Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Ideologi KIRI KANAN yang Menyambut Corona


ilustrasi

Mengapa negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, hingga Italia dalam kondisi porak-poranda, sementara negara sosialis komunis seperti Cina, Vietnam, hingga Kuba perlahan keluar dari krisis dan mulai memimpin dunia untuk melawan Covid-19? Bagaimana dengan Indonesia?

Apa kaitannya dengan dunia yang suka rela berpaling ke big government dan panoptikon dalam konsepsi Michel Foucault?

***

Pengumuman itu hanya bertahan selama delapan jam. Donald Trump, pemimpin negeri superpower Amerika Serikat membatalkan sendiri pengumumannya mengenai lockdown kota New York. Beberapa hari lalu, tepatnya 28 Maret 2020, Trump diprotes para gubernur dan warga Amerika yang menentang karantina wilayah New York.

"Lockdown tidak diperlukan," tulis Trump di Twitter. Padahal sebelumnya Trump bersedia menerapkannya karena wilayah kota New York merupakan episentrum wabah di negara Paman Sam itu.

Negara bagian New York telah melaporkan lebih dari 53.000 kasus virus Covid-19 atau Corona baru, dari lebih dari 124 ribu di Amerika Serikat. Total kematian di kota itu menjadi 672 jiwa, sekitar sepertiga dari 2.185 kematian di seluruh Amerika Serikat. Trump ingin memotong mata rantai peredaran virus itu.

BACA: Virus yang Membuka Aib Sosial Kita

Namun mengunci New York tidak semudah itu. New York jauh lebih besar dari Ghana, yang presidennya bilang mudah mengembalikan ekonomi, tapi tidak ada cara menghidupkan orang meninggal.

New York adalah "ibu kota global dunia" untuk perdagangan dan keuangan. Kota ini bukan hanya menggerakkan perekonomian Amerika Serikat, tetapi juga dunia. Dengan menghentikan aktivitas di New York, mesin besar ekonomi dunia bisa perlahan kolaps. Jutaan orang bisa lebih menderita, dengan kadar yang jauh lebih parah dari infeksi virus.

Virus Covid-19 telah membuka mata dunia bahwa ketangguhan Amerika Serikat tidaklah sehebat apa yang terlihat dalam film Rambo. Armada virus yang berukuran kecil ini sanggup memorak-porandakan pertahanan negeri sekuat Amerika, memaksa warganya untuk tinggal di rumah, serta memberi amunisi bagi semua politisi untuk menghujat presidennya.

Negara yang tampak sekaya Amerika ternyata bisa kekurangan Alat Perlindungan Diri (APD) sehingga seorang perawat tewas gara-gara memakai plastik pembungkus sampah ketika bersentuhan dengan pasien yang terkena virus.

Virus ini bisa memaksa seorang Donald Trump untuk membungkuk di hadapan Presiden Cina Xin Ji Ping dan meminta kerja sama untuk menanggulangi wabah global. Bagi yang paham bagaimana situasi politik di Amerika pasti paham bagaimana arogansi negeri yang menjadi pemimpin dunia selama beberapa dekade.

Negara-negara lain pun ikut menerima imbasnya. Italia yang dikenal sebagai negeri flamboyan itu ternyata keropos dalam membentengi warganya. Inggris yang perkasa juga limbung. Demikian pula Jerman, Perancis, Turki, hingga kawasan Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Iran yang kini memilih damai dan fokus mengatasi virus.

Pada mulanya, semua negara shock dan tidak menyangka serangan virus itu demikian kuat. Sejak manusia mulai membangun peradaban, sejarah mencatat bagaimana bangsa-bangsa memperkuat benteng-benteng, persenjataan, hulu ledak nuklir, hingga strategi pertempuran di matra darat laut dan udara.

Namun di abad kekinian, virus Covid-19 datang dan justru menyerang satu titik lemah di dalam semua negara yakni sistem kesehatan yang seharusnya melindungi semua warganya. Seharusnya, sistem kesehatan nasional akan menjadi benteng pertahanan sekaligus memberi rasa aman bagi semua warganya.

Virus ini memberi pelajaran bahwa kemajuan suatu negara bukan karena angkatan perang, bukan karena hebatnya kekuatan ekonomi, bukan pula berapa banyak gedung pencakar langit, tetapi bagaimana membangun satu sistem yang kokoh, termasuk di antaranya pendidikan dan kesehatan, sehingga negara itu sanggup menanggulangi semua tantangan yang hadir di abad kekinian.

Kedepannya, kita akan mendefinisikan ulang apa yang disebut kemajuan suatu bangsa. Bukan lagi sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga seberapa kuat sistem kesehatan bisa menjadi payung yang menjaga kemaslahatan setiap bangsa dari semua ancaman penyakit.

Saatnya belajar pada Kuba, negara kecil berhaluan komunis. Negeri kecil yang serupa liliput bagi Amerika itu menampilkan kedigdayaan kesehatan yang bisa menjadi embun bagi negara lain. Pada saat kapal pesiar MS Braemar milik Inggris ditolak Amerika karena dikhawatirkan membawa virus, negara itu malah siap menerima dengan tangan terbuka, kemudian merawat semua penumpang yang terpapar virus.

dokter asal Kuba yang tiba di Italia

Bahkan Kuba mengirim tenaga medis ke Italia yang kemudian disambut meriah. Negeri Kuba memang tidak kaya jika dilihat dengan kacamata ekonomi ala kapitalisme, tapi negeri itu punya sistem kesehatan yang bisa menyediakan layanan kesehatan yang preventif di tingkat desa sehingga penyakit apa pun bisa dideteksi di tingkat pelayanan dasar sehingga bisa ditangkal sebelum menghantam sistem kesehatan nasional.

Kuba menyiapkan satu dokter keluarga untuk 100 keluarga, yang tugasnya adalah mengetuk pintu warga untuk selalu memantau kesehatan warganya. Negara menyiapkan rumah bagi beberapa dokter ahli di Puskesmas yang secara rutin memantau kesehatan warganya.

Sebagai negara komunis yang diembargo Amerika, Kuba tidak suka bermain retorika nuklir dan ancam-mengancam. Negeri itu memperkuat sektor kesehatan sehingga memukau lembaga kesehatan PBB yakni WHO.

Kuba memperkuat riset kedokteran sehingga negara itu menjadi rujukan bagi negara lain di kawasan. Bahkan banyak warga Amerika Serikat yang datang ke Kuba untuk berbuat sebab percaya dengan kualitas dokter Kuba. Tidak mengherankan jika negeri ini bisa mendeteksi sekecil apa pun ancaman kesehatan warganya.

Jika virus ini berakhir, maka dunia akan mengalami keseimbangan baru. Negara sejahtera dan demokratis ternyata keropos. Negara yang dianggap totaliter dan otoriter, malah punya daya tahan dalam menghadapi bencana. Kita bisa lihat pada ketangguhan Cina, Singapura, Vietnam, hingga Kuba. Negara berhaluan komunis terbukti lebih sanggup mengontrol pergerakan warga sehingga menyelamatkan mereka dari bencana pandemi.

Sementara negara-negara demokrasi tak berdaya menahan warganya untuk disiplin pada aturan sebab warga punya kebebasan dan hak asasi yang dijunjung tinggi. Tidak mengejutkan jika beredar video tentang anak muda di Florida yang tidak peduli dengan virus ini. Mereka tetap santai dan berwisata ke pantai, tanpa harus takut dengan propaganda negara. Di Italia, orang tetap memenuhi kafe-kafe dan pusat perbelanjaan, meskipun negara menerapkan lockdown. Di Inggris, orang tetap lalu lalang.

Di Indonesia, orang malah sibuk teriak lockdown, tanpa menyadari akan ada dampak sosial yang bisa muncul jika kebijakan itu diterapkan. Orang-orang ingin berada dalam satu kerangkeng darurat militer, tanpa menyadari konsekuensinya di masa depan.

Bahkan ketika Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjemput bantuan ke Cina dengan pesawat militer, maka tepuk tangan bergema di seantero negeri. Padahal upaya itu semakin menguatkan peran militer serta memberi panggung bagi lahirnya big government yakni pemerintahan besar yang kelak akan mengontrol semua warganya dengan tangan besi.

Dalam artikel sebelumnya, saya sudah mencatat tentang kecenderungan warga dunia pada lahirnya Surveillance State atau negara dengan pengawasan yang sangat ketat. Kita bisa melihatnya pada Cina yang memaksimalkan big data dan artifical intelligent untuk memantau semua warganya. Cina mengumpulkan data melalui smartphone yang dipakai warga, kemudian menjadikannya sebagai instrumen untuk mengawasi warga.

BACA: Senjata Cina untuk Melawan Corona

Seusai wabah Corona berlalu, kerinduan pada negara kuat bisa memaksa warganya untuk mengubah bentuk negara menjadi lebih kuat. Publik menginginkan big government, tanpa menyadari jika pemerintahan yang mengontrol semua tindakan warganya bisa menjadi pemerintahan yang otoriter sehingga negara ditempatkan sebagai pihak yang selalu benar.

Yuval Noah Harari mencatat, untuk pertama kalinya dalam sejarah, teknologi memungkinkan pengawasan secara massif kepada semua warga. Negara bisa memanfaatkan teknologi untuk mengolah semua big data serta memantau biometri warga negara. Teknologi memberikan informasi detail tentang suasana hati publik, siapa yang bisa menggerakkan mereka, serta bagaimana mengendalikan publik untuk agenda-agenda negara.

Sebagai publik, kita tidak menyadari posisi kita yang sedang diawasi. Filsuf Michel Foucault dalam buku Discipline and Punish menyebut menara pengawas ini sebagai panoptikon, yang mengacu pada menara pengawas yang memantau pergerakan narapidana di dalam penjara. Pemerintah memantau dari dalam panoptikon tindak-tanduk warganya. Pemerintah setiap saat bisa mengambil warganya untuk didisiplinkan dan dijinakkan agar menjadi warga negara yang baik.

Percaya atau tidak, negara kuat yang mengontrol warganya ini adalah konsepsi yang amat dekat dengan negara dalam haluan ideologi sosialisme dan komunisme. Kita bisa melihat perwujudannya di Cina dan Kuba, saat hanya ada satu partai yang berkuasa, serta negara bisa mengontrol semua tindakan warganya. Pada akhirnya semua akan jadi sosialis juga.

Di luar aspek kapitalis dan komunis, wabah Covid-19 juga mengajarkan kenyataan lain pada kita. Negara seperti Korea dan Taiwan menjadi contoh hebat bagaimana negara mendorong keterlibatan publik seluas-luasnya hingga lahir kolaborasi hebat untuk menyingkirkan wabah.

Korea bisa menggerakkan warganya untuk saling terhubung dan membentuk the network society yang digambarkan sosiolog Manuel Castells sebagai jejaring terhubung dan saling bekerja sama. Kita bisa melihat bagaimana para pejabat memangkas gajinya, para artis menyumbang dan ikut berkampanye untuk mengusir wabah, serta keterlibatan publik secara sukarela untuk melakukan rapid test.

Korea menjadi contoh bagus dari civil society yang kuat, yang tidak nyinyir kepada negara, melainkan melakukan segala daya dan upaya untuk membantu negaranya demi memberantas virus itu. Dalam situasi krisis, kepercayaan pada otoritas serta pengakuan pada ilmu pengetahuan adalah dua sisi yang saling melengkapi dan memberi kekuatan pada satu bangsa. Korea perlahan bangkit dari serangan wabah.

Lantas di mana posisi Indonesia? Saya teringat tuturan sosiolog Arief Budiman dalam buku Mencari Ideologi Alternatif. Menurutnya, Indonesia ibaratnya membeli satu teknologi, tapi tidak membaca manual book-nya. Kita sejatinya kapitalis tapi malu-malu mengakuinya.

Buktinya, sektor swasta berkembang pesat. Bahkan pelayanan terbaik rumah sakit pun disediakan oleh swasta. Kapitalisme itu baik sebab membawa kita pada kesejahteraan. Tapi hingga kini, kesejahteraan itu hanya milik segelintir orang. Kita berada di dasar piramida, di mana puncaknya hanya ada sedikit orang.

BACA: Saat Corona Menyerang HOMO DEUS

Jika hari ini banyak orang bicara lockdown dan ingin darurat militer, maka bisa jadi itu adalah kerinduan kita untuk kehidupan yang serba diatur negara, termasuk kesehatan serta adanya bantuan sosial, termasuk sandang, papan, dan rumah. Kita ingin kebaikan negara sosialis, tetapi berada dalam ekonomi kapitalis. Kita suka sesuatu yang campur-campur sebagaimana gado-gado. Kita tidak di kanan, juga tidak di kiri.

Kita tak punya fokus dan protokol dalam menghadapi wabah. Di tengah pendemi, kita masih sibuk berdebat remeh-temeh, di antaranya siapa yang paling peduli rakyat, apakah presiden ataukah gubernur?

Kita tidak menyatukan kekuatan. Terlalu banyak orang pintar di negeri ini sehingga kita saling menyalahkan. Kita belum bisa move on. Kita masih suka debat ecek-ecek. Kita masih suka saling olok.  Sementara rakyat kita perlahan harus terkapar satu demi satu di tengah lemahnya sistem kesehatan nasional kita. Setiap saat, kita juga bisa ambruk.

Jangan-jangan kita memang butuh sistem sosialis.



Sepenggal Kisah IDRUS PATURUSI


sampul biografi IDRUS PATURUSI yang akan segera beredar


Mata saya masih setengah terpejam saat mengangkat HP yang berdering cukup lama di pagi hari. Sili Suli, seorang penulis asal Toraja, mengabarkan novelnya belum bisa dicetak. Tiba-tiba saja dia menyebut nama Profesor Idrus Paturusi, mantan Rektor Unhas.

“Saya akan kirimkan biografi Idrus Paturusi yang baru saja saya rampungkan. Buku itu belum beredar. Saya ingin Bung Yusran jadi pembaca awal yang bisa memberi masukan atas buku itu,” katanya.

Mata saya langsung berbinar. Saya lalu mengenang Idrus Paturusi, sosok yang matanya selalu teduh. Media punya banyak julukan kepada profesor kedokteran ini. Dia sering disebut dokter bencana. Ketika mendengar ada bencana alam, dia tidak pernah bertanya seberapa jauh lokasinya. Dia tidak pernah bertanya separah apa bencana itu.

Dia akan meninggalkan semua kesibukan demi mendatangi lokasi bencana itu sebagai dokter sekaligus relawan. Dia bekerja dengan fasilitas seadanya demi menghapus sedih di wajah mereka yang tertimpa bencana. Dalam kondisi darurat, dia memenuhi panggilan nuraninya demi menjadi setitik cahaya di tengah duka lara.

Bahkan dia berani meninggalkan kesibukannya sebagai Rektor Unhas. Idrus adalah sosok yang selalu meninggalkan zona nyaman. Dia menolak untuk sekadar melihat bencana dari layar televisi kemudian sibuk berceloteh sana-sini. Dia memilih turun ke lapangan. Dia menjadikan ilmunya sebagai sekuntum cahaya bagi korban bencana.

Dia hadir di banyak lokasi bencana. Mulai dari Meulaboh, Banda Aceh, Pidie Jaya, Nias, Padang, Bengkulu, Yogyakarta, Palu, Lombok, Flores, Ternate, Maluku, hingga ke Asmat. Dia [un juga hadir di Bam, Iran dan Tohoku, Jepang. Bahkan korban perang di Pakistan dan Afghanistan dihampirinya tanpa rasa takut, sekalipun nyawa taruhannya.

Sosok Idrus amat jauh dari sosok dokter dalam sinetron kita yang digambarkan bekerja di rumah sakit swasta yang mahal, ganteng, dan selalu necis. Idrus menjemput semua ketidaknyamanan dan menjadikannya sebagai ladang untuk mengabdikan ilmunya bagi orang lain.

Pernah saya terharu melihat fotonya sedang tertidur di kursi sederhana di dekat tenda, pada satu lokasi bencana. Bayangkan, seorang profesor doktor dengan kehormatan berderet-deret, juga memiliki ribuan murid, tapi berani menjawab panggilan kemanusiaan yang mengiang-ngiang di sanubarinya.

Pada Idrus Paturusi, saya melihat gabungan antara sosok Karaeng Pattingalloang dan Sultan Hasanuddin. Dia cendekia sekaligus petarung. Dia tidak hanya memasuki medan bencana sebagai “ayam jantan dari timur,” tapi membawa karakter seorang akademisi yang ke mana pun selalu beserta kompas nurani kemanusiaan. Dia menjadikan “ilmu amal padu mengabdi di pagi cerah senja teduh.”

Di sore hari setelah mendengar kabar dari Sili Suli, saya menerima kabar Idrus Paturusi menjadi pasien Covid-19 di Makassar. Padahal sehari sebelumnya, dia masih bekerja dalam kemanusiaan saat membagikan masker dan APD pada rumah sakit. Dia sengaja mengumumkan dirinya terkena virus agar orang-orang yang berinteraksi dengannya bisa ikut tes.

Dalam hati, saya berharap beliau tetap sehat agar bisa selalu memberi makna bagi Indonesia. Selama ini dia tak lelah mengobati dan menjalankan sumpah Hippoctares yakni “Saya akan membaktikan hidup untuk kepentingan perikemanusiaan.”

Kini, saatnya dia yang dilayani oleh semua orang yang pernah tersentuh dengan embun dedikasinya. Di sini, di tanah Bogor, saya mengucap banyak doa kesembuhan untuknya. Saya pun ingin mengutip puisi Hanya Seutas Pamor Badik, yang ditulis penyair asal Madura, D Zawawi Imron:

“Kata-kata dan peristiwa
telah lebur pada makna
dalam aroma rimba dan waktu

Hanya seutas pamor badik, tapi
tak kunjung selesai kulayari”



Senjata CHINA untuk Melawan Tentara CORONA


Drone yang mengantar sampel pasien di Cina

Di balik kemenangan China atas virus Corona atau Covid-19, terdapat cerita tentang bagaimana penggunaan big data, kecerdasan buatan (artificial intelligent), serta teknologi robot, drone, dan internet. China menggunakan teknologi itu untuk memantau satu miliar warganya.

Bagaimanakah kita membaca masa depan pasca virus Covid-19? Apakah dunia akan bergerak ke arah otoritarianisme sebagaimana pernah ditulis Yuval Noah Harari? Ataukah semua orang menginginkan adanya big government?

Marilah kita mereka-reka masa depan politik.

*** 

Di tahun 1985, sastrawan Gabriel Garcia Marquez menulis novel Love in the Time of Cholera, yang kemudian menjadi salah satu karya terbaiknya, selain Hundred Years of Solitude. Dia menggambarkan kisah cinta di tengah wabah kolera yang menghantam dunia pada tahun 1880.

Dia menulis kisah mengharu-biru dengan setting Amerika Latin. Dalam novel itu, terdapat kisah anak muda bernama Florentino yang jatuh cinta pada seorang gadis bernama Fermina. Florentino mengungkapkan isi hatinya melalui berlembar-lembar surat, sembari berharap ada balasan.

Saya membayangkan, jika Marquez hidup di masa kini, dia akan menulis sekuel novel ini dengan judul Love in the Time of Corona. Bisa jadi, dia akan menulis kisah setting daratan China. Tak ada lagi surat-menyurat. Semua tokohnya akan menggunakan smartphone, saling berbalas pesan via videocall, serta saling memantau ke mana hendak bergerak, apakah telah melakukan kontak dengan pembawa virus ataukah tidak.

Di era Covid-19, China menjadi episentrum penyebaran virus. Mulanya, banyak yang mengira negara itu akan kolaps karena serangan virus yang pernah disebut sebagai “tentara Allah” itu. Tapi setelah beberapa bulan, China kelihatan akan segera memenangkan pertempuran melawan virus itu.

China telah membuat dunia berpaling sebab melawan virus itu dengan memaksimalkan semua teknologi yang mereka hasilkan. Di saat warga negeri +62 sedang meributkan risiko dokter dan suster yang bisa terpapar virus ketika merawat pasien, China telah mengoperasikan robot untuk mengantar katering ke paramedis dan pasien.

BACA: Virus yang Banyak Membuka Aib Sosial Kita

Salah satu perusahaan, Pudu Technology, yang berbasis di Shenzhen menciptakan robot industri katering yang memasang mesin di lebih dari 40 rumah sakit di seluruh China. Demi mengantar sampel medis, terdapat drone yang dinamakan MultiMicroCopter yang juga bisa melakukan pemantauan suhu tubuh dari udara.

Jika Anda warga China, Anda bisa saja berjalan-jalan di tengah situasi lockdown, tetapi suhu tubuh Anda akan segera terpantau oleh drone. Drone bisa mengenali wajah Anda, yang sudah terekam dalam sistem informasi, sehingga data diri Anda bisa terlacak sehingga aparat bisa menjemput Anda. Kalaupun lolos dari drone, suhu tubuh Anda bisa terpantau oleh smart helmet yang dipakai aparat, yang bisa mengenali wajah Anda, sekalipun Anda mengenakan masker.

China juga memantau pergerakan warganya melalui aplikasi yang memaksimalkan kecerdasan buatan (artificial intelligent). Di lebih dari 200 kota, warga diminta untuk mengunduh aplikasi bernama Alipay Health Code.

Aplikasi ini bisa melacak penyebaran virus Covid-19 berwarna hijau, kuning atau merah yang menunjukkan tingkat suhu tubuh mereka. Pengembang aplikasi ini, Ant Financial, mengatakan aplikasi ini menggunakan big data untuk mengidentifikasi seseorang yang diduga terkena virus Covid-19.

Setiap hari, warga diminta untuk memasukkan data mengenai temperatur suhu di aplikasi itu. Semua datanya akan terkirim ke satu data center, yang akan memberikan laporan tentang status kesehatan seseorang.

Robot di Cina yang memeriksa suhu tubuh dan memberi disinfektan

Pelacakan itu bisa dimungkinkan karena adanya teknologi berbasis QR Code. Teknologi QR Code digunakan oleh semua orang, baik di dalam kota maupun yang hendak memasuki kota. Kode hijau, tandanya dapat bergerak bebas. Kode kuning, harus menjalani karantina selama tujuh hari. Kode merah, karantina selama 14 hari. Kode kuning dan merah dapat berubah menjadi hijau pasca-karantina. Sistem ini sudah diterapkan di Provinsi Zhejiang dan telah diimplementasikan di provinsi lainnya.

Ketika ada seorang warga terindikasi Covid-19, maka aplikasi itu akan memberikan informasi apa saja aktivitas warga itu selama beberapa terakhir. Dia akan terpantau berada di mana, menggunakan kereta atau bis. Aplikasi 'close contact detector' memberi tahu pengguna jika mereka telah melakukan kontak dekat dengan pembawa virus.

Bahkan kamera CCTV yang dipasang di banyak lokasi, serta bisa memindai wajah akan memberikan informasi seseorang telah kontak dengan siapa saja. China menamai sistem ini dengan “Satu peta, satu QR code, dan satu indeks.”

"Pada big data dan internet seperti saat ini, pergerakan setiap orang bisa dilihat dengan jelas. Kita berada di masa  yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan zaman SARS melanda," kata Li Lanjuan, Penasihat National Health Commission dalam wawancara dengan salah satu stasiun TV China.

BACA: Saat Corona Menyerang HOMO DEUS

Meski kemunculan teknologi dan aplikasi baru ini dinilai amat berguna dan sangat diperlukan,  namun juga memunculkan kekhawatiran terkait privasi para pengguna. Aplikasi-aplikasi kesehatan yang ada mengharuskan pengguna memasukkan nomor identitas, dan nomor telepon. Pihak otoritas China juga diduga mengambil data dari para penyedia jasa telekomunikasi, dan perusahaan-perusahaan milik negara.

Teknologi kecerdasan buatan atau artificial inteligence (AI) yang lebih canggih juga dimanfaatkan untuk membantu melakukan diagnosis penyakit serta mengakselerasi pengembangan vaksin.

“Mereka membantu kami menahan laju penyebaran virus Covid-19. Sehingga membuat teknologi-teknologi ini sebagai sarana andalan dan dapat dipercaya dalam menghadapi wabah ini,” kata Li Lanjuan, dalam artikelnya yang dimuat BBC.

Sejauh ini, China berhasil. Dunia terkagum-kagum.

*** 

Wabah Covid-19 ini memberikan banyak pelajaran berharga. Kita bisa melihat betapa susahnya mengatur warga di negara demokratis seperti Amerika Serikat, Inggris, Italia, bahkan Indonesia.

Biarpun pemerintah sudah menerapkan aturan, mulai dari social distancing hingga lockdown, aturan itu belum tentu akan dipatuhi warganya yang selama puluhan tahun sudah nyaman dengan kebebasannya.

Namun, upaya untuk membatasi pergerakan virus akan mudah berjalan pada negara-negara yang bisa mengontrol pergerakan warganya. Ini hanya bisa terjadi pada negara yang otoriter seperti China dan juga Singapura. Di dua negara ini, rakyat akan selalu patuh pada pemerintah sebab pemerintah punya banyak instrumen untuk mendisiplinkan warganya.

Pertanyaan yang mencuat adalah apakah ini adalah gejala atau awal dari munculnya otoritarianisme sebagai sistem yang lebih tepat di abad kekinian?

Saya ingat buku 21 Lessons for the 21st Century yang ditulis Yuval Noah Harari. Dia mengatakan, manusia modern mengalami kebebasan dan ideologi liberalisme, tapi di sisi lain ada revolusi kembar dalam teknologi informasi dan bioteknologi yang membuat manusia kehilangan kebebasannya.

Di masa kini, teknologi menjadi instrument yang mengendalikan manusia. Kita bisa melihat bagaimana Google dan Facebook menjadi mesin yang paling mengenali siapa kita.

buku yang ditulis Harari

Google tahu aplikasi apa yang kita pakai setiap hari, produk apa yang sering kita pesan, termasuk seperti apa cewek yang kita ajak kencan melalui situs pertemanan. Google dan Facebook punya algoritma yang mengendalikan mana informasi yang dilihat orang-orang dan mana yang bukan.

Teknologi telah lama merenggut kebebasan dan privasi kita. Sejak smartphone kita bisa mengenali bioritme kita, suasana hati kita pun dengan mudah terbaca sehingga pesan-pesan baik itu iklan ataupun pesan politik akan mengalir deras ke otak kita. Pilihan kita menjadi terbatas.

BACA: Jika AS dan Cina Perang, Apa Kata HARARI?

Dalam hal politik, pikiran kita akan mudah dikendalikan oleh siapa yang bisa mengatur lalu lintas informasi di pikiran kita. Di titik ini, kita bisa paham mengapa fenomena cebong versus kampret susah hilang di masyarakat kita. Sebab semua terlanjur mengidolakan dan hanya membatasi informasi pada tokoh idolanya saja.

Dalam konteks politik, Harari menyebut fenomena ini sebagai “kediktatoran digital.” Jika dulu, komoditas paling penting adalah tanah dan sumber daya alam, maka di era kekinian, siapa pemilik data, maka dia akan memenangkan arena politik.

Pendapat Harari ini relevan jika melihat China hari ini. Untuk mengatasi wabah, China menjadi Surveillance State (negara pengawasan) yang mengawasi apa pun yang dilakukan warganya. Konsep negara pengawasan ini berakar pada filsafat Thomas Hobbes yang menyebutkan semua warga telah menyerahkan haknya pada Negara.

Berkat virus Covid-19, kita melihat kebenaran argumentasi Harari tentang bagaimana pemerintah maupun masyarakat telah mengecualikan hak privasi untuk menghadirkan negara pengawasan.

China menjadi role model yang kemudian diikuti semua negara-negara lain. Semua ingin membatasi gerak warganya. Semua ingin mengawasi lalu memata-matai warganya. Di Indonesia sekalipun, kita melihat bagaimana aparat bisa memaksa orang untuk pulang ke rumah, sebab dikhawatirkan akan menyebar virus.

Saya membaca pendapat Margareth O’Mara, profesor sejarah di University of Washington. Sebagaimana Harari, dia melihat pertempuran melawan pandemi Covid-19 telah membuat pemerintah jauh lebih terlihat oleh masyarakat daripada biasanya. Menurutnya, pandemi tersebut telah membuat masyarakat menaruh kepercayaan dan mencari bantuan kepada para pemimpin pemerintahan.

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital

Kata O’Mara, untuk mengatasi krisis, dibutuhkan kehadiran big government atau pemerintah besar, yang bisa melakukan intervensi berlebihan atas semua aspek kehidupan warganya. Bentuk pemerintah ini dinilai bertentangan dengan kebebasan yang diperjuangkan dalam politik demokrasi.

Bayangkan, apa yang terjadi jika negeri kita mengarah ke big government. Rakyat sipil akan banyak menjadi korban. Suara-suara protes akan mudah dipantau dengan algoritma. Pergerakan warganya, termasuk kumpul-kumpul akan mudah terlacak. Jangan berharap akan melakukan aksi jalanan sebab Anda bisa terlacak, dan aparat bisa menjemput Anda kapan saja.

Bahkan Anda juga terpantau sedang mencintai siapa, serta seromantis apa kalimat yang kita sampaikan. Kita tak sebebas Florentino dalam novel Love in Time of Cholera yang berbisik: ”The only one regret of my life is I didn’t die for love…”

Saya membayangkan masa depan kemanusiaan kita yang tidak seindah tokoh dalam novel itu.



Virus yang Membuka Banyak Aib Sosial Kita




Jared Diamond sudah memberi warning tentang virus sebagai penanda peradaban. Michel Foucault telah mengingatkan kita tentang biopower dan rezim medis hari ini. Di negeri +62, kita masih saja terjebak pada retorika cebong versus kampret saat warga negara perlahan tumbang dan tidak tertampung di rumah sakit.

Virus Corona telah membuka banyak lubang dalam sistem sosial kita.

***

Sejarah manusia memang tak bisa lepas dari virus. Profesor Jared Diamond dalam buku yang meraih Pulitzer yakni Guns, Germs, and Steel (Bedil, Kuman, dan Baja), menyebutkan virus dan kuman sebagai penanda peradaban manusia. Setiap kali virus menyerang manusia, maka selalu terjadi perubahan lanskap sosial hingga jatuhnya rezim.

Diamond menuturkan, saat wabah Black Death hadir di abad ke-14, diperkirakan ada 200 juta populasi orang Eropa yang tewas mengenaskan. Wabah yang dipicu oleh kuman Xenopsylla Cheopis itu datang dari hewan yang mengalami proses domestikasi agar dikonsumsi manusia.

Wabah ini menyebabkan sosiologi orang Eropa berubah drastis. Ada perubahan cara pandang dari mereka yang berhasil selamat dan kebal pada virus ini. Kepercayaan pada gereja dan otoritas Roma berkurang. Bahkan masyarakat menjadi lebih pragmatis dan sekuler.

Saat hasrat untuk menjelajah Dunia Baru menyeruak, orang Eropa datang untuk menjajah ke Amerika Latin hingga Afrika, lalu Asia. Mereka membawa hewan-hewan yang sudah didomestikasi yakni ayam, itik, anjing, dan kuda. Kuman yang ada pada hewan ini lalu bermutasi ke manusia sehingga menewaskan lebih separuh populasi bumi.

BACA: Saat Corona Menyerang HOMO DEUS

Peradaban Eropa menjadi lebih unggul karena banyaknya populasi benua lain yang lenyap. Selanjutnya, berbagai wabah lain hadir dan selalu mengubah tatanan kehidupan manusia.

Kini, di abad modern, manusia kembali berhadapan dengan wabah. Bedanya, manusia hari ini lebih siap menghadapinya sebab telah memiliki senjata sains dan teknologi. Namun wabah juga kian canggih dan perkasa dalam menyerang manusia.

Virus Corona hadir di mana-mana, tanpa memandang rasa, agama, etnik, serta kebangsaan. Bahkan virus ini bisa membuat manusia harus menjauh dari semua aktivitas massal, termasuk menjalankan ritual keagamaan.

Virus ini memaksa manusia untuk mengosongkan masjid-masjid suci, gereja-gereja dan katedral besar. Manusia hanya bisa berdoa di rumah berkarib dengan keheningan.

Masing-masing negara merespon virus ini dengan cara berbeda. Ada negara yang mengunci wilayahnya dan memaksa warganya untuk tidak bepergian. Ada pula yang memilih opsi berbeda. Semuanya tergantung pada kesiapan dan kemampuan negara itu.

Indonesia pun menjadi bagian dari negara yang dihantam pandemi itu. Dalam pertempuran melawan virus ini, Indonesia akan menghadapi situasi yang jauh lebih pelik dari negara-negara lain. Indonesia berpotensi menjadi negara paling parah terkena dampak.

Baru pertama diumumkan, kepanikan segera terasa. Virus ini tidak saja menyerang fisik, tetapi juga membuka banyak hal yang selama ini tersembunyi.

Pertama, virus ini menunjukkan bobroknya komunikasi para pejabat publik kita pada saat krisis. Awalnya, pejabat kita memandang enteng virus ini. Kita kehilangan dua bulan yang harusnya bisa digunakan untuk membangun benteng pertahanan  yang lebih kuat.

Para pejabat kita seakan tidak punya sense of crisis. Mereka melontarkan banyak guyon yang kemudian dimuat secara vulgar oleh media-media kita sehingga menimbulkan kepanikan. Meskipun belakangan sudah ada semacam protokol komunikasi, tetap saja tidak bisa memadamkan kegenitan pejabat kita saat berkomunikasi dengan publik.

Kedua, virus ini bukan saja menghantam warga negara, tetapi juga menghantam sistem kesehatan nasional kita. Kita harus menghitung ulang sejauh mana benteng pelayanan kesehatan kita bisa melindungi dan memberi rasa aman kepada warganya.

Kita harus menghitung rasio rumah sakit dan pasien, kelengkapan alat, serta standar pelayanan kesehatan yang masih di bawah negara lain. Kita tidak sedang menguji kekuatan rezim hari ini dalam memberikan pelayanan kesehatan, melainkan menguji sistem pelayanan kesehatan yang fundasinya dibangun sejak republik ini berdiri.

Kita sedang bertarung dan menyandarkan harapan pada senjata kesehatan yang fundasinya rapuh sejak lama dan harus selalu siaga untuk melayani 200 juta lebih warga.

Di atas kertas, kita punya rumah sakit, tenaga dokter dan perawat. Tapi belum tentu semua bisa beroperasi untuk melawan virus Corona. Belum tentu semua bersedia untuk terlibat dalam perang global ini demi melindungi segenap anak bangsa.

Di satu lini masa Twitter, seorang jurnalis bercerita bagaimana dirinya ditolak saat hendak tes virus di satu rumah sakit swasta. Bahkan Jubir Pemerintah untuk Penanganan Corona, Achmad Yurianto, mengakui tidak semua rumah sakit bersedia untuk memberikan pelayanan kepada pasien yang diduga Corona.

Beberapa rumah sakit, khususnya rumah sakit besar dan mewah, melihat kasus ini secara untung rugi. Ketika mereka merawat pasien Corona, maka pasien lain akan menolak datang berobat ke rumah sakit itu. Mereka memilih menyelamatkan bisnisnya ketimbang menyelamatkan umat manusia.

Di sini, kita teringat pada konsep bio-power dan bio-politics dari Michel Foucault, filsuf asal Perancis, yang melihat kesehatan sebagai instrumen rezim untuk mendisiplinkan warganya. Kita melihat bagaimana kuasa dan kapital telah lama menguasai dunia kesehatan kita sehingga seakan bisa menentukan kehidupan seseorang (bio-power).

Kita bisa melihat rumah sakit didirikan untuk melayani siapa, siapa yang diuntungkan dengan layanan kesehatan kita, serta di mana posisi warga biasa dalam sistem pelayanan kesehatan yang dikuasai oleh rezim medis ini.

Ketiga, virus ini membuka betapa lemahnya dunia riset kita. Dalam situasi ini, kekuatan pertahanan semua bangsa akan ditentukan pada sejauh mana kemajuan riset dan ilmu pengetahuan. Di saat manusia berpacu menghadapi pasien yang terus berdatangan, para ilmuwan juga berpacu di laboratorium untuk sesegera mungkin menemukan penangkal.

Di masa kini, ilmu pengetahuan adalah mercusuar yang memandu terang gelapnya satu bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang punya riset hebat serta banyak capaian mengesankan di kapangan ilmu pengetahuan. Sekian abad republik berdiri, ilmu pengetahuan kita jalan di tempat sehingga kita hanya bisa melongo melihat bagaimana negara lain memaksimalkan ilmu pengetahuan untuk mengatasi Corona.

Kita masih bergelut dengan hal-hal mendasar, misalnya bagaimana proses memeriksakan diri di rumah sakit, bagaimana menyediakan tes-pack Corona, bagaimana mengidentifikasi seseorang yang terjangkit virus, bagaimana mengontrol agar virus tidak menyebar.

Pemerintah kita sempat menentang peneliti Harvard yang meragukan kesiapan kita untuk mendeteksi virus. Kini, tak ada lagi bahasa menentang. Pemerintah harus siap menghadapi kenyataan yang sebelumnya gagal diprediksinya. Seiring waktu, virus itu menyerang warga kita hingga memenuhi bangsal rumah sakit.

BACA: Tujuh Tafsir Corona di Media Sosial Kita

Di era Jokowi, riset kita diarahkan menjadi sesuatu yang lebih pragmatis. Pemerintah hanya fokus pada startup, lalu mengabaikan riset-riset di berbagai litbang kementerian kita. Pemerintahan ini hanya fokus pada riset yang segera menjadi uang. Para milenial yang pandai mencetak uang menjadi stafsus pemerintah. Bahkan pemerintah mengampanyekan juga menggelontorkan dana untuk para pelaku startup.

Padahal dalam situasi seperti ini, kita hanya bisa berpaling pada para periset kita yang dengan sabar telah mengembangkan benih-benih ilmu pengetahuan. Ketika kita tidak menjadi pemain dunia itu, maka kita hanya bisa menunggu kerja-kerja peneliti di negara lain agar hasilnya bisa kita impor demi warga sendiri.

Keempat, virus ini membuka banyak konflik yang belum usai di masyarakat kita. Semasa pilpres, kita melihat konflik antara cebong versus kampret. Kini, konflik yang sama kembali memuncak dan memenuhi ruang media sosial kita.  Para cebong telah bertransformasi menjadi die hard pemerintah. Sedangkan kampret telah menjadi oposisi yang mengkritik semua kebijakan pemerintah.

Di sisi lain, kita pun melihat bagaimana elite politik saling berebut panggung. Mereka seakan berebut untuk mengumumkan korban, bergerak cepat agar tampil di media demi menunjukkan perhatian.

Kita melihat bagaimana kesehatan warga menjadi wacana yang diperebutkan oleh politisi demi menaikkan citra. Pihak rezim ingin menampilkan kepedulian, sementara pihak lain ingin merebut panggung.

Di tengah semua rebutan itu, warga kita satu demi satu menjadi pasien di rumah sakit sembari berharap akan ada keajaiban yang bisa membuat mereka segera sembuh dan beraktivitas kembali seperti sedia kala.

Di atas semua sengkarut kepentingan dan masalah itu, kita berharap negeri ini tetap kuat dan selalu bangkit. Kita berharap Ibu Pertiwi tetap berdiri tegar demi membasuh lara hati dan duka anak bangsa. Dan kita tetap setia berdendang:

“Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Emas intannya terkenang”



Apakah Bahasa Inggris Segala-galanya?



Sahabat saya Emilius baru saja meraih gelar doktor di Belanda. Saya melihat fotonya yang mengenakan pakaian bernuansa etnik Dayak saat ujian promosi. Betapa saya bangga dan bahagia melihatnya.

Pernah, pada satu masa saya dan Emilius berada di kelas bahasa Inggris yang sama. Saya dan Emil lulus beasiswa yang tidak mensyaratkan kemampuan bahasa Inggris. Kami benar-benar memulai semuanya dari nol. Kami orang kampung yang lebih fasih bahasa daerah, ketimbang bahasa asing.

Di sekolah menengah kita, bahasa Inggris adalah pelajaran tersulit, bersanding dengan matematika. Generasi saya mendapatkan pelajaran bahasa Inggris sejak SD hingga perguruan tinggi. Lucunya, bisa dihitung jari yang bisa menggunakan bahasa ini secara fasih.

Mengapa? Banyak faktor bisa disebutkan. Yang saya amati, pelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah serupa matematika yang penuh rumus hafalan. Tenses dihafal mati, tanpa tahu kapan dan bagaimana harus digunakan. Jika saja pelajaran bahasa Inggris dikembalikan pada fitrahnya sebagai cara berkomunikasi dan penyampai pesan, pasti akan lebih asyik.

Yang saya amati, setiap kali ada orang yang belajar dan mendemonstrasikan kemampuan bahasa Inggrisnya yang terbata-bata, sering kali banyak orang meledek dan mengolok-olok. Bahkan sekelas Presiden Jokowi pun akan dirundung dan ditertawakan. Dia dianggap tidak cakap. Dia dianggap bodoh.

Padahal, bahasa Inggris kan bukan bahasa kita. Ketika kita tidak pandai, itu hal yang biasa saja. Malah itu menunjukkan bahwa kita sangat Indonesia. Kita sangat nasionalis. Kita mencintai bangsa ini sampai-sampai untuk bahasa sehari-hari kita nyaman dengan bahasa Indonesia.

Harusnya kita bangga sebagai orang Indonesia. Kita adalah bangsa yang warganya menguasai banyak bahasa. Selain bahasa Indonesia, sebagian besar dari kita menguasai beberapa bahasa lokal, lengkap dengan dialeknya. Saya sendiri menguasai lima bahasa, tiga di antaranya adalah bahasa daerah.

Lain halnya saat berada di luar negeri. Saat kita terbata-bata berbahasa Inggris, tak ada satu pun orang yang menertawakan. Malah, orang bule sangat mengapresiasi. Malah banyak yang memuji sebab kita bisa bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris, sementara mereka sama sekali tak bisa bahasa kita.

Sejauh pengamatan saya, bahasa Inggris bukan segala-galanya di kelas-kelas perkuliahan luar negeri. Biarpun Anda tak begitu fasih, tapi ketika Anda menyampaikan sesuatu yang penuh substansi, orang-orang akan sangat menyimak. Semua akan memberi apresiasi.

Sebaliknya, bahasa Inggris hebat tak selalu jadi garansi kesuksesan di kampus-kampus luar. Saya mengenal beberapa orang kaya yang bahasa Inggrisnya kayak bule. Mereka  punya akses sekolah di luar. Prestasinya biasa saja. Nilainya pas-pasan.

Mengapa? Sebab mereka hanya menekankan kemampuan bahasa, tanpa menghadirkan keunikan, orisinalitas, dan pengalaman. Mereka tak menghadirkan gagasan yang berbeda dan menggerakkan.

Logikanya, biar Anda jago bahasa Inggris, tapi jika Anda tak tahu hendak membicarakan apa, maka itu sama saja dengan nol. Sementara di saat bersamaan, ada yang tak lancar bahasa Inggris, tapi saat itu mencoba menyampaikan sesuatu gagasan yang substansial dan bernas, yang  bersumber dari pengalaman serta refleksi yang kuat, maka pastilah akan mendapatkan apresiasi.

Bahasa Inggris hanya cara untuk menyampaikan ide, sesuatu yang amat penting dan lahir dari kontemplasi dan interpretasi atas kenyataan. Bahasa hanyalah jalan tol agar kendaraan gagasan bisa meluncur di lalu-lintas ide. 

Yang tak kalah penting adalah gagasan serta keberanian untuk menyampaikannya, yang meskipun dalam kondisi yang terbata-bata, tetap tidak kehilangan substansinya. Pandangan yang menilai bahasa segala-galanya adalah pandangan yang amat picik. Tanya kawan-kawan di luar sana. Betapa banyak mahasiswa Asia yang datang dengan kemampuan bahasa yang pas-pasan, tapi bisa eksis malah bisa sukses.

Seseorang mesti memiliki ide-ide, serta kemampuan bertahan atau daya-daya survival dalam menghadapi berbagai tantangan. Tanpa kemampuan itu, kemampuan bahasa jadi tak ada apa-apanya. Malah, kalaupun dipaksakan ngomong, yang muncul adalah bualan atau omong besar yang tidak didasari penalaran yang jernih.

Belajarlah pada Bong Joon Ho, sutradara Korea yang meraih Oscar berkat film Parasite. Kreativitas adalah nomor satu, sedangkan bahasa adalah nomor kesekian.

Ada satu kisah menarik yang saya baca di buku Rhenald Kasali. Sewaktu dia belajar di Amerika, anaknya ikut belajar di satu sekolah dasar di sana. Anaknya tak fasih bahasa Inggris. Tapi saat akhir semester, anaknya malah dapat nilai tinggi. Rhenald tak percaya. Dia mendatangi sekolah untuk protes.

“Bapak dari mana?” tanya guru yang mengajar anak Rhenald.
“Saya dari Indonesia” kata Rhenald.
“Ooo pantas bapak protes. Di sini kami tidak melihat hasil. Kami melihat proses. Anak bapak punya start yang berbeda dengan anak lain. Tapi dia tidak pernah menyerah. Dalam keterbatasannya, dia menunjukkan upaya yang lebih keras dan lebih semangat dari anak-anak lain. Kami sangat mengapresiasinya,” kata guru itu.

Saya menangkap satu embun jernih. Bahwa penting bagi seseorang untuk menemukan semangat dan motivasi kuat untuk menggapai mimpinya. Saat seseorang tahu tujuan, punya mimpi-mimpi, maka dia akan menemukan kaki-kaki untuk bergerak. Semesta akan memeluk semua mimpinya. Dia akan bisa menaklukkan apa pun, termasuk bahasa.

Saya telah melihatnya pada beberapa sahabat. Mulai dari Nahad Baunsele di Pulau Timor, Oemar Werfete di Papua, hingga Emilius yang baru saja meraih doktor. Mereka telah mengubah semua keterbatasan menjadi kekuatan.

Saya bangga mengenal mereka.


Bahasa Tinggi




Saya sedang membaca satu buku yang ditulis seorang doktor bidang ilmu komunikasi dari satu PTN di Jakarta. Saya cukup terganggu dengan begitu banyak istilah asing serta kutipan di buku itu.

Tampaknya, di ruang akademis kita, amat banyak orang yang suka pakai bahasa tinggi. Yang dimaksud dengan bahasa tinggi di sini adalah penggunaan kata-kata yang diserap dari bahasa lain, penggunaan istilah-istilah bertaburan dalam teks dan kalimat, yang tak bisa dipahami semua orang.

Yang saya amati, beberapa orang suka menyebut bahasa tinggi bukan untuk menyampaikan maksud. Banyak di antaranya yang hendak mengesankan dirinya pintar, serta mendapatkan respek dari orang banyak.

Maklum saja, posisi sebagai kaum terpelajar dianggapnya lebih tinggi sehingga pantas mendapatkan penghormatan dari masyarakat biasa.

Coba saja hidupkan pesawat televisi. Amati dialog-dialog di situ. Pastilah Anda akan menemukan begitu banyak istilah dan bahasa tinggi yang hanya dipahami oleh segelintir orang.

Virus penggunaan bahasa tinggi bukan hanya melanda para akademisi dan pengamat di media, tapi juga merambah para politisi, kaum profesional, hingga para pekerja media. Yang sering terjadi adalah sering kali istilah yang digunakan justru tidak nyambung, serta membuat jarak dengan masyarakat awam.

Selain bahasa tinggi, sering pula kita lihat orang mengutip kosa kata bahasa Inggris. Saya kenal seorang kolega yang amat sering menggunakan istilah bahasa Inggris. Dia suka menyebut kata dignity, paradigm, dan science. Padahal saya tahu persis dia tidak pernah bisa melalui tes Toefl dengan nilai baik.

Saat membaca banyak buku yang ditulis akademisi dalam bahasa Indonesia, saya terkejut melihat begitu banyak kosa kata bahasa Inggris dalam teks. Demikian pula, saat membaca jurnal berbahasa Indonesia, saya juga menemukan hal yang sama. Padahal semua kata yang disebut sudah punya padanan dalam bahasa Indonesia.

Apakah istilah tinggi identik dengan ketinggian ilmu? Saya rasa tidak. Buktinya, buku-buku yang ditulis para profesor di luar negeri, seperti Jared Diamond, Steven Pinker, Carl Sagan, bahkan Carl Gustav Jung justru amat renyah dan ringan. Padahal mereka kaliber di bidangnya. Kurang cerdas apa mereka?

Saya tak mengerti sejak kapan tren penggunaan bahasa Inggris ini masuk dalam beberapa buku teks yang diterbitkan di tanah air. Bisa jadi, beberapa istilah sengaja ditampilkan dalam bahasa aslinya agar tidak terjadi pergeseran makna dari teks aslinya yang berbahasa asing.

Tapi persoalannya, penggunaan istilah-istilah itu menjadi kebablasan saat hal-hal sederhana disampaikan dalam bahasa yang sulit dipahami awam.

Mengapa kita suka menggunakan bahasa tinggi dan istilah-istilah bahasa Inggris? Sebab penggunaan kata itu akan dianggap keren, berkelas, serta punya cita rasa kaum terpelajar. Bisa saja menggantinya dengan kosa kata bahasa Indonesia. Namun kata itu akan kehilangan greget. Seolah-olah tidak ilmiah.

Saya juga menemukan hal lain. Saat membaca buku yang ditulis beberapa akademisi kita, saya terlampau banyak kutipan-kutipan serta nama-nama ilmuwan dari berbagai belahan bumi.
Saya bisa memahami kalau kutipan dan nama itu bertujuan untuk membentangkan peta permasalahan, mendiskusikan satu soalan secara luas dan mengetahui pendapat dan teori dari banyak orang yang pernah memikirkan hal yang sama, lalu menemukan celah-celah yang menunjukkan kebaruan dari perspektif yang ditawarkan.

Tapi dalam banyak kasus, sering kali kutipan dan nama ahli itu sengaja diperbanyak, lalu pendapat pribadi sang penulis tak banyak muncul di teks yang sedang dibaca. Yang kita temukan adalah parade kutipan, tanpa melihat bagaimana seseorang mendemonstrasikan gagasannya sendiri. Seakan-akan penulis hendak menunjukkan betapa mewahnya bacaannya.

Bagi saya sih, yang terpenting adalah pendapat orisinal seseorang, sesederhana apa pun itu. Setelah itu bagaimana dia mendialogkan ide-idenya dengan kenyataan di sekitarnya, termasuk melihatnya dari perspektif teori.

Jangan2 kita terlampau lama dijajah orang barat sehingga segala hal yang identik dengan barat akan dianggap keren, berkelas, dan oke punya. Makanya, kita berusaha memirip-miripkan gaya dan cara bertutur demi mengesankan diri kita go international dan berkelas.

Padahal yang terjadi adalah kita sedang mendemonstrasikan ketidakmampuan kita dalam berbahasa dan memilih diksi yang tepat. Kita berlindung di balik istilah yang kita sendiri tidak paham maknanya.

Padahal semakin tinggi intelektualitas seseorang, maka dia semakin bisa menyederhanakan sesuatu yang rumit. Semakin tinggi pengetahuan, maka seseorang akan semakin mampu menaklukkan kata.. Pengetahuan berguna untuk mencerahkan dunia, memisah terang dari gelap, serta memberikan arah bagi orang lain.

Saat mengakhiri tulisan ini, saya baru saja mendengar percakapan seorang terpelajar dan seorang masyarakat awam.

“Brother, apakah bisa kita melakukan sharing resources sehingga bisa tercipta landasan hidup yang lebih equal di antara kita? tanya seorang terpelajar kepada kawannya.
“Maksudmu?” kata kawannya.
“Maksud saya, resources harus dibagi rata biar tidak terjadi instabilitas sosial yang memicu konflik sebagai akibat dari segregasi sosial,”
“Saya tak ngerti,”
“Maksud saya, apakah rokok itu bisa dibagikan?”
“Ah, sialan kau, Ternyata kau hendak minta rokok. Ngapain pula memulainya dengan berbagai istilah-istilah tinggi!”

Cerita tentang "Pork Barrel Project"




Di satu kafe di sekitar Sarinah, saya bertemu dengannya. Dia datang jauh dari satu daerah di kawasan timur. Dia sudah hampir sebulan di Jakarta. Dia telah bertemu banyak petualang politik. Dia butuh selembar rekomendasi untuk pilkada.

Namun hingga dua minggu gerilya, dia belum menemukan lampu hijau. Di mata saya, dia cukup cerdas. Dia punya visi yang bagus. Pintar meyakinkan orang lain. Lantas, dia kurang apa?

Di tengah isu corona dan banjir, Jakarta ibarat lampu petromax yang terus didatangi laron politik dari semua daerah. Tahun ini, Indonesia akan menggelar ratusan pilkada serentak. Mayoritas calon kepala daerah kini memenuhi Jakarta demi berebut rekomendasi dari partai politik.

Selembar rekomendasi itu ibarat tiket yang diperebutkan dengan berbagai cara. Pemilik partai adalah pemilik kuasa yang dikejar-kejar demi selembar tiket. Para calon kepala daerah itu harus datang memelas, membawa banyak upeti, juga memberikan garansi kalau mereka akan menang.

Partai politik jelas ingin menang. Sebab hanya kemenangan yang akan membawa masa depan bagi partai itu. Seorang kepala daerah punya kuasa mengubah suara partai. Dia punya jejaring yang jika bergerak akan membawa berkah bagi partai.

Demi mengetuk pintu partai politik, maka ada dua syarat penting yang wajib dipenuhi.

Pertama, Anda punya jejaring pada pengambil kebijakan di partai. Jejaring adalah koentji. Anda mesti punya pintu masuk untuk mengetuk pengambil kebijakan di semua partai politik.

Maka beruntunglah mereka yang pernah berorganisasi dan mengenal petinggi partai itu sejak belia. Bersyukurlah mereka yang aktif di organisasi massa –misalnya NU, Muhammadiyah, dan KAHMI-- sehingga punya gerbong besar untuk mengajukan namanya sebagai kepala daerah.

Kedua, Anda harus punya uang. Anda harus memperlihatkan saldo rekening sebagai garansi bisa menggerakkan tim pemenangan. Anda mesti meyakinkan partai kalau Anda punya uang untuk menang, bisa memberi manfaat bagi partai, serta bisa membantu kerja-kerja partai.

Bagaimana jika tidak punya uang? Gampang. Anda cukup mendapat garansi dari pemilik bisnis besar, taipan, atau konglomerat. Mereka yang akan membayar semua pintu partai. Bukan rahasia lagi jika ada partai politik yang memasang tarif untuk setiap kursi di parlemen.

“Saya merasa beruntung karena dibantu pengusaha besar,” kata sosok di hadapan saya ini.
“Apa yang kamu janjikan?”
“Tidak ada. Kami punya visi yang sama untuk membangun daerah,” katanya.

Saya terdiam. Di pikiran saya melintas pendapat akademisi Edward Aspinall tentang pork barrel projects atau proyek gentong babi. Kata Aspinall, seorang politisi dan kepala daerah sering menjanjikan proyek-proyek pembangunan.

Proyek ini biasanya melibatkan lobi-lobi, jaringan, serta kongkalikong dengan pengusaha. Politisi butuh pengusaha untuk membiayai agendanya. Pengusaha butuh politisi untuk melicinkan jalannya menguasai proyek di daerah.

Saya juga ingat peneliti Michael Buehler. Hampir semua proyek-proyek pembangunan selalu dikerjakan oleh kontraktor atau perusahaan yang dekat dengan seorang kepala daerah. Itu semacam proyek balas budi. Pepatah “no free lunch” berlaku di sini.

“Yos, kamu mau minum apa? Wine yaa”



Tujuh Tafsir CORONA di Media Sosial Kita




Setiap kali ada peristiwa, maka orang-orang akan menafsirnya dengan cara berbeda. Ada yang melihatnya secara rasional, ada pula yang melihatnya secara irasional. Manusia Indonesia tidak akan pernah satu perspektif. Selalu saja suka bikin mazhab sendiri lalu berkubu-kubu, kemudian tengkar-tengkar.

Sejak era media sosial dimulai, orang Indonesia amat suka berbeda pendapat lalu saling bantah. Di era ini, tak ada lagi otoritas. Seorang profesor doktor bisa didebat oleh seorang lulusan SD. Lucunya, sering kali profesor doktor malah larut dalam bantah-bantahan dengan lulusan SD itu. Jangan-jangan, mereka punya tingkat IQ yang sama.

Kita selalu mencari satu pemantik isu untuk menyuburkan iklim debat kita. Apa pun itu, bisa jadi bahan debat. Bahkan virus Corona, yang notabene adalah domain para ahli medis, bisa juga jadi bahan perdebatan hingga berlarut-larut. Benar kata Tom Nichols, dekade ini adalah dekade matinya kepakaran. Semua bisa menjadi pakar.

BACA: Saat Corona Menyerang Homo Deus

Sejak virus Corona merebak, saya rajin memperhatikan bagaimana orang berdebat di media sosial. Sejak beberapa bulan lalu, energi debat memenuhi media sosial. Bahkan di satu grup WhatsApp, dua orang saling membongkar aib hanya karena berbeda pandangan soal Corona.

Saya mencatat, ada tujuh pandangan terkait merebaknya virus ini. Mari kita lihat satu per satu, kemudian tentukan di mana posisi Anda.

Pertama, kubu mengaku religius. Ketika Corona pertama merebak, mereka langsung menuduh kalau virus ini adalah tentara Allah yang hendak menghukum penduduk Cina. Mereka mengait-ngaitkan wabah ini dengan perlakuan tentara Cina yang dikabarkan membatasi ekspresi keberislaman orang Uyghur di Cina. Ditambah lagi, ada semacam endapan kebencian rasial yang lama tersimpan di hati.

Mereka langsung setuju pernyataan seorang pendakwah mengenai virus ini sebagai tentara Allah. Padahal, pendakwah itu telah memberikan penjelasan kalau dirinya hanya menyebut itu sebagai salah satu tafsir. Artinya, dia terbuka pada banyak tafsir lainnya. Apa pun itu, fans garis kerasnya langsung menyebarkan tafsiran itu.

Saat virus itu mulai menyerang Timur Tengah, perlahan mereka terdiam. Sebab virus itu bisa menyerang siapa saja, tanpa mengenal apa pun kewarganegaraannya. Di satu grup percakapan, seorang dokter tak henti-hentinya menyebut virus ini sebagai hukuman bagi bangsa Cina. Dia lupa kalau semua jenis penyakit tidak pernah menyerang satu bangsa, melainkan spesies manusia.

Kedua, kubu mengaku rasional. Kubu kedua ini adalah anti-tesis dari kubu pertama. Mereka tidak percaya kalau virus ini adalah tentara Allah. Mereka melihat virus ini muncul dari satu proses biologis yang bisa dijelaskan secara ilmiah, serta bisa diatasi dengan memperkuat riset-riset.

Mereka menyebut keberadaan virus ini adalah takdir, tetapi menghindarinya juga takdir. Mereka mendukung semua kerja-kerja ilmiah untuk menemukan solusi secepat mungkin atas merebaknya virus ini. Bahkan mereka membagikan semua capaian, termasuk yang dilakukan para ilmuwan Israel dan negeri-negeri barat.

Mereka menolak mengaitkan virus corona sebagai azab. Saat virus ini mulai masuk ke negara-negara Muslim, kubu ini kian mendapat angin. Mereka mendapat pembelaan kalau virus ini adalah ancaman bagi spesies manusia secara keseluruhan. Bahkan Saudi Arabia, negeri yang 100 persen warganya adalah haji, menutup bandara demi menangkal penyebaran virus.

Mereka percaya bahwa penyakit itu menyerang siapa saja sehingga semua orang perlu waspada dan mencegah secara dini. Tak perlu membawa-bawa ayat dan menyebutnya sebagai hukuman Tuhan.

Ketiga, kubu anti pemerintah. Sejak lama mencari bahan dan amunisi untuk habis-habisan mengkritik pemerintah. Virus Corona pun dilihat sebagai amunisi baru untuk mengkritik kinerja pemerintah yang tidak becus. Mereka panik dan menolak narasi pemerintah untuk tenang.

Kelompok ini juga sangat mudah percaya pada hoaks, khususnya yang bisa mendiskreditkan pemerintahan. Ada yang berpandangan, sebar dulu hoaks, setelah itu baru klarifikasi.



Di Twitter, mereka membagikan cuitan dari anggota DPD yang meyakini ada ratusan orang terkena virus Corona di Indonesia. Padahal informasi itu tidak ada klarifikasinya. Bahkan Kementerian Kesehatan menampiknya. Giliran dicecar netizen, anggota DPD itu mengaku mendapat informasi dari media online. Entah benar atau tidak. Prinsipnya, sebar dulu, setelah itu hapus postingan.

Mereka meragukan pernyataan pemerintah yang mengatakan Indonesia bebas virus. Namun narasi yang dibangun adalah kecurigaan serta keraguan terus-menerus.

Tapi saya memandang kelompok ini tidak selalu salah. Mereka hadir di tengah buruknya lini informasi pemerintah dalam memberikan pencerahan pada publik tentang apa yang terjadi.

Harus diakui, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, gagal memberikan edukasi kepada publik tentang virus ini. Pejabat publik kita pun ikut-ikutan ngawur dalam memberikan pernyataan pers. Wajar saja jika publik meragukan semua informasi yang muncul.

Keempat, kubu fanboys dan fangirls berat pemerintah. Mereka melihat Corona dari sisi pembelaan habis-habisan pada apa pun pernyataan pejabat negara. Mereka membela habis-habisan Kementerian Kesehatan. Mereka selalu bicara tentang informasi resmi yang terkonfirmasi, dalam hal ini informasi dari pemerintah. Padahal, informasi pemerintah bisa saja tidak akurat. Setiap rezim hanya ingin menghadirkan infromasi yang menyenangkan, sembari menyembunyikan banyak hal.

Kubu fanboys dan fangirls ini selalu gelut dengan kubu sebelumnya. Pasca pilpres, mereka sama-sama belum bisa move on. Satu mengkritik habis apa pun yang dilakukan pemerintah. Satunya habis-habisan membela. Debat mereka selalu ramai di media sosial. Satu menjadi oposisi penuh kritik, satu lagi menjadi humas gratisan lembaga pemerintah.

Kelima, kubu panik. Anggota kubu ini adalah semua masyarakat yang mudah paranoid dan khawatir gara-gara keseringan menyaksikan media. Para jurnalis televisi memberikan reportase dengan mengenakan masker seolah baru saja terjadi bencana radiasi nuklir. Tayangan tentang para pekerja medis yang memakai baju ala astronot terus diulang-ulang hingga publik panik.

Saat dua orang Indonesia dilaporkan terkena virus, kepanikan semakin meluas. Semua supermarket dipenuhi orang-orang yang membeli masker dan bahan makanan. Di Depok, banyak yang memilih untuk mengungsi. Bahkan ada wacana untuk mengisolasi Depok seperti Wuhan di Cina.

Dalam situasi ini, seharusnya pemerintah bisa hadir dan mengatasi kepanikan warga dengan informasi yang benar. Pemerintah mesti memastikan kalau penyebaran virus bisa dihentikan sehingga masyarakat bisa lebih tenang dan waspada. Pemerintah juga mesti menutup sumber hoaks yang membuat warga semakin panik sehingga seakan-akan Indonesia memasuki darurat bencana.

Keenam, kubu ceria. Mereka adalah netizen yang setiap saat menjadikan apa pun sebagai meme untuk lucu-lucuan. Bahkan Corona pun yang menjadi sebab dari penyakit yang membunuh itu pun dilihat sebagai lucu-lucuan. Mereka membuat berbagai meme kreatif. Mulai dari seseorang yang merokok dengan menggunakan masker yang telah dilubangi. Bahkan ada juga yang membuat pesan-pesan lucu terkait virus ini.

Dalam banyak hal, saya menilai kubu ini mengabaikan perasaan mereka yang sedang berjuang mengatasi penyakit. Harusnya mereka lebih empati dan peduli pada orang lain.

Ketujuh, kubu penuh kegembiraan. Harus diakui, merebaknya virus Corona menjadi berita gembira bagi sebagian orang. Para pedagang masker langsung menaikkan harga masker setinggi mungkin. Di Jabodetabek, susah menemukan masker yang harganya normal. Para pedagang tidak belajar pada orang Jepang yang menggratiskan masker sembari memberi pesan kalau tidak mau menari di atas penderitaan orang lain.

Di lini masa, beberapa agen asuransi langsung menjadikannya momentum untuk memasarkan produknya. Bahkan ada penyanyi dangdut yang dengan kreatif telah membuat lagu berjudul Corona demi memanfaatkan momentum virus ini.



Bagi penyanyi dangdut bernama Alvi Ananta ini, Corona adalah singkatan dari Comunitas Rondo Merana. Tak pelak, penyanyi dangdut ini di-bully para netizen yang menganggapnya tidak peka pada penderitaan sebagian umat manusia yang terkena serangan virus.

Saya menduga penyanyi ini rajin memantau Google Trend serta sedikit paham algoritma medsos. Dia membuat lagu dengan keyword yang lagi ngetrend sehingga dengan cepat menjadi perbincangan para netizen.

*** 

Para pengkaji ilmu sosial menyebut selalu ada perdebatan antara relevansi intelektual dan relevansi sosial. Satu informasi bisa benar secara intelektual, tetapi jika tidak tersosialisasi dengan baik, maka bisa dianggap keliru secara sosial.

Tugas pemerintah adalah menyebarkan semua informasi yang benar, serta menyediakan semua kanal-kanal informasi yang akurat sehingga publik tidak terombang-ambing dalam lautan informasi. Buatlah semacam Clearing House atau semacam Panic House yang bertugas untuk menyaring informasi dan meletakkan semuanya secara proporsional.

Jika tidak segera ditangani, ketujuh kubu netizen di atas akan terjebak dalam tengkar-tengkar yang berujung pada kepanikan dan paranoid secara massal. Jika terus terjadi, ekonomi bisa limbung, pelayanan sektor publik akan terganggu, hingga banyak aspek kehidupan akan terganggu.

Padahal keinginan publik sederhana yakni badai akan segera berlalu, dan dunia kembali tenang dan damai. Kita meletakkan harapan pada mereka yang bekerja untuk kemanusiaan serta bekerja dalam sunyi demi menemukan anti virus ini sesegera mungkin.

Antologi Rasa Kuliner MINANG


berpose di Bukittinggi

“Di jengkal mana pun di tanah air, pasti kamu akan ketemu masakan Padang. Pasti lebih enak di sini,” kata Malik. Sepanjang jalan dari Bandara Minangkabau menuju jantung kota Padang, dia tak henti bercerita tentang lezatnya kuliner Minang. Sebagai driver ojol berpengalaman, dia bisa menebak kalau saya baru pertama kali ke tanah Minang.

Minang identik dengan kuliner yang jejak kelezatannya abadi di lidah. Di berbagai kota dan kabupaten yang saya jelajahi, selalu saja ada kuliner Minang. Beberapa bulan lalu, saya singgah ke Kefamenanu, wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Lagi-lagi, saya menemukan kuliner Minang yang amat nikmat di situ.

Setelah berpisah dengan Malik, saya mengontak seorang kawan. Saya minta informasi di mana tempat makan paling nikmat di Padang. Dia menyebut banyak nama restoran dan lokasinya. Terdekat adalah Restoran Lamun Ombak. Saya pun bergegas ke situ.

BACA: Kopi Ternikmat di Dunia

Lamun Ombak mengingatkan saya pada Restoran Sederhana yang bertebaran di banyak kota. Suasananya ramai. Di sini ada keramaian ala kedai nikmat di kampung-kampung, tetapi konsepnya modern dan bersih.

Baru masuk, saya sudah terkesima melihat kuliner yang dipajang di kaca-kaca. Prosedurnya sama dengan restoran Minang lain. Pengunjung duduk di meja, kemudian pelayannya datang dengan piring yang bersusun di lengannya, kemudian meletakkan semuanya di meja.

Saat mencicipi, saya mengamini kalimat Malik yang diucapkan saat berpisah. Di tanah Minang, hanya ada dua rasa makanan yakni enak dan enak sekali. Kuliner Minang memang lebih enak di kampung halamannya sendiri. Saya mengakuinya.

Sebagai periset, saya melihat budaya hadir dalam bentuk pengetahuan serta gagasan yang berisikan resep-resep dan pedoman, diwariskan dari generasi ke generasi, senantiasa berubah sesuai dengan konteks zamannya.

Sebagai satu khazanah budaya, kuliner Minang terus berkembang di sepanjang zaman, serta terus mengalami penyesuaian di sana- sini. Di banyak daerah, rasa kuliner Minang selalu berbeda sebab menyesuaikan dengan bahan serta lidah orang setempat.


menu di Restoran Lamun Ombak, Padang

Di tanah Minang, saya menemukan rasa yang orisinal. Saya merasakan nikmat yang tidak biasa sebab di sinilah semuanya bermula.  Mengapa orang Minang suka makanan pedas?

“Rasa pedas itu terkait dengan asal-usul orang Minang,” kata seorang pelayan. Dia bercerita tentang luhak nan tigo, atau asal-usul orang Minangkabau dari tiga lokasi, yakni Luhak Agam, Luhak Limapuluh Kota dan Luhak Tanah Datar.

Ketiga daerah itu dikenal sebagai dataran tinggi, yang disebut darek. Daerah itu dikelilingi hawa dingin sehingga masyarakat membutuhkan sesuatu yang hangat. “Makanya, selalu ada resep cabai di masakan Minang. Mereka butuh menghangatkan badan sebab hawa dingin menusuk-nusuk,” katanya.

BACA: Saat Baronang Melintas di Wakatobi

Biarpun kuliner Minang sudah menjelajah ke seluruh wilayah Asia hingga Amerika, rasanya masih bisa dikenali. Jenis menunya selalu sama. Ada semacam konsensus tentang masakan Padang. Selalu saja ada makanan bersantan, bergulai, dan rendang. Catatan sejarah menyebutkan, orang Minang sudah berabad-abad memasak makanan bersantan seperti rendang dan gulai.

Dalam buku The History of Sumatra (1784), William Marsde mencatat tentang dua tumbuhan paling penting di Sumatera yakni padi dan kelapa. Kini, keduanya menjadi bahan pokok semua kuliner Minang. Kelapa menjadi santan untuk membuat aneka gulai.

Pernah saya membaca komentar Gusti Asnan, guru besar sejarah Universitas Andalas, yang menyebutkan tentang catatan Jenderal Hubert Joseph de Stuers, panglima militer dan residen Padang pada masa Belanda, tahun 1827. De Stuers bercerita mengenai “teknik membuat masakan menggunakan kelapa yang dihaluskan.” Ini mengarah ke rendang. Artinya, rendang sudah ada sejak dulu.

Namun, kuliner Minang juga menunjukkan adanya pertautan dengan berbagai kebudayaan lain. Sejak lama, Minangkabau menjalin hubungan dengan Afrika dan India. Mereka dihubungkan oleh arus angin yang memandu para pelayar untuk saling mengunjungi.

Bahkan penjelajah Tome Pires dalam Summa Oriental menyebutkan koneksi kuat antara pantai barat Sumatra dengan Afrika dan India yang berlangsung di Pelabuhan Tiku, kini ada di Agam.  Hubungan itu bisa dilihat dari tradisi dan ritual budaya.



Dalam hal kuliner, gulai yang ada di Minang diduga kuat dipengaruhi oleh India. Bedanya, India tidak memakai santan, melainkan yoghurt dan kacang-kacangan, sebagai bahan pengental.

Dalam satu publikasi, saya pernah membaca uraian Gusti Asnan mengenai sejarah restoran Minang. Menurutnya, di zaman kolonial, Padang adalah pusat administrasi Gouvernement Van Sumatras Westkust serta pusat aktivitas ekonomi. Semua hasil bumi Sumatra dibawa ke Padang untuk dipasarkan.

Pada masa itu, perjalanan dari daerah-daerah semisal Bukittinggi menuju Padang dilalui dengan kuda beban dan pedati. Makanya, selalu ada etape bagi pedati untuk berhenti. Dari Bukittinggi ke Padang terdapat enam etape. Di situ, pejalan akan istirahat, kemudian singgah makan. Dari sinilah awal mula Restoran padang.

“Mengapa masakan Minang bisa ditemukan di seluruh penjuru Nusantara?” Pelayan di Lamun Ombak ini tersenyum.  “Sebab orang Minang suka merantau. Mereka berkelana ke mana-mana dan membawa kuliner yang diharapkan bisa tahan berhari-hari. Itulah rendang dan sebangsanya,” katanya.

Saya masih ingin bertanya lagi. Tapi dia sudah bergegas untuk kembali bekerja. Saya ingin tahu mengapa orang Minang suka merantau, serta bagaimana proses internasionalisasi kuliner Minang sehingga rasanya selalu akrab di lidah.

Saya memilih lanjut menikmati hidangan.

*** 

Di satu sudut kota Padang, saya bertemu budayawan Edy Utama. Dia seorang jurnalis, sutradara teater, dan sering mewakili budayawan Minang ke pentas dunia. Dia pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat.

Kami bertemu di satu kedai kopi, di kawasan Pecinan, tidak jauh dari hotel Kyriad, tempat seorang anggota parlemen menggerebek seorang pekerja seks. Langsung saya tanyakan tentang tradisi merantau.

“Orang Minang sudah merantau sejak berabad silam. Motifnya bukan semata ekonomi, tetapi mereka suka melakukan adventure of mind atau semacam petualangan pikiran ke mana-mana,” katanya.

Bagi Edy, lelaki Minang memang identik dengan perantau. “Lihat rumah gadang. Tak ada ruangan laki-laki di situ. Semua ruangan untuk anak perempuan dan orang tua. Laki-laki lebih banyak di surau dan masjid,” katanya.

Saya ingat para antropolog mengenai Minang. Dalam sistem kebudayaan yang matrilineal, garis keturunan perempuan menjadi lebih penting dari laki-laki. Ruang bagi laki-laki adalah di luar rumah dan sedini mungkin merantau lalu mandiri.

BACA: Wangi Kopi dan Aroma Cengkeh Pegunungan Luwu

Edy mengutip buku Semasa Kecil di Kampung yang ditulis Muhammad Radjab pada tahun 1928. Katanya, setiap tahun, para perantau Minang kembali ke kampung sehingga anak-anak muda mendengarkan kisah mereka mengenai hebatnya tanah rantau.

“Pakaiannya bagus-bagus. Ceritanya memukau, sehingga mereka terpesona. Mereka termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Ini alasan kultural. Selain itu ada alasan intelektual yakni melakukan perjalanan intelektual,” katanya.

buku yang ditulis Muhammad Radjab

Saya menyimak tuturan Edy. Seingat saya, Radjab bercerita mengenai perubahan lanskap budaya Minang dari masa ke masa. Pada mulanya, para datuk dan bangsawan menempati strata penting di masyarakat. Banyak orang ingin bermenantukan bangsawan. Saat agama Islam hadir, para kiai dan pemuka agama yang menjadi sosok paling penting. Orang-orang ingin berkeluarga dengan mereka agar bisa masuk surga.

Namun, setelah masuk era kapitalisme, para perantau yang kaya-kaya mulai berdatangan dan menjadi pusat perhatian semua orang. Biarpun asal-usul tak jelas, selagi mereka punya banyak uang, maka mereka menjadi titik perhatian semua orang. Radjab tumbuh dalam situasi ketika merantau dan berniaga agar kaya menjadi idaman semua pria.

Mengacu pada tuturan Edy Utama dan catatan Muhammad Radjab, perantauan itu berlangsung sejak lama demi mobilitas kelas, serta aktivitas ekonomi. Para perantau itu menjual keahlian mereka dalam meracik bumbu sehingga menjadi kuliner yang disukai di mana-mana. Seiring waktu, bisnis kuliner itu terus berkembang sehingga berdampak pada proses penyebaran kuliner Minang ke mana-mana.

Namun, tak bisa pula diabaikan faktor politik di balik proses menusantaranya kuliner Inang. Saya kembali mengutip sejarawan Gusti Asnan yang menyebut adanya peristiwa PRRI di tahun 1961 sehingga terjadi eksodus besar-besaran orang Minang ke berbagai penjuru.

Kata Gusti, orang padang setelah itu peristiwa itu disuruh melapor, dibilangi orang kalah, dan menjadi tahanan di rumah sendiri. “Mereka memilih eksodus ke Jawa, banyak yang mengganti identitasnya, serta selalu ada rasa tidak aman,” katanya.

BACA: Mencicipi Kuliner, Mencicipi Kebudayaan

Proses politik itu menyebabkan orang Minang semakin jauh merantau, semakin jauh berniaga, dan semakin jauh membawa semua pusako minang, termasuk kulinernya sehingga menjadi kuliner kesukaan di mana-mana. Mereka membawa semua cita rasa itu menjadi sesuatu yang universal sehingga kuliner Minang menjadi identik dengan nasionalisme.

Kuliner Minang yang menyebar ke mana-mana telah mengingatkan saya pada konsep ethnoscape dari antropolog Arjun Appadurai yang membahas bagaimana budaya terus bergerak seiring dengan perpindahan manusianya. Kuliner itu tidak lagi menjadi milik orang Minang, tetapi telah lama menjadi identitas nasional kita.

Makanya ketika di tahun 2017, CNN menobatkan rendang sebagai makanan terenak di dunia, nasionalisme kita seakan bangkit. Seluruh anak bangsa Indonesia merasa bangga. Rendang adalah khazanah kuliner yang telah menjadi identitas nasional kita yang menghadirkan kebanggaan. Kita bangga dengan pusako Minang. Kita bangga dengan Indonesia.

Di satu sudut kota Padang, saya menikmati kuliner dengan lahap, selahap-lahapnya.