Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Jokowi Versus Paloh, Bisakah Nasdem Bertahan?

Babak baru pertarungan Jokowi versus Surya Paloh kian seru. Rumor telah berhembus kalau dua menteri dari Nasdem akan segera di-reshuffle. Pemerintah seakan hendak memutus aliran darah sejumlah elite Nasdem, khususnya yang bermain bisnis tambang dan komoditas.

Nasdem kian dikucilkan dari pemerintahan Tentunya, dari sisi politik, kebijakan ini bisa membawa berkah dari Nasdem. Partai tidak lagi abu-abu. Tidak lagi mencla-mencle. Partai akan lebih tegas untuk memilih jalur oposisi, senada dengan kebijakan mencalonkan Anies Baswedan sebagai calon presiden.

Jika Anies terpilih sebagai presiden, Nasdem akan leluasa menjadi pengendali distribusi kuasa ke elite-elite politik yang lain. Nasdem akan mendapatkan “kue” paling besar, serta menghidupkan banyak kartu bisnis dan kartel. Elite Nasdem akan jadi “ketua Kelas” yang mengatur dan mendistribusi aliran bisnis.

Namun jika Anies tidak terpilih, partai itu akan siap-siap memasuki era baru yang menjauh dari rezim politik. Partai itu akan siap “puasa” dan hanya menjadi penyaksi dari hiruk-pikuk di lingkaran rezim. Bisakah Nasdem bertahan?

Reshuffle akan menjadi ujian serius bagi partai. Bagaimanapun juga, DNA partai itu bukanlah oposisi. Elite Nasdem banyak yang jadi oligarki, yang menurut Aristoteles bermakna, “kekuasaan oleh segelintir kaum kaya.”

Nasdem tidak punya pengalaman seperti PDIP yang selama sekian tahun mengalami represi rezim Orde Baru sehingga mengalami apa yang disebut Tan Malaka sebagai “terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk.”

Nasdem belum tentu setangguh PKS yang memilih di luar rezim pemerintahan di era Jokowi, sembari tetap menjaga elan vital sebagai partai kader.

Mereka yang mendirikan Nasdem adalah mereka yang lama berkecimpung di Partai Golkar dan sekian tahun melekat dengan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana memaksimalkan posisi di pemerintahan demi mendapatkan “pork barrel project”, yang disebut Edward Aspinall sebagai proyek-proyek pemerintah yang kemudian dibagikan ke semua elite partai dan relawan.

Di lapangan bisnis, para pengusaha di Nasdem bukanlah mereka yang terbiasa berdarah-darah dan mulai semuanya dari nol. Mereka adalah kalangan yang mengandalkan afiliasi atau kedekatan dengan pemerintah. Tanpa proyek APBN dan APBD, mereka bisa kehilangan darah segar untuk berkompetisi di arena bisnis.

Sejumlah kalangan Nasdem masih belum yakin dengan langkah yang dihimpun partai. Banyak yang menilai langkah mendorong capres terkesan buru-buru. Partai seakan tidak sabar untuk segera memegang tampuk kekuasaan. Padahal, banyak hal yang perlu ditimbang dengan baik sebelum tiba pada keputusan itu.

Banyak yang berharap agar partai membangun basis dan pengkaderan yang kuat sehingga bisa tumbuh kokoh. Apalagi, basis Nasdem kebanyakan di daerah yang populasi non-Muslim cukup besar. Merawat dan menyirami basis secara perlahan jauh lebih penting ketimbang mengambil langkah strategis untuk menggenggam kekuasaan.

Namun, Surya Paloh telah mengambil keputusan. Langkah untuk mengumumkan capres dianggap langkah strategis untuk segera mengamankan Anies, serta menggenggam pemerintahan.

Jalur oposisi akan menjadi pertaruhan terbesar bagi Surya Paloh. Selama ini dia selalu pandai memainkan bidak di percaturan politik. Di masa Orde Baru berkuasa, dia dekat Cendana. Menjelang Orde Baru runtuh, dia ikut barisan yang menentang pemerintah. Dia pun ikut Golkar, partai yang diisi politisi senior dan selalu menang di semua rezim.

Setelah itu, Paloh berlabuh ke Jokowi dan nyaman selama dua periode di pemerintahan. Saat gebetan baru hadir dan dianggap berpotensi menang, dia pun pindah haluan. Berkaca pada sejarah, intuisi Paloh sering benar. Dia punya naluri pengusaha yang membawanya selalu jadi pemenang di semua rezim.

Nasdem ingin mengulang langkah Partai Demokrat, yang begitu memenangkan SBY langsung melejit sebagai partai pemenang pemilu dan meraih kursi terbanyak di parlemen. Langkah by pass diambil untuk mendapatkan manfaat lebih besar. Kalaupun ada hambatan, maka itu bisa dianggap sebagai “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.”

Yang harus dipikirkan dengan matang adalah tidak ada satu rumus tunggal yang berlaku dalam dunia politik Indonesia. Pelajaran dari keterpilihan semua presiden adalah konteks sosial dan politik yang tidak sama.

SBY naik karena banyak yang tidak setuju dipimpin perempuan, kemudian butuh figur antitesis. Jokowi naik karena saat itu ada ketidakpuasan pada pemerintahan SBY, yang di masa akhir-akhir periodenya, muncul banyak kasus korupsi di Partai Demokrat.

Saat ini, kepuasan pada pemerintah masih cukup tinggi, sebagaimana bisa dilihat pada hasil survei banyak lembaga. Jokowi masih keliling Indonesia untuk meresmikan berbagai proyek infrastruktur.

Namun, dalam politik, segala hal bisa terjadi, sepanjang dirancang dengan baik dan dikelola dengan benar. Jika memilih jalur oposisi, Nasdem akan lebih tegas dalam bersinergi dengan capres Anies untuk menurunkan kartu yang bikin gerah pemerintah.

Saatnya mengeser isu pada agenda-agenda perubahan. Pengalaman selama di pemerintahan akan menjadi amunisi berharga dalam merumuskan apa saja titik lemah di pemerintahan, yang harus dibenahi ke depan.

Nah, bisakah Nasdem mengusung arus perubahan dengan para elite yang terbiasa nyaman di pemerintahan?

Bahkan untuk mengendalikan Demokrat dan PKS untuk pengumuman koalisi bersama, Nasdem gagal. Dari sisi politik, Demokrat tentunya tak ingin dalam kendali Nasdem, mengingat mereka punya sumber daya politik dan perolehan suara lebih besar. Sementara PKS bisa jumawa sebab menilai diri lebih matang di jalur oposisi.

Di sisi lain, sumber daya Nasdem jelas tak berdaya menghadapi semua sumberdaya yang saat ini digenggam Jokowi. Saat ini, kendali kuasa politik dan ekonomi masih di tangan Jokowi. Jemari Jokowi masih bisa mengendalikan para pengusaha, konglomerat, kartel, dan semua barisan pemain politik.

Bisakah Nasdem menang hanya dengan mengandalkan kader yang ideologinya rapuh, selalu melihat celah untuk menang, dan siap jadi kutu loncat saat partai ditinggalkan?

Mengutip Otto van Bismarck, “Politics is the art of the possible, the attainable — the art of the next best.” Politik adalah seni dari kemungkinan, sesuatu yang dapat dicapai –seni dari pilihan terbaik berikutnya.

Di jenggot Surya Paloh, publik Nasdem menggantungkan harapan untuk masa depan partai yang lebih baik.



Buku yang Saya Sukai di Tahun 2022


Anna di depan buku-buku di rumah saya


Tahun 2022 menjadi tahun yang sibuk. Work from Home (WFH) mulai berkurang. Pandemi mulai reda. Aktivitas perkantoran mulai sibuk. Di tahun ini, saya sibuk berkantor. Ada beberapa target yang harus dikejar. 

Namun, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, aktivitas saya hanya berkisar di tiga hal: membaca, menonton film, dan menulis. Entah kenapa, saya susah melepaskan diri dari tiga aktivitas ini. Di luar itu, lebih banyak kumpul-kumpul bareng kawan-kawan. 

Rupanya, pilihan buku bacaan selalu ditentukan kebutuhan dan aktivitas. Saat masih aktif di kampus, saya suka buku-buku riset dan akademik. Begitu keluar dari kampus dan bekerja di satu korporasi, bacaan saya pun berubah. Kini lebih suka hal-hal praktis dan ringan-ringan.

Selama tahun 2022, saya tetap rutin membeli dan membaca buku. Namun, saya juga banyak membeli buku digital, yang dibaca melalui aplikasi berbayar di android. Saya menulis secara acak, beberapa buku yang saya sukai.


Psychology of Money (Morgan Housel)

Terjemahan buku ini terbit sejak 2021, tapi saya baru membacanya di tahun 2022. Isinya cukup mengejutkan saya yang sangat awam dengan hal-hal finansial. Buku ini memberikan terang bagaimana memahami uang dan prilaku manusia.


Suka atau tidak suka, kebanyakan manusia modern menjalani hidup semata-mata untuk mengejar uang, demi status sosial serta angan-angan hidup yang lebih baik. Demi uang, kita rela melakukan apapun.

Namun, buku ini tidak berisi kiat, motivasi, dan strategi mendapatkan uang secepat-cepatnya. Isinya lebih ke arah pemahaman psikologi mengenai uang. Kita diajak mengenali siapa-siapa orang terkaya di dunia, serta mengapa mereka bisa kaya.

Buku ini ringan dan cocok dibaca untuk para beginner, seperti saya, yang baru belajar bagaimana mengelola uang. Pelajaran penting yang saya petik di buku ini adalah kekayaan adalah buah dari kemampuan untuk mengelola keuangan dengan baik, sembari tetap memelihara rasa lapar untuk mencari uang.


Cendekiawan dan Transformasi Sosial (Sonny Karsono)

Di jajaran buku riset sosial dan humaniora, buku Cendekiawan dan Transformasi, terbitan LP3ES ini adalah favorit saya. Buku ini adalah disertasi Sonny Karsono yang berisikan kiprah cendekiawan kritis di era Orde Baru. Saya mengenal baik Sonny Karsono, selama studi di Amerika Serikat.

Buku ini menyajikan lintasan ide-ide di masa Orde Baru yang dipantik oleh tiga sosok aktivis muda. Mereka berasal dari latar kelas menengah, yang pernah menyumbangkan Oder Lama, kemudian mengisi perjalanan Orde Baru dengan pendekatan modernisasi dan pembangunanisme.


Di zaman ketika Indonesia tengah mabuk dengan wacana pembangunan, ketiga sosok ini sudah berbicara tema-tema seperti partisipasi, bottom-up approach, hingga perspektif kritis serta Marxisme. Melalui publikasi berupa buku dan jurnal Prisma, mereka membawa perspektif baru agar rakyat Indonesia tetap kritis dalam melihat proyek pembangunan dari pemerintah.

Buku ini bisa menjadi “lubang kunci” untuk meneropong apa yang terjadi di masa itu. Kata Geertz, “a vehicle of meaning” untuk melihat kenyataan yang lebih luas, bisa menjadi jendela untuk melihat realitas sosial, menyaksikan bagaimana benih-benih ide aktivisme tumbuh dari lahan gembur kelas menengah, yang jenuh melihat kampanye ideologi di masa Orde Lama.


Hidup Bersama Raksasa (Tania Li & Pujo Semedi)

Sejak beberapa tahun lalu, saya menjadi fans berat Tania Murray Li. Saya mengoleksi banyak bukunya. Mulai Will to Improve, Land’s End, hingga buku terbarunya berjudul Hidup Bersama Raksasa, yang merupakan terjemahan dari Plantation Life.

Tania Li selalu menulis etnografi tentang mereka yang terabaikan dalam proyek besar bernama pembangunan. Dia memihak masyarakat adat dan komunitas yang terpinggirkan. Semua bukunya adalah hasil riset lapangan, perjumpaan dengan mereka di kampung-kampung, lalu menuliskan kisah-kisah yang menarik dan menyayat hati.


Berkat Tania Li, saya belajar memahami banyak kepingan realitas tentang apa yang terjadi di tanah air kita, Indonesia. Selama ini kita merasa baik-baik saja, tanpa tahu apa yang dialami anak bangsa di banyak lokasi.

Dulu, ketika melihat produktivitas dan ketekunan Tania Li sering kali bikin iri. Saya jarang membaca akademisi Indonesia yang seproduktif dan setekun Tania Li. Kebanyakan akademisi kita hanya menjadi pengulas buku Tania Li, tanpa ada ikhtiar untuk menulis riset lapangan sebagaimana Tania Li Sekian tahun merdeka, kita belum bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Di ranah akademik, kita selalu menjadi konsumen, bahkan terhadap isu mengenai tanah air kita sendiri.

Satu hal yang menggembirakan, di buku ini, Tania Li bermitra dengan dosen UGM yakni Pujo Semedi. Semoga semakin banyak anak bangsa yang ikut meramaikan wacana akademik mengenai Indonesia di panggung antar bangsa.


Think Again (Adam Grant)

Buku ini datang pada saat yang tepat. Saat membacanya, saya sedang galau karena beberapa kali debat kusir di kantor. Saya merasa banyak ide-ide saya yang tidak dipahami sehingga memicu perdebatan. 

Sejak bekerja di tempat baru, saya harus belajar bernegosiasi dan meyakinkan orang lain. Sering kali, saya emosi lalu mempengaruhi kemampuan dalam menyampaikan argumen. Saat emosi, separuh pengetahuan hilang. Saya pun kalah negosiasi.

Padahal kata Adam Grant, seorang profesor bidang psikologi organisasi di Amerika Serikat, jangan pernah menganggap debat sebagai perang di mana ada kalah dan menang.


Debat yang baik bukanlah perang. Bukan seperti pemainan tarik tambang di mana kita bisa menyeret lawan ke sisi kita. Debat adalah tarian tanpa koreografi. Kita saling menari dengan musuh lalu saling memahami langkah masing-masing.

Buku menekankan pada pentingnya sikap ilmiah untuk selalu skeptis dan membuka pikiran pada banyak pendapat berbeda. Banyak pebisnis yang gagal karena terlalu kaku dan melihat dengan kacamata kuda. Dengan membuka perspektif dan peka pada ide-ide baru, seseorang bisa menangkap nuansa perubahan dan menerapkannya untuk dirinya dan organisasi.


Give and Take (Adam Grant)

Ini buku kedua dari Adam Grant yang saya baca. Isinya sama menariknya dengan Think Again. Dia menjelaskan rahasia kesuksesan banyak orang hebat adalah dengan sering memberi atau menjadi giver. 

Namun, Giver yang dimaksud bukan mereka yang setiap saat memberi. Melainkan mereka yang selalu tahu kapan harus memberi. Mereka yang berorientasi ke depan, lalu menjadikan pemberian sebagai strategi untuk merekatkan jaringan-jaringan sosial.


Buku ini mengingatkan saya pada The Gift yang ditulis Marcell Maus. Sejak dulu, berbagai suku bangsa saling memberi sesuatu demi memperkuat jaringan sosial. Bedanya, Adam Grant melihat fenomena di ranah bisnis, di mana pebisnis paling handal adalah mereka yang suka membantu orang lain, sehingga pada satu titik, semua jaringan itu bisa bekerja untuknya.

Di era kekinian, semua pekerjaan selalu berbasis pada jaringan. Makanya, istilah "Your Network is Your Net Worth" sangat tepat. Melalui silaturahmi dan pemberian, seorang Giver akan terus memperluas jaringan sosialnya, sehingga hubungan-hubungan itu membuahkan hasil kepadanya.


Manusia dalam Kemelut Sejarah (Taufik Abdullah dkk)

Ini salah satu buku terbaik mengenai tokoh-tokoh sejarah Indonesia. Pertama diterbitkan tahun 1978, buku ini terus direproduksi karena kualitas serta bacaan yang mendalam. Mulanya, buku ini adalah artikel yang ditulis di Jurnal Prisma. 


Para penulisnya adalah intelektual paling cemerlang di masa itu, namun hingga kini, sulit menemukan cendekiawan dengan jelajah intelektual sedalam mereka. Nama-nama penulis artikel di buku ini sudah menjadi legenda di kalangan intelektual masa kini.

Betapa menariknya mengikuti kemelut manusia yang ditulis Taufik Abdullah, kisah Sukarno yang ditulis sejarawan Onghokham, Jenderal Soderman yang ditulis Nugroho Notosusanto, Sjahrir dalam tinjauan YB Mangunwijaya, Tan Malaka yang ditulis Alfian, hingga Kahar Muzakkar yang dibahas Mattulada.

Saya senang bisa kembali membaca dan menyelami samudera tokoh-tokoh nasional yang ditulis apik oleh para cendekiawan hebat yang telah banyak membuat goresan penting tentang bangsa ini.


Ekspedisi Rempah, Ekspedisi Teh, Ekspedisi Kopi (Kompas)

Saya selalu suka buku-buku mengenai perjalanan, apalagi jika ada misi atau sesuatu yang hendak dtemukan dalam perjalanan itu.  Buku-buku ini mengingatkan saya pada catatan George Marcus mengenai milti-site ethnography dalam buku Writing Ethnographic through Thick and Thin. 

Menurut George Marcus, seorang peneliti tidak selalu mengikuti subyek, namun bisa pula “follow the object” untuk memahami dinamika. Dalam buku-buku ini, pihak jurnalis Kompas menjadikan rempah, the, kopi sebagai titik nol untuk ditelusuri. 


Buku ini menyajikan perjalanan ke sentra-sentra komoditas, berinteraksi dengan para petani, pedagang kecil, hingga melihat perubahan sosial di berbagai desa-desa.

Hasilnya adalah deskripsi dan foto-foto menarik tentang kondisi terkini di arena yang menghasilkan komoditas ini. Kita menyaksikan potret, yang tak selalu cerah, tetapi juga buram mengenai komoditas yang dahulu membawa harum nama Nusantara, kini hanya bisa mengenang masa-masa kejayaan karena perubahan pola ekonomi.


Gadis Kretek (Ratih  Kumala)

Dulu, saya sering lihat novel ini di etalase toko buku. Saat itu tak ada niat membacanya. Padahal novel ini sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.  Namun setelah membaca berita kalau novel ini akan difilmkan Netflix, dan akan diperankan Dian Sastro, saya penasaran.  Mulailah saya membacanya hingga tuntas.


Kisahnya sangat menarik tentang cinta di sela-sela bisnis kretek di masa pra-Indonesia merdeka hingga masa-masa 1960-an. Ada banyak peristiwa sejarah yang mempengaruhi alur kisah cinta itu. Alurnya maju mundur. Ada seorang lelaki tua yang sekarat, lalu menyebut nama seorang perempuan. Anak-anaknya lalu bergerak mencari perempuan yang disebut lelaki itu. 

Sepanjang pencarian, terungkap kisah cinta dan bisnis kretek di satu rentang sejarah. Kisah cinta itu tidak happy ending, sebab situasi tidak memberi dukungan bagi cinta mereka. Di akhir cerita, anak-anaknya mau memperbaiki keadaan dan berdamai.


Politik Dinasti Keluarga Elite Jawa Abad XV-XX (Heather Sutherland)

Mulanya saya tertarik membaca buku ini karena ada sosok seperti Jokowi. Saya pikir isinya mengenai bagaimana Jokowi melanggengkan kekuasaan. Ternyata isi buku merentang jauh ke genealogi atau asal-muasal munculnya dinasti politik di Indonesia.

Dalam buku yang versi aslinya berjudul Notes on Java’s Regent Families, Heather Sutherland memaparkan bagaimana para elite Jawa mempertahankan kuasa dengan cara membangun dinasti.


Heather mengurai berbagai upaya kolonial melanggengkan kekuasaan para elite Jawa. Politik dinasti terjadi saat kekuasaan dikuasai satu keluarga besar secara turun-temurun. Sutherland menunjukkan bagaimana elite politik masa lalu menjaga lambang-lambang kebangsawanan dengan gelar-gelar. Gelar kebangsawanan akan didapatkan juga oleh keturunan yang menggantikannya.

Seorang elite akan memakai nama dan gelar yang kemudian diturunkan ke anaknya. Gelar ini bisa berganti apabila dinasti politik tersebut terputus. Selain itu, seorang elite akan menampilkan pakaian, gaya hidup, tempat tinggal, serta posisi yang memberinya akses untuk tetap menjaga warisan supremasi sebagai penguasa.

Buku ini terasa aktual karena juga terjadi pada masa sekarang. Kesimpulannya, apa yang terjadi di masa sekarang adalah warisan berpikir yang sudah ada sejak masa lalu. Sejarah selalu berulang.


Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital (Agus Sudibyo)

Ini buku menarik yang saya baca di penghujung tahun. Buku ini bercerita mengenai strategi media dalam menghadapi disrupsi atau perubahan. Di era cetak, media bisa mengontrol bisnis, mengetahui jumlah pelanggan, dan membuat target iklan yang tepat. 


Kini, di era media online, media sangat tergantung pada teknologi. Lebih dari 70 persen iklan dikuasai oleh Google dan Facebook. Media online hanya memperebutkan remah-remah yang tak seberapa. Mereka tunduk pada algoritma serta hanya bisa berada dalam garis yang ditetapkan pemilik platform teknologi.

Media berusaha untuk bertahan. Media membangun jejaring dan ekosistem yang saling mendukung. Kian sempitnya ceruk bisnis media, sebab dikuasai pemilik platform teknologi, membuat semua media berusaha untuk bertahan. Mereka coba maksimalkan jaringan dengan pemerintah daerah, juga 

Buku ini melengkapi tiga buku sebelumnya yang ditulis Agus Sudibyo yakni Jagad Digital, Tarung Digital, dan Dialektika Digital. Bedanya, buku ini fokus membahas menenai industri media nasional yang digempur sistematis oleh pemilik platform digital.

Bacaan menarik di akhir tahun.


Yang Tidak Dikatakan soal Pekerja Media (Citra Maudy Mahanani)

Buku ini menyajikan sesuatu yang muram. Kita setiap hari membaca produk media, namun lupa untuk mengetahui bagaimana kondisi para jurnalis. Buku tipis ini menyajikan riset menarik tentang para pekerja media yang berusaha untuk tetap bertahan dalam sistem yang tidak adil.


Para jurnalis menghadapi eksploitasi dalam bekerja. Mereka berada pada sistem bisnis yang semakin liberal serta undang-undang buruh yang dianggap kurang berpihak. Buku ini mencoba menelusurinya dengan cara mewawancarai sejumlah jurnalis untuk mengetahui sejauh mana serikat pekerja media berdampak bagi mereka.

Buku ini memotret voice of voiceless, suara dari mereka yang tak bersuara. Buku ini menyajikan telaah ekonomi politik yang kritis mengenai kapitalisme, gig economy, hingga sharing economy yang hanya ramah di sisi bisnis dan teknologi, namun sangat eksploitatif di kalangan pekerja. 

Buku ini cocok dibaca pemerintah yang setiap saat bicara ekonomi 4.0, sembari menatap nasib pekerja yang kian takluk dalam mekanisme kerja berbasis algoritma, yang platform kerjanya ditentukan perusahaan teknologi.

*** 

Ini hanya beberapa judul buku yang terlintas. Seain buku di atas, saya juga membaca ulang beberapa buku bagus. Tidak semuanya bisa saya tampilkan di sini. Ada yang sedang dalam proses membaca. Di antaranya adalah buku Think Like a Freak yang ditulis Steven Levitt dan Stephen J Downer.

Saya juga sedang membaca buku Geography of Dream yang ditulis penulis asal Korea, Eje Kim dan Ashley. Bukunya lebih ringan dari buku yang dibuat Eric Weiner. Membaca buku ini bikin semangat untuk traveling kembali berkobar.

Semoga tahun 2023 akan semakin banyak buku bagus dan bermutu. Jika saya ditanya seperti apa surga, maka saya akan menjawab surga adalah rumah yang dipenuhi buku-buku.


BACA JUGA:

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2021

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2020

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2019

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2018

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2015



Dulu Gereja Maradona, Kini Gereja Messi

Mural Messi dan Maradona

Mulanya semua hening. Saat bola yang disepak Gonzalo Montiel, pemain Argentina, masuk ke gawang Prancis, semua heboh dan histeris. Rasa gembira serupa balon yang dilepas ke udara.

Hari itu, semua pendukung Argentina merengkuh bahagia setelah sekian lama diterpa panas kering derita. Semua bersorak ke angkasa.

Di satu sudut kota Rosario, Argentina, bel berdentang dari gereja yang disebut Iglesia Maradoniana atau Church of Maradona. Suaranya menggema hingga jauh. Di gereja inilah, semua ritual dan pemujaan pada bintang bola Diego Maradona dilantunkan ke langit.

“Jika Maradona adalah Tuhan, maka Messi adalah Juru Selamat,” kata Hernan Amez, salah seorang pengurus Iglesia Maradoniana.

Bagi rakyat Argentina, Maradona setara dengan Dewa. Dia adalah sosok yang menghadirkan bahagia, serta menyatukan semua kelompok. Bola serupa jalan yang mengekspresikan kecintaan, sekaligus menghadirkan kekuatan.

Gereja itu menggelar ritual mengenai Maradona. Ulang tahun Maradona, 30 Oktober, diabadikan sebagai hari Natal agama tersebut. Tanggal 22 Juni adalah Hari Paskah. Di hari itu, Maradona mencetak dua gol di gawang Inggris, yang dianggap sebagai gol terbesar dalam sejarah sepakbola.

Hubungan Maradona dan Messi terlihat pada mural di sudut kota Buenos Aires. Mural itu meniru lukisan seniman Michaelangelo di Gereja Sistine, yag menampilkan Tuhan dan Adam. Di mural itu, figure Tuhan digambarkan sebagai Diego Maradona, sedang Adam adalah sosok Lionel Messi.

"Bagi kami, lapangan sepak bola ini adalah gereja kami, tempat suci dan gambar ini memang layak dipasang di tempat ini," kata Ricardo Elsegood, seorang warga.

Dalam versi lukisan Michelangelo yang berjudul "Penciptaan Adam," Tuhan dikelilingi oleh para malaikat.

Sementara mural di Argentina, Maradona dikelilingi para bintang timnas negara itu. Di antaranya adalah Juan Riquelme, Gabriel Batistuta, Mario Kempes, Sergio Aguero, Claudio Caniggia, Ricardo Bochini, dan Ariel Ortega. Semuanya mengenakan pakaian putih bergaris biru yang dikenakan para pemain bola.

Santiago Barbeito, sang pelukis, menyebut makna dari karyanya adalah proses regenerasi yang terus menerus di tubuh timnas Aregntina. "Maradona mewariskan sepak bola yang hebat ke tangan Messi," kata Barbeito.

Hernan Ames mengatakan, Messi adalah harapan hidup. Messi dinilai mampu membawa rakyat Argentina turun ke jalan-jalan untuk selebrasi, sebagaimana dulu dilakukan Maradona.

Satu-satunya hal yang dibutuhkan untuk menyamai Maradona adalah membawa rakyat Argentina ke jalan-jalan untuk kebahagiaan sebuah kemenangan. Seperti halnya Maradona yang memenangkan pertandingan ikonik pada Piala Dunia tahun 1986.

Kini, Messi sukses mengemban misi tersebut. Dia menuntaskan perannya sebagai Messiah atau Juru Selamat. Dia memenuhi semua harapan dan keinginan rakyat Argentina yang tengah dilanda krisis ekonomi.

Messi tak pernah mengomentari perannya sebagai Juru Selamat. Dia tetap menjadi seorang penganut Katolik yang taat. Di lengan kanannya, terdapat tato Yesus Kristus. Di siku kanannya, ada tato Jendela Mawar, sebuah jendela yang terletak di Gereja Sagrada Familia di Barcelona.

Nazar Messi

Di tahun 2017, setahun sebelum Piala Dunia 2018 di Rusia, Messi sempat bernazar. Jika Argentina memenangkan Piala Dunia, dia akan merayakannya dengan berlari sejauh 31 mil dari rumahnya di Rosario, Argentina, ke Sanctuary of Our Lady of the Rosary yang terletak di San Nicolas.

Setiap tahun di bulan September, ratusan ribu umat Katolik melakukan perjalanan dengan berjalan kaki ke San Nicolas, tempat suaka dan pusat penyebaran Katolik Argentina.


Saat itu dia gagal, kini dia bisa kembali mewujudkan obsesinya. Dia selalu menyebut bakatnya datang dari Tuhan, dan kepada Tuhan pula dia persembahkan semua kemenangannya.

Namun di mata para fans garis keras, yang mendirikan Gereja Maradona, Messi akan selalu jadi Juru Selamat. “Messi membela kondisi kemahakuasaan dan kemahatahuan Maradona. Kalaupun Maradona mati, dia tetap abadi. Dia tidak meninggalkan kami,” kata Hernan Ames.

Apakah setelah berhasil membawa Argentina juara, Messi akan sejajar dengan “Tuhan” Maradona?

Hernan Amez tidak menjawab. Namun Camilo Quinteros, sosiolog di Kolombia, menyebut bisa saja ada Gereja Messi dalam waktu dekat. Dia menyebut sejarah agama selalu berawal dari kegembiraan dan kebahagiaan yang berhasil diwujudkan seseorang.

“Dalam konteks ini, Messi hadir membawa kisah-kisah kejayaan untuk bangsanya. Dia datang sebagai pelipur lara bagi orang-orang yang hampa dengan kisah hebat,” katanya.

Di negeri latin, sepakbola pun bisa menjadi agama. Dan pemainnya bisa menjadi dewa. Semua mendambakan kegemilangan setelah dihantam panas kering kerontang akan gelar juara.

Semua gembira karena Messi.