Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Psikologi Uang

 


Di akhir pekan, saya membaca buku terjemahan The Psychology of Money yang ditulis Morgan Housel. Tema buku ini tidak biasa, sebab membahas banyak sisi tentang uang. Biasanya, kita sungkan saat membahas uang, padahal kita sangat2 butuh.

Di jaman now, uang seakan menjadi agama baru. Sebab dia dikejar dengan segala daya, dicari dengan sekuat tenaga, serta dikejar mati-matian. Suka atau tidak suka, kebanyakan manusia modern menjalani hidup semata-mata untuk mengejar uang, demi status sosial serta angan2 hidup yang lebih baik.

Namun, buku ini tidak berisi kiat, motivasi, dan strategi mendapatkan uang secepat-cepatnya. Isinya lebih ke arah pemahaman psikologi mengenai uang. Kita diajak mengenali siapa-siapa orang terkaya di dunia, serta apa yang mereka lakukan untuk mencapai tahapan itu.

Sejauh ini, saya baru membaca separuh. Isinya cukup memikat. Saya menyukai uraian di bab 5 berjudul Menjadi Kaya versus Tetap Kaya. Selama ini, kita hanya fokus pada bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Padahal, kata penulisnya, mendapat uang dan mempertahankan uang adalah dua hal berbeda.

Untuk mendapat uang, kita butuh keberanian untuk mengambil risiko, sikap optimis dan rasa percaya diri yang tinggi. Dalam banyak kelas bisnis, tema bagaimana mendapat uang selalu menjadi bagian penting.

Sedangkan untuk mempertahankan uang, kita membutuhkan sikap berbeda. Kita butuh kerendah-hatian dan rasa takut kehilangan apa yang sudah didapat. Kita butuh sikap hemat dan kesadaran bahwa apa yang didapat hari ini adalah keberuntungan semata, sehingga keberhasilan masa lalu tidak bisa diharapkan untuk berulang.

Michael Moritz, miliader pemimpin Sequoia Capital, pernah ditanya mengapa perusahaannya bertahan selama empat dasawarsa. Jawabannya adalah dia dan seluruh staf perusahannya selalu takut gulung tikar. Dia berasumsi kalau rejeki hari itu karena keberuntungan, dan besok belum tentu seberuntung itu. Makanya, dia menumpuk dan menahan uang itu.

Kuncinya adalah bagaimana bertahan. Bukan soal otak dan kepintaran, tapi kemampuan bertahan untuk waktu lama, kemampuan untuk menjaga dan mengelola uang dengan baik.

Banyak orang salah menilai Waren Buffet, salah satu manusia terkaya di dunia. Orang2 hanya melihat kekayaannya, tanpa melihat bagaimana pria itu menahan uangnya dan berinvestasi selama bertahun-tahun. Dia berinvestasi sejak umur 10 tahun hingga 89 tahun.

Kisah tentang Warren Buffet dan sahabatnya Charlie Munger sering dibahas sebagai para investor legendaris. Rupanya ada satu sosok yang selalu bersama mereka, yakni Rick Guerin. Ketiganya memulai karier bersama, dan menggapai kesuksesan awal bersama. Namun, nama Rick perlahan menghilang. Dia hanya bertahan beberapa tahun, kemudian bangkrut.

Kata Warren Bufett: “Saya dan Charlie selalu tahu bahwa kami bakal jadi luar biasa kaya. Kami tak buru-buru ingin kaya. Kami tahu itu akan terjadi. Rick sama pintarnya dengan kami, tapi dia buru-buru.”

Mereka bertiga tahu bagaimana kiat menjadi kaya. Tapi Rick tidak sabaran. Dia menjual sahamnya demi cuan yang lebih besar. Hingga di satu titik, dia bangkrut.

Sementara Warren Buffett tetap menahan sahamnya selama bertahun-tahun, melalui berbagai krisis dan perang dalam perekenomian Amerika. Kini, aset yang tadinya berupa tunas, sudah menjadi pohon rindang dan membuatnya kaya-raya.

Saya rasa pelajaran penting di sini adalah bagaimana bisa menjaga uang. Pantas saja banyak orang super kaya, yang gaya hidupnya biasa saja. Mereka bisa menaklukan kebutuhannya, dan hanya fokus pada apa yang penting.

Saya ingat masyarakat Gu di Buton Tengah. Mereka kebanyakan pedagang yang menguasai pasar-pasar di Sulawesi Tenggara. Mereka sangat religius dan selalu menutup toko saat jam salat tiba, lalu berhamburan ke masjid.

Religiusitas itu menjadi kekuatan bagi mereka untuk menaklukkan uang. Mereka tidak terjebak dengan gaya hidup yang menghamburkan uang. Religiusitas dan ketaatan itu menjadi tiket bagi mereka untuk dipercaya para pedagang dan pemodal besar. Dengan cara itu jaringan sosial terbangun, modal bergerak, hingga mereka sukses dan kaya-raya.

Mungkin ini pula kelemahan saya ketika memegang uang. Saya membayangkan betapa tidak mudahnya menahan uang saat kita mampu untuk membeli segala hal.

Jika saya dalam posisi itu, barangkali saya akan lebih banyak di hotel mewah, mencicipi wine mahal, lalu setiap malam lihat tari telanjang. Mungkin pula saya akan lebih banyak foya-foya, pamer-pamer kekayaan, lalu tidur nyenyak di tengah pelukan manja.

Jika kekayaan belum habis juga, saya akan maju sebagai calon kepala daerah. Cukup sewa konsultan untuk membuat pencitraan kalau saya seorang religius yang suka hambur-hambur uang, lalu sering menyumbang sana-sini.

Untunglah saya belum kaya. Waktu saya lebih banyak habis untuk mengurus kucing. Bagaimana dengan Anda?


Gagalnya “Jebakan Betmen” Biden untuk Jokowi dkk


Biden bersama pemimpin ASEAN

SENYUM tersungging di wajah Joe Biden, tuan rumah pertemuan. Dia mengundang semua kepala negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) untuk menghadiri KTT US-ASEAN di Washington DC, tanggal 12-13 Mei 2022.

Setelah berbasa-basi, dia gantian berpose dengan masing-masing kepala negara. Ada senyum, juga jabat hangat. Padahal, di balik layar, Amerika Serikat gagal untuk menjalankan agendanya.

Presiden Joe Biden berkata, "Hubungan kami dengan Anda adalah masa depan, dalam beberapa tahun dan dekade mendatang." Wakil Presiden Kamala Harris menambahkan bahwa "bersama-sama kita akan menjaga dari ancaman terhadap aturan dan norma internasional."

Pihak AS tidak secara terbuka menyebut China, tetapi opini publik umumnya percaya bahwa ketika AS terlibat dalam diplomasi multilateral saat ini, seringkali menjadikan China sebagai "protagonis yang tidak hadir".

Sejatinya, pertemuan itu diniatkan menjadi “jebakan betmen.” Paman Sam ingin menggiring pemimpin ASEAN untuk dua agenda besar. Pertama, mengutuk tindakan Russia. Kedua, menjauhi China. Yang terjadi, pemimpin Asia Tenggara kompak untuk menolak dua agenda itu. Mereka semua tahu kalau Paman Sam ingin jadikan mereka bumper dan alat untuk melawan China.

Pemimpin ASEAN jelas-jelas menolak. Selama puluhan tahun, AS hanya sibuk di Timur Tengah. Saat itulah China mengisi kekosongan dan membantu negara-negara ASEAN. Di tahun 2021, total perdagangan ASEAN dengan China telah menyentuh angka 878.2 juta dollar AS. Sedangkan perdagangan ASEAN dan Amerika Serikat hanya menyentuh angka 362 juta dollar AS.

Lihat saja komentar para pemimpin ASEAN.  Perdana Menteri Kamboja Samdech Techo Hun Sen, menjelaskan: "Kami tidak harus memilih antara AS dan China."

Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh mengatakan: "Antara kemerdekaan dan ketergantungan, pilihan kami selalu kemerdekaan. Antara negosiasi dan konfrontasi, kami memilih negosiasi. Antara dialog dan konflik, kami memilih dialog. Dan antara perdamaian dan perang, kami memilih perdamaian. Antara kerja sama dan persaingan, kami memilih kerja sama."

Sedangkan Presiden Indonesia, Jokowi, yang kini menjabat sebagai pemimpin G-20 mengatakan, "Indonesia berharap KTT khusus ini akan menghasilkan kemitraan yang dapat berkontribusi pada perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan kawasan." Indonesia adalah pemain utama dan pengendali orkestrasi di ASEAN.

Ada dugaan dari diplomat Amerika kalau Jokowi yang mengatur suara pemimpin ASEAN. Di pertemuan itu, semua pemimpin ASEAN memberi pernyataan normatif.

Sejak pertemuan belum digelar, mereka sudah menyampaikan sikapnya. Myanmar jelas-jelas mendukung Rusia. Vietnam dan Laos, yang memiliki hubungan kuat dengan Moskow sejak era Soviet, abstain dalam pemungutan suara Majelis Umum PBB yang menegur Rusia.

Indonesia dan Malaysia menolak untuk mengutuk Russia dalam sidang PBB. Hanya Singapura yang mendukung. Itu pun diambil berdasar kekhawatiran karena negeri itu berada di tengah negara besar. Jika tidak dukung Ukraina, ke depannya, bisa jadi negara besar yang dengan mudahnya mencaplok negara kecil itu.

Negara-negara ASEAN lebih prihatin atas kenaikan biaya minyak, gas, biji-bijian dan pupuk akibat konflik di Ukraina dan menyerukan solusi diplomatik untuk krisis tersebut.

Strategi Indo-Pasifik dibangun Amerika Serikat atas premis keamanan dan diplomasi koersif. Biden gagal paham kalau pemimpin Asean lebih tertarik untuk berdagang, ketimbang berperang. Pemimpin ASEAN lebih tertarik untuk mengejar kemakmuran dan perdamaian ketimbang perang dan mengutuk negara lain.


Kartun di Global Times yang mengolok posisi Biden ke ASEAN


Pertemuan itu menjadi olok-olok di media China. Kartun yang ditampilkan Global Times, media berbasis di China, adalah Biden menaiki satu tank mogok dan belepotan oli bertulis sanksi. Tank itu menuju China. Di belakang tank, ada bus berisi pemimpin Asean. Biden berharap bus mendorong tank, namun penumpang diam-diam saja.

Kehati-hatian negara ASEAN itu wajar. Tahun ini menandai peringatan 45 tahun Hubungan Dialog ASEAN-AS. Dari sudut pandang apa pun, hubungan antara kedua belah pihak hampir tidak dapat digambarkan sebagai "ideal".

Dalam pertemuan di Washington, tiga negara ASEAN menolak untuk memenuhi permintaan AS agar mengeluarkan Russia dalam pertemuan internasional. Tiga negara itu adalah Indonesia, yang sebentar lagi akan menggelar KTT G-20, Kamboja yang akan menggelar KTT Asia Timur, dan  Thailand yang akan menggelar APEC.

Kampanye Amerika tentang perang Russia vs Ukraina sebagai perang antara demokrasi versus otoritarianisme tidak akan laku di ASEAN. Sebab hanya Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang menerapkan demokrasi. Lainnya menerapkan otoritarianisme dalam berbagai bentuk.

Negara-negara ASEAN tidak menginginkan tatanan dunia bipolar lagi. Mereka juga tidak ingin terjebak dalam perangkap persaingan AS-China. Selain itu, Rusia adalah salah satu negara langka yang menawarkan ruang bagi ASEAN untuk menavigasi hubungan AS-China.

Kartu terakhir yang ditawarkan Biden dalam KTT di Washington itu adalah menawarkan bantuan senilai 150 juta dollar AS yang diumumkan secara terbuka. Tapi, lagi-lagi bantuan itu malah diejek publik internasional. JUmlahnya tidak sebanding dengan bantuan untuk Ukraina senilai 40 miliar dollar AS.

Selain itu, sebanyak 60 juta dollar dari total 150 juta dollar akan digunakan untuk membantu mitra AS dalam mempromosikan pertahanan maritim. Washington berbicara tentang bagaimana mereka ingin membantu anggota ASEAN mengembangkan energi bersih, mempromosikan pendidikan dan memerangi pandemi, tetapi sebenarnya masih berfokus pada "keamanan" untuk "melawan pengaruh China."

Tidak heran seorang pejabat Singapura berkata kepada orang Amerika: “Anda cenderung mendekati kawasan dengan satu fokus, yaitu keamanan, tetapi orang Asia hidup dengan perdagangan.”

BACA: Langkah Catur Vladimir Putin


Di Asia Tenggara, Amerika kian melemah. Biden tidak punya strategi ekonomi dan perdagangan yang kuat untuk melawan pengaruh China yang meningkat di kawasan itu. Administrasi Biden menolak untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas baru. Dengan meningkatnya sentimen proteksionis, membuka akses pasar Amerika dipandang sebagai bahaya politik.

Sebaliknya, ASEAN menikmati opsi perdagangan bebas. Saat ini sedang menegosiasikan FTA dengan Kanada, juga  penandatanganan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP) dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). China ikut menjadi bagian dari kesepakatan ini sehingga lebih terintegrasi dengan ASEAN.

Amerika tertinggal jauh di belakang China dalam investasi infrastruktur. Washington telah melakukan inisiatif Membangun Kembali Dunia yang Lebih Baik untuk melawan Inisiatif Sabuk dan Jalan Beijing, tetapi itu tetap dalam kata-kata.

Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik, yang diumumkan pada bulan Februari sebagai bagian dari strategi Indo-Pasifik AS, sepertinya tidak akan merayu para pemimpin ASEAN. Intinya, bagi negara-negara ASEAN, pasar yang lebih besar sejauh ini adalah China. Mereka tidak akan mau membangun rantai pasok yang sepenuhnya terpisah dari China.

Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengatakan bahwa Asia Tenggara “tidak ingin memilih” antara China dan AS. Memang, ASEAN berusaha untuk menjaga hubungan positif dengan Washington dan Beijing.

Amerika membangun strategi Indo-Pasifik melihat perkembangan kawasan 'bebas' dan 'terbuka' yang didukung oleh aliansi dan kemitraan yang kuat. Amerika membentuk Quad untuk melawan kebangkitan ekonomi China. Namun ASEAN tidak berhadapan langsung dengan Quad.

Di Laut China Selatan, KTT Washington akan membuat suara-suara tentang penegakan hukum internasional, Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan penyelesaian sengketa secara damai. Namun, Amerika terlihat hanya mengelola itu sebagai isu dan senjata politik.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kemenangan Ferdinand Marcos Jr sebagai presiden Filipina berikutnya. Pasangannya Sara Duterte adalah putri presiden yang akan keluar, Rodrigo Duterte. Marcos Jr akan memainkan posisi tengah dari Beijing dan Washington.

Dia berencana menolak upaya AS untuk meningkatkan ketegangan di Laut China Selatan, dan memilih untuk bekerja dengan Beijing di sengketa wilayah dan menjaga saluran komunikasi tingkat tinggi tetap terbuka.

Marcos Jr. telah berjanji untuk menandatangani kesepakatan bilateral dengan China untuk menyelesaikan masalah Laut China Selatan. Pesan ucapan selamat Xi Jinping kepada Marcos menunjukkan bahwa Beijing tampaknya merasakan peluang untuk mengatur ulang keseimbangan hubungan dengan Manila.

Dapat dibayangkan, jika Filipina dan China masuk ke dalam kerja sama yang lebih dalam serta akhirnya menyelesaikan masalah Laut China Selatan, itu akan mengguncang Asia-Pasifik, melemahkan upaya AS untuk memiliterisasi kawasan Asia Tenggara dan membuat strategi Indo-Pasifik Biden menjadi usang. .

Menariknya, Filipina, merupakan sekutu regional terdekat AS secara historis. Filipina melewatkan KTT Washington sebab ada transisi politik di Manila. Selama 6 tahun masa kepresidenannya, Duterte tidak pernah sekalipun mengunjungi AS.

Di Asia Tenggara, kita melihat Elang mulai kelelahan akibat dicakar Beruang Merah, dan perlahan digulung oleh sang Naga. Jika Elang hanya akan melemahkan dan menjadikan yang lain sebagai sasaran, maka Naga akan tampil jadi pahlawan. Entah mana duluan.

 


Langkah Catur Vladimir PUTIN

 


Dia punya dua wajah. Satu menghadirkan perang, nestapa, dan kengerian. Satu lagi sosok yang sedang berjuang untuk bangsanya. Dia dibenci di banyak negara, tetapi banyak pula yang menyukai dan mengidolakannya.

Dalam biografi berjudul The New Tsar, terdapat banyak sisi dirinya yang perlahan membuat dollar kehilangan keperkasaan, lalu membuat Eropa terancam rontok karena resesi.

Dia mengkalibrasi ulang politik dunia menjadi multi-polar, serta menggeser dominasi tahta suci Amerika Serikat. Dia membuka karpet bagi lahirnya kekuatan dunia baru, mulai Cina, India, Turki, hingga Brazil.

Sosok itu adalah Vladímir Vladímirovich Pútin.

 ***

Malam itu, daun-daun berguguran di Dresden, Jerman Timur, tahun 1989. Ribuan orang memprotes di jalan-jalan, kemudian menyerbu markas KGB, Badan Intelijen Uni Soviet. Semua orang di markas itu ketakutan.

Namun, ada seorang perwira muda bernama Letnan Kolonel Putin tetap tenang dan memandang jendela.

Saat ribuan demonstran menyerbu, wajahnya tanpa ekspresi. Dia menelepon komando militer Soviet untuk meminta bala bantuan. Tapi tak ada satu pun yang mengangkat teleponnya. “Moskow tidak merespon. Mereka diam,” katanya.

Dia tidak menyangka, Uni Soviet yang begitu kuat dan perkasa malah kehilangan kuasa untuk sekadar mempertahankan gedung. Tapi, dia tak berniat menyerah. Dia lalu mengenakan seragam militer, tanpa membawa pistol.

Dia berjalan ke gerbang dan menemui ribuan demonstran. Dalam bahasa Jerman yang fasih, dia berteriak: “Rumah ini dijaga ketat. Prajurit saya punya senjata. Saya sudah beri perintah: jika ada yang masuk kompleks, maka mereka harus menembak.”

Kalimatnya bergema di telinga para demonstran semua. Semua ciut dan membubarkan diri. Massa yang tadinya penuh sorak-sorai dan kemarahan, perlahan bubar. Dia membubarkan massa hanya dengan satu gertakan.

Karier pria itu terus melesat hingga memegang tampuk tertinggi pemerintahan Rusia. Peristiwa di Dresden menjadi momen penting baginya. Bahkan ketika kuasa sudah di tangannya, dia sering menceritakan ulang insiden Dresden.

Dia ingin menegaskan dirinya sebagai pemimpin yang tumbuh dari krisis demi krisis. Dia besar dari imajinasi tentang kejayaan, lalu punya obsesi hendak membawa Russia ke satu arah. Dia paham sejarah kebesaran negerinya, lalu menjadikannya sebagai kompas di masa kini.

Saat menjadi pemimpin di tahun 2000, dia berperang dengan Chechnya, sebelum akhirnya mengangkat saudara dengan mereka. Dia juga mengirim pasukan untuk mengalahkan Amerika di Suriah.


Buku The New Tsar: The Rise and Reign of Vladimir Putin yang ditulis Steven Lee Myers ini mengungkap banyak sisi pria yang terobsesi masa kejayaan Russia ini. Buku yang pertama terbit tahun 2014 ini mengungkap banyak sisi Putin yang tidak diketahui orang, khususnya mereka yang dibesarkan dengan propaganda barat. Dia adalah representasi negaranya, mewakili stabilitas dan ketertiban.

Sebagai jurnalis, Steven Myers telah puluhan tahun menulis tentang Russia dan Eropa Timur, Dalam The New Tsar, dia memberikan informasi paling lengkap, sejauh yang bisa ditulis dalam bahasa Inggris.

Putin digambarkannya sebagai sosok terakhir berpijak di tengah ketertiban dan kekacauan. Putin adalah sosok yang selalu berayun dari krisis ke krisis, dengan satu tujuan yakni memproyeksikan kekuatan.

Putin adalah generasi yang masih menyaksikan kejayaan sekaligus akhir dari Uni Soviet, negara adi kuasa yang menguasai langit, serta pernah menentukan poros politik dunia. Putin pernah berada pada masa di mana Moskow tidak merespon permintaannya, sehingga ketika dirinya menjadi pemimpin, dia ingin memastikan negaranya kembai kuat.

Atas nama stabilitas ini, dia telah mengkonsolidasikan kekuatan dalam dirinya sendiri dengan cara yang mencengangkan. Dalam dua masa jabatan pertamanya, dari tahun 2000 hingga 2008, ia menjatuhkan oligarki. Dia mengendalikan semua media dan mengatur pembubaran Yukos, perusahaan minyak raksasa. Tak hanya itu, dia memenjarakan bos Yukos, Mikhail Khodorkovsky, serta mengembalikan dua sumber daya penting bagi negara.

Myers bercerita, teman Putin yang paling setia sekarang menjalankan sebagian besar industri penting Rusia. Demokrasi yang tidak terkekang juga menunjukkan jalan menuju kekacauan, sehingga Putin mengembangkan sesuatu yang disebut penasihatnya sebagai “demokrasi terkelola.”

Dalam benak Putin, ada banyak musuh yang ingin mengubah tatanan. Dia memosisikan Russia sebagai negeri yang selalu terancam. Musuh mengintai di mana-mana. Mulai dari Chechnya, politisi Ukraina yang berkiblat ke Uni Eropa atau Barat secara keseluruhan, juga Amerika yang menguasai panggung politik global.

Ketika Putin menghadapi gerakan protes nyata pertamanya menjelang pemilihan presiden di tahun 2012, seruan untuk perubahan baginya tidak lebih dari invasi asing. Dia menemukan cara untuk menghancurkan mereka.

Jika dia tertib, segala sesuatu yang bertentangan dengannya adalah kekacauan. Bahkan memihak musuh Barat saat Arab Spring, yang dianggap sebagai pembelaan kepentingan ekonomi dan geopolitik Rusia. Ini benar-benar tentang sesuatu yang “jauh lebih dalam” bagi Putin, tulis Myers.

Yang terasa hilang dari buku ini adalah testimoni atau pandangan dari dalam Rusia sendiri mengenai siapa “Tsar” baru ini. Tanpa perspektif itu, kita sulit memahami siapa Putin. Kata Myers, seblum berkuasa, Putin adalah sosok yang tidak kharismatik. Dia seperti “anak duduk di bangku belaang sekolah” yang pendiam.

Terakhir, buku ini menampilkan kekuatan total Putin. Mulai dari Olimpiade di Sochi hingga penaklukan Krimea pada awal 2014, juga Piala Dunia tahun 2018 di Rusia. Dalam pikiran Putin, dia sendirian menjinakkan alam dan mengubah perbatasan demi kejayaan Rusia. Dia pun sukses membawa negerinya kembali di percaturan politik dunia, sebagaimana dulu Uni Soviet berkiprah.

***

Meskipun ditulis tahun 2014, buku ini tetap tidak kehilangan relevansi. Perang Rusia versus Ukraina menjadi ajang pameran kekuatan Putin. Sebab yang dihadapi Rusia di perang itu bukanlah Ukraina sendirian, melainkan seluruh kekuatan Eropa serta Amerika di belakangnya. Ukraina hanya pion dan proksi dari Amerika.

Kita sama tahu kalau perang itu tidak berjalan sebagaimana yang diprediksi. Rusia sengaja tidak memakai carpet bomb untuk menghancurkan Ukraina, melainkan fokus pada daerah yang menjadi urat nadi perdagangan dunia. Rusia terlihat sangat siap untuk memulai perang jangka panjang, yang bukan hanya melibatkan pertarungan militer, tetapi juga pertarungan di ranah ekonomi.

Benar kata Yuval Noah Harari dalam buku 21 Lessons for 21st Century, di abad modern, perang hanya akan terjadi di antara dua negara yang tidak seimbang. Amerika bisa dengan santai menjatuhkan bom di Fallujah (Irak), Yugoslavia, hingga Libya, sebab negara-negara itu tidak akan bisa mengancam Amerika.

Namun jika berhadapan dengan negara besar, maka perang hanya akan menjadi pisau yang bisa menikam diri sendiri. Biaya ekonomi perang bukan hanya dipikul pihak yang berperang, tapi juga negara-negara lain yang menjadi bagian dari rantai pasok dunia.

Hari ini, kita menyaksikan bagaimana sanksi-sanksi yang dijatuhkan Barat dan Amerika hanya akan melukai diri sendiri. Memberi sanksi pada negara yang jadi produsen utama energi hanya membawa dunia ke resesi dan kejatuhan global.

Rusia menunjukkan pada Eropa dan Amerika kalau sanksi tidak berjalan satu arah. Setiap kebijakan terhadap energi Rusia bisa serupa nuklir yang menghancurkan ekonomi. Eropa makin dicekam dingin karena gas-gas Rusia tidak bisa mengalir ke rumah warga. Uni Eropa terbelah, saat anggotanya mendorong sanksi, tapi diam-diam membeli energi Rusia dalam jumlah besar.

Sanksi pada Rusia juga hanya akan merusak rantai pasok pangan dunia, yang akan membawa dampak pada negara-negara muskin yang kini berjatuhan, mulai dari Srilanka, hingga negara-negara Afrika. 

Rusia telah membuka banyak hipokrisi dan kemunafikan Barat. Banyak pihak mempertanyakan mengapa Ukraina diistimewakan, sementara Palestina, Irak, Yugoslavia, Suriah, Libya malah diabaikan.

Di sisi lain, Rusia melawan semua sanksi yang diberikan barat. Rubel dan inflasi terkendali. Ekspor energinya kian berkurang, tapi mengubah sistem pembayaran dari Dollar ke Rubel telah membuat negeri itu mengalami lonjakan keuntungan hingga lebih 35 persen dalam setahun.

Di hari-hari belakangan, kita menyaksikan bagaimana suara-suara berbeda mulai muncul di Eropa. Banyak orang di Amerika dan Eropa mulai resah dengan harga energi yang melonjak, serta ancaman resesi. Amerika gagal meyakinkan Qatar, Iran, dan Venezuela untuk mengganti pasokan energi Rusia.

Banyak pihak mulai mempertanyakan sikap Amerika dan Eropa yang terus mengirim bantuan senjata, yang disebut Rusia, ibarat menyiram bensin ke api yang bergejolak. Di sisi lain, Cina, India, Turki hingga Arab Saudi mulai berani menampikan suara yang tidak seiring dengan Amerika. 

Negara-neara itu mulai tampil di panggung dunia dan menentang dominasi Amerika. Mereka menolak sanksi, malah mempererat kerjasama dengan Rusia, yang perlahan mulai mengkalibrasi ulang politik dunia.



Bahkan Paus Fransiskus mulai menyebut NATO sebagai pihak yang memprovokasi dengan cara menggonggong di pintu depan Rusia hingga Vladimir Putin bereaksi keras. Juga Lula da Silva, mantan pemimpin Brazil, yang terang-terangan menunjuk Zelensky sebagai pihak yang juga bersalah dalam konflik itu, 

Kata Lula: “Amerika Serikat memiliki banyak pengaruh politik. Dan Biden bisa menghindari perang, bukan menghasutnya. Biden bisa saja naik pesawat ke Moskow untuk berbicara dengan Putin. Ini adalah sikap yang Anda harapkan dari seorang pemimpin. AS dan Uni Eropa dapat menghindari invasi dengan menyatakan bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO.”

Namun, bencana terbesar yang dihadirkan Putin adalah goyahnya kepercayaan pada dollar yang selama ini menjadi pilar penting Amerika Serikat. Banyak pihak mulai mencari sistem baru yang lebih berkeadilan, yang tidak selalu diancam sanksi.

Rusia memaksa semua pemberi energinya untuk menggunakan Rubel, mata uang Rusia. Arab Saudi berdagang energi dengan Cina menggunakan Yuan, India berdagang dengan Rusia menggunakan Rupee. Bahkan negara-negara Amerika Latin perlahan menuju ke arah penguatan mata uang lokal yang akan memperkuat kedaulatan ekonominya.

Putin, pemimpin Rusia, tahu kalau kekuatan ekonomi negaranya belum tentu bisa mengalahkan Barat. Namun, dia beruntung karena ditopang oleh negeri-negeri kuat seperti Cina dan India. Cina jelas punya kepentingan untuk menjaga Rusia agar tidak jatuh, agar tetap punya mitra dalam menentang Barat.

Rusia pun akan menggariskan kebijakan politiknya lebih banyak mendukung Asia, setelah melihat kemunafikan Barat. Apalagi bangsa Rusia memang separuh Eropa dan separuh Asia. Wajar saja jika Rusia sedang menggelar karpet merah bagi hadirnya Cina sebagai penguasa baru imperium dunia. Saatnya Cina tampil ke panggung sejarah untuk menggantikan Amerika dan Eropa.

Langkah Putin memang tak terduga. Seorang kolumnis di media sempat berujar, “Jangan pernah mengajak orang Rusia main catur. Mereka punya banyak langkah tak terduga dan tidak kamu sadari hingga di satu titik, benteng dan rajamu akan tumbang dengan sendirinya.”

Benar juga. Jangan mengajak Rusia bermain catur.