Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Di Balik Tewasnya Suporter The Jak Mania


seseorang menaruh bunga untuk mengenang tragedi Heysel yang menewaskan suporter Juventus dan Liverpool


DI dekat stadion itu, seorang suporter Persija, tewas mengenaskan. Di media sosial, sejumlah orang menyalahkan suporter sebab membawa atribut The Jak Mania ke markas Persib. Masing-masing pemimpin daerah sudah mengeluarkan kecaman.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil minta agar pelakunya ditindak tegas oleh aparat. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga mengeluarkan kecaman yang sama. Semua orang yang pernah menyaksikan video tewasnya suporter itu akan meneriakkan hal yang sama.

Anehnya, di media sosial, sejumlah orang sibuk membela suporter yang membunuh. Korban disebut bersalah karena sengaja membawa atribut suporter dan membuat postingan di media sosial. Dia disebut sengaja provokasi di kandang lawan.

Hilangnya selembar nyawa tidak harus dibela dengan berbagai argumentasi. Sepakbola bukan soal kalah menang. Bukan juga soal teman dan lawan. Sepakbola hanya permainan di mana 22 orang pemain berburu bola dan berlomba memasukkannya ke gawang.

Sepakbola harusnya menyatukan, bukan malah memisahkan, menjadikan teman sebagai musuh, kemudian muncul solidaritas ramai-ramai dan memukuli orang lain. Tewasnya suporter The Jak Mania ini bukanlah yang pertama.

Sebelumnya kita mencatat ada banyak peristiwa tewasnya suporter karena bentrok di lapangan. Pertanyaannya, mengapa harus bentrok? Mengapa kedua belah pihak tidak bisa saling gembira bersama dan ngopi-ngopi saat timnya menang atau kalah?

Memang, ada banyak soal yang sedang mendera sepakbola kita. Dari sisi prestasi, tak ada yang bisa dibanggakan dari olahraga ini. Jangankan melawan tim Eropa, melawan Malaysia dan Thailand saja kita keok.

Klub-klub kita hanya jago kandang. Sudah merasa hebat ketika bisa mengalahkan klub lokal lainnya. Sependek pengetahuan saya, klub-klub kita dibesarkan oleh fanatisme kedaerahan. Kelompok suporter menjadi kekuatan baru yang setiap tindakannya dikaitkan fanatisme daerah.

Apa saja dibawa ke harga diri. Stadion menjadi panggung bagi harga diri. Ketika menang, yang muncul sikap jumawa. Ketika kalah, harga diri seakan tercabik-cabik. Para pengelola klub dan sepakbola selalu mengklaim diri sebagai modern.

Tapi untuk pengelolaan suporter, sentimen emosional terkait daerah yang dibangun. Sebab sentimen itu yang akan mengikat semua orang dan bersedia datang ke stadion untuk beli tiket dan bisa menonton.

Masalahnya, sentimen itu membuat para suporter menganggap dirinya satu grup, sedang suporter lain sebagai grup lain. Karena masing-masing sudah menganggap berbeda, maka konfik akan mudah terjadi.

Saat saling bergesekan, konflik bisa muncul. Dalam kondisi ramai, semua orang merasa jadi hero dan jagoan. Sepertinya kita kehilangan satu perekat yang menyatukan kita sebagai anak bangsa.
Padahal, biarpun klub dan tim berbeda, kita adalah satu barisan, sama-sama anak bangsa, sama-sama bernaung di bawah sayap garuda republik yang sama.

Satu hal yang harus dicatat. Sepakbola bukan sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari pengaruh unsur lain. Sepakbola kita tak bisa lepas dari tarikan-tarikan sosial dan politik, serta budaya. Karakter suporter adalah buah yang tumbuh dari cabang pohon masyarakat kita.

Bagaimana mungkin para suporter akan saling memeluk dan mencintai ketika dunia sosial kita mengajarkan kita untuk membenci sesama? Kita berada dalam satu masyarakat yang suka membenci dan perpecahan.

Lihat saja media sosial kita yang setiap hari diisi dengan tengkar dan debat tak kunjung habis. Pilihan politik berbeda bisa memutuskan silaturahmi. Padahal, kekuatan politik mana pun yang naik, belum tentu membawa dampak bagi kehidupan kita.

Kita juga mudah sekali menyalahkan sesuatu di luar kita. Bahkan pelaku pengeroyokan suporter disebut media sebagai oknum. Kita tak secara gentle mengakui bahwa pelakunya adalah pendukung tim tertentu, yang seharusnya mendapatkan hukuman.

Di luar negeri, ketika seorang suporter tewas, maka klub ikut mendapat hukuman larangan bertanding. Saat tragedi Heysel saat pertandingan Liga Champion antara Juventus versus Liverpool, banyak tifosi Juventus tewas.

Saat itu, semua klub Liga Inggris mendapat hukuman larangan bertanding di arena internasional selama lima tahun. Itu harga yang pantas bagi klub yang gagal menertibkan suporternya. Tapi di tanah air kita, kekerasan itu seakan mendapat legitimasi.

Kita jarang mendengar berita tentang hukuman bagi klub mana pun yang suporternya bentrok. Tanpa hukuman, maka kekerasan yang sama berpotensi untuk terjadi lagi di masa depan.
Yang terasa hilang dari kita adalah sikap memandang segalanya sebagai satu semesta, satu jaringan, satu tubuh.

Harusnya kita bisa keluar dari perangkap kecintaan berlebihan pada sesuatu. Toh, kita sesama manusia yang sama-sama mencari ruang untuk hidup. Kita adalah sesama makhluk Allah yang bergerak di bumi untuk memakmurkannya.

Tak hanya di sepakbola, dalam banyak aspek dunia sosial kita tidak merasa sebagai satu bagian. Di dunia politik kita saling kecam. Di dunia budaya juga kita bisa ribut karena menyoal asal tarian. Kita kehilangan satu rasa tenteram sebagai makhluk sosial yang hidup dalam satu komunitas.

Terlampau lama kita memandang diri kita hidup dalam satu sekat-sekat kepentingan. Padahal di luar sana, dunia semakin menyempit. Manusia berbagai bangsa mulai lintas negara. Manusia bergerak menjemput peluang di banyak tempat.

Bahkan ada manusia yang mulai memikirkan bagaimana membangun koloni di Planet Mars. Saya bayangkan setiba di Mars, dia akan membawa identitas sebagai orang bumi, sebagai pendukung klub bumi. Bukan sebagai pendukung klub A atau klub B.

Tewasnya seorang suporter adalah alarm bagi dunia sosial kita. Saatnya kita merumuskan strategi budaya yang bisa menyatukan semua pihak yang berbeda. Sejatinya ini adalah perkara mudah. Tapi ketika kepentingan politik jangka pendek masuk, maka ikatan itu akan segera longgar kembali.

Kita akan kembali dalam konflik yang bisa menewaskan anak bangsa kapan pun itu. Yang terasa hilang dari kita adalah sikap riang dan gembira menyaksikan pertandingan bola, sebagaimana anak kecil melihat mainan baru.

Kita jadi terlampau serius. Apa-apa dikaitkan dengan harga diri. Akibatnya, kita kurang piknik dan kurang bahagia sehingga mudah menyalahkan orang lain. Kita gagal menjinakkan potensi kekerasan dalam diri kita.

Semoga Indonesia selalu damai dan riang gembira.



Mengingat Sapiens Saat Menonton Alpha




ANAK muda itu dikira tewas oleh warga sukunya saat pertama kali ikut dalam misi berburu. Dia ditanduk bison purba sehingga jatuh pingsan di lereng tebing curam. Dia ditinggalkan begitu saja setelah ayahnya ketua suku, serta warganya setelah menggelar upacara penguburan secara singkat. Ternyata dia belum mati.

Keda, demikian dipanggil, akhirnya bangun. Dia mesti survive dan kembali ke kampung halamannya. Tapi, dia harus melakukan perjalanan melewati hutan rimba yang penuh binatang buas.

Jika saja itu terjadi di masa kini, dia cukup mendatangi pemukiman terdekat, meminjam telepon lalu meminta ayahnya datang menjemput. Dia bisa minta petugas keamanan untuk membawanya ke rumah. Atau ke hotel terdekat dan leyeh-leyeh dengan mie siram panas serta kaki direndam di air hangat.

Tapi ini terjadi di Eropa pada 20.000 tahun silam. Ini adalah masa manusia masih tinggal dalam perkampungan suku yang kecil, masih mengandalkan aktivitas berburu demi mencukupi kebutuhan pangan.

Manusia hidup bertetangga dengan hutan-hutan lebat yang penuh binatang buas. Perjalanan bisa ditempuh berhari-hari dan menghadapi banyak bahaya.

Keda lalu berusaha untuk bertahan. Alam semesta begitu baik sebab menyediakan semua kebutuhan makanan, mulai dari cacing, hingga serangga. Tapi manusia belum memegang supremasi atas alam di masa itu. Manusia berbagi teritori dengan berbagai hewan liar yang menghuni hutan dan setiap saat bisa saja memangsa manusia.

Perjalanan Keda menjadi tidak mudah. Dia mesti melewati teritori serigala atau anjing liar. Saat dikejar semua anjing, dia berhasil melukai satu anjing, sebelum akhirnya memanjat pohon mati dan berdiam di sana. Ketika anjing lain pergi, Keda turun dan hendak membunuh anjing itu.

Pada era di mana yang terkuat adalah yang menenang, Keda justru tidak punya naluri membunuh. Dia malah merawat anjing terluka itu dan memberinya makan hingga sembuh. Barangkali inilah awal mula dari proses domestikasi hewan sehingga menjadi anggota komunitas manusia.

Anjing itu menjadi sahabat, partner berburu, serta prajurit terbaik yang melindungi Keda yang ringkih agar segera kembali ke rumah.

Kisah Keda ini saya disaksikan dalam film Alpha yang sedang tayang di bioskop. Dua hari lalu, film ini masuk dalam Google Trend sebagai film yang diperbincangkan netizen. Bahkan smeua lembaga pemeringkat film menempatkannya sebagai film bagus. Kisahnya menarik.

Di mata saya, ini bukan sekadar kisah bagaimana seorang anak berusaha kembali ke rumahnya dalam perjalanan melewati belukar penuh tantangan. Ini kisah mengharukan tentang persahabatan antara manusia dan seekor anjing. Keda digambarkan sebagai pemuda yang usianya masih remaja.

Bapaknya seorang ketua suku yang mesti menjadi sosok terkuat. Sang bapak menginginkan anaknya ikut dalam upaya berburu demi mengumpulkan bahan makanan sebelum datangnya salju. Demi ikut berburu, masing-masing remaja suku membuat perkakas berupa batu pipih serupa pisau agar menjadi mata tombak.

Keda menunjukkan kecakapannya membuat pisau sehingga lolos ikut dalam perburuan. Tapi, bocah ini tidak sekuat para lelaki di suku itu. Dia justru terlihat lemah dan serba penakut. Kata ibunya, kekuatan hati lebih dominan ketimbang kekuatan tombak.

Anak ini berbeda dengan ayahnya yang merupakan tipe pemimpin paling kuat, yang menerapkan aturan dengan perintah.

Prinsip yang dipegang ayah Keda disebut ilmuwan Charles Darwin sebagai prinsip bertahan di alam liar yakni survival of the fittest. Siapa yang kuat, dia yang akan bertahan. Dia tidak pernah gentar ketika harus membunuh atau berkelahi. Di sinilah bedanya dengan Keda.

Keda seorang penakut. Akan tetapi dia punya rasa kasih sayang yang besar. Berkat kasih sayang itu, dia menyelamatkan seekor anjing, yang kemudian menjadi sahabat terbaik baginya. Anjing itu yang menemaninya dalam suka dan duka, hingga menempuh perjalanan panjang dan menghadapi banyak tantangan.

Sebenarnya kisah ini biasa saja. Ada banyak film yang sudah menyajikan persahabatan manusia dan hewan. Kisah ini menjadi tidak biasa sebab mengambil setting masa pra-sejarah, pada periode akhir Ice Age. Manusia masih tinggal dalam suku-suku dengan populasi kecil dan mengumpulkan bahan makanan sebelum datang musim salju.

Film ini menyajikan sentuhan emosional yang kuat. Bumbu utama adalah persahabatan antara manusia dan anjing. Jika saja tak ada anjing itu, perjalanan akan sangat berbahaya. Film ini mengisahkan periode paling awal manusia bersahabat dengan anjing liar, lalu mendomestikasinya sehingga menjadi bagian dari komunitas. Tadinya musuh, anjing itu menjadi sahabat terbaik bagi Keda.

Film Alpha menyajikan pemandangan indah yang mengingatkan saya pada gambar-gambar dalam National Geographic. Alam semesta yang masih perawan digambarkan dalam lanskap yang memukau mata.

Telaga-telaga indah, pegunungan yang masih perawan, serta lanskap gunung berapi hadir dalam format yang sangat indah. Dalam beberapa shot, saya ingin sekali meng-capture dan menjadikannya wallpaper. Saya cukup menikmati visualisasi kehidupan manusia pada era berburu.

Saya terkenang buku Sapiens yang ditulis Yuval Noah Harari. Menurutnya, sebelum masuk era pertanian, manusia menopang kehidupan melalui aktivitas berburu. Ketika manusia mulai bisa menciptakan api, maka inilah awal dari supermasi manusia di alam. Banyak hewan-hewan besar yang kemudian punah gara-gara manusia.

Manusia mulai mengenali cara berburu yang benar. Terdapat banyak bukti manusia membakar hutan sehingga padang rumput muncul dan hewan-hewan buruan akan datang. Sebelum masuk era berburu, manusia lalu menemukan cara untuk domestikasi hewan. Berbagai hewan liar dijinakkan dan tinggal bersama manusia.

Anjing dan kucing cukup beruntung sebab menjadi sahabat manusia. Tapi nasib sial menimpa sapi, ayam, kambing, domba, dan kuda yang harus menjadi hewan ternak. Manusia membesarkan semua hewan itu untuk membantu aktivitas pertanian, juga untuk dikonsumsi. Dimulailah era penindasan manusia atas alam dan hewan-hewan.

Satu saja catatan atas film ini. Dinamikanya terasa lambat, khususnya saat Keda berusaha bertahan. Bagian ini terasa agak membosankan. Tapi itulah inti emosional film. Kisahnya menjadi sangat mengharukan saat Keda dan anjing itu mulai menjadi sahabat.

Bagian yang saya sukai adalah saat Keda terperangkap di telaga es dan berusaha keluar, anjing itu melompat dalam gerakan yang slow motion, seakan-akan hendak berkata, apa pun kesulitanmu, saya akan melakukan apa pun.

Yang juga menarik adalah pembuat film mengajak seorang Profesor Christine Svhreyer, pakar antropologi linguistik dari Universitas British Columbia, untuk terlibat dalam film yakni membuat bahasa baru yang mendekati ucapan manusia zaman itu.

Wajarlah sebab pada masa itu belum ada bahasa Inggris. Schreyer mengambil unsur bahasa Proto-Eurasiatic, Proto-Dene-Caucasian, dan Proto-Nostratic yang digunakan para pemain dalam film. Bahasa ini digunakan pada zaman kuno, pada era manusia belum mengenal tulisan. Bahasa yang digunakan cenderung sederhana, kosa katanya tidak banyak, dan mudah dipahami.

Yang mengejutkan saya adalah kaya “Ayah” yang digunakan Keda saat memanggil bapaknya. Saya jadi berpikir, apakah kata “Ayah” merupakan kosa kata kuno yang juga digunakan orang Eropa pada abad kuno untuk menyebut ayah? Entahlah.

Yang pasti, saya cukup menikmati saat-saat ketika Keda rindu ayahnya lalu berteriak: “Ayaaaahhhhhhh...!!!”

Anda butuh hiburan di akhir pekan? Tontonlah Alpha.



Bermain Piano



Saat melihat piano, saatnya jari dilemaskan. Maka melantunlah lagu2 cantik dari Mozart dan Beethoven. Di antaranya lagu di bawah ini:


"Piano, mari main piano
Piano, mari main piano

Menyanyi diiringi dengan piano
Menari diiringi dengan piano

Piano, mari main piano
Piano, mari main piano

Pak Guru
Hm-hm
Not ini apa namanya
Yang mana
Oh itu
Re-la-la-fa-la-la-re

Pak Guru, yang ini apa namanya
Yang mana lagi
Oh
Mi-do-do-sol-do-do-mi

Pak Guru, kini aku sudah tahu
Sekarang beri pelajaran baru
Memang kau muridku yang nomor satu
Yang kusayangi selama hidupku

Pak Guru
Hm
Not ini apa namanya
Coba yang mana
Oh
Re-la-la-fa-la-la-re

Pak Guru, yang ini apa namanya
Yang mana
Oh itu
Mi-do-do-sol-do-do-mi"

Bersama Amalia Maulana



DI lobi Hotel Pullman, Jakarta, saya bertemu perempuan itu. Sejak kemarin saya mengajaknya untuk ketemu dan berbincang. Amalia E Maulana, perempuan yang spesialisasinya adalah pakar di bidang branding.

Kepada saya dia mengaku sebagai seorang Brand Consultant & Ethnographer. Dia penulis buku yang produktif mengenai topik branding. Kliennya adalah perusahaan besar, mulai dari Pertamina sampai Unilever.

Saya penasaran karena dirinya mengaku sebagai etnografer. Tapi jangan bayangkan etnografer adalah seseorang yang melakukan riset etnografi di pulau-pulau terpencil bersama masyarakat terasing.

Amalia melakukan riset etnografis untuk korporasi besar. Dia membantu lahirnya brand dan banyak merek terkenal, serta memberikan konsultasi mengenai apa yang harus dilakukan korporasi untuk meningkatkan kinerja. Melalui etnografi, dia bisa memahami apa keinginan pelanggan dan harapan mereka pada produk.

Amalia memulai semuanya dari nol. Ketika lulus PhD dari Sidney, dia datang ke Jakarta dengan membawa label sebagai konsultan marketing. Tapi antrean profesi itu cukup panjang. Di tambah lagi ada nama Hermawan Kertajaya yang sudah lebih dulu terkenal melalui bendera MarkPlus. Dia lalu mencari sesuatu yang unik, yang bisa membuat dirinya beda dengan konsultan lainnya.



Dia berpaling ke etnografi. Dia mengakui kalau etnografi adalah metodologi riset yang dipakai dalam antropologi budaya. Dia melihat tidak ada ada satupun pakar marketing yang fokus pata metode etnografi.

Baginya, etnografi adalah pendekatan riset yang paling bisa memahami konsumer. Dia belajar etnografi untuk memperkuat aspek pemasaran dan bisnis. Dia mendirikan etnomark, yang fokus pada riset etnografis untuk marketing.

Uniknya, ketika Amalia mengaku sebagai etnografer, dia belum mengenali metode itu dengan baik. Dia lalu belajar dan perdalam ilmu etnografi, yang kemudian digunakannya secara praktis untuk kebutuhan korporat. Kini, bisa dibilang dirinya adalah satu-satunya pakar marketing yang fokus pada etnografi.

Sebagai orang yang mendalami antropologi budaya dan etnografi, saya tertarik dengan kisah yang dituturkan Amalia. Lebih tertarik lagi saat dirinya bercerita tentang project barunya yang menangani branding seorang calon presiden. Saat saya tanya, siapa yang branding-nya paling kuat, Amalia lalu mengurai satu per satu.

Sayang, karena keterbatasan waktu, saya belum akan membahasnya sekarang. Mudah-mudahan ada waktu untuk membahasnya pada kesempatan lain. Semoga.



Kiat Efektif Bagi Caleg dan Politisi untuk Segera Marajai Media Sosial




JIKA saja kawan itu tidak mengaku terus terang, mungkin saya tidak akan tahu kalau namanya tercatat sebagai salah seorang calon anggota legislatif. Setiap hari, saya menyaksikan postingannya yang menjelekkan pemerintah. Apa pun informasi negatif yang diterimanya, langsung dibagikan ke mana-mana, tanpa dinalar.

Kepadanya saya sampaikan bahwa publik media sosial di Indonesia terbagi atas dua kelompok besar. Satu mendukung pemerintah, satunya adalah oposisi. Jika dirinya selalu melempar postingan negatif pada satu pihak, maka sudah pasti dirinya tidak akan didukung oleh kelompok itu.

Malah, antipati akan muncul pada dirinya. Dia bisa disebut penghasut, penebar hoaks, atau barangkali dianggap biang perpecahan. Jika bernasib sial, dia bisa saja diperkarakan dan kemudian masuk penjara. Saat itu, jangankan terpilih, bisa menjadi manusia bebas saja akan jadi impian.

Di sisi lain, kubu yang sealiran pemikiran dengannya juga belum tentu akan memilihnya. Sebab ada banyak orang sepertinya yang memilih jadi martir di media sosial. Dalam kerumunan itu, dia tidak akan diingat. Begitu capres terpilih, dia akan mudah dilupakan sebagaimana kekeringan yang dihapuskan hujan sehari.

Kepadanya saya menyarankan untuk fokus pada medan tempur yang sedang dimasukinya. Daripada sibuk dalam perang besar antara dua kelompok di pusat, dengan amunisi kuat yang dipasok para pemodal, lebih baik dia fokus pada arena kecil perang yang akan dimasukinya.

Lebih baik dia fokus pada pemilihnya, memetakan segmen mana yang hendak dimasuki, kemudian mulai merencanakan strategi. .

Sejauh yang saya amati, hanya ada tiga cara bagi seorang politisi mendekati konstituennya.

Pertama, langsung mendekati konstituen. Biasanya dilakukan melalui blusukan, temu kader, pengobatan gratis, atau mendatangi rumah ke rumah. Strategi ini butuh biaya dan juga waktu. Apalagi kalau daerah pemilihannya punya banyak gunung dan lembah. Bisa-bisa Anda gak jadi politisi, tapi jadi pendaki gunung.

Kedua, melalui tokoh berpengaruh. Sebab masyarakat kita masih patron-client sehingga sejumlah orang dianggap punya pengaruh ke orang lain. Tapi, cara ini juga berisiko transaksional. Sering kali tokoh berpengaruh tidak memberi dukungan secara gratis. Lain halnya kalau keluarga Anda pernah memberi utang pada tokoh itu. Dijamin gratis.

Ketiga, melalui media. Saya mencatat ada beberapa perubahan muncul dalam Pemilu ini. Di antaranya adalah kian meredupnya pengaruh media mainstream seperti koran. Dahulu, Anda cukup menjalin relasi dengan bos perusahaan media, atau redaktur, maka dijamin Anda akan terkenal. Sekarang strategi itu tidak bisa lagi jadi satu-satunya sandaran. 

Bahkan, sering beriklan di media online juga tidak bisa jadi strategi utama. Mengapa? Sebab media online tidak merinci dengan jelas iklan Anda dilihat berapa orang, dari daerah mana saja, apakah itu masuk dapil anda atau bukan.

Media online juga tidak memberi informasi sejauh mana out-take atau impresi orang-orang yang melihat iklan, juga tidak akan memberi informasi bagaimana outcome atau respon dan masukan orang-orang yang menyaksikannya.

Menurut saya, cara paling efektif dan murah untuk menyapa konstituen adalah melalui media sosial. Tak perlu mengeluarkan biaya sebesar membuat balio dan memajangnya di jalan-jalan. Cukup sedikit biaya untuk membeli kuota internet, juga fasilitas Google Adsense atau Facebook Ads.

Setiap saat Anda bisa menyapa orang-orang dan meyakinkan mereka untuk memilih Anda. Di situ, generasi milenial selalu berkumpul dan saling berbagi informasi, mulai dari makanan hingga pilihan politik. Jika dikelola dengan benar, postingan media sosial akan seperti air menetes yang secara perlahan akan membelah batu.

Beberapa pakar sudah menyatakan, pemenang Pemilu mendatang adalah mereka yang paling banyak didukung generasi milenial. Jika ingin memenangkan generasi milenial, maka masuklah pada ekosistem digital di mana generasi ini berkumpul. Karakteristik generasi ini adalah senantiasa aktif dan berinteraksi di media sosial. Kuncinya adalah kuasai media sosial.

Apakah waktu yang ada cukup? Iya. Waktu tujuh bulan hingga pemilu yakni April mendatang bisa efektif digunakan untuk memperbanyak postingan dan merancang konten bagus yang bisa viral dan membuat Anda disukai.

Di era media sosial, konten bagus ibarat currency atau mata uang yang akan membuat Anda terkenal. Content is the king. Konten adalah raja yang akan menentukan sejauh mana popularitas Anda di media sosial.

Tantangannya adalah bagaimana membuat konten yang bagus dan disukai, sehingga viral dan disebarkan ke mana-mana. Setelah punya konten yang disukai, langkah selanjutnya adalah perbanyak interaksi, kemudian bangun digital tribe atau kelompok relawan yang akan menjadi perpanjangan tangan Anda di media sosial.

Makin banyak interaksi, maka Anda makin disukai. Anda punya peluang besar untuk dipilih. 

*** 

DI satu warung kopi yang semilir angin terasa sejuk, saya bertemu kawan politisi itu. Dia seorang yang aktif di media sosial. Dia berterus terang kalau postingannya tidak pernah disukai lebih dari 100 orang. Kadang-kadang dia meminta teman-teman dekatnya untuk menyukai postingannya. Dirinya tidak mengetahui karakteristik media sosial, serta bagaimana menyusun konten yang tepat.

Menguasai media sosial tidaklah semudah apa yang dikhotbahkan para akademisi di kampus-kampus. Beruntung, saya banyak bersahabat dengan para influencer yang setiap posting sesuatu akan disukai ribuan orang.

Saya pun bisa dikategorikan sebagai influencer yang sekali posting akan dibagikan banyak orang. Teman itu tahu kalau beberapa konten yang saya buat sering viral dan disebar banyak orang.

Kepada teman itu saya jelaskan bahwa banyak orang mengira, dengan memperbanyak postingan, maka dia sudah eksis. Orang-orang ini lupa kalau media sosial adalah ruang yang paling demokratis. Semua netizen punya hak yang sama untuk menyukai dan tidak menyukai semua postingan. 

Ketika suka, maka mereka akan meninggalkan jejak berupa “like.” Ketika tidak suka, mereka akan cuek saja sehingga postingan itu merana dan tidak dilihat satu pun. Media sosial, seperti Facebook, punya algoritma sendiri yang akan menampilkan semua postingan di halaman depan orang yang menyukainya.

Semakin sering Anda mengklik postingan seseorang, maka apa pun yang diposting orang itu akan selalu tampil di halaman depan media sosial Anda. Jika Anda sering menyukai postingan saya, yakinlah, apa pun yang saya bagikan pasti akan muncul di beranda. Iya kan?

Nah, hal yang sama berlaku pada orang lain. Ketika tidak pernah menyukai postingan Anda, maka pastilah postingan Anda tidak akan tampil di halaman depan. Meskipun Anda berkawan dengannya. Sistem algoritma Facebook yang mengatur itu.

Sejauh pengamatan saya, para politisi mengira apa yang mereka tampilkan akan selalu disukai orang lain. Saya suka senyum-senyum sendiri saat menyaksikan foto politisi yang sudah di-make over menjadi jauh lebih ganteng sehingga mirip aktor Korea. Dia pikir orang akan simpati dengan foto yang sudah diedit sotosop.

Lebih sering saya lihat postingan politisi yang menampilkan dirinya sebagai sosok religius. Hampir semua politisi memajang foto dengan memakai kopiah dan baju koko. Politisi perempuan selalu memakai hijab. Malah, di satu tempat di Sulawesi, beberapa politisi berpose dengan tasbih di tangan. Personal branding yang hendak dibangun adalah sebagai sosok religius dan bisa dipercaya.

Bagi masyarakat yang mengenal figur-figur itu, maka foto mereka di media sosial sering jadi bahan olok-olok. Seorang preman kok jadi mendadak religius. Seorang yang sombong kok mendadak tersenyum dan ramah. Postingan hal-hal baik seperti ini belum tentu akan disukai, sebab semua orang melakukan hal yang sama.

***

APA yang harus dilakukan untuk bisa menghasilkan konten viral? Dalam buku Gara-Gara Facebook, Dewa Eka Prayoga, yang sukses meraup miliaran dari belanja online melalui media sosial, mengatakan, cara praktis membuat konten viral adalah: “Ciptakan sesuatu yang membuat orang lain ingin membagikannya secara suka rela.”

Nah, sesuatu yang viral itu tidak mungkin berbentuk editan foto wajah ganteng atau cantik disertai kalimat tentang diri yang hebat. Sesuatu yang viral itu juga tidak mungkin berupa gambar diri di luar negeri atau pose dengan tokoh-tokoh hebat. Juga tidak mungkin pamer kekayaan atau kehebatan, juga pamer religiusitas.

Bukan pula melalui postingan yang isinya kebencian pada satu orang. Sesuatu yang viral itu adalah hal-hal yang sederhana, dekat dengan orang-orang, serta menyimpan pelajaran dan inspirasi.

Orang akan gampang membagikan sesuatu ketika dirasakannya sesuatu itu bermanfaat, berguna bagi dirinya, serta menginspirasi orang lain. Postingan itu haruslah sesuatu yang bisa membuat orang lain melihat lebih jernih, belajar dari hal biasa, dan menyentuh hatinya.

Ketika Anda sukses membuat konten seperti itu, maka tak perlu meminta orang lain membagikannya. Sebab orang akan suka rela membagikannya ke mana-mana.

Trend kampanye bagi dunia politik dan bisnis adalah soft campaign, yakni kampanye yang soft sehingga tidak terasa seperti kampanye. Selama ini kita mengenal hard campaign yakni serupa penjual obat yang memperkenalkan produknya dengan heboh sebagai produk terbaik. Di era soft campaign, orang tidak lagi spesifik menawarkan sesuatu, namun memberikan kebaikan, layanan, nilai, dan membangun relasi yang bermanfaat.

Dalam kaitan soft campaign, Anda tak perlu menjelaskan kehebatan Anda, tapi bagikanlah hal-hal sederhana yang bisa membuat orang tergugah. Caranya adalah hadirkan sesuatu yang mengejutkan, buat orang-orang bangga dengan dirinya bahkan sesederhana apa pun, buat mereka tertawa gembira dan bahagia ataupun sedih melalui apa yang Anda bagikan.

Kuncinya terletak pada story-telling yakni bagaimana bercerita dengan menarik sehingga disukai orang lain.

Tak perlu rumit-rumit, mulailah dari cerita tentang Anda sendiri. Dalam perjalanan kehidupan setiap orang, selalu saja ada episode menarik, pengalaman, atau perjumpaan dengan sesuatu yang penuh menarik.

Bagikanlah kepada banyak orang pengalaman dan amatan itu. Berceritalah apa adanya, jangan terlalu mendewakan diri sebagai pahlawan, jadilah orang biasa yang berbagi hal biasa. Sesekali jadikan diri sebagai bahan olok-olok. Dengan cara ini, akan terbangun kedekatan sehingga orang-orang akan menyukai Anda.

Dalam konteks politik dan pemasaran, inilah yang disebut personal branding, yakni sejauh mana Anda mendefinisikan diri, dan bagaimana Anda ingin orang lain melihat Anda. 

***

JIKA Anda seorang politisi yang ingin membangun penggemar dan relawan di media sosial, saya merekomendasikan beberapa hal yang bisa diterapkan.

Pertama, buat narasi tentang siapa Anda. Tentukan citra diri apa yang hendak Anda tampilkan, kemudian turunkanlah narasi itu dalam bentuk postingan, meme, video, infografis, serta perspektif di berbagai kanal media sosial. Sederhanakan narasi itu sehingga bisa dipahami semua kalangan.

Kedua, buat pemetaan tentang para netizen. Pahami lokasi yang menjadi daerah pemilihan Anda, kenali budaya dan tradisi, juga kebiasaan-kebiasaan di lokasi itu. Usahakan punya informasi mendalam tentang masyarakat di lokasi itu sehingga Anda bisa merencanakan postingan yang bisa menyentuh sasaran. Setiap kali Anda posting, bangun interaksi dan dialog sehingga terbentuk pasar bagi setiap ide-ide Anda.

Ketiga, buat manajemen postingan yang baik. Tentukan kapan setiap postingan dikeluarkan. Perbanyak kisah-kisah, narasi, dan cerita sederhana sebab postingan itu punya potensi disukai banyak orang.

Keempat, gunakan fasilitas Facebook Ads sebab memungkinkan kita untuk menentukan target postingan itu bisa dilihat warga di satu daerah pemilihan, serta bisa menginformasikan dengan detail bagaimana impresi dan kesan orang-orang.

Kelima, selalu lakukan evaluasi pada semua postingan. Amati dengan detail, mana yang disukai dan tidak disukai. Terbuka pada kritik dan masukan demi penyempurnaannya. Siapkan banyak jurus dan strategi untuk silaturahmi digital. Posisikan diri Anda sebagai seorang warga biasa yang ingin bangun relasi dengan siapa saja, apapun pilihan politiknya.

Jika langkah-langkah ini sudah dilakukan, namun belum maksimal, itu pertanda sudah waktunya Anda mengontak saya atau siapa saja untuk berdiskusi. Sebab seperti kata Thomas L Friedman dalam buku Thank Your for Being Late, di era Artificial Intelligent (AI), kita membutuhkan satu tim yang punya kapasitas Intelligent Assistant (IA).

Maksudnya, era AI membutuhkan kapasitas IA. Kegiatan media sosial sebaiknya diperkuat dengan satu tim kreatif yang selalu bisa memberi penguatan dan strategi. Tim ini bisa merancang strategi dan menjadi wakil Anda dalam mendekati konstituen.

Tim ini juga melakukan evaluasi, melakukan riset konten yang disukai khalayak, juga rajin merawat hubungan dengan para netizen yang akan jadi konstituen Anda.

Dengan menguasai media sosial, maka selangkah kaki Anda ke arah kemenangan. Sebab politik tidak selalu terkait gelontoran duit. Politik tidak terkait keturunan. Politik adalah arena untuk memenangkan kesan. Politik adalah bagaimana menanamkan kesadaran dalam diri orang-orang bahwa Anda adalah orang tepat untuk posisi tertentu.

Media sosial adalah koentji.



Warung Klotok: Ketika Kesederhanaan Menjadi Kekuatan




DI Yogyakarta, kebersahajaan bisa menjadi kekuatan yang penuh daya ledak. Itu yang saya rasakan ketika mengunjungi Warung Kopi Klothok di Pakem, tak jauh dari kaki Gunung Merapi.

Bagi saya yang orang kampung, warung kopi sekaligus rumah makan ini biasa saja. Bentuknya seperti rumah-rumah rakyat di kampung yang sederhana. Perabotannya semua jadul. Singgah ke dapur, saya lebih kaget lagi. Semua makanan dimasak pakai periuk besar di atas tungku api. Persis seperti rumah di kampung.

Tapi pengunjung yang hadir begitu membeludak. Suasananya seperti pasar. Tempat parkir yang terbatas sesak dengan banyak kendaraan berpelat mobil Jakarta. Banyak turis asing dan para pengunjung dari Yogya maupun luar. Saya melihat ada beberapa artis yang ikut datang dan mencicipi makanan ala kampung di situ. 

Warung kopi ini tampil apa adanya, dan di situlah letak kekuatannya. Tak perlu dengan tampilan hebat dan reklame serta lampu-lampu terang. Cukup tampilkan kesederhanaan, sesuatu yang biasa saja, tak perlu polesan sana-sini. Itu yang membuatnya memikat. 

Mereka yang datang adalah mereka yang rindu suasana kampung dan berharap bisa mencicipi makanan rumahan. Mereka yang datang tak sekadar mencari makanan. Mereka mencari petualangan dan sensasi makan ala pedesaan Jawa. 

Boleh jadi mereka yang datang adalah orang yang dahulu lahir di desa, kemudian dewasa di kota sebagai kelas menengah. Orang-orang ini ingin mengulang pengalaman dahulu ketika masih mencicipi makanan di dekat sawah dengan menu ala rumah.

Tapi bisa juga mereka adalah orang kota yang ingin bertualang. Mereka bergerak tak didorong hasrat makan, tapi lebih ke aktualisasi diri. Saya ingat catatan seorang ekonom yang menyebutnya “Esteem Economy” yakni ekonomi yang tumbuh dari hasrat bertualang, mencoba hal baru, kemudian membagikannya di media sosial. 

Pantas saja banyak orang kota dan turis yang sibuk memotret diri di situ, kemudian membagikan ke media sosial dengan harapan orang-orang suka, bilang “wow”, dan berharap bisa datang lagi.

Pelajarannya adalah manusia jaman now tak mau sekadar datang dan makan. Mereka butuh suasana yang instagramable, butuh lokasi yang bisa dipotret dan dibagikan ke mana-mana. Manusia sekarang butuh pengakuan bahwa mereka telah menggapai satu lokasi unik yang hanya bisa dibayangkan banyak orang. 

Lantas, saya masuk kategori mana? Saya adalah orang kampung yang masih tinggal di kampung, dengan gaya hidup kampung. Saya tak sedang mencari sensasi makan ala kampung. Saya sengaja ke situ karena makanannya murah. Ditambah lagi, kata seorang kawan, bisa ngutang di situ. Klop kan?

Berikut foto-foto seama di sana:









Bubarnya Kampung Path




Media sosial Path akan segera ditutup. Saya termasuk segelintir orang yang merasa kehilangan. Saya mengibaratkan setiap media sosial seperti perkampungan luas yang di dalamnya terdapat banyak orang. Setiap media sosial punya penduduk berbeda. Sebuah kenikmatan bisa pindah-pindah kampung dan bertemu orang berbeda. Kadang penduduk sama, tapi ada norma dan konsensus nilai yang berbeda di setiap kampung media.

Bubarnya Path adalah hilangnya satu kampung, dengan penduduk yang mengungsi ke mana-mana. Kami, pengguna Path, ibarat warga kampung yang hendak ditenggelamkan karena bendungan baru akan dibangun. Hilangnya kampung, hilangnya kenangan.

Saya merasa beruntung karena menyaksikan masa-masa media sosial tumbuh. Thomas L Friedman menyebut era munculnya raksasa internet pada tahun 2007. Pada masa itu, Iphone pertama keluar, Google juga mencapai puncak, Muncul pula Amazon, Apple, hingga situs media sosial bermunculan bak jamur. 

Di tahun 2007, saya sedang menjalani masa puber. Saya begitu semangat selancar di internet di berbagai warnet. Mulanya saya gabung di Friendster, dan mencatat rekor janjian dengan beberapa orang cewek. Friendster memungkinkan saya memasang wajah tampan bak aktor, sehingga banyak orang tergoda. 

Saat ketemu cewek Friendster, saya beberapa kali kecewa karena tidak sesuai ekspektasi. Tapi saya yakin cewek-cewek itu akan jauh lebih kecewa. Dikiranya Richard Gere. Ternyata bagai bumi dan langit.

Setelah itu saya mengenal mIRC, situs chatting yang mempertemukan dengan banyak orang. Kembali, saya mencatat rekor pertemuan yang lebih sering, dengan hasil lebih buruk dari Freidnster. Tujuh kali ketemu, dan sepuluh kali ditolak.

Setelah itu masuk era Yahoo Messenger. Saya punya akun bernama Timur Angin, biar kesannya sosok romantis dari timur. Saya memasang identitas sebagai pengusaha ikan yang sukses. Tapi, pernah juga saya kehilangan HP jenis Nokia gara2 pertemuan dengan cewek yang saya kenali di grup percakapan Yahoo. Ternyata, pertemuan itu cukup mengecewakan. Dia tak sesuai ekspektasi. Sementara dia jauh lebih kecewa. Dia pikir bertemu Erick Thohir. Ternyata, cuma kembaran Thukul Arwana.

Hingga akhirnya datanglah era Facebook yang lebih transparan dan terbuka. Di sini, saya tak bisa tampil dengan segala kegilaan era media sosial lainnya. Di sini, semua sahabat, guru, dan teman ikut memantau. Saya tak sebebas ngomong apapun sebagaimana Path dan Twitter. Di sini, penduduknya suka ribut gara2 pilihan capres, suka saling bully, dan beraninya keroyokan.

Biasanya, saat ingin curhat, berteriak, atau melakukan kegilaan, saya bertandang ke Path. Sayang, ruang yang dahulu begitu bebas dan terbuka, serta penduduknya tidak suka ribut itu akan segera tutup. 

Saya membayangkan satu lagi kampung yang hilang. Saya merindukan tetangga yang damai di sana. Saya kangen dengan sapaan akrab di Path, saat tiba di satu lokasi. Ini medsos yang paling ramah dan jujur menyapa kita di manapun berada.

Saya memikirkan kenangan yang hilang, curhat-curhat yang belum didokumentasi, serta banyak tali-tali persahabatan di sana. Tapi saya paham bahwa hidup ini bukan sekadar merawat kenangan dan memperlakukannya serupa porselen. 

Hidup juga perkara bisnis yang harus dihadapi dengan rasional. Ada saat di mana sesuatu dipertahankan, dan dilepas, ada pula saat menghadapi dunia baru. Ada saat melabuh kenangan, ada saat membuka lembaran baru.

Jujur, saya akan selalu terkenang dengan kampung Path yang damai. Semoga suatu saat, ada seseorang yang menelusuri jejak digital di timbunan arsip Path, kemudian menemui saya dan bercerita ada sekeping hati yang saat itu menanti saya, namun saya abaikan karena sibuk menelusuri jalan pedang. Dan dia masih menanti.

Cieee....




Mengenang Soeharto Seusai Nonton Crazy Rich Asian




FILM Crazy Rich Asian menyorot satu sisi yang selama ini tidak banyak diketahui publik. Yakni kisah tentang mereka yang super kaya dan punya segalanya. Dikemas dalam konsep komedi, film ini menyibak banyak hal yang selama ini tersembunyi. Di balik rumah-rumah mewah dan pakaian glamour, serta perhiasan mahal itu, ada banyak cerita tentang tradisi serta kebiasaan-kebiasaan kalangan jetset.

Namun, sepanjang film ini, saya juga memikirkan bagaimana keluarga super kaya di Indonesia menjalani kehidupannya. Saya mengingat beberapa konglomerat yang selama ini disorot. Namun, ingatan paling kuat adalah keluarga yang mendominasi politik dan bisnis di Indonesia selama puluhan tahun.

Ya, saya mengingat keluarga Soeharto serta anak-anaknya yang memiliki gurita bisnis hingga ke mana-mana.

***

PEMUDA ganteng itu bernama Nick Young. Ia berpacaran dengan Rachel Chu (Constance Wu), seorang profesor ekonomi di New York Universty. Selama setahun pacaran, Nick tidak pernah bercerita detail tentang keluarganya. Suatu hari, Nick mengajak Rachel ikut menemaninya pulang kampung ke Singapura demi menghadiri pernikahan keluarganya. Rachel pun bersedia ikut.

Ketika menumpang pesawat kelas eksekutif, barulah Rachel tahu siapa kekasihnya ini. Ternyata lelaki yang terlihat sederhana dan sesekali meminjam password netflix miliknya itu berasal dari satu keluarga kaya. Tak sekadar kaya, keluarga itu super kaya, dengan jangkauan bisnis hingga banyak negara.

Adegan awal film ini cukup mengejutkan. Nick kecil bersama ibunya Eleanor Young (Michele Yeoh) datang ke satu hotel mewah di Inggris dalam keadaan basah kuyup. Manager hotel menolak untuk memberikan fasilitas kamar paling mewah. Tampilan mereka terlihat kumuh, juga karena wajah Asia-nya.

Kesal karena tidak diberi kamar, Eleanor meminta izin memakai telepon, tapi tidak diberikan. Akhirnya dia memakai telepon umum di luar hotel. Saat dirinya kembali ke hotel, manajer hotel kembali ingin mengusir mereka.

Sedetik berikutnya, bangsawan pemilik hotel. Dia menyapa Ibu Nick, kemudian memanggil managernya, lalu menyampaikan kalau perempuan Cina itu adalah pemilik hotel yang baru. “Suaminya baru saja menelepon saya. Dia telah membeli hotel ini. Perkenalkan, inilah pemilik hotel yang baru,” katanya. Sang manajer terkejut. Eleanor tersenyum penuh kemenangan.

Kisah selanjutnya bergulir manis. Rachel menemui sahabatnya di Singapura Peik Lin yang juga kaya-raya. Saking kayanya, rumah sahabat itu didesain seperti Istana Versailles, dan toiletnya mirip dengan toilet Donald Trump. Keluarga sahabatnya juga kocak. Saya suka adegan ketika mereka tahu siapa tunangan Rachel. Mereka melongo terkejut, sampai-sampai terdiam.

Rupanya di kalangan orang super kaya, seseorang yang kekayaannya jauh di atas bisa menimbulkan rasa segan dan takjub. Setelah membaca versi novel, saya jadi tahu kalau ternyata keluarga Peik Lin itu adalah keluarga yang dahulu miskin dan kemudian kaya-raya. Di kalangan jetset, kasta mereka akan selalu di bawah mereka yang kekayaannya sejak beberapa generasi sebelumnya.

Kepada Rachel, Peik Lin menjelaskan kekayaan keluarga Young yang sudah melintasi beberapa generasi. Kakek buyutnya dahulu adalah imigran dari Cina ke Singapura, kemudian mulai mengelola bisnis. Kini, keluarganya adalah pemain bisnis paling utama di Singapura, Hong Kong, Cina, dan banyak negara lainnya.

Kekayaan keluarga itu bikin orang lain minder. Rachel akhirnya tahu kekayaan keluarga Young. Lokasi rumahnya saja tidak dikenali oleh Google Map. Rumah itu seperti istana yang dijaga oleh pasukan bersenjata. Interiornya megah. Ketika berkenalan, orang super kaya membahas pabrik, perusahaan, atau bisnis yang dikelola.

Perjalanan Rachel dan Nick Young tak semulus itu. Rachel harus berhadapan dnegan tatap sinis dan iri dari banyak perempuan yang mengidolakan Nick. Dia dianggap sebagai gold digger, seorang cewek matre yang mendekati cowok karena hartanya. Para perempuan bersekongkol untuk menjatuhkan mental Rachel.

Bagian paling seru adalah penolakan keluarga Nick. Eleanor, Ibu Nick, menganggap Rachel bukan orang yang pantas untuk anaknya karena bukan berasal dari kalangan jetset. Terungkap fakta kalau para keluarga super kaya selalu menjodohkan anaknya dengan sesama mereka dengan harapan agar kekayaan itu tidak pindah ke mana-mana.

Latar belakang Rachel juga ditelusuri. Dia dianggap tidak sepadan karena dibesarkan seorang ibu imigran imigran Cina yang hanya bekerja sebagai buruh. Ayahnya digambarkan tidak jelas. Biarpun Rachel keturunan Cina, dirinya tetap dianggap sebagai Amerika. Dia dianggap tidak paham tradisi dan bagaimana kebudayaan Cina.

Film ini tak hanya membahas cinta, tapi juga budaya di Asia yang sebagian besar masih memberikan peran besar bagi orang tua untuk menentukan jodoh anaknya. “Di sini, orang tua terobsesi untuk membentuk masa depan anaknya,” kata Eleanor. Itu juga terlihat pada ucapan nenek Nick; “Kami tidak hanya tahu membangun, tapi juga tahu cara mempertahankan.”

***

SAYA tak ingin bercerita detail tentang film ini. Yang pasti, ini film paling menarik tahun ini. Saya tak terkejut ketika mendengar film ini telah tiga minggu menempati posisi puncak box office di Amerika Serikat. Film berbiaya 30 Juta dollar AS ini telah mengantongi pendapatan 135,7 juta dollar AS hanya dalam waktu tiga pekan. Itu belum termasuk pendapatan dari pasar asing, termasuk Malaysia dan Singapura, yang dilaporkan telah mencapai 28,6 juta dollar AS.

Beberapa hal yang menjadi perbincangan dari film ini adalah trend Hollywood yang mulai meninggalkan white-washing yakni kecenderungan untuk menempatkan orang kulit putih sebagai tokoh utama. Setahun ini, sudah dua film sukses yang menampilkan sosok bukan kulit putih. Selain Crazy Rich Asian, ada juga Black Panther yang kebanyakan pemainnya berkulit hitam.

Saya menduga, film ini sangat populer di Amerika disebabkan adanya stereotype dari orang Amerika terhadap orang Asia. Selain dianggap jago matematika dan ilmu pasti, orang Amerika menganggap orang Asia memang kaya-raya. Anggapan itu tak sepenuhnya salah. Sebab di kampus-kampus besar Amerika, pemilik mobil mewah rata-rata orang Asia.

Pernah, saya melihat orang Amerika memecahkan kaca mobil Ferrari milik orang Cina yang diduga karena cemburu. Mahasiswa Cina pemilik mobil itu hanya tersenyum dan berkata enteng, “I’ll buy a new one.”

Beberapa karakter dalam film ini mengingatkan pada beberapa teman Cina di Amerika. Saya ingat soerang perempuan Taiwan yang suatu hari ikut menumpang mobil orang Amerika yang sudah tua dan sering mogok.

Keesokan harinya, perempuan Taiwan itu mengajak kami menumpang mobilnya yang super mewah. Mungkin dia ingin menunjukkan kelas berbeda antara dirinya dengan teman Amerika itu. Bagi saya, hal paling menarik dari film ini adalah bagaimana sisi lain dari kalangan super kaya.

Setahu saya, mereka cukup tertutup terhadap kalangan luar. Mereka tak ingin diketahui kalau kaya-raya. Seorang pria keturunan Tionghoa kaya di Makassar pernah bercerita bahwa dirinya sengaja tidak ingin dikenali orang kalau hidup berlimpah. “Kalau orang tahu saya kaya, maka tiap hari rumah saya didatangi petugas pajak. Tiap hari pemerintah datang minta donasi. Belum lagi yayasan-yayasan yang datang minta uang,” katanya.

Kalangan jetset dan super kaya itu memang hidup di satu ruang sosial yang tak bisa dijangkau oleh kebanyakan orang. Mereka berteman dan bergaul dengan sesama super kaya. Makanya, kisah-kisah hidup mereka sangat menarik sebab tertutup dari dunia luar.

Yang tiba-tiba muncul dalam pikiran saya saat menonton film ini adalah keluarga Soeharto. Barangkali, kekayaan keluarga Young tak ada apa-apanya jika dibandingkan keluarga Soeharto. Transparency International (TI). Lembaga internasional, menobatkan mantan Presiden Soeharto sebagai koruptor terkaya di dunia.

Lembaga itu mencatat kekayaan Soeharto dari hasil korupsi mencapai 15-35 miliar dollar AS. Putra-putri Soeharto juga selalu menempati daftar orang terkaya di Indonesia. Dalam buku Soeharto: Setelah Jenderal Besar Pergi, tertera catatan tentang kekayaan putra-putri Soeharto. Siti Hardijanti Rukmana memiliki kekayaan 700 juta dollar AS, Sigit Harjojudanto 800 juta dollar AS, dan Tommy Soeharto yang mencapai 800 juta dollar AS.

Yang paling “miskin” adalah Siti Hutami Endang Adiningsih yang hanya ditaksir 30 juta dolar AS. Andaikan kisah mereka difilmkan pasti akan menarik. Bisa jadi kita akan menemukan kisah yang lebih seru ketimbang film Crazy Rich Asian. Sebab mereka tak sekadar bisa beli hotel mewah, tapi juga bisa menentukan kebijakan negara.

Di situ ada banyak intrik, mulai dari menguasai proyek pemerintah sampai pada kisah-kisah seperti bagaimana mereka bersekolah yang ditemani para ajudan, hingga kisah perselingkuhan dengan model-model cantik, rebutan aset dan proyek pemerintah, hingga bagaimana keluarga itu berlibur.

Sayangnya, kita juga jarang menemukan publikasi atau kisah gaya hidup mereka. Para akademisi kita jarang yang melakukan investigasi tentang gaya hidup mereka. Mereka lebih suka menulis tentang orang miskin dan tertindas. Padahal pengetahuan tentang orang super kaya bisa membantu kita untuk mengetahui bagaimana konflik sumber daya alam bekerja, bagaimana republik ini dikapling, serta bagaimana kebijakan ekonomi yang seakan memihak pada kalangan jetset.

Seusai menonton film Crazy Rich Asian, saya masih memikirkan gaya hidup orang super kaya itu, saat perut tiba-tiba keroncongan. Saya lalu memesan pangsit, makanan yang sering dimakan keluarga kaya di film itu. Sambil makan pangsit, saya lalu mengkhayal bisa sekaya mereka. Kapan yaa? Saya ingat kata-kata motivator: “Saatnya bermimpi, selagi mimpi itu gratis.”




Suatu Hari Bersama Caleg




Sahabat itu tak henti-hentinya memojokkan satu calon presiden. Dia menggunakan semua media sosial untuk menyebar berbagai hasutan dan meme negatif mengenai seorang calon presiden. Saat saya pulang kampung, saya baru tahu kalau dirinya adalah salah seorang caleg di satu partai.

Dia akan menghadapi pemilu legislatif. Anehnya, dia lebih suka bahas pilpres. Tak penting lagi bagaimana menggaet suara dan meyakinkan orang-orang untuk memilihnya. Dia ingin menjadi martir yang menyebarkan lagi semua hal yang ditemuinya di berbagai kanal media sosial.

Saat bertemu dengannya, saya kutipkan beberapa bacaan dalam buku Political Personal Branding: Strategi Jitu Menang Kampanye di Era Digital. 

Dalam buku ini terdapat uraian: jauh lebih penting memikirkan arena yang akan dihadapi, ketimbang memikirkan arena lain. Lebih penting senantiasa memikirkan kekuatannya serta apa yang harus dia maksimalkan, ketimbang masuk dalam tarian ataupun genderang yang ditabuh orang Jakarta.

Di daerah, menyatakan dukungan terbuka pada satu capres selalu membawa risiko. Anggap saja dua kubu capres punya massa yang sama banyaknya. Ketika dia mengumumkan secara terbuka dukungan pada satu pihak, lalu sibuk menyebarkan berbagai umpatan pada capres lain, maka dirinya sudah pasti tidak akan didukung oleh pendukung salah satu capres yang diumpatnya itu.

Sementara pendukung capres yang dibelanya juga belum tentu akan mendukungnya. Sebab ada banyak orang yang menjadi martir sepertinya. Belum tentu namanya akan diingat dan dipilih di bilik suara.

Makanya, mending dirinya pragmatis dan oportunis. Kalau mau cerdik, gak usah bahas capres sebab energi publik akan terkuras ke situ. Jauh lebih baik dia bergerak dengan agendanya, menyapa banyak orang, menawarkan komitmen serta harapan akan perubahan. 

Lebih baik dia bekerja dalam senyap, namun efektif untuk menaikkan dirinya ke kursi parlemen. Lebih baik dia berkata, “Siapa pun capresnya, pilih saya sebagai caleg.” Itu jelas lebih efektif agar dirinya tidak lagi hanya sibuk di media sosial, tapi punya kesempatan membuktikannya saat jadi wakil rakyat.

Sayang, dia tak mau mendengar. Dia sangat yakin pada jalan yang dipilihnya. Semua masukan diabaikannya. Dia yakin terpilih sebab ada banyak orang yang bekerja untuk dia. Saya lebih suka diam dan mengangguk. Optimis menang perlu. Tapi mengabaikan semua suara lain selalu berujung pada akhir yang tragis. Tapi saya masih menyisakan banyak optimisme untuknya.

“Negeri ini tak lama lagi bubar. Kita harus selalu bergerak untuk menantang. Kita harus bungkus boneka asing itu,” katanya dengan berapi-api. 

Dari satu kafe di Pulau Buton, yang jaraknya jauh dari Jakarta, saya memilih untuk mendengar uraiannya. Setengah jam mendengar ceramahnya, saya ingin pulang. Tiba-tiba dia berbisik, “Bang, tolong bayarkan kopi yang saya minum hari ini. Juga utang saya yang menumpuk sejak beberapa hari lalu.”

Nah, giliran saya mengumpat dalam hati. “Bagaimana mungkin kau hendak perbaiki negeri ini, sementara untuk segelas kopi pun kau harus menadahkan tangan ke mana-mana. Harus pula berutang.”



Catatan Saat Menunggu di Bandara



Teman terbaik saat sedang menunggu adalah buku.

Sebab buku ibarat pendongeng yang akan mengisahkan banyak karakter serta mengajakmu ke lokasi dan dunia yang belum tentu pernah kamu bayangkan.

Sebab buku serupa sahabat yang menunjukkan betapa banyaknya hal yang belum kamu ketahui, serta membawamu ke banyak titik yang rasanya mustahil untuk kamu telusuri dalam rentang usia terbatas.

Sebab buku adalah kawan dialog yang sabar menatap wajah ketidaktahuanmu, serta ikut merasakan aura bahagia di matamu saat menemukan setitik jawaban yang lama kamu cari.

Sebab buku adalah guru yang menunjukkan betapa samudera pengetahuan amat luas, tak bertepi, dan kamu hanya sanggup untuk menelusuri tepian dan pesisir pantainya.

Sebab buku adalah hakim yang menghardik ketidaktahuanmu serta sikap pongah dalam diri yang sering merasa paling benar dari siapapun.

Sebab buku adalah kekasih yang sabar menemanimu bertamasya ke gunung kata-kata lalu melesat ke dunia imajinasi yang romantis dan membuatmu tak ingin kembali.

Sebab buku adalah ibu yang merawat pengetahuan, menyuapimu dengan informasi, mengajarkan hal baru, serta membisikkan inspirasi yang kelak akan membantumu melahirkan banyak keajaiban, kekuatan, dan pengetahuan yang membebaskan.


Senarai Kisah Soeharto




BUKU kuning itu teronggok di toko buku ketika saya melihatnya di satu sore. Saya melihat wajah Soeharto, sosok yang dahulu selalu muncul di layar kaca TVRI ketika saya masih belia. 

Dulu, hanya ada satu saluran informasi yakni TVRI. Di situ, hampir setiap hari Soeharto muncul. Saya sering kesal karena penayangan Aneka Ria Safari tiba-tiba dijeda oleh liputan khusus ketika Soeharto memancing, terus berhasil menangkap ikan besar.

Soeharto adalah bagian dari masa kecil saya. Pada masa itu, tidak banyak yang tahu bahwa di balik senyum yang tampil di acara Dari Desa ke Desa, ada banyak cerita horor. Telah banyak catatan, kesaksian, dan buku sejarah yang mengurai apa saja yang terjadi pada masa pemerintahannya.

Buku yang diolah dari liputan Tempo ini menggedor banyak ingatan. Beberapa orang di media sosial mulai memuji-muji tokoh ini. Dia kembali dielu-elukan. Dia kembali jadi pahlawan. Orang-orang lupa dengan semua warisannya. Berbagai riset dan buku dicampakkan begitu saja. 

Seorang sejarawan pernah bilang bahwa ingatan orang Indonesia itu pendek. Ingatan kita dikendalikan oleh siapa yang memenangkan wacana dan paling ngotot memposting sesuatu, meskipun ngawur. Kita adalah tipe kerumunan domba yang bergerak karena dituntun ke satu titik. 

Di era media sosial, banyak di antara kita yang dikendalikan para produsen informasi. Di era ini, sekeping informasi di Whatsapp dianggap lebih valid ketimbang riset-riset sejarah yang bertebaran. Jangan berharap ada diskusi yang sehat. Jangan berharap ada pencerahan karena berbagai fakta diurai dan didiskusikan. 

Dalam buku The Death of Expertise, Tom Nichols telah membahas tentang kematian para ahli di era milenial ini. Banyak orang yang lebih suka bertahan dalam ketidaktahuannya, tanpa mau mendengar mereka yang benar-benar ahli dan menghabiskan hidupnya untuk mendalami satu topik. Para ahli ditinggalkan. Suara keilmuan dibuang jauh-jauh, hanya karena dianggap berbeda dengan sesuatu yang diyakini benar.

Anda ingin membela Soeharto? Silakan. Tapi jangan tutup pikiran Anda dari membaca banyak buku dan publikasi tentangnya. Jangan serahkan diri dan nalar pada sejumlah postingan media sosial yang hanya separagraf dan dua paragraf. Temukan informasi yang utuh, laporan investigasi, dan berbagai lembar-lembar kerja sejarah yang berkisah tentang zaman itu.

Buku ini adalah adalah satu tiket untuk perjalanan mengurai lapis ingatan satu masa. Seusai membacanya, saya tiba-tiba saja berpikir bahwa dia belum benar-benar pergi. Ada begitu banyak warisannya yang dengan mudah disaksikan di sekitar kita. Dia masih di sini, setidaknya di kepala orang dekat dan mereka yang menikmati kekayaannya.

Tugas terberat kita adalah tetap mengumpulkan banyak apapun ingatan tentang dirinya, baik ataupun buruk, agar bangsa ini tidak selalu jatuh pada kecelakaan sejarah yang sama. Dengan membaca, kita tetap menjaga kewarasan dan kesehatan nalar. Selamat membaca.




Inspirasi di Balik Satu Dollar



MULAI berpikir untuk menukar beberapa dollar yang saya simpan. Selain yang dipegang, ada juga yang disimpan di bank (ciee...). Saat mengecek lembaran dollar, saya tertarik melihat uang satu dollar. Di situ ada gambar George Washington, bapak pendiri Amerika Serikat.

Saya teringat Victor Sherrick, seorang teman warga Amerika. Katanya, pendiri negara sekaligus pahlawan terbesar dalam sejarah Amerika itu sengaja ditempatkan di uang satu dollar. Sebab, Amerika Serikat dibangun dari setiap satu dollar. Penghargaan tertinggi bagi pendiri negara adalah dengan menjadikannya fondasi bagi negeri.

Masih kata Victor, uang satu dollar adalah uang yang paling banyak dipakai transaksi sebab nilainya kecil. Dengan menempatkan Washington di uang satu dollar, maka dia menjadi pihak yang paling sering dilihat masyarakat yang setiap saat bertransaksi. Dengan cara itu dia diabadikan dan selalu dikenang.

Satu dollar juga simbol dari hal-hal kecil yang merupakan buah dari kerja keras rakyat jelata. Negeri itu akan mengingat fundasinya sehingga selalu bangkit dari berbagai terjangan krisis. Pada tahun 1920-an, negara itu pernah mengalami krisis hebat. Tapi berkat kerja keras semua masyarakat, yang disimbolkan dengan uang satu dollar, negeri itu bangkit dan menjadi negara super power.

Saya lalu melihat uang rupiah. Pada mata uang terbesar yakni 100 ribu rupiah, kita menempatkan Soekarno-Hatta di situ. Apakah ini pertanda kita sengaja menempatkan bapak bangsa kita agar hanya dikenang oleh kalangan jetset dan menengah atas sebab hanya mereka yang sering menggunakan uang 100 ribu rupiah untuk bertransaksi? Entahlah.

Saya menimbang-nimbang untuk menukar dollar. Sementara di media sosial, saya menyaksikan banyak politisi yang sibuk menyalahkan pemerintah. Sepertinya kita kurang spirit dan solidaritas untuk sama-sama bangun negeri. Tapi ah, sudahlah. Bagi sebagian orang, lebih mudah mengutuk kegelapan, daripada mencari lilin dan menyalakannya.




Membela Tersangka Korupsi di Malang



SEBANYAK 41 anggota DPRD Malang telah ditetapkan sebagai tersangka. Seperti biasa, semua orang akan bersorak dan tepuk tangan sebab agenda pemberantasan korupsi telah ditegakkan. Semua akan bergembira sebab ada lagi yang ditangkap. Tapi pernahkah kita bertanya, mengapa semakin banyak yang ditahan, korupsi tetap ada?

“Ah, itu hanya sial,” kata seorang teman aktivis. Menurutnya, modus kongkalikong antara pemerintah daerah dan anggota dewan itu terjadi di mana-mana. Tak cuma di daerah. Bahkan di tingkat pusat pun, modus yang sama juga terjadi. “Kalau tak ada bagi-bagi, mana mungkin dewan menyetujui usulan pemerintah,” katanya.

Mungkin saja pemikir Montesqieu tidak menyangka bahwa trias politica yang digagasnya akan dipraktikkan secara berbeda. Dia meniatkan Trias Politica itu sebagai pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Maksudnya, pemisahan wewenang antara pembuat kebijakan (pemerintah), pengawas kebijakan (dewan), dan mahkamah (kehakiman).

Tapi di sini, trias politica itu bukan dilihat sebagai pemisahan, tetapi kolaborasi dan kerja sama. Walikota Malang mengajikan usulan anggaran untuk disetujui dewan. Demi stempel setuju, dia menyiapkan segepok finansial. Walikota berpikir praktis, daripada ditahan-tahan, yang bisa membawa akibat pada lambannya pembangunan, mending dipenuhi keinginannya.

Pihak dewan juga punya pikiran lain. Usulan walikota tidak dilihat sebagai kerja demi pembangunan untuk rakyat. Dewan melihat potensi walikota akan segera panen raya jika usulan anggaran disetujui.

Sebab, usulan anggaran itu akan dieksekusi oleh para rekanan pengusaha itu sendiri. Malah, bisa jadi dieksekusi oleh perusahaan milik walikota sendiri.

“Enak aja, udah dapat tips dari setiap item pekerjaan, eh malah dapat lagi dari rekanan pengusaha. Dia untung, kita buntung. Kita dapat dong?” demikian kira-kira kata anggota DPRD.

Saya teringat ucapan akademisi Edward Aspinall tentang proyek gentong babi atau pork barrel projects. Seorang politisi dan kepala daerah sering menjanjikan proyek-proyek pembangunan. Proyek ini biasanya melibatkan lobi-lobi, jaringan, serta kongkalikong antara dirinya dengan politisi lain. Demi proyek itu lancar, maka banyak pihak harus kecipratan.

Pantas saja kalau beberapa media sering menyebutnya korupsi berjamaah. Sebab dilakukan secara bersama-sama, mengikuti arahan dari satu orang. Kata berjamaah sebenarnya kurang elok menjadi sebutan, tapi publik butuh satu pandangan yang menyatakan bahwa ini tidak dilakukan seorang diri, melainkan beramai-ramai.

Kata peneliti Michael Buehler, hampir semua proyek-proyek pembangunan selalu dikerjakan oleh kontraktor atau perusahaan milik seorang kepala daerah. Itu semacam proyek balas budi. Sebab ketika seseorang jadi kepala daerah, dia juga didukung oleh banyak pengusaha. Pepatah “no free lunch” berlaku di sini. Tak ada makan siang gratis.

Tapi tidak bisa juga hanya menyalahkan walikota dan anggota dewan. Birokrasi juga harus dituding sebab hanya mengikuti apa saja kemauan penguasa. Birokrasi harusnya netral dan profesional sebab tugasnya memberikan pelayanan.

Sejak awal, birokrasi tahu bahwa ada persekongkolan. Anggaran itu kan bakal dicairkan bendahara daerah. Kalau dia tahu bahwa itu keliru, mengapa dia diam saja? Jika ditelusuri, maka beberapa hal membuat birokrat bungkam. Pertama, sebab bisa jadi mendapat bagian. Kedua, memilih tunduk patuh pada keinginan walikota sebab jika membantah akan terancam mutasi.

Kita pun juga harus berani menyalahkan masyarakat kita. Sebab masyarakat kita memandang tinggi mereka yang kaya dan sejahtera. Di berbagai kondangan ataupun pesta pernikahan, orang-orang kaya-raya selalu menempati kursi paling istimewa.

Kepada orang kaya, semua orang langsung tunduk dan berbicara sopan. Semua mendadak baik begitu bertemu orang kaya.

Bahkan tak segan-segan menawarkan semua pertolongan pada orang kaya. Di hadapan orang kaya, semua mendadak jadi abdi. Karena realitasnya seperti ini, jangan salahkan orang-orang berusaha untuk cepat kaya. Banyak yang sengaja menempuh jalan pintas agar kaya.

Orang mengira kekayaan identik dengan penghormatan orang lain. Andaikan kita menemukan penghormatan yang sama pada orang berilmu, orang baik, maka mungkin saja orang akan berlomba-lomba menjadi orang baik dan berilmu. Kita tak bisa juga hanya menyalahkan mereka yang ditangkap di Malang itu.

Mereka memang ingin kaya dan menempuh cara yang tidak biasa yakni melalui korupsi. Tapi kita dan semua penegak hukum juga lalai sejak awal untuk membangun satu sistem terpadu yang bisa menghalangi orang untuk tidak korupsi. Kata seorang filsuf, manusia itu pada dasarnya jahat.

Aturan dan norma-norma di masyarakat sengaja dibuat agar potensi jahat itu tidak disalurkan. Seseorang bisa saja berhasrat untuk kaya dengan cara korupsi, tapi ketika dirinya takut menghadapi penjara atas tuduhan korupsi, maka dirinya bis terhindar.

Tak hanya itu, harusnya kita membangun sistem yang tidak memberi peluang bagi tindak korupsi. Korupsi terjadi karena ada celah. Ketika kita menutup semua celah, maka tak ada lagi kesempatan untuk melakukan korupsi. Nampaknya, aspek pencegahan ini belum kita perkuat.

Lembaga-lembaga hukum seperti KPK dan Kejaksaan hanya fokus pada bagaimana menangkap koruptor, tanpa melakukan upaya pencegahan agar orang tidak korupsi.
Jika tak ada pembenahan serius pada sistem, aturan, dan norma, maka berita tertangkapnya para koruptor akan terus menjadi sajian di media-media kita.

Maka benarlah ucapan seorang kawan kalau status tersangka pada 41 orang di Malang disebabkan kesialan. Mungkin benar tuduhan kalau penegak hukum hanya melakukan uji petik dari begitu banyak sampel kemudian menahan mereka.

Apakah ini efektif untuk pencegahan korupsi? Sorry to say, saya rasa ini hanya jangka pendek saja. Selanjutnya, kasus ini bisa terjadi lagi. Sebab siapa pun yang ada di situ maka berpotensi melakukannya. Kita bisa berdalih bahwa ada celah.

Andai kita menutup semua celah, maka kita bukan saja menyelamatkan negara, tapi menyelamatkan aset terbaik kita agar tidak melakukan korupsi yang bisa membunuh semua potensi mereka.

Pada mereka yang dinyatakan tersangka di Malang, kita menemukan cermin sosial kita yang menunjukkan betapa banyak pekerjaan rumah untuk segera kita tuntaskan demi anak cucu kita di kemudian hari, demi republik yang dibebaskan dengan penuh darah dan air mata.(*)


CATATAN:

Tulisan ini pertama kali dimuat di Okami.id, pada Selasa 4 September 2018.


Gugatan untuk Jonatan Christie




Terima kasih Jonatan Christie atas permainan bulu tangkis yang begitu memukau. Dalam hati, saya tak henti bertanya, mengapa dirimu dan para pemain bulu tangkis lainnya bisa bermain dengan begitu kesetanan, padahal lawan-lawan kalian punya peringkat yang jauh di atas?

Peringkatmu hanya 15 dunia. Tapi di partai final, kau kalahkan Chou Cien Ten, pemilik peringkat enam dunia. Di semifinal, kau juga kalahkan Kenta Nishimoto, yang ada di peringkat 10 dunia. Bahkan di 32 besar, kau kalahkan Shi Yuqi, pemegang peringkat dua dunia.

Pertanyaan yang sama harus ditanyakan pada rekanmu Anthony Ginting yang bisa mengalahkan peringkat 7 dunia, Chen Long, pada babak perempat final. Apa yang bisa membuat kalian menjadi ksatria yang tampil dahsyat hingga titik akhir?

Dalam satu wawancara, Ginting sudah menjelaskan bahwa dia akan tampil sehebat mungkin agar bisa tampil di partai final, agar bisa bertemu RI 1 yang mengunjunginya saat sedang sakit. Sebagai atlet, Ginting merasa sangat tersanjung sebab dikunjungi dan diberi dukungan seorang kepala negara.

Dia merasa dihargai dan dihormati. Dibalasnya itu dengan permainan hebat di lapangan. Sayang, dia terhenti di babak semi final. 

Tapi dendam Anthony Ginting telah kau balaskan di partai final. Chou Cien Ten takluk dalam tiga set. Kau rayakan kemenangan itu dengan membuka baju, yang disambut gegap gempita oleh semua hadirin. Kau tunjukkan pada dunia bahwa kita tidak akan pernah kalah sampai detik penghabisan.

Inilah Indonesia yang kita banggakan. Inilah bangsa yang tidak akan berhenti sebelum mencapai kemenangan. Kalian adalah pahlawan kita semua.

Di saat ada anak bangsa yang sibuk hendak perjuangkan misi politik, kalian membela kehormatan nama bangsa di panggung olah raga antar bangsa. Kalian tak peduli dengan isu tentang pemerintahan yang bobrok.

Fokus kalian adalah bertanding. Dari pada sibuk menyalahkan negara, kalian pilih jalan untuk menunjukkan kerja-kerja hebat kalian di lapangan olahraga.

Permainan hebat yang kau tunjukkan adalah permainan yang dahulu identik dengan bangsa ini. Jawara-jawara seperti Alan Budi Kusuma, Ardi B Wiranata, Hariyanto Arbi, hingga Taufik Hidayat dahulu menguasai tunggal putra yang menggetarkan semua pemain negara lain.

Permainan hebat yang tidak kenal takut itu dulu juga dimiliki Rudy Hartono hingga Lim Swee King. Semuanya menjadi legenda bulu tangkis tunggal putra yang kini jejak dan semangatnya bisa dilihat pada pebulu tangkis muda seperti kalian.

Kini, dengan hadirnya generasi muda seperti kalian, bangsa kita akan menatap masa depan lebih cerah.

Bulu tangkis akan selalu menjadi arena kedigdayaan kita. Nama kita akan selalu bergema di arena bulu tangkis. Kita tak akan kalah lagi. Kita tidak akan jadi penggembira. Kita kuasai semua turnamen penting. Lagu Indonesia Raya akan berkumandang di mana-mana.

Asian Games tahun ini benar-benar menjadi kebangkitan bangsa kita di ranah olahraga.

Selama puluhan tahun olahraga kita terpuruk. Kita tak sanggup berbicara banyak di level dunia. Kini, semua kebanggaan itu telah kembali. Setidaknya, di tanah sendiri, kita bisa menunjukkan level olahraga kita yang terus membumbung tinggi.

Tidak hanya bulu tangkis. Bidang-bidang lain pun mengalami kebangkitan. Banyak orang yang memajang foto atlet idonya di media sosial.

Tidak hanya Jonathan Christie, nama-nama seperti taekwondoin Defia Rosmaniar, pemain sepak takraw Lena dan Leni, pemanjat dinding Aries Susanti Rahayu, hingga karakteka Rifki Ardiansyah.

Banyak orang-orang membanggakan atlet dari daerahnya. Ali Buton, atlet yang meraih emas untuk dayung, diarak keliling kampung halamannya saat kembali dari laga Asian Games. Kita temukan banyak kebanggaan dengan permainan para atlet di lapangan.

Mereka membela nama bangsa dan kehormatan kita semua.

***

Terima kasih Jonatan Christie. Dirimu hari ini tampil di podium. Dalam satu wawancara dengan stasiun televisi, kamu menyampaikan sekeping kalimat inspiratif. “Saat saya turun podium, maka saya kembali ke awal. Saya kembali mengejar target dan mimpi saya,” katamu. Luar biasa.

Di usia yang semuda itu, kamu sudah tahu hendak ke mana. Hari Minggu mendatang, kamu dan Anthony Ginting sudah siap untuk berangkat ke luar negeri demi mengikuti turnamen lainnya. Satu misi tercapai, misi lain terbentang di depan mata.

Kami yakin, Asian Games ini akan menjadikan kalian sebagai figur baru yang akan selalu mengharumkan nama bangsa di pentas lebih tinggi.

Rasanya ingin menggugat mengapa dirimu, mengapa hadir sekarang dan bukan hadir saat olah raga kita mengalami masa paceklik? Rasanya ingin menggugat mengapa kamu harus menang sekarang dan tidak sejak dulu agar anak bangsa selalu bersatu saat menyaksikan permainanmu? 

Berkat olahraga, kita semua bersatu dan melupakan perbedaan. Kita menjadi Indonesia yang satu. Di lapangan olah raga, tak ada yang mempertanyakan identitas, suku bangsa, dan agama seseorang. Semua bersatu dan berjuang untuk membawa nama bangsa.

Berkat olahraga, semua anak bangsa sejenak tidak larut dalam debat politik. Semua ikut bersorak dan mendukung siapa pun yang datang ke lapangan dengan atribut merah putih di dadanya. Semuanya saling mendukung dan mendoakan untuk Indonesia yang jaya.

Benar kata seorang komentator. Inilah Indonesia yang sempat hilang. Inilah Indonesia yang sempat diredam oleh konflik dan berbagai isu serta hoax yang berseliweran. Jika semua energi diarahkan untuk mendukung anak bangsa, betapa bangsa ini akan melesat jauh dan menang di banyak arena kehidupan.

Ketika merah putih dikerek, ketika lagu kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan, saat itulah hadir satu rasa yang menggumpal dalam dada dan menggedor semua kesadaran kita. Kita bangsa Indonesia yang seharusnya bersatu dan melupakan semua perbedaan.

Saatnya bergenggam tangan dan memenangkan semua arena kehidupan yang lain. Bukan hanya lapangan bulu tangkis, tapi juga lapangan sains dan teknologi, serta kehidupan yang berbudaya.

Tentu saja, tak ada yang akan menggugatmu. Kamu telah menunjukkan karakter bangsa kita yang selalu ingin tampil unggul dan berprestasi. Satu-satunya gugatan adalah mengapa kamu hadir sekarang, bukan pada saat dulu ketika negeri kita paceklik prestasi.

Terima kasih Jonathan Christie. Terima kasih atas permainan yang hebat itu.

CATATAN:

Tulisan ini dimuat di Okami.id pada Selasa, 28 Agustus 2018. Tautannya DI SINI.