Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Pesan Bijak Seorang Sufi



PESAN bijak dari seorang sufi ini membuatku tertegun. Nampaknya, kita terbiasa berbicara secara terbuka, tanpa melalui filter. Kita tak pernah memperhatikan, apakah kalimat-kalimat yang kita lancarkan tersebut justru kian menebalkan keangkuhan dalam diri kita, ataukah justru menyengat orang lain.

Pesan ini menjadi pengingat untuk selalu berbicara hal yang baik dan penting, tanpa memperbanyak bualan-bualan yang justru menikam diri sendiri. Kalimat ini serupa tetes embun yang mendinginkan hati yang panas, membasahi setiap kalbu dengan pencerahan baru, serta pengharapan bahwa dunia yang lebih baik akan tercipta ketika semua orang bisa menghargai dan respek pada orang lain, tanpa ada niat untuk menyakiti.



Membaca Teenlit, Memahami Remaja


sampul Incognito

MESKIPUN bukan pembaca novel jenis teenlit, novel populer yang diperuntukkan bagi remaja belasan tahun, aku tiba-tiba saja penasaran membacanya. Hari ini, aku membeli novel berjudul Incognito yang ditulis Windhy Puspitadewi. Aku hanya butuh sekitar dua jam untuk menghabiskannya. Isinya cukup bagus, mudah dipahami, serta berisikan petualangan yang menarik.

Satu yang kusuka dari novel-novel jenis teenlit adalah tema yang diangkat sederhana, serta konfliknya tidak begitu jlimet. Yang dibahas di novel ini adalah perjalanan tiga orang remaja yang kemudian menjelajah waktu. Mereka bertemu Archimedes, Charles Darwin, Mark Twain, hingga Miyamoto Musashi. Kisahnya cukup menarik sebab mereka berusaha untuk bertahan di berbagai zaman, sembari mencari jalan untuk kembali.

Novel ini memang tidak diniatkan untuk sefilosofis novel The Time Machine karya HG Wells. Isinya bisa dikunyah-kunyah sembari menonton tivi. Pembaca tak perlu berkerut. Tak perlu juga untuk terdiam sesaat demi memikirkan pesan-pesannya. Cukup membacanya sampai tuntas. Bagian akhirnya juga datar. Malah, mengingatkanku pada film Back to the Future yang diperankan oleh Michael J Fox.

Dari sisi tokoh dan kejutan, novel ini masih jauh jika dibandingkan dengan petualangan Percy jackson dalam serial Heroes of Olympus yang ditulis Rick Riordan. Novel ini juga tak bisa dibandingkan dengan serial Harry Potter karya JK Rowling. Pada serial Heroes of Olympus dan Harry Potter, imajinasi dan keriangan para remaja bisa menjadi kisah yang mendebarkan bagi segala usia. Mereka yang dewasa pun tiba-tiba saja menjadi pencandu kisah para remaja demi menemukan indahnya imajinasi yang bertualang ke dunia dongeng dan mitos.

Meski demikian, aku cukup mengapresiasi novel ini. Yang kupikirkan seusai membaca buku ini adalah barangkali inilah semesta para remaja kita. Di dalam novel teenlit, kutemukan gaya bertutur, istilah-istilah khas remaja, dan semesta makna yang melingkupi mereka. Sebagai orang yang pernah menjalani remaja, aku serasa terbang ke masa silam, dan merasakan betapa girangnya membaca kisah-kisah imajinatif, sebagaimana novel ini.

Aku juga tersenyum-senyum saat merasakan getar cinta ala remaja. Novel ini sempat memuatku ngakak ketika sang remaja merasa takut menyatakan cinta. Usai tertawa ngakak, aku langsung berkata, “Gue banget!”

Mengapa kita tak punya kisah teenlit sehebat Harry Potter dan Percy Jackson?



Lebih Indah dari Pantai Senggigi


pemain selancar di Pantai Senggigi


MULANYA aku membayangkan Pantai Senggigi di Lombok jauh lebih indah dari pantai manapun. Namun setelah menyaksikannya langsung, aku tak seberapa terkesan. Bagiku, pantai-pantai di kawasan timur Indonesia masih lebih indah. Lantas, mengapa pantai ini sedemikian mendunia dan menjadi favorit bagi banyak turis mancanegara?

***

BERKUNJUNG ke Senggigi serasa berkunjung ke Phuket di selatan Thailand. Suasananya banyak yang sama. Pantai Phuket yang amat menawan itu terletak pada jarak yang tak jauh dari kota tua. Di sana ada banyak perahu-perahu nelayan tradisional, serta hotel-hotel yang mentereng. Jika berlayar dengan perahu nelayan, kita akan menggapai pulau-pulau yang keindahannya serupa kepingan surga yang jatuh ke bumi.

Senggigi pun demikian. Sejak awal memasuki Senggigi, aku langsung mendengar debur ombak. Tak jauh dari pantai itu, terdapat kota tua Ampenan yang amat eksotik. Aku menyaksikan perahu-perahu tradisional yang berbaris rapi dan siap mengantarkan pengunjung ke pantai untuk menjangkau pulau-pulau kecil. Kemudian, ada banyak hotel-hotel mahal yang menawarkan paket-paket menarik, seperti bertualang ke beberapa pulau sekitar Lombok, hingga atraksi wisata yang bisa menaikkan adrenalin.

Memasuki kawasan ini serasa memasuki Bali. Banyak pura di sekitar pantai. Tapi, aku juga melihat banyak masjid bertebaran. Nampaknya, Hindu dan Islam adalah dua agama yang komunitasnya hidup berdampingan sejak dulu. Masyarakatnya punya karakter seperti Bali, namun menolak disebut Bali. Mereka menyebut dirinya orang Sasak yang punya tradisi berbeda dengan Bali. Di mataku, keduanya punya banyak kemiripan. Cara berbicara warganya pun banyak sama.

Sejak dulu, Senggigi telah lama menjadi magnit wisata yang memesona warga dunia. Popularitasnya barangkali sejajar dengan Pantai Kuta di Bali yang lebih dulu tersohor. Pantai ini menjadi destinasi yang diimpikan banyak orang. Buktinya, ketika menulis status akan ke pantai ini di media sosial, aku menerima banyak pesan dari sahabat yang berharap bisa ke situ. Namun apakah Senggigi demikian menarik dan eksotik?

pura di sekitar Pantai Senggigi

perahu nelayan di Pantai Senggigi



Jika dilihat dari sisi wisata, Senggigi memang menarik. Namun, ada beberapa point yang jatuh di mataku. Pertama, aku tak seberapa nyaman melihat pasir pantai yang tak seberapa putih. Rasanya, keindahan pantai ini berkurang. Beberapa pantai di Indonesia timur punya view atau pemandangan yang jauh lebih menarik dengan pasir putihnya yang serupa tepung. Lucunya, teman-teman asal Lombok atau Mataram, malah merekomendasikan pantai lain, seperti Pantai Kuta di Lombok Tengah, ataupun Pantai Pink. Kata mereka, pantai-pantai itu lebih mengasyikkan. Pasirnya lebih bersih.

Kedua, aku juga tak suka melihat hotel-hotel yang tiba-tiba saja mengapling pantai. Warga tak diijinkan melintas di pasir pantai yang tak jauh dari hotel. Sebab di pasir itu, pihak hotel telah meletakkan kursi-kursi untuk makan malam romantis, yang hanya diterangi cahaya obor.

Bagiku, pantai selalu identik dengan kebebasan. Sebagai seseorang yang lahir dan besar di pulau kecil, aku amat terbiasa melihat pantai. Di kampung halamanku di Pulau Buton, jarak rumahku dan pantai hanya sekitar 10 menit perjalanan. Di masa kecil, pantai adalah wilayah bermain yang paling kusukai. Pantai adalah tertori yang sangat kukenali.

Di Pulau Buton, pantai-pantai juga indah. Aku mendefinisikan keindahan pantai itu dari sisi pasir putih dan halus, pohon kelapa yang menaungi pantai, lautan biru, serta ombak yang berkejaran. Dulu, aku suka menangkap duri babi (landak laut) yang banyak bertengger di dasar laut, kemudian langsung melahapnya di pasir putih. Aku juga menyaksikan burung-burung laut yang sesekali berkicau di tengah deburan ombak. Bagiku, pantai serupa rumah kedua yang bisa melepaskan semua penat dan melauhkan semua resah.

Di Pantai Senggigi, aku tak menemukan keindahan sebagaimana pantai di kawasan timur lainnya. Ada beberapa pantai yang keindahannya bisa membuat siapapun berdecak kagum. Di antaranya adalah Pantai Nirwana di Pulau Buton, Pantai di Pulau Hoga dan Onemoba’a di Wakatobi, serta pantai di Raja Ampat. Aku belum pernah ke Bunaken, namun seorang teman meyakinkanku kalau keindahannya sejajar dengan beberapa pantai yang tadi kusebutkan.

Lantas, apa rahasia mengapa Pantai Senggigi amat diminati para turis?

Aku mencatat beberapa keunikan. Pertama, pantai ini mudah diakses. Dari Jakarta, pantai ini bisa dijangkau dnegan mudah. Penerbangan dari Jakarta ke Lombok sangat banyak. Anda bisa memilh penerbangan murah ataupun penerbangan mahal. Malah, bandara ini bisa dijangkau dari Kuala Lumpur, Malaysia. Bandingkan dengan mahalnya biaya penerbangan ke Raja Ampat di Papua Barat. Biaya tiketnya lebih mahal dari penerbangan ke Australia. Inilah yang menyebabkan para turis lebih suka ke Bali dan Lombok.

Kedua, pantai ini dilengkapi infrastruktur yang baik. Jalanan sangat mulus. Di sini, tak sulit menemukan hotel dengan pelayanan yang prima. Seperti halnya jasa turis di Phuket, pengunjung bisa dengan mudah menemukan infomasi tentang daerah wisata. Sungguh beda dengan pantai-pantai lain di timur yang aksesnya amat terbatas. Jalanan rusak sana-sini. Pemerintahnya tak cukup proaktif dalam memasarkan kendahan wilayahnya.

Ketiga, wisata yang ditawarkan di Senggigi cukup komplet. Pengunjung tak hanya bisa mandi dan berenang di pantai atau berselancar, mereka juga bisa menyelam untuk menyaksikan terumbu karang. Di malam hari, terdapat banyak pusat hiburan yang terus berdenyut hingga pagi.

Kupikir inilah kekuatan Senggigi. Para turis yang datang itu menginginkan hiburan. Mereka tak hanya berharap bisa menikmati sunset atau sunrise lalu berenang, tapi juga memiliki aktivitas yang menggembirakan di malam hari. Mereka suka hangout di bar atau kafe, kemudian menghabiskan malam dengan pesta-pesta. Itulah yang mereka temukan di Bali dan Lombok. Di kawasan timur, mereka tak menemukan hal itu. Tak mungkin mengajak para turis hanya untuk menyelam, lalu di malam hari mesti tidur cepat sebagaimana warga lokal. Mereka datang untuk bersenang-senang, maka hiburan menjadi keniscayaan bagi perjalanan mereka.

pemandangan di Gili Nanggu

dermaga di Gili Nanggu

villa yang dihuni para turis


Keempat, di sekitar Senggigi, terdapat banyak pulau-pulau kecil yang menawan. Ketika berkesempatan ke pulau kecil itu, aku langsung menemukan hal yang paling menarik. Ternyata pulau-pulau itu memiliki pemandangan yang jauh lebih indah dari Senggigi. Aku sempat berkunjung ke Gili Nanggu, yang langsung memikat hatiku. Ternyata pulau-pulau itu memiliki pesona yang laksana kepingan puzzle telah melengkapi keindahan Senggigi.

Sungguh beruntung bisa bertualang ke pulau-pulau sekitar Lombok. Di situ, waktu seakan berhenti berputar. Rasanya aku ingin membekukan waktu sebab aku tak puas-puas memandangi pantai yang indah dan menawan itu. Pantas saja jika banyak yang lebih suka Lombok ketimbang Bali. Sebab apa yang ditawarkan di Bali bisa ditemukan di Lombok, sedang apa yang ada di Lombok, belum tentu bisa disaksikan di Bali. Aku telah membuktikannya.

***

JELANG sunset, aku duduk bermain pasir di dekat Senggigi. Aku memotret beberapa spot menarik. Ketika sedang memotret, seorang gadis datang mendekatiku. Ia tiba-tiba memintaku untuk memotretnya. Ternyata ia adalah penari yang piawai menarikan beberapa jenis tarian tradisional dan moderen. Seusai memotret, ia mengundangku untuk menyaksikan tariannya. Undangan yang menarik dan tak boleh dilewatkan.

Hmm. Kembali kutemukan hal-hal yang membuat orang begitu menyukai Senggigi. Sesuatu itu ada di sini. Di hati.




Indahnya Bahasa Sasak di Bandara Lombok


pura kecil di Batu Layar, Lombok

BANDAR udara di tanah air kita seringkali menjadi wilayah yang asing. Jauh lebih sering kita mendengarkan pengumuman dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Sedang bahasa lokal seolah menjadi bahasa yang nyaris tak pernah terdengar. Mungkin kita mengangapnya tidak keren, tidak modern, atau barangkali ada rasa minder yang merayap di hati kita. Namun di Bandara Internasional Lombok, bahasa Sasak justru menjadi bahasa pertama yang disampaikan saat memberikan pengumuman. Keren khan?

Tadinya, aku terkejut ketika mendengar pengumuman itu. Aku tengah menanti kedatangan rombongan lain dalam kegiatan yang diselenggarakan Destructive Fishing Watch (DFW) di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pengumuman itu membuatku bingung. Seorang teman lalu menginformasikan kalau bahasa yang kudengarkan itu adalah bahasa Sasak. Untungnya, setelah pengumuman dalam bahasa Sasak, langsung disambung dengan pengumuman dalam bahasa Indonesia dan bahas Inggris.

Pengumuman itu membuatku tertegun. Kita punya sedemikian banyak kekayaan bahasa dan tradisi. Namun seringkali kita tidak percaya diri untuk menampilkan bahasa lokal di bandara. Dalam perjalananku ke banyak tepat di Indonesia timur, termasuk bandara-bandara kecil, bahasa lokal sangat jarang kudengar. Ada banyak orang yang justru tak seberapa lancar berbahasa Indonesia. Yang juga aneh adalah mengapa bahasa Ingris digunakan di semua bandara? Padahal, tak selalu ada turis asing di bandara, khususnya bandara-bandara kecil. Anehnya, kita tetap memaksakan bahasa itu sebagai bahasa resmi di bandara.

Lantas, mengapa Lombok yang notabene adalah bandara internasional justru megdepankan bahasa lokal? “Bahasa kan alat komunikasi. Meskipun di sini banyak bule, banyak juga warga lokal yang tak paham bahasa Inggris, dan hanya bisa memahami bahasa lokal,” kata Zaenuddin Mansyur, seorang sahabat di Lombok, memberikan penjelasan. Penjelasannya kusetujui seribu persen. Bahasa memang harus dikembalikan pada fitrahnya sebagai alat komunikasi, bukan sebagai alat untuk meningkatkan status sosial, bukan sebagai sesuatu yang identik dengan citra modern atau kesan keren.

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa lokal bisa memotivasi orang-orang untuk selalu menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Laporan dari Pusat Bahasa menyebutkan bahwa setiap hari, ada satu bahasa lokal yang punah di tanah air kita. Mengapa? Sebab bahasa itu tidak pernah lagi digunakan. Pemerintah kita tak punya strategi untuk menyelamatkan bahasa, serta memberikan ruang revitalisasi bahasa itu dalam segala aspek kehidupan.

pasir putih di Gili Nanggu

Pantai Senggigi di suatu sore
 
pura

Aku membayangkan di semua bandara, bahasa lokal mesti mendapat tempat prioritas. Jika bahasa merupakan gerbang sebagai etalase untuk mengenal satu suku bangsa, maka seyogyanya dia diberi tempat yang sejajar dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Aku punya impian sendiri tentang bahasa lokal. Suatu saat, ketika memasuki Yogyakarta, aku berharap mendengar bahasa Jawa, ketika memasuki Samarinda, aku berharap mendengar bahasa Dayak, ketika memasuki Makassar aku berharap mendengar bahasa Makassar, demikian pula ketika memasuki Papua, aku berharap mendengar bahasa Papua.

Itulah impian yang kucatat ketika memasuki Lombok. Sayangnya, keindahan bahasa Sasak itu hanya terdengar di Bandara Internasional Lombok. Ketika memasuki kawasan Senggigi, bahasa yang paling sering kudengaran adalah bahasa Inggris, Perancis, ataupun Jepang. Kawasan ini telah lama bersalinrupa menjadi kawasan internasional. Turis-turis berseliweran di jalan-jalan besar.

Di saat aku turun dari mobil, aku mendengar debur ombak di satu arah. Dari sela-sela pohon kelapa, aku menyaksikan Pantai Senggigi yang laut birunya amat indah. Oh my God! Aku serasa melihat surga.



Di Sana Pilpres, di Sini Piala Dunia


bendera Argentina di Mamasa

MEDIA sosial sedang riuh dengan fenomena pemilihan presiden (pilpres). Di banyak grup, perdebatan kian memanas. Semua orang merasa memiliki momen ini. Semua menjadi penganalisis. Ada yang tiba-tiba saja mendadak jadi ekonom, sejarawan, serta ada pula yang menjadi ahli politik. Pilpres ini menjadi milik banyak orang yang hendak berpartisipasi dengan caranya masing-masing. Namun, benarkah semua orang hanya sibuk membahas pilpres tanpa membahas hal lain?

Di satu desa di Pegunungan Mamasa, Sulawesi Barat, aku menyaksikan bendera Argentina, Jerman, Brazil, dan Uruguay. Aku terheran-heran sebab biasanya pilpres amat identik dengan naiknya bendera nasionalisme. Di kota-kota semua orang sibuk bahas pilpres dan tiba-tiba saja dibasahi kecintaan pada tanah air. Lantas, mengapa pula warga desa di pegunungan itu memilih memasang bendera Argentina dan Jerman?

Usut punya usut, ternyata warga kampung lebih menggemari wacana Piala Dunia yang tengah berlangsung. Mereka tak tertarik membahas pilpes. Di satu perkebunan kopi, aku bertemu seorang petani kopi yang sinis dengan wacana pilpres. Katanya, berdebat tentang siapa presiden adalah perdebatan yang menghabiskan energi. Lagian, informasi yang sampai ke daerah-daerah hanya sepenggal. “Daripada kita dibodohi televisi tentang siapa paling bagus jadi presiden, lebih baik kita nonton piala dunia. Itu lebih asyik,” katanya.

Mungkin inilah yang disebut para ahli sebagai dinamika informasi. Masyarakat kita hidup dalam banyak persimpangan dan lorong-lorong. Ada yang tinggal di persimpangan yang penuh lampu-lampu terang, ada pula yang berumah di ujung sebuah lorong yang gelap dan hanya bisa melihat mereka di tempat terang. Televisi adalah satu-satunya instrumen yang bisa menjangkau mereka yang tinggal di lorong tersebut.

bendera Jerman dan Uruguay

Namun, televisi tidak selalu bisa mempengaruhi mereka. Biarpun televisi sering memaksakan satu pilihan, namun dalam banyak kasus, televisi justru menyodorkan banyak pilihan. Nah, ketika disuruh memilih piala dunia ataukah wacana pilpres, warga kampung dengan cerdasnya memilih piala dunia. Mereka menolak wacana yang diusung para elite di Jakarta. Mereka memilih sesuatu yang menghibur, melibatkan diri dalam satu ikatan emosional dengan satu kesebelasan di belahan bumi lain, serta meleburkan dirinya dalam ajang perhelatan bola terbesar setiap empat tahun sekali.

Sepakbola menyediakan ruang-ruang untuk resisten atau melawan atas wacana dominan. Biarpun stasiun televisi nonstop informasi tentang pentingnya pilpres, akan tetapi pilihan akhir tetap di tangan khalayak. Masyarakat bisa menampik. Mereka bisa bilang “cuh”, lalu memilih untuk setia pada piala dunia. Mereka menegaskan dirinya sebagai manusia independen yag punya hak untuk memilih.

Di Mamasa, aku belajar banyak. Tentang media, pilihan bebas, serta bagaimana respon masyarakat atas informasi media yang laksana peluru hendak membobardir mereka, namun selalu ada respon dan perlawanan dengan cara yang unik. Piala Dunia adalah jawabannya!



Saat Berkhutbah ala Gereja di Kupang


atap Gong Perdamaian di Kupang


DUA minggu lalu, lembaga Oxfam International memintaku untuk berkampanye tentang pentingnya pangan lokal di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tadinya, aku hendak menolak, mengingat bahwa aku sudah cukup lama tidak pernah berorasi di hadapan banyak orang. Namun setelah menimbang pentingnya kegiatan itu, aku langsung mengiyakan.

Bagiku, Kupang bukanlah wilayah yang asing. Beberapa bulan lalu, Oxfam pernah mengundangku untuk berdiskusi tentang perubahan iklim. Kesempatan itu kugunakan juga untuk bertemu dengan sejumlah kawan-kawan aktivis organisasi sosial yang banyak memberikan kontribusi pada penguatan masyarakat. Kesanku, ada banyak orang hebat di Kupang. Generasi mudanya sangat antusias untuk berdiskusi dan meng-update pengetahuannya dengan banyak hal baru.

Jika dulu aku ke sana bersama banyak sahabat dari berbagai organisasi di Makassar, kali ini aku hanya bersama Darmawan Dg Nassa, seorang kawan yang menjadi penggiat rumah hijau. Sosoknya dikenal sebagai pelestari tumbuhan langka serta penggiat pendidikan berbasis lingkungan di Takalar, Sulsel.

Pangan lokal memang semakin terpinggirkan di mana-mana. Di Kupang, aku melihat banyak sorgum dan jewawud yang bisa diolah menjadi pangan. Namun saat kutanyakan pada beberapa penduduk, mereka justru tak tahu apa itu sorgum. Padahal tanaman itu dengan mudahnya ditemukan di mana-mana. Buahnya sejenis padi, yang lebih banyak di makan oleh burung. Aku ingat sahabat Maria Loretha di Adonara yang tekun berkampanye agar warga kembali mengonsumsi sorgum dan tidak menunggu-nunggu beras dari pulau Jawa.

Bagiku, tanpa kecintaan pada pangan lokal, mustahil kita berdiskusi tentang ketahanan dan kedaulatan pangan. Logikanya, tak mungkin orang Kupang dipaksa membudidayakan sesuatu yang justru berjarak dengan kultur dan geografis wilayahnya. Tak adil jika orang Kupang diwajibkan makan beras, padahal wilayah itu tak cocok menjadi areal pertanian. Melihat tanah tandus di situ, aku berpikir bahwa sejak dahulu, ladang telah lama menjadi sandaran masyarakat untuk menggantungkan hidup. Seharusnya, ladang kembali difungsikan, demi menjadi sumber pangan bagi warga.

Sayangnya, potret yang kusaksikan di Kupang adalah keinginan kuat untuk segera memasuki gerbang modernisasi. Kapitalisme mulai menari-nari di kota itu. Baru masuk Bandara El tari, aku menyaksikan banyak restoran fast-food, serta jajanan yang tidak sehat. Sebagaimana generasi lain di berbagai kota, anak muda Kupang sedang gandrung-gandrungnya dnegan makanan impor.

berbagai pangan lokal di Kupang

mahasiswa yang ikut berkampanye

Beberapa anak muda yang kutemui di dekat Biara Souverdi di Oebofu justru merasa malu ketika kuminta menyebutkan pangan lokal. Mereka senyum-senym lalu tertawa ketika menyebutkan ubi, jagung, pisang, ubi kayu, hingga berbagai jenis kacang tanah. Nampaknya, ia merasa minder dengan pangan yang tadi disebutnya. Anak muda itu membawaku pada pemahaman geerasi kini yang cenderung malu dengan tradisi. Mereka tak menyadari bahwa di negeri-negeri barat yang dianggapnya hebat itu, pangan lokal yang dimakannya begitu bernilai.

Ketika membayangkan tema yang akan kubahas saat orasi, tiba-tiba saja aku tiba pada hasrat untuk bercerita mengenai pengalaman melihat pangan lokal di negara barat. Aku ingin menggugah kesadaran bahwa dirinya sedang berpijak di atas surga, yang terdapat banyak makanan segar, laut biru, serta udara bersih yang justru dianggap mahal di banyak negara.

Saat orasi nanti, aku akan bercerita pengalamanku ketika belajar di kelas yang diasuh Jaylynne Hutchnson. Saat itu aku ditanya tentang makanan yang keren di kampungku. Ketika kusebut hamburger serta ayam goreng Kentucky Fried Chicken, mahasiswa Amerika melihatku seperti melihat alien. Mereka heran kenapa makanan sampah itu dianggap sebagai makanan paling mahal dan berkelas. Padahal, di negeri seperti Amerika, yang dianggap mahal dan berkelas itu adalah sayuran hijau dan pangan organik yang dipanen langsung dari kebun, tanpa pestisida.

Beberapa orang di kelas Jaylynne tak percaya. Mereka lalu bertanya tentang makanan murah dan dianggap tak berkelas. Ketika kusebutkan bahwa di kampungku ada banyak jenis ikan, termasuk ikan tuna, mahasiswa Amerika langsung tercengang. Kukatakan bahwa ikan laut justru dianggap biasa saja di kampungku. Mahasiswa Amerika itu kembali memandangku septi alien. Bagi mereka, tuna adalah makanan mewah yang hanya bisa dibayangkannya.

***

ANAK-anak muda di Taman Nostalgia, Kupang, itu menatapku yang telah berdiri di hadapan mereka. Hari itu, aku akan membawakan orasi kampanye tentang pentingnya pangan lokal. Kutatap satu per satu wajah mereka. Aku belajar untuk menyerap energi serta rasa ingin tahu yang terpancar di wajah mereka. Aku lalu membayangkan tentang betapa indahnya zaman ketika semua orang memakan sesuatu yang ditanam sendiri, diolah, dipetik, dan dimasak sendiri. Betapa bahagianya para petani lokal ketika semua orang hanya membeli pangand ari mereka, tanpa tergantung pada petani di belahan dunia sana.

Aku memulai orasi dengan tutur yang pelan, kemudian menghentak pada bagian akhir. Aku melihat antusiasme yang sangat tinggi, wajah-wajah yang bersinar-sinar dipenuhi rasa kecintaan pada pangan lokal, serta kebanggaan bisa berpijak di atas tanah Kupang yang laksana surga sedang menghampar di muka bumi. Kupaparkan kepada mereka betapa mulia dan bernilainya tanah yang sedang mereka pijak. Kubuka kesadaran mereka bahwa di laut bersih yang tak jauh dari situ, tersimpan sedemikian banyak kekayaan tak ternilai yang seharusnya bisa menjadi sumber pangan.

Gong Perdamaian

monumen di Taman Nostalgia

bersama seorang mahasiswi

Di akhir orasi, tepuk tangan bergemuruh. Aku menutup orasi dengan sebuah pertanyaan, “Apakah kalian ssetuju bahwa pamgan kita lebih bernilai dari makanan di restroan McD?” Semuanya menjawab “setuju.” Aku lalu menatap mereka satu per satu dengan wajah puas. Satu misi telah ditunaikan. Aku berharap orasi hari itu bisa menginspirasi atau minimal bisa membuat mereka sesaat tertegun dan mulai melihat ulang pentingnya pangan lokal.

Ketika hendak meninggalkan Kupang, aku didera rasa penasaran untuk mengetahui kesan anak-anak muda itu ketika mendengar orasiku. Aku ingin tahu seberapa kuat pesan yang ksiampaikan menancap di benak mereka. Untunglah, seorang sahabat yang bekerja di Oxfam menceritakan kesan beberapa orang yang hadir kemarin. Ada seorang mahasiswa yang datang dan bertanya, “Kakak itu selalu khutbah di gereja mana? Saya suka sekali khutbahnya. Saya ingin hadir di gerejanya. Pesannya sangat menyentuh hati” 

Meskipun aku bukan penganut Kristiani, kalimatnya cukup membuatku senang karena pesan yang kusampaikan telah menembus relung hatinya.





Saat si Kurus Kalahkan si Jagoan


Hiccup dan Toothless

BERSAMA naga terbang raksasa, jagoan Drago Bludvist datang menyerbu desa kecil Berk. Ia mengerahkan prajurit komando yang jumlahnya ribuan. Desa kecil itu bakal jadi puing dan rata dengan tanah. Dalam keadaan yang sangat terdesak, datanglah si kurus Hiccup, sang bocah Viking. Sepintas ia tampak lemah. Apalagi ia adalah seorang pemalu dan tak bisa membakar semangat melalui pidato hebat sebagaimana Drago. Tak disangka, babak akhir film How to Train Your Dragon 2 ini memang amat mengejutkan sekaligus mendebarkan.

***

SEBAGAI pencinta film animasi, saya akhirnya menyaksikan film yang diproduksi Dreamworks ini. Tadinya, saya harap-harap cemas, sebab biasanya film sekuel jarang mengulangi kesuksesan film sebelumnya. Lebih puluhan kali saya menyaksikan film How to Train Your Dragon (HTTYD) versi pertama. Film itu sangat menghibur serta saran pesan-pesan positif yang bisa menjadi gizi bagi kehidupan. Ternyata, film keduanya pun sangat menginspirasi.

Kehidupan di desa kecil Berk amat berbeda dengan apa yang tersaji dalam film HTTYD sebelumnya. Manusia dan naga hidup berdampingan. Mereka saling bahu-membahu dan mewarnai hari-hari yang penuh keceriaan. Hari-hari warga Berk adalah bermain dan bergembira sembari terbang menggapai mega-mega bersama para naga.

Di tengah kehidupan damai itu, Hiccup menemui satu kenyataan yang mengejutkan tentang para penjerat naga yang mengumpulkan naga sebagai upeti kepada Drago Bludvist yang sedang membangun pasukan naga. Rupanya, Drago punya ambisi militer untuk menguasai banyak tempat. Didukung pasukan miiter yang beranggotakan prajurit komando dan para naga, Drago lalu menyerbu desa-desa yang diduga menjadi tempat bermukim para naga.

Hiccup menjalani hari yang serba sulit. Bersama naga kecil Toothless, bocah kecil Viking yang berperawakan kurus, namun penuh banyak akal ini, awalnya kabur dari pertandingan qudditch ala film Harry Potter. Ayahnya, Stoick the Vast, menginginkan agar dirinya segera menjadi ketua suku. Tapi Hiccup memilih bertualang ke mana-mana. Dalam penjelajahannya, Hiccup bertemu ibunya yang selama belasan tahun menjagai para naga di satu sarang raksasa. Ketika ayahnya datang, keluarga kecil itupun menjalani reuni yang mengharukan. Sangat menyentuh.

Sayang, reuni itu hanya singkat. Mereka harus berjibaku untuk menghadapi pasukan Drago Bludvist. Mereka harus bertarung hingga titik darah penghabisan. Hiccup mengalami dilema. Jiwanya yang cinta damai harus menghadapi kenyataan yang menggiriskan. Hiccup ingin mengingatkan Drago bahwa misinya itu hanya mendatangkan kehancuran. Di tengah upayanya itu, ayahnya tewas disembur api biru oleh Toothless yang telah sepenuhnya dikendalikan oleh naga raksasa yang diperintah Drago.

Drago dan Naga Raksasa

Mulanya semua larut dalam kesedihan. Dalam keadaan tak memiliki naga, sebab Toothless dikendalikan Drago, Hiccup mesti memutar otak. Namun ia akhirnya bersemangat saat menyadari bahwa semua keberanian dan semangat yang dicarinya justru ada dalam dirinya. Semangat Hiccup langsung bangkit. Ia serupa seorang rahib Tao yang menemukan semua jawaban atas masalah hidup dengan menggalinya pada sumur kearifan yang ada dalam dirinya.

Hiccup kembali ke Berk. Ia meyakinkan Toothless tentang kebersamaan yang pernah mereka jalani bersama-sama. Ternyata kenangan akan kebersamaan serta nilai-nilai persahabatan jauh mengalahkan segala sihir dan hipnotis dari Drago Bludvist. Toothless pun kembali ke Hiccup. Mereka lalu bertarung dengan sang naga raksasa yang memiliki semburan es. Hiccup dan Toothless terbang meliuk-liuk sambil sesekali menghujani naga itu dengan semburan api biru.

Sepintas, pertarungan itu tak seimbang. Drago Bludvist tak henti menyemangati naga raksasa. Apalagi, sang naga raksasa itu amat perkasa dan lebih sakti. Naga raksasa  menjebak Hiccup dan Toothless ke dalam es yang membekukan mereka. Kesedihan muncul ketika orang-orang mengira Hiccup dan Toothless tewas karena beku. Di sinilah keajaiban terjadi. Tubuh Toothless dipenuhi cahaya biru sehingga es mencair. Hasrat kuat untuk melndungi Hiccup itu menjemakan mukjizat untuk melakukan hal-hal luar biasa.

Memang, di tengah keadaan krisis, seseorang bisa menemukan kekuatannya yang paling dahsyat. Menghadapi naga raksasa itu, Hiccup dan Toothless tak sedikitpun kehilangan rasa takut. Mereka menantang naga raksasa. Ternyata, ratusan naga kecil lainnya ikut bergabung ke belakang Toothless. Tanpa ampun, ratusan naga kecil itu menyeburkan api ke arah naga raksasa yang langsung keok seketika. Drago Bludvist histeris saat menyadari dirinya akan kalah telak. Di tengah kepanikannya, Hiccup berbisik, “Kamu tak akan pernah mendapatkan respek dengan kekuatanmu. Yang kamu dapatkan hanya ketakutan.”

***

Film HTTYD 2 ini lebih mendebarkan dari film sebelumnya. Usia Hiccup semakin dewasa serta memikul tanggungjawab yang besar. Ia menjelajah ke sana ke mari, bertemu dengan ibunya yang ternyata menjadi penunggang naga yang sangat hebat, serta bermain-main dengan maut bersama sahabat-sahabatnya.

Namun bagian yang paling saya sukai adalah pertemuan antara Hiccup dan Drago. Keduanya terlihat kontras dari sisi fisik. Hiccup nampak kurus. Wajahnya nampak bersahabat serta enantiasa tersenyum. Sementara Drago justru tampak gempal dan angker. Drago jarang senyum. Kalimat-kalimatnya retorik seolah sedang membakar massa. Ia tak mau mendengar masukan.

Hiccup dan sahabat-sahabatnya
Astrid dan Hiccup yang semakin dewasa

Film ini mengajarkan saya bahwa kekuatan sejati tidak tercermin pada tubuh perkasa dan suara yang menggelegar. Kekuatan sejati tidak hadir pada tindakan untuk mengalahkan manusia lain. Kekuatan sejati terletak pada kejernihan hati serta niat baik untuk menghadirkan senyum di wajah orang. Kita tak akan pernah mendapatkan respek dari orang lain melalui ancaman-ancaman. Yang kita dapatkan hanyalah kepatuhan semu, bukan loyalitas.

Ketika ratusan naga kecil lainnya, yang sebelumnya ditindas oleh naga raksasa, tiba-tiba bergabung dengan Hiccup dan Toothless, maka itu adalah pertanda bahwa kekuatan sedahsyat apapun pasti akan kalah melawan solidaritas bersama. Sehebat apapun kekuatan pasti akan tumbang ketika berhadapan dengan solidaritas, sikap saling mendukung, serta sikap saling menguatkan antar warga. Slidaritas itu ibarat jejaring yang akan mengalahkan siapapun. Bahwa sesungguhnya di balik sosok-sosok yang nampak lemah, tersimpan kekuatan yang dahsyat pada hati yang bening, niat suci untuk melindungi banyak orang, serta hasrat kuat untuk membahagiakan yang lain.

Di akhir film, saya terkenang dengan puisi dari seorang penyair. “Karena kamu adalah tembok, dan aku adalah rumput liar. Maka aku akan bersatu, melebarkan akarku ke mana-mana, lalu menumbangkanmu.”


BACA JUGA:




Kisah Seorang Penggerutu tentang BAHAGIA


ilustrasi

DI rak toko buku, aku melihat buku bertuliskan The Geography of Bliss: Kisah Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Kebahagiaan. Iseng, kubeli buku itu dan kubaca di saat senggang. Tadinya kupikir buku itu sama dengan berbagai buku catatan perjalanan lainnya. Namun setelah membaca beberapa bagian, aku tak henti bilang “wow” dan terkesan dengan gaya bertutur yang sarat makna filosofis tersebut.

Buku ini berkisah tentang perjalanan seorang jurnalis bernama Eric Weiner. Ia tak sekadar menulis catatan perjalanan. Ia berkeliling dunia dengan membawa satu misi yakni menemukan definisi bahagia di berbagai tempat. Baginya, konsep bahagia terkait dengan banyak hal, mulai dari budaya, sosial, serta cara-cara masyarakat memaknainya. Negara-negara yang dikunjungi adalah Inggris, Swiss, Amerika, Bhutan, Thailand, Dubai, dan beberapa negara lain. Some of them are listed as the happiest country in the world, and some of them are at the least.

Berbeda dengan banyak travel writer, yang kebanyakan menulis tentang wisata dan hal unik, Eric memiliki misi penting dalam perjalanannya. Ia ingin menemukan konsep bahagia. Bagi mereka yang belajar antropologi pasti sama paham bahwa satu hambatan untuk mengetahui ukuran kebahagiaan adalah perbedaan definisi tentang bahagia itu sendiri. Setiap individu unya definisi bahagia sendiri. Demikian pula, semua budaya juga punya definisi sendiri, dan belum tentu tentu semua budaya menghargai kebahagiaan pada tingkat yang sama. Bahagia itu personal.

Namun tetap saja ada hal-hal yang umum terkait bahagia. Eric menemukan bahwa bagi orang Belanda, kebahagiaan itu terkait dengan angka-angka. Sementara bagi orang Swiss, kebahagiaan itu terkait dengan kebosanan, sedang bagi orang Qatar, bahagia itu hadir ketika menang lotere. Yang menggelikan buat saya, bagi orang Thailand, kebahagiaan itu adalah ketika kita tidak memikirkan apapun.

Mungkin sebagian kita tak sepakat dengan penuturannya. Tapi Eric menuliskan refleksinya berdasarkan basis catatan lapangan yang sangat bagus. Tulisannya  mengalir, dan di beberapa bagian, terdapat dialog-dialog filosofis yang sesaat membuatku tertegun, dan kemudian melihat ulang dalam diri. Ia menyebut dirinya seorang penggerutu sebab ia bicara apa adanya, tanpa dilebihkan atau dikurangkan. Dengan cara demikian, pembacanya bisa mendapatkan gambaran utuh melalui mata, telinga, otak, dan hati seorang Eric Weiner.

sampul buku

Bagian yang menurutku paling menarik adalah ketika ia menelajah Bhutan. Negeri itu memang unik sebab kemajuan negara tidak dilihat dari Gross National Income, yang patokannya adalah pembangunan ekonomi, dan tingkat kesejahteraan. Bagi orang Bhutan, hal itu justru tidak mencerminkan aspek-aspek kemanusiaan. Bhutan menerapkan standar baru yang disebutnya Gross National Happiness yang meliputi empat aspek yakni: (1) pembangunan ekonomi dan sosial yang adil, yang tolok ukurnya adalah kesehatan dan pendidikan yang baik, (2) perlindungan dan promosi budaya, (3) kelestarian lingkungan, (4) pemerintahan yang baik.

Dalam amatan Eric, orang Bhutan meletakkan kebahagiaan itu pada kebersamaan, serta konsep hidup yang melihat alam dan manusia secara seimbang. Mereka tak ingin menjadi mahluk individual. Mereka ingin hidup secara kolektif, bersama seluruh keluarga, serta selaras dengan alam. Yup! Ini memang ajaran yang digali dari etika Budhisme. Mereka cerdas sebab bisa menemukan hal-hal yang dinamik dari dalam budayanya, dan hidup dnegan cara mereka, tanpa mau mengkuti cara barat.

Seusai membacanya, aku punya kesimpulan sendiri. Bahwa bahagia itu tidak terletak pada seberapa hebat serta banyaknya materi dan kekayaan yang dimiliki. Toh, mereka yang berlimpah bisa mengalami kehampaan. Bahagia itu justru terdapat dalam sumur tenang yang mengalir di dalam diri. Ketika seseorang tidak bahagia, maka berarti seseorang tersebut kurang jauh menggali ke dalam nuraninya. Ia kurang menimba hal-hal yang bisa menghadirkan rasa senang, lalu melihat kehidupan sebagai arena untuk berbagi kebahagiaan dengan orang lain.



Dari Mamasa Hingga New York




RUMAH itu nampak sederhana. Tak ada perabotan mewah di dalamnya. Hanya ada sebuah kitab Injil bertuliskan Mazmur. Lelaki penuh senyum itu menyilahkanku untuk duduk, setelah sebelumnya ia mengantarku melihat bijih kopi yang dijemur di halaman rumah. Ia begitu bersemangat ketika bercerita tentang kopi. Matanya berkilat-kilat saat berkisah tentang saat-saat memetik kopi, mengupas, menjemur, hingga menjualnya ke kota-kota.

Lelaki itu bernama Mongge. Ia menanam kopi di Pegunungan Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Jika petani lain memperlakukan kopi sebagai benda, maka tidak baginya. Kopi itu ibarat anak yang dilahirkan, dibesarkan, hingga akhirnya menopang kehidupannya. Ia mengalami hari ketika memilah benih kopi, menanamnya dengan penuh kesabaran, lalu menunggu hari-hari ketika benih itu mulai bertunas. Ia menjagai tanaman itu dari berbagai tanaman penganggu. Ia merawat, membesarkan, lalu membelai tanaman itu hingga akhirnya melahirkan buah yang siap untuk dipetik.

Setiap kali harus menjual kopi, Mongge dirundung bahagia dan sedih. “Kadang saya berat juga melepas kopi-kopi yang pernah saya tanam ke kota. Kopi itu seperti anak saya. Dia akan lebih indah jka dipajang di sini. Tapi kalau disimpan di sini, kopi itu akan menumpuk. Mungkin akan lebih baik kalau dia (kopi) dijual dan membahagiakan orang lain,” katanya.

Mongge paham bahwa kopi-kopi itu punya garis hidup. Kopi itu punya takdirnya sendiri, yang tak dipahami oleh petani yang menanamnya. Dari tangan Mongge di desa Nosu, kopi itu akan berkelana ke Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Kopi-kopi itu berkelana ke negeri-negeri yang jauh. Kopi itu melintasi benua, dicicip oleh manusia berbagai bangsa, dan memenuhi gelas di banyak tempat.

Sebagai penjalan, aku telah menyaksikan bagaimana kopi Indonesia menempati posisi puncak di kedai-kedai kopi di luar negeri. Satu dari tiga warga Amerika Serikat (AS) adalah sosok yang tak bisa menjalani hari tanpa segelas kopi. Mereka membeli kopi dengan harga mahal demi mendapatkan rasa kopi yang eksotik. Dan sejak dulu, Indonesia adalah salah satu negara eksportir yang membanjiri dunia dengan citarasa kopi eksotik khas Nusantara.

Mongge, sang petani kopi
kopi yang sedang dijemur

Boleh jadi, kopi yang ditanam Mongge di Mamasa itu menjadi kopi terbaik di kedai Starbuck di kota New York. Kopi itu kemudian dinobatkan sebagai kopi terlaris di Jepang, menjadi kopi yang paling diinginkan di Eropa, menjadi produk paling mahal di restoran-restoran berkelas, dihidangkan di meja banyak orang hebat, atau mungkin menjadi penghangat tubuh ketika badai salju menerjang di satu tempat.

Boleh jadi, kopi itu hadir dalam pertemuan para kepala negara yang kemudian memutuskan nasib bangsa-bangsa lain. Atau mungkin hadir di tengah jerit tangis sebuah keluarga yang rumahnya baru saja dibom. Kopi itu juga muncul di meja para remaja-remaja Korea yang menyandang berbagai gadget terbaru. Kopi itu bisa pula menjadi sahabat para pelaut yang melintasi Samudera Atlantik atau para pendaki di Pegunungan Himalaya yang tengah melepas penat di dekat puncak-puncak bersalju.

Kopi-kopi itu menjadi saksi atas beragam budaya dan peradaban. Kopi itu diolah dengan berbagai peralatan modern, dicampurkan berbagai bahan demi mendapatkan rasa berbeda, atau mungkin dikreasikan menjadi berbagai produk minuman. Kopi itu menjalani takdir yang panjang hingga akhirnya menjadi ampas minuman, yang lalu menyuburkan tanah di berbagai negeri. Ia lalu menjelma menjadi sebentuk kehidupan yang lain, atau mungkin menyediakan dirinya sebagai penyubur bagi kehidupan yang sedang tumbuh.

Semuanya berawal dari tangan dingin Mongge.

Di desa kecil itu, aku merasa tergetar ketika menyaksikan keikhlasan Mongge merawat kopi. Aku tertegun menyaksikan kesederhanaannya menjalani hari. Batinku tiba-tiba diliputi marah ketika membayangkan para eksportir kopi yang kemudian menangguk untung besar dari setiap butir kopi yang ditanam Mongge. Aku memelihara kesal pada organisasi pedagang kopi internasional yang dengan mudahnya memainkan harga kopi sehingga seringkali jatuh di pasaran. Petani kecil seperti Mongge terpaksa menerima harga jual rendah, yang sering tak dipahaminya.

kopi yang ditanam Mongge
kopi yang dijemur di Nosu, Mamasa
saat saya membeli kopi di dekat patung Liberty, New York

Di desa kecil itu, aku menemukan kontras kehidupan. Bahwa kebahagiaan dan tawa riang yang hadir di satu tempat seringkali bermula dari kebaikan dan ketulusan seseorang di tempat lain. Bahwa simbol-simbol kenikmatan di banyak negara, seringkali bermula dari tangan dingin seseorang yang sederhana menjalani hari, tangan kasar seseorang yang tak mendapatkan penghargaan yang layak atas apa yang telah dilakukannya.

Di rumah sederhana itu, Mongge menganyam kehidupan. Ketika hendak beranjak dari rumah itu, aku melihat sebuah foto dirinya bersama anaknya yang memakai toga wisuda. “Itu anak saya yang lain. Anak pertama saya adalah kopi, setelah itu anak-anak yang lain. Lihat foto itu. Berkat kopi, empat anak saya menjadi sarjana,” katanya dengan penuh rasa bangga.

Aku pun ikut bangga bersamanya.