HARI ini, adikku Atun menikah dengan mengenakan pakaian adat Buton. Ia sungguh cantik ketika mengenakan baju Kombo Wolio dan rambutnya digelung kemudian di sanggul. Saya melihatnya sungguh anggun, seperti penampilan seorang gadis Thailand yang bersiap-siap menari. Suaminya berasal dari Pulau Tomia di jajaran Kepulauan Wakatobi. Pernikahan ini ibarat reuni bagi keluarga Tomia serta keluargaku yang berasal dari Wolio (Kota Bau-Bau) dan Buton Utara.
Seluruh keluargaku hadir menyaksikan acara ini. Mulai dari Ismet yang datang dari Kolaka, Tiah dan Kak Syam dari Makassar, hingga saya sendiri ikut hadir. Kemudian, beberapa keluargaku dari Ereke (Buton Utara) serta keluargaku di Wameo. Semuanya hadir di rumahku demi menyaksikan pernikahan dari adik bungsuku ini.
Hari ini, saya menyaksikan Atun duduk di pelaminan bersama suaminya dengan mengenakan pakaian adat kebesaran. Dulunya, pakaian itu berwarna hitam, namun belakangan ini sudah ada modifikasi sehingga ada juga yang berwarna biru. Saat duduk di pelaminan itu, mereka bagikan raja dan ratu sehari. Mereka menjadi titik sentral dari ratusan pasang mata dari mereka yang menghadiri pernikahan tersebut. Semua hadir memberikan selamat, cium pipi kiri pipi kanan, sembari membisikkan doa agar kelak diberikan rezeki serta harapan membangun bahtera mahligai pernikahan hingga menggapai pantai kebahagiaan.
Atun dan Acan (suaminya) duduk dan diapit oleh Ibu bersama kakakku Ismet serta orang tua Acan. Ibuku juga mengenakan pakaian adat Buton, sedang Ismet mengenakan jas. Mereka terlihat sangat gagah dan anggun. Saya melihat mereka dengan tatap bahagia sekaligus ada kesedihan yang leintas di benakku. Saya membayangkan almarhum bapakku. Di tengah hentakan musik serta ucapan selamat dari banyak orang, saya selalu membayangkan bapak. Apakah ia sedang menyaksikan peristiwa ini? Apakah gerangan yang dirasakannya? Apakah ia bahagia sebahagia ibuku yang duduk di dekat pelaminan sana dan senantiasa tersenyum? Saya hanya bisa mereka. Masih terlintas di benakku kalimatnya bahwa momen menikahkan anak adalah momen yang paling bahagia bagi seorang ayah. Sayang sekali, ia tidak sempat menuai kebahagiaan itu ketika maut akhirnya menjauhkannya dari titik bahagia tersebut. Tetapi, saya selalu berharap agar ia jauh lebih bahagia di alam sana. Semoga.
Kembali ke soal pernikahan adikku. Pernikahan ini cukup megah dan diadakan di satu gedung yang sengaja di sewa demi acara ini. Tak hanya menyewa gedung, ibuku juga menyewa catering untuk menyediakan makanan demi menggelar acara ini. Meski biayanya besar, namun pekerjaan besar yaitu memasak makanan itu bisa dilimphkan pada jasa catering. Biayanya cukup mahal sebab catering itu tak hanya menyiapkan makanan, tetapi juga pelaminan, dekorasi, pakaian pengantin, hingga jasa salon untuk merias pengantin dan orang tuanya. Jumlah total yang dikeluarkan ibuku sekitar Rp 20 juta. Sebuah jumlah yang cukup besar demi menggerakkan acara pernikahan yang berjalan laksana sebuah industri besar. Jumlah itu belum seberapa, sebab ada juga biaya yang dikeluarkan untuk menyewa electone, penyanyi serta dokumentasi audiovisual baik fotografi maupun gambar bergerak. Total biaya yang dikeluarkan bisa dua kali lipat dari jumlah yang dibayarkan untuk catering dan dekorasi.
Yah, inilah pernikahan sebagai industri yang melibatkan begitu banyak profesi dan kepentingan. Sebuah industri besar digerakkan oleh beragam profesi dan spesialisasi. Sebuah industri akan didukung beragam komponen serta pekerjaan yang saling kait-mengait hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam hal pernikahan adikku, beragam profesi itu sudah mulai nampak sejak pengurusan dokumen nikah di KUA, penghulu, bisa (dukun yang mendampingi perempuan dan membacakan berbagai mantra), duta besar masing-masing keluarga, catering, penyanyi, jasa dekorasi, hingga jasa syuting ataupun antar barang dan undangan. Semuanya saling kait-mengait dan menggerakkan mesin industri pernikahan. Jika pernikahan di Buton serumit ini, maka pastilah pernikahan di Bugis akan jauh lebih rumit sebab punya jaringan kekeluargaan yang kuat. Makanya, pernikahan menjadi arena untuk mempertegas struktur dan kelas di masyarakat.
Di luar pandangan tentang perkawinan sebagai industri itu, saya juga menganggap bahwa pernikahan tidak sekedar menyatukan ikatan dua anak manusia, namun pernikahan adalah arena untuk mempertautkan berbagai jaringan sosial. Melalui pernikahan, hubungan-hubungan sosial yang dalam kehidupan sehari-hari boleh jadi tercerai-berai, kini direkatkan kembali. Saya merasakan hal tersebut. Hubungan dengan tetangga yang tidak terlalu dekat, tiba-tiba menjadi sangat dekat, sebab semua pihak sama-sama merasa punya andil untuk menyukseskan acara pernikahan tersebut. Jelang pernikahan, banyak tetangga yang datang ke rumah untuk membantu kerja di dapur serta menyiapkan piring untuk dipakai pada saat kegiatan. Maklumlah, jumlah undangan yang beredar sekitar 400 undangan. Artinya, jumlah yang hadir diperkirakan mencapai 800 orang. Ternyata, pada hari H, jumlah itu membeludak hingga sekitar 1.000 orang. Sebanyak 1.000 orang yang berasal dari keluarga dekat ataupun teman-teman dan mereka yang pernah berhubungan pada keluargaku, tiba-tiba kumpul dalam satu gedung dan memberikan selamat. Sebanyak 1.000 orang tersebut memberikan amplop sumbangan dan ada namanya tertera di situ. Semuanya kian memperkukuh jaringan sosial yang sebelumnya sudah dibangun.(*)
Bau-Bau, 7 Mei 2008