Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Endapan Ingatan atas Rangga dan Cinta



poster film Ada Apa dengan Cinta 2

MESKIPUN ada banyak propaganda untuk tidak menonton film Ada Apa dengan Cinta 2, saya tetap akan meluangkan waktu untuk menontonnya. Bagi saya, film itu bukan sekadar penanda budaya populer, tapi juga bisa merepresentasikan keadaan sosial kita, khususnya budaya kaum muda. Bagi saya, film itu menjadi penting karena merupakan penanda dari banyak hal, mulai dari peta sosial kita, kondisi remaja hari ini, serta refleksi atas situasi sosial dan politik.

Serasa baru kemarin. Empat belas tahun silam, saya adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin di Makassar. Seminggu menjelang pemutaran perdana film Ada Apa dengan Cinta,  bersama rekan-rekan dari Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik), kami kedatangan tamu penting. Lelaki kurus dengan rambut berantakan dan agak pirang itu, yang berbicara dengan aksen Makassar itu, datang mempromosikan film itu. Lelaki itu Riri Riza.

Saya dan kawan-kawan mengundang Riri di BTN Hamzy, di rumah salah seorang sahabat Dallawaru Syamsuar. Riri datang membawa cakram yang isinya trailer film. Dia datang dengan style khas anak muda perkotaan. Masih saya ingat persis sepatunya yang sporty dan keren. Di rumah Dallawaru, Riri menyimpan sepatunya di teras. Seorang kawan berbisik, “Andaikan bukan acaranya anak Kosmik, sudah lamami saya curi ini sepatu. Keren mentong.”

Pada masa itu, saya sangat selektif menonton film. Sejujurnya, bukan selektif, tapi kondisi keuangan tak memungkinkan saya untuk punya hobi nonton film. Sebagai mahasiswa yang tinggal di pondokan (sebutan bagi kos-kosan ala mahasiswa Makassar berupa rumah kayu yang lalu dipetak-petak dan dipenuhi puluhan mahasiswa), saya harus berhemat.

Saya saban hari rutin makan dengan indomie. Saya tak punya uang untuk menonton film. Saya mengelola uang kiriman orangtua berdasarkan selera. Saat kiriman datang, saya akan makan yang enak-enak, misalnya ayam. Hari berikutnya, kualitas makanan turun menjadi tempe. Minggu-minggu terakhir, saya akan kembali ke selera asal: indomie. Thanks to Indofood!

Makanya, saat Riri Riza datang, saya tak begitu antusias. Saya pun tak punya banyak preferensi siapa Riri Riza. Saya hanya tahu kalau dia juga berasal dari Makassar, dan berkeluarga dengan kawan kami di Fakultas Ekonomi Unhas. Namun saat Riri Riza mulai memutar trailer yang berisikan film itu, saya langsung terpaku pada layar.

Di layar itu, saya menyaksikan seorang anak muda yang duduk di kantin belakang sekolah. Sayup-sayup ada suara perempuan yang tengah membacakan puisi: “Bosan aku dengan penat. Dan enyah saja kau pekat. Seperti berjelaga jika kusendiri.” Anak muda itu penyendiri, menulis syair yang lalu memikat hati gadis paling populer di sekolah. Ada gelak tawa, lagu yang riang. Lalu ada juga lagu-lagu khas anak muda.

Namun, ada juga suara lirih. Vokalis Melly Goeslow bernyanyi pelan, “Denting yang berbisik dari dinding kamarku.” Lalu suara Prang! Cermin jatuh. Perempuan muda bernama Alya terduduk di kamar mandi dengan sambil menjambak ramutnya di tengah derai air mata dan derai air yang mengalir dari shower.

Trailer yang diputar Riri cuma berdurasi beberapa menit. Namun semuanya sudah cukup buat saya untuk memutuskan bahwa saya harus menonton film itu. Saya lupa dengan siapa pergi menonton film itu. Yang pasti, tak mungkin dengan perempuan. Pada masa itu, saya terlampau pemalu. Cinta saya pernah ditolak seorang perempuan. Saya nyaris saja trauma. Hampir saya minum baygon saat membayangkan penolakan itu.

Saya menjadi bagian dari jutaan anak muda Indonesia terbius oleh pesona film itu. Film itu mencatat rekor sebagai film yang pertama menembus penonton hingga lebih sejuta orang sejak era pasca-reformasi. Film itu mendapat ulasan dari banyak orang. Beberapa akademisi lalu menulis tentang formasi sosial identitas berdasarkan studi atas karakter-karakter dalam film itu. Adegan saat Rangga berciuman dengan Cinta di bandara diulas oleh media sekelas Time yang menyebutnya sebagai pergeseran budaya anak muda Indonesia yang semakin permisif pada westernisasi. David Hanan, akademisi di Monash University, menulis tentang gejolak sosial anak muda setelah mengkaji film itu dan film lawas Catatan Si Boy.

sosok Rangga dalam film pertama

Pada masa itu, saya tak mengikuti wacana dan debat tentang film itu. Saya melihat kekuatan film itu ada pada sosok Rangga dan Cinta yang tak biasa. Sang lelaki seorang pemalu, cuek, dan melepaskan perasaannya dalam bait-bait puisi. Sang perempuan adalah sosok populer, yang solider dan setia pada persahabatan.

Keduanya dipertemukan dengan cara yang unik, penuh pertengkaran dan aroma persaingan. Akan tetapi keduanya mengakui kalau ada sesuatu yang tumbuh di hati mereka. Ada desir-desir halus yang menjalari perasaan mereka saat membaca puisi demi puisi, hingga akhirnya membiarkan diri mereka mengalir bersama sungai puisi itu.

Saya yakin ada banyak lelaki yang tiba-tiba saja membayangkan diri seperti Rangga. Seorang kawan bernama Adi Sulhardi, berubah menjadi sosok yang tak biasa saat penyambutan mahasiswa baru. Biasanya, dia tampak ribut dan ceria, dan tiada angin tiada hujan, tiba-tiba berteriak-teriak demi memikat kaum hawa. Hari itu, ia serupa Rangga yang menyaksikan mahasiswa baru dari kejauhan. Di tengah kerumuman, ia menyepi sambil membawa catatan harian. Tahu apa yang dia tulis? Puisi.

Tak hanya itu, saat ikut menjadi panitia orientasi penyambutan mahasiswa baru, kami merancang suasana yang serupa film ini. Ada mahasiswa yang berperan sebagai Rangga, dan ada juga yang menjadi Cinta. Parodi ini sukses. Banyak mahasiswa yang menyukainya.

Saya mengenang banyak adegan di film ini. Bagian yang paling saya sukai di film itu adalah adegan di Kwitang, saat Rangga dan Cinta hendak membeli buku bekas. Cinta tersadar kalau dirinya punya janji dengan teman-temannya untuk nonton konser Pas Band. Rangga lalu menyengat Cinta dengan kalimat tak bisa lepas dari teman-temannya. Cinta marah, dan balik menyindir Rangga yang tak punya teman. Saat Cinta pergi, datang penjual buku yang diperankan Gito Rollies. “Rangga, kau lihat cewek itu. Kalau dia menoleh, maka berarti dia menginginkan kau untuk menyusulnya.” Suara musik Pas Band mulai berdentam. Rangga dan penjual buku itu mengikuti ke arah mana cinta bergerak. Sekian detik kemudian, Cinta menoleh dengan wajah cemberut. Keren!

***

KINI, lebih sepuluh tahun film itu berlalu. Saya masih menghafal beberapa adegan. Saya masih sesekali memainkan lagu “denting” dan “bimbang” dengan petikan gitar akustik. Saya telah banyak menyaksikan film Dian Sastro dan Nicholas Saputra. Entah kenapa, saya belum bisa menghapus ingatan tentang permainan mereka di film itu. Tetap saja saya masih mengenang mereka sebagai dua ikon budaya populer yang sukses membawa jutaan anak muda ke ruang-ruang bioskop, sukses mengubah lifestyle anak-anak muda untuk membangun komunitas geng pertemanan, menulis puisi yang indah-indah, juga sesekali datang ke kafe lalu bernyanyi.

para pemeran film AADC 2

Saya tahu bahwa ada banyak kenyataan sosial yang berubah. Mungkin, ada yang masih sama. Cinta dan Rangga tak lagi semuda dahulu. Lagian, Cinta sudah dimiliki Indraguna Sutowo, sosok konglomerat itu. Dia udah lama tak setia dengan puisi, dunia sunyi, dan kesendirian. Meski demikian, saya percaya kalau Rangga dan Cinta kian matang, sebagaimana para penontonnya. Saya tak ingin membangun ekspektasi berlebihan atas film ini. Saya ingin menonton secara lepas, dan membiarkan diri saya mengalir mengikuti adegan-adegan dalam film itu. Saya masih terkenang dan ingin menagih kalimat Rangga, empat belas tahun silam:


dan aku akan kembali dalam satu purnama
untuk mempertanyakan kembali cintanya
bukan untuknya, bukan untuk siapa
tapi untukku
karena aku ingin kamu!
itu saja.



Bogor, 27 April 2016

Pelajaran Berharga dari Ikan Salmon





JIKA alam terkembang adalah guru, maka di sekitar kita terdapat banyak kisah-kisah yang meginspirasi. Salah satu di antaranya adalah pelajaran berharga yang ditemukan nelayan Jepang yang kerap menangkap ikan salmon. Kisah itu menjadi kisah motivasi yang melegenda, dikisahkan turun-temurun, serta membentuk spirit dan karakter bangsa Jepang agar kuat mental dan tahan banting.

Di negeri para samurai itu, ikan salmon akan terasa nikmatnya saat diolah dalam keadaan hidup. Sejak lama, para nelayan menangkap ikan itu di sekitar perairan Korea. Demi menjaga agar ikan itu tetap hidup saat dibawa ke daratan, para nelayan lalu membawa kontainer atau kolam di kapal lalu menyimpan semua ikan salmon tersebut.

Anehnya, saat tiba di pelabuhan terdekat, hampir semua ikan salmon itu dalam keadaan mati. Para nelayan lalu memutar otak. Mereka mengontak para ahli yang berusaha memecahkan misteri itu. Berbagai inovasi bermunculan. Mulai dari menyediakan makanan ikan, hingga mengatur gelembung udara di dalam kolam. Namun, semua inovasi itu gagal. Ikan salmon itu tetap saja mati.

Suatu hari, ada satu kapal yang sukses membawa sekolam ikan salmon yang tetap hidup. Para nelayan heboh, lalu berusaha menemukan penjelasannya. Ternyata, rahasianya ada pada seekor anak ikan hiu yang dimasukkan ke kolam itu. Ukuran hiu itu terlampau kecil sehingga tidak mungkin memakan ikan salmon. Akan tetapi, keberadaan seekor hiu kecil itu membuat semua salmon ketakutan. Mereka terus bergerak untuk menghindar.

Saat ikan hiu itu mendekat, semua salmon akan segera menjauh. Mereka berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengan predator itu. Ternyata pergerakan salmon yang selalu menghindar itulah yang membuatnya tetap hidup. Para salmon itu dalam keadaan was-was dan khawatir sehingga nalurinya untuk bertahan hidup bangkit.

Jika tak ada hiu, maka para salmon itu hanya diam di tempat hingga akhirnya pelan-pelan kehabisan oksigen dan mati. Tapi ketika hiu muncul, para salmon itu bergerak lebih aktif, berusaha menghindar, sehingga mereka tetap hidup.Demikianlah salah satu pelajaran dari alam semesta.

***

Kisah ini menyimpan butir-butir pengalaman berharga. Sebagaimana salmon itu, manusia akan semakin gigih berusaha saat berhadapan dengan tantangan. Segala tantangan akan menaikkan adrenalin yang membuat seseorang akan berusaha untuk mengatasinya. Proses berusaha dan bertahan itu yang akan membuat seseorang survive, tetap bertahan di tengah berbagai situasi. Dia akan tetap hidup sebab dirinya selalu bergerak untuk mengatasi masalah.

Kehidupan serupa kolam berisi ikan salmon itu. Tanpa ada tantangan, maka manusia akan berada dalam zona nyaman, hingga tak sadar kalau berbagai masalah bisa mendera dan menenggelamkan peradaban. Tanpa tantangan, seseorang akan menjalani rutinitas harian sehingga tak sadar kalau kehidupannya monoton dan membosankan, sehingga pada satu titik seseorang bisa terpuruk.

Saya teringat tulisan sejarawan Arnold J Toynbee tentang dinamika challenge and response. Toynbee hendak menjelaskan tentang peradaban yang bertahan dan peradaban yang punah. Katanya, semua peradaban mengadapi tantangan. Hanya yang bisa menemukan cara kreatif untuk menghadapi tantangan, serta berselancar di tengah perubahan, yang akan keluar sebagai pemenang. 

Jika salmon itu adalah pengibaratan dari diri kita, maka tak ada jalan lain. Demi memaksimalkan semua potensialitas, maka kita pun harus terbiasa menghadapi tantangan. Kita harus berani menantang diri kita agar kelak bisa berjalan selaras dengan kehidupan, dan memaksimalkannya untuk menguatkan diri kita. Semakin banyak masalah, semakin banyak tantangan, pengalaman bertempur kita akan semakin terasah.

Saya menyukai spirit dari Klan Seiya dalam kisah Dragon Ball. Setiap kali tubuh anggota klan ini dilukai, maka dia akan semakin kuat dan perkasa. Jika kita punya semangat “semakin terluka, semakin perkasa” maka betapa hebatnya kehidupan yang akan kita jalani. Jika kemampuan mengatasi masalah itu tumbuh dan mengakar dalam diri kita, maka kehidupan akan selalu menantang, dan membahagiakan buat kita. Masalah akan menjadi nutrisi yang semakin menyempurnakan perjalanan kita.

Jika salmon itu bisa tetap hidup  karena bergerak menghindari masalah, kita akan jauh lebih survive dan jauh lebih perkasa saat melalui satu demi satu permasalahan. Dan setiap kali melalui satu masalah, kita akan tersenyum dan menjadikannya sebagai satu pelajaran berharga yang serupa tangga telah membawa kita ke posisi lebih tinggi. 

Semua masalah akan menjadi guru yang terus membesarkan diri dan karakter kita.




Prajurit Seksi Pulau Jawa



ilustrasi

PARA perempuan di Jawa tak selalu identik dengan sosok ayu pendiam, patuh pada sistem, serta tunduk pada segala adat-istiadat. Dahulu ada anggapan kalau perempuan Jawa hanya bisa pasrah dengan situasi dan manut pada sistem. Ternyata, sejarah mencatat hal berbeda. Sebelum masa Kartini, perempuan Jawa punya kisah-kisah heroik serta punya posisi dominan dalam keluarga dan peta sosial.

Saya baru saja membaca buku berjudul Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad 18 – 19 yang ditulis sejarawan Peter Carey dan Vincent Houben. Buku ini mengisahkan tentang para perempuan yang justru lebih dominan dari lelaki. Mereka tak terkungkung, melainkan aktif menentukan banyak keputusan penting. Banyak di antara mereka yang terjun ke medan laga sebagai prajurit khusus yang menjalankan misi-misi penting.

Memang, Kartini mendobrak anggapan perempuan Jawa, yang digambarkan kaum kolonialis sebagai "boneka yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri.” Bangsa Belanda menganggap orang Jawa sebagai de Javaan als de zachste volk ter aarde (bangsa yang paling lembut di dunia). Masyarakat Jawa dikenal amat halus dan  penurut. Peran perempuan Jawa kurang ditonjolkan dalam babad-babad yang menceritakan sejarah tanah Jawa.

Mereka dianggap sebagai pemersatu atau penjaga silaturahmi dua keluarga besar. Perempuan keraton adalah pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk melanjutkan keturunan. Perempuan dipergunakan untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja dan keluarga terkemuka kerajaan. Peran tersebut diturunkan dengan cara dengan mengikat istana dalam suatu jaringan intim dengan dunia pedesaan Jawa melalui ikatan kekeluargaan yang luas.

Namun, anggapan itu tak selalu benar. Sejarah mencatat tentang sejumlah perempuan yang mendobrak anggapan tentang halus dan penurut itu. Beberapa di antaranya punya ambisi politik, punya hasrat kuasa, dan mengendalikan kuasa. Ternyata, para perempuan priyayi menikmati kebebasan dan kesempatan untuk bertindak serta inisiatif pribadi yang lebih jauh. Itu bisa dilihat pada kisah Nyi Ageng Serang, permpuan ahli siasat dan strategi yang membantu Pangeran Diponegoro pada perang Jawa.

Dalam buku karangan Peter Carey ini saya menemukan sisi lain tentang perempuan. Banyak di antara mereka yang memimpin pemberontakan. Misalnya, Nyai Kamsida, yang memimpin pemberontakan petani di Cilegon. Pada masa perang Jawa, perempuan punya peran signifikan. Di antaranya adalah Ratu Kencono yang memainkan perang penting di Yogyakarta. Ratu Kencono mendorong Keraton Yogya untuk lebih akomodatif pada residen Belanda Van Burgst. Dia juga yang mendorong penyewaan lahan kerajaan kepada pengusaha Belanda dan Tionghoa.

***

Saya tertegun saat membaca kisah tentang Pasukan Estri. Mereka beranggotakan sejumlah perempuan seksi dan cantik yang mahir berperang. Keberadaan pasukan ini muncul pada era pemerintahan Mangkunegoro I, yakni Raden Mas Said, yang bertahta pada tahun 1757  hingga 1795. Keberadaan pasukan ini muncul berkat catatan harian yang dibuat seorang anggota prajurit tersebut. Peter Carey mencatat:


“Empat puluhan perempuan duduk berbaris di bahwa takhta (sunan) dan benar-benar bersenjata lengkap: berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di sana, masing-masing memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil [...] harus diakui mereka pasukan kawal yang mengagumkan.”


Catatan harian pasukan estri itu diterjemahkan dengan teliti oleh Ann Kumar, sejarawan Australian National University, dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu pada 2008 dengan judul Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18. Sebelumnya diterbitkan di Jurnal Indonesia dengan judul “Javanese Court Society and Politics in the Late Eighteenth Century: The Record of A Lady Soldier”.

Buku harian itu terdiri atas 303 lembar kertas kulit kayu dan ditulis di kediaman Mangkunegara I, beraksara Jawa dan sedikit Arab Pegon. Berkat catatan tersebut kita dapat mengetahui peristiwa politik, ekonomi, kehidupan rumah tangga dan sisik-melik pasukan Mangkunagaran sekitar 1781-1791.


Seorang pejabat Belanda menyebutkan pasukan ini pandai menunggang kuda, mampu menembakkan bedil dengan teratur dan tepat sasaran. Keterampilan mereka masih lebih tinggi dari prajurit lelaki terlatih pada masa itu. Pasukan ini serupa asukan khusus yang bisa melakukan berbagai tugas-tugas rahasia. Peter Carey menambahkan keterampilan korps Srikandi dalam menggunakan bedil bertolak belakang dengan pasukan laki-laki istana yang terkenal kurang terlatih menggunakan senapan laras panjang dan artileri.

Tak hanya lihai mempergunakan senjata, laskar perempuan ini juga diajari menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Di antara tarian itu adalah Retno Tinandhing, yang diilhami gerak pertempuran prajurit estri. Hingga kini tarian ini masih digelar di Keraton Surakarta. Pada perayaan agama, prajurit perempuan ini juga ditugaskan menari.

Keluwesan dan kecakapan para prajurit estri ini juga memikat Herman Willem Daendels, sang Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1808-11), saat ia mengunjungi Yogyakarta untuk pertama kali dan disuguhkan perang-perangan 40 prajurit estri kesayangan Sultan di alun-alun selatan.

Soal pakaian, mereka berseragam layaknya prajurit. Namun mereka menyalin busana gaya emas maskulinnya, lalu menggantinya dengan busana wanita berwarna putih polos tatkala berada di rumah. Tentang imaji laskar perempuan Mangkunagaran, ada Rubiyah dari Desa Matah—sohor dengan nama Matah Ati. Perempuan inilah yang mendampingi perjuangan gerilya Raden Mas Said melawan VOC. Rubiyah dikenang sebagai panglima korps prajurit estri.

Sering, Raden Mas Sahid menghadiahkan anggota pasukan ini untuk menjadi istri bagi para bangsawan. Bagi perempuanprajurit, mereka akan senang hati melakoni peran sebagai istri, sebab mereka tidak akan disakiti oleh semuanya. Mereka akan diperkaukan dengan baik sebab suaminya khawatir mendapat murka dari Raden Mas Sahid.

***

BEBERAPA fakta di atas semakin menegaskan tentang citra raden ayu tidak seperti yang selama ini beredar, yaitu dijinakkan dan terkungkung dalam tembok keraton. Studi yang lebih luas diperlukan dan versi lampau barangkali perlu direvisi secara radikal. Sebab, jejak-jejak sejarah menunjukkan bahwa para perempuan Jawa sebelum Kartini nyatanya bukan sosok yang terbelenggu.(*)

Bogor, 21 April 2016

BACA JUGA: 






Mencari Makna di Lapis-Lapis Pidato Pejabat



BEBERAPA kali saya menyaksikan pejabat berpidato. Mulai dari menteri, gubernur, bupati, ataupun walikota. Selalu saja saya menemukan sesuatu yang sama. Selalu saja saya mendengarkan materi pidato yang monoton. Isinya selalu membanggakan prestasi hebat yang sedang diraihnya. Mengapa tak ada topik pidato yang lain?

Suatu hari, saya menyaksikan seorang menteri menjadi keynote speaker. Tak perlu saya bahas detail siapa menteri yang berpidato. Sejak awal, ia memulai pidato dengan sapaan kalau dirinya sedang curhat. Selanjutnya, ia memulai dengan gambaran tentang kondisi saat dirinya mulai menjabat. Ia mengaku mendapatkan warisan masalah. Tak ada hal baik yang diterimanya sebagai warisan.

Selanjutnya, mulailah kisah kerja keras. Ia bercerita bagaimana dirinya memangkas birokrasi, membuat efisien semua pekerjaan, menetapkan goal yang lalu dikejar dengan berbagai program. Ia membahas mesin besar kementerian yang bergerak karena dirinya adalah pengendali. Ia ingin berkata bahwa selama ini kondisi birokrasi amat buruk karena pemimpinnya tidak kompeten. Dirinyalah yang menggerakkan semua, yang tadinya diam di tempat.

 
ilustrasi

Topik berikutnya semakin tidak menarik di mata saya. Dia mulai bercerita tentang beberapa hambatan seperti sogokan, kiriman parsel, juga godaan saham. Terhadap semua hambatan itu, sang menteri berkata singkat, “Tolong minggir. Saya sedang menjalankan ibadah saya untuk orang banyak! Saya beribadah untuk membuat masyarakat Indonesia sejahtera.”

Hadirin bertepuk tangan. Saya menatap sekitar dengan keheranan.

Topik mengenai agama selalu bisa membuat bulu kuduk merinding. Topik itu selalu memberikan kesan kalau seseorang benar-benar mendedikasikan dirinya untuk orang banyak. Niat bekerja dilihat sebagai niat suci untuk kebaikan, niat untuk berbakti kepada Tuhan. Kadang, kita kehilangan sikap kritis dan tidak menelaahnya dengan bijak. Kita langsung menganggap sang pejabat sebagai dewa yang turun ke bumi demi memperbaiki bumi yang kacau-balau karena tiadanya orang yang setia beribadah.

Orang-orang gampang terkesan saat si pejabat membahas dedikasi dan keikhlasan. Lucunya, orang-orang kehilangan sikap kritis dan percaya begitu saja semua yang dikatakan. Padahal, pertanyaan sederhana bisa dikemukakan. Jika memang si pejabat itu semata-mata memikirkan orang banyak, mengapa pula kita jarang mendengar ucapan kagum ataupun apresiasi atas keengganannya mengambil hak dari negara yang berlimpah? Mengapa pula harus menggunakan kalimat-kalimat penuh kehebatan yang membuat semua orang bertepuk tangan?

Entah kenapa, saya nyaris tak pernah menemukan satupun pejabat yang berpidato dengan topik tak biasa. Saya tak pernah mendengar pejabat yang bicara apa adanya, misalnya berbagai kendala dan kegagalan yang dialaminya. Padahal, pengakuan akan kegagalan itu adalah indikasi dirinya telah bekerja keras untuk memetakan satu persoalan, meskipun belum ada penyelesaian.

Dengan membahas itu dalam pidato, ia bisa melibatkan publik untuk ikut memikirkan apa yang langkah-langkah terbaik yang bisa diambilnya. Pengakuan kegagalan itu bisa menjadi potret yang paling manusiawi bagi seorang pejabat. Ia beusaha sekuatnya, tetapi persoalan terlanjur kompleks. Dirinya hanya sekrup kecil di satu mesin besar yang tak banyak daya.

Mengapa pejabat kita suka membahas keberhasilan? Sebab penyataan keberhasilan itu akan berbuah decak kagum serta apresiasi banyak orang. Terlampau banyak pejabat yang “makan puji”, sengaja bercerita hal baik, dengan harapan agar mendapat tatapan kagum serta puja-puji. Padahal, kenyataan yang sedang dihadapinya terus bergerak. Mungkin ia hanya menampilkan satu keping waktu, yang sejatinya masih akan terus bergerak. Besok-besok sang waktu akan berada di titik paling nadir Tapi, apakah pejabat itu akan mengakui kalau ada persoalan?

Dunia para pejabat adalah dunia penuh pencitraan. Yang tumpul di dunia ini adalah sikap kritis pada berbagai data, pujian, ataupun segala bentuk tatapan kagum. Kita masih tak beranjak pada politik kosmetik, menyapukan warna indah dan merangsang pada bibir agar terus memikat publik, padahal soal-soal yang substansial malah terabaikan.

Jujur, saya merindukan ada pejabat yang berpidato tentang kegagalan-kegagalan. Jika ada pejabat demikian, saya akan jempol kepadanya. Berarti dia seorang yang jujur dan menyampaikan sesuatu, tanpa harus dipoles-poles dengan berbagai data agar selalu bisa mendapatkan pujian. Dengan mengungkap kenyataan secara apa adanya, pejabat itu menampilkan kejujuran, serta pesan kepada orang lain kalau mesti ada orang lain yang melanjutkan apa yang direkomendasikannya.

Saya merindukan kepala daerah yang secara gentle mengakui dirinya tak banyak berbuat. Dengan mengakui ada masalah, ia menampilkan kejujuran dan kerja keras, walaupun tak membuahkan banyak hal. Dengan mengungkap kegagalan, ia mewariskan satu pesan kuat agar penerusnya bisa menggantikan hal-hal yang selama ini gagal diatasinya. Dengan menyebut kelemahan, penerusnya bisa memiliki peta permasalahan yang akurat, sembari membuat berbagai inovasi untuk mengatasi persoalan.

Pengakuan gagal adalah pengakuan jujur yang membuat seorang pejabat tidak sedang bersandiwara melalui deretan angka-angka, yang boleh jadi penuh rekayasa dan manipulasi. Melalui pengakuan gagal, seorang pejabat menemukan dirinya sendiri. Ia boleh saja gagal dalam kerja dan tanggungjawab, tetapi kejujuran itu telah menempatkan dirinya sebagai manusia yang lebih baik, yang jujur mengakui sesuatu apa adanya. Itu akan menguatkan kesan kalau dirinya orang ingin agar penggantinya bisa mengatasi apa yang gagal dihadapinya.

Ah, semoga ada yang demikian. Biar saya tak semakin tersiksa karena harus mendengar pidato seorang pejabat.


Bogor, 21 April 2016