Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Rumah Kopi RANIN yang Memuliakan Petani

suasana di Rumah Kopi Ranin

Suasananya serupa pedesaan di tepi hutan. Kedai ini seakan tersembunyi dari peradaban. Dari tepi jalan alternatif menuju kampus IPB Dramaga, Rumah Kopi Ranin tak terlihat. Hanya ada papan penanda kecil yang menunjukkan lokasinya agak ke lembah.

Bersama seorang kawan, saya pun menuruni jalan batu yang disusun apik. Mulanya saya menemui rumah kayu yang di depannya tertera tulisan lumbung kopi. Di dekatnya ada peta persebaran kopi Nusantara. Saya lanjut menuruni tangga batu. Rumah Kopi Ranin terlihat di tengah hamparan rumput dan penohonan.

Di kedai yang tampilannya seperti rumah pedesaan ini, banyak orang duduk di kursi kayu sederhana. Banyak orang sengaja datang dari lokasi yang jauh.

Rumah Kopi Ranin tak hanya menyajikan petualangan menikmati kopi dari berbagai lokasi di Nusantara, namun juga menyajikan kisah-kisah, pengetahuan, aktivisme juga diskusi-diskusi mendalam mengenai kopi.

Di sini, kopi serupa portal untuk memasuki banyak hal. Bukan cuma rasa, tapi juga ada kisah-kisah mengenai petani kopi yang setiap hari menelusuri tanaman kopi sembari berharap tanamannya tumbuh sehat hingga tersaji di berbagai kafe mahal seluruh dunia. Di setiap tetes rasa nikmat, ada kisah getir para petani.

“Mas Yus mau pesan kopi apa?” Seorang pramusaji datang dengan memakai kain batik. Saya merasa baru dua kali ke sini. Namun dia menghafal nama saya. Di rumah kopi ini, keramahan dan kehangatan adalah bumbu penting yang menemani sajian kopi.

Saya spontan menyebut Mandailing. Tak lama kemudian, seorang pria berusia 50-an datang menyapa. Saya bisa memanggilnya Mas Teji. Dia pemilik rumah kopi Ranin. Dia bersama pramusaji tadi yang datang membawa secangkir kopi Mandailing.

“Ini namanya kopi Mandailing, yang merupakan nama daerah di Sumatera Utara. Kopi ini cocok untuk mereka yang sering terkena sakit mag,” kata Tejo.

Rasanya agak pahit. Ia lalu menyodorkan gula. Namun saya terus meminumnya. Dia tersenyum, lalu berkata, “Pilihanmu tepat. Rasa pahit adalah bagian dari kopi. Lewat rasa pahit itu, kita bisa tahu banyak hal, misalnya tentang kondisi tanaman kopi di daerah asalnya, hingga rasa kopi yang sesungguhnya.”

Ia lalu bercerita tentang Mandailing sebagai sebuah tempat di Sumatera Utara. Ia juga menjelaskan tentang jenis-jenis vegetasi tanaman, serta kondisi geografis mengapa kopi Mandailing memiliki rasa yang unik.

Sebelum perang dunia kedua, Kopi Mandailing telah tersohor. Di luar negeri, kopi ini lebih dikenal dengan nama Mandheling Coffee. Kopi ini dijual dalam bentuk bubuk maupun biji. Sejarah mencatat bahwa Belanda membawa kopi ke wilayah Mandailing yang kemudian dijadikan sebagai pusat penanaman dan pengembangan kopi arabika.

***

PRIA itu bernama Tejo. Lengkapnya Tejo Pramono. Ia adalah salah satu pemilik Rumah Kopi Ranin. Ranin adalah kepanjangan dari “Rakyat Tani Indonesia.”

Bersama sahabatnya Uji Sapitu, ia mengelola kedai kopi tersebut untuk merawat gagasan-gagasan penting mengenai perlunya memberdayakan petani kopi. Mereka tidak saja menyajikan kopi, namun juga pengetahuan tentang kopi, serta kekayaan sosial budaya yang menjadi lahan tempat kopi tumbuh.

Keduanya adalah alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB). Jika Uji belajar di Teknologi Pangan, maka Tejo di Mekanisasi Pertanian. Keduanya dahulu tinggal di asrama yang sama. Ketika ada gagasan untuk membuat kedai kopi bersama, mereka sangat antusias. Mereka adalah penikmat kopi yang berusaha memahami segala hal tentang kopi.

Tejo sangat bersemangat ketika ditanya tentang teknik penyajian kopi. Katanya, kedai Ranin memang sengaja menggunakan alat manual. Kedai kopi ini berani melakukan inovasi dengan manual brewing untuk bersaing dengan kafe-kafe lain yang menggunakan mesin espresso sebagai alat untuk membuat milk base coffee.

Sejak masih kuliah, Tejo sudah bersentuhan dengan tradisi aktivisme. Dia sering keliling Indonesia dan bertemu banyak petani kopi. Saat membangun Rumah Kopi Ranin, dia meniatkan akan menjadi bisnis wirausaha sosial.

“Saat bicara kopi, kita hanya fokus pada rasa. Kita lupa kalau kopi itu ada yang nanam, ada yang memuliakan kopi. Kita lupa pada petani kopi. Mereka terabaikan. Mereka dikalahkan oleh rasa kopi yang jelas-jelas ditanamnya,” kata Tejo.

Rumah Kopi Ranin menjadi tempat pertemuan bagi petani kecil dan penikmat kopi. Baginya, kedai kopi itu adalah etalase yang membuat petani terlihat. Dia menyadari perlu mengenalkan kopi lewat kegiatan public coffee cupping setiap pekan. Kegiatan ini memperluas pasar fine coffee sekaligus menambah pamor rumah kopinya.

Tejo dan Uji bertualang ke sentra-sentra produksi kopi. Mereka bertemu petani dan berdiskusi banyak hal. Menurutnya, banyak petani yang hanya menanam, tanpa mengetahui kualitas kopi yang ditanamnya. Bahkan banyak petani yang tidak tahu bedanya Robusta dan Arabica.

“Kami menunjukkan kopi-kopi yang sudah kami sortir. Kadang kami bilang kopinya belum layak. Kami minta mereka mencicipi kopi yang sudah disortir dan belum. Mereka heran kok rasanya beda? Kok lebih enak?” katanya.

Dia melanjutkan, “Kami ajak mereka untuk tahu mutunya. Mutu ada di cita rasanya.Kami ajari petani bagaimana membedakan cita rasa. Beda pengolahan, beda cita rasa. Untuk bikin masakan enak, bumbunya apa saja.”

suasana di Rumah Kopi Ranin

Tejo dan Uji lalu memprakarsai berdirinya Sekolah Kopi, yang memberikan pelatihan dan pemberdayaan pada petani. Di sini, terjadi proses alih pengetahuan sehingga petani paham mana kopi dengan kualitas terbaik.

Sekolah Kopi mempertemukan para petani dengan para ahli, juga dengan para pebisnis dan pemilik kafe. Berkat Sekolah Kopi, petani bisa memahami kualitas kopi serta hal-hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas. Petani pun paham fair trade sehingga kopinya bisa dipasarkan dengan harga pantas. Mereka tidak dieksploitasi para tengkulak.

Saat petani sudah bisa menghasilkan kopi terbaik, pertanyaan berikutnya, ke mana hendak menjual kopi terbaik itu. Tejo lalu membeli kopi tersebut dengan harga pantas, kemudian dipasarkan di Rumah Kopi Ranin. Saat ini, Rumah Kopi Ranin telah bermitra dengan 100 petani kopi yang rutin memasok kopi dengan kualitas terbaik.

Kerja kerasnya muai membuahkan hasil. Pihak IPB menggandeng Rumah Kopi Ranin dalam program konservasi untuk kerjasama dengan petani kopi di Kampung Cibulao. Hasilnya, Kopi Cibulao meraih peringkat pertama tingkat nasional kopi robusta pada Kontes Kopi Spesialiti Indonesia di tahun 2016.

Namun, kerja belum selesai. Di rumah kopi itu, Tejo menanam banyak harapan untuk Indonesia. Meskipun Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat di dunia, nasib petani masih jauh dari sejahtera. Indonesia harusnya menjadi rumah yang memberi rasa nyaman, bukan hanya bagi penikmat kopi, tetapi juga para petani.

“Saya ingin petani menjadi tuan di negerinya sendiri. Mereka harus berdaulat,” katanya.


Setelah Ronaldo, Messi Akan Berlabuh ke Saudi Arabia


Ronaldo baru saja menyepakati kontrak untuk bergabung dengan Al Nassr dan memecahkan rekor sebagai pemain dengan bayaran termahal sepanjang sejarah. Di awal Januari, Lionel Messi pun akan menandatangani kesepakatan dengan pemerintah Saudi Arabia.

Dua pesepakbola terbesar sepanjang sejarah itu akan bertemu di Saudi Arabia.

The New York Times, (30/12/2022) menurunkan esai dari Victor Mather mengenai Ronaldo yang dibandingkan dengan pemain legendaris Pele. Jika Pele menutup kariernya di Amerika Serikat dengan bayaran fantastis di masanya, maka Ronaldo akan menutup karier gemilangnya di Saudi Arabia.

Media itu menyatarakan Ronaldo dengan Lionel Messi. Keduanya pemain terhebat di generasinya. Ronaldo telah memenangkan lima gelar Ballon d'Or, trofi pemain terbaik dunia. Hanya Messi yang menang lebih banyak.

Kemenangan Messi dengan Argentina di Piala Dunia di Qatar tampaknya memperkuat posisinya di benak banyak penggemar. Messi adalah nomor satu, sedangkan Ronaldo nomor dua.

Ronaldo unggul dalam mencetak gol untuk tim-tim top Eropa, termasuk Sporting Lisbon, Manchester United, Real Madrid dan Juventus. Namun, kehadirannya di Manchester United musim ini tidak memuaskan.

Dia pergi dengan kesepakatan bersama pada November setelah merumput lebih satu musim. Dia berselisih dengan pelatih karena kurang bermain, serta dia menunjukkan keengganan untuk lebih menekan pertahanan lawan.

Begitu terkenalnya, bahkan ketika berada di bangku cadangan dia cenderung menjadi berita utama daripada pemain United yang membuat operan dan mencetak gol.

Ronaldo paham benar tentang bagaimana memonetasi kariernya yang gemilang. Dia tahu kalau klub-klub Eropa enggan untuk meminangnya karena gaji yang terlalu besar. Dia tetap berada di level atas dalam hal pendapatan.

Lionel Messi

The New York Times tak hanya membahas Ronaldo. Media itu juga menyinggung Lionel Messi. Di awal Januari 2023, Messi akan menandatangani kesepakatan dengan pemerintah Saudi untuk menjadi duta pariwisata kerajaan.

Menyusul tetangganya Qatar, Arab Saudi ingin menjadi tuan rumah Piala Dunia 2030. Dengan memiliki Ronaldo, lalu Messi,  Saudi Arabia ingin memperlihatkan ambisi besarnya di bidang olahraga dan hiburan, sebagaimana telah kompetisi golf.

Di negara yang mempermalukan Argentina di Piala Dunia 2022 itu, Messi akan diangkat sebagai Duta Pariwisata Kerajaan. Pemerintah Saudi Arabia berencana untuk ikut tender tuan rumah Piala Dunia 2030.  

Messi akan dikontrak sebesar 25 juta pounsterling atau sekitar 470 miliar rupiah. Tugasnya adalah menjadi duta yang mempromosikan kesiapan negara Arab itu untuk menggelar event sebesar Piala Dunia.

Di Timur Tengah, uang bukanlah kendala. Sejak beberapa tahun lalu, para konglomerat Timur Tengah telah berekspansi membeli klub-klub terkenal.

Lihat saja jersey klub-klub besar, mulai Real Madrid, PSG, Arsenal hingga AC Milan, selalu ada logo Fly Emirates yang dimiliki pemerintah Uni Emirate Arab, yang CEO-nya adalah Ahmed bin Saeed Al Maktoum

Keberhasilan Qatar menggelar Piala Dunia menjadi inspirasi bagi negara Arab lainnya. Apalagi, Qatar dilaporkan membuat pedoman tentang penggunaan soft power dari olahraga untuk meningkatkan branding satu negara.

The Guardian melaporkan, bagi pihak Saudi Arabia, menjadi tuan rumah Piala Dunia 2030 dapat menawarkan rehabilitasi di panggung dunia, khususnya bagi putra mahkota Mohammed bin Salman.

Banyak kalangan menilai menggelar turnamen olahraga menjadi “sportwashing” bagi Saudi untuk membersihkan citranya di panggung dunia.

Mohammed bin Salman awalnya dipuji sebagai seorang reformis yang memimpin kerajaan menuju modernitas. Hingga munculnya tuduhan terlibat dalam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi membuatnya menjadi paria.

Di sisi lain, Saudi banyak disebut dalam pengeboman di Yaman, pembatasan hak-hak perempuan dan penggunaan hukuman mati kian merusak reputasi internasionalnya. Baru-baru ini, keputusan Saudi untuk menentang tekanan Amerika pada produksi minyak telah merusak hubungan kedua negara.

The Guardian mencatat, Mohammed bin Salman ingin turnamen tersebut membantu meyakinkan dunia bahwa dia memiliki rencana untuk menyapih negara penghasil minyak terbesar kedua dari ketergantungannya pada petro dollar.

Melalui rencana modernisasi Vision 2030 miliknya, dia ingin membawa Saudi ke era baru yang menjadi sorotan di dunia internasional.

Rencana itu telah dibangun perlahan-lahan. Saudi membuat event olahraga terbesar, mulai dari tinju hingga golf. Di tahun 2019, ada turnamen LIV Golf, turnamen yang didanai oleh Dana Investasi Publik (PIF), dana kekayaan negara Saudi.

Selain itu, ada pula pertandingan tinju kelas berat antara Anthony Joshua dengan Oleksandr Usyk di Abdullah Sports City Arena, Jeddah. Pertandingan ini dihadiri oleh Mohammed bin Salman bersama presiden FIFA Gianni Infantino, yang sering terlihat bersama-sama, sebagaimana tampak di pembukaan Piala Dunia Qatar.

Aramco, raksasa minyak yang sebagian besar dimiliki oleh keluarga kerajaan Saudi dan mesin perekonomian negara, dikabarkan lebih sering menjadi sponsor turnamen olahraga, termasuk Piala Dunia.

Jalan negara-negara Timur Tengah untuk mencengkeram dunia olahraga kian terbuka lebar. Negara-negara ini siap menggelontorkan dana untuk membiayai turnamen. Termasuk mengumpulkan banyak pemain berbakat di seluruh dunia.

Dengan memboyong Ronaldo lalu Messi ke Timur Tengah, maka sorotan publik seluruh dunia akan terus tertuju ke kawasan ini. Perlahan brand dan citra sebagai negara yang ramah akan kian menguat, dan menggeser semua kekhawatiran negara-negara Eropa pada kawasan ini.

Dengan uang, Anda bisa membeli segalanya. Dengan uang pula, Anda bisa membersihkan masa lalu, juga membeli masa depan.


Jokowi Versus Paloh, Bisakah Nasdem Bertahan?

Babak baru pertarungan Jokowi versus Surya Paloh kian seru. Rumor telah berhembus kalau dua menteri dari Nasdem akan segera di-reshuffle. Pemerintah seakan hendak memutus aliran darah sejumlah elite Nasdem, khususnya yang bermain bisnis tambang dan komoditas.

Nasdem kian dikucilkan dari pemerintahan Tentunya, dari sisi politik, kebijakan ini bisa membawa berkah dari Nasdem. Partai tidak lagi abu-abu. Tidak lagi mencla-mencle. Partai akan lebih tegas untuk memilih jalur oposisi, senada dengan kebijakan mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon presiden.

Jika Anies terpilih sebagai presiden, Nasdem akan leluasa menjadi pengendali distribusi kuasa ke elite-elite politik yang lain. Nasdem akan mendapatkan “kue” paling besar, serta menghidupkan banyak kartu bisnis dan kartel. Elite Nasdem akan jadi “ketua Kelas” yang mengatur dan mendistribusi aliran bisnis.

Namun jika Anies tidak terpilih, partai itu akan siap-siap memasuki era baru yang menjauh dari rezim politik. Partai itu akan siap “puasa” dan hanya menjadi penyaksi dari hiruk-pikuk di lingkaran rezim. Bisakah Nasdem bertahan?

Reshuffle akan menjadi ujian serius bagi partai. Bagaimanapun juga, DNA partai itu bukanlah oposisi. Elite Nasdem banyak yang jadi oligarki, yang menurut Aristoteles bermakna, “kekuasaan oleh segelintir kaum kaya.”

Nasdem tidak punya pengalaman seperti PDIP yang selama sekian tahun mengalami represi rezim Orde Baru sehingga mengalami apa yang disebut Tan Malaka sebagai “terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk.”

Nasdem belum tentu setangguh PKS yang memilih di luar rezim pemerintahan di era Jokowi, sembari tetap menjaga elan vital sebagai partai kader.

Mereka yang mendirikan Nasdem adalah mereka yang lama berkecimpung di Partai Golkar dan sekian tahun melekat dengan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana memaksimalkan posisi di pemerintahan demi mendapatkan “pork barrel project”, yang disebut Edward Aspinall sebagai proyek-proyek pemerintah yang kemudian dibagikan ke semua elite partai dan relawan.

Di lapangan bisnis, para pengusaha di Nasdem bukanlah mereka yang terbiasa berdarah-darah dan mulai semuanya dari nol. Mereka adalah kalangan yang mengandalkan afiliasi atau kedekatan dengan pemerintah. Tanpa proyek APBN dan APBD, mereka bisa kehilangan darah segar untuk berkompetisi di arena bisnis.

Sejumlah kalangan Nasdem masih belum yakin dengan langkah yang dihimpun partai. Banyak yang menilai langkah mendorong capres terkesan buru-buru. Partai seakan tidak sabar untuk segera memegang tampuk kekuasaan. Padahal, banyak hal yang perlu ditimbang dengan baik sebelum tiba pada keputusan itu.

Banyak yang berharap agar partai membangun basis dan pengkaderan yang kuat sehingga bisa tumbuh kokoh. Apalagi, basis Nasdem kebanyakan di daerah yang populasi non-Muslim cukup besar. Merawat dan menyirami basis secara perlahan jauh lebih penting ketimbang mengambil langkah strategis untuk menggenggam kekuasaan.

Namun, Surya Paloh telah mengambil keputusan. Langkah untuk mengumumkan capres dianggap langkah strategis untuk segera mengamankan Anies, serta menggenggam pemerintahan.

Jalur oposisi akan menjadi pertaruhan terbesar bagi Surya Paloh. Selama ini dia selalu pandai memainkan bidak di percaturan politik. Di masa Orde Baru berkuasa, dia dekat Cendana. Menjelang Orde Baru runtuh, dia ikut barisan yang menentang pemerintah. Dia pun ikut Golkar, partai yang diisi politisi senior dan selalu menang di semua rezim.

Setelah itu, Paloh berlabuh ke Jokowi dan nyaman selama dua periode di pemerintahan. Saat gebetan baru hadir dan dianggap berpotensi menang, dia pun pindah haluan. Berkaca pada sejarah, intuisi Paloh sering benar. Dia punya naluri pengusaha yang membawanya selalu jadi pemenang di semua rezim.

Nasdem ingin mengulang langkah Partai Demokrat, yang begitu memenangkan SBY langsung melejit sebagai partai pemenang pemilu dan meraih kursi terbanyak di parlemen. Langkah by pass diambil untuk mendapatkan manfaat lebih besar. Kalaupun ada hambatan, maka itu bisa dianggap sebagai “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”

Yang harus dipikirkan dengan matang adalah tidak ada satu rumus tunggal yang berlaku dalam dunia politik Indonesia. Pelajaran dari keterpilihan semua presiden adalah konteks sosial dan politik yang tidak sama.

SBY naik karena banyak yang tidak setuju dipimpin perempuan, kemudian butuh figur antitesis. Jokowi naik karena saat itu ada ketidakpuasan pada pemerintahan SBY, yang di masa akhir-akhir periodenya, muncul banyak kasus korupsi di Partai Demokrat.

Saat ini, kepuasan pada pemerintah masih cukup tinggi, sebagaimana bisa dilihat pada hasil survei banyak lembaga. Jokowi masih keliling Indonesia untuk meresmikan berbagai proyek infrastruktur.

Namun, dalam politik, segala hal bisa terjadi, sepanjang dirancang dengan baik dan dikelola dengan benar. Jika memilih jalur oposisi, Nasdem akan lebih tegas dalam bersinergi dengan capres Anies untuk menurunkan kartu yang bikin gerah pemerintah.

Saatnya mengeser isu pada agenda-agenda perubahan. Pengalaman selama di pemerintahan akan menjadi amunisi berharga dalam merumuskan apa saja titik lemah di pemerintahan, yang harus dibenahi ke depan.

Nah, bisakah Nasdem mengusung arus perubahan dengan para elite yang terbiasa nyaman di pemerintahan?

Bahkan untuk mengendalikan Demokrat dan PKS untuk pengumuman koalisi bersama, Nasdem gagal. Dari sisi politik, Demokrat tentunya tak ingin dalam kendali Nasdem, mengingat mereka punya sumber daya politik dan perolehan suara lebih besar. Sementara PKS bisa jumawa sebab menilai diri lebih matang di jalur oposisi.

Di sisi lain, sumber daya Nasdem jelas tak berdaya menghadapi semua sumberdaya yang saat ini digenggam Jokowi. Saat ini, kendali kuasa politik dan ekonomi masih di tangan Jokowi. Jemari Jokowi masih bisa mengendalikan para pengusaha, konglomerat, kartel, dan semua barisan pemain politik.

Bisakah Nasdem menang hanya dengan mengandalkan kader yang ideologinya rapuh, selalu melihat celah untuk menang, dan siap jadi kutu loncat saat partai ditinggalkan?

Mengutip Otto van Bismarck, “Politics is the art of the possible, the attainable — the art of the next best.” Politik adalah seni dari kemungkinan, sesuatu yang dapat dicapai –seni dari pilihan terbaik berikutnya.

Di jenggot Surya Paloh, publik Nasdem menggantungkan harapan untuk masa depan partai yang lebih baik.



Buku yang Saya Sukai di Tahun 2022


Anna di depan buku-buku di rumah saya


Tahun 2022 menjadi tahun yang sibuk. Work from Home (WFH) mulai berkurang. Pandemi mulai reda. Aktivitas perkantoran mulai sibuk. Di tahun ini, saya sibuk berkantor. Ada beberapa target yang harus dikejar. 

Namun, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, aktivitas saya hanya berkisar di tiga hal: membaca, menonton film, dan menulis. Entah kenapa, saya susah melepaskan diri dari tiga aktivitas ini. Di luar itu, lebih banyak kumpul-kumpul bareng kawan-kawan. 

Rupanya, pilihan buku bacaan selalu ditentukan kebutuhan dan aktivitas. Saat masih aktif di kampus, saya suka buku-buku riset dan akademik. Begitu keluar dari kampus dan bekerja di satu korporasi, bacaan saya pun berubah. Kini lebih suka hal-hal praktis dan ringan-ringan.

Selama tahun 2022, saya tetap rutin membeli dan membaca buku. Namun, saya juga banyak membeli buku digital, yang dibaca melalui aplikasi berbayar di android. Saya menulis secara acak, beberapa buku yang saya sukai.


Psychology of Money (Morgan Housel)

Terjemahan buku ini terbit sejak 2021, tapi saya baru membacanya di tahun 2022. Isinya cukup mengejutkan saya yang sangat awam dengan hal-hal finansial. Buku ini memberikan terang bagaimana memahami uang dan prilaku manusia.


Suka atau tidak suka, kebanyakan manusia modern menjalani hidup semata-mata untuk mengejar uang, demi status sosial serta angan-angan hidup yang lebih baik. Demi uang, kita rela melakukan apapun.

Namun, buku ini tidak berisi kiat, motivasi, dan strategi mendapatkan uang secepat-cepatnya. Isinya lebih ke arah pemahaman psikologi mengenai uang. Kita diajak mengenali siapa-siapa orang terkaya di dunia, serta mengapa mereka bisa kaya.

Buku ini ringan dan cocok dibaca untuk para beginner, seperti saya, yang baru belajar bagaimana mengelola uang. Pelajaran penting yang saya petik di buku ini adalah kekayaan adalah buah dari kemampuan untuk mengelola keuangan dengan baik, sembari tetap memelihara rasa lapar untuk mencari uang.


Cendekiawan dan Transformasi Sosial (Sonny Karsono)

Di jajaran buku riset sosial dan humaniora, buku Cendekiawan dan Transformasi, terbitan LP3ES ini adalah favorit saya. Buku ini adalah disertasi Sonny Karsono yang berisikan kiprah cendekiawan kritis di era Orde Baru. Saya mengenal baik Sonny Karsono, selama studi di Amerika Serikat.

Buku ini menyajikan lintasan ide-ide di masa Orde Baru yang dipantik oleh tiga sosok aktivis muda. Mereka berasal dari latar kelas menengah, yang pernah menyumbangkan Oder Lama, kemudian mengisi perjalanan Orde Baru dengan pendekatan modernisasi dan pembangunanisme.


Di zaman ketika Indonesia tengah mabuk dengan wacana pembangunan, ketiga sosok ini sudah berbicara tema-tema seperti partisipasi, bottom-up approach, hingga perspektif kritis serta Marxisme. Melalui publikasi berupa buku dan jurnal Prisma, mereka membawa perspektif baru agar rakyat Indonesia tetap kritis dalam melihat proyek pembangunan dari pemerintah.

Buku ini bisa menjadi “lubang kunci” untuk meneropong apa yang terjadi di masa itu. Kata Geertz, “a vehicle of meaning” untuk melihat kenyataan yang lebih luas, bisa menjadi jendela untuk melihat realitas sosial, menyaksikan bagaimana benih-benih ide aktivisme tumbuh dari lahan gembur kelas menengah, yang jenuh melihat kampanye ideologi di masa Orde Lama.


Hidup Bersama Raksasa (Tania Li & Pujo Semedi)

Sejak beberapa tahun lalu, saya menjadi fans berat Tania Murray Li. Saya mengoleksi banyak bukunya. Mulai Will to Improve, Land’s End, hingga buku terbarunya berjudul Hidup Bersama Raksasa, yang merupakan terjemahan dari Plantation Life.

Tania Li selalu menulis etnografi tentang mereka yang terabaikan dalam proyek besar bernama pembangunan. Dia memihak masyarakat adat dan komunitas yang terpinggirkan. Semua bukunya adalah hasil riset lapangan, perjumpaan dengan mereka di kampung-kampung, lalu menuliskan kisah-kisah yang menarik dan menyayat hati.


Berkat Tania Li, saya belajar memahami banyak kepingan realitas tentang apa yang terjadi di tanah air kita, Indonesia. Selama ini kita merasa baik-baik saja, tanpa tahu apa yang dialami anak bangsa di banyak lokasi.

Dulu, ketika melihat produktivitas dan ketekunan Tania Li sering kali bikin iri. Saya jarang membaca akademisi Indonesia yang seproduktif dan setekun Tania Li. Kebanyakan akademisi kita hanya menjadi pengulas buku Tania Li, tanpa ada ikhtiar untuk menulis riset lapangan sebagaimana Tania Li Sekian tahun merdeka, kita belum bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Di ranah akademik, kita selalu menjadi konsumen, bahkan terhadap isu mengenai tanah air kita sendiri.

Satu hal yang menggembirakan, di buku ini, Tania Li bermitra dengan dosen UGM yakni Pujo Semedi. Semoga semakin banyak anak bangsa yang ikut meramaikan wacana akademik mengenai Indonesia di panggung antar bangsa.


Think Again (Adam Grant)

Buku ini datang pada saat yang tepat. Saat membacanya, saya sedang galau karena beberapa kali debat kusir di kantor. Saya merasa banyak ide-ide saya yang tidak dipahami sehingga memicu perdebatan. 

Sejak bekerja di tempat baru, saya harus belajar bernegosiasi dan meyakinkan orang lain. Sering kali, saya emosi lalu mempengaruhi kemampuan dalam menyampaikan argumen. Saat emosi, separuh pengetahuan hilang. Saya pun kalah negosiasi.

Padahal kata Adam Grant, seorang profesor bidang psikologi organisasi di Amerika Serikat, jangan pernah menganggap debat sebagai perang di mana ada kalah dan menang.


Debat yang baik bukanlah perang. Bukan seperti pemainan tarik tambang di mana kita bisa menyeret lawan ke sisi kita. Debat adalah tarian tanpa koreografi. Kita saling menari dengan musuh lalu saling memahami langkah masing-masing.

Buku menekankan pada pentingnya sikap ilmiah untuk selalu skeptis dan membuka pikiran pada banyak pendapat berbeda. Banyak pebisnis yang gagal karena terlalu kaku dan melihat dengan kacamata kuda. Dengan membuka perspektif dan peka pada ide-ide baru, seseorang bisa menangkap nuansa perubahan dan menerapkannya untuk dirinya dan organisasi.


Give and Take (Adam Grant)

Ini buku kedua dari Adam Grant yang saya baca. Isinya sama menariknya dengan Think Again. Dia menjelaskan rahasia kesuksesan banyak orang hebat adalah dengan sering memberi atau menjadi giver. 

Namun, Giver yang dimaksud bukan mereka yang setiap saat memberi. Melainkan mereka yang selalu tahu kapan harus memberi. Mereka yang berorientasi ke depan, lalu menjadikan pemberian sebagai strategi untuk merekatkan jaringan-jaringan sosial.


Buku ini mengingatkan saya pada The Gift yang ditulis Marcell Maus. Sejak dulu, berbagai suku bangsa saling memberi sesuatu demi memperkuat jaringan sosial. Bedanya, Adam Grant melihat fenomena di ranah bisnis, di mana pebisnis paling handal adalah mereka yang suka membantu orang lain, sehingga pada satu titik, semua jaringan itu bisa bekerja untuknya.

Di era kekinian, semua pekerjaan selalu berbasis pada jaringan. Makanya, istilah "Your Network is Your Net Worth" sangat tepat. Melalui silaturahmi dan pemberian, seorang Giver akan terus memperluas jaringan sosialnya, sehingga hubungan-hubungan itu membuahkan hasil kepadanya.


Manusia dalam Kemelut Sejarah (Taufik Abdullah dkk)

Ini salah satu buku terbaik mengenai tokoh-tokoh sejarah Indonesia. Pertama diterbitkan tahun 1978, buku ini terus direproduksi karena kualitas serta bacaan yang mendalam. Mulanya, buku ini adalah artikel yang ditulis di Jurnal Prisma. 


Para penulisnya adalah intelektual paling cemerlang di masa itu, namun hingga kini, sulit menemukan cendekiawan dengan jelajah intelektual sedalam mereka. Nama-nama penulis artikel di buku ini sudah menjadi legenda di kalangan intelektual masa kini.

Betapa menariknya mengikuti kemelut manusia yang ditulis Taufik Abdullah, kisah Sukarno yang ditulis sejarawan Onghokham, Jenderal Soderman yang ditulis Nugroho Notosusanto, Sjahrir dalam tinjauan YB Mangunwijaya, Tan Malaka yang ditulis Alfian, hingga Kahar Muzakkar yang dibahas Mattulada.

Saya senang bisa kembali membaca dan menyelami samudera tokoh-tokoh nasional yang ditulis apik oleh para cendekiawan hebat yang telah banyak membuat goresan penting tentang bangsa ini.


Ekspedisi Rempah, Ekspedisi Teh, Ekspedisi Kopi (Kompas)

Saya selalu suka buku-buku mengenai perjalanan, apalagi jika ada misi atau sesuatu yang hendak dtemukan dalam perjalanan itu.  Buku-buku ini mengingatkan saya pada catatan George Marcus mengenai milti-site ethnography dalam buku Writing Ethnographic through Thick and Thin. 

Menurut George Marcus, seorang peneliti tidak selalu mengikuti subyek, namun bisa pula “follow the object” untuk memahami dinamika. Dalam buku-buku ini, pihak jurnalis Kompas menjadikan rempah, the, kopi sebagai titik nol untuk ditelusuri. 


Buku ini menyajikan perjalanan ke sentra-sentra komoditas, berinteraksi dengan para petani, pedagang kecil, hingga melihat perubahan sosial di berbagai desa-desa.

Hasilnya adalah deskripsi dan foto-foto menarik tentang kondisi terkini di arena yang menghasilkan komoditas ini. Kita menyaksikan potret, yang tak selalu cerah, tetapi juga buram mengenai komoditas yang dahulu membawa harum nama Nusantara, kini hanya bisa mengenang masa-masa kejayaan karena perubahan pola ekonomi.


Gadis Kretek (Ratih  Kumala)

Dulu, saya sering lihat novel ini di etalase toko buku. Saat itu tak ada niat membacanya. Padahal novel ini sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.  Namun setelah membaca berita kalau novel ini akan difilmkan Netflix, dan akan diperankan Dian Sastro, saya penasaran.  Mulailah saya membacanya hingga tuntas.


Kisahnya sangat menarik tentang cinta di sela-sela bisnis kretek di masa pra-Indonesia merdeka hingga masa-masa 1960-an. Ada banyak peristiwa sejarah yang mempengaruhi alur kisah cinta itu. Alurnya maju mundur. Ada seorang lelaki tua yang sekarat, lalu menyebut nama seorang perempuan. Anak-anaknya lalu bergerak mencari perempuan yang disebut lelaki itu. 

Sepanjang pencarian, terungkap kisah cinta dan bisnis kretek di satu rentang sejarah. Kisah cinta itu tidak happy ending, sebab situasi tidak memberi dukungan bagi cinta mereka. Di akhir cerita, anak-anaknya mau memperbaiki keadaan dan berdamai.


Politik Dinasti Keluarga Elite Jawa Abad XV-XX (Heather Sutherland)

Mulanya saya tertarik membaca buku ini karena ada sosok seperti Jokowi. Saya pikir isinya mengenai bagaimana Jokowi melanggengkan kekuasaan. Ternyata isi buku merentang jauh ke genealogi atau asal-muasal munculnya dinasti politik di Indonesia.

Dalam buku yang versi aslinya berjudul Notes on Java’s Regent Families, Heather Sutherland memaparkan bagaimana para elite Jawa mempertahankan kuasa dengan cara membangun dinasti.


Heather mengurai berbagai upaya kolonial melanggengkan kekuasaan para elite Jawa. Politik dinasti terjadi saat kekuasaan dikuasai satu keluarga besar secara turun-temurun. Sutherland menunjukkan bagaimana elite politik masa lalu menjaga lambang-lambang kebangsawanan dengan gelar-gelar. Gelar kebangsawanan akan didapatkan juga oleh keturunan yang menggantikannya.

Seorang elite akan memakai nama dan gelar yang kemudian diturunkan ke anaknya. Gelar ini bisa berganti apabila dinasti politik tersebut terputus. Selain itu, seorang elite akan menampilkan pakaian, gaya hidup, tempat tinggal, serta posisi yang memberinya akses untuk tetap menjaga warisan supremasi sebagai penguasa.

Buku ini terasa aktual karena juga terjadi pada masa sekarang. Kesimpulannya, apa yang terjadi di masa sekarang adalah warisan berpikir yang sudah ada sejak masa lalu. Sejarah selalu berulang.


Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital (Agus Sudibyo)

Ini buku menarik yang saya baca di penghujung tahun. Buku ini bercerita mengenai strategi media dalam menghadapi disrupsi atau perubahan. Di era cetak, media bisa mengontrol bisnis, mengetahui jumlah pelanggan, dan membuat target iklan yang tepat. 


Kini, di era media online, media sangat tergantung pada teknologi. Lebih dari 70 persen iklan dikuasai oleh Google dan Facebook. Media online hanya memperebutkan remah-remah yang tak seberapa. Mereka tunduk pada algoritma serta hanya bisa berada dalam garis yang ditetapkan pemilik platform teknologi.

Media berusaha untuk bertahan. Media membangun jejaring dan ekosistem yang saling mendukung. Kian sempitnya ceruk bisnis media, sebab dikuasai pemilik platform teknologi, membuat semua media berusaha untuk bertahan. Mereka coba maksimalkan jaringan dengan pemerintah daerah, juga 

Buku ini melengkapi tiga buku sebelumnya yang ditulis Agus Sudibyo yakni Jagad Digital, Tarung Digital, dan Dialektika Digital. Bedanya, buku ini fokus membahas menenai industri media nasional yang digempur sistematis oleh pemilik platform digital.

Bacaan menarik di akhir tahun.


Yang Tidak Dikatakan soal Pekerja Media (Citra Maudy Mahanani)

Buku ini menyajikan sesuatu yang muram. Kita setiap hari membaca produk media, namun lupa untuk mengetahui bagaimana kondisi para jurnalis. Buku tipis ini menyajikan riset menarik tentang para pekerja media yang berusaha untuk tetap bertahan dalam sistem yang tidak adil.


Para jurnalis menghadapi eksploitasi dalam bekerja. Mereka berada pada sistem bisnis yang semakin liberal serta undang-undang buruh yang dianggap kurang berpihak. Buku ini mencoba menelusurinya dengan cara mewawancarai sejumlah jurnalis untuk mengetahui sejauh mana serikat pekerja media berdampak bagi mereka.

Buku ini memotret voice of voiceless, suara dari mereka yang tak bersuara. Buku ini menyajikan telaah ekonomi politik yang kritis mengenai kapitalisme, gig economy, hingga sharing economy yang hanya ramah di sisi bisnis dan teknologi, namun sangat eksploitatif di kalangan pekerja. 

Buku ini cocok dibaca pemerintah yang setiap saat bicara ekonomi 4.0, sembari menatap nasib pekerja yang kian takluk dalam mekanisme kerja berbasis algoritma, yang platform kerjanya ditentukan perusahaan teknologi.

*** 

Ini hanya beberapa judul buku yang terlintas. Seain buku di atas, saya juga membaca ulang beberapa buku bagus. Tidak semuanya bisa saya tampilkan di sini. Ada yang sedang dalam proses membaca. Di antaranya adalah buku Think Like a Freak yang ditulis Steven Levitt dan Stephen J Downer.

Saya juga sedang membaca buku Geography of Dream yang ditulis penulis asal Korea, Eje Kim dan Ashley. Bukunya lebih ringan dari buku yang dibuat Eric Weiner. Membaca buku ini bikin semangat untuk traveling kembali berkobar.

Semoga tahun 2023 akan semakin banyak buku bagus dan bermutu. Jika saya ditanya seperti apa surga, maka saya akan menjawab surga adalah rumah yang dipenuhi buku-buku.


BACA JUGA:

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2021

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2020

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2019

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2018

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2015



Dulu Gereja Maradona, Kini Gereja Messi

Mural Messi dan Maradona

Mulanya semua hening. Saat bola yang disepak Gonzalo Montiel, pemain Argentina, masuk ke gawang Prancis, semua heboh dan histeris. Rasa gembira serupa balon yang dilepas ke udara.

Hari itu, semua pendukung Argentina merengkuh bahagia setelah sekian lama diterpa panas kering derita. Semua bersorak ke angkasa.

Di satu sudut kota Rosario, Argentina, bel berdentang dari gereja yang disebut Iglesia Maradoniana atau Church of Maradona. Suaranya menggema hingga jauh. Di gereja inilah, semua ritual dan pemujaan pada bintang bola Diego Maradona dilantunkan ke langit.

“Jika Maradona adalah Tuhan, maka Messi adalah Juru Selamat,” kata Hernan Amez, salah seorang pengurus Iglesia Maradoniana.

Bagi rakyat Argentina, Maradona setara dengan Dewa. Dia adalah sosok yang menghadirkan bahagia, serta menyatukan semua kelompok. Bola serupa jalan yang mengekspresikan kecintaan, sekaligus menghadirkan kekuatan.

Gereja itu menggelar ritual mengenai Maradona. Ulang tahun Maradona, 30 Oktober, diabadikan sebagai hari Natal agama tersebut. Tanggal 22 Juni adalah Hari Paskah. Di hari itu, Maradona mencetak dua gol di gawang Inggris, yang dianggap sebagai gol terbesar dalam sejarah sepakbola.

Hubungan Maradona dan Messi terlihat pada mural di sudut kota Buenos Aires. Mural itu meniru lukisan seniman Michaelangelo di Gereja Sistine, yag menampilkan Tuhan dan Adam. Di mural itu, figure Tuhan digambarkan sebagai Diego Maradona, sedang Adam adalah sosok Lionel Messi.

"Bagi kami, lapangan sepak bola ini adalah gereja kami, tempat suci dan gambar ini memang layak dipasang di tempat ini," kata Ricardo Elsegood, seorang warga.

Dalam versi lukisan Michelangelo yang berjudul "Penciptaan Adam," Tuhan dikelilingi oleh para malaikat.

Sementara mural di Argentina, Maradona dikelilingi para bintang timnas negara itu. Di antaranya adalah Juan Riquelme, Gabriel Batistuta, Mario Kempes, Sergio Aguero, Claudio Caniggia, Ricardo Bochini, dan Ariel Ortega. Semuanya mengenakan pakaian putih bergaris biru yang dikenakan para pemain bola.

Santiago Barbeito, sang pelukis, menyebut makna dari karyanya adalah proses regenerasi yang terus menerus di tubuh timnas Aregntina. "Maradona mewariskan sepak bola yang hebat ke tangan Messi," kata Barbeito.

Hernan Ames mengatakan, Messi adalah harapan hidup. Messi dinilai mampu membawa rakyat Argentina turun ke jalan-jalan untuk selebrasi, sebagaimana dulu dilakukan Maradona.

Satu-satunya hal yang dibutuhkan untuk menyamai Maradona adalah membawa rakyat Argentina ke jalan-jalan untuk kebahagiaan sebuah kemenangan. Seperti halnya Maradona yang memenangkan pertandingan ikonik pada Piala Dunia tahun 1986.

Kini, Messi sukses mengemban misi tersebut. Dia menuntaskan perannya sebagai Messiah atau Juru Selamat. Dia memenuhi semua harapan dan keinginan rakyat Argentina yang tengah dilanda krisis ekonomi.

Messi tak pernah mengomentari perannya sebagai Juru Selamat. Dia tetap menjadi seorang penganut Katolik yang taat. Di lengan kanannya, terdapat tato Yesus Kristus. Di siku kanannya, ada tato Jendela Mawar, sebuah jendela yang terletak di Gereja Sagrada Familia di Barcelona.

Nazar Messi

Di tahun 2017, setahun sebelum Piala Dunia 2018 di Rusia, Messi sempat bernazar. Jika Argentina memenangkan Piala Dunia, dia akan merayakannya dengan berlari sejauh 31 mil dari rumahnya di Rosario, Argentina, ke Sanctuary of Our Lady of the Rosary yang terletak di San Nicolas.

Setiap tahun di bulan September, ratusan ribu umat Katolik melakukan perjalanan dengan berjalan kaki ke San Nicolas, tempat suaka dan pusat penyebaran Katolik Argentina.


Saat itu dia gagal, kini dia bisa kembali mewujudkan obsesinya. Dia selalu menyebut bakatnya datang dari Tuhan, dan kepada Tuhan pula dia persembahkan semua kemenangannya.

Namun di mata para fans garis keras, yang mendirikan Gereja Maradona, Messi akan selalu jadi Juru Selamat. “Messi membela kondisi kemahakuasaan dan kemahatahuan Maradona. Kalaupun Maradona mati, dia tetap abadi. Dia tidak meninggalkan kami,” kata Hernan Ames.

Apakah setelah berhasil membawa Argentina juara, Messi akan sejajar dengan “Tuhan” Maradona?

Hernan Amez tidak menjawab. Namun Camilo Quinteros, sosiolog di Kolombia, menyebut bisa saja ada Gereja Messi dalam waktu dekat. Dia menyebut sejarah agama selalu berawal dari kegembiraan dan kebahagiaan yang berhasil diwujudkan seseorang.

“Dalam konteks ini, Messi hadir membawa kisah-kisah kejayaan untuk bangsanya. Dia datang sebagai pelipur lara bagi orang-orang yang hampa dengan kisah hebat,” katanya.

Di negeri latin, sepakbola pun bisa menjadi agama. Dan pemainnya bisa menjadi dewa. Semua mendambakan kegemilangan setelah dihantam panas kering kerontang akan gelar juara.

Semua gembira karena Messi.