Dia punya dua
wajah. Satu menghadirkan perang, nestapa, dan kengerian. Satu lagi sosok yang
sedang berjuang untuk bangsanya. Dia dibenci di banyak negara, tetapi banyak
pula yang menyukai dan mengidolakannya.
Dalam biografi
berjudul The New Tsar, terdapat banyak sisi dirinya yang perlahan membuat dollar kehilangan keperkasaan, lalu membuat Eropa terancam rontok karena resesi.
Dia mengkalibrasi
ulang politik dunia menjadi multi-polar, serta menggeser dominasi tahta suci
Amerika Serikat.
Dia membuka karpet bagi lahirnya kekuatan dunia baru, mulai Cina, India, Turki,
hingga Brazil.
Sosok itu adalah VladÃmir
VladÃmirovich Pútin.
***
Malam itu,
daun-daun berguguran di Dresden, Jerman Timur, tahun 1989. Ribuan orang
memprotes di jalan-jalan, kemudian menyerbu markas KGB, Badan Intelijen Uni
Soviet. Semua orang di markas itu ketakutan.
Namun, ada seorang
perwira muda bernama Letnan Kolonel Putin tetap tenang dan memandang jendela.
Saat ribuan
demonstran menyerbu, wajahnya tanpa ekspresi. Dia menelepon komando militer
Soviet untuk meminta bala bantuan. Tapi tak ada satu pun yang mengangkat
teleponnya. “Moskow tidak merespon. Mereka diam,” katanya.
Dia tidak
menyangka, Uni Soviet yang begitu kuat dan perkasa malah kehilangan kuasa untuk
sekadar mempertahankan gedung. Tapi, dia tak berniat menyerah. Dia lalu
mengenakan seragam militer, tanpa membawa pistol.
Dia berjalan ke
gerbang dan menemui ribuan demonstran. Dalam bahasa Jerman yang fasih, dia
berteriak: “Rumah ini dijaga ketat. Prajurit saya punya senjata. Saya sudah
beri perintah: jika ada yang masuk kompleks, maka mereka harus menembak.”
Kalimatnya bergema
di telinga para demonstran semua. Semua ciut dan membubarkan diri. Massa yang
tadinya penuh sorak-sorai dan kemarahan, perlahan bubar. Dia membubarkan massa
hanya dengan satu gertakan.
Karier pria itu
terus melesat hingga memegang tampuk tertinggi pemerintahan Rusia. Peristiwa di
Dresden menjadi momen penting baginya. Bahkan ketika kuasa sudah di tangannya,
dia sering menceritakan ulang insiden Dresden.
Dia ingin
menegaskan dirinya sebagai pemimpin yang tumbuh dari krisis demi krisis. Dia
besar dari imajinasi tentang kejayaan, lalu punya obsesi hendak membawa Russia ke satu arah. Dia paham sejarah kebesaran negerinya, lalu menjadikannya sebagai kompas di masa kini.
Saat menjadi
pemimpin di tahun 2000, dia berperang dengan Chechnya, sebelum akhirnya
mengangkat saudara dengan mereka. Dia juga mengirim pasukan untuk mengalahkan
Amerika di Suriah.
Buku The New Tsar: The Rise and Reign of Vladimir Putin yang ditulis Steven Lee Myers ini mengungkap banyak sisi pria yang terobsesi masa
kejayaan Russia ini. Buku yang pertama terbit tahun 2014 ini mengungkap banyak
sisi Putin yang tidak diketahui orang, khususnya mereka yang dibesarkan dengan
propaganda barat. Dia adalah representasi negaranya, mewakili stabilitas dan
ketertiban.
Sebagai jurnalis,
Steven Myers telah puluhan tahun menulis tentang Russia dan Eropa Timur, Dalam
The New Tsar, dia memberikan informasi paling lengkap, sejauh yang bisa ditulis
dalam bahasa Inggris.
Putin
digambarkannya sebagai sosok terakhir berpijak di tengah ketertiban dan
kekacauan. Putin adalah sosok yang selalu berayun dari krisis ke krisis, dengan
satu tujuan yakni memproyeksikan kekuatan.
Putin adalah
generasi yang masih menyaksikan kejayaan sekaligus akhir dari Uni Soviet,
negara adi kuasa yang menguasai langit, serta pernah menentukan poros politik
dunia. Putin pernah berada pada masa di mana Moskow tidak merespon
permintaannya, sehingga ketika dirinya menjadi
pemimpin, dia ingin memastikan negaranya kembai kuat.
Atas nama
stabilitas ini, dia telah mengkonsolidasikan kekuatan dalam dirinya sendiri
dengan cara yang mencengangkan. Dalam dua masa jabatan pertamanya, dari tahun
2000 hingga 2008, ia menjatuhkan oligarki. Dia mengendalikan semua media dan
mengatur pembubaran Yukos, perusahaan minyak raksasa. Tak hanya itu, dia
memenjarakan bos Yukos, Mikhail Khodorkovsky, serta mengembalikan dua sumber
daya penting bagi negara.
Myers bercerita,
teman Putin yang paling setia sekarang menjalankan sebagian besar industri
penting Rusia. Demokrasi yang tidak terkekang juga menunjukkan jalan menuju
kekacauan, sehingga Putin mengembangkan sesuatu yang disebut penasihatnya
sebagai “demokrasi terkelola.”
Dalam benak Putin,
ada banyak musuh yang ingin mengubah tatanan. Dia memosisikan Russia sebagai
negeri yang selalu terancam. Musuh mengintai di mana-mana. Mulai dari Chechnya,
politisi Ukraina yang berkiblat ke Uni Eropa atau Barat secara keseluruhan, juga Amerika yang menguasai
panggung politik global.
Ketika Putin
menghadapi gerakan protes nyata pertamanya menjelang pemilihan presiden di
tahun 2012, seruan untuk perubahan baginya tidak lebih dari invasi asing. Dia
menemukan cara untuk menghancurkan mereka.
Jika dia tertib,
segala sesuatu yang bertentangan dengannya adalah kekacauan. Bahkan memihak musuh Barat saat Arab Spring,
yang dianggap sebagai pembelaan kepentingan ekonomi dan geopolitik Rusia. Ini benar-benar tentang sesuatu yang “jauh lebih dalam”
bagi Putin, tulis Myers.
Yang terasa hilang
dari buku ini adalah testimoni atau pandangan
dari dalam Rusia sendiri mengenai siapa “Tsar” baru ini. Tanpa perspektif itu,
kita sulit memahami siapa Putin. Kata Myers, seblum berkuasa, Putin adalah
sosok yang tidak kharismatik. Dia seperti “anak duduk di bangku belaang
sekolah” yang pendiam.
Terakhir, buku ini
menampilkan kekuatan total Putin. Mulai dari Olimpiade di Sochi hingga
penaklukan Krimea pada awal 2014, juga Piala
Dunia tahun 2018 di Rusia. Dalam pikiran Putin, dia sendirian menjinakkan alam
dan mengubah perbatasan demi kejayaan Rusia. Dia pun sukses membawa negerinya kembali di percaturan politik dunia, sebagaimana dulu Uni Soviet berkiprah.
***
Meskipun ditulis
tahun 2014, buku ini tetap tidak kehilangan relevansi. Perang Rusia versus
Ukraina menjadi ajang pameran kekuatan Putin. Sebab yang dihadapi Rusia di
perang itu bukanlah Ukraina sendirian, melainkan seluruh kekuatan Eropa serta
Amerika di belakangnya. Ukraina hanya pion dan proksi dari Amerika.
Kita sama tahu
kalau perang itu tidak berjalan sebagaimana yang diprediksi. Rusia sengaja tidak memakai “carpet bomb” untuk
menghancurkan Ukraina, melainkan fokus pada daerah yang menjadi urat nadi perdagangan dunia. Rusia terlihat sangat siap untuk memulai
perang jangka panjang, yang bukan hanya melibatkan
pertarungan militer, tetapi juga pertarungan di ranah ekonomi.
Benar
kata Yuval Noah Harari dalam buku 21 Lessons for 21st Century, di abad modern, perang hanya akan
terjadi di antara dua negara yang tidak seimbang. Amerika bisa dengan santai
menjatuhkan bom di Fallujah (Irak), Yugoslavia, hingga Libya, sebab negara-negara
itu tidak akan bisa mengancam Amerika.
Namun
jika berhadapan dengan negara besar, maka perang hanya akan menjadi pisau yang
bisa menikam diri sendiri. Biaya ekonomi perang bukan hanya dipikul pihak yang
berperang, tapi juga negara-negara lain yang menjadi bagian dari rantai pasok
dunia.
Hari
ini, kita menyaksikan bagaimana sanksi-sanksi yang dijatuhkan Barat dan Amerika
hanya akan melukai diri sendiri. Memberi sanksi pada negara yang jadi produsen utama energi hanya membawa dunia ke resesi dan kejatuhan global.
Rusia
menunjukkan pada Eropa dan Amerika kalau sanksi tidak berjalan satu arah. Setiap
kebijakan terhadap energi Rusia bisa serupa nuklir yang menghancurkan ekonomi. Eropa makin dicekam dingin karena gas-gas Rusia tidak bisa mengalir ke rumah warga. Uni Eropa terbelah, saat anggotanya mendorong sanksi, tapi diam-diam membeli energi Rusia dalam jumlah besar.
Sanksi
pada Rusia juga hanya akan merusak rantai pasok pangan dunia, yang akan membawa
dampak pada negara-negara muskin yang kini berjatuhan, mulai dari Srilanka,
hingga negara-negara Afrika.
Rusia
telah membuka banyak hipokrisi dan kemunafikan Barat. Banyak pihak mempertanyakan
mengapa Ukraina diistimewakan, sementara Palestina, Irak, Yugoslavia, Suriah,
Libya malah diabaikan.
Di
sisi lain, Rusia melawan semua sanksi yang diberikan barat. Rubel dan
inflasi terkendali. Ekspor energinya kian berkurang, tapi mengubah sistem
pembayaran dari Dollar ke Rubel telah membuat negeri itu mengalami lonjakan
keuntungan hingga lebih 35 persen dalam setahun.
Di
hari-hari belakangan, kita menyaksikan bagaimana suara-suara berbeda mulai
muncul di Eropa. Banyak orang di Amerika dan Eropa mulai resah dengan harga
energi yang melonjak, serta ancaman resesi. Amerika gagal meyakinkan Qatar,
Iran, dan Venezuela untuk mengganti pasokan energi Rusia.
Banyak
pihak mulai mempertanyakan sikap Amerika dan Eropa yang terus mengirim bantuan
senjata, yang disebut Rusia, ibarat menyiram bensin ke api yang bergejolak. Di
sisi lain, Cina, India, Turki hingga Arab Saudi mulai berani menampikan suara
yang tidak seiring dengan Amerika.
Negara-neara itu mulai tampil di panggung
dunia dan menentang dominasi Amerika. Mereka menolak sanksi, malah mempererat
kerjasama dengan Rusia, yang perlahan mulai mengkalibrasi ulang politik dunia.
Bahkan
Paus Fransiskus mulai menyebut NATO sebagai pihak yang memprovokasi dengan cara
menggonggong di pintu depan Rusia hingga Vladimir Putin bereaksi keras. Juga Lula
da Silva, mantan pemimpin Brazil, yang terang-terangan menunjuk Zelensky
sebagai pihak yang juga bersalah dalam konflik itu,
Kata
Lula: “Amerika Serikat memiliki banyak pengaruh politik. Dan Biden bisa
menghindari perang, bukan menghasutnya. Biden bisa saja naik pesawat ke Moskow
untuk berbicara dengan Putin. Ini adalah sikap yang Anda harapkan dari seorang
pemimpin. AS dan Uni Eropa dapat menghindari invasi dengan menyatakan bahwa
Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO.”
Namun,
bencana terbesar yang dihadirkan Putin adalah goyahnya kepercayaan pada dollar
yang selama ini menjadi pilar penting Amerika Serikat. Banyak pihak mulai
mencari sistem baru yang lebih berkeadilan, yang tidak selalu diancam sanksi.
Rusia
memaksa semua pemberi energinya untuk menggunakan Rubel, mata uang Rusia. Arab
Saudi berdagang energi dengan Cina menggunakan Yuan, India berdagang dengan
Rusia menggunakan Rupee. Bahkan negara-negara Amerika Latin perlahan menuju ke arah
penguatan mata uang lokal yang akan memperkuat kedaulatan ekonominya.
Putin,
pemimpin Rusia, tahu kalau kekuatan ekonomi negaranya belum tentu bisa mengalahkan
Barat. Namun, dia beruntung karena ditopang oleh negeri-negeri kuat seperti Cina
dan India. Cina jelas punya kepentingan untuk menjaga Rusia agar tidak jatuh,
agar tetap punya mitra dalam menentang Barat.
Rusia
pun akan menggariskan kebijakan politiknya lebih banyak mendukung Asia, setelah
melihat kemunafikan Barat. Apalagi bangsa Rusia memang separuh Eropa dan separuh
Asia. Wajar saja jika Rusia sedang menggelar karpet merah bagi hadirnya Cina
sebagai penguasa baru imperium dunia. Saatnya Cina tampil ke panggung sejarah untuk
menggantikan Amerika dan Eropa.
Langkah
Putin memang tak terduga. Seorang kolumnis di media sempat berujar, “Jangan
pernah mengajak orang Rusia main catur. Mereka punya banyak langkah tak terduga dan
tidak kamu sadari hingga di satu titik, benteng dan rajamu akan tumbang dengan
sendirinya.”
Benar
juga. Jangan mengajak Rusia bermain catur.