Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Kebudayaan adalah Dialog Kreatif


KEBUDAYAAN bukanlah benda statis yang jatuh dari langit dan kita memperlakukannya sebagai warisan. Kebudayaan bukan pula sesuatu yang harus dilestarikan sebagaimana benda-benda kuno, arca, atau candi. Kebudayaan adalah dialog-dialog yang kreatif, sesuatu yang dinamis, mengalir teratur di sela-sela kreatifitas manusia dalam menjawab semua dinamika di zamannya.

Dan tatkala kebudayaan Buton mengalami dialog-dialog dengan kebudayaan Korea, maka itu harus ditafsir sebagai adaptasi kreatif demi menemukan jawaban atas situasi zaman hari ini. Dua kebudayaan tersebut saling berkelindan, namun tetap mempertahankan porosnya masing-masing sesuai pandangan dunia dan dinamika yang dihadapinya. Betapa tidak relevannya pembicaraan tentang hegemoni budaya, sebab yang terjadi adalah dialog-dialog yang saling memperkaya makna kebudayaan masing-masing.




Demikian kesan saya saat menyaksikan pagelaran seni kebudayaan Buton saat tampil di hadapan ribuan rakyat Korea. Pagelaran itu menampilkan sintesis sekaligus dialog antar elemen kebudayaan. Pagelaran itu menunjukkan bahwa pada tingkat lokal, kebudayaan terus memperkaya dirinya, kebudayaan terus mengalami adaptasi internal.





Kampung Korea di Pulau Buton


INDONESIA adalah negeri yang amat kaya dengan berbagai tradisi dan kebudayaan. Kita tak sanggup mengenali satu per satu dari ribuan kebudayaan yang hidup dan berdenyut di negeri ini. Namun, tahukah kita bahwa sebuah etnis kecil di Pulau Buton punya nama yang sangat harum di negeri Korea Selatan? Tahukah kita bahwa bangsa Korea begitu peduli dengan keberadaan satu etnis di Tanah Air kita?

Yup. Nama etnis tersebut adalah etnis Cia-Cia. Satu etnis besar yang ada di Kota Bau-Bau, yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Pada masa silam, etnis ini adalah bagian dari keragaman etnis di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Kini, etnis ini banyak menjadi buah bibir di Korea karena keberaniannya untuk mengadopsi huruf hangeul –huruf khas Korea– untuk menuturkan bahasa Cia-Cia. Pemerintah Kota Bau-Bau bekerja sama dengan Hunminjeongeum Research Institute –lembaga riset bahasa Korea– telah menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Huruf ini dipelajari di semua tingkatan pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Bagi saya, ini jelas sangat menarik dan menunjukkan bagaimana respon dan adaptasi lokal terhadap globalisasi.

Dalam kunjungan saya ke pemukiman masyarakat Cia-Cia di Kecamatan Sorawolio di Kota Bau-Bau, saya menyaksikan plang jalan yang bertuliskan nama jalan yang ditulis dalam dua jenis huruf yakni huruf latin dan huruf Hangeul. Seorang kawan yang melihat plang jalan tersebut berseloroh bahwa ini adalah lokasi film drama-drama Korea. Saat singgah ke beberapa sekolah, saya diperlihatkan panduan belajar bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Saya malah sempat bertemu dengan beberapa mahasiswa asal Korea yang sedang praktik mengajar di beberapa sekolah.

Sejak beberapa tahun terakhir ini, nama Cia-Cia sontak populer di Negeri Ginseng. Banyak jurnalis Korea dan Jepang yang khusus datang meliput di Bau-Bau. Beberapa media internasional ikut meliput antusiasme warga Cia-Cia yang mempelajar karakter huruf Korea. Di antara liputan media internasional tersebut, bisa dilihat Di SINI, DI SINI, DI SINI, dan DI SINI.

Saya sendiri mengkliping beberapa liputan media internasional. Dari berbagai liputan tersebut, terselip rasa optimisme sekaligus pesimis. Beberapa media, khsusunya yang terbit di Jepang, yang melihat itu sebagai lompatan besar dari ekspansi bangsa Korea secara perlahan-lahan di Bau-Bau. Ada semacam protes mengapa harus huruf Korea yang diperkenalkan. Tetapi, saya juga membaca beberapa liputan yang melihat kerjasama ini sebagai hal yang unik dan berwawasan jauh ke depan. Bagi orang Korea sendiri, kerjasama ini jelas hal yang memberikan rasa bangga kepada kebudayaannya sendiri. Fakta bahwa ada satu etnis yang jauh dari negerinya dan tiba-tiba mempelajari bahasanya secara intens menghadirkan kebanggan buat mereka. Pantas saja, liputan tentang Bau-Bau beberapa kali diputar di stasiun televisi Korea. Pantas pula jika banyak mahassiwa Korea yang ke Bau-Bau untuk mengajar bahasa.

Beberapa siswa, guru, masyarakat Cia-Cia, serta pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Bau-Bau diundang langsung ke Korea. Bersama Walikota Bau-Bau Amirul Tamim, mereka mendemonstrasikan kemampuan menuliskan huruf Hanggeul untuk bahasa Cia-Cia. Bahkan, beberapa guru dari Korea didatangkan langsung ke Bau-Bau untuk mengajarkan huruf Haenggul. Mereka menyempurnakan kurikulum serta menjadi pembuka jalan bagi dibangunnya Pusat Kebudayaan Korea (Korean Center) yang rencananya akan dibangun dengan biaya Rp 1 miliar di Bau-Bau. Pemerintah Korea telah mendatangkan seorang arsitektur kenamaan untuk membuat bangunan besar yang memadukan arsitektur tradisional Korea dengan arsitektur istana Kesultanan Buton. Tak hanya itu, juga akan dibangun infrastruktur pendukung berupa resort center, kompeks perhotelan, serta masuknya perusahaan tambang asal Korea.

Warga Cia-Cia sendiri melihat itu dengan penuh kebanggaan. Beberapa warga telah dikirim ke Korea untuk memperdalam pengetahuan bahasa. Belum lama berselang, dalam acara pertemuan akbar yang dihadiri sekitar 5.000 warga Korea di Jakarta, masyarakat Cia-Cia ikut diundang untuk mementaskan tarian Buton. Saat itu pula, seorang diva pop Korea yakni Jang Yun Jeong Park atau lebih akrab disapa Jang Yun Jeong dinobatkan sebagai Putri Cia-Cia yang akan mempromosikan Cia-Cia dan Bau-Bau ke negeri ginseng tersebut.

Awal Kerjasama

Bagaimanakah kisah awal diperkenalkannya huruf Korea? Menurut banyak pihak, pada tahun 2005, Pemkot Bau-Bau bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) menggelar Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara. Dalam simposium ini, seorang pemakalah asal Korea Prof Chun Thay Hyun tertarik dengan paparan tentang keragaman bahasa dan adat istiadat di wilayah eks Kesultanan Buton. Ia lalu menyempatkan waktu untuk penelitian selama beberapa waktu. Ia lalu memilih Cia-Cia dikarenakan wilayah ini belum memiliki alfabet sendiri, serta adanya kesamaan pelafalan dan struktur bahasa dengan Korea.

Dalam wawancara dengan Korean Times, Prof Chun Thay Hyun –pengajar di Seoul National University– mengatakan upaya ini tidak untuk melakukan Koreanisasi atas kebudayaan Buton. Upayanya adalah mempertahankan bahasa-bahasa yang hidup di Kesultanan Buton melalui alfabet korea. “In Indonesia, ethnic minority communities are losing their own spoken languages. We realized that the Korean alphabet could actually help preserve these endangered local languages.” Sementara bagi Pemerintah Kota Bau-Bau, langkah ini jelas akan memberikan efek kerjasama yang luas di masa mendatang. Dengan kerjasama itu, Cia-Cia akan dikenal oleh dunia luar dan kelak akan memberikan manfaat berupa kerjasama di bidang investasi dan kebudayaan.

Bekerjasama dengan sejumlah lembaga kebudayaan yang disponsori bangsawan tradisional Korea, Chun lalu mengundang pihak Pemkot Bau-Bau dan sejumlah masyarakat Cia-Cia untuk berkunjung ke Korea. Dalam kunjungan tersebut, disepakati kerjasama berupa uji coba karakter huruf Hanggeul untuk melafalkan bahasa Cia-Cia sejak tahun 2007. Dalam kunjungan itu, juga dipekati kerjasama antara Walikota Bau-Bau dengan Walikota Seoul dan Busan, dua kota utama di Korea Selatan.

Kini, selangkah lagi Korean Center akan berdiri di Bau-Bau. Sebagai seorang warga yang berdiam di pulau ini, saya melihatnya dengan optimis sekaligus cemas. Mungkin kelak Bau-Bau akan menjadi kota yang dikenal di mancanegara dan hilir-mudik banyak orang korea berseliweran di daerah ini. Tapi, saya juga khawatir kelak kebudayaan Buton akan tinggal nama. Kebudayaan Buton hanya menjadi catatan kaki dari pencapaian emas jejak kebudayaan Korea yang merambah jauh hingga ke sini.

Bagaimanakah tanggapan anda?

Pulau Buton, 27 Februari 2010

Selamat Hari Saraswati



HARI ini adalah hari Saraswati. Entah, apakah kamu masih menganggap hari ini penting ataukah tidak. Aku sendiri tidak pernah berniat mencatat seberapa penting hari ini. Tapi, saat baca Kompas.com, di situ tertera berita tentang hari Saraswati yang dirayakan meriah bagi para penganut Hindu. Beritanya DI SINI.

Sungguh, aku langsung teringat sosokmu. Perayaan hari ini telah mematrikan ingatanku atas sosokmu. Entah sejak kapan kau menyandang gelar Saraswati di hatiku. Kalau tak salah, nama ini mencuat di sela-sela obrolan di sore hari saat melihat teduhnya pemandangan di tepi danau, depan pondokmu. Di tepi danau itu, wajahmu memantulkan semburat cahaya keemasan. Kau sedang tersenyum saat menemaniku berbincang tentang jauhnya penjelajahan manusia di langit-langit pengetahuan. Dengan caramu yang unik, kau memberikan sebersit inspirasi. Melalui dialog-dialog kita yang sederhana, kau telah membuka mata batinku untuk melihat lebih terang, menembus satu kenyataan.

Mulanya, semuanya biasa saja. Hingga suatu malam --di tengah lelapnya tidur--, aku menyaksikanmu memakai mahkota emas. Kau duduk di atas bunga teratai, yang belakangan kuketahui adalah lambang ilmu pengetahuan yang mengalir jernih menuju samudera pengetahuan manusia. Di atas teratai itu, kau begitu agung, dengan sorot mata yang penuh wibawa. Manusia modern menyebut itu mimpi, kembang tidur yang menghiasi lelap. Tapi, aku merasa lebih dari itu. Ada semacam isyarat yang kemudian membuatku yakin bahwa engkau adalah sosok yang selama ini kucari-cari di setiap lembar buku yang kubaca.

Hingga suatu hari, aku tersentak ketika membaca sebuah buku mitologi dan menemukan bahwa sosok yang pernah kusaksikan rupanya adalah saraswati. Mungkin aku agak berlebihan. Tapi, aku teringat senja di tepi danau, kemudian mimpi yang datang berkunjung. Aku terkejut. Kaulah Saraswati yang selama ini menjadi mercusuar dalam ziarah pencarianku. Kau adalah percik pengetahuan yang terus menerbangkan imajinasiku untuk terus mengarungi mega-mega. Kau adalah tetes embun yang menjaga sejuknya pencarianku di dataran cinta yang gersang. Kau adalah angkasa pengetahuan, awan-awan yang terus menyiramiku dengan hujan-hujan kasihmu. Untuk pertama kalinya aku merasakan indahnya cinta yang digdaya di tengah gelombang.

Aku melekatkan nama Saraswati pada sosokmu, tidak tanpa tujuan. Bagi umat Hindu, Saraswati adalah dewi yang merepresentasikan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Sementara bagi orang Yunani, Saraswati adalah sosok Athena. Bagiku, kau adalah kombinasi dari dua dewi pengetahuan yang kelak menjaga agar intelektualitas tetap dalam koridor. Kau akan menjaga gerbang kebijaksanaan di sepanjang tarian intelektualitas yang kita reguk bersama. Kelak kau akan mendidik Athena dan Saraswati baru yang akan mendoakan kita agar tenang di langit sana.

Selamat hari Saraswati....

Sensasi Saat Menelusuri Gua Lakasa

SAYA bukan seorang penjelajah gua yang handal. Bukan pula seorang anggota pencinta alam yang kerap menyusur gua. Namun, ketika menyusuri keindahan Gua Lakasa yang terletak di dekat Pantai Nirwana di Pulau Buton, saya dikepung satu perasaan yang berbeda. Semacam rasa petualangan yang gairahnya meletup-letup. Mungkin inilah yang dialami para penyusur gua. Semacam rasa petualangan yang nikmat dan menimbulkan ketagihan.


Telah lama saya memendam keinginan menelusuri Gua Lakasa. Tapi, baru dua hari yang lalu rasa penasaran itu terpuaskan. Bersama tiga orang sahabat yakni Dambo, Epri, dan Lulu, saya merencanakan penelusuran ke gua ini. Sehari sebelumnya, kami sempat tersesat. Tapi, setelah tanya sana-sini, akhirnya bisa pula saya temukan jalan menuju Gua Lakasa. Malah, jalan menuju gua sudah dibenahi. Sudah ada tempat parkir serta jalan setapak yang apik menuju gua. Maka kesanalah kami memulau petualangan.



Mulanya, saya berpikir bahwa gua ini sudah dibenahi pemerintah. Misalnya sudah dibuatkan jalan yang cukup memadai. Saya membayangkan gua-gua yang berisi kerangka mayat di Toraja. Karena seringnya dilalui wisatawan, gua-gua Toraja jadi tidak angker. Tak ada sensasi selain dari melihat keranda mayat yang berserakan. Jaraknya juga pendek.




Nah, Gua Lakasa menyajikan pemandangan berbeda. Begitu mulai memasuki gua, saya terkejut dengan lubang pintu masuk yang hanya seukuran orang dewasa. Itupun, kita mesti jongkok untuk bisa masuk. Baru masuk semeter, jalanan lalu curam ke bawah. Kita mesti berhati-hati. Gelap minta ampun. Tak ada setitik cahaya. Untungnya, kami membawa dua senter yang kemudian berperan amat vital untuk memandu perjalanan.

Gua ini cukup panjang. Kami terus jalan menurun dengan lereng yang terjal dan curam. Dinding gua lembab. Berair. Saya sempat khawatir kalau-kalau banyak ular yang berumah di gua itu. Makanya, pandangan saya jadi liar ke kiri ke kanan. Pada beberapa tempat, saya menemukan stalagtit yang menggantung di langit-langit gua. Di bawahnya ada pula stalagnit yang berbentuk tombak. Saya pernah membaca artikel bahwa terbentuknya batuan itu bisa memakan waktu sampai ribuan tahun. Makanya, saya sangat menyesalkan ketika menemukan beberapa stalagtit yang patah di beberapa sudut gua. Ini aksi vandalisme yang merusak keindahan gua dan memutus proses terbentuknya batu yang sudah berjalan selama rubuan tahun.

Kami terus masuk ke dalam. Kami mesti ekstra hati-hati. Sebab beberapa kali kepala teman menanduk batu yang runcing itu. Perasaan saya seperti perasaan tokoh dalam fiksi karya Jules Verne yang berjudul The Journey to the Center of Earth. Baru-baru ini, naskah tersebut telah difilkan dengan bintangnya Brendan Fraser. Meskipun kisah karya Jules Verne itu hanya fiksi, namun kisah itu telah mendorong proses eksplorasi atas apa-apa yang tersimpan di perut bumi. Kisah itu menginspirasi banyak orang termasuk saya yang sedang menyusuri Gua lakasa. Seperti karya Verne, perjalanan saya ini juga semacam perjalanan menuju pusat bumi.

Saya juga membayangkan mitos Yunani tentang Dewa Hades, penguasa alam kegelapan, penguasa perut bumi. Saya takut kalau-kalau Hades tiba-tiba murka dan membuat gempa yang meruntuhkan dinding gua. Kami bisa terperangkap. Saya lalu menoleh ke atas dan melihat pintu masuk yang kecil di kejauhan. Kalau Hades murka, maka bisa saja pintu itu ditutup dengan batu sehingga kami tak bisa keluar. Saya juga sempat membayangkan, jangan-jangan inilah gua yang menyimpan lampu wasiat, yang kemudian ditemukan Aladin. Banyak hal yang menjadi bahan pikian saya saat itu.

Kami terus menyusuri gua. Perjalanan agak lambat karena kami sibuk mengira-ngira di mana rute yang sebenarnya. Untungnya, di dinding gua terdapat kabel yang mengarah ke lampu di sejumlah tempat. Kabel itu lalu menjadi pemandu ke arah mana kami bergerak. Jalannya masih tetap licin dan curam. Dindingnya masih berair. Telinga saya sempat mendengar bunyi tetes-tetes air atau suara logam yang dipukul-pukul. Mungkinkah itu halusinasi? Ternyata tidak. Semakin jauh ke dalam, saya lalu menemukan tetes air di atas batu. Kemudian banyak batu kapur yang agak tipis menempel di dinding gua. Ketika disentuh, tersengar bunyi seperti logam beradu.

Jelang titik akhir perjalanan, saya sempat tertahan di dekat sebuah batu besar. Saya mesti sangat berhati-hati melewati batu besar yang curam tersebut. Demikian pula teman-teman. Andaikan ada yang jatuh dari batu itu, pastilah akan cedera serius sebab ada begitu banyak batu cadas di gua ini. Akhinya, kami sampai juga di titik akhir perjalanan yakni sebuah telaga yang amat indah. Ini telaga yang terunik yang pernah saya temukan. Sebuah telaga yang terletak di dasar sebuah gua, pada kedalaman yang tidak banyak dijelajahi orang- orang. Sebuah telaga yang sangat indah.

Saat di dasar gua itu, saya merasakan sebuah hikmah. Jika ingin mendapatkan kenikmatan yang besar, maka bersedialah melalui jalan yang terjal. Jika ingin menikmati indahnya telaga di dasar Gua Lakasa, maka besiaplah memulai perjalanan yang mendebarkan. Temasuk perjalanan menembus dasar bumi yang curam.(*)

Saat di Pelabuhan Topa

PULANG dari Gua Lakasa, saya lalu singgah ke Pelabuhan Topa. Pemandangannya sangat alami. Saya lalu memotret ke sekeliling, termasuk memotret diri sendiri. Tampan khan?




Akan Ke Kendari


DALAM waktu dekat ini, saya akan ke Kendari untuk membawa buku Naskah Buton Naskah Dunia sebanyak 250 eksemplar. Dua bulan lalu, teman-teman Respect membawa 230 buku, dan hanya dalam waktu dia bulan, tinggal tersisa 90 buku. Pihak toko Gramedia di Kendari memperkirakan semua buku itu akan habis pada bulan Maret ini, sehingga harus ada stok buku yang baru lagi.

Ukuran best seller bisa relatif di setiap kota. Untuk Gramedia Kendari, ukuran best seller itu adalah ketika laku sampai enam buah buku dalam sebulan. Sementara buku saya dan teman-teman bisa laku lebih 50 eksemplar dalam sebulan. Jumlah itu jelas fantastis bagi pihak Gramedia. Sebuah penjualan buku lokal yang bisa mengalahkan karya populer yang di-drop dari Jakarta.

Saya selalu senang setiap mendengar berita bagus semacam ini. Artinya, kerja keras saya dan teman-teman bisa diapresiasi banyak orang. Kami senang karena buku itu bisa dibaca banyak orang, bisa menginspirasi orang lain untuk menulis karya yang sama. Mudah-mudahan, buku kedua dan ketiga bisa pula diapresiasi seperti ini. Kepada Yang Maha Menggenggam, doa-doa akan kami lantunkan.(*)

Kisah Orang Cina di Pulau Buton

ENTAH sejak kapan warga keturunan Tionghoa mendiami Kota Bau-Bau di Pulau Buton. Namun, saya memperkirakan keberadaan mereka setua usia pemukiman di kota ini. Sejarah Buton sempat mencatat nama seperti Dungku Changia, yang diyakini sebagai seorang panglima pasukan Mongol yang kemudian melarikan diri. Juga nama Wa Kha Kaa, Raja Buton pertama yang berasal dari Cina dan muncul melalui serumpun bambu.

Sejarah itu cukup panjang, namun tetap belum bisa menjelaskan mengapa banyak warga Tionghoa yang bertebaran di sekitar Pasar Sentral di Bau-Bau. Mereka adalah nadi perekonomian, dan menggerakkan sektor perdagangan di kota kecil yang dulunya tersohor sebagai satu kerajaan besar di nusantara. Saya yakin, warga keturunan Tionghoa yang ada sekarang ini bukanlah keturunan Wa Kha Kaa. Karena keturunan Wa Kha Kaa sudah membaur dengan warga lokal di Wabula, yang beretnis Cia-Cia. Saya memperkirakan, keturunan Tionghoa yang ada sekarang mulai membanjiri kota Bau-Bau seiring dengan terbukanya jalur perdagangan di Nusantara, di mana Buton adalah salah satu mata rantai penting.

Ah, hari ini saya sedang melamun dan tiba-tiba memikirkan warga Tionghoa. Tadi, saya melintas ke kawasan Pekuburan Cina di Pala Tiga, belakang kompleks perumahan kuda putih. Suasananya seperti di pekuburan Cina Makassar di Antang. Ada seorang warga Tionghoa yang meninggal. Saya lalu singgah memperhatikan. Liang lahatnya ditembok semen sehari sejak sehari sebelumnya. Kemudian, mayat disimpan dalam peti dan tidak pernah dibuka sampai diturunkan ke liang lahat.





Semua keluarga pengantar mengenakan baju warna putih. Sebelumnya, mereka duduk bersila menunggu mayat dimasukkan ke liang lahat. Lalu, mereka berbaris menghadap mayat dan secara bergantian berdoa di situ. Mereka membakar hio lalu mengatupkan kedua tangan. Entah apa yang mereka baca. Di dekat liang lahat, diletakkan sesaji berupa bubur, ayam yang sudah dimasak, roti, serta ada pula sumpit di atas mangkuk makanan itu. Mereka juga membakar kertas-kertas yang mirip uang dalam permainan monopoli.

Ketika mereka bicara, saya dengarkan logatnya. Ternyata logat khas Makassar sehingga saya menduga mereka adalah orang Cina Makassar yang belakangan ini mulai membanjiri kota Bau-Bau. Mereka bersaing dengan orang Cina setempat yang sudah lama ada. Entah, apakah persaingan itu kelak akan seperti persaingan para mafia. Saya tidak tahu.




Lagi asyik memperhatikan, tiba-tiba seseorang membagikan roti dan air minum. Semua penonton dapat bagian. Kebetulan pula, perutku sedang keroncongan. Saya lalu mengambil roti itu. Wah,.... ini pemakaman yang cukup asyik. Sebagai penonton, tiba-tiba dapat air dan roti. Jangan-jangan, kalau saya bertahan sampai siang, saya bisa dapat makan siang gratis. Kalo gitu, mendingan saya tunggu sampai siang. Hehehe....(*)

Memediasi Andoke dan Manusia

INI adalah contoh iklan layanan masyarakat yang saya temukan dalam buletin yang ditebitkan Wallaceae International. Iklannya nampak biasa saja. Tapi, saya suka dengan judulnya "Andoke Teman Atau Lawan?” Pembuat iklan ini sengaja memakai kata andoke, sebab ia tahu betul siapa yang menjadi audiens dari iklan ini.



Dalam banyak bahasa di Pulau Buton, andoke berarti monyet. Saya bisa memastikan bahwa iklan ini ditujukan kepada petani dan masyarakat luas agar memikirkan dengan serius apakah andoke memang musuh petani ataukah tidak. Bagi para petani yang terbiasa berkebun di sekitar Hutan Lambusango, mereka mungkin berpikir bahwa andoke selama ini menjadi ancaman. Tapi melalui iklan ini mereka seakan disadarkan bahwa andoke punya alasan sendiri mengapa mereka harus menjarah lahan petanian. Para andoke itu kehilangan lahan perburuan sebab lahan yang dulunya memberi mereka makanan ternyata sudah menjadi kebun.

Para andoke ini jelas tidak paham kalau tempat berburu mereka sudah jadi kebun. Mereka mungkin tidak mengerti bahwa dalam hukum yang dibuat manusia, sebidang hutan bisa diubah menjadi kebun. Para andoke itu hanya mengikuti insting purba dalam dirinya bahwa tempat itu dahulu adalah hutan yang menjadi tempat mereka mencari makanan. Jikalau tempat itu tiba-tiba jadi kebun, maka jelas itu bukan urusan mereka. Mereka jelas tidak mau tahu. Makanya, ketika andoke itu memasuki kebun, maka terjadilah konflik dengan petani yang mengklaim itu sebagai miliknya.

Untunglah, ada lembaga seperti Wallacea yang kemudian memediasi kepentingan andoke dan manusia. Kalau tidak, maka tidak banyak yang paham apa sebenarnya yang diinginkan andoke. Pastilah andoke itu hanya menerima cap penjarah yang terus dikejar-kejar para petani.(*)

Mengapa Harus Pulang Kampung?

BANYAK yang bertanya, mengapa saya harus memilih pulang kampung? Jawabannya agak panjang dan sulit diurai di sini. Tapi, setelah saya renungi, semua kenyataan yang mengharuskan saya pulang memiliki relasi yang sangat kuat. Semua pengalaman yang saya alami memiliki kesalinghubungan dan koneksi yang erat sehingga saya tiba pada kesimpulan akhir untuk segera pulang. Saya hanyalah bagian kecil dari simpul-simpul koneksi yang bekerja dan memberikan pilihan-pilihan buat saya.

Dua hari yang lalu, saya ditelepon pihak Sekretariat Jenderal DPR RI di Jakarta. Mereka meminta saya untuk segera ke Jakarta. Aplikasi yang saya ajukan untuk menjadi staf ahli di Komisi X DPR RI ternyata bersambut. Mereka meminta saya segera berkemas dan harus hadir keesokan harinya. Gajinya lumayan besar. Untuk sesaat saya jadi bimbang. Lima bulan yang lalu, saya memang mengirimkan lamaran ke gedung dewan. Menurut informasi, pengumumannya adalah seminggu setelah pemasukan berkas. Setelah menunggu seminggu tak ada kabar, saya menduga tidak lulus. Selanjutnya saya memilih tes PNS di daerah.

Ternyata, menurut staf Setjen DPR, sampai kini belum ada panggilan karena masih menunggu permintaan dari Ketua Komisi X. Ketika permintaan itu datang, nama saya lalu muncul di daftar paling atas. Saat menjawab telepon itu, saya memberi dua alasan. Pertama, saat ini saya tak bisa ke mana-mana. Untuk ke Jakarta, saya harus menyiapkan waktu barang seminggu dari sini. Harus ke Makassar dulu, selanjutnya cari pesawat ke Jakarta. Kedua, sejak awal saya berpikir bahwa pintu menjadi staf di DPR sudah tertutup, sehingga saya lalu memutuskan untuk pulang kampung. Entah, apakah pihak Setjen DPR paham dengan alasan saya, yang jelas mereka menelepon sampai dua hari berturut-turut demi menanyakan apakah saya bersedia ke Jakarta ataukah tidak.

Panggilan itu membuat saya bertanya-tanya, mengapa saya harus bertahan di kampung sekecil ini. Semakin merenung, saya tiba pada kesimpulan bahwa ”everything is connected.” Ada semacam jaringan kasat mata yang bekerja dan menginginkan saya untuk segera kembali ke kampung halaman.

Saat bekerja sebagai jurnalis, saya selalu tidak betah dengan beban kerja yang tinggi, kemudian saat memilih kuliah di pascasarjana UI, saya lalu memilih antropologi, dan bukan komunikasi –disiplin ilmu yang saya geluti. Padahal, dengan memilih tema antropologi, saya akan selalu berpaling ke kampung-kampung, sementara saat itu, saya belum punya rencana untuk pulang kampung. Ini aneh.

Saat memilih tema penelitian, saya tiba-tiba bergeser dari tema kebudayaan Bugis yang sebelumnya saya rencanakan. Tiba-tiba saya memilih tema kebudayaan Buton, yang kemudian membuat saya harus selalu pulang kampung. Kemudian, saat berada di Buton, tiba-tiba saja saya diajak teman-teman untuk menyusun buku tentang Buton. Tiba-tiba saja saya dikenal banyak orang karena keberadaan buku tersebut. Saya lalu menjalin hubungan keakraban dengan walikota. Bahkan, saya juga mulai dikenal oleh para peneliti dan pengkaji Buton. Saya juga membangun lingkar intelektual dan lingkar pergaulan dengan banyak orang, termasuk anak-anak muda. Semuanya adalah jaringan yang sedang bekerja.

Mulanya, saya memilih untuk tetap bertahan di Makassar. Saya lalu ikut seleksi pengajar di sebuah universitas negeri. Meskipun nilai saya yang terbaik, entah kenapa, tiba-tiba saya saya gagal pada tes akhir. Saya tak habis pikir mengapa bisa gagal. Padahal, saya sangat yakin bahwa saat itu, saya adalah yang terbaik. Seorang kawan membisiki bahwa seleksi pengajar di kampus itu bernuansa KKN. Saya mesti menerima kenyataan itu. Lagi-lagi, sang pengajar di Unhas meminta saya untuk bertahan. Katanya, akan ada penerimaan pada tahun ini. Tenyata tidak ada. Pengajar itu lalu meminta saya untuk menunggu setahun lagi. What..?? Menunggu setahun. Saya memilih tidak. Lagian, kalaupun menunggu, tak pernah jelas apakah bisa masuk ataukah tidak. Saya tidak mau sebodoh seorang senior yang menunggu 12 tahun untuk lulus. Kampus itu penuh koneksi.

Semua kenyataan ini kian menguatkan saya untuk pulang. Bukannya tidak bisa bersabar. Saat ini, saya sangat membutuhkan pekerjaan demi sebuah rencana yang hendak saya wujudkan. Dalam situasi yang tidak jelas itu, datanglah sebuah telepon dari teman di kampung. Segera kembali karena ada seleksi pegawai di daeah. Katanya, saya punya peluang besar untuk lulus. Aneh bin ajaib. Saya lulus tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Padahal, rumor yang beredar, seorang lulusan S2 mesti menyiapkan uang sampai 60 juta untuk lulus.

Nah, ketika muncul pertanyaan mengapa harus pulang? Jawabannya adalah ”everything is connected.” Bahwa semua pengalaman dan perkembangan intelektualitas saya telah menggiring saya pada keputusan untuk pulang kampung. Bahwa ada satu skenario besar yang menggiring saya untuk tiba pada keputusan ini. Bahwa ada ’tangan tak terlihat’ yang membawa saya untuk tiba pada titik ini, dan meninggalkan sejumlah obsesi yang penah saya impikan. Entah, apakah ini menjadi keputusan ini tepat ataukah tidak. Hanya Yang Maha Menggenggam yang tahu mana jalan terbaik.(*)


Kiat Membunuh Sepi

AKTIVITAS saya di kampung halaman banyak berbeda dengan aktivitas saat masih di Jakarta atau Makassar. Saat di kota besar sepeti Jakarta dan Makassar, saya banyak mengisi waktu luang dengan mengunjungi toko-toko buku atau singgah nonton film. Kini, saya kehilangan dua aktivitas tersebut. Kini, saya mengisi waktu luang dengan membaca buku atau menulis blog.

Di sini, saya tidak punya banyak sahabat selain kawan-kawan dari penerbit Respect. Itupun, semua kawan-kawan sudah punya aktivitas sendiri sehingga sudah mulai jarang kumpul bersama. Makanya, saya tak punya pilihan lain untuk membunuh sepi selain dari membaca buku atau berselancar di internet.

Untungnya, saya sudah memindahkan buku-buku saya yang banyak dari Makassar. Untungnya lagi karena dulu kebiasaan saya adalah membeli buku sebanyak-banyaknya, kemudian mulai membaca dengan cara menyicil. Di tengah-tengah suasana sepi seperti ini, saya menginventarisir buku-buku apa saja yang belum saya baca lalu mulai membaca. Tapi, saya sadar betul bahwa kelak akan tiba saat di mana saya mulai kehilangan stok bahan bacaan. Sekarang saja saya sudah mulai kehilangan stok bacaan. Saya tak punya pilihan, selain berdamai dengan situasi. Tak mungkin ke toko buku besar di kota sekecil ini.

Mungkin, yang terbaik adalah dengan cara membeli buku lewat online. Walaupun waktu pengiriman ke sini agak lama, tapi saya tak punya banyak pilihan. Kompromi terbaik lainnya adalah saya memperbanyak waktu untuk berselancar di internet. Melalui internet, saya tidak kehilangan informasi karena bisa meng-update perkembangan terbaru. Melalui internet, saya bisa berinteaksi melalui blog, atau melalui social blog sepeti Kompasiana. Di sini, saya bisa berkenalan lebih jauh dengan banyak rang, bisa mengasah kemampuan menulis. Dan bisa saling mengkritisi dengan siapapun, dari bebagai penjuru dunia.

Demikian aktivitas saya untuk membunuh sepi, untuk mengisi waktu luang.

Inspirasi Gandhi untuk Indonesia


GANDHI rajin membaca novel karya sastrawan Rusia, Leo Tolstoy. Saya tak tahu novel apa yang dibaca pria tua dan renta ini. Tapi saya perkirakan Gandhi membaca novel paling dahsyat dan menggetarkan dari Tolstoy yang berjudul War and Peace. Novel ini ditulis pada tahun 1886 dan berkisah tentang kekaisaran Napoleon Bonaparte yang menginvasi Rusia –negara asal Tolstoy– dan mengguratkan kisah dan satire penuh sedu sedan tentang kata damai.

Apa yang membekas di hati pria tua renta bernama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi ini? Sebuah getar ataukah pencerahan (enlightment) yang turun dari langit dan memasuki kalbunya. Ataukah sebuah refleksi tentang begitu sulitnya dan begitu berdarah-darahnya menegakkan kata damai di tengah belantara keangkuhan manusia. Entahlah. Saya tak tahu.

Hari ini saya membaca liputan Kompas dengan judul Pelajaran Berharga dari Mumbai. Liputan ini mengisahkan kemajuan India yang pesat sebab ditopang oleh pilar penting ajaran Gandhi yakni Swadeshi. Swadesi berasal dari kata swa yang berarti sendiri dan desh yang berarti negara. Swadeshi diimplementasikan dalam bentuk menyinergikan potensi yang dimiliki untuk mencapai kemajuan. Selain potensi sumber daya alam, kekuatan lain yang dimiliki India adalah kemampuan mereka berinovasi.

Saya lalu teringat bacaan-bacan tentang Gandhi, termasuk ingatan pada film lama berjudul Gandhi dan diperankan aktor masyhur Inggris bernama Ben Kingsley. Film ini saya tonton di kampus UI usai diskusi tentang mereka yang mewarnai sejarah. Film ini begitu menggugah hingga kilasan gambarnya terus melintas-lintas di benak.

Saya tak pernah bisa melupakan adegan ketika Gandhi wafat hingga menggetarkan India pada 30 Januari 1948, dua tahun setelah ia memerdekakan negerinya. Nyaris seluruh penduduk India menyemut di jalanan demi melepas jenazah sang Mahatma –dalam bahasa Sansekerta, kata ini bermakna “Great Soul” atau Jiwa Agung—untuk dibakar dalam sebuah peristiwa kolosal yang terbesar di India. Baik tua dan muda, miskin atau kaya, semuanya berdiri rapi dan menangis sesunggukan dengan atau tanpa suara atas tewasnya pria yang cintanya pada India mengalir bak sungai deras.

Seorang reporter BBC London melaporkan peristiwa itu dengan begitu menyentuh. “Hari ini kita menyaksikan kesedihan yang didengungkan dengan lirih oleh jutaan warga India. Mereka sedang menangisi kematian seorang pria bernama Gandhi. Seorang pria tanpa kekayaan. Tanpa harta yang melekat di badannya. Tanpa jabatan dan kedudukan. Apalagi prestise. Seorang pria yang hanya punya sekeping hati. Namun sekeping hati itu telah mengharu-biru dunia. Sekeping hati itu telah mencairkan seluruh batas keangkuhan manusia. Sekeping hati yang mungkin lebih agung dari Yesus pada ratusan tahun silam.”

Bayangkan, “lebih besar dari Yesus!!!!” Saya tahu bahwa ini cuma sebuah bahasa hiperbolik. Tapi Gandhi telah menunjukkan pada dunia kalau manusia bisa mempunyai keluasan hati yang tak bertepi. Jika Yesus mengajari manusia akan cinta yang dahsyat namun Gandhi menjelajah lebih jauh lagi. Ia berhasil menunjukkan kalau cinta memiliki kedalaman dan keindahan estetik yang bisa mengejawantah menjadi sebuah gerakan sosial dan mengemansipasi masyarakat, sesuatu yang belum sempat dilakukan Yesus. Gandhi bisa membawa masyarakat pada pencerahan atau apa yang disebut Heidegger sebagai “membawanya dalam terang dan memisahnya dari gelap.”

Gandhi telah memporak-porandakan semua bangunan teori dari antropolog dan psikolog tentang watak manusia. Ia juga meruntuhkan teori modernitas dan kecenderungan anti mitos dan desakralisasi ketokohan. Ia menunjukkan pada dunia bahwa perlawanan tak mesti dengan cara konflik bersenjata atau cara dar der dor. Ia melakukannya dengan penuh cinta serta kemampuan membaca spirit bangsanya yang tengah dilanda kemiskinan dan keterbelakangan. Wajar saja jika dia menjadi pahlawan karena integritas serta komitmen yang luar biasa untuk bersama warganya yang miskin.

Di Afrika Selatan tahun 1896, di saat membaca Leo Tolstoy, Gandhi masih berprofesi sebagai pengacara muda yang berpakaian necis dan jas licin. Di dalam kereta itu, alumnus Fakultas Hukum di University of College ini membandingkan Tolstoy dengan cinta kasih Yesus. Gandhi bukanlah Kristen. Ia hanyalah seorang Hindu yang taat namun begitu mengidolakan Yesus. Ia telah menyerap inti dan baris terpenting dari agama dan kisah besar yang dituturkan dari generasi ke generasi.

Usai membaca, ia merenung dan memanggil kondektur kereta api yang berkebangsaan Eropa. Ah, tak disangka, ia menjadi obyek dari fragmen menyedihkan tentang rasialisme. Ia diusir dan dihardik dari kereta hanya karena ia adalah seorang India dan tidak berkulit putih. “Saya seorang pengacara dan punya uang untuk membayar kelas eksekutif dari kereta ini,” teriaknya sambil menunjukkan tiket. Tapi kondektur kereta yang berkulit putih itu tak mau tahu. Ia menendang pantat Gandhi hingga jatuh dari stasiun dan kemudian melemparkan kopernya. Gandhi ingin berteriak dan melawan. Tapi ia ingat ajaran cinta dari Yesus yang dengan bijak berkata,”Jika seseorang menampar pipi kananmu, berikanlah pipi kirimu.”

Ajaran cinta itu begitu membekas hingga ia tak peduli meski diusir bagai binatang ternak. Akhir tahun 1800-an adalah masa ketika rasialisme dan superioritas kulit putih menemukan momentumnya. Namun di Afrika, Gandhi menjadi pahlawan ketika mengorganisir ribuan buruh dan karyawan pabrik asal India untuk melakukan mogok massal sebagai bentuk protes atas diskriminasi. Gandhi melawan pasukan bersenjata dengan ribuan pengikutnya hanya dengan cara duduk tiarap di jalan raya dan pasrah meski dipukuli. Ia dipenjara namun tetap sabar dan terus mengingat Yesus. Tapi kepasrahan itu membawa dampak besar ketika seluruh bangsa Afrika langsung luluh hingga memenuhi semua tuntutannya.

Hingga kembali ke India, ia tak pernah surut mengobarkan api cinta itu. Saat itu, negerinya tengah dijajah Inggris. Penjajahan itu berlangsung dalam bentuk pencaplokan wilayah, penyiksaan fisik, serta pelestarian ketergantungan rakyat India pada seluruh produk Inggris. Tiap hari ada saja warga India yang mati baik karena penyiksaan maupun karena kelaparan berkepanjangan. Gandhi tersentuh. Ia lalu melepas jasnya dan berganti pakaian dengan hanya selembar kain. Di saat banyak pemimpin nasionalis berpakaian necis dan hidup mewah, ia justru memilih hidup miskin sebagaimana rakyat India.

Ia menjadikan kemiskinan sebagai sebuah pilihan. Ia memilih hidup asketis, miskin, dan tidak berdaya, demi mendekatkan diri pada bangsanya. Ia tak peduli meski dipenjara dengan berbagai tuduhan sepanjang itu dilakukan demi menghentikan aksi sewenang-wenang Inggris. Tubuhnya yang hitam dan renta hanya dibalut selembar kain putih. Badannya yang kurus terlihat jelas. Bicaranya tetap fasih dan menggetarkan warga yang selalu datang minta petunjuk. Lewat laku spiritual seperti itu, ia menjadi idola seluruh publik. Dalam kemiskinan itu, ia lalu menyusun strategi. Ia melihat betapa warga India begitu tergantung pada produk Inggris yaitu garam dan pakaian. Gandhi lalu mengorganisir seluruh warga untuk jalan kaki ke lautan. Di situ ia mengambil air laut dan mengolahnya menjadi garam. Ia menyerukan agar berhenti menggunakan produk Inggris.

Saya paling tersentuh adegan saat melihat Gandhi menggunakan alat penenun dan menenun kainnya sendiri. Jutaan warga India ikut menenun biar tidak memberi ruang bagi Inggris untuk melestarikan ketergantungan. Ia telah mengajarkan cinta sekaligus kemandirian pada kekuatan sendiri. Ia mengajari warga India untuk tidak menjadi barat dan tak malu, apalagi minder, pada identitas India. Ia tak bergeming dengan propaganda Inggris kalau India itu jorok, kumuh, dan rusak. Ia punya cinta dan lewat itu ia menghentikan seluruh kerusuhan. Bahkan, ia menghentikan kekejaman Inggris pada India hingga akhirnya India bisa merdeka. Di saat merdeka, ia menolak jabatan dan meminta pengikutnya yaitu Pandit Jawarharlal Nehru untuk menjadi pemimpin. Ia menolak jabatan dan memilih menjadi rakyat jelata yang hanya memakai selembar kain dan tidak pakai sandal. Semuanya dilakukan dengan cinta yang dimanifestasikan lewat puasa.

Bagi saya, Gandhi adalah monumen besar yang dipahat dalam sejarah peradaban manusia. Ia berhasil menjadi bentuk lain dari keunikan manusia di abad 21 yang kian materialistis dan mendewakan materi hingga mengincar kekayaan dengan berbagai cara. Ia juga menjadi prasasti dari cinta kasih yang mengejawantah dan sanggup membebaskan bangsanya. Lantas, apa yang tersisa dari Gandhi? Yang tersisa adalah India yang perkasa. Penguasaan atas teknologi informasi dan nuklir yang kian meninggi, perlahan menggeliat menjadi raksasa ekonomi hingga mengancam AS, serta sebuah negeri eksotik di mana warganya masih melestarikan meditasi, yoga. Lewat itu mereka memasuki gerbang modernisasi. Lantas, bagaimana dengan bangsa Indonesia? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.

Pulau Buton, 19 Februari 2009

Belajar dari Mitologi Yunani

MINGGU ini adalah minggu penuh dongeng dan mitos. Mungkin karena pengaruh film Percy Jackson and The Lightning Thief, banyak kawan yang bertanya tentang mitologi Yunani pada saya. Mereka memposisikan saya sebagai Oracle atau tempat bertanya. Dalam serial Wiro Sableng, saya diposisikan sebagai Kakek Segala Tahu. Padahal, saya sendiri banyak tidak paham tentang berbagai mitologi tersebut. Apalagi harus menjelaskan. Terpaksa, saya juga harus belajar ulang demi menjawab pertanyaan tersebut.

Seorang kawan banyak bertanya tentang kisah dewa-dewa utama yang paling perkasa yakni Zeus, Poseidon, dan Hades. Ada juga yang bertanya tentang para pahlawan (hero) seperti Hercules, Achilles ataupun Perseus. Banyak pula yang bertanya tentang dewi-dewi cantik, seperti Aphrodite, Artemis, Demeter atau Calypso. Minggu ini adalah minggu penuh mitos dan dongeng.

Saat membaca serial Percy Jackson hingga tuntas, saya jadi berpikir bahwa dongeng Yunani itu tidak cuma kisah yang dituturkan sebatgai pengantar tidur bagi anak kecil. Dongeng itu berfungsi untuk menjawab keingintahuan manusia akan sesuatu. Saya membayangkan bahwa di masa silam, manusia tidak bisa menjelaskan fenomena musim semi. Nah, muncullah kisah tentang Dewi Persephone yang dinikahi Hades, penguasa kegelapan. Persephone tinggal di dasar bumi, namun setiap enam bulan sekali, naik ke permukaan. Saat ia naik ke permukaan, tumbuhlah tanaman, bersemilah bunga. Makanya, Persephone lalu ditahbiskan sebagai dewi musim semi. Kisah Persephone ini muncul pula di Jawa dengan kisah Dewi Sri, dan di Sulawesi Selatan, muncul kisah Sangiang Seri, dewi penumbuh padi, dewi kesuburan.

Di satu sisi, kisah Persephone itu memang tidak masuk akal. Namun, apa sih definisi masuk akal dan tidak masuk akal? Sains modern telah membuktikan tentang pengaruh posisi bumi pada matahari, yang kemudian mempengaruhi pergantian musim. Kita menganggap penjelasan sains ini masuk akal. Namun, sedetik berikutnya, kita juga harus tetap skeptis kalau-kalau penjelasan itu bisa digugurkan oleh argumentasi ilmiah yang baru. Artinya, hal-hal yang pada masa kini dianggap masuk akal, bisa saja menjadi tidak masuk akal ketika zaman berganti dan penjelajahan ilmiah semakin intensif.

Maka, sehebat apapun penjelasan sains, maka keragu-raguan harus tetap ditumbuhkan. Jadi, apa yang disebut kebenaran ilmiah adalah sebuah proses yang terus bergerak. Hari ini, kita menemukan kebenaran, besok kebenaran itu bisa berubah. Pernah pada satu masa, orang-orang mengakui kebenaran geosentris (pahaman yang menyebutkan bahwa bumi adalah pusat tata surya), keesokan harinya ilmuwan Galileo Galilei mengemukakan heliosentris yang dalil utamanya adalah matahari yang menajdi pusat tata surya. Galileo dicibir lalu dibunuh. Teorinya dianggap keliru. Namun, sekian zaman berikutnya, teorinya dianggap lebih benar. Kata Ignas Kleden, terdapat perbedaan antara kebenaran versi ilmiah dan kebenaran versi dunia sosial. Sesuatu bisa dianggap benar secara ilmiah, namun belum tentu dianggap benar secara sosial.

Mitologi Yunani bisa ditafsir memiliki kebenaran versi sosial. Pernah pada suatu masa, manusia menemukan kebenaran dari semua mitologi itu, lalu menjadikan mitologi itu sebagai jawaban atas fenomena alam semesta. Secara ilmiah, penjelasan itu jelas keliru, namun secara sosial, masyarakat meyakini kebenarannya, dan kepercayaan tersebut lalu menumbuhkan pengetahuan. Namun, bukankah apa yang hari ini diterima sebagai kebenaran versi ilmiah juga punya potensi untuk dianggap keliru pada suatu masa? Bukankah teori-teori baru akan bermunculan dan kemudian menumbangkan berbagai teori-teori lama? Bukankah pada akhirnya, apa yang kita yakini sebagai kebenaran ilmiah akan menjadi mitos lagi?

Saya rasa cukup sekian. Selamat berhari Minggu.


Pulau Buton, 21 Februari 2010



CATATAN:
Gambar di atas adalah gambar Dewi Athena , dewi kebijaksanaan yang sedang duduk menatap langit




Spirit Mandela untuk Indonesia


AFRIKA Selatan akan segera menggelar Piala Dunia. Sebuah negeri yang dahulunya identik dengan konflik rasial yang berdarah-darah, kini bersolek sebagai salah satu negeri eksotik yang terkemuka. Negeri ini punya satu inspirasi yang bisa ditemukan pada sosok Mandela, manusia luar biasa yang lahir dari rahim bumi Afrika. Mereka tersenyum dan mengembangkan tangan saat menyambut ribuan warga dunia yang segera hadir dalam perhelatan akbar di negeri itu.

Pada 11 Februari lalu, Nelson Mandela merayakan peringatan 20 tahun pembebasan dirinya dari penjara. Bersamaan dengan itu, Piala Dunia kian dekat dan segenap masyarakat Afrika Selatan siap merayakan turnamen sepakbola terbesar sejagat itu. Semua gembira. Mandela adalah monumen hidup yang terus-menerus mengalirkan mata air inspirasi bagi bangsa itu.

Di abad milenium seperti ini, siapa sih yang tidak kenal Mandela? Lelaki berkulit hitam itu adalah bapak bagi bangsa Afrika Selatan telah menorehkan guratan kesan yang dalam bagi seluruh bangsa-bangsa dunia. Namanya begitu harum dan dicintai semua rakyat karena rasa cintanya yang dalam kepada seluruh manusia, apapun rasnya. Ia tak punya sedikitpun rasa dendam dalam hatinya, sehingga ketika menjalani masa penjara dan siksaan menyedihkan selama 27 tahun, ia tak menaruh sedikitpun dendam.

Di saat bebas dan jadi presiden, Putra Xhosa –Ketua Suku Thembu–, memaafkan semua penyiksanya. Ia memaafkan rezim yang kejam. Ia menawarkan pengampunan dan kerjasama di bawah panji bangsa Afrika. Ia adalah manusia besar (the great man) yang pernah lahir dalam sejarah manusia. Ia telah menjungkirbalikkan semua teori dan analisis filosof dan antropolog seperti Sartre, Hobbes yang mengatakan bahwa manusia jahat dan pendendam. Buktinya, rasa maaf yang luar biasa besar telah tumbuh di hatinya dan dipetiknya satu per satu untuk dibagikan kepada semua bangsa Afrika.

Saya pernah sekali membaca otobiografinya. Seperti halnya Antonio Gramsci dengan karyanya Prisoner Notebook, Tan Malaka dengan Madilog, atau Pramoedya Ananta Toer dengan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Mandela juga menulis catatan harian dengan kalimat yang tajam bagai pedang dari penjara. Buku yang kemudian berjudul Long Walk to Freedom itu tak hanya menjadi sedu-sedannya yang pilu, namun berisikan visinya yang menyala-nyala tentang hari esok yang dibayangkannya.

Episode paling menyentuh dalam hidupnya adalah ketika seorang pegawai penjara mendapat tugas untuk menanam tubuhnya hingga dada (dirajam), kemudian mengencingi kepalanya. Itu dilakukan setiap hari. Bayangkan, selama 27 tahun ia harus rela dikencingi sekaligus kehilangan kehilangan semua kehormatan dan haknya sebagai manusia yang berjalan di muka bumi. Dia tidak punya hak asasi dan hanya bisa diam saja mendapat kehinaan seperti itu.

Hingga suatu hari, ia bebas dan terpilih sebagai presiden kulit hitam yang pertama. Apa yang pertamakali dilakukannya? Ia mencari pegawai itu ke seluruh penjuru Afrika. Apakah ia akan membalas dendam? Tidak. Ia memeluk lelaki tersebut kemudian bercucuran air mata. Mandela berbisik ke telinganya bahwa inilah saat untuk melupakan semua dendam dan permusuhan. Inilah saat untuk berbagi hati dan saling memaafkan, kemudian bersama-sama membangun bangsa Afrika yang lama terkoyak oleh konflik dan perang saudara.

Apakah Mandela seorang Rasul? Mungkin. Rasa welas asih serta maaf yang seperti itu hanya dimiliki oleh para Rasul yang berjalan di muka bumi di abad pertengahan silam. Barangkali hanya Bunda Theresa serta Gandhi yang punya rasa sedalam itu. Mereka semua adalah manusia abad 21 yang berjalan dengan lebih jauh dari pencapaian manusia suci lainnya. Jika banyak manusia suci yang memilih jalan asketis atau menjauhi pusaran politik, maka Mandela justru menceburkan diri ke dalam pusaran politik. Ia masuk ke jantung sistem politik dan menunjukkan bagaimana seharusnya politik didasarkan atas dasar karakter, integritas dan rasa cinta yang demikian dalam. Tak salah jika Mandela adalah prasasti hidup yang abadi dalam sejarah peradaban manusia.

Yang juga mencengangkan adalah Mandela hanya mau memimpin Afrika untuk satu periode. Selanjutnya, ia menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Thabo Mbeki. Mandela hendak mengatakan bahwa ambisi meraih kuasa adalah banteng liar yang bisa menyeruduk ke mana-mana. Dia hanya mau menunjukkan arah, seberkas cahaya yang memercik di ufuk sana, dan ke situlah bangsa hendak dituju. Dia membangun blue print pembangunan sehingga siapapun presidennya, akan sanggup membawa kejayaan bagi negeri tersebut.

Setiap melihat Mandela, saya selalu iri. Kenapa ia tidak lahir di negeri ini? Kenapa tak satupun calon pemimpin bangsa ini yang menunjukkan dedikasi serta integritas yang luar biasa dan laku asketis demi memikirkan bangsa. Soekarno muda punya integritas itu. Sayangnya, di masa tuanya ia terjebak dalam pragmatisme politik dan otoritarianisme baru yang tidak hirau dengan derita rakyat kebanyakan. Hatta juga punya ketulusan itu. Sayangnya, ia tak mampu menjadi sisi lain dari lingkar dialektisnya dengan Soekarno. Ia memilih kalah sebab sepanjang hidupnya, ia selalu berada pada dilema antara sufistik dan politik empirikal. Hatta memilih jalan sufistik sekaligus pintu keluarnya dari zaman yang carut-marut.

Namun, setidaknya mereka punya integritas itu. Namun, apakah kita punya sosok seperti itu di era kekinian? Saya ragu jika melihat stok pemimpin yang ada. Hampir semua stok pemimoin adalah orang-orang kaya yang tak terbiasa antri minyak tanah bersama rakyat. Para penguasa dan politikus yang berpikir untuk menjaga jaringan kuasanya. Untuk memperbanyak hartanya sendiri. Pantas saja jika kita selalu rindu dengan Mandela.(*)


Pulau Buton, 16 Februari 2009
tulisan ini dipersiapkan untuk Kompasiana.com

Sisiphus yang Menelan Pil Pahit


KEKESALAN itu seperti kuda liar yang menerabas sana-sini. Jika tidak dikendalikan, maka bisa menyeruduk dan menimbulkan bencana. Hari ini saya sedang kesal. Saya ingin menjinakkan semua rasa kesal itu. Saya ingin mengendalikannya dengan sekuat tenaga. Akhirnya saya paham bahwa mengendalikan rasa kesal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.

Pada akhirnya, saya hanya bisa menyimpannya. Perasaan saya seperti Sisiphus, seorang dewa dalam mitologi Yunani. Ia menjalani kutukan untuk selalu mendorong batu ke puncak bukit, kemudian menjatuhkannya ke bawah, dan mulai mendorong lagi. Saya dalam situasi tak berdaya ketika harus menelan pil pahit berkali-kali. Mau marah, jelas gak ada gunanya. Jalan terbaik adalah pasrah saja dengan mengurut dada. Jalan terbaik inilah yang menyesakkan dada.

Tiga bulan yang lalu, bersama beberapa teman saya telah menyelesaikan sebuah riset. Laporannya sudah selesai sejak dua bulan lalu. Bahkan, hasil riset yang saya susun itu telah pula dipresentasikan. Malah, sudah ada tim survei yang mengecek semua hasil riset itu. Kami bekerja dengan serius, dengan hasil yang terbaik. Masalahnya adalah sampai kini, saya dan semua anggota tim belum menerima bayaran atau uang lelah atas kerja keras itu. Kami belum menerima hak. Kami cuma diberi janji. Dalam setiap pertemuan, kami selalu diiming-imingi tentang dana besar yang akan diterima.

Saat ini, saya sudah tidak berharap pada dana segunung itu. Saya hanya meminta agar semua uang lelah teman-teman bisa dibayar sesuai dengan kesepakatan. Tapi, tampaknya sang pemberi order terkesan mulai mangkir dari tanggung jawab. Setiap kali ditagih, maka ia akan memberi janji baru, misalnya tunggu awal bulan 1. Tapi setelah tiba awal bulan 1, ia kembali memperbarui janji yakni awal bulan 2. Tiba awal bulan 2, kembali ia akan memperbarui janji yakni awal bulan 3. Kami sudah kenyang dengan janji. Apakah ia tak paham bahwa semua janji itu kami catat baik-baik dan setiap saat selalu dipertanyakan?

Ia selalu memberi iming-iming. Tapi, saya mulai lelah dengan iming-iming. Saya tiba-tiba berpikir, untuk sebuah hal yang sederhana saja ia sudah mulai mangkir, bagaimana jika kelak ketika menjalankan sesuatu yang lebih besar.

……..
Maafkan saya wahai pembaca blog ini yang mengganggu keceriaan hari-hari anda semua. Saya sedang ingin mengeluh. Tulisan ini kekesalan yang harus dibuang dalam diri. Daripada disimpan dan jadi penyakit, mendingan dimuntahkan dalam blog ini. Sekali lagi, maafkan saya...



Mengapa Unhas Suka Tawuran?

KEMARIN, mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) tawuran lagi. Publik luar banyak yang mencibir. Saya melihat banyak orang yang mencaci mahasiswa Unhas melalui fesbuk. Malah, banyak pula para alumni Unhas, yang malu dengan tindakan tersebut, termasuk mantan wapres Jusuf Kalla. Katanya, tindakan itu justru mempermalukan para alumni. Padahal, tawuran yang ada di Unhas adalah tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dan --boleh jadi—dimulai sejak generasi mereka. Mungkin anda tak percaya. Tapi, hampir setiap tahun selalu ada tawuran di Unhas.



Pada awal tahun 2000, saya mengemban amanah sebagai presidium ketua senat mahasiswa Fisip Universitas Hasanuddin (Unhas). Bersama beberapa sahabat, saya berkomitmen untuk memberantas tawuran yang setiap tahunnya selalu melibatkan mahasiswa Fisip dan Teknik. Kami memang bekerja keras. Tapi, sepanjang periode kepengurusan, saya jadi paham bahwa mengatasi tawuran tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mustahil pula mengatasi tawuran dengan hanya menyalahkan mahasiswa semata. Ini logika para petinggi kampus yang jelas-jelas keliru. Kita mesti melihat tawuran secara proporsional sehingga penanganannya bisa lebih holistik. Baik mahasiswa, dosen, maupun pejabat kampus harus sama-sama berbesar hati kalau semuanya punya ‘kontribusi’ pada lahirnya tawuran. Jangan hanya menuding mahasiswa saja.

Dulu, sewaktu pertama masuk menjadi mahasiswa Unhas, saya heran juga mendengar berita tentang anak Unhas yang suka tawuran. Kedengarannya aneh dan agak primitif. Saya kadang malu dengan tradisi tawuran ini. Masak sih, para mahasiswa yang katanya intelektual muda suka tawuran. Saya sendiri sering tidak percaya, kok sampai harus tawuran. Apa gak malu sama masyarakat di luaran sana. Apalagi, sebab-sebab tawuran adalah hal-hal yang mungkin sepele bagi sebagian orang. Masalah ceweklah, masalah saling ejek, hingga masalah ada teman yang dipukul. Masalah seperti itu bisa jadi api besar yang kemudian membakar solidaritas kolektif. Massa kemudian ramai-ramai menyerbu fakultas lain. Tapi itulah faktanya.

Setelah menjadi mahasiswa Unhas, saya baru paham bahwa tawuran itu tidak benar-benar murni tawuran. Memang sih, mereka saling lempar batu, saling merusak gedung perkuliahan sendiri, juga saling ancam dengan badik terhunus. Tapi, setelah selesai peristiwa tawuran, mereka kembali berbaur sama-sama, seolah tanpa masalah. Mereka kembali menaiki angkutan umum yang sama. Bahkan saat di pondokan (kompleks kos-kosan mahasiswa), dua kelompok mahasiswa --yang sebelumnya bertikai itu-- saling bercerita dengan gagah bagaimana aksinya ketika melempari mahasiswa lain. Mereka menyebutkan posisinya saat tawuran, serta "prestasinya" saat berhasil menikam atau mengancam mahasiswa beda fakultas. Mereka saling bercerita dengan penuh kebanggan, padahal sejam sebelumnya mereka adalah mahasiswa yang saling bertikai, saling konflik dengan badik terhunus.

Ini jelas berbeda dengan tawuran di beberapa kampus swasta yang kadang saling kejar sampai pondokan mahassiwa. Kalau di Unhas, hanya saat tawuran saja. Setelah itu situasinya damai dan saling canda. Meskipun besoknya saat ke kampus, kembali lanjut tawuran. Itulah kampus Unhas.

Banyak mahasiswa Unhas yang berseloroh bahwa tawuran adalah bagian dari kalender akademik sebab, biasanya terjadi setiap bulan September. Pada bulan itu, mahasiswa merasa tertekan dengan tugas-tugas perkuliahan yang menggunung, dengan tuntutan mengerjakan skripsi yang berat. Melalui tawuran, mereka sejenak terbebaskan dari rutinitas tugas itu. Kampus akan segera diliburkan, kemudian mereka bisa istirahat sejenak.

Melalui tawuran, energi besar yang mereka keluarkan akan tersalurkan. Mereka kemudian merasa plong dan terbebaskan. Logikanya sama dengan seorang kawan yang lagi stres, dan sengaja pergi nonton pertandingan PSM di Stadion Mattoanging. Ia bebas teriak, mengumpat, dan memaki-maki. Sepulang nonton pertandingan sepakbola, ia merasa plong dan bebas stres. Logika yang sama juga berlaku dengan mahasiswa yang tawuran. Tertekan oleh tugas perkuliahan, hasrat berorganisasi yang tidak tersalurkan (karena kebijakan dropout yang kian ketat), serta kurangnya aktivitas kemahasiswaan yang diizinkan pihak kampus, menjadi benih-benih yang menyemai suburnya tradisi tawuran. Ini masih diperparah dengan arogansi pengajar yang merasa sok hebat, serta tiadanya katup-katup yang bisa mencairkan hubungan antar fakultas. Semua memperparah tradisi tawuran.

Satu hal yang juga perlu ditambahkan yakni arogansi ilmu pengetahuan. Mestinya ilmu harus dilihat sebagai proses perjalanan untuk menemukan pengetahuan yang kemudian mengasah kebijakasanaan. Tapi di Unhas, ilmu menjadi terkotak-kotak dan masing-masing merasa lebih hebat. Bukan rahasia lagi kalau di kampus Unhas, mereka yang kuliah di ilmu-ilmu teknik seperti eksak merasa lebih superior ketimbang yang kuliah di ilmu sosial. Kuliah di eksak seolah identik dengan kecerdasan dan kehebatan, semenatra yang kuliah di ilmu-ilmu sosial adalah kelompok yang gagal bersaing. Saya sendiri prihatin dengan kondisi ini. Apalagi, di kampus Unhas, filsafat ilmu tidak menjadi mata kuliah wajib. Pantas saja jika mahasiswa dan para pengajafrnya terkotak-kotak dalam cara berpikir yang sempit dan tiddak melihat relasi antar bidang pengetahuan. Inilah faktanya.

Banyak juga publik yang mengaitkan tawuran itu dengan situasi politik di Sulsel. Pada tahun 1992, gedung laboratorium milik Fakultas Teknik Unhas terbakar. Kata banyak orang, tawuran itu terkait dengan situasi jelang pemilihan Gubernur Sulsel, di mana saat itu Rektor Unhas Prof Basri Hasanuddin menjadi kandidat yang terkuat. Tapi, saya tidak terlalu sepakat dengan arumentasi tentang situasi politik ini. Logika ini sama saja dengan memposisikan mahasiswa hanya sebagai pion yang mudah dikendalikan. Saya lebih sepakat dnegan argumentasi bahwa terjadi banyak masalah di tingkat internal dalam kampus. Dan tawuran hanyalah satu kanalisasi untuk menyalurkan energi mahasiswa. Tabik....


Pulau Buton, 18 Februari 2010
Pukul 09.48

Lelaki Pengenggam Hujan


APAPUN yang terjadi, saya ingin jadi pembaca pertama novel Muhammad, Lelaki Pengenggam Hujan karya Tasaro. Saya adalah penggemar Tasaro sejak membaca novel Galaksi Kinanthi. Saya menempatkan Tasaro sebagai salah satu novelis yang karyanya wajib untuk saya miliki. Ia setara dengan Dewi Lestari yang beberapa karyanya sudah saya koleksi.

Hari ini, saya membaca blog yang khusus membahas novel itu (lihat DI SINI). Baru baca beberapa paragraf, saya sudah tergila-gila. Isinya adalah beberapa cuplikan naskah pada buku itu. Tentang perbincangan dua pendeta di satu gereja di Palestina, tentang perbincangan seorang guru dan murid di India, hingga perbincangan dua orang kuli pelabuhan di Barus, Nusantara. Mereka semua membahas satu nama yang menggetarkan dunia. Mereka membahas Muhammad, seorang pria yang dikenal bisa membelah rembulan. Seorang pria yang menggenggam hujan dan dari tangannya memancar air deras.

Baru baca sebentar, saya sudah tergila-gila. Saya jadi sakaw untuk membacanya. Awal Maret terlalu lama untuk membaca buku ini. Bukan saja soal tema, tapi sejak lama saya merindukan kisah tentang Muhammad yang bukan kisah sejarah. Saya ingin kisah tentang Muhammad yang sangat dekat sebagaimana syair kasidah Burdah karya penyair Mesir Al Bushiri atau syair Barasanji. Saya merindukan Muhammad yang personal, yang dalam dirinya terletak amanah besar untuk membawa ajaran.

Saya merindukan ketegaran dan welas asih Muhammad ketika dilemapri di Bukit Thayf, saat Jibril datang dan hendak membenamkan bukit, sebagaimana dilakukan pada umat terdahulu. Saya rindu dengan tatap kasih Muhammad ketika berkata, "Jangan Jibril. Mereka adalah umatku. Aku menyayangi mereka."

Duh....awal Maret terlalu lama untuk peluncuran novel ini....

Gadis Berkimono



BETAPA manisnya adikku yang berbaju yukata
Serasa melihat gadis yang hidup pada kehidupanku yang silam
gadis yang menemaniku melarungkan pedang di sungai sekigahara


(Sayang sekali saya tak ada di sampingnya
untuk memakai kimono dan sebilah samurai)

Sensasi Menjadi Headline (1)


SALAH satu kebahagiaan terbesar bagi seorang jurnalis adalah ketika tulisannya menjadi headline (HL). Sensasinya susah dijelaskan dengan kata-kata. Bayangin, ketika suatu pagi Anda bangun, kemudian melihat koran, dan di situ terpajang tulisan anda sebagai tulisan utama (HL). Kemudian HP akan dipenuhi pujian atau komentar dari banyak orang tentang tulisan tersebut. It's amazing..,!!! Bahagianya tak terkira.

Sewaktu masih menjadi jurnalis, saya selalu menunggu-nunggu saat ketika tulisan saya menjadi HL. Bahkan saat bekerja di Indopersda di Jakarta --kelompok koran daerah Kompas Gramedia--, kebahagiaan saya berlipat-lipat ketika tulisan saya jadi HL di banyak koran. Namun saat tidak lagi menjadi jurnalis, saya kehilangan momen-momen ajaib itu. Gairah menulis saya langsung diarahkan ke blog ini, tanpa peduli apakah blog ini ada yang baca atau tidak. Saya menulis dengan tekun sepanjang tahun, tanpa mengetahui apakah di luar sana ada yang baca blog ini ataukah tidak. Saya selalu membesarkan hati saya dengan mengatakan bahwa menulis adalah makanan buat jiwa. Menulis adalah panggilan alam. Meski demikian, saya tetap kehilangan sensasi saat tulisan menjadi HL. Sebab di blog pribadi, semua tulisan bisa jadi HL.

Sejak bergabung di social blog seperti Kompasiana, tiba-tiba saja saya kembali menemukan kebahagiaan yang lama hilang itu. Saya memperlakukan media ini sebagai tantangan yang mesti dijinakkan. Mulanya saya mengejar popularitas. Saya merasakan betapa susahnya menjadi pemula. Maklumlah, di Kompasiana, ada banyak nama hebat di dunia kepenulisan di Tanah Air. Mulailah saya bereksperimen dengan berbagai jenis tulisan. Mulai dari yang bahas seks (nah,.. tulisan jenis ini yang paling laris), hingga tulisan-tulisan perjalanan, sosial, atau kebudayaan.

Nah, di Kompasiana, tulisan-tulisan dikelompokkan dalam beberapa kategori serta ada semacam statistik mana tulisan yang terbanyak dibaca, terbanyak dikomentari, serta apa saja tulisan HL selama sehari. Saya tertantang untuk menulis yang kira-kira bisa diterima dalam kategori tertentu. Beberapa tulisan saya (khususnya tentang seks) berhasil menjadi tulisan terpopuler. Seiring dengan itu, saya jadi punya banyak teman dari berbagai lapisan profesi serta tersebar di banyak daerah di Nusantara. Saya menjalin silaturahmi melalui tulisan, saling memberi masukan serta menyempurnakan. Saya serasa menemukan dunia baru yang mengasyikkan.

Sekian lama bergabung di Kompasiana, saya mulai menemukan kembali kegairahan menulis. Dan yang tak kalah penting, saya kembali menemukan sensasi ketika tulisan saya menjadi HL. Rasa girangnya sungguh tak terkira saat meliohat foto dan tulisan kita dipajang besar-besaran di halaman depan Kompasiana. Saya kembali menemukan kebahagiaan seorang jurnalis yang lama hilang sebab saya menyadari bahwa betapa tidak mudahnya mencatatkan tulisan menjadi HL pada sebuah social blog yang para penulisnya adalah orang-orang hebat. Nah, kebahagiaan itu saya rasakan hari ini saat tulisan saya menjadi HL sebagaimana bisa dilihat pada foto di atas.

Meski demikian, saya mesti kembali mempertegas bahwa saya menulis bukan untuk HL. Saya menulis demi mengalirkan energi yang berpusar dalam diri ini. Saya menulis sebagai terapi, sebagai makanan buat jiwa.(*)

Pelacur yang Rajin Salat

ilustrasi

MUSIK masih hingar-bingar dan berdentam keras di ruangan itu. Sebegitu kerasnya hingga gendang telinga ini serasa ditusuk-tusuk. Saya masih duduk di satu sudut bar yang cukup populer di Makassar bersama Max (28) --sahabat sesama warga timur Indonesia. 

Kami berdua ditemani Ningsih, salah satu kekasih Max di bar itu. Entah, saya tak pernah menghitung ada berapa jumlah kekasih Max di sejumlah diskotik yang selalu dikunjunginya. Kata teman, di setiap diskotik, Max punya kekasih. Saya sudah pernah menuliskan pengalaman menemani Max. Lihat DI SINI.

Di kota Makassar ini, diskotik banyak berserakan di sekitar pelabuhan yang hiruk-pikuk. Keberadaan diskotik dan bar menjadi nadi warga kota, khususnya mereka yang lelah dengan rutinitas melelahkan di siang hari untuk mengumpulkan uang. Di tempat seperti ini, saya sering mengingat sosiolog Daniel Bell. 

Katanya, manusia punya kontradiksi. Di siang hari bekerja keras dan efisien demi uang, namun di malam hari, manusia bisa menghabiskan uang dengan mudahnya. ”Ini kontradiksi antara ekonomi dan budaya yang cenderung butuh pelepasan," kata Bell. 

Bagi saya, Bell hanya melihat para pengunjung bar atau diskotik. Ia tidak melihat bahwa bagi wanita seperti Ningsih, malam hari adalah arena untuk mengumpulkan pundi-pundi uang dari pria hidung belang seperti Max.

Ini adalah pertama kalinya saya mengenal Ningsih. Kulitnya putih bersih, pertanda ia rajin merawat tubuh. Saya selalu menahan napas setiap melihat pakaiannya yang minim dan menampakkan keseksiannya. Kakinya menyembul. Dadanya membusung. Putih. Saya tak mau memandang ke arah dada itu. Rambutnya sebahu dan nampak terawat. Lurus memanjang dan menutupi lehernya yang jenjang.

Dandanannya jauh dari kesan menor, tanpa polesan di wajahnya yang putih. Dalam pelukan Max yang hitam legam itu, ia sesekali curi pandang ke arahku. Saya pun sesekali memandangnya, namun pandangan segera dialihkan ke sejumlah pria tua bangka yang tanpa malu berjoget di tengah bar tersebut. Saat Max pergi berbincang dengan seorang teman di situ, Ningsih lalu merapat. Tapi saya berusaha tetap menjaga jarak. Kami lalu berbincang.

Usianya baru 23 tahun, namun sudah menyandang status janda. Suaminya selingkuh dengan gadis lain, sehingga Ningsih nekad minta cerai. Anaknya lalu dititip pada orangtuanya, dan setiap bulan ia menyisihkan penghasilannya untuk biaya perawatan anaknya. 

Tanpa saya minta, ia terus berceloteh tentang jalan nasib yang tak pernah disangkanya. Tapi, ia menerimanya sebagai takdir yang tak terelakkan. Saya salut dengan keberaniannya menantang nasib. Setidaknya, ia bisa mandiri di tengah berbagai cibiran orang lain atas profesi yang sedang digelutinya.

Kami mulai akrab. Seakan mulai terbangun jembatan kesepahaman di antara kami. Saya tak mau latah membenci perempuan seperti Ningsih. Malam ini, saya memberanikan diri untuk menggenggam jemarinya yang sedingin es. Ia tersenyum riang saat sesekali menatap ke mata saya. Ia menghembuskan rokok ke wajah saya hingga beberapa kali terbatuk-batuk. Ia lalu cekikikan melihat tingkah saya.

Entah kenapa, kami tiba-tiba saja membahas tentang agama. Ia langsung bersemangat, namun tiba-tiba saja ia tersentak. Tema pembicaraan menjadi hambar. Ia gelisah dan sesekali melihat penunjuk waktu di lengannya. 

Sejurus kemudian, ia lalu minta izin beberapa menit untuk keluar ruangan. Sekitar 20 menit berikutnya ia datang. Wajahnya berseri dan nampak lebih cerah.

"Dari mana?" tanyaku.
"Dari salat,"
"What? Apa saya tak salah dengar?”

”Tidak Bang. Saya serius.”

”Jadi, kamu masih tetap menjaga salat?"
"Iya. Meski sering bolong-bolong, tapi saya tetap berusaha untuk salat selagi sempat,"
"Trus, kalau kamu salat, apa kamu tahu kalau profesi ini sangat jauh dari sikap salat itu?"
tanyaku dengan sok moralis.
"Iya saya tahu. Tapi, saya tak punya pilihan. Tanpa beginian, saya dan anak saya akan makan apa?" tanyanya.

Saya lama terdiam sembari memainkan jemarinya. Saya tak mampu menjawab pertanyaan terakhirnya. Mungkin inilah yang disebut paradoks. Antara salat dan profesi sebagai ladys night di satu bar --yang setiap malam minum minuman beralkohol serta melayani nafsu pria seperti Max-- adalah dua sisi kutub yang saling berjauhan. 

Tapi, Ningsih tetap menjaga keduanya dengan seimbang. Bekerja di bar adalah ladang mencari nafkah. Namun, kewajiban salat tetap dijaganya, meskipun ia tahu konsekuensi dosa atas pekerjaannya. 

Tiba-tiba saja, saya jadi bertanya pada diri saya sendiri, apakah gerangan yang disebut dosa? Bisakah disebut dosa ketika seseorang memilih suatu profesi demi memberi kehidupan bagi manusia lain? Bukankah Ningsih sedang menyakiti dirinya sendiri dengan profesi itu?

”Abang masih sering salat?” tanyanya.
”Saya lama tak salat,”
”Kenapa Bang?”

”Entahlah. Saya tahu itu penting. Tapi tubuh ini seolah kaku untuk salat,”

”Abang gak takut dosa?”
”Saya tak tahu apa itu dosa,”

”Ningsih takut dosa. Tapi, saya kan juga butuh hidup,” katanya

Kembali saya terdiam. Saya lalu merenungi diri saya. Pertanyaan Ningsih adalah tudingan yang membuat saya tak berkutik. Mungkin, saya sudah terlampau jauh dari Tuhan sehingga sudah jarang menegakkan perintah-Nya. Mungkin saya terlampau jauh berjalan mengembara dan berkubang di ranah pemikiran berbagai ideologi, tanpa sempat menegakkan lagi pilar keyakinan yang saya peluk sejak kecil. Saya jauh tersesat.

Malam ini, Ningsih menjadi embun yang membasahi dasar hati saya yang kering. Sungguh saya tak menyangka bahwa di tempat yang hingar-bingar seperti ini, spiritualitas adalah sesuatu yang bisa ditemukan pada jiwa-jiwa yang memang mencarinya. 

Saya tak hendak mendefinisikan spirituaslitas sebagai setumpuk doktrin dan keyakinan yang harus dilaksanakan dengan patuh. Saya mendefinsikan spiritualitas sebagai mercusuar yang secara perlahan memandu seseorang untuk tetap menemukan jalan pedang kebenaran. 

Bagi perempuan seperti Ningsih, spiritualitas adalah sesuatu yang memandu gerak dan kejernihan memandang bahwa tetap saja ada yang disebut dosa, dan tetap saja ada yang disebut kebenaran. 

Dengan kesadaran utuh bahwa profesinya itu adalah dosa, ia sudah bertransformasi menjadi sosok yang sedang menggelapkan diri, namun tetap melihat setitik cahaya di seberang sana. Ia jauh lebih baik dari saya yang hingga kini tersesat di jalur gelap, tanpa melihat setitik cahayapun di seberang sana. Tanpa menjemakan pengetahuan itu ke ranah praktis.

Saya tak mau sok moralis. Namun, pepatah ”don’t judge the book from the cover” seakan menari-nari di depan mata saya. Mungkin selama ini saya terlampau rendah memandang perempuan seperti Ningsih. Padahal, di balik realitas itu, terdapat sosok yang tengah berjuang keras memberi kehidupan bagi tubuh kecil di seberang lautan sana. 

Di balik tubuh yang cantik itu, terselip sosok yang gigih mempertahankan keyakinannya, meskipun ia sendiri menyadari paradoks hidup tentang benar-salah atas apa yang dilakoninya. Malam ini, ia menjadi embun atas hati saya yang kering-kerontang. Malam ini ia menjadi guru yang mengatasi dahaga saya atas pencarian akan kebenaran.

Saya lalu memandang Ningsih dengan tersenyum. Ia lalu mengenggam jari saya dan merebahkan kepalanya ke pundak ini. Baunya harum menyengat. Saya kembali menahan napas dan memandang ke tengah-tengah bar itu. Saya melihat Max sedang berciuman di satu sudut. 

Ups....!! kembali saya alihkan pandangan saya.