Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Jangan Salahkan ATHEIS, KAMBING, dan DOMBA

ilustrasi

Setiap kali ada bom meledak, kita akan melihat ekspresi yang sama dari para warga negeri +62. Semua orang akan mengutuk dan mengecam. Padahal, kita sama tahu, sejak Malin Kundang dikutuk, tidak ada satu pun kutukan yang efektif mengubah pihak lain jadi batu.

Kita pun melihat tuduhan pada orang yang sama. Selalu saja ada tuduhan pada orang tidak beragama. Juga tuduhan pada kambing hitam. Ada pula tuduhan pada domba yang suka diadu. Apa kita tidak berpikir kalau mereka bisa protes karena sering disalahkan?

Entah, sejak kapan kita dengan mudahnya menuduh orang tidak beragama sebagai pelakunya. Padahal, bisa jadi mereka sedang bersantai dan menikmati hiburan di hari ahad. Mereka tidak mungkin melakukan bunuh diri, sebab mereka cinta dunia dan ingin hidup selamanya. Mereka tidak mengenal konsep surga neraka.

BACA: Tunas Cinta yang Tumbuh Seusai Bom Surabaya

Saya ingat Richard Dawkins yang menulis The God Delusion. Menurutnya, tak ada orang atheis atau tidak beragama yang menganjurkan perang untuk membela atheis. Beda dengan mereka yang punya keyakinan atau agama.

Beberapa orang tidak beragama yang saya kenal selalu kaya-kaya. Mereka ingin menikmati hari-harinya, tanpa memikirkan kewajiban harus ke tempat ibadah. Mereka ingin sebebas-bebasnya, juga senikmat-nikmatnya. Namun bukan berarti mereka akan mengabaikan hukum. Mereka taat aturan sebab tidak ingin bermasalah dan menghabiskan waktu di penjara.

Apakah kita orang beragama lebih baik dari mereka? Apakah kita lebih cinta kemanusiaan ketimbang mereka? Apakah kita lebih unggul di banding mereka? Apakah kita menjadi lebih rahmatan lil alamin ketimbang mereka? Belum tentu.

Denny JA pernah menulis tentang pandemi Covid yang menyerang seluruh dunia, tak peduli apa agamanya. Namun, vaksin untuk menyelamatkan manusia justru datang dari negara-negara yang warganya banyak tidak beragama. Tiga vaksin berasal dari Cina. Dua vaksin dari Rusia. Dua vaksin dari Amerika Serikat. Lalu Jerman, Inggris, India, dan Belanda, masing-masing menyumbang satu vaksin.

Dilihat asal negara, dan agama populasinya, negara yang mayoritas Kristen, Hindu, bahkan tak beragama, berhasil menyediakan vaksin untuk Covid- 19. “Bukankah banyak negara yang mayoritas Muslim ikut terpapar virus Corona. Bukankah menyediakan vaksin itu bagian dari menolong kemanusiaan yang merupakan inti ajaran agama, termasuk agama Islam?” kata Denny JA.

Di tanah air, vaksin Sinovac dianggap lebih efektif ketimbang AstraZeneca. Di mana-mana kita melihat ada vaksinasi massal. Data terakhir, menyebutkan jumlah vaksin yang disuntikkan sudah mencapai angka 10 juta kali. 

Padahal, vaksin itu jelas-jelas datang dari negara komunis yang warganya banyak tidak beragama. Banyak warga kita bahkan lembaga ulama justru dengan percaya diri membanggakan vaksin yang disuntik ke tubuhnya. 

Saat vaksin itu masuk, apakah kita masih pede untuk memaki kalangan tidak beragama, padahal jelas-jelas mereka telah membuat satu vaksin yang diyakini akan menyelamatkan hidup kita?

Dilihat dari sisi ini, orang yang tidak beragama sekalipun bisa jadi jauh lebih baik dari kita yang beragama. Kita punya dalil dan teori untuk menyelamatkan manusia, tetapi kita tidak punya daya dan kuasa untuk membuat kemajuan dalam riset mengenai vaksin. Biarpun kita lebih banyak berdoa dan negeri ini banyak hajinya, namun yang membuat vaksin dan menyelamatkan populasi manusia adalah mereka. Apa boleh buat.

Lantas, sejak kapan kita menuduh kekerasan dilakukan orang orang tidak beragama?  Saya berasumsi, tuduhan itu mulai muncul sejak tahun 1965. Demi memperkuat propaganda anti-komunis, maka dibuatkan wacana kalau mereka adalah orang tidak beragama. Apalagi, situasi politik saat itu, orang komunis seorang berselisih dengan mereka yang mengatas-namakan Islam dalam ranah politik.

Padahal, banyak peneliti telah membuktikan, kalau mereka yang dituduh komunis itu adalah anak bangsa yang punya kontribusi pada kemerdekaan. Malah banyak di antara mereka yang tetap beragama dan rajin ibadah. Sayang, kita lebih mudah menuduh dan menimpakan kesalahan pada orang lain, ketimbang menalar dengan jernih apa yang terjadi.

Kambing Hitam dan Adu Domba

Saya juga mencatat, kita tak cuma menuduh manusia lain yang dianggap tidak beragama, tetapi kita juga dengan mudahnya menuduh hewan sebagai pelakunya. Dua hewan paling sering kita sebut adalah kambing hitam dan domba. Memang, ini hanya kiasan, tetapi ini menunjukkan betapa malasnya kita untuk menalar siapa pelakunya dan bagaimana menemukan akar dari permasalahan yang sedang terjadi.

Dalam bahasa Inggris, istilah kambing hitam disebut scapegoat. Dari manakah asalnya? 

Dari berbagai referensi, penjelasan tentang istilah kambing hitam iniditemukan dalam buku The 48 Law of Power yang ditulis oleh Robert Greene. 

Kisahnya, ada gubernur yang melakukan korupsi bersama dua asistennya. Hakim menjatuhkan hukuman mati kepada mereka. Eksekusi akan dilakukan di alun-alun kota. Namun saat eksekusi akan dilakukan, banyak protes bermunculan. Banyak yang tidak setuju jika gubernur dan asistennya itu dibunuh sebab mereka sedang sakit.

Dicarilah sousinya. Hakim lalu mempersilakan pada tetua adat untuk menentukan hukuman. Saat tetua adat berdehem untuk menentukan putusan, tiba-tiba di depan panggung terdengar suara “Mbeek….mbekkk…” Seekor kambing berwarna hitam melintas. 

Tetua adat memerintah warga untuk menangkap kambing malang itu dan dibawa naik ke panggung. Kambing itu diletakkan di tengah-tengah, antara hakim dan tetua adat. Kambing hitam itu terus mengembek. 

Scapegoat

Sambil mengelus jenggot kambing itu, tetua adat berkata: “Kesalahan gubernur pemimpin tertinggi kita dan kesalahan kita semua yang menghadiri sidang ini, sudah saya pindahkan ke kambing hitam ini. Sekarang usir dia ke hutan belantara sebagai hukuman baginya.” 

Sejak itu, rakyat negeri tersebut masing-masing memelihara kambing hitam, agar ketika ditemukan bersalah di hadapan hukum, bisa menjumpai tetua adat dan membawa kambing itu untuk dikambinghitamkam atas kesalahannya. Entah, apakah versi ini benar ataukah tidak.

Bagaimana dengan adu domba? Saya menduga istilah ini muncul sejak Belanda memperkenalkan istilah divide et impera. Istilah ini mengacu pada kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan.

Istilah ini diterjemahkan sebagai adu domba untuk memudahkan pemahaman orang-orang, yang secara kultural punya tradisi adu domba. Asumsinya adalah ada pengatur skenario yang punya akses pada kuasa dan modal, kemudian menjadikan orang lain sebagai domba untuk diadu. 

Ini Fenomena Apa?

Saya melihat sikap kita yang dengan mudahnya mengalahkan orang tak beragama, kambing hitam dan domba sebagai upaya untuk menghindari dari substansi persoalan. Kita tidak ingin membicarakan apa yang terjadi dengan sebenar-benarnya karena mengkhawatirkan akan terjadinya gejolak sosial. 

Kita lebih suka menyalahkan sesuatu yang tidak mungkin protes sebab jawaban itu sesaat akan membuat kita lega. Kita tidak ingin menalar fakta demi fakta dan menyukai jawaban instan. Dengan menyalahkan pihak lain, kita bisa berlindung dan menghindar dari gejolak sosial yang lebih besar.

Padahal, untuk mengatasi satu masalah, kita harus menerima dan mengakui apa yang terjadi lalu merumuskan strategi untuk mengatasinya. Menyelesaikan satu permasalahan sosial tidak semudah mengerjakan satu proyek jembatan, namun ikhtiar dan upaya harus terus dilakukan.

BACA: Kisah Diplomat Amerika yang Kampanye Anti-Teroris di Indonesia

Hari ini, kita menyaksikan ada bom bunuh diri. Kita bersedih atas adanya tragedi yang melukai tubuh kebangsaan kita. Namun kita mesti menatap masa kini dengan jernih, demi menyelamatkan masa depan. 

Tantangan besar kita adalah bagaimana membumikan indahnya agama dalam keseharian kita. Bukan sekadar bagaimana mendirikan rumah ibadah di mana-mana, tetapi bagaimana bisa menjadikan nilai itu merasuk dalam sains, teknologi, kemajuan, serta peradaban yang lebih baik untuk masa depan. Kita ingin membangun negeri yang kokoh di mana sungai-sungainya adalah agama, etika, dan kemanusiaan.

Kita perlu memperkuat formasi ekonomi kita sehingga tidak hanya berputar pada segelintir orang tetapi bisa menyentuh semua lapisan masyarakat sehingga semua pihak merasa punya andil dan peran penting di masyarakat kita, dan tidak ada yang merasa terabaikan.

Kerja-kerja ini tak mudah, namun jika tak dikerjakan, kita akan mengulang lagu lama di masa depan. Kalau bukan menyalahkan orang tak beragama, pasti menyalahkan kambing dan domba.



Saat DEWA KIPAS Turun dari Langit


Rekor itu akhirnya pecah. Tayangan pertandingan catur antara Dewa Kipas vs Irene ditonton lebih 1 juta orang. Tayangan di akun Yutub itu tidak hanya bergema di dalam negeri, tetapi juga manca-negara.

Federasi Catur Internasional (FIDE) membagi link pertandingan itu di akun Twitter. Bahkan beberapa Grand Master International ikut memantau pertandingan itu lalu menjelaskan langkah demi langkah. Semuanya penasaran dengan sosok Dewa Kipas.

Jika dunia catur ibarat rimba persilatan, Dewa Kipas adalah sosok yang menggoyang kemapanan. Di dunia catur online, sosoknya menebas banyak orang hingga mengalahkan pemain catur yang punya reputasi hebat. 

Dewa Kipas bukanlah sosok yang dibesarkan dari pertandingan demi pertandingan. Dia tiba-tiba saja muncul, entah dari mana, tiba-tiba menggegerkan dunia catur online. 

Saat dia dituduh curang yakni menggunakan algoritma dan kecerdasan buatan, para pendukungnya meradang. Dengan dalih nasionalisme, pendukungnya menyerbu situs catur dunia, lalu menyerang akun GothamChess, seorang International Master yang dikalahkan Dewa Kipas.

Di negeri +62, banyak orang menyukai kisah “from zero to hero” atau “from nothing to something.” Orang suka dengan kisah bukan siapa-siapa namun bisa kalahkan para master. Dewa Kipas ibarat seorang “zero” yang mengalahkan para “hero.” Dia makin populer. Bahkan dia diundang oleh “Cahyadi”, nama lain dari yutuber populer itu.

Hingga akhirnya datanglah Irene Sukandar. Grand Master Wanita ini membuat surat terbuka. Cahyadi mengendusnya sebagai peluang bisnis. Dia menjadi promotor yang mempertemukan dua pendekar ini.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, catur menjadi tontonan yang ditunggu banyak orang. Pertama kalinya saya menyaksikan pertandingan catur, dengan komentator Grand Master Susanto Megaranto yang smart, dan International Woman Master Chelsie Monica yang tampil cantik dan centil. 

Catur menjadi tontonan serupa sepak bola yang mempersatukan semua kelompok di tanah air, mulai dari cebong vs kampret, hingga kelompok bumi datar vs bumi bulat.

Dewa Kipas yang tadinya misterius karena bermain di langit online, kini harus turun ke bumi. Dia menjadi dirinya sendiri, tanpa ada siapa-siapa. Dia bukan lagi Dewa Kipas, melainkan menjadi Pak Dadang.

Selama ini dia bermain di dunia online, bisa jadi sembari duduk di pos ronda dengan asap mengepul, serta kopi. Kini, dia berada di studio dan menjadi tontonan warga global. Dia pun serba kikuk saat berhadapan dengan Irene yang menatap papan catur dengan style seperti Beth Harmon yang menatap lawan mainnya dalam serial Queens Gambit.

Kali ini, Pak Dadang tak membawa kejutan. Dua komentator yakni Susanto Megaranto dan Chelsie Monica dengan mudahnya menebak semua langkahnya. Mereka cukup humble saat menyebut Pak Dadang "hampir" mencapai level master. Irene menang telak, tanpa perlawanan berarti.

 

Saya, yang tak paham catur, sejak awal sudah menebak hasil pertandingan ini, meskipun saya berharap ada kejutan. Jika ingin pertandingan ini seru, maka Pak Dadang harus tetap menjadi Dewa Kipas, dan bermain di arena kesukaannya yakni online.

Tayangan pertandingan itu menjadi panggung penuh inspirasi. Para komentator kian populer karena mengapresiasi Pak Dadang. Irene menampilkan kedewasaan dengan menghargai Pak Dadang dan tidak jumawa. Biarpun kalah, Pak Dadang tetap membawa uang 100 juta. 

Bahkan tayangan itu mengangkat pamor catur selangkah lebih tinggi. Catur menjadi lebih menarik. Sponsor dan iklan berdatangan. Yang paling banyak dapat cuan adalah pemilik lapak, si youtuber botak itu. Kanalnya kian ramai. Dia makin berkibar di barisan para yutuber yang akan segera menenggelamkan stasiun televisi.

Saya sih melihat, ada elemen storytelling yang kuat dan memaksa orang untuk menyaksikannya secara langsung. Tayangan apa pun akan selalu ramai jika ada drama dan kisah yang seru. Sama halnya dengan olah raga lain seperti bola dan bulu tangkis, orang tak sekadar menyukai permainan, tapi kisah-kisah para pemainnya di balik layar. 

Seusai pertandingan semua bersalaman. Masalah dianggap selesai. Semua tersenyum. Irene membawa hadiahnya. Dewa Kipas mengakui kehebatan Irene. Semuanya tersenyum ceria.

Namun, satu pertanyaan yang belum terjawab, apakah Dewa Kipas curang dalam permainan catur online? Di akun Twitter, beberapa Grand Master memperlihatkan betapa tidak konsisten, betapa banyak blunder dari permainan Pak Dadang. Sungguh berbeda dengan permainannya di online yang akurasinya tinggi.

Saat pertandingan kedua, Grand Master Susanto Megaranto cukup berhati-hati memberikan respon. Saat pertandingan pertama usai, dia sudah memberikan semacam clue, kalau level Dewa Kipas levelnya di bawah Irene. Seusai pertandingan, Chess.com kian yakin kalau Dewa Kipas memang curang.

Federasi Catur Internasional ikut mengumumkan pertandingan itu

Saya memantau postingan beberapa pemain Chess.com di luar negeri yang heran melihat permainan Dewa Kipas yang banyak blunder, namun lebih heran lagi saat mengetahui bahwa Dewa Kipas malah menerima 100 juta rupiah atau 7.000 dollar AS. Dia tampil memamerkan pengetahuannya yang biasa saja di arena catur demi hadiah. 

Banyak yang heran karena Dewa Kipas dianggap berani dan inspiratif, padahal dia dianggap bermain curang di arena online. Banyak yang heran karena bangsa kita memuji dan memberi penghargaan pada seseorang yang curang.

Namun, bagi netizen kita, kebenaran itu jadi tak penting. Kisah Dewa Kipas diubah jadi kisah inspiratif. Tak perlu lagi ada vonis. Cukuplah diam-diam malu karena sudah mem-bully secara berjamaah akun chess.com, serta menebas akun GothamChess dengan kejam. 

Dan kita tutup mata pada banyak hal, sembari mencari isu apa lagi yang menyatukan netizen kita. Setelah pekan lalu pernikahan Aurel, kini pertandingan Dewa Kipas. Entah, besok isu apa lagi yang akan membuat kita bersatu.

Tunas Budaya yang Mekar dan Tumbuh di JALUR REMPAH

tarian Katreji di Maluku Utara yang mendapat pengaruh Eropa

Perempuan muda itu mulai bersiap-siap. Dia mengenakan pakaian tradisional. Dia bergabung dalam barisan muda-muda yang akan menari. Para penari perempuan memakai atasan hijau dan rok merah panjang. 

Busananya semakin apik dengan headpiece berwarna krem layaknya perempuan-perempuan Eropa. Mereka seolah perempuan dari negeri kompeni yang datang berkunjung ke negeri tropis. 

Sementara penari pria memakai setelah warna sama, dengan rompi dan dasi kupu-kupu. Mereka tampak sangat serasi. Mereka akan menampilkan Tari Katreji yang biasanya dipentaskan saat pesta adat dan pernikahan. Mereka berasal dari Halmahera. 

Di ajang Festival Kora-Kora yang digelar di Ternate pada tahun 2017, tarian Katreji dibawakan secara berpasangan oleh para penari yang mengenakan pakaian tradisional. 

Tarian ini adalah jejak dari kehadiran bangsa Portugis pada abad ke-16. Berkat jalur rempah-rempah, bangsa Portugis menempuh perjalanan ribuan kilometer dengan kapal-kapal besar untuk berdagang, kemudian kembali ke Eropa.

Tak hanya Portugis yang merambah Nusantara. Spanyol pun datang dan meninggalkan jejak berupa tarian. Di antaranya yang populer adalah tari lalayo. Tarian ini adalah tarian muda-mudi yang bertemakan cinta dua insan. Tarian ini berisi pesan-pesan romantis. Tarian ini biasa dibawakan secara berpasang-pasangan dan memiliki gerakan -gerakan yang indah di sepanjang babak tariannya. 

Lagu yang berirama Melayu juga menjadi elemen penting di dalam membentuk atmosfer romantis yang mendukung tersampaikannya pesan. Para penari mulai merambah ke tengah pelataran. Mata mereka semua saling berpandangan. Antara pria dan wanita seolah sedang dalam perasaan kasmaran. 

Sang pria mulai melakukan gerakan menggoda. Sang wanita memunculkan sebuah senyum simpul di mulutnya tanda menerima godaan sang pria. Keduanya kemudian berputar-putar dan tubuh mereka seolah sedang berdialog satu dengan lainnya. 

Di masa lalu, orang Portugis dan Spanyol tak sekadar berdagang. Mereka juga meninggalkan jejak di ranah budaya, musik, hingga bahasa. Di sepanjang pesisir jalur rempah-rempah, budaya Portugis mengalami akulturasi dengan budaya lokal, mengalami dialog dan saling memperkaya, kemudian menjadi tradisi yang diwariskan turun temurun.

Tak jauh dari Maluku Utara, tepatnya di Kota Ambon, Maluku, orang-orang menggandrungi tari Lenso. Tari lenso ditarikan sejumlah gadis-gadis yang memegang sapu tangan. Tarian ini sering dipentaskan dalam berbagai festival dan keramaian.

Tarian ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, berawal dari masuknya bangsa Portugis di Maluku pada tahun 1612. Istilah “lenso” sendiri berasal dari bahasa Portugis yang berarti sapu tangan sebagai properti utamanya. 

Sapu tangan yang digunakan umumnya berwarna putih atau merah. Penarinya mengenakan pakaian adat tradisional Maluku yakni baju cele, kebaya putih lengan panjang, dan kain salele. Selain itu, rambut penari disanggul dengan hiasan bunga ron putih. 

Tari Lenso yang populer di Maluku

Tarian Lenso berkembang pesat, justru ketika penjajahan Portugis telah usai seiring datangnya bangsa Belanda. Di era Belanda tari ini sering disajikan saat perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina. Penduduk Desa Kilang yang ditugaskan membawakan tari ini untuk memeriahkan pesta rakyat.

Lenso menyimpan jejak sejarah Maluku adalah salah satu rumah sejarah tertua di Indonesia. Selama 2.300 tahun, daerah ini telah dikuasai bangsa asing. Percampuran budaya pun tak bisa dihindari, bahkan Maluku menjadi rumah bagi kaum Mestizo yang terbesar di Indonesia. 

Percampuran darah orang Maluku dengan bangsa lain, khususnya Eropa (Belanda dan Portugis) turut memungkinkan adanya akulturasi. Percampuran budaya tersebut lambat laun diterima sebagai bagian kebudayaan rakyatnya. 

Tari Lenso merupakan tari tradisional Maluku bertemakan pergaulan. Tarian rakyat ini difungsikan sebagai perekat persaudaraan kekerabatan dalam kehidupan sosial masyarakat Maluku. Gerakannya sederhana dan mudah agar bisa ditarikan oleh siapa saja dari kalangan apa saja.

Semua tarian di atas menunjukkan adanya pertautan atau perjumpaan budaya. Mulanya, bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol datang untuk berdagang rempah-rempah. Mereka lalu meluaskan misi untuk menyebarkan agama, setelah itu perlahan menguasai wilayah. 

Selanjutnya, mereka tak cuma datang berdagang. Mereka juga membawa budaya serta berasimilasi dengan budaya lokal. Tarian Katreji menunjukkan asimilasi yang sangat menarik, saat pakaian tradisional Maluku mendapat sentuhan fashion Eropa yakni topi yang dipakai perempuan, serta dasi yang dipakai laki-laki.

Selain seni tari, jejak Portugis, Spanyol, hingga Belanda juga terlihat pada banyaknya kata serapan ke bahasa Indonesia. Banyak kosa kata Portugis yang masih tersisa jejaknya. Di antaranya adalah sapato (sepatu), banco (bangku), armada (armada), bandeira (bendera), dan banyak lagi.

Sayangnya, kebanyakan orang hanya melihat dari sisi ekonomi yakni perdagangan. Padahal, catatan tentang perdagangan rempah selalu menyisakan kenangan memilukan bagi bangsa-bangsa di sepanjang jalur rempah-rempah.

Kedatangan bangsa Eropa untuk berdagang menjadi kenangan traumatik. Perkebunan rempah-rempah membutuhkan banyak tenaga kerja. Pemerintah kolonial bekerja sama dengan pengusaha serta penguasa lokal untuk mendatangkan budak. Perkebunan butuh digerakkan banyak budak yang tenaganya tidak dihargai.

Sebagai contoh bisa dilihat pada dokumen atau arsip mengenai daftar lelang atas 66 orang budak dari Buton di tahun 1755. 

arsip mengenai daftar lelang budak, tahun 1755

Di tahun 2009, sejarawan Dr Sri Margana menulis publikasi mengenai Budak Orang Buangan dan Perkenier di Perkebunan Pala: Perbudakan di Kepulauan Banda tahun 1770-1860. Dia menyimpulkan perbudakan di Kepulauan Banda didukung oleh banyak pihak. Di antaranya pedagang, pejabat VOC dan Pemerintah Belanda, perkenier, dan peran bajak laut. 

Kebutuhan akan tenaga kerja di perkebunan memungkinkan maraknya perdagangan budak dan hal ini memudahkan para perkenier mendapat budak dan orang buangan sebagai tenaga kerja di perkebunan pala. 

Kota-kota pantai di Maluku seperti Ambon, Seram, dan Banda adalah tempat-tempat penting sebagai pusat perdagangan budak, dan para pedagang budak di Maluku mempunyai jaringan di Timor, Sumba, Sumbawa, Bali, Makassar, Buton, dan Batavia bahkan sampai ke Asia Tenggara. 

Sisi kelam lainnya adalah munculnya kolonialisme atau penjajahan di seluruh wilayah Nusantara, termasuk beberapa perang besar yang ditempuh VOC untuk mengamankan jalur dagang. Di antaranya adalah Perang Makassar di tahun 1669.

Sejarawan Dr Mukhlis Paeni menilai saat kapal-kapal masih hilir mudik Jalur Rempah-rempah, ada tiga jenis aktivitas yang muncul. 

Pertama, perdagangan rempah. Saat itu, Maluku menjadi tujuan dari banyak negara yang ingin membeli rempah-rempah. Banyak penjelajah yang berusaha menemukan jalan ke timur sebagai pusat perdagangan rempah-rempah.

Kedua, perdagangan budak. Perkebunan membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga pihak VOC bekerja sama dengan penguasa lokal untuk mendatangkan budak dari berbagai daerah. 

Ketiga, aktivitas bajak laut. Banyak kapal yang jadi sasaran bajak laut. Apalagi, rempah-rempah adalah komoditas yang paling laku di pasar global.

“Makanya, pembicaraan tentang Jalur Rempah jangan hanya fokus pada perdagangan. Sebab perdagangan mendatangkan banyak luka pada bangsa ini. Kita harus melihatnya dari sisi budaya, di mana jalur itu menyebabkan banyaknya perjumpaan antar budaya yang membawa banyak dampak positif,” kata Dr Mukhlis Paeni.

Di masa kejayaan perdagangan rempah-rempah, berbagai kapal telah hilir mudik di perairan Nusantara. Mulai dari kapal Sriwijaya yang identik dengan peradaban Melayu hingga kapal-kapal Majapahit yang juga berdagang rempah-rempah hingga kawasan Asia. 

Ada pula kapal-kapal Eropa yakni Portugis, Spanyol, dan Belanda. Kapal-kapal dari Cina yang juga banyak datang untuk berdagang. Terakhir kapal-kapal kapal-kapal Eropa yakni Portugis, Spanyol, hingga Belanda.

Mereka yang datang dengan kapal-kapal itu turut serta membawa kebudayaannya, yang lalu menyebar ke warga lokal saat terjadi interaksi. Berikutnya, terjadi proses dialogis sehingga budaya menjadi rumah pengetahuan yang sama-sama dibagikan lalu memperkaya peradaban masing-masing.

Jalur Rempah membawa banyak pengaruh, khususnya pada budaya-budaya yang ada di pesisir. Pengaruh itu bisa dilihat di banyak aspek, mulai dari kosakata bahasa, musik, seni tari, pakaian, arsitektur hingga cara berpikir. 

Orang Eropa bukan hanya memperkenalkan musik dan tarian seperti dansa, tetapi juga bangunan-bangunan yang menjadi saksi bisu terhadap segala peristiwa masa lampau. Semua bangunan tersebut punya ciri khas yang sulit dibuat saat ini. Di antaranya adalah bangunan di Kota Tua, Jakarta. Dulunya, Kota Tua merupakan pusat pemerintahan Batavia.

Gaya arsitektur bangunan zaman Belanda menjadi jejak sejarah yang masih bisa dinikmati di masa kini. Bangsa Eropa, terutama Belanda, juga banyak mendirikan benteng-benteng untuk menghalau serangan dari Inggris. Kamu bisa lihat benteng Fort de Kock di Bukittinggi, di Sumatera Barat, Benteng Marlborough di Bengkulu, Benteng Spellwijk di Banten, Benteng Vredeburg di Yogyakarta, dan lain-lain.

Kedatangan bangsa Eropa juga membawa dampak dalam bidang sosial ataupun ekonomi. Salah satu dampak dalam bidang sosial adalah munculnya masyarakat yang menganut agama Katolik dan Kristen Protestan. Kedatangan Portugis yang membawa semangat Gold, Gospel, dan Glory (3G) memengaruhi penyebaran agama Kristen dan Katolik di Indonesia.

Salah satu penyebar agama Katolik di Indonesia yang terkenal adalah Fransiscus Xaverius, seorang misionaris dari Portugis, di Maluku pada tahun 1546-1547. Di samping penyebaran agama Katolik, agama Kristen Protestan juga turut tersebar di Indonesia.

Penyebaran agama Kristen Protestan mulai terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Raffles. Penyebaran agama ini dilakukan oleh Nederlands Zendeling Genootschap (NZG), yaitu organisasi yang menyebarkan agama Kristen Protestan berdasarkan Alkitab. Beberapa tokoh yang tergabung dalam NZG yang terkenal adalah Ludwig Ingwer Nommensen dan Sebastian Qanckaarts.

Dengan datangnya bangsa Eropa, masyarakat diperkenalkan pada mata uang. Raffles menjalankan kebijakan sistem sewa tanah. Dia memperkenalkan uang kertas dan logam mendorong munculnya perbankan modern di Hindia-Belanda. Salah satunya adalah De Javasche Bank, bank modern di Hindia-Belanda yang muncul pertama kali dan didirikan di Batavia pada tahun 1828.

Selanjutnya adalah bangkitnya kehidupan perekonomian akibat pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan. Keberadaan infrastruktur jalan didukung oleh jaringan transportasi khususnya kereta api yang muncul dan berkembang pada masa sistem tanam paksa. 

Jaringan kereta api muncul dan berkembang di Hindia-Belanda sebagai sarana pengantaran hasil perkebunan yang ada di Hindia Belanda serta transportasi masyarakat. Munculnya sistem transportasi ini merupakan dampak kedatangan Bangsa Eropa bagi Indonesia yang masih bisa digunakan hingga hari ini.

Bidang pendidikan juga berkembang. Pendidikan dari Eropa pertama kali masuk ke Nusantara bersamaan dengan masuknya agama Kristen Katolik. Kala itu dibangun sekolah yang mengajarkan ajaran agama Katolik untuk para pribumi dari daerah Timur Indonesia di sekitar daerah Maluku.

Pendidikan mulai dianggap penting saat kebijakan Politik Etis dilakukan oleh pemerintah kolonial. Perhatian pemerintah kolonial Belanda terhadap pendidikan dikarenakan guna memenuhi kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor swasta dan pemerintahan. Sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah menganut sistem pendidikan barat dan hanya bisa dimasuki oleh kalangan bangsawan. 

Pemerintah kolonial Belanda juga mendirikan sekolah-sekolah kejuruan seperti sekolah calon pegawai negeri sipil yaitu OSVIA (Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren). 

Ada pula dua sekolah kejuruan medis selevel dengan tingkat universitas yaitu School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), dan Nederland Indische Artssenschool (NIAS). STOVIA didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk melahirkan dokter-dokter demi mengatasi berbagai penyakit berbahaya di wilayah jajahannya. Sekolah ini didirikan untuk mendidik masyarakat pribumi, sehingga setelah mengenyam pendidikan di STOVIA mereka mendapat gelar “Dokter Jawa”.

Kemudian muncul kembali pendidikan tingkat universitas Technische Hoogeschool (THS, Sekolah Tinggi Teknik). Melalui sekolah-sekolah bergaya pendidikan barat yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda nantinya melahirkan golongan elite baru dalam masyarakat Indonesia. Golongan elite baru, keluaran dari sekolah-sekolah Belanda, yang kemudian membawa perubahan dalam perjuangan bangsa Indonesia hingga mencapai kemerdekaan.

Jalur rempah juga membawa pengaruh pada kuliner. Cita rasa kuliner Nusantara sudah ada sejak era sebelum kolonialisme. Di zaman Yunani dan Romawi pada 2.000 tahun lalu, cengkih sudah menjadi komoditas penting.

Rempah yang banyak ditemukan di Maluku, menyebar ke seantero Nusantara dan menjadi bahan penting untuk pembuatan kuliner dengan rasa yang khas. Berbagai kuliner yang diolah dari bahan rempah muncul di mana-mana. 

Kuliner dengan olahan rempah bisa ditemukan di banyak wilayah, khususnya kawasa pesisir. Mulai dari Aceh, Minang, Bugis, hingga Jawa, tsemuanya menggunakan rempah. Bahkan kuliner berbahan rempah, juga bisa ditemukan di Negara-negara lain yang dahulu menjadi jalur perdagangan rempah.

Beberapa tahun lalu, CNN menobatkan rendang sebagai makanan terenak di dunia sebab meiliki kandungan rempah yang kuat. Ini menjadi representasi dari posisi rempah yang kuat untuk mengolah bahan kuliner menjadi istimewa.

***

Eropa bukanlah yang pertama berdatangan untuk rempah-rempah. Sejak era Sriwijaya, kawasan Nusantara sudah menjadi satu titik di jalur perdagangan rempah internasional yang penting. Sriwijaya adalah titik penting dari rempah dan menghubungkan antara Nusantara, Beijing, India, Persia, dan Timur Tengah.

Bahkan jika melihat relief yang ada di Candi Borobudur dan candi-candi lainnya, rempah telah menjadi komoditas yang diperdagangkan sejak dahulu. Bahkan jika ditarik lebih jauh, rempah telah diperdagangkan di pelabuhan tua di Barus, kemudian dikirimkan ke Mesir kuno yang dipergunakan untuk mengawetkan mumi. 

relief kapal di Candi Borobudur

Sejak dulu, posisi geopolitik nusantara yang sangat strategis, dengan konfigurasi kepulauan yang memiliki ribuan selat digunakan untuk banyak pelayaran dan perdagangan, menjadikan Nusantara, sebutan Indonesia kala itu, sebagai makro kosmos.

Rempah mempunyai rute yang terbentang dari Kepulauan Maluku, Lautan India, Laut Merah, Gurun Sinai, Laut Mediterania, dan Pantai Selatan Eropa. Bahkan jalur perdagangan rempah sudah dimulai pada tahun 2000 sebelum Masehi. 

Menurut intelektual Profesor Azyumardi Azra, yang memulai perdagangan rempah adalah orang-orang Mesir kuno. Islam menjadi patokan bagi Azyumardi yang membangkitkan rute ekspansi rempah dunia.

"Rute ini bangkit karena rute ekspansi Islam selama masa muslim Umayyad dan Abbasid pada periode abad 7-8 Masehi. Para pedagang muslim harus bersila pada Raja Sriwijaya. Mereka juga berlayar ke Maluku sebagai pusat rute perdagangan rempah dan mendapat perlindungan dari penguasa lokal. Sehingga mereka bisa menciptakan international free trade," ucap Azyumardi pada konferensi IFSR 2019 di Museum Nasional, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Rempah-rempah semakin lama semakin dikenal dunia. Setidaknya pada abad ke-7 M, pelayaran dan perdagangan dari Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Barat menuju nusantara berburu rempah bernilai tinggi, seperti cengkeh, pala, bunga pala, kayu cendana, lada, gaharu, kamper (dikenal dengan nama kapur barus), dan produk rempah lainnya. 

Menyangkut rute rempah-rempah, Cina dan India-lah yang justru diyakini oleh peneliti Chee-Beng Tan memiliki kontak awal dengan Asia Tenggara. Profesor dari Universitas Sun Yat-Sen ini menyebutkan bahwa sebelum Arab, Persia, dan Yunani mencapai Asia Tenggara, Cina dan India sudah dapat memperoleh rempah-rempah dari Pantai Barat India, seperti Malabar.

Di Cina, cengkeh mulanya menjadi komoditas rempah yang diimpor dan digunakan pada saat Dinasti Han. Bahkan para Menteri pada zaman Dinasti Han juga sudah menghisap kayu manis. Selain itu, Cina juga sudah mengimpor pala dari Nusantara pada abad 4 atau 5 Masehi.

Pada perdagangan sutera dan rempah-rempah ketika Timur dan Arab sudah mapan, peran kapal Cina dan India menurut Chee-Beng Tan sudah menjadi teknologi canggih. Kapal kargo China bernama "Song Boat" ditemukan di Pantai Houzhu pada 1973 dengan panjang sebesar 24 meter dan lebar sebesar 9 meter. Chee-Beng Tan mengatakan kapal itu tenggelam pada 1271 Masehi.

Produk yang diangkut dalam kapal tersebut adalah untuk keperluan medis seperti lada, kacang areca, ambar, cangkang kura-kura, kayu laka, dan kayu gaharu.

Beberapa komoditas rempah yang populer adalah cengkeh, pala, lada, dan kayu manis. Cengkeh dihasilkan dari Ternate, Tidore, Halmahera, Seram, dan Ambon. Sedangkan fuli (dari buah pala) banyak tumbuh di Pulau Run di Kepulauan Banda. Kayu manis, kemenyan, kapur barus dari Sumatera dan Jawa, kayu cendana banyak dihasilkan di Pulau Timor dan Sumba, sedangkan lada banyak dihasilkan dari Banten (Pulau Jawa), Pulau Sumatera, dan Kalimantan Selatan. 

Sampai dengan abad ke-16 dapat dikatakan rempah-rempah belum menjalankan peran yang menentukan dalam perkembangan sejarah perubahan yang mendasar dalam dinamika masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Masuknya para penjelajah Eropa menjadikan Nusantara sebagai daerah kosmopolitan. Rute perdagangan rempah telah berkembang fungsinya menjadi persebaran kultur dan agama.

Nusantara pada abad 1480-1650 disebut Anthony Reid sebagai "Age of Commerce" karena menjadi pusat pertemuan perdagangan internasional. Rempah-rempah Maluku seperti cengkeh dan pala menjadi barang terpanas dari perdagangan global, sampai VOC mendirikan monopoli pada tahun 1650.

Rute perdagangan antara Mediterania dan Asia Timur pun tersegmentasi dengan para pedagang selat (Pasai, Melaka, Banten, Palembang, Aceh, Patani). Bahkan setelah larangan perdagangan selama berabad-abad menurut Anthony, China 1568 dan Jepang 1590-1653 mengirimkan perdagangan legalnya ke Asia Tenggara. Hal ini menjadikan pelabuhan di Asia Tenggara sebagai bagian penting dari interaksi antara Cina dan negara lainnya.

Sayangnya, kedatangan bangsa Eropa tidak sekadar untuk berdagang rempah. Bangsa Eropa memulai proses kolonialisasi dan penjajahan sehingga hanya menyisakan nestapa dan trauma.

Kepentingan awal mereka yang tadinya hanya untuk mencari daerah penghasil rempah-rempah berkembang menjadi kepentingan ekonomi kolonial melakukan eksploitasi kekayaan alam Indonesia demi kepentingan negeri induk. 

Rempah dan kolonialisme bangsa Eropa membawa kisah yang suram selama berabad-abad. Akan tetapi, dibalik kisah suram juga membawa kekuatan terintegrasinya suku-suku bangsa dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Rempah dalam sejarah Indonesia bukan sekedar perdagangan komoditi, namun juga menjadi kekuatan yang menyatukan Indonesia antar satu daerah dengan daerah lainnya, antar suku bangsa, antar nilai-nilai dan budaya, yang pada akhirnya membentuk identitas masyarakat Indonesia. 


Masa Lalu untuk Masa Kini dan Masa Depan

Perjumpaan budaya dan belajar antar bangsa yang terjadi di sepanjang Jalur Rempah harusnya menjadi satu kekuatan bagi bangsa. 

Saat ini, pemerintah Cina memperkuat narasi tentang Jalur Sutra (Silk Road) demi memperkuat integrasi ekonomi antar berbagai kawasan di masa kini. Cina menjadikan dirinya sebagai pusat perdagangan lalu membangun relasi dengan berbagai bangsa-bangsa lain. Jalur Sutra menjadi wacana sejarah untuk memperkuat dinamika ekonomi politik masa kini.

Padahal, tidak banyak orang tahu kalau yang diperdagangkan di Jalur Sutra itu adalah  banyak produk rempah. Memang, dinamakan sutra sebab itulah komoditas asal Cina yang laku dan dihargai mahal di masa itu. Padahal, yang diperdagangkan banyak sekali, termasuk salah satunya rempah menjadi komoditi yang dominan dalam pertukaran itu.

Dengan logika yang sama, karena rempah sebagian besar berasal dari Maluku, dan merupakan  tanaman endemik dari Maluku, maka Indonesia pun bisa mengembangkan narasi tentang Jalur Rempah.

rempah-rempah

Di masa itu, Jalur Rempah menjadi kekuatan penting bagi perdagangan melalui dunia maritim. Bangsa Eropa datang karena rempah. Pelaut-pelaut dari Arab dan India datang ke Nusantara pada abad ke-9 dan abad ke-10 untuk mencari rempah-rempah. Bahkan orang Cina pun datang ke Nusantara dengan alasan sama.

Jalur rempah bisa melengkapi gambaran tentang sejarah dunia. Jalur rempah punya kontribusi pada perkembangan peradaban. Bahkan jalur ini menjadi kepingan penting untuk membahas bagaimana Eropa memasuki masa renaisans atau pencerahan.

Di masa lalu, kawasan Indonesia berkontribusi sangat besar terhadap peradaban Eropa karena hubungan kolonial itu. Kota-kota di Eropa seperti Amsterdam dibangun karena adanya hubungan perdagangan yang yang tidak seimbang. 

Jalur Rempah harus dilihat dari kerangka yang lebih luas dalam sejarah hari ini. Bahwa di situ ada pertukaran budaya, serta dinamika sosial ekonomi yang menjadi benih penting bagi lahirnya republik di hari ini.

Narasi jalur rempah seyogianya menghadirkan kebanggaan sebagai bangsa. Jalur rempah adalah identitas masa silam dan masa kini, sekaligus membangun masa depan. Sejarah jalur rempah adalah sejarah perjumpaan berbagai budaya, yang seharusnya bisa ditransformasikan menjadi kemajuan ekonomi di masa kini, serta menjadi keunggulan di masa mendatang.

Ada dua alasan penting untuk menghidupkan kembali kehangatan cita rasa rempah melalui program Jalur Rempah. 

Pertama, Indonesia atau Nusantara adalah tempat satu-satunya di muka bumi ini yang dipilih Tuhan untuk tumbuhnya rempah-rempah. Bumi ini kaya dengan rempah-rempah yang telah mempengaruhi sejarah dan peradaban. Pala dan cengkeh punya banyak kisah yang mengubah sejarah.

Kedua, jalur rempah adalah awal dari perdagangan besar lintas pulau dan lintas benua yang menunjukkan betapa kosmopolitnya Nusantara pada masa itu. Rutenya dimulai dari timur ke barat. Di setiap titik persinggahannya, terjadi asimilasi budaya, kemudian membentuk Nusantara. Tidak cuma sampai di ujung Sumatera saja, namun juga menjangkau Sri Lanka, India, Mesir, Afrika Selatan, juga Madagaskar.

Dua hal penting ini seharusnya menjadi pijakan untuk berbagai rencana pembangunan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menawarkan paket pariwisata Jalur Rempah. Pariwisata bukan lagi pariwisata massal, tetapi pariwisata yang berbasis pada keingintahuan mengenai keanekaragaman hayati.

Saat ini, wacana ecotourism tengah marak. Dunia tengah berpaling ke ecotourism, tentang kearifan lokal, tentang turis atau pariwisata yang datang untuk belajar. Ada kesadaran ekologis di mana semua orang ingin kembali ke alam, termasuk mengonsumsi obat yang berbasis pada herbal.

Kementerian Pertanian bisa melakukan peremajaan ladang-ladang rempah. Tanaman rempah kembali didukung dengan riset pertanian. Agroindustri harus diperkuat sehingga semua wilayah memiliki tanaman endemik yang tetap dilestarikan.

Lalu, Kementerian Kesehatan mendorong industri obat herbal berbasis rempah-rempah asli Indonesia. Di era pandemi Covid-19, kita menyaksikan kenyataan bagaimana Cina bisa menjadi rumah bagi produksi berbagai obat herbal untuk mengatasi pandemi. Seharusnya, Indonesia juga menjadi pelopor bagi tumbuhnya produksi obat berbasis rempah-rempah yang diharapkan bisa mengatasi berbagai pandemi.

peta jalur rempah

Sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati, Indonesia harus menjadi pusat riset tentang farmasi. Masyarakat punya pengetahuan dan kearifan lokal untuk mengelola berbagai tanaman. Kekayaan intelektual yang dimiliki sejak era rempah-rempah ini seharusnya dilestarikan dan memperkuat sendi-sendi kemajuan. 

Padahal, satu sumber menyebutkan, industri farmasi bersumber pada 25 persen keanekaragaman hayati yang ada di hutan Amazon. Kita belum bisa mengelola rempah sebagai sumber dan bahan untuk industri farmasi.

Pandemik ini membawa satu problem baru bahwa kita berkontribusi terhadap kemunculan pandemik itu sendiri dengan rusaknya ekosistem, abai terhadap keanekaragaman hayati, lingkungan hidup dan semua isu itu.

Saat ini, pemerintah sedang mengupayakan agar Jalur Rempah mendapat pengakuan sebagai warisan dunia oleh Unesco. Indonesia tengah melobi beberapa negara untuk sama-sama mendaftarkan Jalur Rempah, bukan saja sebagai kenangan masa silam, tetapi untuk memperkuat ekonomi dan perdagangan hari ini.

Jalur rempah harus memiliki outstanding universal value (nilai universal yang menonjol) karena punya arti penting bagi peradaban. Dengan berupaya mendaftarkan jalur rempah menjadi warisan dunia, Indonesia ingin mengafirmasi bahwa jalur rempah ini bukan hanya menarik sebagai objek sejarah, tetapi memang punya kontribusi sangat besar terhadap peradaban.

Dalam narasi sejarah yang dominan itu, banyak kisah yang hilang. Modernitas Eropa seolah dimulai dari revolusi industri. Padahal, sebelumnya, ada basis perjalanan sejarah cukup panjang ketika rempah-rempah diperdagangkan dan membawa kemakmuran yang sangat besar bagi Eropa. Saat itulah, modernitas lahir.

Namun, Indonesia tak sekadar menunggu pengakuan dunia. Indonesia perlu melakukan revitalisasi tanaman rempah, sekaligus revitalisasi budaya sehingga rempah Indonesia kembali menjadi komoditas penting dunia. Indonesia perlu memperkuat riset dan inovasi sehingga rempah kembali menemui masa kejayaannya sebagaimana dahulu.

Tugas ini tidak mudah. Butuh kerja sama intens di antara berbagai ahli, serta pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah. Jika tugas itu dilaksanakan, maka warga Indonesia bisa tersenyum lega. Satu tugas penting telah ditunaikan yakni menjadikan Indonesia sebagai tempat berlindung, sebagaimana disebutkan dalam syair ini:


Indonesia tanah air beta

Pusaka abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala

Slalu dipuja-puja bangsa