Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Berita yang Serupa Racun bagi Tubuh

Rolf Dobelli saat tampil di TED

Nasihatnya ditunggu para manajer dan pengusaha sejak bukunya yang berjudul The Art of Thinking Clearly menjadi buku bisnis terlaris di Eropa. Dalam buku terbarunya, dia menyarankan semua orang agar berhenti membaca berita jika ingin hidup lebih tenang dan damai. 

Bagi pria asal Swiss bernama Rolf Dobelli, berita serupa racun bagi tubuh. “News is bad for your health.” Berita bisa memicu ketakutan dan agresi. Membaca berita bisa menghilangkan kreativitas, juga berpikir mendalam. “Saatnya Anda berhenti mengikuti berita,” katanya.

Saya membayangkan kalimat Rolf Dobelli akan dibenci para pekerja media, juga para penggiat medsos. Dia pertama menuliskan kalimat itu dalam bukunya yang terbit tahun 2013. Di tahun itu, dia pun menulis artikel di The Guardian berjudul “News is bad for you – and giving up reading it will make you happier. (Baca artikel itu DI SINI)

Seiring waktu, banyak yang menentang pernyataannya, namun banyak juga yang mendukungnya. Banyak yang sepakat dan menemukan bahagianya saat berhenti mengonsumsi berita. 

Sebagai pleidoi atas protes beberapa kalangan, Dobelli menulis buku berjudul Stop Reading the News: How to Cope the Information Overload and Think More Clearly. Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Stop Membaca Berita: Manifesto untuk Hidup yang Lebih Bahagia, Tenang, dan Bijaksana.

Saya membaca buku ini dengan sedikit kesal. Sebagai pembelajar ilmu komunikasi, dan juga mantan jurnalis, buku ini adalah kampanye untuk memusuhi kerja-kerja para jurnalis. Tapi semakin banyak membaca, semakin saya mengakui kalau dia benar.

Menurutnya, setiap hari kita diterpa dengan ribuan informasi. Mulai dari bencana alam, pandemi, perceraian artis, dan banyak hal. Sejak dua abad lalu, kita menciptakan pengetahuan beracun yang disebutnya berita.

Berita itu seperti gula bagi tubuh. Terasa manis, mudah dicerna, dan dalam jangka panjang bisa merusak. Gula bisa menimbulkan berbagai penyakit, tanpa kita sadari. Berita pun demikian. Dia merujuk hasil riset dari American Psychological Association, setengah dari orang dewasa menderita gejala stres akibat konsumsi berita. 

Sejak ada smart phone, kita tak bisa lepas dari berita. Satu dari 10 orang Amerika selalu mengecek berita internasional sekali dalam sejam. Bahkan di media sosial, bisa lebih 30 menit. Dobelli mengutip pendapat Profesor Graham Davey dari Sussex University, kebiasaan itu mengakibatkan dampak merugikan bagi kesehatan mental.

Kita jadi lebih mudah cemas. Kadang-kadang perasaan itu membuat kita kewalahan dan tidak mampu bertindak. Gara-gara berita, kita kehilangan kemampuan alamiah kita untuk keluar dari masalah. Banyak konsumsi berita bikin kita seolah pintar dan paham, padahal faktanya kita hanya terombang-ambing dari satu fakta ke fakta lain.

Dobelli, yang meraih gelar doktor filsafat dengan disertasi mengenai Deconstruction of Economic Discourse ini, memutuskan untuk berhenti mengikuti berita. Dia hentikan langganan koran, serta berhenti menonton televisi. Bahkan aplikasi berita di HP ikut dihilangkannya. Dia melakukan diet informasi.

Minggu pertama terasa berat. Dia selalu tergoda untuk tahu perkembangan informasi. Tapi setelah itu, dia memiliki pandangan baru. Pikirannya lebih jernih, pandangan lebih berharga, keputusan-keputusannya lebih baik. Dia pun punya banyak waktu luang. Agar tidak ketinggalan informasi, dia hanya sesekali membuka medsos. Dia membatasinya, misalnya hanya sejam per hari.

buku baru Rolf Dobelli

Ada tiga alasan utama mengapa perlu menjaga jarak dengan berita:

Pertama, otak kita bereaksi secara tidak seimbang kepada tipe informasi yang berbeda. Kita mudah bereaksi dengan informasi yang memalukan, mengejutkan, berisik, dan cepat berubah. Pengelola media kita mengemas hal sederhana menjadi sesuatu yang mengejutkan.

Pihak produsen berita sangat pandai mengambil sisi yang mengejutkan otak kita. Mereka tahu persis bagaimana membuat makan malam kita terganggu. Kita gampang tersentak menghadapi fakta yang sensasional.

Di sisi lain, otak kita tidak bereaksi jika melihat hal yang abstrak, kompleks, dan mendalam. Padahal, hal seperti ini sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Padahal, kita bisa menemukan kebijaksanaan dan kedalaman hanya dengan memahami bagaimana sesuatu bekerja.

Akibat mengonsumsi berita, kita berjalan dengan peta kejiwaan yang terganggu mengenai risiko dan ancaman yang sebenarnya kita hadapi.

Kedua, berita tidak selalu relevan. Hitung saja, dalam dua belas bulan terakhir, seseorang bisa mengonsumsi 10.000 potongan berita. Dalam sehari bisa lebih dari 30 berita atau informasi.

Rolf Dobelli bertanya ke banyak orang, coba sebutkan satu saja berita yang bisa membantu Anda untuk mengambil keputusan yang lebih baik untuk hidup, karier, atau bisnis, dibandingkan dengan tidak mengetahui berita tersebut.

Tidak seorang pun yang mampu menjawab lebih dari dua berita berharga. Kantor berita menegaskan informasinya bisa membuat Anda mengalami keuntungan kompetitif, tapi yang terjadi adalah kerugian kompetitif. 

Buktinya, perusahaan media selalu megap-megap dan para jurnalisnya tidak kaya-kaya amat. Profesi jurnalis menjadi profesi yang rentan. Istilahnya prekariat. Mereka menjadi buruh yang setiap saat bisa diberhentikan. Banyak yang hanya menjadikannya sebagai lompatan karier.

Ketiga, berita membuang-buang waktu. Setengah populasi manusia menghabiskan waktu untuk membaca kejadian-kejadian. Secara global, itu adalah kehilangan produktivitas.

Misalnya, seorang teroris beraksi. Media menyajikan peristiwa itu tiap hari dengan mengutip analisis para pakar. Kemudian satu miliar manusia menyaksikannya dalam sejam. Nah satu miliar orang dikalikan satu jam perhatian teralih karena tidak bekerja. Jika dihitung, betapa banyaknya waktu yang tidak produktif.

Rolf Dobelli menganjurkan untuk abaikan berita. Bacalah buku-buku yang berkualitas. Ikuti artikel mendalam dengan argumentasi yang kuat. Sebab tidak ada yang mengalahkan buku dalam membantu kita untuk membuat keputusan besar dalam hidup kita.

Tentu saja, saya tak selalu sepakat dengan Rolf Dobelli. Namun dalam situasi dunia yang sedang mengalami pandemi, pendapatnya patut direnungkan. Semakin banyak mengonsumsi informasi, tingkat stres bisa bertambah, dan imunitas kita juga berkurang.

Buku ini serupa kumpulan esai yang isinya adalah ajakan bagi semua orang untuk berhenti mengonsumsi berita. Kalimat-kalimat di buku ini sederhana, tapi menggugah. Saya pun mengakui kalau berita membuat saya kehilangan fokus. Setiap hari saya habiskan untuk meng-update informasi yang sebenarnya tidak membawa makna apa-apa bagi diri saya. Pekerjaan utama malah terbengkalai gara-gara sibuk mengikuti berita, kadang-kadang debat kusir di medsos.

Berkat buku ini, saya mengurangi interaksi dengan berita, juga mulai mengurangi waktu memandang smart phone. Saya pun makin peka untuk tidak membaca informasi yang diawali kata-kata sebarkan, bahaya, waspada, ancaman, gagal, juga kata-kata hinaan dan kecaman. Selain berpotensi hoaks, tak ada gunanya cemas membaca info demikian.

Di beberapa bagian, saya temukan informasi kalau Dobelli banyak belajar pada Stoikisme atau filsafat Stoa di Romawi. Penganut aliran ini percaya kalau ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, ada pula yang tidak. Tidak ada gunanya berpayah-payah memikirkan hal yang tidak bisa kita kendalikan.

Penganut aliran ini selalu mengalir, dan tidak gampang terganggu hanya karena satu kepingan informasi. Mereka melihat apa yang urgen dan apa yang tidak. Mereka berpikir ngapain pula kita terganggu hanya karena ada peristiwa di ujung sana. 

Seusai membaca buku ini, saya mengetik nama Rolf Dobelli di Twitter. Saya ingin mem-follow dan menjadi temannya. Di profilnya, ada kalimat: “Friend, I am off Facebook and Twitter while I write my next book.”



Otak Reptil

ilustrasi: poster drakor It's Okay Not to Be Okay

“Kak, saya takut untuk mencoba hal baru.” Perempuan muda itu bertanya. Saya sesaat terdiam. Saya ingat beberapa ide yang melintas tentang orang-orang kreatif.

Jika saja Howard Schultz mudah baper dan menyerah setelah proposalnya ditolak bank sampai 242 kali, kita tak akan melihat kedai kopi Starbuck berdiri di mana-mana. Jika saja JK Rowling sakit hati karena novelnya terus ditolak penerbit, kita tak akan melihat karya tulis terlaris bernama Harry Potter.

Semua orang punya otak reptil yang sering membuat kita baper dan lebih suka zona nyaman. Kata Seth Godin dalam Linchpin, otak reptil itu bukan konsep, tapi memang ada dalam diri kita. Dalam biologi, dia disebut Amygdala.

Otak reptil berfungsi untuk menghadirkan rasa takut, marah, dan destruktif. Otak itu mengajarkan kita untuk bertahan hidup. Jika kita disengat nyamuk, kita akan membunuhnya sampai mati. Jika kita menemukan bahaya, kita refleks akan menghindar.

Selama berabad-abad, manusia bisa survive berkat otak reptil. Dalam keadaan darurat, otak itu akan mengarahkan kita hendak berbuat apa. Jika ada bencana, kita diarahkan untuk berlari. 

Bahkan saat tertentu, kita bisa melawan. Persis reptil yang mudah menyarang saat merasa terancam. Itulah mekanisme pertahanan diri.

Masalahnya, otak reptil ini lebih suka jika kita berada di zona nyaman (comfort zone). Kita lebih suka duduk diam. Kita jadi takut untuk memulai hal baru. Otak ini mengarahkan kita untuk menyukai status quo, sebab perubahan bisa membahayakan.

Saat kita punya ide baru untuk dieksekusi, otak ini akan menghadapi kita dengan berbagai ketakutan2. “Jangan lakukan. Nanti kamu rugi.” Sering juga muncul kalimat: “Ah, gak usah aneh-aneh. Hidup normal saja.” 

Nah, selain otak reptil, kita punya neo-cortex yang memberi kita kreativitas. Sayangnya, neo-cortex lebih banyak kalah dari otak reptil kita. Saat neo-cortex memberikan jalan kreatif untuk mencoba hal baru, otak reptil akan segera mencegahnya. Otak reptil memang mempengaruhi kita untuk menunda pekerjaan, mengkritik semua ide, serta menciptakan kecemasan. 

Mereka yang mengikuti jalan kreatif adalah mereka yang melawan tarikan otak reptil. Mereka punya cara untuk mengalahkannya. Orang kreatif berpikir degan cara yang berbeda. Di antaranya adalah menerima apa adanya semua risiko atau kegagalan. Semua kegagalan dianggap sebagai pelajaran yang akan mendewasakan.

Lihat saja bagaimana JK Rowling cuek dengan semua penolakan penerbit. Dia terus mencobanya hingga berhasil. Lihat pula bagaimana Walt Disney tetap tegar setelah 302 kali konsepnya mengenai taman bermain terus ditolak.

Seth Godin menganjurkan kita untuk menerima dan merangkul semua hal buruk dan kegagalan. Jadikan itu sebagai sahabat yang membuat kita tumbuh dewasa. Kalau perlu, banggalah sebab semua kegagalan itu membuat kita terus tumbuh dan berkembang.

“Kak, apa saya harus berani memilih jalan berbeda dengan orang lain?” kembali dia bertanya. Dia bercerita tentang dirinya yang merasa tertekan jika harus mengikuti kerja kreatifnya saat keluarganya ingin dia hidup mapan.

Saya tiba-tiba saja teringat drama korea yang judulnya “It’s Okay Not to Be Okay.” Saya ingat bagaimana anak-anak Jepang yang sedari kecil sudah diperkenalkan dengan istilah “ikigai” atau tujuan hidup yang ingin dicapai.

Tampaknya, kita terlalu peduli dengan apa kata orang. Padahal kita tidak terlahir untuk membahagiakan semua orang lain. Kita tidak ditakdirkan untuk menyenangkan semua orang. 

Jika saja dia berani dan fokus pada apa yang dia sukai, apa yang dia anggap bisa dikerjakan, serta apa yang diyakini akan membawa keberhasilan, pasti dia akan tersenyum di masa depan. Dan dunia pun akan ikut tersenyum.



Membaca Wali Berandal


Biasanya saya butuh lima menit untuk membuka lembar-lembar buku di toko sebelum memutuskan untuk membelinya. Namun, untuk buku Wali Berandal Tanah Jawa, saya hanya butuh dua detik. Baru lihat kalimat-kalimat awal, saya terpikat dan memutuskan untuk beli.

Membaca buku ini serasa membaca catatan perjalanan yang ditulis seorang travel blogger atau penulis senior. Kita diajak mengikuti petualangan, perjumpaan, dan kelana dari seseorang di tanah Jawa. Bahkan kita ikut merasakan detak jantung dan tarikan napas penulisnya.

Saya nyaris tak percaya saat mengetahui penulisnya adalah seorang profesor di Australian National University (ANU). Gaya menulisnya mengingatkan saya pada buku Sembilan Wali dan Siti Jenar yang ditulis sastrawan Seno Gumira Ajidarma.

Bedanya, George Quinn tidak sekadar menyajikan catatan perjalanan. Ada dialog-dialog, diskusi dan renungan mendalam yang bisa dibaca dengan sederhana, namun terselip makna yang dalam. Di mata saya, dia menulis dengan kepiawaian seorang etnografer dalam melukis kebudayaan, teknik bercerita ala penulis novel, serta renungan mendalam ala seorang profesor.

Di Youtube, George membuka rahasia mengapa menulis dengan memikat, Tadinya dia ingin menulis secara ilmiah, mengolah data-data, membumbui dengan teori-teori, sebagaimana kerja-kerja para akademisi. Namun dia menyadari kalau bertandang ke makam-makam wali, dan bercakap dengan para peziarah adalah tindakan penuh haru, penuh emosi, kadang penuh humor, dan ada peristiwa aneh yang sukar dilupakan.

Dia merasa pendekatan akademis terlalu kaku dan berjarak dengan realitas. Memang, pendekatan akademis tetap perlu, namun gaya menulis ilmiah tidak cukup memadai dan terlalu kering untuk menangkap semua peristiwa dan makna yang menghampiri. Dia ingin lebih grounded, membumi, dan menyerap semua peristiwa batin dan rasa haru yang memenuhi dirinya saat bertemu para peziarah.

Hasilnya adalah sebuah buku memikat yang judul aslinya Bandit Saints of Java. Ini adalah kombinasi dari catatan perjalanan, kisah-kisah masa silam yang bergema hingga masa kini, juga sisi batiniah masyarakat Jawa yang tetap berdenyut di masa kini. 

Kata akademisi Henri Chambert Loir dalam Archipel, buku ini mengupas dengan sederhana, diwarnai pengalaman pribadi dan sentuhan ringan, tanpa beban tetek-bengek yang biasa terdapat dalam karya akademik.

George Quinn mencatat, di tengah Indonesia yang kian modern serta ada tarikan kuat untuk berislam ala Timur Tengah, orang-orang Jawa tetap mempertahankan tradisi ziarah dan mengunjungi makam-makam keramat. Mereka tak sekadar ziarah. Ada upaya untuk menelusuri masa silam, membangun relasi kuat dengan tokoh yang hidup di masa lalu, lalu menyerap kekuatan masa silam untuk masa kini. 

Buku ini memotret banyak paradoks yang memikat. Saya menemukan kisah para wali atau sunan yang nyentrik, filosofi Jawa, juga cerita mereka yang datang ziarah. Nuansanya yang ditulis sangat kaya.

Wajar saja jika buku ini mendapat penghargaan sebagai sebagai karya non-fiksi terbaik di Australia. Buku perjalanan, juga ilmu sosial, terbaik yang saya baca tahun ini.



Raja Ampat


Lihat NG terbaru, saya langsung kangen dengan Raja Ampat di Papua Barat. Saya beruntung karena dua kali bisa bertualang di kepingan surga itu. Di kedua perjalanan itu, saya tak mengeluarkan biaya sepeser pun. Malah dibayarin. Hehehe.

Pada perjalanan pertama, saya diminta untuk melatih komunitas wisata. Saya mengajar bagaimana menulis tentang wisata pada komunitas nelayan, pelaku usaha wisata, dan anak-anak milenial. Di perjalanan kedua, saya diundang untuk memberi pelatihan pada kepala desa Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. 

Ketika mendengar Raja Ampat, naluri petualangan saya bekerja. Saya tak pernah menolak. Saya akan selalu bilang sanggup. Bagi orang Jabodetabek, bisa menginjakkan kaki di Raja Ampat adalah keajaiban. Biayanya lebih mahal dari jalan-jalan ke Jepang atau Thailand. Bali jauh lebih murah. Tapi kalau ada yang sponsori, semua akan siap ke sana.

Inilah nikmatnya jadi pejalan. Kadang ada kejutan yang membawa langkah kaki hendak ke mana. Pesan seseorang bijak, “Berjalanlah sejauh-jauhnya sampai tetangga mengira kamu membiayai perjalananmu dengan babi ngepet!”



Rangga Sasana


 Di tengah berita sedih, ada juga satu berita bahagia pekan ini. Para petinggi Sunda Empire bebas dari penjara. Bebasnya mereka disambut antusias di lini massa Twitter. Bahkan berita itu menjadi trending topic.

Di negeri +62, netizen punya suara yang sering kali berbeda dengan penguasa. Saat penguasa melalui lembaga peradilan memvonis mereka karena dianggap menyebarkan kabar bohong, netizen justru menjadikan mereka pahlawan.

Vonis pengadilan memang terasa aneh. Bagi saya, para petinggi Sunda Empire itu harusnya tidak dihukum. Mereka seharusnya diberi penghargaan oleh negara. Mereka telah menghibur jutaan warga melalui kisah-kisah menarik.

Setahun silam, salah seorang petinggi Sunda Empire, Rangga Sasana, tampil di banyak media. Dia bercerita mengenai tatanan dunia yang akan segera kacau-balau. Semua negara harus daftar ulang ke Bandung. Jika tidak, bencana akan terjadi.

Bahwa yang dia sampaikan itu tidak sesuai dengan sejarah resmi, bukan alasan untuk menghukum dia. Boleh saja dia ngawur, bodoh, atau malah gila, tapi kan itu bukan alasan untuk menghukum dia. Di seluruh dunia, mana ada orang bodoh yang masuk penjara gara2 kebodohannya.

Kalau dia dituduh bohong, apa pengadilan juga berani memvonis penguasa mulai dari desa sampai kota yang berbohong setiap lima tahun? Apakah pengadilan juga akan meneliti kalimat-kalimat politisi saat kampanye lalu memberi bukuman karena bohong?

Anda boleh tersenyum dan tertawa. Faktanya, banyak orang yang percaya, lalu ikut dalam barisannya. Banyak orang yang berpose dengan baju ala militer lalu memamerkannya di media sosial. Bahkan gema Sunda Empire menjangkau Aceh saat seorang perempuan berbicara dengan kalimat yang persis sama dengan Rangga.

Di titik ini, Rangga adalah pemasar yang hebat. Dia tahu bagaimana memasarkan idenya, menyasar audience yang tepat, lalu menanamkan kesadaran. Dia tahu bagaimana meyakinkan orang lain melalui cerita-cerita. Kekuatannya adalah kemampuan menghadirkan cerita yang menarik dan dipercayai banyak orang.

Para ahli menyebut kemampuan bercerita itu sebagai storytelling. Kata sejarawan Yuval Noah Harari, manusia terhubung oleh cerita-cerita. Berkat cerita, manusia bisa saling bekerja sama, punya visi bersama, lalu bekerja dalam satu mekanisme dan skala yang besar.

Kata Robert McKee, “Storytelling is the most powerful way to put ideas into the world.” Kitab suci berisikan storytelling. Di dalamnya ada banyak kisah dan cerita. Sorytelling sama tuanya dengan oeradaban kita. Di Inggris, stonehenge saja masih jadi perdebatan apakah itu buatan alien atau bukan. Demikian pula dengan piramida di Mesir.

Storytelling bisa dikemas menjadi uang. Di Vietnam, ada sungai yang selalu didatangi orang. Tak ada yang istimewa di situ. Tapi, ada cerita kalau pasukan Amerika kalah. Orang berdatangan untuk melihat.

Di Indonesia, Pemkab Banyuwangi terkenal bisa mengemas kisah-kisah jadi komoditas wisata. Kita pernah mendengar kisah KKN Desa Penari, yang kemudian jadi viral, lalu menjadi komoditas wisata. Orang-orang berdatangan hanya untuk melihat Rowo Bayu, tempat kisah seram itu. Beberapa tempat seram lain juga viral, mulai dari Alas Purwo, hinga Keraton Macan Putih.

Saya membayangkan kisah-kisah Rangga Sasana itu bisa dikemas lebih menarik. Dia melihat Bandung sebagai titik pusat semesta. Dia melihat ada Kekaisaran Bumi yang menghargai alam semesta. Dia melihat bumi yang damai, serta tugas sejarah manusia untuk memakmurkannya.

Saya melihat netizen kita cukup bijaksana dalam memaklumi Rangga. Ketika dia bebas, semua orang bersorak. Semua berharap tatanan dunia ikut normal. Semuanya memberi panggung buat Rangga. Semua menanti komentar Rangga yang bisa menghentikan nuklir, dan bisa menghilangkan Covid.

Kita menunggu, sembari berharap negeri ini bisa sekuat yang dibayangkan Rangga. Entah, tercapai atau tidak, yang pasti, kita melihat Rangga sebagai tontonan yang lebih menarik dari politisi di televisi, yang dikit2 sibuk berdebat.

 
 

Rahasia di Balik Ekonomi ISRAEL

ilustrasi


Ahli strategi perang era Cina kuno, Sun Tzu, pernah menulis: “Kenali dirimu, kenali lawanmu, kenali medan perangmu. Seribu kali kamu berperang, seribu kali kamu menang.” Melihat dinamika politik yang sedang terjadi di timur tengah, apakah kita mengenal dengan baik bagaimana sosok Israel?

Buku Start-Up Nation: The Story of Israel’s Economic Miracle membuka tabir tentang negeri yang banyak dimusuhi itu. Buku yang terbit tahun 2008, namun tetap relevan ini, mengurai banyak hal tentang Israel yang tidak banyak kita ketahui. Buku, yang disebut sebagai salah satu buku terbaik mengenai Israel ini sudah tersedia dalam bahasa Indonesia.

Kesan saya, buku ini berangkat dari satu premis penting yang pernah disampaikan Jared Diamond dalam bahasa berbeda. Bahwa bangsa-bangsa yang merasa dirinya terancam akan melakukan segala daya dan upaya agar ekonominya bangkit sehingga bisa mengatasi semua ancaman.

Kita bisa lihat pada beberapa bangsa, seperti Korea yang selalu terancam di tengah Jepang, serta raksasa Cina. Dipengaruhi oleh “rasa dendam sejarah”, Korea terus memacu ekonomi dan teknologinya demi berdiri sejajar dan mengalahkan Jepang.

BACA: Drama Korea, Soft Power, dan Imajinasi


Lihat pula Jepang. Setelah kekalahan telak pada perang dunia kedua, yang ditandai hancurnya Hiroshima dan Nagasaki, Jepang terus memperkuat ekonominya. Mereka melampiaskan dendam sejarah itu untuk menghadirkan keajaiban ekonomi. Berkat ekonomi yang kuat, mereka tak dipandang sebelah mata.

Taiwan pun demikian. Berada di bawah tekanan Cina, Taiwan memacu kekuatan inovasinya. Kini, menjadi salah satu negara yang teknologinya selangkah lebih maju.

Buku Start-Up Nation ini mnjelaskan banyak hal tentang Israel. Sejak era Babylonia dan Persia, bangsa Israel adalah budak. Penduduknya kemudian bersatu, membentuk kerajaan, setelah itu tercerai-berai kembali. Di era modern, orang Israel dikejar-kejar Hitler.

Sejak kelahirannya, negara yang warganya sering meratap, dikelilingi padang gurun ini sudah terkurung musuh dari berbagai penjuru. Namun, mereka unggul dalam semua jenis teknologi. Dari hal primer seperti pertanian dan peternakan sampai pada teknologi perangkat lunak, telekomunikasi dan senjata perang. 

Saya menemukan tiga fakta menarik di buku ini. Pertama, Israel adalah negara dengan rasio tertinggi lulusan universitas. Penduduknya mayoritas alumni universitas. Kedua, inilah negara yang memiliki Start-Up terbanyak di dunia. Ketiga, negara ini memiliki jumlah perusahaan terbanyak di banding gabungan seluruh negara Eropa yang masuk dalam list Nasdaq, serta berbagai bursa saham dunia lainnya.


Buku Start-Up Nation ini hendak menjawab pertanyaan, mengapa negara yang wilayahnya kecil, tanpa sumber daya alam, serta dibenci banyak negara, bisa melahirkan kultur inovasi dan Start-Up terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.

Mari kita lihat beberapa fakta. Di tahun 2008, ketika buku ini ditulis, Israel telah memiliki 3.850 Start-Up. Artinya, ada 1 Start-Up di setiap 1.844 penduduk. Di tahun itu, investasi modal ventura per kapita di Israel sudah 2,5 kali lipat lebih besar dari Amerika Serikat, 30 kali lebih besar dari Eropa, 80 kali lebih besar dari China, dan 350 kali lipat dari India. 

Memang, ada banyak perang yang dihadapi Israel. Tapi tidak lantas membuat ekonominya terpuruk. Ekonomi Israel tumbuh dua kali lipat, meskipun tiga kali menghadapi perang. Situasi ini tidak ada bandingannya dalam sejarah ekonomi dunia. 

Pengusaha besar berbondong masuk Israel. Warren Buffet menginvestasikan uangnya senilai USD 4,5 miliar pada perusahaan mesin peralatan.  Intel mendirikan pabrik senilai USD 3,5 miliar. Google dan Microsoft mengucurkan dana yang cukup besar dalam membangun kerajaannya di negara yang sama. Banyak inovasi Google lahir di Israel.

Israel kini menjadi pusat riset dan inovasi hi-tech dunia, dan menjadi eksportir paten yang unggul. Israel unggul dalam komputer, baik itu software dan hardware, hingga teknologi kedokteran dan farmasi. Israel dikenal dunia karena inovasinya. Anda tahu flash drive? Itu pertama dibuat di Israel. Demikian pula dengan instant messaging dan shopping.com pertama dibuat di negara itu. 

Di bidang militer, Israel Defense Force (IDF) merupakan salah satu angkatan perang terbaik dengan taktik dan persenjataan termodern di dunia. Bagi orang Israel, memasuki IDF hampir setara dengan masuk perguruan tinggi bergengsi seperti Harvard, Princeton atau Yale. 

Di National Geographic Channel, ada acara Future Weapons yang membahas teknologi persenjataan tercanggih dunia. Bisa ditebak, mayoritas senjata yang dibahas di acara ini berasal dari Israel. 

Uniknya, sebagian besar dari pengusaha rintisan maupun pengelola bisnis modal ventura untuk rintisan merupakan alumni IDF baik tentara aktif maupun tentara cadangan. Orang-orang ini seperti dipacu dengan disiplin, ketegasan, kemampuan bertahan, melihat peluang, memanfaatkan jejaring  dan mengambil keputusan dalam berbisnis, layaknya di medan perang. 

BACA: Doreamon, Imajinasi, dan Rasa Lapar Teknologi


Tak hanya itu, sektor pertanian Israel menjadi salah satu model pertanian termaju dunia, dengan penerapan smart-farming serta campur tangan teknologi yang tinggi dalam memaksimalkan keterbatasan sumber daya alamnya. Ketiadaan air  dan lahan berupa gurun pasir bukan menjadi kendala dalam memajukan pertanian di negeri itu. 

Orang Israel bisa menaklukkan padang gurun. Netafim berdiri tahun 1965, merupakan perusahaan penemu teknologi irigasi tetes (drip irrigation), sistem pertanian yang meningkatkan panen sampai 50% dengan penghematan air sampai dengan 40%. 

Teknologi ini membuat Netafim beroperasi di 110 negara dunia termasuk di negara-negara yang “agak” memusuhinya. Netafim sendiri hadir melalui kegemaran orang Israel “mencari masalah” dari hambatan-hambatan yang mereka miliki dalam memperoleh air di padang gurun yang keras dan kering.


Apa Rahasianya? 

Saya tertarik dengan argumen penulis buku, yang kini tersedia gratis di internet. Rahasia kemajuan pesat di bidang bisnis dan teknologi itu bukan pada spirit bangsa Yahudi. 

Rahasianya ada chutzpah, semacam mindset atau nilai-nilai yang diterapkan manusia Israel. Chutzpah bisa pula disebut sebagai mentalitas untuk terus mempertanyakan apa yang ada, menyampaikan pandangan berbeda, serta berani memprotes.

Chutzpah bermakna empedu, saraf tembaga, nyali yang luar biasa, kelancangan dan keangkuhan. Karakter chutzpah itu bisa ditemukan di mana-mana. Mulai dari cara mahasiswa mendebat dosennya, para staf yang berani berbeda dengan bosnya, bahkan pada keberanian seorang sersan mendebat jenderalnya. 

Orang luar menganggap sikap semacam itu adalah sikap arogan. Namun bagi orang Israel, hal itu dianggap wajar dan normal. Justru kondisi itu menjadi pencetus kultur inovasi yang nyata. Ketegasan dan keberanian adalah cerminan dari rasa ketakutan akan kegagalan, yang kerap membuktikan jauh lebih powerful ketimbang harapan akan keberhasilan. 

Orang Israel membawa chutzpah itu ke dunia bisnis, sehingga mereka terus berinovasi dan anti kemapanan. Mereka membuat banyak start-up, menguasai ekonomi dunia, lalu perlahan memperkuat armada perang dan militernya. Rasa tidak puas itu menjadi darah segar bagi tumbuhnya kultur inovasi.

Saya tertarik sebab kuncinya ada pada karakter budaya yang ditanamkan sejak usia dini. Ini pula yang menjelaskan, mengapa tidak banyak jenderal di militer Israel, sebab seorang kopral dan sersan pun bisa mengambil sikap dan membantah jenderalnya. 


Saya ingat tuturan Joseph Nye, akademisi Harvard mengenai pentingnya soft power, kekuatan budaya. Di negeri-negeri yang ekonominya kuat, kita menemukan soft power itu. Saya ingat Ikigai, mindset unggul bangsa Jepang, yang membuat mereka sejak dini termotivasi untuk punya karakter juara. Di Korea, ada pula Nunchi, yang ditulis Euny Hong sebagai budaya kerja keras di negeri yang banyak memproduksi drakor itu. 

Salah satu ungkapan terbaik Simon Peres, pemimpin Israel, menjelaskan sisi terdalam bangsa Israel, “Kontribusi terbesar orang Yahudi dalam sejarah adalah ketidak-puasan yang lahir dari campuran patriotisme, dorongan dan kesadaran akan kelangkaan, musuh, keingintahuan dan keresahan para pendirinya.”


Bagaimana Mengalahkan Israel?

Hari ini Timur Tengah sedang bergejolak. Perang rudal sedang terjadi. Perlawanan pada Israel bergema di mana-mana. Ada yang menilai itu perang agama sembari mengutip banyak teks kitab suci. Namun, banyak kalangan yang menilai itu semata konflik politik yang bermula dari arogansi Israel untuk mencaplok lahan.

Dari sisi politik, Israel adalah negara yang menindas Palestina, serta mengklaim wilayah itu. Perlawanan pada Israel adalah perlawanan pada kolonialisme yang menjajah bangsa lain. Rakyat Palestina berhak hidup damai, dalam satu negara berdaulat serta melindungi mereka dari pencaplokan bangsa lain.  Untuk itu, kecaman pada kekejaman Israel mesti terus digaungkan.

Namun, untuk mengalahkan Israel, sekadar propaganda agama tidak cukup. Kalahkan dia pada lini yang dia kuasai, yakni sains dan teknologi. Sebab inovasi pada sains selalu berbanding lurus dengan keunggulan satu bangsa, yang kemudian meninggikan nilai tawar bangsa itu dalam konteks internasional.

Dalam ekonomi padat pengetahuan, kekuatan hard power dan soft power satu negara sama pentingnya. Kemajuan militer selalu ditopang oleh kemajuan ekonomi dan penguasaan pada sains dan teknologi, juga budaya unggul yang menjadi DNA dari semua inovasi.

Saatnya kita perkuat pendidikan, perbaiki kualitas sumber daya manusia sehingga bisa memberi kontribusi pada perbaikan ekonomi bangsa. Terpenting adalah bangun ekonomi yang kuat dan kokoh sehingga tercipta kemandirian dan kedaulatan bangsa.

Namun, bagaimana mungkin hendak mengalahkan Israel, jika secara politik kita hanya berani mengutuk dari kejauhan? Bagaimana mungkin mengalahkan teknologi mereka saat sebagian warga kita masih percaya pada babi ngepet? 

Yah, PR kita masih banyak. Namun kita harus terus bergerak.



Kasih Indonesia untuk INDIA

Buku Beras untuk India yang dipeluk Spoty, kucing cantik

Sahabat saya, Osa Kurniawan Ilham, menulis buku Beras untuk India. Saya belum pernah bertemu secara fisik dengannya, tapi interaksi kami sudah bilangan tahun. Dahulu, kami sama-sama aktif di Kompasiana. Kini, kami sama-sama peselancar medsos yang sesekali berbagi tautan.

Setahu saya, dia seorang insinyur alumnis ITS Surabaya. Pengalamannya panjang di dunia keteknikan, malah sudah lintas negara. Tapi dia sangat meminati sejarah. Dia menulis tema-tema yang menarik, dari sudut pandang rakyat biasa. 

Yang membuat saya kagum adalah dia tidak sekadar membaca dan menulis artikel. Dia merencanakan riset mandiri. Dia bersahabat dengan banyak sejarawan yang kemudian berbagi arsip dengannya. Dia mengambil kursus bahasa Belanda agar bisa membaca arsip.

Saya rasa, dia mengikuti jalan pedang atau passion-nya. Saya mengenal banyak akademisi yang melakukan kerja riset itu hanya demi proyek, demi mengincar kum lalu bisa naik pangkat. Malah banyak yang membayar jurnal-jurnal predator agar riset abal-abal diterbitkan.

Tapi Osa berbeda. Dia menjalani semua proses dengan sabar. Sejarah dan humaniora bukan bidang ilmunya, tapi dia punya ketekunan, kedisiplinan, serta kecermatan seorang sejarawan. Dia membaca peristiwa, lalu berusaha memahami konteksnya. 

Dia pun berbagi hasil petualangan membaca arsip dan menganalisis kepingan kejadian itu dengan orang lain. Dia menulis buku yang menarik, tidak saja membahas satu peristiwa, tapi menarik konteks pada rentang masa yang jauh, sejak era kerajaan-kerajaan di mana India dan Indonesua punya hubungan uat, hingga masa-masa merebut kemerdekaan.

Dalam buku Beras untuk India, dia menulis kisah dibalik pengiriman beras 500 ribu ton pada tahun 1946, saat Indonesia masih berupa bayi, saat India belum merdeka. Dalam beberapa buku sejarah, peristiwa ini sering hanya ditulis satu atau dua paragraf. Padahal, ada banyak kejadian, situasi, dan petualangan di balik kisah itu.

Buku ini melihat hal itu secara holistik. Bukan cuma soal beras, tapi menyingkap relasi dua negara yang terbentang sejak lama. Di masa kemerdekaan, keduanya senasib sepenanggungan, kemudian sama-sama bergerak untuk kemerdekaan. Keduanya punya solidaritas dan ikatan yang kuat.

Berkat buku ini, saya baru tahu bahwa ada banyak orang India yang punya andil dalam kemerdekaan kita. Mereka datang sebagai prajurit yang dibawa sekutu, tapi setelah tiba di Indonesia, mereka menolak berperang. Mereka mengingat negerinya yang juga dijajah. Mereka melihat kesamaan nasib, juga kesamaan agama.

Beberapa orang India membantu republik kita. Ada kisah mengenai Biju Patnaik, seorang pilot pemberani yang menerbangkan Bung Karno dan Bung Hatta dalam kondisi perang. Ada juga cerita mengenai Kunandas T Daryanani, lebih dikenal sebagai TD Kundan, yang menjadi pendukung republik kita, yang setelah meninggal dikuburkan di Taman Makam Pahlawan, Surabaya.

Saya terkesan pada kepiawaian para pendiri bangsa kita yang membangun jaringan internasional. Bung Karno dan Bung Hatta bersahabat dengan Pandit Jawarhalal Nehru, founding father India bersama Mahatma Gandhi. Bahkan Hatta ketika berkunjung ke India mendapat julukan “Gandhi of Java.”

Dalam banyak kesempatan, Nehru menjadi pembela Indonesia. Dia mengecam Inggris yang mengirim tentara India ke Jawa. Bahkan Nehru meminta Inggris tidak mengirim tentara Gurkha untuk perang ke Indonesia.

Bung Karno dan Pandit Nehru

Lobi dan dukungan internasional sangat penting untuk satu negara yang baru berdiri. Jika tak ada dukungan internasional, kemerdekaan itu bisa dengan mudah direnggut. Para pemimpin kita menyadari benar hal ini. Saat Indonesia merdeka, banyak anak bangsa yang melobi dukungan internasional.

Di antaranya adalah sejumlah mahasiswa Indonesia di Mesir yang ikut melobi. Mereka memakai strategi agama agar dukungan diperoleh. Saat ditanya siapa pemimpin Indonesia, mereka menyebut nama Ahmad Sukarno, demi membangkitkan solidaritas Muslim.

Lobi ini memudahkan jalan bagi Agus Salim, diplomat kelahiran Koto Gadang, tanah Minang, yang dijuliki “the grand oldman” untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari negara Mesir, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, dan Yaman. 

Pada 14 Agustus 1945, Agus Salim kembali ditunjuk sebagai delegasi Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Succes, New York. Dia berpidato dengan memukau tentang kekejaman Belanda dalam agresi militer, yang kemudian membuahkan dukungan negara-negara anggota PBB.

Tahun 1946, dunia menoleh ke Indonesia saat pengiriman beras untuk bantuan ke India, negeri yang saat itu belum merdeka. Pengiriman beras itu menjadi strategi penting untuk meyakinkan dunia kalau Indonesia eksis. Bukan sekadar pernyataan solidaritas sebagai sesama bangsa terjajah, tapi bagian dari lobi tingkat tinggi.

Itu adalah pernyataan tentang republik yang berdaulat, serta punya andil untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Di dalam negeri, pengiriman beras ini juga memiliki banyak lika-liku menarik. Mulai dari strategi mengumpulkan beras dari petani di berbagai daerah, bagaimana proses distribusi, hingga bagaimana menghadapi hadangan tentara Belanda.

Banyak pihak terlibat dalam pengiriman beras ini. Mulai dari petani, buruh pelabuhan, menteri, hingga pelajar Indonesia yang ada di India. Tahun 1947, ada 10 kapal yang datang ke India membawa 54.100 ton beras. India pun membalas budi kepada kita melalui pengiriman tekstil dan obat-obatan.

Buku ini menjadi kepingan penting yang menjelaskan bahwa kemerdekaan kita bukanlah hasil kerja satu kelompok atau satu kaum, tapi hasil dari proses sejarah yang melibatkan banyak orang. 

Banyak orang dan banyak kelompok punya saham pada berdirinya republik ini. Bukan semata pribumi, tetapi juga keturunan Cina, India, Jepang, hingga peranakan Eropa ikut memberi kontribusi. Bahkan banyak orang Belanda yang punya andil untuk membantu lahirnya republik ini, sejak gagasan-gagasan nasionalisme menetas di benak para anak bangsa.

Maka, pembangunan seyogyanya menjadi proses yang inklusif dan seharusnya bisa merangkul semua kalangan. Ibu pertiwi harus menjadi ibu yang memeluk semua kelompok, apapun latar etnik dan budayanya, demi membangun satu ikatan kebangsaan yang kuat.

Seusai membaca buku ini, saya merenungi banyak hal. Banyak ekonom sepakat bahwa masa depan adalah abad milik Asia. Bukan hanya Cina, tetapi India juga akan menjadi kekuatan global yang memainkan pengaruh besar. 


Kita punya modal sosial dan modal kultural yang kuat. Relasi India dan Indonesia adalah relasi yang sudah terbentang beberapa abad. Mulai dari era Kutai, Sriwijaya, hingga Majapahit. Bahkan jalur sutra juga terbentuk karena pedagang India mencari jalan untuk mendapatkan rempah-rempah. Bahkan di tahun 1955, Bung Karno dan Nehru menggelar Konferensi Asia Afrika yang menggetarkan dunia.

Saya membayangkan bangsa kita mengaktifkan relasi sejarah yang kuat dengan India, kemudian membangkitkan Jalur Rempah (Spice Route) sebagai satu lanskap budaya dan sejarah. Jalur ini bisa menjadi pengungkit kemajuan ekonomi, serta menunjukkan betapa harmonisnya hubungan yang dikelola menjadi bisnis di era modern. 

Jalur perdagangan itu bisa menjadi counter narasi atas Silk Road yang tengah dibangun Cina. Jika Cina tengah menggelar kampanye global mengenai Belt Road Initiative, maka kita pun bisa membangkitkan The Spice Route Initiative bersama India serta negara-negara lainnya untuk menjadi kekuatan dunia, yang menjadi rumah bersama bagi peradaban baru yang humanis.

Bersama India, kita akan kokoh.