INSPIRASI itu ibarat buah yang berasal dari batang dan akar tertentu. Semuanya bermula dari benih yang disemai oleh sesuatu yang kadang tak jelas siapa dan apa, namun pengaruhnya jelas membayang-bayangi. Terkadang, benih buah itu dibawa kelelawar dan dijatuhkan di satu tempat. Kadang pula dibawa seorang petani dan ditumbuhkan di satu tempat. Dan berbilang waktu, tumbuhlah sebuah pohon kekar yang tak jelas asal-usulnya.
Sebagaimana pohon itu, saya sulit menentukan gaya siapa saja yang mempengaruhi kemampuan menulis saya. Tapi, saya juga harus mengakui bahwa goresan tulisan saya dipengaruhi oleh banyak penulis lainnya, yang boleh jadi saya tiru-tiru gayanya dan sering dikutip, tanpa kata permisi. Mereka memberikan inspirasi yang tak ada habisnya dan memberi bentuk pada cara berpikir serta gaya menulis hari ini. Meski sulit menentukan, namun ada beberapa nama yang melintas dalam benak saya. Mereka yang memberikan inspirasi itu adalah:
Goenawan MohammadSaya membaca tulisan Goenawan Mohamad sejak tahun 1996, saat menjadi mahasiswa baru di Unhas. Ia menulis Catatan Pinggir secara rutin di Majalah Tempo. Meskipun saat itu saya tidak mengerti, namun saya suka sekali dengan gaya menulisnya yang bagai pesilat sedang meliuk-liuk dan tiba-tiba menohok. Pilihan katanya mengejutkan. Meskipun kadang tulisan Goenawan berat dan susah dipahami, khususnya buku Eksotopi, juga Seks, Satra dan Kekuasaan. Ia tipe filosof yang suka merenung dan berefleksi atas kejadian-kejadian besar dalam setiap minggunya. Meski berat, saat itu saya paksakan diri untuk mengerti, atau kadang saya pura-pura paham biar dikira intelek. Namun, ada beberapa tulisannya yang amat menyentuh dan tak bisa hilang dalam kepala saya. Misalnya The Death of Sukardal. Usai membaca tulisan ini, saya amat tersentuh. Sampai beberapa tahun kemudian, tulisan itu masih membekas. Pernah sekali saya rasa menyesal membacanya sebab tulisan itu tak hilang-hilang dalam benak. Saya sedih membayangkan Sukardal, seorang tukang becak yang gantung diri. Tapi, lama kelamaan, tulisan itu menjadi pelita terang yang mempengaruhi cara pandang saya atas sesuatu. Inilah kehebatan Goenawan. Ia menumbuhkan kecintaan pada menulis, serta menyuburkan hasrat agar kelak bisa menjadi penulis yang produktif sebagaimana dirinya.
Emha Ainun NadjibSeperti halnya Goenawan, hampir semua buku dan tulisan Emha Ainun Nadjib ada dalam koleksi buku saya. Saya masih bisa menyebut satu per satu di luar kepala. Yakni buku Kiai Sudrun Gugat, Indonesia adalah Bagian Kecil dari Desa Saya, Sesobek Buku Harian Indonesia, Sililit Sang Kiai, Markesot Bertutur, Surat kepada Kanjeng Nabi, Tinju Sang Kiai, hingga yang terbaru, Demokrasi La Raiba Fiyhi. Hampir semua buku Emha sudah saya baca karena saya suka dengan gaya menulisnya yang menimba inspirasi dari sejarah dan kearifan bangsa Indonesia. Ia melihat sisi-sisi lain yang tidak banyak diperhatikan orang-orang dan kadang-kadang sisi tersebut adalah terang pandang orang-orang biasa yang selama ini diabaikan suaranya. Terhadap masalah politik yang kompleks, Emha mengangkat dialog dua orang petani dan seorang kiai. Dialog itu menjadi cermin bahwa betapa selama ini para elite kita mengabaikan rakyat kecil. Dalam tulisannya, Emha selalu kultural. Ia tidak melangit dan banyak mengutip teori-teori asing yang entah datang dari langit mana. Ia justru banyak mengangkat khasanah tradisi yang nyaris dilupakan karena penafsiran agama yang kadang sempit dan agak sektarian. Dalam ranah pemikiran, ia melakukan sintesis antara tradisi dan keislaman, sesuatu yang sebenarnya sudah terjadi sejak masa silam. Dan pemikiran itu terpancar dalam semua tulisan-tulisannya. Hingga kini, Emha adalah salah satu penulis yang saya suka gayanya.
Pramoedya Ananta ToerPertama membaca karya Pramoedya adalah saat sedang melakukan penelitian untuk proyek Unicef di Kabupaten Bone. Seorang teman menyuruh baca Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Saya serasa tersihir dengan apa yang ditulis Pramoedya. Gaya bertuturnya dalam novel adalah yang terbaik di negeri ini. Tak ada yang menandingi pencapaiannya. Mulai saat itu, saya memburu semua karya Pramoedya seperti tetralogi Pulau Buru yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca (hingga kini saya belum tuntas baca Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Terlalu tebal!). Saya juga mengoleksi Arok Dedes, Perawan Remaja, hingga Dongeng Calon Arang. Yang mencengangkan dari Pramoedya adalah kemampuan membangun kisah dengan alur dan narasi yang terjaga. Membaca novelnya, kita tidak akan pernah bosan dan tidak akan pernah berhenti hingga menuntaskannya. Yang juga mencengangkan adalah kemampuannya menghidupkan setting masa silam, khususnya pada masa awal nasionalisme Indonesia. Inilah yang tidak banyak dimiliki penulis lain yakni kemampuan membangun ulang suasana masa silam. Para sejarawan bisa saja pongah dengan kemampuannya merekonstruksi masa silam. Tapi mereka tidak bisa menggambarkan bagaimana suasana hati dan cara berpikir mereka yang hidup pada masa itu. Inilah kelebihan Pramoedya yang tidak bisa ditandingi orang lain. Bagi saya, Pramoedya is the best!
Seno Gumira AdjidarmaINI dia penulis yang saat ini paling saya tunggu tulisannya. Di mata saya, Seno adalah penulis yang komplit. Tidak cuma novel, cerpen, saya juga menunggu ulasan-ulasannya tentang budaya massa. Saat ini saya rajin baca Majalah Intisari karena selalu ada tulisan Seno yang terbaru di situ. Bulan ini, Seno menulis tentang wajah Indonesia dalam kartun Malaysia. Kalau ditanya apa saja buku yang pernah ditulis Seno, saya akan menjawab spontan: Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Atas Nama Malam, Saksi Mata, Sepotong Senja untuk Pacarku, Wisanggeni, serta Matinya Seorang Penari Telanjang. Buku yang terakhir itu pernah mengatasi rasa lapar saya. Suatu hari, saya kelaparan dan tidak punya uang. Saya lalu menjual buku itu. Sebulan kemudian, saya membeli lagi buku yang sama. Kecintaan saya pada Seno karena gaya bahasanya yang mengalir seperti aliran sungai yang tak henti. Ia seorang pendeskripsi yang handal, penutur sesuatu secara gamblang dan hidup. Di mata saya, Seno adalah sastrawan dan penulis terbaik yang saat ini dimiliki bangsa Indonesia. Saking cintanya saya sama Seno, nama blog saya adalah Timur Angin, meniru nama anak Seno. Bahkan kelak ketika punya anak lelaki, saya akan beri nama Timur Angin.
SindhunataSaya mengenal tulisan Sindhunata sejak tahun 1998, jelang Piala Dunia. Ia rajin menulis kolom tentang catatan sepak bola. Tulisannya mengejutkan. Di tangannya, sepak bola bukan sekedar skor atau adu ketangkasan antar tim, namun kisah-kisah manusia yang sedang mencari bentuk. Makanya, saya merasa hanyut saat membaca tulisannya tentang Alessandro del Piero yang bermain bola demi mengatasi rasa rindunya pada ayah. Kemudian Maradona, si anak miskin dari perkampungan kumuh Argentina yang kemudian jadi dewa bola. Atau tentang para pemain Brasil yang bermain bola semata-mata demi mengekspresikan rasa riang mereka. Saya selalu kagum dengan kemampuan menulis feature yang khas dari Sindhunata. Pernah pula, saya membaca tiga buku yang dihasilkannya yakni novel Anak Bajang Menggiring Angin, Cikar Bobrok, hingga buku ilmiah Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Max Horkheimer atas Masyarakat Modern. Tapi, saya tidak terlalu suka buku ilmiah itu. Saya lebih suka buku novel yang saya sebut di atas. Hingga sekarang, kesan saya tak berubah. Sindhunata adalah penulis yang saya suka.
Jalaluddin RakhmatPenulis yang kerap disapa Kang Jalal adalah salah satu penulis terbaik yang saya kenal. Karya pertamanya yang saya baca adalah buku Psikologi Komunikasi, salah satu buku terbaik di bidang Ilmu Komunikasi hingga saat ini. Awalnya, saya merasa bangga dengan keberadaan Kang Jalal sebab saya menekuni disiplin yang sama dengannya yakni Ilmu Komunikasi. Tapi semakin banyak membaca karyanya, saya menemukan tema yang sangat luas dan kaya, mulai dari komunikasi, psikologi, filsafat, hingga merambah ke kajian-kajian sufistik. Saya bisa menyebut spontan beberapa bukunya, yakni Metode Penelitian Komunikasi, Meraih Cinta Ilahi, Menyibak Tirai Kegaiban, Reformasi Sufistik, Catatan Kang Jalal, Rintihan Suci Ahlul Bayt, Road to Allah, Road to Muhammad, hingga buku Dahulukan Ahlak di Atas Fikih. Dalam tulisannya, bertaburan hikmah-hikmah dan kearifan yang digali dari rentang panjang sejarah perjalanan manusia di muka bumi. Tidak sekedar mengisahkan, ia menembus kisah itu dan mnggalinya hingga ke genangan makna yang terdalam. Ia menimba makna, kemudian membawanya ke permukaan untuk menjadi sungai inspirasi bagi manusia lainnya. Dan saya adalah salah seorang yang tersentuh itu. Pada tahun 2000, saya pernah ke Bandung dan belajar filsafat di rumahnya yang asri di dekat SMU Muthahhari. Selain penulis yang handal, Kang Jalal juga penceramah yang hebat. Gaya retorikanya memesonakan banyak orang. Makanya, saya selalu menyempatkan hadir dalam setiap ceramah yang dibawakannya.
Ignas KledenUntuk tema-tema yang memusingkan namun tidak jlimet, tulisan Ignas Kleden adalah yang terbaik. Ia menulis filsafat, tapi dengan gaya yang populer dan enak dibaca. Saya suka dengan kecakapannya menyusun argumentasi. Kita diajak melihat sesuatu dengan utuh, dan tidak sepenggal-sepenggal. Pertamakali membaca tulisan Ignas adalah pengantar untuk Catatan Pinggir 2. Selanjutnya saya membaca dua buah bukunya yakni Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, serta Indonesia sebagai Utopia. Mungkin inilah buku yang paling bagus soal kritik kebudayaan di Indonesia. Apa yang tersaji dalam buku itu adalah telaah yang paling komprehensif dan paling baik tentang kebudayaan Indonesia, dari sisi akademis. Dalam pandangan saya, tulisan Ignas tidak memberikan kita informasi maupun fakta baru, sebagaimana halnya tulisan sosiologis ataupun antropologis. Akan tetapi tulisan Ignas mengajak kita untuk menggali sesuatu yang nampak sederhana menjadi jauh lebih dalam. Ia menembus fakta-fakta sosial dan menjelaskan kekuatan-kekuatan utama yang menggerakkan fakta tersebut. Makanya, Ignas tidak berposisi sebagai pencipta atau pengarang. Ia adalah penganalisis, seseorang yang memiliki piranti pengetahuan filosofis dan menjelaskan sesuatu dengan lebih mendalam dan detail. Ia bisa menjelaskan dengan baik bagaimana kegelisahan seorang Hatta yang berada dalam dilema antara keinginan menjadi ulama dan cendekia, serta panggilan bangsa dan negara untuk menjadi patriot. Ignas juga detail dalam menjelaskan pemikiran Sjahrir yang melanglang buana saat berada di Banda Neira. Ia tidak memberi informasi baru, sebab semua yang dikemukakannya ada dalam buku-buku sejarah. Tetapi Ignas memberikan sentuhan pemikiran yang dalam dan menjelaskan apa yang sesungguhnya berkecamuk dalam setiap goresan Hatta dan Sjahrir. Itulah kelebihan Ignas yang saya suka.(*)