KAKI itu seakan bermata. Ketika Lionel Messi menyentuh bola, kakinya seakan-akan bisa menebak ke arah mana bola itu harus disepakkan. Setelah berkelit dari terkaman sejumlah pemain, Messi dengan hati-hati menceploskan bola ke sudut kiri gawang. Bola meluncur bak anak panah. Semua mata terpaku. Napas tertahan. Plakk..!! Bola itu berhasil ditepis oleh penjaga gawang Nigeria Vincent Enyeama. Messi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia kesal, sambil melirik sosok pria yang berdiri di pinggir lapangan. Ia melirik sosok kharismatis bernama Diego Armando Maradona.
Dewi Fortuna tidak secara langsung berpihak pada Messi dan tim biru langit Argentina. Sepanjang pertandingan itu, Messi terus berupaya memanggil nama Dewi Fortuna demi kemenangan Argentina. Apalah daya, sang dewi tidak sedang berpihak. Ada apakah gerangan? Sebuah media asing menyebutkan bahwa sang dewi keberuntungan sedang cemburu dengan sosok kharismatis di pinggir lapangan itu. Sosok yang ditahbiskan sebagai dewa di dunia sepakbola.
Yah, di pinggir lapangan itu Diego Maradona tengah mengawasi jalannya pertandingan. Penampilan maestro sepakbola ini agak berbeda dengan biasanya. Janggut putih memenuhi dagunya sehingga mengesankan dirinya yang dewasa. Ia memang menghindari kesan bengal dan berangasan yang banyak dilekatkan padanya. Ia menolak cap sebagai pria kurang ajar yang suka mencuri kemenangan dengan cara curang. Janggut itu mewakili tanda kedewasaan, sebuah visi tentang ke arah mana sepakbola Argentina.
Saya membayangkan sosoknya seperti Chou Yun Fa dalam film Confucius. Saya yakin ia tidak bermaksud meniru Confucius. Namun sebagaimana Confucius, janggut itu mewakili gambaran tentang kedewasaan dan kematangan. Ia hendak menegaskan diri yang berbeda. Bukan lagi sosok yang terjerat kokain dan hanya bisa terbaring pasrah di satu pusat rehabilitasi di Kuba. Ia mengemban amanah untuk menjawab semua doa dan mantra yang dirapalkan banyak orang, mulai dari Buenos Aires hingga jalan-jalan di kota kecil Napoli di Italia yang menjadi saksi-saksi atas kedigdayaannya.
Saya merasa beruntung karena bisa menyaksikan sosok Maradona dalam piala dunia ini. Memang, ia tidak lagi mengolah si kulit bundar. Ia hanya berdiri di pinggir lapangan dan mengawasi anak asuhannya yang sedang berlaga. Menyaksikan tokoh ini seolah menyaksikan dewa bola yang tiba-tiba saja hadir di tenah gegap gempita piala dunia. Memang, fisiknya sudah tidak sebugar ketika mempermalukan Inggris di ajang Piala Dunia 1986 atau saat membela Napoli, sebuah klub miskin di kancah Liga Italia yang kemudian melesat bak meteor. Tapi setidaknya ia masih memelihara karisma, sesuatu yang dulu membuat semua lawannya merinding.
Sebulan sebelum Piala Dunia digelar, Maradona sempat berkontemplasi di satu sudut Argentina. Ia membaca beberapa buku filsafat, dari Plato hingga Emannuel Levinas. Membaca Plato, telah membersitkan dialog-dialog dengan dirinya sendiri. Di masa silam, dirinya adalah sosok yang dicintai sekaligus dikutuk banyak orang. Ia mengenang saat-saat ketika membuat gol ke gawang Inggris dengan tangan. Gol yang hingga kini telah melukai public Inggris itu telah menyebabkan dirinya dicap sebagai penipu yang licik. “Gol ini sungguh kejam. Gol ini telah melanggar hukum,” umpat manajer inggris Bobby Robson. Sang dewa hanya berkilah kalau gol itu adalah gol “tangan Tuhan.” Kilah yang kian menegaskan dirinya sebagai seorang penipu.
Kisah Maradona adalah kisah penuh kontradiksi. Tak ada satpun yang meragukan kedigdayaannya sebagai pemain yang menyihir jalannya pertandingan. Pada Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat (AS), pemain Yunani kehilangan percaya diri dan terlolong-lolong melihat kehebatan maradona. Sampai-sampai, Alketas Panagouilas, pelatih Yunani, marah-marah. “Andaikan pemain saya boleh membawa kamera di lapangan, mereka akan mengambil foto maradona sepanjang permainan,” katanya.
Seks Maradona
Namun sosok itu juga mewakili kehidupan yang runyam dan berantakan. Sosok itu mengalami kontradiksi. Dalam film Hand of God, terpampang gambaran tentang sosok yang melewati masa kecil dengan kesederhanaan, dan saat dewasa tiba-tiba saja jadi glamour. Ia menjadi sorotan media dan mulai kehilangan dirinya sendiri. Kemanapun ia pergi, ia dikuntit para paparazzi dan wartawan. Kata orang, ia terkejut saat menjadi sosok kaya-raya, maestro yang tak berkekurangan. Ia jadi sosok penuh hura-hura dan terjerat narkoba. Dalam catatan hariannya yang sempat dimuat media Argentina, ia mengungkapkan kerinduan akan masa kecil yang serba sulit itu. Ia kerap bermimpi tentang lapangan bola di mana anak-anak bermain. Ia benci dengan mereka yang memanfaatkannya. Ia tiba-tiba benci pada mereka yang menganggapnya sebagai Tuhan.
“Diego tak pernah lagi punya kesempatan menjadi anonym. Tidak mungkin lagi ia bermain bola di jalanan dengan teman atau saudaranya. Padahal baginya, permainan macam itulah sepakbola yang sesungguhnya. Diego kehilangan kegembiraan masa kecilnya,” kata Oswaldo Ardilles, mantan pemain tengah Argentina.
Maka sang bintang lalu melepaskan semua bebannya dengan menjadi sampah masyarakat. Tak hanya kokain, ia juga menjadi pemain seks yang bejat. Srjak masih remaja, ia sudah terbiasa dnegan seks bebas dengan siapa saja. Bahkan ketika memperkuat klub Italia, Napoli, ia mengkhianati istrinya, Claudia Villafane. Dia juga berhubungan intim dengan gadis setempat hingga akhirnya punya anak. Maradona menolak untuk melakukan tes DNA guna membuktikan apakah Maradona Junior benar-benar anaknya. Namun, pada 2003 dia mengakui anak itu sebagai keturunannya.
Sebenarnya, itu bukan pertama dan satu-satunya. Maradona dikenal doyan pesta dan sering larut dengan wanita lain, kemudian tenggelam dalam perselingkuhan. Percekcokan dengan istrinya pun seolah menjadi acara rutin. Pada 2004, Maradona pun cerai dari Claudia yang telah memberinya dua putri, Dalma Nerea dan Giannina Dinorah. Giannina sampai mengatakan, ternyata cerai adalah jalan terbaik. Maradona sendiri mengatakan, tak pernah percaya 100 persen kepada Claudia, meski dia adalah cinta dalam hidupnya. Ia juga selingkuh dengan wanita Napoli, Christina Sinagra, yang mengaku telah melahirkan anak dari Maradona. Bahkan Sinagra siap untuk menjalani test DNA demi membuktikan kalimatnya. Maradona menolak, meskipun belakangan mengakui kenyataan tersebut. Kelakuannya sendiri juga sering menjadi penyebab kehancuran keluarga mereka. Selain suka mabuk dan mengonsumsi kokain, Maradona sering berselingkuh. Saat menjalani rehabilitasi ketergantungan narkoba di Kuba, dia menggandeng gadis 19 tahun, Adonay Fruto. Bahkan, dia tak segan menunjukkan kemesraan di depan umum.
Apakah yang sebenarnya dicari Maradona? Tampaknya, ia sedang berupaya menemukan dirinya. Kenakalan dan kebandelan itu adalah resultan dari pengalaman masih kecil saat hidup sebagai warga miskin di jalan-jalan. Boleh jadi, ia melihat seks sebagai jalan pembebasan. Hawa nafsu adalah tali kekang yang bisa menjadi bendungan atas imajinasi dan daya dobrak kreativitas pada diri seseorang.
Mungkin ia membaca Sigmund Freud yang melihat libido harus dilepaskan, bukannya dikekang. Ia beda pendapat dengan pelatih Inggris, Fabio Capello, yang enggan mengizinkan para pemainnya bertemu pasangan saat Piala Dunia digelar. Tidak mengherankan jika sebelum Piala Dunia 2010 digelar ia menerapkan kebijakan yang mengejutkan yakni mengizinkan para pemain untuk berhubungan seks dengan pasangannya. Ketua Tim Dokter Keseblasan Argentina, dr Donato Villani, mengamini kebijakan tersebut. “Seks adalah bagian yang normal dalam kehidupan sosial. Seks bukan masalah,” katanya.
Tuhan Maradona
Usai membaca Plato, Maradona lalu menerawang ke depan. Kembali ia berharap agar dirinya bisa menjadi pembebas dari rasa haus akan gelar bagi tim Argentina. Rasanya, ia ingin berbuat sesuatu yang lebih, yang bisa melampaui kapasitasnya sebagai manusia biasa. Maha bintang asal Brasil, Pele, pernah meledeknya. “Bayangkan, Maradona telah menganggap dirinya Dewa, dan bukan manusia. Padahal ia tak lebih dari pemain besar seperti Alfredo di Stefano, Zico, dan Cruyff. Maradona telah kehilangan dasar religious dan kekeluargaan, sesuatu yang dibutuhkan para pemain bola,” katanya.
Mungkin Pele asal ngomong dengan pernyataannya. Toh klaim itu tak pernah datang dari Maradona. Justru klaim itu datang dari penggemar yang ingin sesuatu yang berlebih. Namun, benarkah sosoknya seperti dewa? Bagi warga Argentina, sosoknya lebih dari itu. Jika dewa adalah mahluk langit yang tunduk pada perintah Tuhan, maka bagi sebagian orang, Maradona adalah Tuhan itu sendiri.
Pada Piala Dunia 2006 lalu di Jerman, banyak supporter yang menulis kalimat dalam bahasa Jerman: Der papst ist Deutscher. Gott ist Argentinier – Diego X. Artinya: Paus Orang Jerman. Tuhan Orang Argentina-Diego X. Jika supporter menyebut Diego tanpa embel-embel, maka yang dimaksudkan adalah Diego Armando Maradona. Adapun huruf “X” menyimbolkan nomor keramat yang selalu dikenakan sang dewa saat bermain yakni nomor 10.
Sedemikian cintanya rakyat Argentina sehingga merekapun membangun ruang pemujaan Gereja Maradona di dekat Buenos Aires pada tahun 2003. Tak hanya rakyat Argentina saja, rakyat Napoli, Italia, juga membangun altar pemujaan atas sosoknya. Ribuan orang berdoa agar dirinya kembali membuat keajaiban sebagaimana Piala Dunia 1986 di Mexico City. Ribuan orang mengucap mantra demi kedigdayaannya. Catat, Maradona belum tewas, namun ia sudah mendapat kehormatan dan pemujaan yang dahsyat sehingga warga Napoli menyebutnya Santa Maradona.
Kini, Sang “Tuhan” akan diuji kembali. Dalam Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan sihir Santa Maradonakembali ditunggu. Saat hendak menuju lapangan tempat pertandingan untuk berhadapan dengan elang super Nigeria, maradona sempat memanggil pemain kebanggaannya Lionel Messi. Ia lalu berbisik, “Kalaupun kita harus mati, maka langit pun harus ikut runtuh bersama kita.”
Pulau Buton, 13 Juni 2010, pukul 11.04
Saat siap-siap pergi mancing