ALHAMDULILLAH, kemarin aku sudah kembali menjalankan puasa Senin-Kamis. Entah kenapa, belakangan ini batinku merasa kosong. Tiba-tiba saja aku rindu dengan nuansa spiritualitas. Sesuatu yang nyaris hilang pada diri saya selama dua tahun terakhir.
Mungkin, ini dikarenakan hidupku yang sedang susah di Jakarta. Duit di kantongku tinggal Rp 50 ribu. Semalam, Dwi mentertawakanku. Katanya, saya salat karena duit di kantong kian menipis sehingga kian dekat dengan Allah. Aku hanya bisa tersenyum.
Aku memang tengah susah. Bekerja di tempat baru belum juga mendatangkan gaji buat saya. Maklumlah, saya bekerja baru sekitar dua minggu. Di sisi lain, semua tabungan dan uang yang kumiliki sudah dipakai untuk membayar biaya kuliah di Universitas Indonesia (UI).
Aku benar-benar susah. Sewaktu masih kerja di Persda Kompas, salary-ku per bulan bisa mencapai Rp 4 juta. Kini, setelah membayar semua biaya di UI, aku hanya punya uang sekitar Rp 500 ribu. Aku harus hidup dengan biaya itu selama seminggu. What can i do???
Di saat susah seperti ini, tiba-tiba saja aku merasa kehilangan banyak teman. Bayangkan, betapa susahnya aku ketika datang ke Talang, tempat teman-teman Makassar di Jakarta, ternyata tak satupun yang bisa membantu. Padahal, aku cuma butuh sesuap nasi.
Aku benar-benar susah. Bahkan untuk makanpun aku tak sanggup. Aku hanya bisa berbaring saja di kosku di Rawamangun sambil memnunggu datang keajaiban. Bahkan untuk makan, aku embat saja krupuk yang sempat dikasih Enre ke aku beberapa minggu yang lalu. Kerupuk yang rasanya sudah tawar itu, aku makan saja demi mengganjal perutku.
Di saat yang susah itu, aku baca buku tentang bagaimana menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas kita. AKu jadi terinspirasi. Dalam keadaan susah, saya belajar untuk tetap berdoa dan berharap ada keajaiban dari Allah.
Tiba-tiba saja, Dwi kirim sms dan siap membantu kirim duit. Aku tersentak. Tak kusangka jika dalam kondisi kos-kosan dan pas-pasan ia masih bisa membantuku. Katanya, ada bea siswa sebesar Rp 750 ribu yang dia terima dari Ka Lily, mantan wartawan Kompas yang kini kerja di Private Editor di Jepang.
Saya sama sekali tidak menyangka kalau di saat yang susah seperti ini ada saja bantuan yang datang. Dan Dwi menjelma jadi dewa penolong bagi saya.
Kembali ke soal religiusitas, kemarin, anak buahku yaitu Iwa juga mentertawakan hal yang sama. Ia mengolok-olok sikapku yang tiba-tiba sangat religius dan selalu menyebut Allah. Anehnya, saat mau buka puasa, Iwa langsung menawarkan akan mentraktir menu buka puasa. Katanya, siapa tahu dia mendapatkan pahala yang sama dengan saya.
Rupanya, ia terpengaruh dengan pendapat ustad kalau memberi sajian buka puasa akan mendatangkan pahala yang sama dengan yang berpuasa.