Lapandewa, Negeri Atap langit (Ekspedisi Buton Selatan 5)


SAAT singgah di Desa Gunung Sejuk, saya diceritakan tentang desa-desa yang terletak di ketinggian, desa-desa yang menantang langit. Rasa penasaran untuk menyaksikan desa ini langsung tumbuh. Saya lama mendengar nama desa itu, tapi belum pernah mengunjunginya. Sayangnya, rata-rata memberikan informasi bahwa akses jalan ke situ rusak parah. Tetapi semangat saya terlanjur berkobar. Saya tetap nekad untuk menjangkau desa-desa tersebut.

Desa di ketinggian tersebut adalah Lapandewa dan Burangasi. Perjalanan ke sana dimulai dengan jalanan menanjak. Jalannya tidak begitu parah, namun setelah beberapa kilometer, jalanan tersebut sedang direnovasi sehingga sukar dilewati. Jalanan tersebut masih ditumpuk dengan batu-batu karang yang belum diratakan sehingga sukar dilewati. Melihat ke kiri kanan, tersaji pemandangan yang indah. Terlihat Desa Mambulu dari kejauhan seperti lukisan tentang desa pesisir yang dihiasi dengan laut biru.

Saya tiba di simpangan antara menuju ke Lapandewa dan ke Desa Bahari. Saya memilih Lapandewa. Jalanan menanjak dengan sangat tajam. Untungnya, teman Dambo yang membonceng, cukup cekatan mengendalikan motor. Sudut tanjakan nyaris 90 derajat sehingga kami sempat kesulitan mendaki. Bahkan, ada juga tanjakan yang berbentuk huruf S. Kita mengitarinya dan berputar. Saat tiba di atas, kita bisa melihat jalan yang dilewati tadi berada di bawah.

Perasaan saya saat itu seperti perasaan Avatar Aang ketika mengunjungi gurunya di Tibet, Istana Atap Langit. Bersama Dambo, Mukmin, dan Nas, kami mendaki terus hingga ketinggian. Setelah itu, jalanannya mulai datar, sesekali mendaki, dan sesekali menurun. Setelah beberapa kilometer, kami memasuki jalanan yang belum diberi aspal. Jalanan mulai rusak parah, dan sama sekali tidak disentuh aspal. Jalanannya rusak parah, dan pemandangan di sekeliling adalah bukit tandus. Di tengah matahari panas yang menyengat, kami tiba di satu tikungan. Kami lalu singgah untuk mengambil gambar.

Memandang sekeliling, semua yang saksikan adalah bukit tandus. Teman-teman berseloroh bahwa kami seperti Frodo Baggins saat berada di Gollum, dalam film Lord of The Rings. Kami lalu terpingkal-pingkal. Seorang teman lain punya pendapat berbeda. Ia mengutip ayat dalam Injil yaitu Mazmur yang menyebutkan tentang Tuhan menurunkan Yesus di daratan tandus untuk membangun kerajaan Tuhan di muka bumi. Mungkin inilah daratan tandus yang dimaksud. Kami kembali tertawa di tengah udara terik itu.

Tak lama kemudian, sebuah mobil penumpang melintas. Mukmin bertanya tentang arah. Sopir mengatakan, jika belok kanan akan sampai ke Desa Lande, sedangkan jika jalan terus, akan sampai ke Lapandewa. Kami lalu mengucap terimakasih, kemudian jalan terus ke Lapandewa. Setelah perjalanan selama sekitar 45 menit, akhirnya sampai juga di gerbang Desa Lapandewa, negeri yang terletak di atap langit. Kami bahagia.

Gerbang desa itu bentuknya sederhana. Mungkin semcama pemberitahuan bahwa Lapandewa adalah kecamatan dengan desa-desa yang sederhana. Dulunya, Lapandewa masuk dalam Kecamatan Sampolawa, namun beberapa tahun lalu, daerah ini sudah dimekarkan menjadi satu kecamatan tersendiri. Walau sudah berdiri sendiri, pemandangan di ibukota kecamatan tidak ada bedanya dengan desa-desa lainnya.

Secara fisik, pemandangan di ibukota kecamatan, tak beda jauh dengan desa-desa yang ada di sekelilingnya. Di sini, rumah-rumah masih berbentuk sederhana. Meskipun ada juga rumah batu, namun rata-rata masih sederhana. Jalan-jalan sama rusak parah. Saya berpikir bahwa mestinya jalanan dibiarkan saja sesuai aslinya. Tidak usah ditimbun batu sebab membuat jalanan itu makin sulit dilewati.

Rata-rata penduduknya menggantungkan hidup pada aktivitas berkebun. Dugaan saya, kebun sangat vital untuk memenuhi kebutuhan makan dan sehari-hari. Pola perkebunan mereka adalah pola subsisten. Mereka hanya memenuhi kebutuhan makan sehari-hari melalui kebun, tidak untuk memperkaya diri. Itu bisa dilihat dari apa yang ditanam di kebun yaitu ubi kayu dan jagung. Banyak juga yang menanam jambu mente, akan tetapi masa panen yang lama, serta nilai jual yang rendah, tidak banyak memberikan hasil yang signifikan bagi masyarakat. Saat di Lapandewa, saya juga mengabadikan seorang remaja yang melintas menuju kebun.

Ada banyak kisah terpenggal di Lapandewa, termasuk sulitnya memperoleh air di ketinggian itu. Namun, akan saya kisahkan dalam tulisan yang lain. Selama sekitar setengah jam di situ, kami lalu bergerak menuju Desa Burangasi.(*)

1 komentar:

la salnan rato mengatakan...

ceritakan sesuai keyataan.. yang ada,, saya sebagai keturunan buton dari desa lapan dewa sangat membutuhkan info,,, info ,, yg akurat tentang desa saya ini... terimakasi... saya,,, salman rato

Posting Komentar