saat Tuan Guru Bajang iktikaf di masjid dan membetulkan bacaan anak-anak yang sedang mengaji |
SEPEKAN ini, Twiter diramaikan saling komentar mengenai Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi sebagai salah satu calon presiden alternatif. Beberapa seleb twitter, mulai dari Andi Arief, Sudjiwo Tejo, Roy Suryo hingga Mahfud MD meramaikan diskusi mengenai TGB. Perdebatan itu bermula dari Andi Arief, salah satu orang dekat Cikeas, yang menuduh TGB menggerakkan buzzer bayaran. Sontak, reaksi bermunculan di mana-mana.
Banyak yang mengira, naiknya nama TGB belakangan ini adalah hasil dari kerja para tim media sosial yang terus meramaikan berbagai konten terkait TGB. Padahal, relawan TGB punya sumber daya amat terbatas dan belum merambah ke setiap lini medsos. Saat bertemu mereka di Kota Mataram, saya mendapat kesan kalau mereka masih mencari pola kerja yang tepat untuk memasarkan nama TGB.
Lantas, apa yang menjelaskan mengapa nama TGB ramai dibicarakan?
***
RUMAH yang berukuran kecil itu tampak sepi. Di depannya, terlihat papan nama yang bertuliskan lembaga bantuan hukum. Di Jalan Pemuda, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), saya bertandang ke rumah itu demi memenuhi ajakan seorang kawan. Rumah itu menjadi markas dari simpatisan Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, yang masih menjabat sebagai Gubernur NTB. Di situ, mereka selalu bertemu dan membicarakan berbagai hal terkait konten kreatif TGB.
Saya bertemu simpatisan TGB dalam diskusi yang santai dan penuh gelak tawa. Latar belakang para simpatisan ini beraneka-ragam. Beberapa di antaranya adalah sahabat yang telah lama berinteraksi. Ada yang berprofesi sebagai fungsionaris partai, jurnalis, hingga beberapa di antaranya adalah aktivis lembaga swadaya masyarakat. Mereka selalu mendiskusikan konten kreatif yang bisa semakin memopulerkan TGB.
Mereka mengakui bahwa pergerakan mereka sangat terbatas. Dalam diskusi itu, saya menarik kesimpulan kalau mereka bukan pemain media sosial yang sangat berpengalaman dalam mendorong satu isu. Mereka mengaku masih pemula, dan memasuki rimba raya medsos hanya dengan modal idealisme: bahwa segala niat baik mesti ditebar ke mana-mana. Mereka ingin berkontribusi agar wacana pemilihan pemimpin Indonesia bisa lebih semarak.
Belakangan, nama TGB memang ramai dibicarakan. Di akun Youtube, banyak video mengenai TGB beredar luas dan menjadi viral. Lini masa Facebook dan Twitter juga diramaikan oleh kehadiran TGB. Di mana-mana kita temukan akun medsos yang setia mengampanyekan TGB.
Yang mengherankan saya, para simpatisan TGB mengakui bahwa tidak semua penggiat medsos yang mengampanyekan TGB berada dalam kendali mereka. Artinya, terdapat banyak orang yang lalu secara suka-rela menjadi juru kampanye bagi TGB dan meramaikan wacana tentang lelaki itu di berbagai media sosial. Semuanya berjalan secara alamiah, tanpa banyak intervensi. Hasilnya cukup mengejutkan. Buktinya, nama TGB dibicarakan di mana-mana. Dia mulai disebut-sebut sebagai capres alternatif yang bisa menjadi pesaing kuat bagi Jokowi dan Prabowo.
Meskipun banyak yang hendak membenturkan dirinya dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai sesama kader Demokrat, TGB tidak seleluasa AHY yang merupakan putra ketua umum. Jika keduanya dihadapkan dan diskusi soal nasionalisme dan kebangsaan, posisi keduanya seimbang. Tapi jika tema diskusinya keislaman, AHY bukan tandingan TGB yang merupakan doktor di bidang tafsir Al Quran.
Dilihat dari sisi pemasaran, TGB lebih pantas dijual sebab bisa menjangkau kalangan nasionalis dan Islami sekaligus. Apa daya, elektabilitas TGB jauh di bawah AHY yang sudah mulai menjulang saat pilkada DKI Jakarta lalu.
TGB juga tidak seleluasa Cak Imin ataupun Rohmy yang bisa keliling kampanye dengan membawa bendera partai dan disambut fungsionaris partai di mana pun. Pergerakan TGB lebih banyak bersifat kultural dan tanpa embel partai. Dia bergerak sendiri, membentuk tim sendiri, serta hanya mengandalkan kemampuannya berceramah. Di situlah letak kekuatannya.
Terhadap kian melesatnya nama TGB belakangan ini, saya melihat ada lima kekuatan yang bisa dihamparkan di sini.
Pertama, TGB punya asosiasi yang kuat dengan kalangan Islam. Basisnya adalah ulama berlatar tradisional. Dia dikenal sebagai seorang penghafal Quran dan bagian dari pendakwah Islam sejak lama. Gelar Tuan Guru di depan namanya adalah simbol dari kekuatan kultural di NTB. Dia tidak sekadar santri, dia juga memperdalam pengetahuan keagamaannya sampai menggapai gelar doktor di Universitas Al Azhar, yang merupakan jantung peradaban Islam yang paling tua. Dia adalah titik temu dari berbagai corak keagamaan dan aliran pemikiran Islam.
BACA: Tuan Guru yang Jadi Pesaing Terbaik Jokowi dan Prabowo
Tidak mengejutkan jika dukungan kalangan Islam mengalir dari mana-mana. Bahkan beberapa penggerak aksi 212 juga secara terbuka menyatakan sikap. Ustad Bahtiar Nasir membuat pernyataan dukungan. Demikian pula Ustad Abdul Somad yang berceramah di mana-mana dan beberapa kali menyebut nama TGB. Jaringan alumni Al Azhar juga mengampanyekannya.
Tentu saja, TGB tak identik dengan aksi 212. Buktinya, banyak warga NU dan Muhammadiyah ikut mendukung TGB. Indikasinya terlihat dari banyaknya undangan kepada TGB untuk mengisi ceramah agama di kantong-kantong NU di Jawa Timur. Dukungan yang muncul kepadanya bersifat spontan dari berbagai elemen masyarakat.
Belakangan ini, undangan untuk ceramah mengalir dari seluruh pelosok tanah air, TGB tak hanya tampil di televisi, tapi juga di berbagai daerah. Awalnya, undangan itu datang dari jaringan alumni Universitas Al Azhar, di mana TGB menjadi ketuanya yang menggantikan Prof Quraish Shihab. Kini, undangan itu berasal dari banyak kelompok masyarakat yang berharap bisa bertemu dengannya.
Kedua, latar belakang TGB yang pernah memimpin pemerintahan. Dari sisi pengalaman memimpin, TGB punya posisi yang sama dengan Jokowi saat maju sebagai capres. Jokowi adalah pemimpin yang memulai karier dari posisi wali kota, selanjutnya gubernur. Keduanya menunjukkan bahwa kepemimpinan bisa dimulai dari arena kecil yang bisa menjadi batu loncatan untuk tantangan yang lebih besar.
Sebagai gubernur, TGB berada di jajaran para gubernur terbaik, penerima Leadership Award 2017 dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang merupakan rekomendasi dari panel ahli sejumlah akademisi. TGB menerima penghargaan itu bersama empat gubernur lainnya Soekarwo (Gubernur Jawa Timur), Ahmad Heriawan (Gubernur Jawa Barat), Syahrul Yasin Limpo (Gubernur Sulawesi Selatan), dan Irwan Prayitno (Gubernur Sumatera Barat).
Potret pembangunan NTB selama dua periode kepemimpinannya secara berkelanjutan, diakui semakin berdaya saing dan semakin berprestasi. NTB pernah mencatat rekor sebagai daerah dengan laju pertumbuhan ekonomi terbaik, dengan angka pertumbuhan 9,9 persen, jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 4,9 persen. Selama tiga tahun berturut-turut dari 2014 sampai dengan 2016 pertumbuhan ekonomi NTB juga mampu konsisten berada di atas rata-rata nasional.
Ketiga, dirinya dikenal sebagai sosok muda, berpengalaman, dan berintegritas. Ini diakui oleh beberapa pengamat politik, termasuk Direktur Eksekutif Media Survei Nasional (Median) Rico Marbun yang menilai, secara kualitas memang TGB jauh atas kandidat lain.
"Secara kualitas TGB jelas memiliki kompetensi untuk maju menjadi capres. Bicara track record, TGB lebih matang. TGB jelas sudah punya pengalaman riil memimpin sebuah provinsi," tegas Rico. Selain itu, bicara pemimpin muda, TGB juga punya basis kuat. “Saat terpilih menjadi gubernur NTB 10 tahun lalu, usia TGB masih relatif muda. Dia terbilang muda, pengalaman, religius. TGB sudah punya ketiganya dan jelas lebih riil," tutur dia.
Selain diundang kalangan pesantren, TGB juga cukup populer di kalangan warga kampus. Dia kerap diundang berceramah dan berbagi pengalaman di kampus-kampus besar tanah air. Kisah-kisah suksesnya menyebar. Pengalamannya membuat branding wisata halal di NTB yang kemudian berbuah penghargaan internasional menjadi buah bibir banyak orang.
Keempat, berasal dari luar Jawa. Latar belakang ini patut pula dipertimbangkan, mengingat Indonesia adalah negeri yang multi-kultural dan terdiri atas berbagai suku bangsa. Sepanjang sejarah, pemimpin kita selalu merepresentasikan kekuatan dari dua unsur yakni Jawa dan luar Jawa. Itu sudah terjadi sejak duet Soekarno-Hatta, hingga Jokowi-JK. Hanya ada satu pengalaman di mana pemimpin adalah sesama Jawa yakni SBY-Boediono. Namun, secara umum, komposisi ini seyogyanya menjadi pertimbangan.
Biarpun, secara etnisitas, TGB berasal dari etnik yang populasinya tidak besar, akan tetapi dirinya adalah representasi dari kekuatan di luar Pulau Jawa. Kehadirannya penting untuk memastikan bahwa semua anak bangsa, apa pun suku bangsanya, tetap punya kesempatan dan akses yang sama untuk menjadi pemimpin nasional. Bagaimanapun juga, politik bukan hanya soal kalkulasi siapa mayoritas dan siapa minoritas, namun juga soal bagaimana menemukan kandidat terbaik, apapun suku bangsanya.
Kelima, momentum yang tepat. Melihat tema kebangkitan politik identitas yang tengah marak, maka kehadiran figur berlatar Islam menjadi keniscayaan. Figur ini diharapkan bisa berada di tengah-tengah, bisa diterima semua kalangan, serta punya visi pemerintahan yang baik untuk membawa Indonesia lebih baik di masa mendatang.
Indonesia menunggu hadirnya figur yang bisa menjadi penengah. Kita terlampau lama dibelah oleh banyak kategori, misal tradisional versus modern, cebong versus kampret, Islam nusantara versus bumi datar, yang kesemuanya adalah ekses dari pemilihan presiden lalu. Indonesia membutuhkan sosok yang bisa menjadi payung bagi semua kalangan, bisa menghadirkan peran pentingnya negara dalam segala hal-hal yang dibutuhkan warganya.
Tuan Guru Bajang saat berceramah |
Dalam bayangan saya, Jokowi dan Prabowo akan mendekati figur yang paling bisa diterima semua kalangan. Makanya, saya lebih menjagokan TGB ketimbang Anies Baswedan yang saat ini identik dengan satu kelompok. Posisi TGB yang bisa berdiri di tengah dan bisa mendapatkan dukungan dari semua kalangan. Yang dibutuhkan hanyalah bagaimana diseminasi dan sosialisasi informasi secara terus-menerus sehingga semua orang tahu sisi baik TGB yang diharapkan bisa membawa Indonesia lebih baik.
Kendala yang dihadapi TGB saat ini adalah elektabilitas yang masih rendah, serta dukungan politik yang minim. Meskipun dari Partai Demokrat, TGB paham bahwa kendaraan partai itu akan dikendarai siapa. Ketika dirinya diasosiasikan dengan partai biru itu, maka dirinya bisa terkena risiko. Masih segar di ingatan publik pernyataan Anas Urbaningrum yang mengatakan dirinya adalah anak yang tak diinginkan. Di titik ini, TGB harus menghitung dengan baik semua langkah-langkah yang hendak diambilnya.
***
“Apa yang bisa kami lakukan?” sahabat yang menjadi simpatisan TGB bertanya pada saya di Mataram. Saya tidak tahu harus menjawab apa. Menurut saya, apa yang mereka lakukan terbilang luar biasa. Mereka sudah menunjukkan kerja-kerja hebat sebab bisa membawa nama TGB lebih benderang di banding gubernur lainnya yang akan segera mengakhiri masa jabatan.
Terlepas dari soal menang dan kalah, para sahabat di NTB telah mengajarkan saya bahwa dari provinsi yang dahulu tak punya mimpi untuk merengkuh kepemimpinan nasional itu, kini muncul optimisme dan harapan baru tentang Indonesia yang lebih baik. Mereka menunjukkan sekeping mozaik Indonesia yang merupakan fusi atau gabungan dari daerah-daerah. Semua punya saham di republik ini, termasuk saham untuk membincangkan apa yang terbaik buat Indonesia yang lebih hebat.