Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Foto Terbaik di Perjalanan

DALAM beberapa kesempatan saat berada di Buton, saya selalu berusaha memotret dengan menggunakan kamera digital sederhana. Meskipun foto-foto itu tak seberapa bagus, namun saya ingin sekali menampilkan di blog ini. Bagi saya, semua foto punya kisah dan sejarah tersendiri yang bersemayam di benakku. Sehingga setiap melihat foto tersebut, saya langsung terkenang banyak hal atau situasi ketika foto tersebut saya buat. Barangkali, inilah yang disebut konteks lahirnya sebuah foto. Simaklah satu per satu.



Gambar ini adalah gambar sunset di satu pantai di Barru, Sulawesi Selatan. Gambar ini dibuat oleh Dwi Agustriani. Dengan sentuhan teknologi, saya mengemas gambar itu dengan cara berbeda. Hasilnya menjadi sangat indah bagiku. He..he..he..


Gambar di atas saya ambil di pesisir pantai Buton Utara. Saat itu, saya sedang duduk di pinggir pantai dan menyaksikan sebuah perahu hendak menepi. Saat hendak dipotret, sang nelayan tersenyum ceria.


Gambar ini adalah patung naga hijau di Pantai Kamali, Kota Bau-Bau. Naga ini menjadi ikon kota atau simbol yang menjadi ciri keberadaan Kota Bau-Bau. Naga ini sangatlah populer. Hampir semua mereka yang singgah ke Bau-Bau akan berfoto di dekat patung naga tersebut


Gambar pelangi ini saya ambil dari Pantai Kamali, Bau-Bau. Saat itu, hujan baru saja usai. Saat memandang ke arah kapal, saya tersentak melihat gambar pelangi yang sangat indah.


Saat melintas di Desa Kakenauwe, Kecamatan Kapontori, Buton, saya tertarik dengan banyaknya anak kecil yang ke sekolah tanpa mengenakan sepatu. Saat kembali dari sekolah, mereka memegang sepatunya, tanpa memakainya. Saya tertarik karena menurutku, ini adalah pengalaman yang sangat unik dan jarang kulihat di tempat lain.


Ini adalah gambar anak kecil yang sedang memancing di kolam buatan di Pantai Kamali. Sebenarnya, gambar ini tak terlalu menarik bagiku. Namun biarlah ditampilkan sebagai pertanda kalau di Bau-Bau ada banyak tempat yang bisa dikunjungi.



Kalau gambar di atas ini, saya ambil di Kampo Enta, Buton Utara. Kampung ini bisa digolongkan sebagai kampung miskin yang terletak di Buton Utara. Namun persoalan bergaya, anak kecil ini tak mau kalah dengan anak kota. Lihat gayanya. Lucu khan?


Ini adalah gambar sejumlah remaja di pesta adat Pekande-kandea di Lowu-Lowu, Bau-Bau. Mereka duduk di dekat nampan berwarna merah yang berisi aneka makanan. Biasanya, mereka akan menyuap semua pengunjung yang datang makan di situ.

100 Tahun Kebangkitan Nasional

100 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini semestinya merayakan rasa malu kepada pendahulunya. Semangat terkepal untuk memajukan bangsa 100 tahun lalu, kini hanya menjadi slogan untuk pembakar semangat. Antara masa lalu dan masa kini, tak ada perbedaan yang substansial sebab negeri ini masih saja bergelut dengan persoalan yang sama. Sekitar 100 tahun yang lalu, anak bangsa bertekad memajukan rakyat yang miskin dan terbelakang akibat ditindas oleh cengkeraman kolonialisme. Kini, kemiskinan dan keterbelakangan itu masih sangat mudah ditemukan di mana-mana, semudah membalikkan telapak tangan.

100 tahun kebangkitan nasional. Dulunya kolonialisme berbendera VOC dan berwajah sangar ketika menghardik anak negeri, kini kolonialisme berganti rupa dengan bendera perusahan multinasional. Mereka berwajah santun, khususnya ketika menyogok pemerintah dan pejabat lokal demi mendapatkan kuasa pertambangan dan mengeruk sesuka-sukanya. Kini, penjajah berwajah tampan, blasteran, yang setiap kemunculannya selalu menghadirkan histeria massa. Mereka hadir laksana bintang sinetron yang baik, kemudian mengeruk hasil bumi dan menyisakan sampah yang harus dimakan oleh anak negeri.

100 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini seolah tak pernah beranjak dan terus saja jalan di tempat, tanpa menyerap hikmah dari ceceran perjalanan sejarah bangsa sejak mengumandangkan kebangkitan nasional. 100 tahun yang lalu, kaum cerdik cendekia mendengungkan semangat perubahan bagi negeri ini. Kini semangat perubahan itu hanya menjadi nyanyian pengiring bagi karnaval anak kecil yang membawa bendera merah putih. Kalimat perubahan itu tidak menjelma menjadi darah dan daging serta sumsum perubahan yang semestinya dibumikan para pemimpinnya. Para pemimpin hanya menjadikan semangat itu sebagai nyanyian pengantar tidur bahwa ini negeri besar, bahwa ini negeri yang sungguh kaya raya dengan hasil bumi. Dan keesokan harinya, pemimpin itu kemudian tersenyum dan mengemis pada bangsa asing. Keesokan harinya menjual mineral yang ada di perut ibu pertiwi.

100 tahun kebangkitan nasional. Banyak berdiri gedung pencakar langit, banyak berseliweran parade mobil mewah. Setiap harinya adegan kemewahan dipertontonkan di televisi. Sementara jutaan anak negeri lainnya masih mengais sampah demi menyambung hidup, masih menangis tersedu-sedu di kala malam tatkala perut lapar melilit, masih harus menjadi maling karena tak mampu mencukupi nafkah. Serta masih banyak anak negeri yang bunuh diri karena lapar.

100 tahun kebangkitan nasional. Perut ibu pertiwi masih kaya dengan sumber daya alam. Akan tetapi semuanya diraup bangsa lain. Sementara anak negeri hanya menjadi penonton dan tak bisa berkata apa-apa. Para pemimpin sibuk memperkaya diri dan membangun istana-istana kemewahan di mana-mana. Para pemimpin sudah tidak peduli dengan tangis orang miskin. Setiap harinya, para pemimpin pongah dengan mobil mewah yang dikendarainya dan di saat bersamaan masih saja sibuk meneriakkan “peduli rakyat kecil.”

100 tahun kebangkitan nasional. Para intelektual dan cerdik cendekia masih menjadi stempel dari berbagai keserakahan pemimpinnya. Intelektual sibuk kongkalikong biar jadi pegawai atau dosen, sibuk mengejar proyek demi merayakan hidup mewah seperti para pejabat. Para intelektual tidak lagi memiliki tangis lirih untuk mereka yang biasa ditindas. Kaum intelektual sudah buta mata dan buta hati. Mereka mengaku intelektual, padahal gelar itu hanya menjadi gelar kebangsawanan. Gelar profesor gampang dibeli semudah membeli jabatan atau gelar di pemerintahan. Para intelektualnya semua karbitan dan hanya menjadi kayu bakar dari proses pembodohan di negeri ini.

100 tahun kebangkitan nasional. Para ulama sudah tidak peduli dengan umatnya. Ke mana-mana pidato dengan naik mobil mewah dan hanya menjadi juru kampanye dari pejabat korup negeri ini. Ulama sudah seperti pengemis dan sibuk menadahkan tangan ke sana-sini denganj cara menjadi tim sukses. Kalimat Tuhan sudah tidak sakral lagi sebagai bahasa kebenaran bagi rakyat, namun menjadi alat kekuasaan demi memenangkan sebuah rezim. Ulama sudah tidak mau lagi mendengarkan tangis sedu-sedan umatnya sendiri. Ulama sibuk mencari cara agar kaya raya.

100 tahun kebangkitan nasional. Negeri ini kehilangan rasa malu. Kehilangan malu kepada Tuhan, malu pada sejarah, serta kehilangan malu kepada seluruh manusia yang mendiami ibu pertiwi ini.(*)

Saat Qahhar Mudzakkar di Pulau Wawonii

ORANG Buton tak pernah percaya Qahhar Mudzakkar tewas ditembak oleh pasukan Jenderal Jusuf. Qahhar tak hanya menjadi simbol perjuangan religius, namun juga menjadi simbol kedigdayaan serta kesaktian yang namanya disebut banyak kalangan hingga ke Tanah Buton.

Awal tahun 1960-an, Qahhar mendeklarasikan bahwa dirinya dan seluruh pasukannya yang berada di Sulsawesi Selatan resmi bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin Kartosuwiryo di Jawa Barat. Qahhar menggabungkan dirinya dengan mereka yang sebelumnya telah meneriakkan berdirinya negara Islam di Indonesia. Di antara mereka adalah Tengku Daud Beureuh (Aceh), Kartosuwiryo (Jabar) hingga Ibnu Hajar (Kalimantan).

Sebagaimana dicatat oleh sejarawan Anhar Gonggong, pasukan Qahhar dan pasukan lainnya menebar teror serta ancaman bagi pemerintah hingga berbagai operasi dilancarkan untuk menumpasnya. Pasukan atau laskar yang dikomandani Qahhar sendiri menyebar ke segala penjuru Sulawesi demi menjalankan taktik perang gerilya. Tak hanya Sulawesi Selatan, mereka juga merambah hingga beberapa tempat di Sulawesi Tenggara, mulai dari Lasusua (Kolaka Utara), Lasolo, hingga Kendari. Mengapa Qahhar tidak menjelajah hingga ke Buton? Padahal sejarah banyak mencatat bahwa sejak dulu orang Buton sudah menjadi penganut Islam yang taat. Sejak dulu, ribuan masjid telah bertebaran di Tanah Buton sebagai pertanda bahwa Islam telah mendarahdaging di Buton. Mengapa ia tak menyebarkan keyakinannya tentang negara Islam di Buton?

Saya sempat menanyakan itu. Seorang informan di Buton menceritakan kalau Qahhar sudah punya rencana itu. Pergerakan pasukan Qahhar sudah mencapai Pulau Wawonii dan sedikit lagi akan menggapai Buton. Berita kedatangan pasukan itu sudah berkumandang ke seantero negeri hingga menimbulkan ketakutan di kalangan rakyat. Mereka takut karena di banyak tempat, beredar info bahwa pasukan Qahhar akan memenggal siapa saja yang menolak syariat Islam. Pasukan Qahhar tak hanya menyebarkan Islam, mereka juga menebar teror dan membumihanguskan berbagai praktik atau tradisi di masyarakat yang dinilai sangat jauh dari syariat Islam. Berita akan segera datangnya Qahhar menimbulkan kepanikan di kalangan rakyat, hingga Sultan Buton ikut turun tangan.

Sultan lalu memanggil salah seorang dari empat penasihat spiritualnya yang kerap disebut Bisa Patamiana. Ia menyuruhnya agar bersemadi dan mencari jawab ke langit sejauh mana kekuatan pasukan Qahhar. Sang Bisa lalu bertafakur di dalam rumahnya. Menurut cerita, ia mengunci diri dalam kelambu di satu kamar selama berhari-hari dan hanya makan nasi putih serta telur ayam. Setelah lama bertafakur dan bersemadi, Bisa tersebut akhirnya keluar kamar dan menuntaskan semadi.

Ia mengatakan bahwa pasukan itu sangat kuat dan bakal menghancurkan bala tentara Buton. Ia mengatakan, pasukan itu dipimpin seorang sakti bernama Qahhar yang memiliki banyak ajimat serta kesaktian. Dalam semadinya, ia lalu adu kesaktian dan saling melancarkan serangan jarak jauh. Dikarenakan lawannya yang sangat sakti, sang bisa lalu mengeluarkan jurus pamungkasnya yaitu timbe malalanda. Kata timbe bermakna tebas, sedangkan malalanda bermakna kegelapan. Secara harfiah, timbe malalanda bermakna menebas dalam kegelapan. Dalam kasanah kanuragan di Buton, timbe malalanda adalah sejenis santet yang paling sakti. Seseorang bisa melancarkan serangan dari jarak jauh dan sanggup menewaskan sasaran. Ilmu ini termasuk jenis santet yang tinggi tingkatannya dan hanya bisa dikuasai mereka yang sudah lama malang-melintang di dunia kanuragan dan mereka yang sudah lama mengasah dirinya.

Saat itu, sang bisa tercengang sebab tak satupun timbe yang menebus tubuh Qahhar. Kesaktian Qahhar menyebabkan tubuhnya kebal dari berbagai serangan. Menurut terawang mistis dari sang bisa, tubuh itu dipenuhi dengan berbagai mantra berupa tulisan Al Quran. Inilah kunci kesaktian Qahhar. Meski demikian, bisa tersebut tidak kehilangan akal. Ia lalu mengirimkan santet pada seluruh kuda tunggangan pasukan Qahhar sehingga kakinya sakit dan tak sanggup melanjutkan perjalanan ke Buton. Akhirnya pasukan itu hanya terhenti di Buton Utara.

Kisah ini tersebar di memori kolektif banyak orang di Buton. Hingga beberapa tahun berikutnya, tersebar berita bahwa Qahhar tertembak dalam satu operasi militer yang diadakan Kodam Hasanuddin. Tak satupun orang Buton yang percaya berita tersebut. “Masak mau mati karena peluru. Sedangkan timbe malalanda saja dia kebal. Apalagi kalau cuma peluru,” kata sejumlah orang.(*)

Susahnya Mencari Pemimpin


IKLAN yang dibuat pemerintah tentang perlunya kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) di beberapa televisi swasta, membuatku tertegun. Iklan itu lebih banyak berisikan pernyataan bahwa pemerintah berempati dengan penderitaan anak bangsa yang banyak di antaranya beban hidupnya mulai terengah-engah akibat naiknya harga BBM. Iklan itu menampilkan komentar sejumlah pihak seperti Menkeu Sri Mulyani, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, hingga Jubir Kepresidenan Andi Alfian Mallarangeng.

Mereka seakan-akan menampilkan rasa keprihatinan yang dalam. Mereka beberapa kali mengatakan sangat memahami betapa beratnya penderitaan rakyat akibat kebijakan ini. Saya sendiri jadi geli menyaksikannya. Bagaimana mungkin bisa lahir empati jika mereka tiap saat bergelimang kemewahan? Bagaimana mungkin bisa memahami rakyat kalau sehari-harinya mereka naik mobil ber-AC, bekerja di ruang AC, serta ke mana-mana mengenakan baju dan sepatu mahal?

Saya jadi ingat puisi yang ditulis Rendra jelang reformasi. Kalau tak salah Rendra mengatakan, “Kami makan batu sementara kamu bergelimang kemewahan… karena kami setiap hari kelaparan, sementara kamu kekenyangan…” Bersetuju dengan Rendra, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa pejabat harus ikut lapar bersama rakyatnya. Saya hendak mengatakan bahwa ada jurang yang cukup lebar antara pemerintah dan rakyatnya sehingga pemerintah tak banyak memahami bagaimana bahasa rakyat yang ada di lapangan.

Jembatan empati yang semestinya bisa diretas di antara keduanya akan sulit dibangun tatkala pemerintah hidup dengan dunianya yang berlimpah sedangkan rakyat hidup dalam dunianya yang berkesusahan. Makanya, iklan politik yang hadir di televisi menjadi cemooh dan olok-olok sebab dunia yang sungguh berbeda itu.

Saya teringat dua tokoh besar yaitu Ayatullah Khomeini dan Gandhi. Keduanya penuh keterbatasan sebagai rakyat biasa. Mereka juga tidak punya senjata sebagaimana pemimpin militer. Namun suara keduanya bergema ke seluruh relung-relung hati rakyatnya. Ketika keduanya meneriakkan sesuatu, maka seluruh rakyatnya akan mengepalkan tinju ke udara. Keduanya hidup sederhana dan bersahaja. Namun, kebersahajaan itulah yang kemudian menjadi kekuatan keduanya. Rakyat paham bahwa mereka hidup hanya dengan selembar kain dan membaktikan seluruh hidupnya untuk rakyat banyak. Rakyat paham bahwa mereka tidak sedang memperkaya diri dan hidup dalam kemewahan. Semua kata-kata mereka adalah cerminan dari penderitaan dan suara lirih rakyat sehingga kata-kata mereka sanggup menjelma menjadi mantra yang efektif untuk menggerakkan mesin perubahan sosial.

Gandhi hanya hidup dengan selembar kain yang ditenunnya sendiri, sedangkan Khomeini setiap harinya tidur di atas tikar yang rusak di satu rumah sederhana. Kesederhanaan yang sungguh luar biasa itu telah menyentuh hati orang banyak. Ketika mereka ditimpa musibah, semua orang mencucurkan air mata. Ketika mereka marah dan ditindas, semua orang tiba-tiba berlari di belakang mereka. Baik rakyat India maupun Iran bisa merasakan bahwa keduanya telah memilih menjadikan dirinya sebagai prasasti rakyat yang hidup senapas dan sealiran darah dengan rakyat yang mereka cintai.

Lantas, ketika melihat pejabat kita seperti Aburizal, Sri Mulyani. Mari Pangestu dan Mallarangeng mengatakan memahami penderitaan rakyat, apa yang bisa kita katakan? Tak lebih dari rasa sinis dan kegelian. Mana mungkin kau memahami kami sedangkan kamu tiap hari naik mobil mewah? Sedangkan kekayaanmu menggunung sementara kami hanya bisa mengurut dada dan mengencangkan ikat pinggang.(*)

Bukuku Akan Segera Terbit


SAYA akan mencatat hari ini sebagai hari yang terpenting dalam sejarah hidupku. Hari ini, proposal yang saya ajukan bersama teman-teman Respect untuk menerbitkan buku berjudul Menyibak Kabut di Keraton Buton, akhirnya disetujui. Setelah lama proses lobi, negosiasi, serta debat yang alot, akhirnya buku kami akan segera diterbitkan.

Jumlah duit yang dikucurkan Pemkot Bau-Bau tidak seberapa besar. Namun bukan uang yang kami cari. Sejak awal penerbitan buku ini, kami tidak berpikir materi yang kelak kami raup sebagai imbalan atas lahirnya sebuah karya tentang daerah ini. Kami berharap karya ini bisa menjadi salah satu bentuk pencapaian intelektualitas kami. Suatu bentuk prestasi yang kami torehkan dan belum pernah dilakukan generasi sebelum kami. Mungkin pernyataan ini agak angkuh, namun kamilah yang pertama memulai tradisi membuat buku di Tanah Buton.

Karya ini lahir karena didasari semangat dari generasi muda untuk menuliskan sendiri segala hal yang menyangkut tanah kelahirannya. Tulisan ini punya nilai tersendiri sebab dituliskan oleh putra asli Buton yang didalamnya berisi memori, refleksi, catatan atas kesaksian serta harapan terhadap daerahnya. Buku ini mengusung misi idealis yaitu menulis dan mencatat dengan semua pengetahuan lokal yang kami miliki demi menjerat setiap refleksi atas tanah kami. Kami bersemangat menulis sebab kami didera kekhawatiran melihat begitu banyaknya publikasi tentang Buton yang dihasilkan ilmuwan asing. Sebenarnya ini tidak masalah sebab mengangkat citra daerah ini. Namun sayangnya, banyak tulisan tersebut yang dibuat dengan hasrat kolonial yaitu menafsir Buton tidak dengan cara pandang Buton, melainkan dengan cara pandang orang luar yang sangat otoritatif.

Memang, sebelumnya ada beberapa buku tentang Buton. Misalnya karya JW Schoorl tentang Masyarakat dan Kebudayaan Buton, kemudian kamus Wolio Dictionary karya J Anceaux, serta Naval of the Perahu karya Southon. Ada juga buku karya Abdul Rahim Yunus yang judulnya Perkembangan Tasawuf di Tanah Buton. Semua karya tersebut diterbitkan di luar negeri yaitu Belanda dan dihasilkan oleh penulis yang bukan berasal dari Tanah Buton. Jika Schoorl dan Ancheaux berasal dari Belanda, maka Southon berasal dari Australia. Sedangkan Rahim Yunus sendiri berasal dari Sulawesi Selatan.

Beberapa penulis lokal sempat juga meramaikan khasanah karya tentang Buton seperti Laode Zaenu, Mulku Zahari, Budi Wahidin, hingga LA Muchir. Namun karya mereka tidak diterbitkan secara profesional dan tidak juga disebarkan secara luas. Karya mereka hanya dicetak secara stensilan dan hanya diedarkan di Buton saja. Mereka tidak mengedit dan mencetak karyanya dengan kualitas yang bagus, kemudian mendaftarkannya di Perpustakaan Nasional. Karya itu hanya beredar secara lokal dan tidak menyentuh banyak orang.

Namun karyaku bersama teman-teman akan sangat berbeda. Kami akan mencetaknya dengan kualitas yang sangat bagus pada satu percetakan di Jakarta. Kemudian, akan diberi kata pengantar oleh seorang profesor sejarah di Universitas Indonesia (UI). Tak hanya itu, sebagai penutup karya ini, akan ada catatan kritis dari seorang peneliti LIPI. Kesemua hal ini, menyebabkan kami kian semangat untuk menuntaskan karya ini. Kami sedang mencatat sejarah baru bagi dunia perbukuan dan pustaka di Tanah Buton. Kami berharap karya ini menjadi gerbong bagi lahirnya banyak karya-karya yang lain. Karya ini bisa menjadi pelecut lahirnya semangat besar pada diri kami untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Bisa menjadi kupu-kupu harapan yang kelak akan menerbangkan kami menggapai langit gagasan.(*)

24 Mei 2008

Pukul 13.17 wita




Gelar Sarjana dan Sejumput Kebanggaan


APA sih arti gelar sarjana? Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, barangkali gelar sarjana sudah bukan lagi sesuatu yang penting. Gelar itu tidak lagi mendatangkan getar tersendiri. Ribuan sarjana “dicetak” setiap tahunnya oleh ribuan universitas hingga lembaga sejenis pelatihan yang tersebar di mana-mana. Ribuan sarjana meramaikan pasar pencari kerja dan sibuk menawarkan dirinya ke berbagai penyedia lapangan kerja. Sebahagian besar terpental dan tidak tertampung kemudian tinggal di masyarakat, tanpa tahu harus berbuat apa. Ironis.

Pernahkah anda berpikir bagaimana menjadi sarjana di satu kampung atau daerah yang kecil dan boleh jadi tak tercatat dalam peta negeri ini? Sebuah kebanggaan. Sebuah kebahagiaan. Seakan-akan ada buntalan rezeki yang tiba-tiba jatuh dari langit hingga membuat hari-hari seakan berubah. Berhasil menjadi sarjana di satu daerah kecil adalah keberhasilan dalam mengangkat harkat dan derajat diri. Jika sebelumnya menempati lapis terbawah dari satu struktur sosial dan hidup dengan selalu membungkukkan badan pada yang lain, setelah menjadi sarjana hidup tiba-tiba berubah. Tumbuh rasa percaya diri serta keyakinan bahwa keluarga itu sudah bisa sejajar dengan yang lain.

Hari ini saya menyaksikan fenomena tersebut. Seorang keluarga di Ereke (Buton Utara) bernama Nani yang tinggal di rumahku, diwisuda hari ini. Ia berhasil mendapatkan gelar sarjana di bidang pendidikan matematika di Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) Bau-Bau. Mungkin, saya termasuk orang yang agak sinis melihat itu. Sebagai orang yang pernah wisuda di salah satu universitas bonafid yaitu Universitas Hasanuddin (Makassar), saya memandang persoalan wisuda selalu dengan pandangan yang biasa. Saya melihatnya sebagai sebuah ritual rutin yang digelar universitas dan tidak punya makna apa-apa selain dari sebuah pelepasan.

Namun bagi Nani dan keluarganya melihat ini dengan cara yang berbeda. Bagi mereka, wisuda adalah momentum yang sangat bermakna untuk menaikkan status dan kelas sosialnya. Ibu, nenek, serta adiknya sudah datang sejak dua minggu sebelumnya demi menghadiri acara hari ini. Sementara bapak dan seorang adiknya baru datang kemarin. Hari ini saya melihat bagaimana mereka berhias, serta mengenakan pakaian yang terbaik demi menghadiri acara wisuda. Sang bapak yang kesehariannya terbiasa mengenakan sarung yang lusuh, hari ini mengenakan jas yang sangat bagus.
Ia agak repot ketika harus memasang dasi sebab seumur-umur ini adalah pengalaman pertama baginya mengenakan dasi. Sementara ibunya mengenakan kebaya serta sanggul ala Jawa. Sang nenek juga tak mau ketinggalan mengenakan kebaya khusus yang nampaknya sengaja dibeli untuk hari ini. Adik-adiknya juga demikian. Mereka juga mengenakan pakaian yang baru demi menghadiri momen spesial ini. Seluruh anggota keluarga mereka berseri-seri. Bahagia selalu terpancar di wajah mereka. Mereka melangkah dengan tegap sebab satu langkah maju telah ditorehkan anggota keluarganya.

Saya teringat dengan seorang sepupu yang dulunya tinggal di rumahku yaitu Tiudi. Ia besar dan menghabiskan sebagian hari-harinya di kebun yang terletak di daerah Laasongka di Buton Utara. Seperti halnya keluarga besarnya, Tiudi tidak punya banyak pengalaman bertemu orang-orang sehinga selalu pemalu dalam setiap interaksinya. Namun ia berusaha keras untuk sekolah dan menuntaskan pendidikannya di Unidayan Bau-Bau. Saat diwisuda sebagai sarjana di bidang pendidikan, ayahnya memasang foto wisuda anaknya dalam ukuran besar di ruang tamu ruamhnya.

Waktu itu, saya agak heran dan sempat bertanya mengapa ia memasang foto itu dengan ukuran besar. Bapaknya Tiudi menjawab, “Foto ini sangat berharga. Dulunya kita selalu dipandang enteng dan diinjak-injak sama babinsa (militer yang tugas di desa). Tapi sejak ada foto ini, babinsa tidak berani lagi. Dia takut bodoh-bodohi kita lagi sebab ada anakku yang sarjana.” Mendengar kisahnya, saya tersentuh. Ternyata gelar sarjana sangat penting bagi mereka yang berada di strata bawah. Gelar itu sangat berharga bagi mereka yang terbiasa menjadi grass root, menjadi lapis terbawah dari struktur sosial dan pembagian kelas di masyarakat. Menggapai gelar sarjana adalah strategi untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining) dan sebagai alat negosiasi dalam arena kehidupan. Satu siasat untuk melepaskan diri dari proses marginalisasi atau peminggiran dari satu ranah sosial.(*)

17 Mei 2008
Pukul 09.26 wita

Betapa Anehnya Alasan Pemerintah Kita

BAHAN Bakar Minyak (BBM) akan segera dinaikkan. Pemimpin sibuk memberikan penjelasan, rakyat mulai menjerit karena harga-harga mulai naik, sedangkan mahasiswa mulai turun ke jalan dan meneriakkan penolakan. Media massa penuh dengan berita seputar kenaikan ini. Setiap hari, media melaporkan perkembangan isu serta bagaimana reaksi masyarakat. Semua memberikan reaksi baik pro dan kontra. Kesemua reaksi itu bermuara pada satu hal yaitu sebuah keterkejutan.


Yah, sebuah keterkejutan. Bagi kaum yang berpunya, hal ini tidak seberapa mengejutkan. Tapi, bagaimana dengan mereka yang keuangannya pas-pasan? Tentu saja, reaksinya pasti berbeda. Wacana kenaikan BBM membuat banyak orang mulai panik dan memikirkan ulang perencanaan keuangannya. Dalam khasanah teori komunikasi, wacana ini ibarat jarum hypodermik yang kemudian menimbulkan efek berupa keterkejutan sosial. Masyarakat seakan semaput dan panik sebab kenaikan itu pasti berdampak bagi kehiduapnnya.

Jika diperhatikan dengan seksama, ada dua arus besar wacana yang tengah bertarung. Yang pertama adalah wacana mendukung kenaikan BBM sedang yang satunya adalah penolakan kenaikan BBM. Keduanya saling berebut porsi pemberitaan media massa. Kedua wacana ini mencuat diiringi dengan sejumlah bukti-bukti yang memperkuat alasan-alasan mereka. Alasan yang menolak kenaikan BBM sangatlah simpel sebab kenaikan itu bisa memicu kenaikan harga di pasar, kemudian memukul kemampuan daya beli masyarakat banyak. Ketika BBM naik, maka nelayan di laut akan susah melaut karena biaya produksinya akan jauh melambung di banding harga tangkapan. Keuntungan seorang pedagang akan semakin berkurang karena biaya produksi yang kian meninggi.

Wacana yang kedua adalah wacana yang mendukung kenaikan BBM. Ini banyak disuarakan pemerintah serta sejumlah ekonom yang banyak memberikan analisis untuk memperkuat rencana kenaikan tersebut. Setiap kali ditanya tentang apa alasannya, pemerintah lalu mengeluarkan sejumlah analisis yang rumit-rumit. Mulai dari kenaikan harga minyak di pasar dunia, beban keuangan negara, hingga kesulitan pemerintah menyusun belanja anggaran. Saya tak tahu secara detail apa sesungguhnya alasan pemerintah. Setiap mendengar penjelasan pemerintah, saya selalu tidak mengerti. Penjelasan itu terlampau rasional dan mengangkat sesuatu yang bagiku sangat mengawang seakan-akan berada di langit.

Saat dijelaskan tentang beban keuangan negara, saya tak bisa mengerti. Penjelasannya banyak menggunakan istilah teknis ekonomis yang sangat rumit. Alasan yang “berat-berat” seperti itu seakan menjadi strategi pemerintah untuk menutupi proses yang sedang berlangsung. Bahasa yang rumit itu menjadi cermin bekerjanya kuasa pengetahuan. Melalui penjelasan dan istilah yang berat itu, masyarakat dipaksa untuk menerima begitu saja bahwa seolah-olah kenikan itu adalah keniscayaan. Dengan bahasa yang rumit –kadang ditunjang dengan berbagai data statistik yang juga sama membingungkannya—pemerintah seakan hendak mengatakan bahwa wacana ini adalah wacana akademis yang hanya bisa dipahami segelintir orang, sedangkan rakyat kebanyakan tidak usah protes sebab mereka pasti tidak paham apa yang sedang terjadi. Bahasa itu mempertegas kuasa pengetahuan yang hanya dimiliki pemerintah, sementara bahasa rakyat yang simpel itu seakan diabaikan begitu saja sebab dianggap tidak penting. Bahasa rakyat seakan terlalu sederhana sehingga tidak layak menjadi bagian dari diskursus pemerintah. Antara bahasa pemerintah dan bahasa rakyat seakan terbentang jurang menganga. Pemerintah dengan bahasa “susah” sedangkan rakyat dengan bahasa yang juga berkisah tentang kesusahan hidupnya.

Lebih aneh lagi karena penjelasan ini disampaikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam pidatonya beberapa hari lalu di televisi, ia mengajak rakyat memahami sikap pemerintah yang sekarang ini sedang kesulitan. Lagi-lagi ia menjelaskan bagaimana harga minyak di pasar dunia serta beban keuangan negara. Apakah rakyat paham dengan itu? Pastilah tidak. Yang bisa memahami penjelasan Presiden SBY adalah mereka yang punya basic ilmu ekonomi yang kuat. Jika tidak, siap-siaplah untuk berkerut kening. Lebih aneh lagi, Presiden SBY meminta rakyat agar memahami alasan pemerintah. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin rakyat membangun sebuah empati kepada pemerntah kalau duduk perkara dari persoalan ini saja tidak dipahami?


Bingung Stress Panik

SAYA bingung. Mestinya saya sudah harus mulai menyusun proposal penelitian. Namun hingga detik saya menuliskan catatan ini, belum ada satu katapun yang bisa saya hasilkan. Sementara waktu terus saja bergulir dan belum ada progress sedikitpun. Saya mulai panik. Kalau keadaan terus seperti ini, maka sama saja dengan berjalan mundur dan bisa-bisa tertinggal kereta.

Saya menghitung waktu. Sudah beberapa bulan saya mengambil masa cuti akademik, dengan harapan agar lebih bisa mematangkan rencana penelitianku. Namun banyak kendala yang sebelumnya tidak saya perhatikan, namun tiba-tiba menderaku. Misalnya saja, saya lupa memperhitungkan fakta bahwa di Makassar maupun Buton, tidak tersedia banyak teks buku berbahasa asing, sehingga ini menjadi masalah besar. Kalau cuma mengandalkan buku berbahasa Indonesia, maka literaturnya sangat terbatas dan susah untuk menyusun posisi rencana penelitian. Mestinya, saat di Jakarta saya sudah menginventarisir sejumlah buku yang saya butuhkan. Misalnya The Island of History dari Marshall Sahlins, The Social History of Indonesia Town dari Clifford Geertz, serta sejumlah buku lainnya.

Hal realistis yang bisa saya lakukan saat ini adalah memastikan apa tema yang kemudian saya garap nantinya. Ini juga tidak mudah. Hingga saat ini saya masih bimbang hendak memilih yang mana. Ada dua tema yang sedang kupertimbngkan. Pertama adalah peristiwa PKI di Buton tahun 1969. Peristiwa ini menarik sebab punya dinamika yang kompleks, namun belum pernah tercatat dalam berbagai khasanah riset di Indonesia. Saya menemukan ada dinamika lokal, nasional, dan internasional yang saling berpilin dan mempengaruhi dan punya pengaruh besar pada satu peristiwa. Dan ini menurutku sangat menarik untuk dituliskan. Pertimbangan lainnya adalah saya menemukan kenyataan bahwa di Indonesia, setiap orang berbicara tentang peristiwa PKI, maka pembicaraan selalu mengarah ke Jawa Tengah dan Bali. Cara berpikir seperti ini cenderung kuantitatif sebab hanya menghitung korban dengan menggunakan parameter angka-angka statistik.

Tema kedua yang menarik minatku adalah bahasan tentang etnografi rumah sakit. Bagiku ini menantang sebab bisa menyibak kabut yang lama bersemayam di benak orang-orang tentang apa dan bagaimana rumah sakit. Jika dulunya rumah sakit dianggap sebagai rumah malaikat yang selalu menawarkan pertolongan, maka pandangan itu boleh jadi keliru sebab rumah sakit telansformasi ke dalam iklim kapitalis sehingga setiap penyakit bisa dilihat sebagai modal yang dikeruk demi meningkatkan benefit (keuntungan) serta prestasi rumah sakit tersebut. Saya bermaksud mengambil setting penelitian Rumah Sakit di Bau-Bau sebab rumah sakit ini termasuk satu dari empat rumah sakit paling korup di Indonesia. Kasusnya sekarang tengah ditangani kejaksaaan. Saya pikir akan sangat menarik jika menelaah kekuatan-kekuatan yang menyebabkan ini terjadi. Mungkin di dalam rumah sakit ada sebuah dunia yang saling kait-mengait dan bekerjasama mengeruk keuntungan dengan cara memanfaatkan penyakit masyarakat.

Dua tema inilah yang sedang saya pertimbangkan untuk diteliti. Mungkin perlu shalat tahajjud atau kunjungan ke kuburan nenek moyang agar bisa dibukakan mana jalan terbaik untuk dipilih.(*)


Prosesi Pengantin Wanita


Berikut ini, saya akan menampilkan sejumlah kegiatan yang dilalui adikku sehari dan saat pernikahannya. Foto ini saya ambil sehari jelang pernikahan, hingga saat pernikahannya. Saya menyusun gambar ini secara kronologis. Perhatikan anak panahnya yang menggambarkan urutan kejadian yang dialami seorang pengantin perempuan.


Akhirnya Adikku Atun Menikah



HARI ini, adikku Atun menikah dengan mengenakan pakaian adat Buton. Ia sungguh cantik ketika mengenakan baju Kombo Wolio dan rambutnya digelung kemudian di sanggul. Saya melihatnya sungguh anggun, seperti penampilan seorang gadis Thailand yang bersiap-siap menari. Suaminya berasal dari Pulau Tomia di jajaran Kepulauan Wakatobi. Pernikahan ini ibarat reuni bagi keluarga Tomia serta keluargaku yang berasal dari Wolio (Kota Bau-Bau) dan Buton Utara.

Seluruh keluargaku hadir menyaksikan acara ini. Mulai dari Ismet yang datang dari Kolaka, Tiah dan Kak Syam dari Makassar, hingga saya sendiri ikut hadir. Kemudian, beberapa keluargaku dari Ereke (Buton Utara) serta keluargaku di Wameo. Semuanya hadir di rumahku demi menyaksikan pernikahan dari adik bungsuku ini.

Hari ini, saya menyaksikan Atun duduk di pelaminan bersama suaminya dengan mengenakan pakaian adat kebesaran. Dulunya, pakaian itu berwarna hitam, namun belakangan ini sudah ada modifikasi sehingga ada juga yang berwarna biru. Saat duduk di pelaminan itu, mereka bagikan raja dan ratu sehari. Mereka menjadi titik sentral dari ratusan pasang mata dari mereka yang menghadiri pernikahan tersebut. Semua hadir memberikan selamat, cium pipi kiri pipi kanan, sembari membisikkan doa agar kelak diberikan rezeki serta harapan membangun bahtera mahligai pernikahan hingga menggapai pantai kebahagiaan.

Atun dan Acan (suaminya) duduk dan diapit oleh Ibu bersama kakakku Ismet serta orang tua Acan. Ibuku juga mengenakan pakaian adat Buton, sedang Ismet mengenakan jas. Mereka terlihat sangat gagah dan anggun. Saya melihat mereka dengan tatap bahagia sekaligus ada kesedihan yang leintas di benakku. Saya membayangkan almarhum bapakku. Di tengah hentakan musik serta ucapan selamat dari banyak orang, saya selalu membayangkan bapak. Apakah ia sedang menyaksikan peristiwa ini? Apakah gerangan yang dirasakannya? Apakah ia bahagia sebahagia ibuku yang duduk di dekat pelaminan sana dan senantiasa tersenyum? Saya hanya bisa mereka. Masih terlintas di benakku kalimatnya bahwa momen menikahkan anak adalah momen yang paling bahagia bagi seorang ayah. Sayang sekali, ia tidak sempat menuai kebahagiaan itu ketika maut akhirnya menjauhkannya dari titik bahagia tersebut. Tetapi, saya selalu berharap agar ia jauh lebih bahagia di alam sana. Semoga.

Kembali ke soal pernikahan adikku. Pernikahan ini cukup megah dan diadakan di satu gedung yang sengaja di sewa demi acara ini. Tak hanya menyewa gedung, ibuku juga menyewa catering untuk menyediakan makanan demi menggelar acara ini. Meski biayanya besar, namun pekerjaan besar yaitu memasak makanan itu bisa dilimphkan pada jasa catering. Biayanya cukup mahal sebab catering itu tak hanya menyiapkan makanan, tetapi juga pelaminan, dekorasi, pakaian pengantin, hingga jasa salon untuk merias pengantin dan orang tuanya. Jumlah total yang dikeluarkan ibuku sekitar Rp 20 juta. Sebuah jumlah yang cukup besar demi menggerakkan acara pernikahan yang berjalan laksana sebuah industri besar. Jumlah itu belum seberapa, sebab ada juga biaya yang dikeluarkan untuk menyewa electone, penyanyi serta dokumentasi audiovisual baik fotografi maupun gambar bergerak. Total biaya yang dikeluarkan bisa dua kali lipat dari jumlah yang dibayarkan untuk catering dan dekorasi.

Yah, inilah pernikahan sebagai industri yang melibatkan begitu banyak profesi dan kepentingan. Sebuah industri besar digerakkan oleh beragam profesi dan spesialisasi. Sebuah industri akan didukung beragam komponen serta pekerjaan yang saling kait-mengait hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam hal pernikahan adikku, beragam profesi itu sudah mulai nampak sejak pengurusan dokumen nikah di KUA, penghulu, bisa (dukun yang mendampingi perempuan dan membacakan berbagai mantra), duta besar masing-masing keluarga, catering, penyanyi, jasa dekorasi, hingga jasa syuting ataupun antar barang dan undangan. Semuanya saling kait-mengait dan menggerakkan mesin industri pernikahan. Jika pernikahan di Buton serumit ini, maka pastilah pernikahan di Bugis akan jauh lebih rumit sebab punya jaringan kekeluargaan yang kuat. Makanya, pernikahan menjadi arena untuk mempertegas struktur dan kelas di masyarakat.

Di luar pandangan tentang perkawinan sebagai industri itu, saya juga menganggap bahwa pernikahan tidak sekedar menyatukan ikatan dua anak manusia, namun pernikahan adalah arena untuk mempertautkan berbagai jaringan sosial. Melalui pernikahan, hubungan-hubungan sosial yang dalam kehidupan sehari-hari boleh jadi tercerai-berai, kini direkatkan kembali. Saya merasakan hal tersebut. Hubungan dengan tetangga yang tidak terlalu dekat, tiba-tiba menjadi sangat dekat, sebab semua pihak sama-sama merasa punya andil untuk menyukseskan acara pernikahan tersebut. Jelang pernikahan, banyak tetangga yang datang ke rumah untuk membantu kerja di dapur serta menyiapkan piring untuk dipakai pada saat kegiatan. Maklumlah, jumlah undangan yang beredar sekitar 400 undangan. Artinya, jumlah yang hadir diperkirakan mencapai 800 orang. Ternyata, pada hari H, jumlah itu membeludak hingga sekitar 1.000 orang. Sebanyak 1.000 orang yang berasal dari keluarga dekat ataupun teman-teman dan mereka yang pernah berhubungan pada keluargaku, tiba-tiba kumpul dalam satu gedung dan memberikan selamat. Sebanyak 1.000 orang tersebut memberikan amplop sumbangan dan ada namanya tertera di situ. Semuanya kian memperkukuh jaringan sosial yang sebelumnya sudah dibangun.(*)

Bau-Bau, 7 Mei 2008


Ibuku Berbaju Adat


BETAPA cantiknya Ibuku ketika mengenakan pakaian adat Buton. Baju itu berlapis-lapis kain dan bagian atasnya harus dipegang sebab bisa jatuh. Menurut adat, ia akan memakai sanggul berupa kain yang mengikat rambutnya. Namun belakangan ini, sudah ada modofikasi. Jika mengenakan jilbab, maka aksesori sanggul bisa diabaikan. Kakakku Tiah, sengaja membelikan jilbab berwarna biru di Kota Makassar. Cantik khan?


Posuo Jelang Pernikahan


POSUO adalah ritual yang dijalani seorang gadis Buton ketika mencapai akil baligh (kedewasaan). Secara harfiah, posuo bisa bermakna pingitan. Seorang gadis yang menjalani posuo dilarang meninggalkan rumah selama beberapa hari, kemudian mendapatkan wejangan-wejangan dari bisa (perempuan tua yang dianggap berilmu dan dan punya kemampuan magis).

Ritual ini dilakukan ketika seorang gadis beranjak dewasa yaitu berumur sekitar belasan tahun. Dikarenakan adikku tidak pernah menjalani posuo di masa remaja, maka ia harus menjalani posuo sehari menjelang pernikahannya. Ritualnya cukup banyak. Mulai dari mandi kembang, dipakaikan sarung Buton kemudian pakaian berupa kain warna putih, sambil dibacakan doa.(*)


Naga Hijau di Pulau Buton


HAMPIR semua atap rumah panggung dan gedung-gedung di Pulau Buton, bisa ditemukan pahatan nenas serta naga kecil di belakangnya. Nenas merupakan simbol Kesultanan Wolio yang punya sejarah yang panjang. Sedangkan Naga merupakan hewan mistis yang sedemikian populer dan bisa ditemukan di berbagai sudut kota. Bahkan di Pantai Kamali –yang terletak di Kota Bau-Bau--, terdapat patung naga berwarna hijau yang sangat besar, sebagaimana yang tampak pada gambar di atas.

Awalnya, saya mengira naga itu hanya populer di Bau-Bau saja. Namun, setelah saya berkunjung di ibukota Kabupaten Buton di Pasarwajo, ternyata naga itu juga terpasang di semua rumah. Saat singgah ke kantor bupati, naga juga terpasang di atap gedung. Dan di dalam gedung, terdapat dua lukisan naga yang sangat besar di dekat pintu masuk. Demikian juga di Kabupaten Wakatobi.

Berdasarkan wawancara saya dengan sejumlah orang, perihal naga ini dianggap sebagai link atau garis keterkaitan antara Buton dengan imperium Cina di masa lalu. Naga dikenal sebagai hewan mitis yang tidak pernah ada, namun seakan pernah hidup dalam folklor atau dongeng bangsa Cina. Keberadaan naga di Buton bisa tafsir bahwa di masa lalu, pernah terjadi kontak atau dialog dengan kebudayaan Cina melalui kehadiran sejumlah tokoh asal Cina di tanah Buton.

Misalnya adalah pria yang dikenal sebagai Dungku Changia. Tokoh ini sangat penting sebab punya andil besar pada terbentuknya Kerajaan Buton, sekitar 500 tahun silam. Menurut sejarawan lokal di Buton, tokoh ini merupakan salah seorang dari tiga laksamana Mongol yang datang ke Tanah Jawa untuk menghukum Raja Kertanegara, Raja Singosari yang terakhir. Dikisahkan bahwa pada masa itu, Kertenegara tidak mau tunduk pada kekuasaan Mongol dan melukai utusan Mongol bernama Meng Chi yang datang menghadap. Penghinaan ini dibalas Mongol dengan mengirimkan ribuan armada perang untuk menghukum Kertanegara, dan salah satu dari tiga laksamana yang memimpin armada itu adalah Dungku Changia atau Kau Shing.

Sayangnya, setiba di jawa, ternyata pemerintahan Kertanegara sudah berakhir sebab dikudeta oleh Jayakatwang dari Kediri. Seorang pria bernama Raden Wijaya berhasil memperalat bangsa Mongo, tersebut untuk menyerang Jayakatwang, kemudian ia juga berhasil memperdaya pasukan Mongol itu sehingga berhasil dikalahkan dengan cara yang licik. Ini adalah versi sejarah yang sangat populer di Indonesia. Namun, sejarah hanya mencatat bagaimana Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit dan mendapatkan kejayaan di Nusantara. Sejarah tak punya cerita bagaimana selanjutnya nasib ketiga laksamana yang memimpin bala tentara Mongol tersebut.

Nah, orang Buton punya cerita bagaimana kelanjutan kisah tersebut. Bersama pengiringnya, Kau Shing melarikan diri dan tak hendak kembali ke Mongol. Dia lalu singgah ke Tanah Buton dan kemudian mengaku sebagai Dungku Cangia. Banyak sejarawan lokal yang menduga bahwa ikhwal naga ini berawal dari kehadiran Dungku Cangia di Tanah Buton.

Namun, itu hanyalah satu versi sejarah yang paling populer. Saya juga menemukan versi lain di sini. Naga populer bernama Lawero itu pernah hidup di Buton pada suatu masa. Kata sejarawan itu, Lawero tidak sama dengan naga, namun bentuknya mirip dengan naga. Lawero berbentuk seperti ular, namun punya surai atau semacam rumbai-rumbai di badannya. Hewan itu berukuran kecil seperti jari tangan, dan biasa ditemukan di pohon libo (saya tidak tahu apa nama latin pohon ini, namun waktu kecil buahnya sering saya jadikan roda untuk mobil-mobilan).

Lawero bisa berkok seperti ayam. Dulunya, Lawero bisa ditemukan di Buton, namun belakangan ini sudah lenyap. Menurut versi yang saya temukan, gambar Lawero yang paling mendekati kenyataan adalah patung yang dulunya dipasang di atap rumah anjungan Sulawesi Tenggara di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Sayangnya, pada masa Gubernur Laode Kaimuddin, rumah tersebut sudah dibongkar dan diganti dengan rumah adat lainnya. Menurut sejarawan yang saya wawancarai tersebut, replika yang sekarang ini paling mendekati kenyataan adalah patung Lawero di atap Kantor Bupati Buton di Pasarwajo. Sayangnya, bentuk hiasan di kepalanya berbentuk seperti jambul ayam. Padahal, sesungguhnya tidak demikian. Yah, itulah mitos. Selalu kontroversial.(*)