Bagaimanakah asal mula munculnya tradisi tenun di masyarakat Buton? Beberapa antropolog seperti Rahman (2006) tidak mencatat fenomena ini secara jelas. Ia hanya merekomendasikan untuk melakukan telaah pustaka sejarah demi mengetahui kapan secara persis tradisi ini masuk ke tanah Buton.
Catatan sejarah menyebutkan, Buton sudah disebutkan dalam kitab kuno Negarakertagama yang ditulis Empu Tantular pada tahun 1364. Dalam kitab tersebut, Empu Prapanca menyebut sumpah Gajah Mada yang dikenal dengan nama Sumpah Palapa.
Dalam sumpah itu, Gajah Mada menyebut sejumlah negeri yang harus dikuasai Kerajaan Majapahit, yang satu di antaranya adalah Buton. Ungkapan tersebut berbunyi, “Ikang sakasanuasa Makasar Boetoen Banggawi....” yang maknanya: “Yang dimaksud Kesatuan Nusantara adalah Makassar, Buton, Banggai ...” (i)
Namun, tak ada keterangan yang jelas, apakah pada masa ini orang Buton sudah mengenakan tenun ataukah tidak. Jika data sejarah kembali ditelusuri demi membedah asal-muasal ini, maka boleh jadi, tenun sebagai tradisi di Buton, diperkirakan sudah ada sejak Buton abad ke-14. Itu bisa dilihat dari artefak sejarah yakni kampua, jenis tenun yang menjadi mata uang pada masa itu.
Inilah hal yang mencengangkan sebab tenun bukan cuma untuk pakaian sehari-hari atau penanda identitas. Kain juga menjadi alat tukar yang digunakan.
Pada masa lampau, peredaran luas kain-kain Buton dari sultan dan keluarga bangsawan dalam kesultanan, yang disebut dengan istilah tanet, yang digunakan sebagai surat berharga yang secara kebudayaan bisa diterima sebagai alat tukar untuk aktivitas perdagangan bahkan sampai ke Papua merupakan testimoni atas kebesaran Buton di masa lampau. Mata uang tersebut juga disebut kampua. Mengacu pada catatan sejarah, pada abad ke-14, telah terjadi menggunakan mata uang Kampua, dan beredar hingga tahun 1951. (ii)
Mata uang ini tercatat di museum Bank Indonesia (BI) sebagai mata uang tertua di Pulau Sulawesi. Sepintas mata uang Kampua terlihat seperti pulau Buton di peta. Padahal, kampua terbuat dari tenunan serat kayu. Bentuk awalnya hanya berupa 4 jari tangan. Kemudian berubah diperbesar menjadi telapak tangan.
Mata uang Kampua dipastikan penggunaannya pada kerajaan Sultan Dayanu Ikhsanuddin yang memerintah pada tahun 1597-1631. Kala itu Kampua ini ditenun oleh putri raja. Bentuknya seperti telapak tangan, dan terdapat cap telapak tangan menteri keuangan di kerajaan tersebut yaitu Menteri Boto Onggena.
Pada masa itu, nilai tukar satu mata uang sama dengan satu butir telur. Kemudian sesuai kondisi perekonomian nilainya pun berubah pula. Di Kesultanan Buton, Sultan Dayanu Ikhsanuddin jugalah yang mengharuskan setiap transaksi untuk menggunakan mata uang kampua.
Kemudian di tahun 1851, datanglah Pemerintah Kolonial Belanda menjajah pulau
Sulawesi dan memasuki Buton. Gubernur Jenderal VOC Pieter Both sempat salah mengerti saat berkunjung ke Buton.
Ia beranggapan bahwa barang-barang di wilayah perairan Buton ini sangat murah, karena orang Buton membayar barang dagangan yang dibelinya hanya dengan kain kecil yang disebutnya lap, sebagaimana muncul dalam kutipannya:
“Di sini semua amat murah harganya. Mereka membayar barang dagangan dengan lap kecil,” katanya.
VOC lalu menggusur kampua dnegan mata uang Golden milik Belanda. Namun hanya di daerah - daerah tertentu saja. Di daerah pelosok Buton, kampua masih digunakan untuk bertransaksi. Hingga akhirnya pada tahun 1851 mata uang kampua ini diberhentikan peredarannya.
Jika kampua adalah tenun dari bahan kulit kayu, maka tenun kain diperkirakan mulai marak sejak abad ke-13, saat bangsa-bangsa Eropa berbondong-bondong ke Nusantara untuk berdagang rempah-rempah. Mereka melalui jalur perdagangan yang terbentang, di mana Buton adalah bagian dari jalur perdagangan tersebut.
Sebelum ramainya perdagangan rempah-rempah (iii) ada tiga jalur utama yang menghubungkan kawasan timur dan barat Nusantara. Jalur pertama Makassar menyusuri pantai selatan Sulawesi melalui Selat Selayar, kemudian menuju timur laut memasuki perairan antara Kabaena dan daratan tenggara Pulau Sulawesi, lalu ke kawasan Laut Tiworo.
Dari sini menuju pantai utara Buton melalui Selat Wawonii menyusuri pantai timur Sulawesi menuju Bungku (Tombungku), Banggai dan Halmahera (Ternate). Pelayaran dengan jalur ini kemungkinan singgah di Selayar, Sinjai, Kabaena, Poleang/Rumbia, Tinanggea, dan Moramo Kendari.
Rute kedua dimulai dari Makassar menyusuri pantai selatan Sulawesi ke arah timur melalui Selat Selayar dan masuk ke perairan Kabaena bagian selatan, menuju pelabuhan Bau-Bau (Buton). Selanjutnya menyusuri pantai barat Buton dan kemudian pantai utaranya menuju Wawonii.
Seperti halnya yang pertama, sasaran akhir jalur pelayaran ini adalah Pulau Halmahera. Jalur terakhir, dari Makassar menuju Bau-Bau (Buton) dan selanjutnya melewati Kepulauan Tukang Besi ke timur laut memasuki Laut Buru dan kemudian menuju Ambon. Dari sini rute dilanjutkan ke Kepulauan Banda. Rute terakhir ini merupakan jaringan niaga laut utama di Samudera Hindia dan perairan Kepulauan Nusantara (Burhanuddin dkk, 1979: 50; Chauduri, 1989: 10, 35).
Setelah perdagangan rempah-rempah mulai marak, orang-orang Eropa lebih memilih jalur perdagangan melalui Buton. Keterangan yang lebih lengkap mengenai jalur pelayaran ini bisa dibaca dari laporan Tome Pires (1512-1515) yang berjudul Summa Oriental. Menurut Pires, perjalanan lebih singkat bagi orang Portugis ke Maluku tidak melalui pantai Jawa, melainkan melalui Singapura ke Borneo (Kalimantan) kemudian ke Pulau Buton lalu ke Maluku.(iv)
Faktor jalur perdagangan ini menyebabkan Buton tampil sebagai kerajaan memegang peranan penting dalam percaturan ekonomi dan politik di kawasan timur Nusantara. Ada dua hal yang terkait erat dengan itu yakni (1) kedudukan geografi dan (2) aktivitas perdagangan maritim khususnya rempah-rempah.
Dalam konteks yang pertama, Buton merupakan mata rantai utama yang menghubungkan antara kawasan timur sebagai daerah penghasil rempah-rempah dengan kawasan barat, khususnya Malaka, sebagai tempat penjualan komoditi ini. Dalam pemikiran Lombard (2006, II: 47) Maluku dan Malaka adalah kutub utama niaga di Asia Tenggara.
Kondisi itu tampak mempengaruhi perkembangan kerajaan Buton yang berdiri pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14. Terlepas dari konteks politik global ketika itu, namun dapat dipastikan bahwa Buton telah terintegrasi dalam jaringan perdagangan maritim Laut Jawa, yang mana sering dilewati oleh para pedagang yang berlayar secara musiman memanfaatkan angin muson timur dan muson barat.
With the eastern monsoons they go to the Straits of Malacca, Sumatra Palembang, Borneo, Patani, Siam and a hundred other pleces too many to tell. With the western monsoon they go to Bali, Bantam, Bima, Solor, Timor, Alor, Selayar, Buton, Buru, Banggai, Mindanao, the Moluccas, Ambon, and Banda, which has now been taken from them (Schrieke, 1960: 20).
Letak Pulau Buton yang berada di antara Pulau Jawa, Makassar, dan ‘kepulauan rempah-rempah’ sangat penting artinya, karena di pelabuhan Pulau Buton inilah para pedagang asing itu acapkali berlabuh sambil memperbaiki bagian kapal yang rusak, karena di pulau ini tersedia banyak kayu jati yang bagus untuk kapal, sekaligus mengisi ulang bahan makanan dan air minum yang sangat dibutuhkan dalam pelayaran lanjutan, baik dari ataupun ke Kepulauan Maluku.
Bahkan, beberapa orang pejabat VOC juga berkunjung ke Buton, di antaranya adalah Gubernur Jenderal Pieter Both (v) yang berkunjung pada tanggal 29 Agustus 1613. Pejabat lain yang pernah singgah adalah Jan Pieterszoon Coen yang pada saat itu masih berstatus sebagai pedagang besar. Posisi strategis ini, Kesultanan Buton menjadi imperium yang cukup besar di kawasan perairan Buton. Kawasan ini menjadi kesatuan sistem laut (sea system) dengan Kesultanan Buton sebagai penyangga utamanya.
Sejumlah sejarawan seperti Eric Crystal (1979) memperkirakan bahwa tenun telah ada di Buton sejak adanya kontak perdagangan dengan bangsa Cina, Belanda, Inggris, Portugis, dan negara Eropa lainnya.
Seiring dengan datangnya agama Islam melalui pesisir, maka tenun sutra mengalami modifikasi menjadi tenun ikat seperti sarung, yang dikenakan untuk kegiatan keagamaan. Robyn dan Maxwell (1979) mengatakan, pengaruh Islam itu menyebabkan tersebarnya tenun ikat di sepanjang pesisir pantai, khususnya wilayah yang mendapat pengaruh Islam termasuk Sulsel. Jika pendapat ini kita benarkan, maka sejak masa silam bisa dipastikan tenun ikat Buton sudah tersebar hingga ke Malaka dan India.
Melalui perdagangan itu, terjadi alih pengetahuan dan dialog kebudayaan sehingga tenun –sebagai tradisi yang datang dari luar-- bisa diterima menjadi bagian dari kebudayaan Buton. Sejak masuknya tenun, banyak lahir benda-benda kebudayaan atau artefak yang menggunakan kain sebagai bahannya, mulai dari pakaian, tenun kerajaan, hingga jenis-jenis ikat kepala maupun sarung yang dikenakan hanya pada momentum tertentu.
Tenun kemudian identik dengan kain berkualitas tinggi yang banyak dikenakan keluarga raja dan bangsawan. Meski demikian, kain juga dikenakan secara luas oleh rakyat jelata dengan motif dan desain khusus, yang dikembangkan sejak masa silam.(*)
Cukup sekian. Nanti dilanjutkan lagi....
Catatan Kaki
(i) Lihat Yunus, Abdul Rahim (1995) Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abd ke-19. Jakarta: INIS
(ii) Saat ini, Kampua berada di Museum BI Jakarta. Karena hanya satu - satunya keberadaan Kampua sangat dijaga, tidak diperbolehkan tersentuh siapapun. Dalam setiap pameran pun hanya bisa dilihat melalui duplikat gambarnya. "Tidak tahu kalau di Buton. Tapi saat ini BI hanya punya satu.Saat ditemukan sudah dimakan rayap, makanya keberadaannya sangat kami jaga," terang Ernawati Jatiningrum, Peneliti BI Jakarta yang dimintai keterangan tentang sejarah uang tersebut, sebagaimana dicatat Kendari Pos, Sabtu 21 Februari 2009 lalu.
(iii) Perdagangan rempah-rempah sudah dikenal di Eropa sejak zaman Romawi Kuno. Komoditi ini termasuk salah satu komoditi utama niaga Asia pada zaman kuno (Burger, 1962). Awalnya, saudagar Cina-lah yang memperdagangkan rempah-rempah ke India. Di sana orang-orang Eropa membeli rempah-rempah. Karena itu, dalam batas tetentu (awalnya) mereka mengenal bahwa komoditi itu dihasilkan di India. Seiring perkembangan niaga maritim, orang Melayu, Jawa, Persia, Arab, dan saudagar lainnya turut ambil bagian dalam perdagangan itu. Khususnya orang Melayu telah memainkan peran itu dalam abad ke-14 ketika Cina sudah tidak aktif lagi dalam perdagangan itu. Ini terutama sejak tampilnya Malaka sebagai kutub utama ekonomi Asia Tenggara, di samping Maluku sebagai kutub utama lainnya yang menyediakan rempah-rempah.
(iv) Darmawan, M Yusran (2008) Menyibak Kabut di Keraton Buton. Bau-Bau: Respect
(v) Pieter Both menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1610-1614