Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Kota Soppeng, The Gotham City

JIKA anda kenal dengan tokoh kartun Batman, maka pastilah anda kenal dengan Gotham City, tempat tinggal pahlawan yang dijuluki manusia kelelawar itu. Dalam film itu, Gotham digambarkan sebagai kota yang paling banyak didiami oleh ribuan kelewar sehingga di sore hari, langit penuh dengan kelelawar yang berseliweran.

Saya menemukan kota seperti itu dalam kehidupan nyata. Tepatnya di Kota Watansoppeng, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Di siang hari, kelelawar menemuhi pohon-pohon di jalan-jalan utama Watansoppeng. Saya kagum melihatnya. Pohon-pohon di situ dipenuhi banyak kelelawar sehingga jika dilihat sepintas, seolah-olah daunnya berwarna hitam. Dan di sore hari, semua kelelawar itu akan berhamburan dan memenuhi angkasa. Langit Soppeng tertutup warna hitam, saking banyaknya kelelawar yang terbang.

Menurut warga setempat, kelelawar itu seakan memberi tanda kepada masyarakat kalau akan ada kejadian besar. Pernah, suatu hari, semua kelewar tiba-tiba lenyap. Ternyata, pada hari itu terjadi banjir bandang pada satu daerah di dekat Kota Soppeng. Demikian pula pada suatu hari, tiba-tiba semua kelewar lenyap. Ternyata, beberapa malam sesudahnya, terjadi kebakaran hebat yang melanda banyak rumah di Soppeng.

Makanya, warga membiarkan kelewar itu tetap hidup di tengah kota, menjadi semacam early warning system atas bencana yang sewaktu-waktu menimpa. Kelelwar itu menjadi sahabat yang memberi tanda, memberi peringatan atas bahaya yang seaktu-waktu mengancam. Kelelawar itu menjadi karib yang memberi tanda mistis, menjadi bagian dari kearifan khasanah budaya orang Soppeng.(*)

Watak Pengemis Para Akademisi Kita

WATAK para akademisi kita sekarang ini adalah watak pengemis. Mereka jarang mengajar. Tiap hari hanya mengincar proyek-proyek riset pesanan demi memperkaya diri. Mereka sama saja dengan para peminta-minta yang saban hari selalu menadahkan tangan. Bedanya adalah: para peminta-minta itu mengincar beberapa ribu rupiah sehari, maka para akademisi itu mengincar dana hingga miliaran rupiah.

Para akademisi kita berlindung di balik kalimat riset atau penelitian. Padahal bukan riset itu yang menjadi tujuan. Riset itu dilakukan asal-asalan, sekadar memenuhi kewajiban menyetorkan hasil riset pada satu lembaga donor (yang juga tak mau mengecek apakah riset dikerjakan dengan baik ataukah tidak). Tujuannya bukan untuk menguak lapis-lapis realitas sosial dan memaknainya, namun semata-mata demi mengincar segepok dana yang bertimbun di banyak lembaga. Makanya, riset itu dilabeli kata proyek. Biasanya, untuk mendapatkan proyek, maka mesti ada imbalan yang juga masuk ke sejumlah orang dalam satu lembaga. Bung!!! Ini simbiosis mutualisme. Kita mesti sama-sama bekerja sama agar bisa kaya sama-sama. Hehehehe…

Saya tidak sedang menuding. Sudah terlalu banyak kenyataan yang tiap hari saya saksikan. Terlampau sering saya melihat akademisi yang tidak pernah masuk mengajar. Lebih jarang lagi melihat akademisi yang menulis buku-buku bermutu. Pembicaraan di ruang-ruang jurusan atau fakultas bukanlah membahas bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan serta implikasi metodologisnya. Tidak juga membahas substansi aneka publikasi di jurnal terbaru atau riset-riset yang lagi marak. Mereka sibuk membahas siapa yang paling kaya, mobil siapa yang paling baru, siapa mahasiswi yang paling cantik, hingga membahas bagaimana cara memeras uang di sana-sini.

Mereka semakin sibuk menjilat sana-sini, mudah silau dengan jabatan kuasa hingga mengorbankan tugas-tugas mulia akademiknya. Mereka berpetualang di jagad politik dan merapat di ketiak mereka yang memiliki kuasa. Mereka menjadi tim sukses dengan satu tugas yaitu selalu menjilat dan memuji-muji sang majikan. Tugasnya adalah memberikan nasihat-nasihat untuk mengelabui masyarakat, agar citra sang majikan tetap baik dan tampak seolah terpuji. Misinya adalah membohongi orang-orang dan mengkonstruksi realitas tentang majikannya yang hebat, welas asih, selalu berpihak pada rakyat, dan religius. Mereka melakukannya demi uang, dengan alasan gaji akademisi tidak cukup memadai untuk berfoya-foya.

Mungkin saya agak emosional. Tapi saya tidak asal menuding secara membabi-buta. Menurut saya, ketika memilih profesi akademisi atau dosen, maka di situ terletak sebuah komitmen dan amanah sosial yang besar untuk mendedikasikan hidupnya pada jalan kebaikan, sebagaimana dipilih para guru dan pengajar masa silam yang tak mengharap kekayaan. Seorang akademisi harus mengabdikan dirinya demi memberikan pencerahan bagi masyarakat. Ia harus menjadi mercusuar yang memberikan cahaya terang bagi siapapun yang tertatih-tatih di kegelapan pengetahuan. Meminjam istilah filsuf Heidegger seorang akademisi adalah intelektual memisahkan terang dari gelap dan menjaga terang agar tetap bersemayam di hati secara terus-menerus. Ia menghancurkan berhala pengetahuan, memberikan inspirasi dan memberikan makna kepada masyarakat luas.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa seorang akademisi harus miskin. Profesi akademisi mestinya menjadi pilihan bagi mereka yang cinta pada ilmu pengetahuan, cinta pengajaran, dan tidak menjadikan kegiatan mengajarnya sebagai pintu menuju kekayaan. Kalaupun kelak uang mengalir masuk ke rekeningnya, maka itu harus dipandang sebagai konsekuensi atas profesionalitas dan kerja kerasnya dalam menata kalimat-kalimat pengetahuan. Bukannya menghalalkan segala cara, jilat sana jilat sini demi uang. Bukannya menipu kiri kanan demi mengincar uang atau jabatan, atau apalah namanya.

Saya tahu bahwa tidak semua akademisi seperti itu. Tetap ada pelita harapan di tengah pekatnya kegelapan dunia akademis kita. Namun, bisakah akademisi idealis itu bertahan ketika melihat di kiri kanannya semua orang menghalalkan segala cara? Saya bertemu beberapa akademisi idealis yang meradang dengan situasi ini. Ia tidak menampik semua yang saya tudingkan. Malah ia menambahi. Katanya, profesi akademisi hanya dilihat sebagai strategi untuk menjaga kerja lambung. What...?

Mentalitas Jalan Pintas


TERLAMPAU banyak saya menemukan mahasiswa yang memilih jalan pintas, ketimbang berpayah-payah menyelesaikan sesuatu. Selama beberapa minggu ini, saya banyak bertemu teman yang malas menyelesaikan tugas akhir. Mereka lalu menyerahkan tugas itu kepada orang lain dengan iming-iming tertentu, bisa berupa uang atau yang lainnya.

Kita memang berada di satu zaman di mana hasil akhir menjadi segala-galanya. Para mahasiswa itu enggan berlelah-lelah dalam satu proses yang membakar mereka dalam kawah candradimuka. Mereka hanya mau hasil, tanpa susah payah. Mereka seakan menolak pepatah "bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian." Pepatah itu berubah menjadi "Ngapain bersusah-susah, bersenang-senanglah setiap saat." Mungkin inilah ciri zaman hari ini.

Saat masih domisili di Jakarta, saya sering diceritakan tentang "Mafia Rawamangun." Mereka adalah sekumpulan mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Indonesia (UI) yang mengerjakan tesis-tesis atau skripsi pesanan. Tak peduli apa jurusan anda, cukup memberikan tema yang hendak ditulis. Dalam waktu tertentu, tema yang diinginkan itu sudah jadi skripsi atau tesis. Di tengah iklim kampus yang tidak terlalu ketat, praktik seperti ini menjadi hal yang seolah lazim saja.

Praktik jalan pintas ini tidak hanya dilakukan teman-teman yang kuliah di tingkat S1, namun juga dilakukan mereka yang kuliah di Pascasarjana. Padahal, menurut saya, tugas akhir itu mestinya diperlakukan sebagai medium untuk menerapkan semua pengetahuan yang dipelajari di bangku perkuliahan. Tugas akhir itu adalah wadah untuk menguji kembali sejauh mana relevansi konsep-konsep, teori, serta metodologi di dalam satu penelitian lapangan. Mestinya para mahasiswa harus tertantang untuk mengerjakannya, sebab kualitas tugas akhir adalah cerminan dari sejauh mana keseriusan menggeluti dunia ilmiah semasa di bangku perkuliahan.

Tapi, apalah artinya semua hal-hal ideal seperti itu ketika mahasiswa lebih suka menjadi plagiator atau menggunakan jasa skripsi. Pada akhirnya, pendidikan adalah proses semu yang tidak mendewasakan. Pendidikan menjadi instrumen yang mencerminkan dunia sosial kita yakni mental jalan pintas dan menerabas sana-sini, tanpa mau bersusah payah. Wah...

Menebar Bahagia

BAHAGIA itu bukan sesuatu yang mahal. Tak perlu rumah megah atau mobil mewah untuk mewujudkan bahagia. Juga tak perlu uang yang menimbun. Kata Mario Teguh, bahagia bisa digapai kapan saja, dan di manapun seseorang bahagia. Masih kata Mario, untuk bahagia, anda hanya perlu memberikan kebahagiaan itu kepada orang lain di sekitarmu. “Berikan atau hadiahkan sesuatu. Saat ada senyum tersungging, sekian detik berikutnya, bahagia akan mekar di hatimu. It’s miracle...“

Hari ini saya membuktikan kebenaran apa yang dikatakan sang motivator tersebut. Tak perlu saya ceritakan secara detail apa yang saya lakukan. Saya tak mau narsis. Intinya adalah saya memberikan hadiah tak terduga kepada seseorang yang hari-harinya datar saja, tanpa kejutan. Sekian detik berikutnya, ada histeris tak percaya. Terucap kata terima kasih dari lubuk hati yang dalam. Saat itulah saya tahu bahwa Mario Teguh tidak asal ngomong. Kata-katanya terbukti. Ada bahagia yang menyelusup dalam hati ini. It works...!

Lebaran yang Bakal Sepi

BETAPA inginnya saya merayakan Lebaran Idul Adha di kampung. Lebaran bukanlah ritual tahunan yang dilewati begitu saja, seolah tanpa ’dentuman’. Lebaran adalah saat bersama-sama, ketika kamu pulang sembahyang ramai-ramai di lapangan, kemudian menyempatkan waktu untuk mencium tangan ibu, pertanda maaf atas segala dosa yang tertumpah pada masa silam. Setelah itu, kamu tersenyum dan bermaafan dengan semua orang terdekatmu, membuka pintu hatimu lebar-lebar, bertukar bahagia, sama-sama membagi harapan untuk masa depan yang lebih baik, tanpa amarah, tanpa rasa benci.

Tahun ini saya hanya bisa merayakan di sini, di Kota Makassar. Belum lagi Lebaran, saya sudah mulai merasakan hal yang berbeda. Rasanya ada kekosongan yang akan datang menghampiri, situasi ketika kamu merasa jauh dari semua orang yang mengasihi. Saya benci kekosongan itu. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Ada kewajiban yang harus ditunaikan. Ada harapan, mesti kecil, namun bisa menjadi jalan keluar dari perjalanan jauh ini.

Tapi biarlah saya menjalaninya. Saya hanya bisa membisikkan harapan agar tahun depan, Lebaran kembali menjadi sesuatu yang semarak, sesemarak saat masih kecil. Ada baju baru, uang saku, ayam goreng, dan cium tangan sama ibu.(*)

Saat Terjerat Romantisme Antropologika

HARI ini aku membaca buku karya Tania Murray Li berjudul Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power, and Production. Buku ini membahas bagaimana transformasi terjadi di daerah pedalaman di beberapa tempat di Indonesia. Isinya adalah semacam bunga rampai, tetapi Tania Li menuliskan catatan yang menurutku cukup menarik sebab merupakan lesson learned atau theoretical insight posisi teoritiknya yang mewarnai percikan pemikiran yang tersaji dalam buku yang agak tebal ini.

Buku ini menyumbang khasanah penting menyangkut penelitian antropologis ataupun politik ekologi mengenai bagaimana masyarakat di pedalaman atau dataran tinggi di Jawa merespon perubahan khususnya menyangkut cara mereka mencari nafkah, serta relasi mereka dengan pasar serta negara, dua insitusi yang mestinya memberdayakan, namun ternyata meminggirkan mereka dalam ranah kehidupan sehari-hari.

Baru membaca beberapa tulisan, aku bisa merasakan kalimat-kalimat penuh kritik atas negara yang berlaku tak adil bagi warganya sendiri. Salah satu ciri khas Tania Li yang saya tahu adalah tulisannya selalu berisi hajaran atas struktur negara dan mekanisme pembangunan yang tidak memberikan ruang memadai bagi masyarakatnya untuki tumbuh dan berkembang. Tulisan-tulisan Tania Li berisikan gugatan atas nasib masyarakat. Nuansa yang pekat dalam tulisannya adalah nuansa advokasi atau pembelaan pada masyarakat. Inilah hal yang saya apresiasi dalam semua tulisannya.

Satu hal yang membuatku termenung saat membaca buku ini adalah kata pengantar dari Prof Amri Marzali, salah seorang dosenku di UI. Kata Amri, kerap kali seorang antropolog atau peneliti sosial terjebak dalam rimba raya perasaannya ketika melakukan riset. Ia terbelit oleh sulur-sulur perasaannya sendiri ketika mendefinisikan satu kenyataan sosial. Amri menyebut istilah “Romantisme Antropologika“ untuk menjelaskan sikap romantik yang menggebu-gebu pada seorang peneliti sehingga secara membabi-buta membela suatu masyarakat, tanpa menelusuri kenyataan itu lebih jauh dan mendalam.

Amri menceritakan pengalamannya ketika menguji seorang mahasiswa doktoral yang mati-matian membela masyarakat dan mengkritik habis Perum Perhutani. Saat ditanya, jika tertindas, kenapa masyarakat itu tidak pindah, sang mahasiswa langsung terdiam. Ternyata, ia banyak terpengaruh oleh aneka tulisan para peneliti asing tentang kenyataan yang ditelitinya sehingga ia menjadikan asumsi itu sebagai satu-satunya kebenaran.

Mungkin, Amri hanya sebatas meletakkan rambu-rambu saja untuk tidak selalu menganggap apa yang dikisahkan Tania Li sebagai satu-satunya kebenaran. Posisi seorang ilmuwan sosial dan juga seorang pembaca adaah posisi yang terbuka pada ragam gagasan-gagasan baru dan bersikap kritis untuk selalu mempertanyakan apa yang disebut kebenaran. Mungkin inilah rambu yang dipasang Amri sebelum menelusuri tulisan Tania Li dalam buku ini. Mudah-mudahan aku bisa segera menuntaskan buku ini.(*)

Pengangguran: Pekerjaan Paling Enak!

PEKERJAAN paling enak di negeri ini adalah menjadi pengangguran. Saya tidak sedang bercanda. Ketika menjadi pengangguran, anda memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya hingga membuat anda merdeka untuk memilih mau tidur jam berapa atau bangun jam berapa. Anda tidak dikejar target untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, Anda bebas dari semuanya dan bisa tidur nyenyak seperti bayi.

Seorang penganggur merdeka dari tekanan siapapun yang disapa bos. Tidak ada yang akan menelepon sambil marah-marah karena pekerjaan anda tidak beres. Tidak ada yang komplain atas keterlambatan anda dalam mengerjakan sesuatu, tidak ada yang ngamuk ketika anda melakukan kesalahan. Sebagai pengangguran, anda bebas mengendalikan diri anda. Anda menikmati kemerdekaan, lepas dari segala belenggu.

Kalaupun ada yang membatasi, maka itu adalah dunia sosial yang jengah melihat anda bermalas-malasan setiap hari. Dunia sosial mendefinisikan pengangguran sebagai stigma negatif. Ebenarnya, ini adalah kategorisasi yang aneh sebab di saat bersamaan mendefinisikan para para pekerja kantoran sebagai tipe sukses. Padahal, para pekerja kantoran itu adalah para budak kota yang setiap saat dihardik dan dipecut bagai kuda untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

Seorang penganggur adalah seseorang yang bisa tidur nyenyak setiap saat, meskipun bukan di hotel mewah. Anda tak perlu membeli pil Lelap atau mengonsumsi narkoba sebagaimana para bos yang ingin bisa tidur lelap. Anda cukup berbaring di satu tempat, kemudian memejamkan mata, dan sekian detik berikutnya, anda sudah pulas. Anda punya kemerdekaan, sesuatu yang amat mahal bagi para pekerja kantoran lainnya. Dan anda memiliki kemerdekaan itu dengan gratis, tanpa harus mengeluarkan banyak uang seperti para bos.

Seorang kawan bertutur bahwa pilihan menjadi pengangguran adalah sesuatu yang membawa konsekuensi. Kita mesti terbebaskan dari hasrat-hasrat narsis atau keinginan membeli barang-barang mahal. Maklumlah, teman tersebut bukan anak orang kaya semacam Jusuf Kalla atau Aburizal Bakrie. Makanya, ia sering kehabisan duit dan hidup dengan ikat pinggang yang selalu ditarik. Ia tak mau memelas, dan memilih tetap tegar dengan kemiskinannya. Saya sering geleng kepala. Sudah miskin, kok masih sombong dengan dirinya. Hehehehe...

Setidaknya, ia memiliki kebebasan. Sesuatu yang amat mahal bagi banyak orang. Tul nggak?

Sastra yang Lembut Menyapa

BAGAIMANAKAH kriteria menilai sebuah karya sastra? Apakah parameter untuk menyebut suatu karya sastra lebih baik dari karya sastra yang lainnya? Barusan saya merekomendasikan cerpen atau karya sastra yang saya anggap bagus pada seorang teman. Tapi, setelah teman membaca cerpen itu, ia merasa datar-datar saja. Ia tidak tertarik dengan cerpen yang saya perlihatkan. Katanya, cerpen itu seperti sampah yang layak dibuang ke dalam tong. Busyet!

Makanya, saya jadi bertanya-tanya tentang kriteria bagus atau tidak dalam sastra. Sebab sayapun kadang berpikir sebagaimana teman tersebut. Sebuah cerpen yang ditulis pengarang besar dan dianggap bagus banyak orang, setelah saya baca, ternyata tidak menyentuh sama sekali. Saya tidak tertarik dan tiba-tiba mencuat pertanyaan, kenapa sih banyak yang memuji cerpen tersebut? Ataukah saya yang dangkal dan berselera rendah?

Ini sama dengan lukisan. Sebuah lukisan yang dibuat seperti cakar ayam oleh pelukis sekaliber Affandi, tiba-tiba dipuji setinggi langit oleh banyak orang. Padahal, apanya yang menarik? Saya serasa melihat lukisan cakar ayam yang dibuat orang yang baru mau belajar melukis. Tak ada sisi menariknya sama sekali. Lantas, kenapa sampai dipuji-puji?

Mungkin (meski saya sendiri tidak begitu yakin), sastra dan seni memang sebuah wilayah tinggi, dan tidak sembarang orang bisa mendakinya. Pada titik ini, sastra atau seni adalah wilayah subyektif yang sangat bergantung pada sejauh mana daya nalar atau kemampuan seseorang menyerap sastra. Ada hubungan yang sifatnya dialektis antara sebuah karya dan seorang individu. Novel pop semacam Laskar Pelangi sekalipun membutuhkan daya nalar dan pengalaman seseorang untuk memahami, kemudian mencerna, dan proses berikutnya adalah hadir inspirasi. Artinya, sebuah karya sastra yang baik, selalu membutuhkan individu yang memiliki proksimitas sama untuk memahami dan larut dalam karya tersebut.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa hanya individu tertentu yang punya kecakapan untuk memaknai sebuah karya. Tidak seperti itu. Disebabkan seni dan sastra adalah wilayah subyektif, maka setiap orang punya defenisi yang berbeda-beda tentang apa saja kriteria bagus atau jelek. Bagi saya, sebuah karya yang bagus adalah karya yang ketika kita membacanya, kita tersentuh. Batin kita seolah disapa dan sekian detik berikutnya, kita lebur dalam karya tersebut. Kriteria ini membuka pintu yang lebar bagi subyektivitas individu. Dalam bahasa antropologi, kriteria itu haruslah down to earth atau bersifat emik yang dikonstruksi oleh seorang individu.

Saya dan anda, hanya menggemari jenis-jenis tulisan atau karya tertentu. Saya bisa merasa larut atau sedih ketika membaca syair kabanti yang ditulis orang Buton pada masa silam, tapi belum tentu dengan anda. Boleh jadi, anda baru tersentuh ketika membaca puisi karya Rendra atau Sapardi Joko Damono. Atau mungkin, seorang kawan kita yang lain, lebih menggemari syair lagu dari Metallica atau Nirvana. Tak ada yang salah di sini. Sebab syair –apapun itu—bisa menggugah dan menyentuh batin seseorang.

Artinya, defenisi bagus dan tidak bagus dalam sebuah karya sastra adalah konstruksi seseorang atas sesuatu. Siapapun bisa merumuskan defenisi sendiri tentang mana yang bagus dan tidak bagus. Seperti halnya saya sendiri, yang merumuskan defenisi bahwa sebuah karya sastra dikatakan bagus apabila bisa menyentuh hati saya dengan lembut dan sekian detik berikutnya saya merenung, merefleksikan syair tersebut dalam batin, menghayatinya dalam rasa, dan tiba-tiba saja membuat mata ini lebih terang dalam melihat kenyataan. Demikian.(*)

.... Karena Merpati Tak Pernah Ingkar Janji


BARANGKALI cinta yang paling tulus bukan dimiliki oleh manusia. Mungkin, cinta yang bening itu adalah milik sepasang merpati. Ikrar untuk bersama-sama itu sudah terpatri dalam kesadarannya, sehingga apapun yang terjadi, mereka harus tetap bersatu. Ketika merpati jantan terpisah jauh, maka ia akan terbang melesat seperti peluru, demi menemui merpati betina. Hidup adalah bersama-sama, tanpa terpisah barang sedetikpun.

Hasrat untuk terbang cepat bagai kilat itu, lalu dimanfaatkan manusia untuk dilombakan. Kemarin, saya jalan-jalan ke GOR Sudiang. Di dekat kompleks olahraga yang cukup megah itu, saya melihat ada beberapa pria yang saling adu balap merpati. Mereka memegang merpati betina dan mengacungkannya ke udara. Tiba-tiba dari kejauhan, merpati jantan melesat cepat untuk menemui yang betina. Para pria itu bersorak-sorak pada merpati yang paling cepat terbangnya.

Para pria itu mengenakan baju kaos putih lengan panjang. Di belakang bajunya terdapat gambar merpati dan tertera tulisan “Persatuan Merpati Balap Indonesia (PMBI) Makassar.“ Mungkin semacam induk olahraga buat para penggemar merpati balap. Meskipun saya sendiri menganggap itu bukan olahraga seperti halnya sabung ayam atau adu jangkrik. Buktinya, tak ada aktivitas otot atau olah pikir. Manusia hanya mengacungkan merpati betina dan melesatlah yang jantan.

Lama memperhatikan aktivitas itu, tiba-tiba saya sedih juga melihat merpati itu. Saya sangat yakin kalau merpati itu tidak pernah tahu bahwa dirinya dalam perhatian banyak manusia yang terkagum-kagum melihat terbangnya yang cepat bagai kilat. Kemahsyuran dan narsis itu hanya milik manusia saja. Merpati itu tak pernah tahu kalau manusia bertaruh tentang kecepatan terbangnya. Ia tak tahu bahwa dirinya diperlombakan demi iming-iming hadiah tertentu. Saya amat yakin, merpati itu terbang cepat karena keinginan untuk bersama-sama pasangannya. Ia tak tahan dipisahkan, dan ingin segera bersama-sama. Dan manusia bersorak-sorai seolah dirinya memenangkan lomba.

Ketika merpati jantan itu berhasil menemui merpati betina, ia lalu mematuk-matuk merpati betina. Mungkin itu semacam bahasa cinta atau tanda sayang. Dan saya lalu mengutuk pemilik merpati itu yang memasukkan mereka dalam kandang terpisah. Sialan! Sudah terbang jauh-jauh, kok tiba-tiba dipisahkan lagi.

Tiba-tiba saya teringat ujar-ujaran klasik tentang ’merpati yang tak pernah ingkar janji.’ Saya sedang menyaksikan kebenaran ujar-ujaran itu. Saya tak pernah tahu apa yang sedang dipikirkan atau dibahas sang merpati. Saya hanya melihat dengan sisi manusia. Mungkin di situ ada komitmen kuat untuk selalu bersama. Mungkin ada janji yang pernah terikrar, dan merpati jantan itu memegang janji itu dengan sepenuh jiwa raganya.

Merpati jantan adalah pencinta sejati yang rela terbang secepat kilat demi segera menemui pasangannya. Dalam terbang yang amat cepat itu, sesungguhnya ada ketulusan untuk bersama-sama. Kini, saya paham mengapa merpati menjadi simbol cinta. Sebab merpati tak pernah ingkar janji. Merpati selalu rindu dengan pertemuan.(*)

Politik Opera Sabun

POLITIK Indonesia punya kisah yang berliku-liku opera sabun. Kasus Bank Century yang kemudian berujung pada ditahannya Bibit-Chandra seperti halnya sinetron kejar tayang. Hampir setiap harinya, selalu ada kejutan-kejutan yang membuat kisah itu semakin menarik.

Tentu saja, ada banyak aktor yang berperan di sini. Mereka menjalankan skenario yang entah siapa dalang atau sutradaranya. Seperti halnya opera sabun, ketika kamu tidak menyaksikannya barang sehari, maka kamu akan ketinggalan informasi. Makanya, media massa ikut-ikutan laris. Rating televisi jadi naik, sebab setiap hari ada kejutan, skenario baru, atau kecaman dari banyak pihak.Semuanya kian memperseru drama politik di panggung kekuasaan.

Apa yang setiap hari tersaji di layar kaca adalah refleksi dari kegaduhan yang muncul di balik kelambu kekuasaan. Saya membayangkan, para elite politik kita sedang memeras otak. Mereka sedang adu strategi dan saling intip kekuatan masing-masing. Mereka sibuk membangun skenario penyelamatan diri ataukah skenario mengorbankan orang lain agar namanya terselamatkan. Inilah politik kotor ala Indonesia.(*)

Para Penulis yang Memberikan Inspirasi

INSPIRASI itu ibarat buah yang berasal dari batang dan akar tertentu. Semuanya bermula dari benih yang disemai oleh sesuatu yang kadang tak jelas siapa dan apa, namun pengaruhnya jelas membayang-bayangi. Terkadang, benih buah itu dibawa kelelawar dan dijatuhkan di satu tempat. Kadang pula dibawa seorang petani dan ditumbuhkan di satu tempat. Dan berbilang waktu, tumbuhlah sebuah pohon kekar yang tak jelas asal-usulnya.

Sebagaimana pohon itu, saya sulit menentukan gaya siapa saja yang mempengaruhi kemampuan menulis saya. Tapi, saya juga harus mengakui bahwa goresan tulisan saya dipengaruhi oleh banyak penulis lainnya, yang boleh jadi saya tiru-tiru gayanya dan sering dikutip, tanpa kata permisi. Mereka memberikan inspirasi yang tak ada habisnya dan memberi bentuk pada cara berpikir serta gaya menulis hari ini. Meski sulit menentukan, namun ada beberapa nama yang melintas dalam benak saya. Mereka yang memberikan inspirasi itu adalah:

Goenawan Mohammad

Saya membaca tulisan Goenawan Mohamad sejak tahun 1996, saat menjadi mahasiswa baru di Unhas. Ia menulis Catatan Pinggir secara rutin di Majalah Tempo. Meskipun saat itu saya tidak mengerti, namun saya suka sekali dengan gaya menulisnya yang bagai pesilat sedang meliuk-liuk dan tiba-tiba menohok. Pilihan katanya mengejutkan. Meskipun kadang tulisan Goenawan berat dan susah dipahami, khususnya buku Eksotopi, juga Seks, Satra dan Kekuasaan. Ia tipe filosof yang suka merenung dan berefleksi atas kejadian-kejadian besar dalam setiap minggunya. Meski berat, saat itu saya paksakan diri untuk mengerti, atau kadang saya pura-pura paham biar dikira intelek. Namun, ada beberapa tulisannya yang amat menyentuh dan tak bisa hilang dalam kepala saya. Misalnya The Death of Sukardal. Usai membaca tulisan ini, saya amat tersentuh. Sampai beberapa tahun kemudian, tulisan itu masih membekas. Pernah sekali saya rasa menyesal membacanya sebab tulisan itu tak hilang-hilang dalam benak. Saya sedih membayangkan Sukardal, seorang tukang becak yang gantung diri. Tapi, lama kelamaan, tulisan itu menjadi pelita terang yang mempengaruhi cara pandang saya atas sesuatu. Inilah kehebatan Goenawan. Ia menumbuhkan kecintaan pada menulis, serta menyuburkan hasrat agar kelak bisa menjadi penulis yang produktif sebagaimana dirinya.

Emha Ainun Nadjib

Seperti halnya Goenawan, hampir semua buku dan tulisan Emha Ainun Nadjib ada dalam koleksi buku saya. Saya masih bisa menyebut satu per satu di luar kepala. Yakni buku Kiai Sudrun Gugat, Indonesia adalah Bagian Kecil dari Desa Saya, Sesobek Buku Harian Indonesia, Sililit Sang Kiai, Markesot Bertutur, Surat kepada Kanjeng Nabi, Tinju Sang Kiai, hingga yang terbaru, Demokrasi La Raiba Fiyhi. Hampir semua buku Emha sudah saya baca karena saya suka dengan gaya menulisnya yang menimba inspirasi dari sejarah dan kearifan bangsa Indonesia. Ia melihat sisi-sisi lain yang tidak banyak diperhatikan orang-orang dan kadang-kadang sisi tersebut adalah terang pandang orang-orang biasa yang selama ini diabaikan suaranya. Terhadap masalah politik yang kompleks, Emha mengangkat dialog dua orang petani dan seorang kiai. Dialog itu menjadi cermin bahwa betapa selama ini para elite kita mengabaikan rakyat kecil. Dalam tulisannya, Emha selalu kultural. Ia tidak melangit dan banyak mengutip teori-teori asing yang entah datang dari langit mana. Ia justru banyak mengangkat khasanah tradisi yang nyaris dilupakan karena penafsiran agama yang kadang sempit dan agak sektarian. Dalam ranah pemikiran, ia melakukan sintesis antara tradisi dan keislaman, sesuatu yang sebenarnya sudah terjadi sejak masa silam. Dan pemikiran itu terpancar dalam semua tulisan-tulisannya. Hingga kini, Emha adalah salah satu penulis yang saya suka gayanya.

Pramoedya Ananta Toer

Pertama membaca karya Pramoedya adalah saat sedang melakukan penelitian untuk proyek Unicef di Kabupaten Bone. Seorang teman menyuruh baca Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Saya serasa tersihir dengan apa yang ditulis Pramoedya. Gaya bertuturnya dalam novel adalah yang terbaik di negeri ini. Tak ada yang menandingi pencapaiannya. Mulai saat itu, saya memburu semua karya Pramoedya seperti tetralogi Pulau Buru yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca (hingga kini saya belum tuntas baca Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Terlalu tebal!). Saya juga mengoleksi Arok Dedes, Perawan Remaja, hingga Dongeng Calon Arang. Yang mencengangkan dari Pramoedya adalah kemampuan membangun kisah dengan alur dan narasi yang terjaga. Membaca novelnya, kita tidak akan pernah bosan dan tidak akan pernah berhenti hingga menuntaskannya. Yang juga mencengangkan adalah kemampuannya menghidupkan setting masa silam, khususnya pada masa awal nasionalisme Indonesia. Inilah yang tidak banyak dimiliki penulis lain yakni kemampuan membangun ulang suasana masa silam. Para sejarawan bisa saja pongah dengan kemampuannya merekonstruksi masa silam. Tapi mereka tidak bisa menggambarkan bagaimana suasana hati dan cara berpikir mereka yang hidup pada masa itu. Inilah kelebihan Pramoedya yang tidak bisa ditandingi orang lain. Bagi saya, Pramoedya is the best!

Seno Gumira Adjidarma

INI dia penulis yang saat ini paling saya tunggu tulisannya. Di mata saya, Seno adalah penulis yang komplit. Tidak cuma novel, cerpen, saya juga menunggu ulasan-ulasannya tentang budaya massa. Saat ini saya rajin baca Majalah Intisari karena selalu ada tulisan Seno yang terbaru di situ. Bulan ini, Seno menulis tentang wajah Indonesia dalam kartun Malaysia. Kalau ditanya apa saja buku yang pernah ditulis Seno, saya akan menjawab spontan: Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Atas Nama Malam, Saksi Mata, Sepotong Senja untuk Pacarku, Wisanggeni, serta Matinya Seorang Penari Telanjang. Buku yang terakhir itu pernah mengatasi rasa lapar saya. Suatu hari, saya kelaparan dan tidak punya uang. Saya lalu menjual buku itu. Sebulan kemudian, saya membeli lagi buku yang sama. Kecintaan saya pada Seno karena gaya bahasanya yang mengalir seperti aliran sungai yang tak henti. Ia seorang pendeskripsi yang handal, penutur sesuatu secara gamblang dan hidup. Di mata saya, Seno adalah sastrawan dan penulis terbaik yang saat ini dimiliki bangsa Indonesia. Saking cintanya saya sama Seno, nama blog saya adalah Timur Angin, meniru nama anak Seno. Bahkan kelak ketika punya anak lelaki, saya akan beri nama Timur Angin.

Sindhunata

Saya mengenal tulisan Sindhunata sejak tahun 1998, jelang Piala Dunia. Ia rajin menulis kolom tentang catatan sepak bola. Tulisannya mengejutkan. Di tangannya, sepak bola bukan sekedar skor atau adu ketangkasan antar tim, namun kisah-kisah manusia yang sedang mencari bentuk. Makanya, saya merasa hanyut saat membaca tulisannya tentang Alessandro del Piero yang bermain bola demi mengatasi rasa rindunya pada ayah. Kemudian Maradona, si anak miskin dari perkampungan kumuh Argentina yang kemudian jadi dewa bola. Atau tentang para pemain Brasil yang bermain bola semata-mata demi mengekspresikan rasa riang mereka. Saya selalu kagum dengan kemampuan menulis feature yang khas dari Sindhunata. Pernah pula, saya membaca tiga buku yang dihasilkannya yakni novel Anak Bajang Menggiring Angin, Cikar Bobrok, hingga buku ilmiah Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Max Horkheimer atas Masyarakat Modern. Tapi, saya tidak terlalu suka buku ilmiah itu. Saya lebih suka buku novel yang saya sebut di atas. Hingga sekarang, kesan saya tak berubah. Sindhunata adalah penulis yang saya suka.

Jalaluddin Rakhmat

Penulis yang kerap disapa Kang Jalal adalah salah satu penulis terbaik yang saya kenal. Karya pertamanya yang saya baca adalah buku Psikologi Komunikasi, salah satu buku terbaik di bidang Ilmu Komunikasi hingga saat ini. Awalnya, saya merasa bangga dengan keberadaan Kang Jalal sebab saya menekuni disiplin yang sama dengannya yakni Ilmu Komunikasi. Tapi semakin banyak membaca karyanya, saya menemukan tema yang sangat luas dan kaya, mulai dari komunikasi, psikologi, filsafat, hingga merambah ke kajian-kajian sufistik. Saya bisa menyebut spontan beberapa bukunya, yakni Metode Penelitian Komunikasi, Meraih Cinta Ilahi, Menyibak Tirai Kegaiban, Reformasi Sufistik, Catatan Kang Jalal, Rintihan Suci Ahlul Bayt, Road to Allah, Road to Muhammad, hingga buku Dahulukan Ahlak di Atas Fikih. Dalam tulisannya, bertaburan hikmah-hikmah dan kearifan yang digali dari rentang panjang sejarah perjalanan manusia di muka bumi. Tidak sekedar mengisahkan, ia menembus kisah itu dan mnggalinya hingga ke genangan makna yang terdalam. Ia menimba makna, kemudian membawanya ke permukaan untuk menjadi sungai inspirasi bagi manusia lainnya. Dan saya adalah salah seorang yang tersentuh itu. Pada tahun 2000, saya pernah ke Bandung dan belajar filsafat di rumahnya yang asri di dekat SMU Muthahhari. Selain penulis yang handal, Kang Jalal juga penceramah yang hebat. Gaya retorikanya memesonakan banyak orang. Makanya, saya selalu menyempatkan hadir dalam setiap ceramah yang dibawakannya.

Ignas Kleden

Untuk tema-tema yang memusingkan namun tidak jlimet, tulisan Ignas Kleden adalah yang terbaik. Ia menulis filsafat, tapi dengan gaya yang populer dan enak dibaca. Saya suka dengan kecakapannya menyusun argumentasi. Kita diajak melihat sesuatu dengan utuh, dan tidak sepenggal-sepenggal. Pertamakali membaca tulisan Ignas adalah pengantar untuk Catatan Pinggir 2. Selanjutnya saya membaca dua buah bukunya yakni Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, serta Indonesia sebagai Utopia. Mungkin inilah buku yang paling bagus soal kritik kebudayaan di Indonesia. Apa yang tersaji dalam buku itu adalah telaah yang paling komprehensif dan paling baik tentang kebudayaan Indonesia, dari sisi akademis. Dalam pandangan saya, tulisan Ignas tidak memberikan kita informasi maupun fakta baru, sebagaimana halnya tulisan sosiologis ataupun antropologis. Akan tetapi tulisan Ignas mengajak kita untuk menggali sesuatu yang nampak sederhana menjadi jauh lebih dalam. Ia menembus fakta-fakta sosial dan menjelaskan kekuatan-kekuatan utama yang menggerakkan fakta tersebut. Makanya, Ignas tidak berposisi sebagai pencipta atau pengarang. Ia adalah penganalisis, seseorang yang memiliki piranti pengetahuan filosofis dan menjelaskan sesuatu dengan lebih mendalam dan detail. Ia bisa menjelaskan dengan baik bagaimana kegelisahan seorang Hatta yang berada dalam dilema antara keinginan menjadi ulama dan cendekia, serta panggilan bangsa dan negara untuk menjadi patriot. Ignas juga detail dalam menjelaskan pemikiran Sjahrir yang melanglang buana saat berada di Banda Neira. Ia tidak memberi informasi baru, sebab semua yang dikemukakannya ada dalam buku-buku sejarah. Tetapi Ignas memberikan sentuhan pemikiran yang dalam dan menjelaskan apa yang sesungguhnya berkecamuk dalam setiap goresan Hatta dan Sjahrir. Itulah kelebihan Ignas yang saya suka.(*)

Risiko sebagai Barang Mainan

AKU ingin menuliskan kesaksian tentang seorang kawan yang unik di mataku. Selama ini, aku banyak menjalin pertemanan dengan para pengajar, aktivis, intelektual, atau para akademisi. Telah kuhafal bagaimana cara berpikir mereka dalam menilik satu soalan. Mereka cenderung berhati-hati dan mengedepankan rasio ketimbang pertimbangan emosional semata. Makanya, para akademisi adalah sosok yang paling tak siap dengan perubahan. Mereka sebenarnya berpikir mapan dan sekedar cukup saja dengan apa yang dialaminya setiap hari.

Namun, kawanku yang satu ini punya corak berpikir yang amat berbeda dari mereka yang pernah kukenal. Ia adalah tipe pengusaha atau bisnismen. Ia senang menantang risiko dan berjibaku dengan segala upaya untuk mengalahkan risiko tersebut. Di tangannya, risiko ibarat mainan yang dijalaninya setiap saat dan dihayatinya. Terlampau sering, risiko itu menelan dirinya, tetapi ia tak pernah kapok untuk mencoba kembali. Ia punya mimpi-mimpi besar dan tak pernah berhenti menganyam mimpi tersebut. Ia menyusun tahapan dalam meraih semua mimpinya, sesuatu yang kadang kuanggap mustahil, namun ia yakin dengan kukuh bahwa pastilah ia kelak akan menggapai semua mimpi tersebut.

Selama beberapa saat menemaninya, aku baru sadar bahwa selama ini mimpiku seakan berbatas. Inilah yang menjadi beda dengan dirinya. Ia bermimpi yang amat jauh dan kalau perlu, menembus langit, kemudian mengobrak-abrik atau merobek-robek dengan tangannya. Ia anti kemapanan dan selalu terbuka pada gagasan-gagasan baru, bahkan gagasan yang paling gila sekalipun. Ia membayangkan suatu masa depan yang gemilang dan kelak akan diraihnya dengan setumpuk usaha keras, tak kenal lelah, dengan energi yang seolah tak habis-habis.

Aku salut dengan energi yang tak pernah habis itu. Namun lebih salut lagi dengan optimismenya yang meluap-luap. Ia tak pernah pesimis, sesuatu yang banyak melanda para akademisi. Keyakinan untuk sukses adalah harga mati yang tak bisa ditawar seikitpun. Tak ada istilah gagal. Tak ada pula istilah takut, sebab takut hanya milik para pengecut yang gentar menatap perubahan. Optimisme dan keyakinan yang kuat menjadi senjata utamanya dalam memulai sesuatu, apapun rintangannya.

Ia memang tidak secerdas para akademisi, namun dengan visi serta optimisme yang kuat, ia berani bertarung dan mempertaruhkan semua yang dimilikinya. Mungkin karena pikirannya yang tidak secemerlang para akademisi, membuatnya berani melangkah taktis ke depan. Ia memang nekad, namun kenekadan itu memang dibutuhkan dalam situasi genting ketika anda harus membuat keputusan.

Aku belajar banyak darinya. Tanpa disadarinya, ia seolah mengajarkanku untuk menemukan kembali kenekadan dan keberanian untuk bemain dengan risiko. Mungkin selama ini, aku berpikir terlalu mapan sehingga selalu ingin cari jalan yang aman. Mungkin sesekali, akupun harus berani menabrak risiko sebagaimana yang dilakukannya. Toh, pada akhirnya, apa yang disebut keberhasilan tak lebih dari gabungan antara visi, optimisme yang kuat, kerja keras, serta energi yang tak habis-habis.(*)

Ikut Seleksi Pegawai karena Iseng

HARI Minggu (15/11) lalu, untuk pertama kalinya saya menjalani test di satu perguruan tinggi agama Islam. Baru membuka lembaran soal, saya sudah terkejut melihat soalnya yang berbahasa Arab. Jumlahnya sampai 50 nomor, atau sekitar sepertiga dari jumlah soal. Saya lalu jawab asal-asalan. Untungnya, soal ke-51 hingga 175 adalah soal bahasa Inggris, pengetahuan umum, dan psikotest. Kalau tidak, saya sudah mengibarkan bendera putih alias mengaku kalah atas tes tersebut.

Lulus atau tidak lulus, itu urusan belakangan. Yang jelas, saya telah melewati tes pertama sejak saya resmi menyandang status magister. Makanya, saya cukup menikmati petualangan menjalani tes sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di perguruan tinggi Islam tersebut. Berbeda dengan saat tes masuk di Universitas Indonesia (UI), kali ini saya santai saja. Saya sudah terbiasa menjalani tes atau ujian yang mempertaruhkan nasib. Lagian, kalau dipikirkan, bisa-bisa mendatangkan stres dalam diri kita. Mendingan nyantai aja. Iya nggak?

Banyak kawan yang merasa aneh dengan pilihan yang saya ambil. Maklum saja, saya dikenal sebagai seorang penganut Islam abangan alias tidak terlalu taat. Malah, saat masih kuliah di jenjang S1, saya sempat dituding penggiat marxisme. Pernah pihak petinggi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas menggelar seminar khusus untuk membahas marxisme di mana saya sebagai pembahas utama. Mereka sengaja menggelar dialog itu dan menghadirkan seorang dosen senior untuk menunjukkan bahwa pengetahuan para mahasiswa tentang marxisme adalah keliru besar. Ternyata, justru sang dosen itu yang jungkir balik. Saya mendebat semua pemikirannya, hingga ia sendiri jadi ragu dengan apa yang sedang dipikirkannya.

Makanya, sah-sah saja kalau banyak kawan yang heran kenapa saya ikut seleksi di perguruan tinggi Islam. Alasan utama mengapa ikut tes, semata-mata hanya didorong oleh keisengan semata. Saya sama sekali belum pernah ikut seleksi apapun sejak lulus jadi magister. Bulan lalu, saya berharap bisa ikut seleksi di Unhas. Ternyata, formasi untuk jurusan saya belum terbuka. Saat mendengar ada seleksi pengajar di lembaga Islam itu, tiba-tiba saja rasa iseng saya terusik. Saya penasaran untuk menjalani tes sekaligus mengetahui apakah saya bisa lolos tes itu ataukah tidak.

Kemarin, saya sudah jalani tes tersebut. Saat ini, tinggal menunggu hasil tes. Apapun hasilnya, saya senang karena punya pengalaman bagaimana menjalani tes di satu perguruan tinggi Islam. Sebuah pengalaman yang berharga.(*)

Ingin Bersama Sahabat

ANDAIKAN di Jakarta, saya akan bergabung dengan para sahabat yang mendukung keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya akan turut serta berpanas-panas di jalan raya sebab meyakini bahwa KPK adalah jawaban atas hukum Indonesia yang bisa ditarik-tarik seperti karet gelang.

Saya sedih dengan segala tudingan 'tidak masuk akal' yang dibebankan pada anggota KPK. Sementara di belakang layar, polisi dan jaksa dititipi duit oleh begundal keparat seperti Anggodo. Ini bangsa yang banyak aparatnya adalah para bangsat! Saya sudah tidak percaya dengan polisi dan jaksa. Mereka terlalu gampang dikendalikan oleh mafia dan uang. Hukum jadi seperti karet gelang yang ditarik ulur ke sana ke mari.

Polisi dan jaksa bukan lagi barisan yang menegakkan hukum, berdarah-darah memperjuangkan keadilan, mati-matian membela yang benar dan menindak mereka yang salah. Saya muak melihat para polisi dan jaksa yang jadi makelar kasus. Semuanya seolah bisa diatur demi memenangkan mereka yang berpunya.

Saya ingin sekali gabung dengan semua sahabat di Jakarta. Saya lebih memilih berpanas di jalan raya demi mengecam polisi dan jaksa, ketimbang diam saja menyaksikan ketidakadilan di depan mata. Saya ingin bergabung dengan barisan rakyat yang menjadi rumput liar yang menyebar dan memenuhi tembok kuasa. Maka rumput liar itu akan menjebol tembok sekekar apapun!

Benang Riset yang Menautkan Keping Pengetahuan

SELAMA dua minggu ini saya berkutat dengan penulisan laporan tentang sutra. Selama dua minggu, saya mengumpulkan semua ingatan tentang pengalaman selama berinteraksi dengan para petani ulat sutra, penenun, hingga mereka-kereka yang punya andil dalam dunia persutraan. Saya mengumpulkan keping-keping kenangan tentang mata rantai produksi sutra hingga membentuk gambaran yang utuh dalam benak.

Bagi saya, penelitian adalah upaya mengumpulkan kepingan pengetahuan atas sesuatu. Saya sering menganalogikan pengetahuan sebagai kepingan-kepingan. Kita hanya mengetahui satu sisi dari keping koin, sementara orang lain mengetahui sisi yang lain. Dengan cara mengumpulkan pengetahuan tentang dua sisi mata koin tersebut, kita bisa mengetahui sesuatu secara utuh.

Saya teringat sebuah dongeng Eropa tentang 12 orang buta yang hendak mengetahui seperti apa rupa gajah. Mereka lalu diperhadapkan dnegan gajah lalu merabanya. Ada yang menyentuh badannya, dan menarik kesimpulan bahwa gajah seperti tembok. Ada pula yang memeluk kaki gajah lalu mengatakan gajah seperti sebatang pohon. Ada yang menyentuh gading, lalu mengatakan gajah seperti tombak. Ada pula yang memegang telinga, lalu menganggap gajah seperti tikar. Demikian pula orang buta lainnya, memegang organ tertentu, kemudian menyimpulkan sendiri-sendiri tentang gajah.

Apakah mereka salah? Tidak. Memang, seperti itulah sekeping pengetahuan dalam diri kita. Kita ibarat orang buta yang hanya mengetahui sesuatu secara sepenggal-sepenggal. Melalui penelitian atau riset kualitatif, kita bisa melihat sesuatu dari banyak sisi demi mendapatkan pengetahuan yang utuh. Penelitian ibarat benang yang kemudian menjahit semua kepingan pengetahuan yang lain dan menyempurnakan pahaman kita. Saat itu, kita memperoleh pengetahuan yang lebih terang, sebagai hasil dialog kita secara terus-menerus dengan realitas di lapangan, mencatat pengamatan, menulis, lalu menganalisis semua temuan secara terus-menerus.

Tentu saja, penelitian itu tidak akan pernah final. Kalaupun penelitian itu berakhir, maka itu hanyalah persimpangan sementara saja. Kitalah yang memutuskan selesai, sebab data yang dikumpulkan sudah cukup. Padahal, realitasnya bergerak terus. Posisi kita hanya sesaat membekukan realitas yang bergerak itu, demi menuliskannya.

Satu lagi penelitian yang saya tuntaskan bersama teman-teman di Pusat Studi Media, Unhas. Saat menuliskan refleksi ini, tiba-tiba ada sebaris kesan yang menggenang dalam hati ini. Bagi saya, tugas mulia seorang peneliti adalah membangun rumah yang dibangun dari himpunan pengetahuan-pengetahuan tentang sesuatu. Penelitian akan membawa dampak berupa sikap yang humble dan melihat kenyataan secara arif. Pada akhirnya, kitalah yang harus banyak belajar dari setiap keping realitas yang kita hadapi.(*)


Kiamat yang Mengubur Peradaban


BARUSAN saya nonton film 2012 tentang hari kiamat. Filmnya dahsyat. Visualisasi kiamat dan aneka bencana benar-benar memukau. Saya dicekam kengerian saat melihat air bah, gunung meletus, atau gempa bumi yang membelah tanah dan menelan semua yang di permukaan. Saya tercekat menyaksikan bumi yang membelah, air bah yang membanjiri daratan tinggi Himalaya hingga gempa yang membelah Amerika.

Usai nonton, saya speechless. Saya ngeri membayangkan bagaimana kiamat nanti. Entah, apakah kelak saya menyaksikannya langsung, ataukah anak cucu kelak. Tapi, gambaran kiamat itu sudah bikin saya merinding. Meski saya bukan seorang penganut agama yang taat, hingga kini saya masih meyakini bahwa kiamat pasti akan datang. Setidaknya, saya melihat alam semesta sebagai mesin yang kelak akan aus. Setiap tahun, alam semesta mengalami penyusutan, sehingga kelak akan tiba pada titik bernama kiamat sebagai akhir dari semuanya.

Pada saat seperti itu, apakah yang bisa kita lakukan? Masihkah kita pongah pada kemajuan peradaban kita di hari ini? Dalam satu bagian film ini, terlihat visualisasi tentang Basilika Santo Petrus di Roma yang remuk, patung Yesus di Brazil yang hancur berkeping-keping, dan tugu Lincoln Memorial yang remuk. Mungkin semacam pesan bahwa di atas kebudayaan dan kebanggan tentang prestasi suatu bangsa, sesungguhnya manusia bergelut dengan persoalan yang sama, manusia mendiami bumi yang sama, dan kelak akan sama menghadapi kehancuran. Simbol kemajuan hanyalah fatamorgana yang membedakan kita dnegan manusia yang lainnya. Dalam situasi bencana alam, kita tiba-tiba saja menjadi satu, tanpa melihat perbedaan satu sama lain..

Film 2012 yang dibesut Roland Emmerich memang menyajikan tema tentang kiamat. Tapi saya lebih sepakat kalau film ini menyajikan tema tentang runtuhnya peradaban manusia. Pada saat bumi kiamat, maka setelah itu datanglah zaman baru dan kita akan menata peradaban yang baru, tanpa mengenal istilah bangsa dan negara. Jejak yang lama akan punah degan sendirinya, sehingga kelak kita akan memulai segalanya dari titik nol. Sejarah masa silam yang kelam, sejarah saling bunuh antar bangsa, akan menjadi kenangan yang lebur bersama smeua simbol kemajuan. Manusia akan menuliskan kemali sejarah baru, dan zaman akan kembali bergerak.

Bagi saya, film ini tak cuma menawarkan kengerian saja. Film ini menghamparkan dialog yang filosofis tentang peradaban, tatanan dunia, serta posisi bangsa-bangsa di tataran internasional. Film ini menyoroti tentang beban yang harus dihadapi Presiden AS yang berkulit hitam (mengingatkan pada Obama). Ia memilih tidak ke mana-mana dan bertahan di negerinya yang remuk dihantam gempa. Kemudian bagaimana upaya manusia untuk bertahan di tengah situasi seperti ini.

Para pemimpin negara kemudian bersama-sama mengungsi dengan bahtera (kapal) besar yang dibangun di atas pegunungan Himalaya dan digunakan untuk menyelamatkan diri. Ini mengingatkan pada kisah Nabi Nuh (apalagi, ada anak bernama Noah dalam film itu) yang membangun kapal di atas bukit. Kapal itu menyelamatkan manusia dan beberapa binatang. Meskipun untuk itu, terdapat dilema ketika ribuan manusia lainnya tidak punya kesempatan untuk menyelamatkan diri. Seperti dalam film Titanic, ribuan manusia lalu ‘berkelahi’ demi bisa ikut kapal besar

Selain visual effect yang memukau (inilah kehebatan Emmerich), tampaknya Emmerich seakan kehabisan ide dalam filmnya. Buktinya, film ini tak banyak berbeda dengan film Emmerich sebelumnya yakni The Days After Tomorrow (TDAT). Malah, film TDAT lebih banyak menyajikan fakta-fakta ilmiah tentang pemasanan global yang kelak akan berdampak pada bumi.

Sementara 2012 tidak banyak menyajikan fakta. Sebagai penonton, kita hanya diperkenalkan dengan ramalan dari bangsa Maya tentang akhir bumi pada 2012. Itupun tidak dieksplor lebih jauh ala Da Vinci Code. Nujuman bangsa Maya itu hanya disebut sekilas. Sebagai penonton, kita lebih banyak disuguhi visualisasi bencana yang amat dahsyat dan menenggelamkan semua jejak peradaban manusia.

Setidaknya menyaksikan film ini seakan meneguhkan kembali iman tentang adanya hari akhir. Memang, keyakinan tentang hari kiamat adalah fundasi penting dalam keimanan, sesuatu yang harud diyakini, tanpa harus dipertanyakan rasionalitasnya. Film ini bisa menjadi mercusuar untuk kembali pada iman tentang hari akhir, yang kemudian melahirkan matahari kesadaran akan pentingnya menata masa kini yang damai dari berbagai intrik antar bangsa. Mungkin, inilah pesan akhir yang hendak disampaikan dalam film.(*)

Selamat Atas Terbitnya Jurnal Prisma


JURNAL Prisma terbit lagi. Akhirnya, ada juga bacaan yang bisa menjadi representasi tentang sejauh mana pertarungan intelektual ilmuwan sosial dan ekonomi Indonesia. Selama ini kita tak punya arena untuk mendebatkan pemikiran dalam ilmu sosial. Palingan, cuma secuil komentar di media massa. Kalaupun ada yang menulis, maka biasanya ditulis dalam bahasa yang ringkas, dan tidak terlalu mendalam. Susah menemukan kedalaman dan ketajaman analisis di media massa hari ini.

Pada masa Orde Baru, Prisma ibarat isi kepala para ilmuwan sosial Indonesia. Kita jadi tahu, wacana apa saja yang sedang marak, dan bagaimana para ilmuwan itu mendekati persoalan. Prisma adalah panggung tempat pergulatan gagasan-gagasan ilmiah, tidak sekedar debat wacana di media massa, yang kadang-kadang lebih banyak asalnya, ketimbang susunan pernyataan yang secara metodis lebih bisa dipertanggungjawabkan. Melalui Prisma, kita bisa mengukur sejauh mana ‘kelas’ seorang ilmuwan dalam dinamika gagasan yang lebih berisi.

Kali ini, Prisma terbit setiap tiga bulan. Saat ini sudah dua edisi yang terbit, dan saya sudah memiliki keduanya. Kemarin saya membeli edisi kedua yang temanya adalah Menuju Indonesia Masa Depan. Kerinduan saya atas tulisan Daniel Dhakidae dan Ariel Heryanto akhirnya terobati. Saya menikmati isi jurnal Prisma kali ini.(*)

Ingin Mengukir Langit


………..
Saya tidak ingin punya rumah besar
Saya tidak gila dengan mobil mewah
Saya tidak mengincar kekayaan yang menimbun
Saya tidak mimpi keliling dunia
Saya tidak serakah dengan apapun

…………
Saya hanya ingin bersamamu…..

Ingin mengukir langit denganmu…..

Lahar Amarah dan Kembang Cinta


Adikku Sayang...

Jangan terlalu lama menumpahkan amarahmu. Bukankah amarah itu kulminasi dari energi negatif yang kemudian meletus? Tetapi jika kemarahan akan mengeluarkan satu demi satu lahar kekesalanmu, maka lepaskanlah kemarahanmu. Kelak, lahar kekesalan itu akan habis juga setelah membanjiri aliran hidupmu, maka akan datanglah udara permenungan. Kelak kau dan aku akan tiba pada satu titik untuk mentertawai apa yang barusan terjadi. Kita sama-sama mentertawakan amarah yang lepas. Kita kembali sama-sama menemui ada begitu banyak hal yang lucu sebagai anugrah dalam hidup kita.

Berbilang purnama kita saling merajut hati. Sudah tak terhitung aneka kekesalan dan kebahagiaan yang pernah kita hadapi sama-sama. Kau dan aku adalah dua jiwa dalam satu tubuh.Kita sama-sama tumbuh dewasa dan disuburkan dnegan aneka pengalaman serta lelucon-lelucon yang sengaja kita ciptakan. Sesekali kita kekanakan, namun sesaat kemudian, kita kembali terpingkal-pingkal. kita sama-sama mencari keseimbangan baru. Untuk itu kita akan saling mengisi dan saling memaknai. Bukankah itu adalah esensi dari kebersamaan kita?

Adikku sayang,..

Tentulah kau paham bahwa ada saat di mana diriku kembali menjadi kanak-kanak dan ingin badung. Sesekali menerobos pagar api selanjutnya amarahmu membuncah. Demikian pula dnegan dirimu. Kadang-kadang kau memposisikan dirimu sebagai 'tim pengacau'. yang hendak mengesalkanku. Tapi aku tak pernah kesal. Justru lewat tingkah-tingkah badung itulah kita saling mengenal. Kita saling memaknai. Tanpa tingkah badung itu, aku tiba-tiba saja tersesat. Maka, bantulah aku sesekali mengirimkan mercu suar sebagai penolong bagiku untuk menggapaimu. Jangan biarkan kemarahan membakar semua energi positifmu. Jangan biarkan kekesalan mengalahkan hatimu.

Mungkin kamu sedang cemburu. Itu manusiawi kok. rasa cemburu adalah benih dari tumbuhan cinta. Setidaknya, sampai saat ini, aku harus selalu yakin bahwa selagi rasa cenburu itu masih tumbuh di hatimu, maka tumbuhan cinta itu tak akan pernah layu.

Adikku sayang,.

Tersenyumlah sebagaimana anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Kakakmu ini hanya bercanda saja. Kau sendiri beberapa kali bilang bahwa diriku adalah penulis picisan yang paling suka mendramatisasi sesuatu. Seolah tak lengkap mengisahkan sesuatu, jika tidak ada sensasi dan dramatisasi. Aku ingin semuanya heboh. Aku ingin menuai komentar. Dan betapa bahagianya diriku ketika menemui komentarmu. Itulah komentar terbaik yang jpernah kuterima. Jika diselami lapis-lapisnya, maka sesungguhnya ada tumbuhan cinta yang bunganya semerbak wangi. Dan kita sama-sama memetik kembang yang disuburkan oleh kisah-kasih dan aneka pengalaman kita yang saling memperkaya. Betapa bahagianya aku yang dipilih untuk menumbuhkan kembang itu. Dan akan kujaga, melebihi diriku sendiri.(*)

Tentang Negeri yang Dikutuk


KEN Arok menumpahkan darah Empu Gandring hingga negeri ini terus-menerus menjalani kutukan. Ribuan tahun silam, Gandring menghembuskan napas setelah melempar kutukan. "Arok,... peradabanmu akan penuh intrik. Tarunamu akan saling bunuh demi keris penguasa. Kukutuk negerimu," katanya dengan napas tersengal.

Arok hanya tersenyum simpul. Ia memikirkan kuasa di ujung keris bertuah itu. Hasrat kuasa dan gemerlap istana, serta kemolekan Ken Dedes telah membekap Arok hingga gelap mata dan menghalalkan segala cara. Arok mewariskan sejarah yang penuh horor. Dan kita di masa kini, ikut-ikutan menjadi Arok. Kita ikut-ikutan menikam sesama dan menjelmakan politik sebagai layer kain putih tempat para wayang saling menikam-nikam, tempat para dalang saling menguji skenario jahat. Dan betapa kasihannya mereka yang jadi kacung-kacung politik itu. Harus menjadi pion yang bergerak kesana ke mari, tebas sana dan tebas sini.

Politik disihir menjadi intrik saling tikam di balik layar. Kita sebagai anak bangsa dicekam dalam takut yang tak berkesudahan. Jikalau mereka yang berseragam itu, --yang semestinya menjadi punggawa dan menjaga keamanan kita semua--, tiba-tiba jadi kaki tangan orang jahat, lantas kemana lagi kita akan berpaling? Ketika pentas politik kita menjadi arena perseteruan para elite, maka kemanakah lagi kita berlindung mencari rasa aman?

Kita sebagai anak negeri selalu saja dijejali dengan kebodohan. Ketika satu demi satu kebodohan mulai terkuak, kita serasa menyaksikan babak baru dari pengungkapan spionase ala novel Sydney Sheldon. Negeri ini terlalu banyak sandiwara. namun, sebagaimana halnya novel spionase, sandiwara jahat itu tak selalu mulus. Akan selalu ada jalan bagi sebuah penyingkapan. Akan selalu ada tumbal untuk sandiwara baru, sebagaimana dahulu pernah menimpa Kebo Ijo yang petantang-petenteng memamerkan keris gandring. Dan di malam berikutnya, Arok menikam Kebo Ijo setelah sebelumnya menghabisi Tunggul Ametung, sang penguasa.

Mungkin, nujuman Gandring benar menjelma jadi kenyataan. Setidaknya, nujuman itu menjelma ke dalam ikatan jejaring kolektif yang kita sebut kebudayaan. Dalam kebudayaan kita, terror dan intrik sudah lama tersimpan rapi dalam peta-peta kognitif individu dan jejaring sosial. Kebudayaan itulah yang mengendalikan hasrat dan tindak-tanduk kita, mengendalikan semua laku gerak kita, menyediakan pilihyan-pilihan untuk kita ikuti atau amini. Intrik Arok menjadi salah satu alternative budaya yang paling sering dipilih manusia bodoh di zaman kini.

Pada akhirnya, dunia kehidupan menjadi bidak catur yang saling tebas. Dan ketika para pemimpin di masa kini amat pandai bersilat lidah tentang penegakan hukum, maka segera kita mulai waspada pada scenario lain di balik setiap pernyataan itu. Sesungguhnya, di balik panggung gemerlap itu ada duel yang kasat mata. Ada saling tikam dan saling tebas, sesuatu yang selama beberapa abad sudah menjadi kebudayaan kita sendiri. Sesuatu yang pernah diwariskan Arok pada kita. Maka terkutuklah negeri yang warganya saling tikam. Kalimat Gandring akan terus mengiang dalam setiap inchi gerak negeri yang penuh kutukan ini.(*)

Hukum Karet Gelang

HUKUM kita adalah resultan dari proses tarik-menarik dari berbagai kekuatan. Rezim siapapun yang sedang memimpin negeri ini, tiba-tiba saja memiliki kekuatan besar untuk mengendalikan semuanya. Hukum kita seperti karet gelang yang gampang ditarik ke sana-sini.

Namun, kasus Bibit Riyanto dan Chandra Hamzah ini memberi pelajaran bagi kita semua, bahwa sekenyal apapun karet gelang itu, maka pastilah memiliki ambang batas. Seperti apapun penguasa hendak mengendalikan hukum, selalu saja ada batas ambang kemuakan publik yang harus terus diperhitungkan. Kasus Bibit-Chandra ini adalah kotak pandora yang kemudian perlahan menjadi horor bagi penguasa yang selalu mendamba citra.

Tatkala kebenaran disingkap, tatkala publik mulai menggalang solidaritas, maka penguasa sedang dalam pertaruhan besar. Sebagai warga, kita sedang menantikan sebuah tontotan baru yang semoga bisa menyibak banyak hal. Meskipun, kita tak pernah tahu drama apa yang terjadi di balik panggung kuasa itu, kekuatan apa yang kemudian menarik-narik karet gelang itu hingga putus. Semoga ada kejutan besar di balik kasus ini. Semoga.(*)

Membingkai Seulas Senyum

AKU menikmati saat-saat seperti ini. Saat ketika aku menatapmu malu-malu, kemudian menunduk saat mata kita beradu. Sungguh, saat seperti ini amat menegangkan bagiku. Aku lebih memilih maju ke medan laga, daripada penuh percaya diri datang menemuimu, kemudian sekedar menyapa "Apa kabar?"

Aku lebih memilih menjadi sasaran dari ribuan anak panah, ketimbang harus menatap matamu yang sedang tersenyum. Aku bahagia bisa selalu menatapmu dengan malu-malu. Semakin kupandang, kau semakin menarik. Busyet!! kayaknya aku mulai menyukaimu.

Aku tahu, kamu di sana juga menatapku malu-malu. Sesekali pandang kita beradu. Dunia serasa berhenti bergerak saat seulas senyum itu menyapa. Tiba-tiba saja, semua jadi indah. Ada getar listrik yang menyengat sesuatu di sini, di dalam hatiku.

Aku memang belum mengenalmu. Kita malah belum berkenalan. Setiap kali aku singgah makan di kafe ini, wajahmu adalah hal yang paling kunanti. kau tersenyum, duniaku tersenyum. Kadang-kadang kubertanya, kekuatan dahsyat apa yang terseimpan di balik seulas senyum itu? Kenapa setiap kali kamu tersenyum, serasa jantungku berhenti berdetak? Bisakah aku mengabadikan seulas senyum itu ke dalam satu bingkai dan kupajang di ruang tamu rumahku agar selalu kupandangi tiap saat. Bisakah aku mendapat kesempatan emas itu?

Generasi Penyusu Kuasa

ANAK-anak muda mulai kehilangan rasa heroik. Semuanya berlomba-lomba menyusu pada kekuasaan. Anak muda sudah mulai takut hitam karena kepanasan. Lembaga mahasiswa sudah ompong dan tidak mengaum lagi. Mereka terlalu cepat tua dan tenggelam dengan tugas-tugas kuliah, kemudian segera keluar dari kampus, menjalani hidup ala sinetron, cepat kaya, punya istri cantik.

Impian menjadi resi atau Begawan sudah kuno. Itu hanya impian masa silam, pada era kependekaran. Sekarang ini impian dikendalikan oleh keserakahan. Makanya, sikap heorik dan pembelaan pada kaum tertindas adalah lagu lama yang usang buat mereka yang masih menginginkan era romnatik yang dibakar puisi perlawanan Wiji Thukul, digarami dengan samudera kata mutiara WS Rendra.

Puluhan tahun setelah reformasi, generasi yang menang adalah generasi yang sejak dulu pandai berdandan. Mungkin kau pun harus bersolek biar kelak bisa jadi sekrup dari mesin besar tersebut. Tetapi di manakah api jiwa mudamu? Apakah api jiwa muda itu sudah kau gadaikan dengan keterlibatanmu sebagai tim sukses demi mendapat segepok uang? Apakah nurani bening yang dahulu kita miliki sudah pekat dengan gelapnya keserakahan yang mendamba kuasa?


Buat seorang kawan di dekat panggung kuasa….

Pemuda Seonggok jagung

Selama dua hari saya menuntaskan laporan penelitian di kafe Black Canyon, salah satu kafe paling elite di Makassar. Selama dua hari itu, saya berdiskusi dengan kawan, seorang akuntan, yang menemani menyusun anggaran keuangan. Kami membahas anggaran yang sampai ratusan miliar rupiah. Kami mengatur rencana lalu lintas uang ke banyak pihak. Ini pengalaman pertama buat saya.

Setiap orang punya batasan titik terjauh dalam imajinasi. Imajinasi saya tentang uang adalah sesuatu yang bisa ditemukan dalam kantong celana jeans, atau dalam dompet lusuh. Itupun jumlahnya hanya lembaran uang seribuan. Tatkala harus membayangkan dana sampai miliaran, imajinasi saya seakan menabrak tembok. Ini di luar batas imajinasi saya, dan betapa sulitnya mereka-reka tentang uang sebanyak itu.

Sepulang dari Black Canyon membahas uang miliaran itu, rasa lapar menyergap. Saya lalu merogoh dompet untuk memeriksa isinya. Dan, isi dompet hanya Rp 2.000, hanya cukup membeli indomie rasa kaldu ayam. Terpaksa saya mengisi perut dengan indomie. Saat itu saya merasakan paradoks. Beberapa menit lalu membahas uang miliaran, tiba-tiba saat hendak makan malam, uang di dompet hanya cukup membeli indomie. Inilah paradoks hidup.

Sekonyong-konyong, saya mengenang puisi Rendra yang berjudul Seonggok Jagung. Tentang seorang pemuda yang ingin berbuat banyak, pemuda yang ingin menjejak matahari. Akan tetapi saat balik ke rumahnya ia hanya melihat seonggok jagung untuk makan sehari-hari. Ia tak berdaya dan harus merenungi batas-batas paling realistis yang harus dipijaknya.

Dan sayalah pemuda yang melihat seonggok jagung itu…

Ingin Lenyap dalam Buku

BETAPA inginnya saya tenggelam dalam bacaan. Minggu lalu, saya beli banyak buku baik sastra, filsafat, maupun buku praktis. Mestinya minggu ini saya bisa lenyap dalam bacaan itu. Apalah daya, banyak tugas dan kegiatan yang menanti. Saya harus membagi waktu antara menulis laporan, membaca disertasi seseorang, serta berdiskusi tentang uang miliaran.

Minggu ini adalah minggu paling melelahkan buat saya. Ibarat hape, saya mulai lowbat dan butuh di-chast denan bacaan-bacaan baru yang menyegarkan. Tapi, waktu luang mulai jadi sesuatu yang mahal. Ah,,…. Mungkin saya butuh rehat dan sesaat mundur dari rutinitas yang melelahkan ini.(*)