeleng.

Saya bayangkan betapa banyaknya pekerjaan rumah yang harus dikejar. Sebab semua butuh proses. Butuh kerja-kerja jangka panjang, tidak sekadar memanaskan mesin politik menjelang proses pemilihan.


Permainan Deseptif di Balik GIBRAN

Ilustrasi bocil takut debat


Biarpun saya bukan pendukung Gibran, saya cukup tertarik melihat bagaimana pola-pola komunikasi deseptif yang dimainkan untuk menyesatkan publik.  Tim konsultan di belakang Gibran menerapkan ajaran Sun Tzu: "Biarkan rencanamu menjadi gelap dan tidak dapat ditembus seperti malam, dan ketika kamu bergerak, jatuh seperti sambaran petir?”

Politik kita bukan cuma soal pasangan yang bertarung di depan panggung debat. Politik kita adalah sinergi dari banyak tim belakang layar yang menyiapkan strategi, merancang aksi, lalu menentukan pilihan-pilihan tindakan untuk mengalahkan lawan. 

Politik kita adalah soal bagaimana mengemas pesan, juga bagaimana membuat publik terkecoh dan terjebak dalam kebenaran yang diatur dalam satu pra-kondisi, lalu pada titik pamungkas, semuanya dijungkirbalikkan.

Politik kita serupa game atau permainan di mana semua pihak bisa mengatur ritme bermain, menarik lawan untuk masuk dalam irama permainan, dan membiarkan lawan mengira akan menang. Di titik puncak, semua senjata pamungkas akan dikeluarkan laksana petir.

Saya melihat pola-pola komunikasi deseptif, yang menyesatkan lawan itu dalam dua hal. Pertama, saat dengan sengaja seolah melanggar kampanye yang melibatkan anak, yang ternyata adalah artificial intelligent. Kedua, membangun pra-kondisi tentang Gibran sebagai sosok culun, bodoh, dan takut debat.

Marilah kita tengok yang pertama.

Tanggal 23 November 2023 silam, kelompok yang menamakan dirinya Radar Demokrasi Indonesia melaporkan dugaan pelanggaran oleh kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming ke Bawaslu.

Laporan yang dimaksud terkait dengan dugaan pelibatan anak-anak dalam sosialisasi program pemberian susu. "Saya melaporkan ada tindakan ataupun ada pelanggaran pemilu terhadap salah satu tim kampanye paslon," kata pihak Radar Demokrasi Indonesia, Steve Josh Tarore mengutip detik.com, Kamis (23/11).

Yang menarik, tim Prabowo-Gibran tidak langsung merespon laporan itu. Mereka membiarkan laporan itu hingga terjadi kehebohan. Selama beberapa hari media dipenuhi berita tentang pelanggaran hukum dari tim kampanye Prabowo-Gibran.

Saat semua pihak mulai bersorak karena tim itu ibarat masuk perangkap, keluarlah klarifikasi kalau itu bukan anak, melainkan Artificial Intelligent (AI). Rupanya “anak” itu bukan benar-benar anak sebab hanya merupakan rekayasa kompiter dan kecerdasan buatan. “Anak” itu tidak punya identitas, tidak punya orang tua, dan tidak punya status hukum.

Tentu saja, kasus ini tidak akan jauh merambah ke ranah hukum. Namun pesan penting terlanjut menyebar di masyarakat kalau tim itu punya kreatifitas tingkat tinggi hingga mampu mengecoh banyak orang. Silang pendapat di media diubah menjadi kekuatan yang memikat banyak orang, sekaligus menjadi lelucon kalau lawan masih berpikir jadul dan tidak kekinian.

Marilah kita tengok yang kedua. 

Sejak sebulan terakhir, Gibran dikesankan menghindari debat. Tim konsultan di belakang Gibran sengaja tidak menghadirkan “bocil” itu dalam debat-debat tidak resmi. Tim juga mengondisikan persepsi publik dengan tawar-menawar di KPU mengenai format debat, seolah Gibran tidak siap hadapi debat.

Permainan deseptif juga dihadirkan di ruang publik. Saat tampil kampanye, dia tampil kaku, asal ngomong, dan tidak sanggup bicara lebih dari 10 menit. Malah, dia juga sengaja dibuat keliru agar semakin jadi bulan-bulaan di media sosial. Semua tindakan itu membangun persepsi publik kalau anak ini tidak siap menghadapi berbagai debat politik.

Ketika debat resmi, barulah satu demi satu kartu dikeluarkan. Mereka yang mengira anak itu akan jadi bulan-bulanan sontak kecele dan tidak siap dengan perubahan pola debat. Dia yang tadinya dikira akan kalah telah dan mengenaskan, rupanya menguasai hal teknis sebab dirinya punya pengalaman sebagai walikota.

Debat cawapres menjadi arena untuk membuka kotak pandora. Muhaimin dan Mahfud yang tadinya di atas angin, tiba-tiba terkesan kehilangan arah dan kehilangan fokus dalam debat. Gibran menguasai panggung, bergerak ke banyak sisi, lalu menarik semuanya masuk dalam permainan yang dia kuasai.

Di ajang debat semalam, elemen kejutan hanya dimiliki Gibran seorang. Hanya dia yang punya elemen misteri dan kejutan.  Beda halnya dengan Muhaimin dan Mahfud yang sudah sering tampil di publik, sehingga publik sudah tidak terkejut dengan penampilan mereka. 

Jika Mahfud dan Muhaimin tampil hebat, itu biasa saja sebab mereka memang sering tampil hebat. Kejutannya adalah Mahfud dan Muhaimin sedikit tterkejut melihat Gibran yang ternyata bisa berdebat. “Bocil’ ini bisa tampil melampaui ekspektasi. Komunikasi Gibran lebih cair. Dia tidak selalu memguasai topik debat. 

Kadang pertanyaan dibelokkan, lalu menyisipkan poin-poin penting dari visi misi. Body language mengesankan dirinya paham persoalan, sorot mata lurus ke arah audience, lalu perlahan dia pun menunjukkan inkonsistensi dari lawan debatnya.

Strategi mengemas Gibran mengingatkan pada strategi Sun Tzu yakni: “Perdaya Langit untuk melewati samudera. Bergerak di kegelapan dan bayang-bayang, menggunakan tempat-tempat tersembunyi, hanya akan menarik kecurigaan. Untuk memperlemah pertahanan musuh anda harus bertindak di tempat terbuka menyembunyikan maksud tersembunyi anda dengan aktivitas biasa sehari-hari.”

Saya melihat tim di belakang Gibran paham benar bagaimana aspek sosiologis masyarakat Indonesia, yang serupa kerbau gamang dicucuk hidungnya mengikuti apa yang jadi trending topic. 

Tim ini tahu kalau masyarakat Indonesia mengidap “Fear of Missing Out” atau takut sendirian di medsos sehingga suka terlibat dalam bully berjemaah. Kecaman pada Gibran merambah ke berbagai medsos, hingga akhirnya debat semalam ibarat petir yang membungkan semua kalangan.

Nihil Substansi

Jika debat semalam menjadi arena untuk melihat masa depan, kita tak bisa berharap banyak. Sebab debat itu hanya menunjukkan bagaimana permainan menggulung lawan, tanpa menampilkan apa gagasan terbaik untuk Indonesia masa depan.

Ketiga orang kandidat lebih fokus untuk mengeluarkan program populis yang membahagiakan publik, tanpa memberi jalan keluar bagaimana menggapai semuanya. Mereka seolah memiliki uang segunung, lalu tugasnya hanya bagaimana menghabiskannya.

Yang kita lihat adalah para “penjual obat” yang seakan berteriak ini obat terbaik, tanpa menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk menghadirkan obat terbaik itu. Debat semalam membuka mata kita betapa banyaknya problem di bangsa ini, yang seharusnya membutuhkan kerja keras, bukan sekadar “bicara keras”.

Sebagai anak bangsa, kita dibenturkan kenyataan, betapa seringnya debat pilpres, namun masalah bangsa tak kunjung diselesaikan. Satu demi satu pekerjaan rumah tidak pernah benar-benar tuntas, selalu dibahas di ajang debat pilpres, selalu dibicarakan dari dulu hingga kini, tanpa ada yang selesai.

Yang menyedihkan adalah fakta betapa tiga capres ini sebenarnya terhubung ke jaringan pemodal yang sama. Debat ini hanya artifisial. Sekadar formalitas. Di belakang layar, para bohir sedang tersenyum gembira melihat skenario dijalankan satu per satu.

Permainan deseptif hanya jadi senjata untuk menang debat. Di akhir semua episode politik ini, para bohir akan selalu menang. Dan kita kembali mencari sesuap nasi di jalan-jalan yang kian semrawut, yang di kiri kanannya ada baliho politisi yang sedang menjanjikan kesejahteraan.



Pulau KUCING


Di Sengkang, Sulawesi Selatan, seorang kawan bercerita tentang pulau unik di tengah Danau Tempe. Penghuni pulau itu bukan manusia, melainkan kucing dari berbagai ras.

Dahulu, warga membuang kucing ke pulau itu. Para nelayan yang melintas selalu menyimpan ikan untuk para kucing. Nelayan menanam harapan: “saya simpan ikan untuk kalian. Kalau saya pulang membawa banyak hasil, kalian akan dapat bagian.”

Seiring waktu, terdapat ikatan kuat antara nelayan dan kucing. Saat pergi dan pulang, melayan menyimpan ikan untuk kucing. Para kucing pun girang bertemu nelayan.

Saya teringat sahabat di Fakultas Hukum, Unhas. Saat kami kuliah, dia sudah menikah dan punya anak. Saat dia hendak pulang, dia selalu membeli  permen untuk anaknya. 


Mengapa? Tanya saya suatu ketika. “Memang ini hanya permen. Tapi gara2 permen ini, anak saya tidak sabar untuk menunggu setiap hari. Dan harapan kuat seorang anak agar bapaknya kembali dalam keadaan sehat adalah doa terbaik yang akan mengetuk pintu langit,” katanya.

Kita selalu ingin membangun bonding dan ikatan kuat. Bukan hanya ayah dan anak, tetapi juga manusia dan kucing. Semua terhubung dan terkoneksi melalui bahasa cinta.

Sayang, saya tak bisa melihat Pulau Kucing. Danau Tempe sedang mengalami kekeringan dan pendangkalan. Pulau Kucing tersambung dengan daratan. Maka berpindahlah kucing ke daratan, kembali berumah bersama para nelayan baik hati di Danau Tempe.

Untungnya, seorang kawan tetap mengajak ke Danau Tempe. Dia membuka restoran apung di sana. Kami berperahu ke restoran di tengah danau. Di sana, ada banyak kuliner Bugis telah menunggu. Nyamanna!


ALBINO


Anak muda itu datang dengan senyum tersungging. Di Kafe Nongky-Nongky, dalam perjumpaan dengan Ibu Andis, dosen fakultas hukum unhas, anak muda itu menjabat tangan saya. Dia menyapa saya dalam bahasa Buton. Rupanya kami sekampung.

Namanya Yusril Sirman. Dia seorang albino. Saat dia menyebut kampungnya di Pulau Siompu, saya langsung familiar. Di situ, ada banyak orang albino yang sering menjadi duta kesenian Buton Selatan. Apalagi, di situ ada catatan sejarah tentang Hatibi Bula, seorang albino yang jadi ulama besar.

Baru berbincang sejenak, saya terpikat dengan anak muda ini. Dia membahas satu tema penting tentang para albino yang selama ini termarginalisasi. Menurutnya, albino harusnya dikategorikan sebagai diabilitas, sebab mereka memiliki keterbatasan fisik.

“Para albino itu memiliki keterbatasan penglihatan. Mereka masuk kategori low vision. Ini sudah bisa masuk kategori disabilitas,”katanya. 

Dia lalu bercerita tentang diskriminasi yang kadang menimpa seorang albino.

Saya terdiam mendengar kisahnya. Saya ingat liputan di National Geographic tentang para albino di Afrika. Banyak di antara mereka yang dibunuh dengan kejam karena dianggap tukang sihir.  Ada anggapan kalau tulang mereka bisa jadi jimat. Mereka yang hidup harus menerima risiko di-bully dalam aktivitas sehari-hari. 

Laporan Under the Same Sun (UTSS), organisasi yang fokus pada masalah diskriminasi menjelaskan, anak-anak albino seluruh dunia rentan pada bully atau perundungan. 

Dalam laporan yang dibuat untuk PBB, disebutkan, anak-anak albino sering dihina dan diejek, serta diintimidasi karena dianggap berbeda. Mereka terisolasi oleh stigma, mitos, dan prasangka kultural.

Di Indonesia, tanah yang religius dan pancasilais ini, banyak orang yang juga mem-bully mereka. Saya membaca beberapa laporan media tentang anak albino di Ciburuy, Jawa Barat, yang malu ke sekolah karena diolok-olok rekannya karena dianggap berbeda. Mereka di-bully atas sesuatu yang dianugerahkan Tuhan sejak lahir.

Tapi anak muda di hadapan saya ini justru berbeda. Dia menjalani hari dengan ceria. Dia jadi aktivis, penulis, juga pemikir yang intens mengkaji sesuatu. Di usia muda, dia sudah memiliki misi penting untuk mengadvokasi para albino agar hidup setara dengan orang lain, tanpa mengalami diskriminasi.

Saya senang melihat rona ceria selalu terpancar di wajahnya. Dia tahu dia berbeda, tapi dia justru melihat itu sebagai kekuatan. Dia tekun membaca, menjadi aktivis, penulis, juga sering membawa materi di berbagai forum kajian kampus. Dia mengasah potensinya untuk jadi yang terbaik.

Tak hanya itu. Dia juga punya gagasan besar untuk melobi Under te Same Sun agar mendukung perjuangan kaum albino di Indonesia. Saya mendukung semua langkah-langkah kecilnya untuk membumikan ide-ide besarnya.

“Bantulah kami untuk menggolkan gagasan ini. Kalau proposal ini tembus ke beberapa lembaga asing, ada banyak cuan mengalir,” katanya.

Hmm. Saya tertarik. Saya membayangkan ada cuan, juga cashback.


COTO MAKASSAR



Tiba-tiba saja anak muda itu menghubungi saya. Namanya Luki. Dia salah satu graphic designer terbaik di kota Makassar yang selama beberapa tahun ini tinggal di Belfast, Skotlandia.

Namun lidah anak muda ini tetap Makassar. Bukan cuma logat, yang bagi orang luar, bisa bisa bikin lidah terlipat-lipat, tetapi juga ujung lidahnya yang masih menganggap kuliner Makassar sebagai kuliner terbaik di dunia. 

Orang-orang Bugis Makassar menerapkan ajaran John L Naisbitt yakni Think Global and Act Local. Mereka “think global” dan bertualang saat berpikir, namun dalam hal kuliner, mereka selalu “act local”. Mereka memilih kuliner rumahan. Rasa kuliner local terlanjur terpatri di lidah mereka.

Pantas saja jika coto bisa ditemukan di berbagai kota yang memiliki diaspora orang Bugis Makassar. Bukan hanya di tanah air, namun juga di kota-kota semenanjung Malaysia hingga Sarawak. Bahkan coto Makassar ada di jantung Singapura.

Luki mengajak saya untuk mencicipi coto yang berlokasi di Jalan Gagak. Ini warung coto yang legendaris. Hampir semua penggemar coto pasti pernah ke sini.

Semasa jadi jurnalis yang berkantor di Jalan Cenderawasih (kini diganti namanya jadi Jalan Opu Daeng Risaju), saya sering ke warung ini.

Dulu, masih berupa warung kaki lima. Kini sudah bersalin rupa jadi restoran berdinding beton. Manajemennya lebih modern. Bahkan kedai ini punya cabang di beberapa lokasi. Salah satu lokasi yang sering saya singgahi adalah Bandara Internasional Sultan Hasanuddin.

Dulu, pengunjung bisa mencicipi coto sembari melihat penjualnya memasak coto di wadah tanah liat, yang berdiri di atas tungku dan dibawahnya api menyambar-nyambar.  Kini, ruang makan dan ruang dapur terpisah. 

Kita tak bisa lagi melihat sosok Jamaluddin Daeng Gassang, pemilik coto, dengan peluh bercucuran di dapur.  Semua pegawainya memakai seragam khusus. 

Namun jejak masa lalu masih dipertahankan. Di dinding resto ini, ada banyak foto selebritis dan artis yang singgah makan. Istilah akan muda sekarang, itu adalah endorse.

“Makan ki,”kata seorang pelayan berwajah manis. Saya langsung mencicipinya. Pikiran saya menjelajah ke berbagai kota di mana saya pernah mencicipi coto ini.

Di semangkuk coto ini, terdapat 40 jenis rempah-rempah, yang tidak cuma memperkuat cita rasa, tetapi juga meminimalisir dampak dari coto. 

Banyaknya rempah menunjukkan jejak-jejak masa silam di mana Massar adalah sentrum dari perdagangan rempah. Pernah ada masa di mana Pelabuhan Somba Opu penuh dengan hilir mudik bangsa asing yang hendak berdagang rempah.

Konon, coto Makassar sudah ada sejak tahun 1530, yang awalnya adalah makanan untuk rakyat jelata, yang kemudian ‘naik kelas’sebab digemari para bangsawan. 

Dalam soal rasa, tak ada kasta. Sebab lidah semua manusia sama. Ada kode-kode kebudayaan yang melekat dan menjadi penetu enak dan tidak enaknya sesuatu.

“Gimana kak? Enak ki?”tanya Luki. 

Dia melihat saya makan dengan lahap. Saya tak lantas menjawab pertanyaannya. Dari tas kecil, saya keluarkan tembakau khas Bugis, sering disebut Ico Ugi. 

Saya menaikkan satu kaki di atas kursi sembari mengisap Ico. Saya hembuskan kuat-kuat, sembari menggumam: “masipa!”


MUSLIMIN BANDO


Di Jakarta, saya jumpa pria yang kini berusia 70 tahun itu. Dia, Muslimin Bando, adalah Bupati Enrekang dua periode. Kami berbincang akrab seolah telah lama mengenal. Sebagai politisi senior, dia tak pelit berbagi informasi.

Menurutnya, politik bukan sesuatu yang tiba-tiba saja jatuh dari langit. Butuh proses panjang, integritas, serta rekam jejak. Jika Anda ingin berpolitik hari ini, mulailah dengan membangun relasi dengan siapa saja. Mulailah dengan menanam kebaikan.

Pria yang lama berprofesi sebagai guru itu bercerita pengalamannya lebih dari 30 tahun silam. Saat itu, anaknya, Mitra (kini berusia 36 tahun) masih berusia 3 tahun. Anak itu ditabrak seseorang kemudian terseret hingga beberapa meter. 

“Saya sudah berpikir yang terburuk. Ternyata anak saya masih hidup dan dibawa di rumah sakit. Dia sempat koma,”katanya.

Mendengar sopir yang menabrak anaknya ditahan, Muslimin mendatangi kantor polisi. Dia minta agak sopir itu segera dibebaskan. Polisi terheran-heran. “Pak, dia tabrak anakta sampai parah. Kenapa dibebaskan?”

Bukan cuma polisi. Sopir itu pun ikut terheran-heran. “Biasanya, sopir yang menabrak akan ditahan. Atau minimal bayar denda. Kok saya malah disuruh pulang, tanpa ada tuntutan?”

Saat itu, Muslimin berpikir bahwa itu hanyalah kecelakaan. Tak mungkin sopir itu sengaja menabrak. Semua orang berpotensi untuk berbuat salah. Dia berpikir, daripada memperpanjang masalah, lebih baik dia memutus permasalahan. Disuruhnya sopir itu pulang. Baginya, kalau bisa dipermudah, kenapa harus dipersulit?

Untunglah, anaknya sembuh dan kembali beraktivitas. Malah, setelah dewasa, dia menjadi politisi sukses.

Sekian puluh tahun berikutnya, Muslimin berniat maju menjadi Bupati Enrekang. Dia mengunjungi banyak desa untuk memperkenalkan diri. Saat hendak mencapai satu desa, dia terkejut dengan penerimaan masyarakat. Belum sampai di desa itu, orang-orang mendatanginya dengan senyum dan akrab. Ada apa gerangan?

Seorang warga bercerita, “Di kampung sana, ada orang yang tiap hari mengampanyekan Bapak. Dia cerita ke banyak orang kalau Bapak orangnya baik. Makanya, Bapak belum tiba di sana, tapi nama Bapak sudah harum dibicarakan.”

Usut punya usut, pria yang mengampanyekan dirinya itu adalah sopir yang dulu menabrak anaknya. Selama lebih 30 tahun berlalu, dia tak pernah lupa kebaikan yang diterimanya. Dia menanti saat yang tepat untuk memberi balas atas kebaikan yang diterimanya dari Muslimin.

“Makanya Dik, kalau mau jadi politisi, mulailah dengan berkawan dengan siapa saja,”kata Muslimin. 

Saya terdiam. Kebaikan memang serupa benih yang bisa disebar dan ditanam di mana-mana. Kebaikan tak selalu langsung mendatangkan manfaat, namun sering kali membutuhkan waktu yang tepat untuk menjadi buah segar dan mengatasi haus dan lapar.

Politik memang bisa dikarbit, sebagaimana bisa kita lihat pada bayak orang yang sibuk saat menjelang pemilihan. Politik bisa ditopang biaya mahal. Namun sejarah akan membentangkan rekam jejak seseorang, sehingga menentukan sejauh mana dia akan dipilih di bilik suara.

Namun politik yang genuine tak membutuhkan banyak biaya. Cukup ketulusan dan karakter kuat, lalu menyebar ke mana-mana. Sebab tak pernah ada hasil yang mengkhianati proses. Tak pernah ada capaian yang mengkhianati ikhtiar.

Iya kan?


JAKA SAMUDRA


Melihat ada kata Cerita Laga di sampul novel itu, saya langsung membelinya. Sejak tahun 1990-an, saya penggemar setia semua cerita laga. Mulai dari kisah laga yang dibuat Asmaraman S Kho Ping Hoo, hingga novel-novel silat yang bertaburan di masa itu.

Saya masih bisa menyebutkan di luar kepala. Yang paling terkenal adalah Senopati Pamungkas, karya Arswendo. Selain itu, ada banyak cerita lain, mulai dari Wiro Sableng yang dijuluki Pendekar Kapak Mau Naga Geni 212, Pendekar Rajawali Sakti, Dewa Arak, hingga Pendekar Pulau Neraka. 

Saya pun membaca beberapa cerita silat dari negeri Tiongkok, yakni Pendekar Pemanah Rajawali yang dikarang Jin Young, hingga Pedang Langit dan Golok Naga atau To Liong To. Ada pula cerita pendekar dari Jepang. Dua yang membekas di kepala adalah Musashi dan Taiko, yang ditulis Eiji Yoshikawa. Saking terkenalnya Musashi, sampai-sampai guru besar Fakultas Hukum Unhas, Ahmad Ali, menamai anaknya Musashi. 

Di masa itu, cerita-cerita silat mudah ditemukan di mana-mana. Serial Kho Ping Hoo dan Wiro Sableng dijual di lapak-lapak koran dengan harga murah. Jika malas membeli, ada banyak rumah baca yang memberikan tarif murah untuk sekadar membaca di tempat atau dibawa pulang. 

Kini. Cerita-cerita silat sangat sulit ditemukan. Terakhir, saya membaca serial Nagabumi yang dibuat Seno Gumira Adjidarma. Kesan saya, novel ini terlampau tebal. Terlalu banyak karakter yang berpetualang.

Belum lama ini, saat berkunjung ke toko buku, saya melihat novel Saga dari Samudra yang ditulis Ratih Kumala. Seingat saya, Ratih bukan penulis cerita laga. Terakhir novelnya yang saya baca adalah Gadis Kretek yang tak lama lagi tayang di Netflix. 

Tapi saya penasaran dengan isinya. Apalagi waktu kecil, saya pernah menonton serial legenda di TVRI yang salah satu episodenya mengisahkan Jaka Samudra. 

Novel ini bercerita tentang Jaka Samudra atau Sunan Giri. Di masa kecil, dia dihanyutkan dalam peti yang kemudian terapung-apung di laut Jawa. Dia ditemukan satu kapal dagang milik Nyai Ageng Pinatih. Jaka diangkat anak dan dibesarkan oleh Nyai Ageng Pinatih, syahbandar sekaligus saudagar kaya di Pelabuhan Gresik.

Nyai Ageng Pinatih diyakini berasal dari Campa, Vietnam. Almarhum suaminya adalah Patih Semboja, dari Kerajaan Blambangan, yang dikenal memeluk Hindu. Nyai mendapat izin dari Raja Majapahit untuk memiliki sebidang tanah di Gresik, yang kemudian dikelola untuk bisnis perniagaan.

Sejak kecil, Jaka Samudra sudah punya keistimewaan. Di antaranya adalah bisa memancaran sinar yang menyilaukan. Di saat bayi, sinar menyilaukan itu menyelamatkan nyawanya dan Nyai Ageng saat rombongan mereka diserbu para perampok. 

Selanjutnya Jaka meninggalkan rumah utuk berguru pada Sunan Ampel. Di usia dewasa, Jaka tahu kalau ayahnya adalah Syaikh Maulana Ishak, salah satu penyebar Islam di Jawa, yang kemudian mukim di pasai.

Saya melihat tak ada hal baru dalam novel ini. Cerita tentang Jaka Samudra sudah pernah saya baca dan tonton di salah satu serial televisi. Meskipun mencantumkan kata laga, novel ini juga tak detail membahas laga. 

Sangat beda dengan serial Kho Ping Hoo, yang membedakan antara Ginkang )ilmu meringankan tubuh) dan Iwekang (ilmu tenaga dalam). Bahkan serial Wiro Sableng digambarkan lebih detail. Saat Wiro hendak mengeluarkan pukulan sinar matahari, tangannya tiba-tiba putih keperakan dan menyilaukan mata. Demikian pula saat mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni, terdengar suara mengaung laksana ribuan tawon mengamuk. 

Novel ini datar-datar saja. Tak banyak kisah adegan laga. Yang menarik buat saya adalah penggambaran bagaimana Islam masuk ke tanah Jawa dan perlahan menggantikan Hindu. Para wali atau penyebar Islam tidak digambarkan sebagai mereka yang datang membawa pengetahuan dan membawa masyarakat ke hidup yang lebih baik, melainkan sosok sakti mandraguna dan bisa berkelahi.

Novel ini mengingatkan saya pada buku The bandit Saints of Java yang ditulis George Quinn. Di satu bagian buku ini, dia menjelaskan, bagaimana lautan menjadi simbol dari kekuatan dan mukjizat dalam beberapa tradisi Islam. 

Di khazanah Islam Jawa, ada dua sunan yang terkait erat dengan lautan. Pertama, Jaka Samudra yang secara harfiah bermakna Pemuda dari Lautan, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri. Kedua, Sunan Kalijaga, yang dalam banyak syair digambarkan berguru pada Nabi Khidir di satu lingkungan serupa lautan.

Dari penuturan George Quinn, saya mendapat kesan kalau kisah para wali lebih bernuansa mitos ketimbang sejarah. Ada banyak kisah yang tak punya bukti sejarah yang kuat, bahkan kisah itu sengaja dikaburkan, dengan dalih para wali sendiri yang tidak ingin sejarah hidupnya diketahui orang lain.

Dalam kisah Jaka Samudra di novel ini, kita disodori fiksi yang telah lama hidup di masyarakat dan diyakini sebagai kebenaran. Kita disuguhi kisah-kisah kesaktian, sesuatu yang identik dengan masa pra-Islam. Kita dihadapkan dengan kisah kehebatan seorang manusia, yang bisa menaklukan sihir seorang penguasa dari masa pra-Islam, kemudian menyunting seorang gadis, lalu mendirikan pondok pesantren.

Sebagai bacaan saat senggang, ini cukup menarik. Saya cukup terhibur.



Mencari Barakka' di Kampung Tosora

Seseorang berdoa di Masjid Tua Tosora, Wajo, Sulsel

SEULAS senyum nampak di wajah pria itu. Selama setengah jam, dia berdoa di Masjid yang terletak di Desa Tosora, Kabupaten Wajo, Sulsel. Dia jauh-jauh datang dari Tulung Agung bersama 30 rekannya.

Seusai berdoa, pria itu menyempatkan waktu untuk ziarah di makam Syekh Jamaluddin Al-Akbari Al Husaini, yang letaknya berdempetan dengan masjid. Dia berkomat-kamit sembari menyentuh makam. Setelah itu, dia menangkupkan kedua tangan di wajahnya. Kembali, tersenyum bahagia. 

“Saya senang karena bisa berdoa di makam kakek saya,” katanya. Tanpa saya minta, dia merunut silsilah. Syekh Jamaluddin adalah ulama asal Malabar, pesisir Selatan India, yang merupakan keturunan ke-20 dalam silsilah Nabi Muhammad.

Syekh Jamaluddin adalah kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal sebagai wali songo. Keempatnya adalah Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel, dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Di Jawa, makam keturunan Syekh Jamaluddin itu selalu ramai dengan para peziarah. Di Sulsel, tidak seramai itu. Malah sebelumnya tidak banyak diketahui. 

Nanti setelah Gus Dur, mantan Ketua Umum PBNU serta Presiden RI ke-4 datang berkunjung, makam itu mulai mendapat perhatian publik. Di tahun 1989, Gus Dur singgah ke Tosora demi melaksanakan pesan dari kakeknya KH Hasyim Asyári untuk menziarahi 27 makam wali. Sayang, saat itu jalan menuju Tosora terhambat karena ada jembatan putus.

Saya ingat foto di Majalah Tempo. Di situ terlihat Gus Dur merentang zajadah di atas sawah kering dan berdoa di situ. Setelah itu, dia berkata, “Rupanya Almarhum belum berkenaan dikunjungi.” Dia berhasil mencapai makam itu, beberapa tahun berikutnya.

Dua pekan silam,, tepatnya 14-15 Oktober 2023, kompleks masjid dan makam itu ramai dengan manusia. Selama dua hari, ada perayaan maulid serta haul Syekh Jamaluddin. Mereka yang hadir tak hanya berasal dari Sulawesi Selatan. Banyak yang datang dari Jawa Timur, Jawa Tengah, hingga Malaysia dan Singapura.

Haul Syekh Jamaluddin di Tosora


Mengapa jauh-jauh datang ke situ? “Saya datang untuk mengambil berkah,”kata pria itu. Orang Jawa megenal istilah Ngalap Berkah. 

Seorang sosiolog menjelaskan, ngalap berkah adalah kegiatan yang dilaksanakan seseorang untuk mencari berkah melalui apa yang mereka percaya dapat mengabulkan permohonannya. Di antaranya adalah mendatangi makam kiai atau ulama besar yang dikeramatkan.

Saya ingat penjelasan George Quinn dalam buku Bandit Saints of Java. Menurutnya, masjid dan makam keramat adalah dua hal yang bisa bertentangan, namun di Nusantara, menjadi mozaik yang menggambarkan corak keberislaman masyarakat kita. Keduanya bisa komplementer atau saling melengkapi.

Masjid mengumandangkan wibawa hukum agama berjangkauan luas, yang disebut syariah, serta ditopang Al Quran dan suri tauladan Nabi. Masjid membingkai wibawa pemimpin Islam, seperti khatib, imam, modin, ulama, kiai.

Sementara di makam keramat, para wali lokal, tempat lokal, sejarah lokal, dan masyarakat lokal menjadi pusat gravitasi dan mendatangkan banyak orang. Ziarah lokal merangkul khazanah sunnah Islam yang berasal dari Timur Tengah, tetapi terentang jauh melebih khazanah tersebut. 

Dalam ziarah lokal, ada tradisi penceritaan orang suci, cerita rakyat lokal, mimpi-mimpi, kisah pengalaman mistis, narasi pertemuan pribadi, juga kisah keajaiban. 

Antropolog Robert Hefner menyebutnya “khazanah yang belum lengkap, terbuka, tumbuh secara terus menerus tidak terbatas pada kitab tertentu, dan tidak berkiblat sepenuhnya pada kitab tertulis.”



Di Tosora, saya menemukan berbagai kisah-kisah yang dituturkan berbagai orang yang memiliki satu benang merah yakni betapa pentingnya tempat itu. Ada pula mimpi-mimpi tentang pertemuan dengan manusia gaib. 

Masih menurut Hefner, semua tradisi itu mengacu pada tradisi penceritaan di Timur Tengah dan India. Di Tosora, semuanya menjadi mozaik yang menghidupkan kawasan itu sebagai lokasi ziarah, memberi ruang bagi mekarnya tradisi dan komunitas, serta memberi sukma bagi kebudayaan.

Di Tosora, semua tradisi menyatu dalam satu semangat yakni mencari berkah. Ritual dan doa ibarat men-charge ulang aktivitas ke titik nol, setelah itu semua penziarah kembali ke kehidupan sebenarnya, dengan membawa spirit baru.

*** 

MALAM mulai merayap. Di tanah lapang dekat masjid, salawat dan doa dikumandangkan oleh sekitar 3.000 jamaah. Di satu rumah panggung khas Bugis, saya berkumpul dengan banyak orang.

Mereka dari berbagai profesi. Ada pegawai negeri, pedagang, akademisi, anggota dewan, Direktur BUMN, hingga praktisi pengobatan alternatif. Semuanya bersenda gurau sembari melihat kumandang doa di kejauhan.

Seorang kawan bercerita, haul Syekh Jamaluddin yang dilaksakan di Tosora lebih bernuansa Jawa ketimbang Bugis. Makanya, tradisi salawatan ala pesantren itu menjadi atraksi budaya yang sangat menarik di tengah masyarakat Bugis. Perlahan, tradisi ini punya akar dalam budaya Bugis.

Saya menyimak penjelasannya. Saya kembali mengingat beberapa catatan. Corak keberagamaan kita hari ini adalah hasil dari proses sejarah yang panjang. Makam-makam keramat adalah ruang bagi mereka yang mengisi kekosongan batin saat Makkah, sebagai pusat Islam, terlalu jauh.

Para wali dan ulama besar menjadi karakter yang tak pernah mati, tetap memberi kehidupan bagi komunitas, serta menjadi ruang maya untuk mencari jawaban atas berbagai persoalan di zaman kekinian.

Mungkin ini pula penjelasan mengapa malam itu saya jumpa banyak orang dari berbagai kalangan. Ada pedagang yang ingin cepat kaya, ada politisi yang ingin masuk parlemen, ada seorang nelayan yang ingin tangkapan terus bertambah. Semua orang mencari barakka'atau berkah.

Di situ, mungkin hanya saya seorang yang mengalami kebingungan orientasi di tengah mereka yang datang dengan membawa satu niatan. Minta kekayaan ataukah ketenaran? Saya memilih bukan keduanya. Saya ingin jadi bagian dari mereka yang berziarah untuk meniatkan masa depan manusia yang damai dan sentosa. 

Namun saat mendengar orang-orang berdoa, saya tiba-tiba merasa diselimuti dosa dan jauh dari Tuhan. Saat itulah, saya teringat kalimat dari Sunan Giri, salah satu cucu Syekh Jamaluddin. Dia bersyair dalam bahasa Jawa: 

“Gusti iku dumunung ana atining manungso kang becik”

Tuhan itu bersemayam di hati manusia yang baik.



Jangan Ikut-ikut Hakimi SYAHRUL

Syahrul Yasin Limpo

Di luar negeri, dia sedang menjalankan tugas sebagai wakil negara. Tapi di dalam negeri, rumahnya diobrak-abrik. Tanpa ada konfirmasi, penyidik menyebut adanya senjata dan uang puluhan miliar rupiah.

Syahrul Yasin Limpo adalah potret dari penegakan hukum negeri ini yang semakin abai etika. Penegak hukum lebih suka drama ketimbang fokus pada substansi. Apa salahnya membiarkan dia pulang dulu dari tugas negara, setelah itu kasus hukum diproses?

Hukum tanpa etika ini sudah dikemukakan oleh Profesor Jimly Asshidiqie. Saat Anda didiga bersalah, Anda akan divonis lebih dahulu, dipermalukan dengan aksi-aksi drama penegak hukum, setelah itu diarak di hadapan orang-orang setelah dipakaikan rompi oranye.

Dua hal penting yang perlu disoroti dalam kasus ini. Pertama, mengapa penegak hukum seperti bergerak kesetanan, tanpa menunggu dia pulang? Kedua, mengapa pula soerang wakil menteri yang pernah diisukan ditampar Menhan lalu berdiam diri, tiba-tiba aktif di media tentang atasannya yang menghilang?

Hal lain yang perlu disoroti adalah hukum kita mengikuti arah keputusan politik. Saat pilihan Anda beda dengan rezim penguasa, siap-siaplah untuk menghadapi berbagai kasus. Saat pilihan politik beririsan dengan penguasa, maka Anda akan akan hidup damai sentosa di bawah payung hukum.

Puluhan tahun hidup Syahrul diabdikan untuk bangsa, semuanya sirna hanya karena tuduhan bersalah. Semua marwah, integritas, dan kharisma yang dibangunnya sontak dirontokkan dalam sekejap hanya karena tuduhan korupsi. 

Bukan berarti bahwa dia harus kebal dari hukum. Biarkan dia diproses hukum, dengan tetap memegang marwahnya sebagai orang yang pernah berbuat banyak untuk bangsa. Biarkan dia diproses dengan tetap menggenggam sisi kemanusiaannya. 

Sebagai pejabat, dia memegang kendali atas triliunan rupiah. Setiap saat, dia berhadapan dengan risiko besar. Tapi kita tak membangun sistem untuk menjaga anak bangsa ini terjehat kasus korupsi. Yang kita lakukan adalah memasang jerat, lalu bertepuk tangan saat seseorang terjerat di situ.

Rekam jejak pria berkumis itu dimulai dari pegawai negeri biasa. Dia berkarier di semua level. Mulai lurah, camat, pegawai pemerintah provinsi, stah humas, wakil bupati, kemudian wakil gubernur, lalu gubernur dua periode. Di semua level itu, dia meninggalkan jejak dan prestasi. 

Dia sudah berbuat banyak pada negara, yang justru memperlakukannya seperti kriminal. Aparat negara menuduhnya telah menghilang, tanpa memberinya ruang untuk menjelaskan apa yang sedang dia alami.

Profesor Jimly, dalam cuitannya, menyebut ada tiga hal yang abai pada etika. Dia mengatakan:

Etika baik-buruk dlm brnegara kian turun. Liat 1. mentan yg sdg wakili RI di LN dittapkn trsngka KPK tnpa nunggu pulang dulu; 2. eks jubir KPK jadi pngcara trsngka krupsi; 3. wamentan yg diisukn ditampar Menhan sbg brita hoaks diam sj, tp jd aktif di pers ttg mentan yg mnghilang

Jika penegak hukum lebih mendepankan drama ketimbang substansi, maka ketidakpercayaan publik bisa mencuat. Apalagi jika keberpihakan politik mempengaruhi pengakan hukum. Persoalan hukum kerap bertransformasi menjadi masalah non-hukum sehingga menjauhkan hukum dari tujuan sebenarnya yakni bagaimana menggapai keadilan.

Saya ingat analisis Sebastian Pompe dalam disertasi “The Indonesian Supreme Court: Fifty Year of Judicial Development,” Selama hampir empat dekade, praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dalam dunia hukum kian marak. Mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga putusan hakim, semuanya dapat diatur oleh aparat hukum.

Kita sering melihat praktiknya di berbagai proses peradilan, baik pidana maupun perdata yang terkesan direkayasa, serta berdasarkan pertimbangan transaksional. Penggunaan pasal bisa dinegosiasikan, bisa dilakukan tawar-menawar. Tuntutan pun bisa diatur. Betapa kekuasaan memiliki kuasa untuk menentukan hukum, baik kuasa uang maupun kuasa politik.

Kita merasa prihatin ketika tujuan utama menangani perkara saat ini tidak lagi guna menegakkan hukum serta keadilan, melainkan guna memenangkan perkara. Apalagi jika putusan pengadilan tidak lebih sebagai hasil konklusi dari deduksi teks Undang-Undang terhadap peristiwa konkrit dalam suatu kasus.

Pertimbangan adil dan tidak adil menjadi sangat relatif, karena argumentasi hukum para hakim berakhir dalam konklusi logika deduksi yang lebih menekankan kepastian hukum, mengabaikan nilai-nilai moral keadilan. 

Padahal, peradilan seharusnya menjalankan fungsi kemasyarakatan, menyelesaikan masalah masyarakat, tidak sebatas menerapkan peraturan perundangan yang menekankan kepastian hukum.

Mantan Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, menyebut ada empat faktor yang menyebabkan sistem peradilan Indonesia dikuasai para mafia hukum.

Pertama, moralitas yang sangat rendah dari aparat penegak hukum, seperti aparat kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor politik.  

Kedua, budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak ada kekuatan kontrol dari masyarakat. 

Ketiga, tingginya apatisme dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut.

Keempat, kriteria dan proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum sepenuhnya transparan dan profesional.  

Kelima, rendahnya kemauan negara (political will) di dalam memberantas praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur

Situasi kita serupa lingkaran setan (the devil circle) di mana berbagai pihak saling menutupi dan saling ancam agar tidak membuka apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.  Jika tidak ada political will yang kuat, maka mafia hukum akan selamanya menguasai bangsa ini, dan mengendalikan banyak hal. 

Situasinya makin parah jika pimpinan lembaga negara sejak awal telah ”tersandera” dengan tindak perilaku kelamnya. Dia sudah dipastikan tidak akan berani mengambil kebijakan tegas untuk memberikan sanksi terhadap rekan kerja atau bawahannya. Oleh karena itulah muncul ungkapan, ”tak mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu kotor”.

Untuk itu, kekuatan-kekuatan masyarakat sipil mesti tampil ke depan untuk membereskan situasi. Semua pihak mesti berkolaborasi untuk mengatasi situasi, agar peradilan Indonesia tetap berwibawa dan menjadi payung yang melindungi segenap warga negara.

*** 

TERLEPAS dari benar salahnya Syahrul, seyogyanya dia tetap diizinkan menggenggam sisi kemanusiaannya. Biarkan dia melewati semua proses hukum, tanpa harus dipermalukan. Tanya dia, apa betul dia bersalah, setelah itu kita perlahan menata ulang apa yang terjadi di tata kelola kenegaraan kita.

Sebagai pembelajar hukum, Syahrul paham apa yang sedang dihadapinya. Sebagai pejabat, dia siap menghadapi risiko apapun. Biarkanlah dia bersaksi di pengadilan. Sebagai publik, kita akan melihat ulang semua catatan dan kesaksikan.

Kata seorang bijak: “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.


Mereka yang Lebih Hebat dari PUTRI ARIANI

Putri Ariani

Di ajang American Got Talents dia serupa malaikat yang turun ke bumi. Suaranya menghipnotis banyak orang, menembus relung-relung hati, dan meninggalkan jejak-jejak basah. Putri Ariani adalah permata hati rakyat Indonesia yang tampil di panggung dunia.

Namun, Putri bukan yang terhebat. Siapakah gerangan?

*** 

BOCAH itu berusia delapan tahun. Dia datang ke panggung Indonesian Got Talents dengan tertatih-tatih. Dia bocah tuna netra yang naik ke panggung untuk menjajal kemampuan bernyanyi. Ayahnya menggamit lengannya dan menuntunnya.

“Nama saya Nisma Ariani Putri. Sering dipanggil Putri,”katanya. Juri tampak cuek saat mempersilakan dia bernyanyi. Dan keajaiban dimulai di titik itu. Saat bernyanyi, dia menghipnotis semua orang di Gedung itu. Dia mempesona.

Kisah Putri bermula dari kelahiran yang prematur di Riau. Dia lahir di usia kandungan 6 bulan 18 hari.. Ayahnya, Ismawan Kurnianto, menuturkan kalau ibunya Putri divonis placenta previa, yakni kondisi ketika ari-ari atau plasenta berada di bagian bawah rahim sehingga menutupi sebagian jalan lahir.

“Dokter yang menangani berkata, pilih anak atau ibunya,” kata Ismawan. 

BACA: Musisi Jenius yang Menyayangi Kucing


Takdir berkata lain. Putri lahir dengan selamat, meskipun prematur. Saat berada di inkubator selama tiga bulan, barulah ketahuan kalau rupanya ada kerusakan di organ mata.

Ismawan, pria lulusan Fakultas Teknik UII itu, tak pernah sedikitpun kehilangan rasa kasih pada putrinya yang netra. Dia menerima putrinya sebagai anugerah besar dari Yang Kuasa. Tak sedikitpun cintanya pada anaknya berkurang, meskipun anaknya memiliki keterbatasan. 

Demi anaknya, dia siap mengambil keputusan apapun, termasuk meninggalkan pekerjaannya. Dia ingin lebih banyak di rumah. "Saya mengambil keputusan untuk berhenti bekerja karena Putri Ariani lebih membutuhkan saya ada di sisinya," kata Ismawan.

Dia memilih untuk membuka usaha sendiri yakni rumah makan Selera Melayu. Rumah makan itu ramai dikunjungi sehingga memberi pemasukan besar bagi keluarga itu. 

Namun seiring waktu dan usia Putri yang terus bertambah, Ismawan menyadari anaknya perlu mendapatkan pendidikan yang memadai. Sementara di Riau, tak ada pendidikan untuk anak seperti Putri. Apalagi, sejak usia dua tahun, Putri sudah menunjukkan ketertarikan pada dunia tarik suara. Dia mulai mengenali nada-nda serta suka bersenandung.

Ibunda Putri, Reni Alfianty, bercerita kalau mereka pindah ke Yogyakarta agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan di bidang musik. “Kami memutuskan untuk meninggalkan restoran,”katanya. 

Di satu acara podcast, dia ditanya mengapa seberani itu demi anaknya. Saat itu, apa tidak berpikir nanti akan makan apa? “Nanti Allah yang kasih,”kata Reni.

Ismawan dan Reni siap menghadapi risiko apapun, termasuk kondisi keuangan keluarga yang tak sebaik sebelumnya. Demi anak, mereka siap berkorban untuk yang terbaik. "Ini gimana masa depan anak-anak saya, bingung juga kan. tapi saya bilang anak-anak, nanti enggak bisa minta macem-macem sama mama ya," ucap Reni. 

Mereka menyekolahkan Puri di SMAKN 2 Kasihan, Yogyakarta. Dulu sekolah ini bernama Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta. Sekolah ini berada di Jalan PG Madukismo, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sekolah ini punya tradisi yang panjang. Berdiri pada 1 Januari 1952, sekolah musik tertua di Indonesia ini awalnya bernama Sekolah Musik Indonesia (SMIND). Sekolah ini  berdiri atas inisiatif masyarakat musik dan budayawan yang ada di Indonesia, khususnya pemusik Keraton Yogyakarta. 

Kasih tak bertepi dari pasangan ini tak berhenti di sini. Melihat bakat anakya yang sangat besar di bidang music, mereka mengikutkan putri di berbagai kompetisi bermusik. Di antaranya adalah Indonesian Got Talents.

“Ada satu kata-kata Putri yang menyentuh hati saya. Pak, walaupun Putri tidak bisa meliat, tapi Putri ingin dilihat banyak orang,”kata Ismawan.

Maka kompetisi music menjadi ajang bagi Putri agar bisa disaksikan banyak orang. Dia tak bisa melihat. Dia tak bisa menyaksikan audiens, yang mungkin di antara mereka memandangnya negatif. 

Namun, panggung musik menjadi arena untuk mengeluarkan sisi terbaik pada dirinya, yakni suara emas yang menghipnotis. Suara Putri menembus relung hati banyak orang, yang lalu terkesima, kemudian memberi dukungan.


Kisah Putri Ariani mengingatkan pada artikel yang ditulis Malcolm Galdwell dalam Outliers, yang terbit tahun 1988. Katanya, kesuksesan tidak berasal dari angka nol. Semua orang berutang pada orang tua dan dukungan orang lain. 

Kesuksesan adalah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai “keuntungan yang terakumulasi”. Tempat dan kapan seseorang tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar.

Galdwell menolak anggapan tentang keberhasilan yang semata-mata dipicu oleh kecerdasan, bukan pula oleh pesona seorang individu. 

Menurutnya, keberhasilan seseorang menggapai satu kesuksesan tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek saja, melainkan terdapat hal yang lebih rumit, kompleks, dan hanya bisa dipahami dengan menelusuri kehidupan orang tersebut.

Gambaran yang paling sederhana namun gamblang dipaparkan Gladwell dalam cerita singkat mengenai pohon ek. Pohon itu menjadi pohon tertinggi di hutan menjadi yang tertinggi bukan semata-mata karena dia paling gigih.

Dia menjadi yang tertinggi karena “kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalangi sinar matahari kepadanya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit kayunya sewaktu masih kecil, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum dia tumbuh dewasa.

Dalam hal Putri Ariani, dia bisa menggapai sukses karena ada orang tua yang rea menjadi tanah gembur agar tunas bakat anaknya tumbuh subur dan kelak menjadi pohon rindang. 

Ayah ibunya adalah pelita yang menyediakan terang bagi langkah anaknya yang tertatih-tatih. Ayah ibu adalah matahari yang tak lelah menyinari, dan tak memintas balas.

*** 

RABU, 27 September 2023, Putri Ariani menyanyikan lagu Don't Let The Sun Go Down On Me, yang dinyanyikan Elton John. Beberapa pekan sebelumnya, dia menyanyikan lagu I Still haven’t Fund What I’m Looking For” yang dipopulerkan U2.

Bisa tampil di Grand Final American Got Talents saja sudah merupakan Sejarah. Apalagi jika jadi juara.

Dia selalu tampil memesona, dan mengubah lagu orang lain menyatu dengan karakternya sehingga melahirkan nada-nada berbeda. Dia seakan terlahir untuk menyanyikan lagu itu.

BACA: Rhoma Irama di Mata Profesor Amerika


Saat audisi, dia sudah memikat para juri. Simon Cowell terkesima hinga menekan tombol golden buzzer. Sofia Vergara dan Heidi Klum tak segan menyebut suaranya seperti malaikat. Begitu pula dengan Howie Mandel yang meyakini Putri adalah salah satu malaikat yang diturunkan ke bumi.

Di sudut panggung Grand Final itu, ada dua sosok luar biasa yang serupa lilin, siap berkorban untuk menghadirkan cahaya terang. Dua sosok luar biasa itu adalah orang tua yang hari-harinya adalah memikirkan peta jalan terbaik untuk anaknya.

Dua sosok yang mengingatkan pada puisi Kahlil Gibran: “Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa merestui dan memberkatinya."

Tentu saja, tak cuma Ibu, Putri juga punya Ayah yang luar biasa.



Ekonomi Bajak Laut dalam Kisah One Piece




KECERIAAN selalu memancar di wajah anak muda yang selalu memakai topi jerami itu. Namanya Monkey D. Luffy. Dia berhasrat untuk menjadi bajak laut terhebat yang menemukan harta karun One Piece. Dia pun mengarungi lautan untuk menggapai impiannya. 

Dia berkawan dengan Roronoa Zoro, sosok tempramental dan ke mana-mana membawa pedang. Dia juga mengajak Nami, sosok perempuan ceria yang lihai membaca peta dan navigasi. Dia juga berkawan dengan Saji, seorang koki yang pandai menendang, juga Usopp sosok yang selalu membawa ketapel.

Mereka adalah tim yang hebat. Mereka memang menyebut dirinya bajak laut, namun mereka tak pernah menjarah dan membunuh. Mereka bertualang untuk mencari harta, serta melindungi yang lemah. Mereka punya misi untuk menggapai impian masing-masing.

Saya menyaksikan kisah Monkey D Luffy dalam serial One Piece yang tayang di Netflix. Ini adalah versi live action dari anime yang dibuat Eiichiro Oda. Dalam versi komik, kisah ini laku keras di berbagai negara. Bahkan versi anime-nya juga laris manis. 

Biarpun saya tidak mengikuti One Piece, serial ini sangat menghibur. Saya menyukai petualangan anak muda bertopi jerami bersama kawan-kawannya. 

Di mata saya, mereka adalah tim yang saling melengkapi. Semua punya keahlian berbeda, dan saling melindungi. Mereka punya solidaritas kuat. Meskipun Monkey D Luffy adalah pimpinan, dalam kehidupan sehari-hari, dia sama halnya dengan anggota lainnya. 

Dia sosok yang selalu ceria dan berpikir positif. Dia pun tidak pernah memberi perintah dan menyuruh-nyuruh. Malah, dia lebih sering dikerjai dan di-bully oleh para anak buahnya. 

Namun saat krisis menerjang, dia akan berdiri paling depan untuk membela rekannya. Dia mengingatkan saya pada sosok Kenshin Himura dalam Ruroini Kenshin, yang saat ada masalah akan bertempur dan menyabung nyawanya, namun saat damai, akan menjadi sosok paling lucu dan menghibur.

Bagi saya, kisah ini bukan sekadar kisah bajak laut. Ada banyak pelajaran bisnis, manajemen, serta team building. Saya ingat kata-kata Eric Barker, untuk melihat manajemen yang rapi serta sukses, jangan malu untuk belajar pada komplotan pencuri. Belajarlah pada bajak laut.

Lihat saja komplotan para maling saat beraksi. Mereka punya pembagian tugas yang rapih. Semua bergerak menjalankan peran masing-masing. Dalam serial Money Heist yang membahas komplotan pencuri di satu bank, semua anggota tim saling berkolaborasi. 


Saya segera teringat buku The Invisible Hook: The Hidden Economic of Pirates yang ditulis Peter Leeson. Menurutnya, manajemen terbaik bisa ditemukan pada komplotan pencuri hingga bajak laut. Mereka semua tahu apa yang menjadi goal (tujuan), lalu punya pembagian kerja yang sangat rapih saat beraksi di lapangan.

Kata Peter Leeson, wacana tentang bajak laut sebagai makhluk haus darah dan barbar adalah konstruksi dari para bangsawan di abad pertengahan yang merasa kepentingannya terganggu. Justru, para bajak laut itu adalah para pebisnis tangguh yang berhasil membangun sistem bisnis, yang bertumpu pada kesetaraan.

Para bajak laut seperti Blackbeard paling paham bagaimana kerja tim. Mereka yang memberontak pada sistem kerja di kapal-kapal angkatan laut kerajaan, yang menempatkan mereka sebagai budak. Mereka membangun sistem baru bagaimana menjalankan skema bisnis, mengenalkan saham, serta bagaimana berbagi kentungan.

Kita mengenal sejarah perusahaan modern, justru dimulai dari kisah bajak laut. Kata Peter Leeson, sejarah perusahaan-perusahaan besar selalu berawal dari organisasi para bajak laut. Bahkan perusahaan seperti Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang serupa bajak laut, sukses menjarah alam Nusantara lalu membuat kota-kota di tanah Nederland tumbuh bak tulip di musim semi.

Demikian pula dengan East Indian Company (EIC) yang menjadi kongsi dagang Inggris dan melebarkan sayap hingga negara-negara dunia ketiga.

Masih kata Peter Leeson, kelebihan organisasi para penyamun ini adalah adanya kesetraaan serta pembagian tugas yang rapih. Berbeda dengan kapal kerjaan yang sangat hierarkis, kapal-kapal bajak laut justru sangat demokratis. Mereka memilih pemimpin yang bisa mengayomi semua kru kapal. 

Mereka membentuk perusahaan yang goal utamanya adalah mengejar profit. Seorang nakhoda atau bos punya pendapatan yang tidak berbeda jauh dengan anggotanya. Bahkan mulai dikenal istilah saham, yang kemudian mempengaruhi berapa keuntungan  yang diterima saat misi telah selesai.

Ini persis kisah Columbus yang ketika hendak berlayar, menemui Raja Spanyol lalu meminta agar pelayarannya dibiayai, dengan konsekuensi Raja akan menerima pembagian hasil yang lebih besar jika dirinya kembali dari The New World atau Dunia Baru. Dari sinilah konsep saham bermula.

Tak hanya itu, konsep asuransi juga bermula dari bajak laut. Saat ada krunya yang tewas, maka akan ada dan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan.


Dalam serial One Piece ini, saya melihat bagaimana manajemen bekerja secara praktis. Semua anggota tim tahu tugas masing-masing. Di titik tertentu, semuanya sigap dan saling bantu, serta mengutamakan kepentingan bersama. Mereka menjalankan manajemen yang rapih, juga menghitung seua risiko dari aktivitas mereka.

Selain Nami, gadis seksi di serial ini, tokoh favorit saya adalah Monkey D. Luffy. Dia tipe pemimpin yang mengakar. Dia pandai menjaga ritme kerja dan emosi para krunya. Dia tampil terdepan saat ada masalah. Dia punya rasa setia kawan hebat, yang membela sahabatnya dalam setiap masalah. Dia tipe pekerja, yang siap setiap saat menjadi tameng.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sulit menemukan sosok seperti pemimpin bajak laut ini. Banyak pemimpin hanya duduk di belakang meja dan menunggu laporan perkembangan situasi. Banyak yang hanya duduk manis, namun tiba-tiba menuntut agar perusahaan segera cuan. 

Pemimpin ini lupa kalau kesuksesan tak pernah jatuh dari langit. Namun harus dikejar dengan segala daya upaya, serta kemampuan untuk melihat berbagai peluang.

Kira-kira demikian.



Haz Algebra


Tak disangka, kami jumpa di Kendari. Padahal selama ini dia berumah di Manado. Anak muda ini, Haz Algebra adalah penggiat literasi, penyuka kajian, dan suka berdiskusi tema filsafat dan ekonomi politik.

Usianya masih belia. Basic-nya adalah kedokteran. Tapi dia menerjemahkan buku The Wealth of Nation karya Adam Smith dengan sangat bagus. Padahal, kata seorang profesor ekonomi, buku itu tidak mudah diterjemahkan. Banyak kata2 yang sudah tidak digunakan.

Saya pertama membaca namanya di buku karya sejarawan Yuval Noah Harari yang judulnya 21 Lessons for 21st century. Terjemahannya keluar hanya berselang sebulan setelah buku itu keluar di negara asalnya. Dia punya idealisme. Karya2 bagus harus diterjemahkan sesegera mungkin. Biar anak muda segera mendapat asupan nutrisi wacana baru.

Saya juga membeli terjemahan huku Upheaval dari Jared Diamod, yang diterbitkannya jauh lebih awal dari Gramedia. Saya juga mengoleksi buku Enlightment Now karya Steven Pinker. Ini buku bagus yang membela rasionalisme dan pencerahan Eropa. Saya pun membeli Kapital karya Piketty, yang diterjemahkan dengan apik.

Bukan hanya membaca, dia rajin dan suka berdiskusi. Di Manado, dia rutin mengajak orang2 berdiskusi di satu kafe dan membahas karya2 terbaru dari para ekonom dan filosof. Dia menjadikan aktivitas menulis dan membaca sebagai aktivitas yang tak terpisahkan. Dan anak2 muda harus mengisi masa mudanya dengan tarung ide dan gagasan.

Di ranah digital, dia membuat grup diskusi yang mendiskusikan pemikiran Harari di Indonesia. Anggotanya banyak pemikir bahkan profesor. Saya menduga anggota grup itu tidak tahu kalau adminnya asalah seorang anak muda dengan bacaan keren.

Bagi saya, Haz Algebra telah membongkar banyak hal. 

Pertama, pusat2 diskusi dan pengetahuan itu tidak mesti ada di Jakarta dan kota2 lain di Jawa. Pusat pengetahuan bisa muncul di Manado, Makassar, Ambon, atau Palu. Lihat saja kerja2 Haz dan rekannya di penerbit Globalindo di Manado. Mereka bergerak lebih dahulu dalam menerjemahkan karya literasi lalu menerbitkannya secara swadaya. Ini keren abis.

Kedua, batas2 pengetahuan itu lebur. Dia anak muda lulusan kedokteran yang membaca filsafat dan ekonomi, dengan pengetahuan yang sudah membumbung tinggi dan melebihi para peraih doktor ekonomi, yang disertasinya bisa jadi dibuatkan orang lain. Haz adalah tipe intelektual organik yang menjadikan aktivitas membaca dan menerjemahkan serupa bermain dan bersenang-senang. 

Ketiga, kerja2 literasi tidak selalu dimonopoli pemerintah, tapi kerja yang secara organik ditumbuhkan oleh komunitas dan individu yang suka membaca dan berbagi. Mereka melakukannya karena idealisme untuk menghadirkan secercah cahaya pencerahan di benak semua anak bangsa.

Anak muda seperti Haz membuat kita optimis melihat bangsa ini. Kerja-kerja mereka seperti udara. Tak terlihat tapi telah menjaga napas hidup, merawat pengetahuan, dan menjadi energi untuk menggerakkan bangsa. 

Di titik ini, kita mesti menjura dan berterimakasih atas kerja2 hebat mereka.

Saya berharap dia betah bekerja sebagai dokter di Kota Kendari dan melanjutkan kerja2 intelektual di kota ini. Sayang, dia sudah tidak jomblo lagi. Padahal ada banyak gadis manis yang rela antri untuk mendapat sekeping hatinya.



Mattulada


Sembari menunggu panggilan naik pesawat, saya membaca Manusia dalam Kemelut Sejarah yang pertama diterbitkan LP3ES tahun 1977, di masa saya belum lahir. Kini dicetak ulang dan banyak beredar di toko buku.

Ini buku klasik. Tapi selalu relevan. Malah buku ini akan abadi. Isinya mengenai para founding fathers, mulai Sukarno hingga Tan Malaka. 

Yang bikin spesial, para penulis di buku ini adalah para begawan sejarah. Mereka adalah nama2 besar yang menghiasi kanvas intelektualitas bangsa ini. Di antara nama2 besar di sini, tinggal Taufik Abdullah yang masih hidup. 

Lainnya sudah berpulang. Beberapa di antara mereka adalah Onghokham, YB Mangunwijaya, Nugroho Notosusanto, dan banyak lagi.

Saya tercekat saat membaca nama Mattulada yang menulis tentang Kahar Muzakkar. Rasanya baru kemarin saya melihat dirinya yang penuh kharisma di kampus Unhas. Mattulada adalah guru dari semua pengkaji budaya di Sulawesi Selatan saat ini. Dia menorehkan banyak sapuan indah di kanvas kajian budaya Sulsel.

Namanya harum, bukan saja di Sulsel, tapi juga Sulawesi Tengah. Dia budayawan, periset, hingga sosok guru yang bijaksana. Di masa2 awal reformasi, dia selalu tampil sebagai pembicara kunci dalam semua diskusi budaya.

Saya terkenang suatu masa di mana kampus menghadirkan dirinya sebagai dosen senior dalam satu acara dialog akademik. Seorang dosen muda berbicara dengan berapi-api tentang mahasiswa yang dianggapnya semakin kurang ajar. “Masak anak-anak sekarang memanggil dosennya dengan sebutan anjing. Itu kan bangsat,” kata dosen muda itu.

Di luar dugaan saya, Mattulada malah membela mahasiswa. “Sebaiknya Anda harus introspeksi. Kalau Anda dipanggil anjing, jangan2 ada unsur anjing dalam diri Anda. Karena puluhan tahun saya mengajar di Makassar dan Palu, belum ada orang yang memanggil saya anjing,” katanya.

Semua mahasiswa, termasuk saya, bertepuk tangan. Dosen itu tersipu malu, lalu meninggalkan ruangan.

Kini, saya membaca catatan Mattulada tentang Kahar, sembari menyeka air mata. 


Alfatihah untuk prof.



Creator.Inc


Buku Creator. Inc ini cocok dibaca saat sedang santai sambil menyeruput kopi di sore hari. Isinya tentang mereka yang kekinian, mereka yang hidup dari hobinya. Di antara mereka ada penulis, pembuat animasi, blogger, fotografer, jasa EO, pengembang start-up, marketer, konsultan, hingga video editor.

Saya suka membaca kisah-kisah mereka yang mengaku sebagai independent worker atau mereka yang tidak punya bos, namun punya relasi dan network kuat hingga bisa hidup nyaman di situ.

Di abad ini, definisi bekerja dan berkantor memang sudah lama bergeser. Kantor bisa di mana saja. Bisa di co-working space. Bisa pula di warung kopi. Malah, aktivitas kantor bisa dilakukan sembari camping di satu bukit. Saat menikmati pemandangan, bisa memandang laptop dan menyelesaikan pekerjaan.

Buku ini membagi tiga tahapan yang harus dilalui mereka yang ingin berkarier di dunia kreatif. Pertama, merintis jalan dan tapaki. Kedua, tunjukkan karyamu. Ketiga dari kreator menjadi perusahaan.

Jujurly, tahapan pertama dan kedua yang dianjurkan buku ini sudah pernah saya lalui. Pernah ada masa di mana saya belajar menulis banyak hal, lalu rajin membagikan catatan itu ke mana-mana. 

Beberapa tulisan mengena di hati banyak orang, sehingga berujung pada silaturahmi, pertemuan-pertemuan, lalu berbuah kesepakatan bisnis. Selama belasan tahun, saya hidup dari kemampuan menulis, juga kemampuan membual, di antaranya adalah les piano dan melatih kucing.

Makanya, saya tak pernah khawatir kehilangan pekerjaan. Sebab jejaring dan pertemanan sudah terbentuk. Brand juga sudah kuat. Tinggal merawat jaringan dan terus produktif.

Satu hal yang belum saya jalankan dari buku yakni tahapan ketiga, bagaimana melakukan transformasi dari kreator menjadi perusahaan. Bagaimanapun juga, seseorang harus pindah ke tahapan bagaimana membuat sistem, mencari rekan sevisi, lalu perlahan menambah cashflow.

Buku ini memberi penjelasan menarik. Mendesain, menulis, memotret, membuat program, bikin aplikasi, ataupun merekam dengan kamera merupakan keterampilan teknis, yang merupakan fundasi dari produk atau jasa seorang kreator. 

Namun, kita dituntut untuk mengembangkan keterampilan bisnis, membangun brand, relationship, networking, mengelola sumber daya manusia, menetapkan harga, dan menyusun strategi pasar.

Untuk soal ini, saya mesti belajar banyak. Pernah, saya punya staf yang berprofesi sebagai fotografer. Saat dia menggarap proyek memotret di luar kantor, dia sering dibayar murah. Rupanya, banyak orang di luar sana yang menganggap kerja kreatif adalah kerja gratisan. 

“Kan cuma motret2, kok harus dibayar mahal?” katanya menirukan ucapan seorang klien.

“Itu sih masih mending. Saya pernah dibayar 3 M,” kataku.

“Apaan tuh?”

“3M itu adalah singkatan dari Makasih, Makasih, dan Makasih.”

“Sambarang kau,” logat Makassar-nya keluar.