Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Senyum Manis di Gua Maria Rangkasbitung


kalung salib di dekat altar

Sebut saja namanya Livi. Dia seorang perempuan keturunan Tionghoa yang selalu riang. Di akhir pekan, dia selalu terlihat di Taman Surapati, Jakarta. Di situ, dia bergabung dengan rekan-rekannya yang kerap bermain biola.

Sepekan sebelum natal, dia terlihat lebih gembira. Saat semua rekan-rekannya membuat rencana hendak liburan ke luar negeri, dia justru punya rencana lain. “Saya ingin berkunjung ke Gua Maria di Rangkasbitung, Lebak. Saya ingin mengikuti jalan salib,” katanya.

Spiritualitas memang serupa energi yang menggerakkan tubuh seseorang. Ada saat di mana manusia merasa jenuh dan bosan. Ibarat mesin, ada saat manusia merasakan aus dan kehilangan energi.

Melalui jalan spiritual, seseorang bisa me-recharge energinya lalu kembali menjadi individu baru yang jauh lebih bertenaga. Namun, tak semua orang punya waktu untuk mengunjungi tempat-tepat jauh demi mengisi baterai kehidupannya.

BACA: Tafsir atas Daud versus Goliath

Saya penasaran dengan cerita Livi tentang Gua Maria. Saya pikir gua serupa hanya ada di Jawa Tengah. Saya pikir Banten hanyalah rumah berteduh bagi para penganut Islam. Jika ada Gua Maria, maka akan posisinya serupa titik di tengah ritus ziarah agama Islam. Itu membuatnya unik.

Tanpa sepengetahuan Livi, saya juga menyusun jadwal perjalanan. Dari Bogor, saya bergerak menempuh jalur Dramaga ke Leuliang, Cinangneng, Jasinga, hingga Rangkasbitung. Setelah meninggalkan Jasinga, perjalanan lebih banyak melintasi hutan. Setelah tiga jam, akhirnya tiba di Rangkasbitung.

Kompleks ini dinamakan Gua Maria Bukit Kanada. Saya pikir, tempat ini ada kaitan dengan satu lokasi di Kanada. Ternyata Kanada adalah singkatan dari Kampung Narimbang Dalam, yang merupakan lokasi gua ini.

patung-patung sebelum mencapai Gua Maria

Saya melihat sekeliling. Kompleks gua ini dipenuhi pohon-pohon rimbun. Lokasinya agak jauh dari pemukiman sehingga menjadi tempat ibadah yang tenang dan sejuk. Di lapangan parkir yang luas, saya melihat banyak mobil berpelat Jakarta.

Setelah memarkir kendaraan, saya tidak langsung ke Gua Maria. Saya singgah dulu ke kantin di lokasi parkiran. Tiga jam perjalanan membuat saya cukup lelah dan lapar. Saya sejenak mencoba mie ayam serta ngopi di kantin kecil di situ.

Saya bertemu Hans, seorang sekuriti yang lama bekerja di situ. Dia bercerita, selain Gua Maria, di situ ada kapel kecil untuk pelayanan Perayaan Ekaristi, serta area jalan salib dengan 14 perhentian. Rutenya melewati hutan kecil serta kebun-kebun yang bernuansa alami.

Sebanyak 14 perhentian itu akan mengingatkan pada peristiwa yang dialami oleh Yesus saat dijatuhi hukuman mati, memikul salib, hingga mati dan dikubur. Di perhentian-perhentian tersebut umat bisa melakukan devosi atau berdoa.

Hans bergabung di organisasi bernama Mudika, yang merupakan singkatan dari Muda-Mudi Katolik. Kini, berganti nama jadi Orang Muda Katolik (OMK). Sebelum dan ketika Gua Maria dibangun, Mudika St. Yoseph (nama Mudika waktu itu) terlibat aktif dalam pengumpulan dana untuk pembangunan Gua Maria dengan antara lain dengan berjualan makanan.

Sejak peletakan batu pertama, Mudika pun terlibat aktif dalam pembangunan Gua Maria. Bukan hanya itu saja, setelah Gua Maria selesai dibangun, Mudika juga juga melakukan pendekatan dengan masyarakat sekitar, antara lain dengan melakukan pertandingan voli di lapangan yang saat ini menjadi lapangan parkir Gua Maria.

Ketika situasi keamaan saat itu kurang kondusif, Mudika secara bergilir berjaga, melakukan ronda di Gua Maria. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ketika bulan peziarahan berlangsung (Mei dan Oktober), Mudika melakukan pencatatan tentang jumlah para peziarah, mencatat nomor kendaran serta melaporkan kepada aparat terkait.

Kedekatan dengan warga pun terbangun. Tanggal 18 Agustus 2013, Kepala Desa Jatimulya, Bapak Rusyanto mengkui keberadaan Gua Maria Rangkasbitung, serta mengungkapkan pengakuan dan penghargaannya tentang keberadaan Gua Maria Kanada. Gua Maria Rangkasbitung merupakan aset Desa Jatimulya.

BACA: Buddha Tidur di Kampung Bogor

Pada 31 Oktober 2013 Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lebak dan Ketua FKUB Kabupaten Lebak juga mengakui kehadiran sebagai tempat ziarah bagi umat katolik Rangkasbitung.

Pihak pengelola membangun tempat berjualan yang layak bagi warga masyarakat di sekitar Gua Maria. Mereka juga melakukan bakti sosial berupa pengobatan gratis dan pembagian sembako bagi warga yang tidak mampu.

“Kami tak akan berhenti. Sekali pun hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan,” kata Hans. Dia dan tekannya tetap berpegang pada perkataan Rasul Paulus kepada umat di Korintus “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan.”

*** 

Mengapa orang Katolik membangun Gua Maria? Hans tak bisa menjawab pertanyaan ini. Tugasnya hanya mengantar tamu-tamu yang datang berkunjung. Dia tak bisa menjawab pertanyaan mengenai sejarah dan spiritualitas.

Kepada Hans, saya ucapkan kalimat “Que soy era Immaculado Councepciou!” Dalam bahasa Occitan, yang digunakan di selatan Perancis bermakna: “Aku adalah Yang Dikandung Tanpa Dosa.” Ini adalah kalimat dari yang diucapkan Bunda Maria kepada Bernadette Soubirous di Gua Massabielle (batu besar), di tepi Sungai Gave, dekat kota Lourdes di Perancis, pada tahun 1858.

dua patung malaikat mengawal patung Bunda Maria

Konon, Benadette Soubirous bertemu penampakan Bunda Maria. Dia melihat Bunda Maria mengenakan gaun putih indah dengan ikat pinggang yang terang. Di atas kakinya ada bunga mawar berwarna kuning pucat.  Dia menatap ke langit dan mengatupkan tangannya ke dada.

Dalam sejarah, Bunda Maria beberapa kali dilaporkan menampakkan diri pada orang terpilih. Penampakan di Lourdes meninspirasi umat Katolik untuk membangun gua yang kemudian menjadi tempat ziarah paling populer di dunia.

Tempat ziarah ini pulalah yang kemudian menjadi inspirasi untuk membuat tempat ziarah serupa pada komunitas Katolik setempat. Dari situ muncullah tempat ziarah gua Maria di banyak tempat di dunia, termasuk di Indonesia yang salah satunya adalah Gua Maria Bukit Kanada Rangkasbitung.

Mendengar saya bercerita, Hans  memperlihatkan saya beberapa rosario. “Siapa tahu kamu membutuhkan ini untuk berdoa,” katanya. “Maaf, saya seorang Muslim,” kataku.

Sejenak dia terdiam, kemudian kembali tersenyum. “Tak apa. Jalan spiritual memang universal. Siapa tahu ada pesan dan hikmah yang kamu temukan di sini,” katanya. Saya pun tersenyum dan menjabat tangannya.

Dia menawarkan untuk mengantarkan saya ke Gua Maria. Tapi saya memilih sendirian. Saya menikmati saat-saat berkunjung, melihat dari tepian, sembari memotret.

Saya memulai perjalanan di kompleks itu. Mulanya saya bertemu gerbang, serta lukisan tembok mengenai kelahiran Yesus Kristus. Di ujung jalan kecil, saya melihat ada patung Yesus tengah duduk dan berdoa. Selanjutnya, saya melihat gerbang kecil bertuliskan “Salve Regina.”Di kiri kanan, terdapat patung kecil putih yang sepertinya adalah para sahabat Yesus. Jumlahnya 11. Di antaraya ada patung St Yohanes dan St Filipus.

salah satu penghentian untuk devosi atau berdoa
patung Yesus Kristus


Setelah mendaki dan melalui semua patung kecil itu, saya melihat Gua Maria. Di tengah gua, ada patung Bunda Maria, yang mengingatkan saya pada patung Maria di Lourdes. Di depannya ada altar yang berisikan puluhan lilin. Depan patung Bunda Maria, ada patung dua lelaki berayap yang sedang menyembah. Di dekat altar itu, orang-orang menggantung kalung dengan liontin salib.

Setelah mengambil gambar, saya lalu menelusuri jalan salib. Di situ, ada rute pendek, serta rute panjang. Jika melalui rute panjang, maka kita harus mengitari bukit yang cukup terjal. Saya merasa cukup lelah saat mendaki bukit menuju Gua Maria ini. Saya pun memilih rute pendek.

BACA: Lelaki yang Bertualang Mencari Tuhan

Bangunan pertama yang saya lihat serupa bangunan di zaman Romawi kuno yang bertuliskan “Grotto Kebangkitan.” Sayang, pintu menuju ke dalam bangunan tertutup. Saya ingat kata Hans di pintu masuk kalau di situ terdapat patung Yesus yang tengah berbaring.

Saya melanjutkan perjalanan dan melihat 14 titik penghentian. Di depan semua penghentian, ada altar yang dipenuhi lilin. Di ujung rute pendek, saya melihat patung Yesus yang sedang menengadah. Ada juga sumur untuk mengambil air suci.

Saat sedang memotret, punggung saya dipukul seseorang. Saat menoleh, saya melihat wajah Livi yang nampak marah. Pipinya bersemu kemerahan. “Kok gak bilang kalau mau ke sini? Kan kita bisa barengan,” katanya sembari cemberut.

Hmm. Dia semakin manis.



IMPERFECT: Komedi Cantik yang Sarat Hikmah


Tadinya saya hanya berniat menonton film komedi demi menghibur diri di akhir pekan. Ternyata, saya mendapatkan satu rasa yang campur aduk. Bukan sekadar tertawa, tapi juga sesuatu yang membasahi nurani dan menyediakan banyak spasi untuk merenung.

Film Imperfect yang dibesut Ernest Prakasa menjadi satu film yang komplit, cerdas, dan mengharukan. Film ini amat tepat membahas perempuan yang merasa insecure, selalu merasa di-bully karena tidak cantik. Dengan cara yang cerdas, film ini menjewer dunia sosial kita yang melihat sesuatu hanya dari sisi luar.

***

Semuanya bermula dari curhat. Meira Anastasia bercerita tentang hari-harinya sebagai istri seorang pesohor. Suaminya Ernest Prakasa dikenal sebagai komedian terkenal, public figure, keturunan Tionghoa yang sukses di industri kreatif. Sering sekali Meira bertemu orang yang sinis dan bertanya: “Ini istri Ernest yaa, kok gak cantik?”

Dia pun menulis semua curhatan itu menjadi buku berjudul Imperfect: A Journey to Self-Accaptance. Curhatan itu kemudian laris-manis. Dia mewakili keresahan banyak perempuan yang sering disoroti penampilannya. Dia menyindir dunia sosial kita yang sering melakukan “body shaming” atau olok-olok pada orang lain yang fisiknya berbeda.



Curhatan Meira inilah yang kemudian dikemas menjadi film menarik berjudul Imperfect. Suaminya, Ernest Prakasa, mengemas semua kisah itu dalam satu jalinan cerita komedi yang sederhana, tapi sarat makna.

Ceritanya tentang perempuan bernama Rara (diperankan Jessica Mill) yang terlahir berkulit gelap, hitam, dan keriting. Dia mengikuti gen ayahnya. Ibunya adalah sosok yang tinggi, putih, dan cantik. Bahkan adiknya pun berpenampilan seperti ibunya.

Ketika Rara remaja, ayahnya kecelakaan dan meninggal di jalur Puncak. Rara menjalani hidup sebagai bayang-bayang dari ibu dan adiknya yang putih dan jelita. Setiap saat dia harus dibanding-bandingkan dengan mereka. Dia sering menerima pertanyaan: “Benar saudara kandung? Kok beda yaa?”

Beruntung, Rara punya kekasih yang melihatnya apa adanya. Kekasihnya, Dika (diperankan Reza Rahadian), adalah tipe orang yang tidak terjebak pada penampilan luar. Dia melihat Rara apa adanya, sebagai sosok yang dikasihinya. Dia suka melihat Rara yang gembira, ceria, serta suka makan apa saja. (Duh, saya bayangkan betapa inginnya perempuan punya pacar kayak Dika)

Rara memang sosok perempuan yang cerdas dan selalu mau belajar. Di kantornya, kariernya cukup baik. Sayang, dia batal menjadi manajer karena penampilannya dianggap biasa saja, tidak mencerminkan brand perusahaan kosmetik itu.

BACA: Perempuan Vietnam di Sudut Mangga Besar

Dalam situasi tertekan karena dunia sosial yang berharap dirinya lebih cantik, dia lalu melakukan make over. Dia mulai olahraga, menjaga diet, hingga mulai mengikuti kebiasaan ibu dan adiknya yang suka dandan. Dia menjadi sosok yang cantik dan idola di kantornya.  Dia berhasil menjadi manajer yang sibuk, cantik, dan punya segalanya.

Namun, perlahan dia mulai kehilangan banyak hal.

Kekasihnya, Dika, mulai merasakan hal berbeda. Rara tidak lagi menjadi Rara yang dulu. Rara menjadi egois, angkuh, dan memandang orang lain bertindak seperti sosok yang dulu dibencinya. Malah, dia mulai kehilangan hal-hal sederhana yang amat indah sebagai pengisi hari-harinya.

Pada satu titik, Rara menyadari betapa dirinya telah menjadi sosok berbeda. Dia berusaha merebut kembali hari yang hilang.

*** 

Saya menyukai cara Ernest mengemas kisah sederhana ini menjadi sedemikian memikat. Tanpa sadar, kita menjadi bagian dari dunia sosial yang melihat orang lain hanya dari penampilan luar. Kita berdecak kagum melihat orang cantik, berusaha ramah, dan memberikan apresiasi. Kita terlena dengan tampilan luar.

Dunia sosial kita menjadi kejam ketika sering melakukan “body shaming” atau mengolok-olok orang lain. Kita mudah meledek orang lain yang bertubuh lebih besar. Kita sering memandang rendah mereka yang fisiknya biasa saja. Kita suka menghina dan membicarakan.




Padahal betapa tidak nyamannya jika menjadi pihak yang direndahkan itu. Mereka merasakan insecure dan kehilangan percaya diri dalam berinteraksi, menjadi introvert dan penakut, lalu menutup diri dari pergaulan. Potensi besar tersimpan bak mutiara di dasar lautan.

Bagi perempuan, hilangnya rasa percaya diri membuat hari-hari jadi terasa berat. Perempuan bisa tersisih dari pergaulan lalu menganggap dirinya rendah dan hina di hadapan orang lain. Padahal, dia sesungguhnya baik-baik saja. Dia hanya terlanjur berada di dunia sosial yang tidak siap melihat perbedaan.

Film ini menyindir dunia sosial kita dengan cara cerdas, tanpa berniat menggurui. Saya menyukai dialog-dialog yang penuh humor dari para pemain stand up comedy di film ini. Saya sangat terhibur dengan banyolan segar dari banyak perempuan di film ini.

Di akhir film, saya baru sadar kalau film ini meletakkan perempuan sebagai sentrum utama cerita. Semua perempuan menjadi tokoh utama yang punya kisah menarik untuk dikisahkan. Sementara laki-laki hanya sekadar barisan pendukung yang tidak seberapa penting untuk diceritakan.

Lewat sudut pandang perempuan itulah, kisah film ini mengalir apik dan menggemaskan. Para pemainnya tampil natural, dan jauh dari kesan dibuat-buat. Saya suka dialog-dialog yang ringan tapi sarat makna. Dialog favorit saya adalah yang membahas shio.

Ernest hebat ketika menjadikan banyak isu sensitif menjadi ringan dan segar. Dia dengan berani menyisipkan dialog tentang Yesus dan Bunda Maria melalui tuturan seorang perempuan keriting dari timur. Saya juga suka bagian ketika Ernest mengolok-olok Cina. Dalam beberapa filmnya, dia memang menjadikan kecinaannya sebagai subyek yang terus dieksplor.



Bagian paling indah adalah akhir film yang cukup dramatis. Justru dalam ketidaksempurnaan itulah, kita menemukan adanya kesempurnaan. Bahwa perempuan itu indah apa adanya tanpa harus banyak diberi label dan embel-embel. Dalam ketidaksempurnaan itu, melekat banyak yang menjadikannya sempurna.

Saya ingat cerita tentang keramik kintsugi di Jepang. Ada satu keramik indah yang pecah. Banyak ahli keramik yang berusaha menyambung kembali, namun gagal menjadikannya sempurna.

BACA: Perempuan Indonesia di Zona Perang

Hingga akhirnya ada seorang biksu yang menyambung semua retakan itu dengan emas. Dia melihat dalam semua retakan serta ketidaksempurnaan itu justru terdapat keunikan dan keindahan. Dia memberi pesan penting: semua ketidaksempurnaan tak perlu disembunyikan, tapi harus ditampilkan apa adanya.

Lihatlah ketidaksempurnaan itu sebagai hal-hal yang mendewasakan dan mengajarkan satu hikmah penting bahwa kehidupan bukan soal bagaimana menjadi sempurna, tapi soal bagaimana menerima semua ketidaksempurnaan agar kita menjadi pribadi yang menyempurna.

Guys, dengan segala ketidaksempurnaannya, perempuan itu selalu indah. Teramat sangat indah.



Catatan di SUKAMISKIN




Seorang kawan mengajak saya berkunjung ke Lapas Sukamiskin. Kami hendak ke satu kantor, yang kebetulan tidak jauh dari Sukamiskin. Apalagi, kami melintas pada jam berkunjung yakni jam 09.00. Saya pun mengiyakan. Kami menjalani semua prosedur. Mulai dari menunjukkan KTP hingga scan sidik jari.

Sukamiskin masih menyimpan warisan jejak pemerintah kolonial. Pintu depannya tampak tebal dan berat. Jendelanya dilapisi terali yang kokoh. Di atas tembok, selalu ada kawat duri. Sukamiskin punya banyak kisah tentang mereka yang berdiam di situ, di antaranya adalah kisah pemuda Sukarno yang kemudian jadi presiden.

Saya ikut antrean melewati pintu berwarna merah. Seorang bapak di hadapan saya tidak henti menebar senyum. Saat itu, seorang petugas menyapa: “Pasti mau masuk ke dalam untuk bahas pilkada yaa?” Bapak itu tertawa ngakak.

Di ruang tunggu Sukamiskin, banyak keluarga berdatangan. Banyak di antara mereka yang membawa makanan. Saya lihat warga binaan dan pengunjung berbaur menjadi satu. Semuanya tampak ceria dan gembira.

Di kejauhan, saya melihat Patrialis Akbar. Dia hanya melintas sembari memperhatikan kami. Saya berharap bisa bertemu Anas Urbaningrum. Sayang, dia tak tampak. Saya pun ikut ngobrol lepas dengan beberapa orang di situ.

Saya teringat lebih sepuluh tahun lalu ketika bertugas meliput di LP Gunung Sari Makassar. Waktu itu, saya ikut rombongan Gubernur Sulsel yang mendatangi lapas untuk merayakan 17-an. Setelah gubernur pergi, beberapa biduan tampil menyanyi. Warga binaan ikut berjoget.

Saya melihat suasana lapas seperti suasana kos-kosan mahasiswa. Ada banyak orang yang saling sapa. Seorang warga binaan bercerita kalau banyak cewek cantik yang jadi tahanan kasus narkoba. Saya bisa melihat beberapa perempuan berambut orang dan modis di situ.

Tidak jauh dari lapangan itu, saya mendekati seorang bapak. Matanya teduh. Dia tampak seperti seorang kakek baik hati yang berbinar saat ditemui cucunya. Ketika saya pergi, seorang kawan memanggil. Dia berbisik kalau kakek itu dipanggil Daeng L, seorang terpidana seumur hidup karena pembunuhan satu keluarga di Jalan Karunrung, Makassar. Ah, masak sih?

Kini, saya merasakan hal yang sama di Sukamiskin. Saya menemukan banyak sorot mata bersahabat di sini. Saya ingat catatan Rahardi Ramelan, salah seorang mantan penghuni LP Cipinang. Menurutnya, beda antara warga di dalam lapas dan di luar sangatlah tipis.

“Yang di dalam adalah mereka yang ketahuan, atau malah dikorbankan. Di luar sana, jauh lebih banyak orang tidak ketahuan.”

Namun, suara yang di dalam seakan lenyap begitu saja. Kita lebih suka memvonis ketimbang mendengar mereka. Padahal mereka yang di dalam lapas mendapatkan kesempatan untuk merenungi apa yang terjadi, bisa melihat dunia luar dengan cara pandang baru, dan ketika keluar bisa menjadi figur berbeda.

Dengan segala pengalamannya, seharusnya mereka menjadi warga kehormatan yang telah menjalani proses pendewasaan. Negara tak perlu menghukum lagi mereka yang sudah keluar.

Saya rasa hukuman di masa kolonial lebih manusiawi di banding sekarang. Dulu, generasi Bung Karno diasingkan ke pulau-pulau terjauh. Sukarno dibuang ke Bengkulu, kemudian Ende. Hatta diasingkan ke Banda Neira. Di sana, mereka tetap beraktivitas dan berinteraksi dengan warga. Mereka menyebar benih kebangsaan di mana pun berada.

Saya ingat kisah Pramoedya. Ketika ditahan di Pulau Buru, justru dia bisa melahirkan karya sastra terbaik dalam sejarah bangsa ini. Dalam segala keterbatasan dan tekanan kerja paksa, dia bisa melahirkan bait-bait yang kemudian menjadi capaian emas bangsa kita.

Justru dalam keadaan yang serba sulit itu, dia menemukan butiran kata yang mengharu biru dan mengingatkan anak bangsa tentang diri dan sejarahnya. Kenapa pula kita harus menghakimi mereka?

“Yos, sudah lama menunggu? Maafkan karena tadi saya singgah salat dhuha,” katanya. Saya melihat sosok itu menyapa dan tersenyum ramah. “Saya baru tiba,” kataku. Dia tersenyum.

Di luar sana, Bandung diguyur hujan lebat.

Kabin Star Wars di Kota Bandung




Di Bandung, saya menginap di hotel kapsul. Biayanya sangat murah. Hanya 100 ribu rupiah semalam. Bentuknya kayak ruang tidur pesawat tempur dalam film Star Wars. Persis kayak hotel kapsul yang saya lihat di film2 Jepang dan Korea.

Hotel ini sangat pas untuk backpacker kayak saya yang niatnya hanya untuk tidur. Saya memanfaatkan lobi hotel untuk membaca dan menyelesaikan pekerjaan di laptop. Sempat ngobrol dengan dua turis Jepang di situ. Saat mau tidur, barulah saya masuk ke barak kecil yang disusun kayak peti.

Benar2 futuristik. Begitu kartu akses dimasukkan, kamar ini kayak pesawat yang siap terbang. Di situ ada berbagai panel yang sekali sentuh, bisa mengubah lampu jadi warna-warni, bisa menyalakan lampu baca, bisa menghidupkan televisi, juga tersedia colokan. Saya cukup nyaman di ruang kecil ini. Ada wifi pula.

Saya pikir hotel kapsul ini tepat untuk mereka yang tak suka ribet. Mereka yang hanya butuh ruang istirahat, tanpa harus menyewa kamar yang besar. Apalagi di sini, disediakan locker, kamar mandi bersama, mushalla, dapur dan ruang makan. Saya perhatikan, hampir semua penggunanya adalah milenial yang datang dengan ransel. Tapi ada juga keluarga yang membawa anak2.

Di bilik kecil ini, saya membayangkan seperti Kapten Hans Solo yang sedang berada di ruang tidur pesawat Millenium Falcon dalam kisah Star Wars. Saya berharap akan dibangunkan dgn pengumuman kalau pesawat telah tiba di planet lain yang semua penduduknya adalah cewek manis.

Semoga.







Tak Banyak Kampus Favorit di Petinggi KPK





Sejauh mana hubungan antara kuliah di perguruan tinggi favorit dan kesuksesan seseorang? 

Presiden Jokowi melantik para petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta anggota Dewan Pengawas KPK. Berbagai reaksi bermunculan. Ada yang pesimis, dan ada yang optimis.

Di kalangan para pendekar hukum, memegang posisi sebagai petinggi KPK adalah satu capaian besar. Hanya ada lima petinggi dan lima dewan pengawas yang akan mengendalikan organisasi yang menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi.

Ini posisi yang diincar oleh semua pendekar hukum dan jutaan lulusan perguruan tinggi, khususnya yang belajar hukum. Semua berharap bisa lolos seleksi dan memegang amanah untuk menegakkan keadilan, menghukum koruptor, dan menegakkan marwah lembaga.

Saya membayangkan semua alumni kampus favorit ikut bersaing dan memperebutkan jabatan itu. Tapi coba lihatlah lima pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beserta lima Dewan Pengawasnya yang baru saja dilantik kemarin.

Hanya ada satu alumnus Universitas Indonesia, satu alumnus UGM.  Sisanya berasal dari perguruan tinggi yang tidak terlalu mentereng. Malah, hanya ada satu orang yang pernah belajar kampus luar negeri.

Saya memperhatikan profil lima pimpinan KPK. Pertama, Firli Bahuri adalah lulusan Akademi Kepolisian RI. Kedua, Lili Pantauli Siregar, lulus Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara. Ketiga, Nurul Ghufron lulus dari Universitas Jember. Keempat, Nawawi Pomolango, lulus dari Universitas Sam Ratulangi, Manado. Kelima, Alexander Marwata adalah alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), kemudian belajar di Universitas Indonesia.

Perhatikan pula anggota Dewan Pengawas KPK. Pertama, Tumpak Hatorangan Panggabean, yang lulus dari Universitas Tanjungpura di Pontianak. Kedua, Artidjo Alkostar yang lulus dari Universitas Islam Indonesia. Ketiga, Syamsudin Haris yang belajar di Universitas Nasional (Unas), Jakarta. Keempat, Albertina Ho yang pernah belajar di UGM. Kelima, Dr Harjono yang belajar di Universitas Airlangga.

Di antara kelima nama ini, hanya Harjoni yang pernah belajar di perguruan tinggi di luar negeri. Dia belajar magister di Texas, Amerika Serikat, untuk mengambil gelar magister bidang comparative law.

Namun, ada benang merah yang menghubungkan mereka. Banyak nama di atas memiliki rekam jejak yang hebat di bidangnya. Mereka punya capaian yang mengesankan di dunia hukum. Mereka bukan orang kemarin sore yang ujuk-ujuk bicara korupsi. Rekam jejak di bidang itu sudah terlampau panjang.

Saya tertarik menelusuri asal kampus mereka belajar. Di Indonesia, ada anggapan kalau semakin hebat reputasi kampus, makin hebat pula reputasi alumninya. Padahal, dunia profesional tidak bekerja dengan cara pandang itu. Mereka yang sukses adalah mereka yang bisa memaksimalkan semua peluang, bisa mengelola jejaring sosial, bisa membangun reputasi yang baik di sepanjang perjalanan kariernya.

Mari kita lihat rekam jejak dua petinggi KPK. Kita amati Lili Pantauli Siregar. Dia adalah seorang advokat yang sering membela buruh dan tani. Dia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2013-2018.

Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) ini mengawali kariernya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan dan banyak membantu banyak kasus hukum yang menjerat buruh tani dan nelayan di sana.

Kita lihat pula nama lain, yakni Nawawi Pomolango. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, ini adalah Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali. Selain di Denpasar, ia sudah pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Ia juga tercatat pernah menangani kasus suap pengaturan kuota impor sapi dan pencucian uang yang menjerat mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq. Kemudian pada 2017, ia juga menangani kasus suap yang melibatkan mantan Hakim MK, Patrialis Akbar.

Rekam jejak mengesankan juga terlihat pada Dewan Pengawas KPK.  Kita ambil beberapa nama yakni Artidjo Alkostar dan Albertina Ho. Keduanya adalah hakim yang sama-sama mengadili perkara. Mereka berada di barisan ribuan hakim yang setiap hari menjadi pengadil. Nama keduanya mencuat karena reputasi serta jejak yang mereka torehkan di dunia itu.

Artidjo Alkostar

Artidjo adalah mimpi buruk bagi para koruptor.  Selama menjabat sebagai hakim agung, ia menyelesaikan sebanyak 19.708 perkara. Jika dirata-rata selama masa pengabdian, Artidjo setiap tahunnya menangani 1.095 perkara. Dia pun selalu memvonis para koruptor dengan hukuman setinggi-tingginya.

Kisah hidupnya mengesankan. Dia tak pernah mengambil cuti dan selalu menolak ketika diajak ke luar negeri. Alasannya, hal tersebut bisa berimplikasi besar terhadap tugasnya. Pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur, yang kini berusia 70 tahun tersebut sempat ditanya ke mana dirinya setelah pensiun. Saat itu, ia menjawab akan kembali ke habitat untuk memelihara kambing dan mengurusi usaha rumah makan Madura di kampungnya.

Demikian pula Albetina Ho. Perempuan asal Maluku Tenggara ini dikenal sebagai hakim yang menangani beberapa kasus kontroversial. Masyarakat yang memberikan apresiasi ketika ia menangani perkara Gayus.

Bahkan, untuk kali pertama, jaksa Cirus Sinaga dan Fadel Regan diseret ke pengadilan untuk menjadi saksi tambahan dalam perkara mafia hukum oleh wanita kelahiran Maluku Tenggara pada 1 Januari 1960 itu. Hakim-hakim yang mengadili terdakwa-terdakwa lain yang terlibat perkara mafia hukum tidak pernah mau memanggil Cirus dan Fadel.

Hampir semua nama di petinggi KPK dan Dewan Pengawas KPK memiliki reputasi yang sama=sama baik di dunia pemberantasan korupsi. Yang terpenting, mereka adalah figur yang bisa meyakinkan para wakil rakyat untuk memegang amanah sebagai garda depan pemberantasan korupsi.

***

Saya teringat tulisan saya yang berjudul Buat Kamu yang Gagal Masuk PTN Favorit. Di situ, saya mengatakan, tak ada korelasi antara Anda lulus di kampus mana dan kesuksesan. Saya punya pengalaman bertemu banyak orang hebat yang lulus dari kampus yang namanya nyaris tak terdengar.

Banyak orang yang membantah argumentasi saya. Bagi saya, kampus besar hanya menawarkan mitos. Bukan segala-galanya. Semuanya akan berpulang pada sejauh mana kemampuanmu menghadapi tantangan-tantangan baru, sejauh mana kemampuan yang untuk bertahan di semua situasi.

Yang terpenting adalah temukan passion yang disukai, setelah itu bergeraklah pada rel kesukaan itu. Jadikan setiap pekerjaan sebagai arena untuk berbuat yang terbaik, membangun satu rekam jejak yang kuat. Seiring waktu, reputasi akan terbangun, orang mulai percaya, hingga amanah-amanah untuk berbuat hal besar terbentang di depan mata.

Pada para petinggi dan Dewan Pengawas KPK, kita melihat bahwa nama besar kampus hanya bagian kecil dari penentu kesuksesan seseorang. Yang terpenting adalah semangat kuat, serta persistensi untuk selalu mengejar apa yang diimpikan. Masa depan akan ditentukan oleh reputasi dan langkah-langkah kecil yang dibangun hari ini.

Perjalanan mereka memang masih jauh. Belum tentu mereka membuat sejarah baru dan membuat upaya pemberantasan korupsi semakin berkilau. Sebagai publik, kita punya banyak harapan terhadap mereka. Entah, apa mereka bisa memenuhi harapan kita ataukah tidak.

Kita menunggu.


Sepenggal Kisah Ayah NADIEM dalam Disertasi


Nadiem Makarim

Bukan hal yang mengejutkan jika Nadiem Makarim langsung menggebrak. Ayahnya pernah disebut-sebut sebagai “orang tercerdas di masa Orde Baru.” Ayahnya punya latar belakang aktivis dan pernah menumbangkan Sukarno, kemudian menjadi intelektual terpandang, lalu pengacara sukses.

Nadiem bisa saja berkomentar kalau sekolah bukan segala-galanya. Tapi kakek hingga ayahnya berpandangan berbeda. Nadiem tumbuh di tengah keluarga yang menempati kelas menengah mapan dan kritis di masa Orde Baru.

Saya menemukan kiprah ayah Nadiem yakni Nono Anwar Makarim dalam disertasi berjudul Indonesia's New Order, 1966-1998: Its Social and Intellectual Origins yang ditulis Sony Karsono di Ohio University tahun 2013. Disertasi ini membahas para intelektual di masa Orde Baru.

Dalam disertasi itu, Sony Karsono memetakan tiga poros penting intelektual di masa Orde Baru.

Pertama, kelompok intelektual yang membantu Presiden Soeharto untuk modernisasi. Mereka adalah pemikir Widjojo Nitisastro, Ali Murtopo, Daoed Joesoef, Harry Tjan Silalahi, dan Jusuf Wanandi.

Kedua, intelektual yang berdiri di luar kekuasaan dan membangun wacana tanding. Tiga tokoh penting di sini adalah Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, dan Dawam Rahardjo. Mereka mendorong tema-tema keadilan sosial agar pemerintah tidak melulu bicara pembangunan ekonomi. Mereka mendirikan LP3ES yang menjadi garda depan pemikiran kritis di masa itu.

Ketiga, kelompok sastrawan yang menggunakan sastra sebagai medium untuk menyampaikan kritik pada situasi negara. Tiga sosok yang dibahas adalah Motinggo Busye, Yudhistira Massardi dan Teguh Esha.

Baiklah kita fokus pada Nono Anwar Makarim. Nono berasal dari keluarga keturunan Arab. Ayahnya, Anwar Makarim, adalah seorang notaris yang selalu menekankan kerja keras pada anak-anaknya. Anwar sempat mencoba untuk bisnis, tetapi gagal. Dia tidak cocok berbisnis. Dia lebih cocok menjadi intelektual.

BACA: Erick Thohir dalam Catatan Profesor Amerika

Nono mengenang ayahnya adalah sosok yang kritis dan selalu menumbuhkan iklim dialog dengan anak-anaknya. Dia senang berdiskusi. Sedangkan ibu Nono adalah cucu dari Awab Soengkar Aloermei, pendiri perusahaan tekstil terbesar di Solo, serta kawan dekat Pakubuwana X, penguasa tradisional Surakarta. Ibunya sangat menekankan pentingnya kehidupan religius.

Nono dibesarkan dalam dua model pendidikan yakni Islam dan barat. Kakinya memijak dua sisi tersebut sehingga dirinya terbiasa dengan berbagai macam model pemikiran. Nono terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) tahun 1959, namun baru dinyatakan lulus tahun 1973.

Dia kuliah selama 12 tahun. Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, dia menyebut dirinya seorang bohemian yang hidupnya tidak teratur. Kedua, dia menempuh jalan sebagai aktivis dan bersahabat dengan sejumlah pemikir, di antaranya Arief Budiman, Fikri Jufri, Goenawan Mohamad, dan Salim Said.

“Pada masa itu kami lapar dengan ide-ide baru. Sementara dosen di kampus tidak bisa mengatasi rasa lapar itu. Kami lalu membentuk kelas-kelas kajian di Gang Ampiun, Cikini, dan kadang-kadang di rumah Wiratmo Sukito,” katanya.

Ketika aksi-aksi marak pada tahun 1960-an demi melawan penetrasi Partai Komunias Indonesia (PKI), Nono ikut bergabung dalam pergerakan. Dia pemimpin redaksi harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang saat itu sangat produktif melahirkan banyak wacana pergerakan.

Hingga akhirnya Orde Baru lahir, dan sejumlah aktivis bergabung ke parlemen.  Di tahun 1971, muncullah lembaga think tank yang menjadi partner pemerintahan Orde Baru untuk merumuskan pembangunan dan modernisasi. Intelektual keturunan Tionghoa yakni Harry Tjan Silalahi dan Jusuf Wanandi lalu menghimpun sejumlah intelektual lain demi mendirikan Center for Strategic of Indonesian Studies (CSIS).

Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, dan Dawam Rahardjo juga membentuk satu kelompok pemikir yang membangun wacana kritis atas kebijakan pembangunan Orde baru.

“Di tahun 1965, saya adalah pemimpin mahasiswa. Saya ikut berdemonstrasi dan menjatuhkan pemerintah karena retorika nation building dari pemerintah tidak bisa menghadirkan harga-harga murah. Rakyat kelaparan. Mereka butuh beras, pakaian, minyak tanah,” katanya dalam disertasi Sony Karsono.

Nono Anwar Makarim semasa muda

Saat Orde Baru tumbuh, datanglah mafia Berkley, sebutan bagi sejumlah ekonom alumnus Berkley yag mendesain kebijakan ekonomi pemerintah. Nono mulai mengalami kegelisahan. Dia senang karena PKI disingkirkan, tetapi dia juga tidak senang melihat bagaimana munculnya dominasi militer dalam percaturan politik Orde Baru.

Di tahun 1971, Nono menikah dengan Atika Algadrie. Atika adalah putri pemimpin PSI, Hamid Algadrie, yang merupakan salah satu tokoh perintis kemerdekaan.

Setelah itu, dia berangkat ke Negeri Paman Sam. Awalnya, ia menjadi fellow researcher di Centre for International Affairs Harvard University, AS. Pengalaman yang paling membekas dirinya ketika itu adalah Harvard begitu dipenuhi oleh orang pintar. Ia merasa kalau ada orang pintar dan arogan, sebaiknya sekolah di Harvard.

Ia yakin setelah bersekolah di sana akan berubah 180 derajat, dan bukan tidak mungkin menjadi rendah diri karena banyak yang jauh lebih pintar dan cemerlang di sana. Ia melihat seorang profesor justru bekerja lebih keras dari mahasiswanya.

Nono menuturkan, buku kuliahnya untuk materi Law International Trade di Harvard bahkan lebih tebal dibandingkan dengan diktat kuliah mulai dari program persiapan sampai sarjana di FHUI.

Suatu waktu ketika masih di Harvard karena merasa begitu banyaknya orang cerdas dan berbakat di sana, ia sampai menulis surat ke ayahnya: Semua hal yang cerdas untuk dikatakan, yang perlu dikatakan, dan yang kalau dikatakan akan merubah pikiran orang, itu sudah dikatakan oleh graduate student dan bukannya oleh profesor.

Tahun 1978 Nono menyelesaikan studinya di Harvard. Disertasinya bertajuk Companies and Business in Indonesia. Apa daya, meski mengantongi gelar master dan doktor juridical science dari Harvard Law School, dia tidak bisa langsung mengajar di FHUI.

Dia terhalang birokasi karena untuk menjadi dosen harus berstatus pegawai negeri. Nono langsung patah hati. Dia banting stir menjadi pengacara, profesi yang belakangan diakuinya bukan profesi dambaannya. Padahal, dia besar karena dunia aktivis, jurnalis, dan politik.

Bahkan banyak teman-temannya menuding Nono mencari uang, ketimbang melanjutkan kerja-kerja aktivismenya. Dia tetap menjadi advokat. Dia ingin mendedikasikan hidupnya untuk membela mereka yang terpinggirkan. Bersama rekannya Frank Taira, dia mendirikan Makarim-Taira Law Firm di tahun 1980 dan menjadi firma hukum yang dicari banyak klien.

Lingkaran keluarga Nono adalah para terpelajar yang sukses di bidang masing-masing. Istrinya Atika Algadri adalah lulusan magister dari Harvard. Atika adalah mantan reporter di harian KAMI, bersama Widarti (istri Goenawan Mohamad).

Atika juga co-founder atau pendiri Femina, majalah yang mengangkat isu-isu perempuan pada masa Orde Baru. Tahun 1987, Atika mendirikan Yayasan Lontar yang berkontribusi pada dunia sastra Indonesia.

Mayjen Zacky Anwar Makarim

Anak-anak Nono dan Atika semuanya menjadi tokoh di bidangnya masing-masing. Mereka sukses di bidang berbeda. Rayya Makarim menjadi salah seorang penulis skenario yang sering mendapat penghargaan. Dia lulus magister dari University of London. Selanjutnya Hana Makarim lulus magister dari Yale University tahun 1987, kini bekerja di BKPM. Terakhir, Nadiem Makarin yang lulus dari Harvard.

Bahkan paman dan bibi Nadiem juga sama hebatnya. Chaidir Anwar Makarim adalah profesor geologi di Univesitas Tarumanagara, Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim adalah perwira tinggi militer yang pernah menjabat Kepala Badan Intelijen ABRI, Dr Irma Anwar Makarim bekerja sebagai pengajar di UI.

*** 

Saya teringat pada buku Outliers yang ditulis Malcom Galdwell tahun 1980. Kata Galdwell, kesuksesan tidak berasal dari angka nol. Semua orang berutang pada orang tua dan dukungan orang lain.

Kesuksesan adalah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai “keuntungan yang terakumulasi”. Tempat dan kapan seseorang tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar.

Galdwell menolak anggapan tentang keberhasilan yang semata-mata dipicu oleh kecerdasan. Menurutnya, keberhasilan seseorang menggapai satu kesuksesan tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek saja, melainkan terdapat hal yang lebih rumit, kompleks, dan hanya bisa dipahami dengan menelusuri kehidupan orang tersebut.

Gambaran yang paling sederhana namun gamblang dipaparkan Galdwell dalam cerita singkat mengenai pohon. Pohon ek tertinggi di hutan bukan semata-mata karena dia paling gigih. Dia menjadi yang tertinggi karena “kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalangi sinar matahari kepadanya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit kayunya sewaktu masih kecil, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum dia tumbuh dewasa.

Dukungan lingkungan adalah hal yang sangat ditekankan oleh Galdwell. Secerdas apa pun seseorang, jika tidak tumbuh di lingkungan yang gembur, pasti akan tumbuh meranggas. Sebab dukungan orang tua, lingkungan, dan arena bermain adalah kunci yang menjelaskan kesuksesan seseorang.

Dalam hal Nadiem, kita melihat sesuatu yang tidak instan. Dia bisa besar karena dia tumbuh di rahim keluarga yang juga besar. Sejak belia, dia sudah mendengar kisah hebat ayahnya sebagai intelektual terkemuka di masa itu. Dia dibesarkan oleh ayah dan ibu yang keduanya alumni Harvard, universitas terbaik di dunia.

“Kita memasuki era ketika gelar bukan lagi jaminan kompetensi,” kata Nadiem. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan falsafah di keluarganya. Ayah, ibu, hingga kakaknya, lalu paman dan bibi adalah alumnus magister dari kampus-kampus besar. Mereka punya kompetensi di berbagai bidang masing-masing.



Mungkin yang dimaksudkan Nadiem adalah kompetensi sesuai gelar. Misalnya dirinya adalah alumnus Hubungan Internasional, tetapi bekerja di bidang teknologi. Dia hendak berkata bahwa pendidikan harusnya membebaskan. Seorang siswa bebas memilih hendak jadi apa.

Yang dilupakan Nadiem, pernyataan itu bisa membuat orang berpikir bahwa tak perlu kerja keras mengejar gelar. Orang bisa bermalas-malasan ketimbang menerima kewajiban baca dari lembaga pendidikan. Andaikan pernyataan itu dikemukakan Susi Pudjiastuti, publik akan mafhum. Sebab Susi adalah anomali dari manusia Indonesia yang mendamba gelar demi kesuksesan. Susi bisa sukses berkat kecerdasan yang ditempanya dari pengalaman berbisnis.

Pelajaran buat semua orang Indonesia adalah jika ingin punya anak hebat seperti Nadiem Makarim, tidak semudah itu. Anda mesti menjadikan diri Anda hebat, bangun kultur hebat sehingga potensi anak hebat bisa tumbuh subur. Limpahi dengan kasih sayang serta visi yang kuat agar seorang anak mengejar apa yang menjadi mimpinya.




Dokter Muda di Kampung ASMAT




Dokter muda itu bisa saja hanya duduk di klinik sambil memanen rupiah. Dia memilih hidup yang menantang. Dia mundur dari klinik, kemudian menekuni dunia literasi. Dia bergabung dengan Dompet Dhuafa demi menjalankan misi kemanusiaan. Dia, Drg Dhihram Tenrisau.

Lelaki yang dipanggil Tesa ini suka menerobos tantangan. Dia selalu menghindari acara-acara diskusi politik di ruangan ber-AC. Dia juga menjauh dari berbagai acara-acara milenial perkotaan yang sedikit menyerempet ke tema politik, juga popularitas.

Namun saat mendengar tragedi kemanusiaan, dia akan segera bergabung sebagai relawan. Ketika konflik Rohingya merebak, dia ke sana sebagai relawan di Posko Kesehatan. Dia tak sekadar bertugas sebagai staf medis. dia membuat reportase pandangan mata atas tragedi kemanusiaan yang diamatinya.

Di akhir 2017 hingga awal 2018, berita tentang gizi buruk di Asmat merebak. Alumnus Universitas Hasanuddin ini pun bergegas ke sana bersama beberapa dokter dan rombongan Dompet Dhuafa. Kembali, dia membuat catatan-catatan yang kemudian terbit menjadi buku berjudul Asmat: Mutiara Timur yang Tersisih.

Saya amat beruntung karena dikirimkan gratis buku ini. Dia menulis feature perjalanan yang menarik tentang gizi buruk di Asmat serta program intervensi yang mereka lakukan. Dia bertemu mereka yang mengalami gizi buruk, mencatat kisah-kisah, juga mendeskripsi lanskap Asmat yang eksotik.

Saya tercenung membaca bab mengenai sagu. Dia mencatat komentar beberapa warga Asmat yang mengatakan gizi buruk ini terjadi ketergantungan pada beras. Saat orang Asmat masih mengonsumsi sagu, gizi buruk tidak pernah terjadi.

Namun sejak pegawai negeri mendapat jatah beras, serta dana otsus turun ke desa-desa dalam bentuk beras, sagu seakan turun kelas. Orang Papua mulai tergantung pada beras yang diimpor dari Jawa. Saat pasokan terbatas, gizi buruk dan krisis pangan merebak.

“Gizi buruk tidak akan terjadi kalau warga Asmat masih menjadikan sagu sebagai makanan dan identitas,” kata seorang warga Papua, sebagaimana ditulis Tesa.

Membaca bagian ini, saya pikir Tesa adalah sosok yang sangat antropologis. Dia bisa melihat satu soal tidak hanya dari sisi medis, tapi mengurai sosial budaya, perubahan pola makan, hingga pengaruh kebijakan politik.

Saya merasa buku ini terlalu singkat. Saya ibarat menikmati sajian enak yang cepat habis, sementara rasa lapar masih melilit perut. Saya rasa banyak sisi menarik yang bisa diangkat mengenai Asmat dan seharusnya diulas.

Tapi saya pikir ini hanya pembuka jalan. Saya yakin di masa mendatang, Tesa akan lebih banyak lagi menulis berbagai hal mengenai Asmat serta tantangan yang dihadapi di sana.

Saya sangat salut melihat buku ini. Anak muda yang sering melihat saya sebagai mentor ini telah bergerak melampaui rekan sejawatnya. Dia sudah mengabadikan kenangan, membagikan kenangan itu agar menjadi perhatian semua orang, sehingga kelak akan menjadi gelombang empati dan keberpihakan pada orang Asmat.

Dia sudah meletakkan satu alarm di pikiran kita tentang betapa banyaknya pekerjaan rumah untuk kita sama-sama selesaikan di Asmat, negeri timur yang kaya raya dan penuh potensi hebat.

Selamat buat Tesa. Terima kasih atas buku yang keren ini.


Erick Thohir dalam Catatan Profesor Amerika


Erick Thohir dan Sri Mulyani saat jumpa pers mengenai pemberhentian Dirut Garuda

Di awal kabinet ini dilantik, kita punya ekspektasi pada beberapa nama. Mulai dari Bahlil Lahadalia, Nadiem Makarim, hingga Erick Thohir. Tapi di antara mereka, tampaknya hanya Erick Thohir yang terlihat menampilkan ketegasan serta gebrakan yang selalu menjadi sorotan publik.

Ketika dia meminta Ahok bergabung di Pertamina, dia terlihat santai dan mengabaikan suara-suara protes dari sejumlah orang yang mengatasnamakan agama. Dia melihat kinerja, bukan suara bising. Demikian pula saat memangkas pejabat eselon di kementeriannya.

Saat dia memberhentikan Dirut Garuda, dia melakukannya seperti gaya seorang sherif yang menembakkan pistol saat menerima laporan. Dia tampak dingin dan terlihat tidak ada beban. Kalau Anda salah, ya salah. Tak ada ampun untuk itu.

Sosok Erick Thohir membersitkan banyak harapan kepada anak muda Indonesia untuk tetap teguh dan konsisten, serta memberikan energi terbaik. Dia adalah sosok yang bekerja dan kian terpantau di radar publik. Dia pantas menjadi pemimpin bangsa ini.

Leadership-nya sudah terlihat sejak menjadi Ketua Panitia Asian Games 2019, serta Ketua Tim Jokowi-Ma’ruf.

Dia mewakili beberapa kriteria yang amat diidamkan orang-orang. Dia muda, kaya-raya, suka olahraga, juga pengusaha hebat.  Sebagai pengusaha media dan baliho, dia membawa gerbongnya merapat ke Jokowi. Sebagai pebisnis handal, dia bisa menggaet dan mengonsolidasi kalangan milenial dan pebisnis.

Orang lupa kalau dia seorang Muslim yang sangat taat. Seorang relawan berkisah ketika sedang salat di GBK, dia tidak menyangka kalau yang menjadi makmum adalah Erick Thohir. Catatannya viral.

Siapakah sosok Erick yang sebenarnya? Bagaimana pandangannya tentang Islam? Apakah dia akan menentukan kebijakan redaksi semua media yang dimilikinya?

Saya menemukan catatan tentang Erick Thohir yang ditulis Profesor Janet Steele, seorang pengajar jurnalistik di George Washington University. Janet bercerita tentang Erick yang belum saya temukan di liputan media-media.

Ternyata Erick memiliki ayah yang etniknya separuh Lampung dan separuh Bugis. Ibunya, setengah Tionghoa dan setengah Jawa Barat. Erick juga menikahi perempuan setengah Tionghoa, dan setengah Betawi. Selain latar belakang etnik, kisah Erick juga menarik untuk diulas.

Erick adalah pebisnis yang memulai kariernya dengan mengakuisisi Republika, media berbasis Muslim terbesar di Indonesia. Dia mengambil-alih media itu saat sedang krisis. Janet Steele menulis dan mewawancarai Erick Thohir saat melakukan riset mengenai Jurnalisme Kosmopolitan di Negara Muslim Asia Tenggara.

Dia melakukan riset pada empat media. Pertama, Sabili, yang disebutnya mewakili Islam skripturalis. Kedua, Republika yang menjadi representasi dari pandangan atas Islam sebagai pasar. Ketiga, Harakah, media Malaysia yang melihat Islam sebagai politik. Keempat, Malaysiakini yang melihat Islam secara sekuler. Kelima, Tempo, yang dianggapnya sebagai representasi Islam kosmopolitan.

Dalam catatan Janet, perjalanan Republika menempuh dua periode. Periode pertama adalah periode politik, ketika media itu di bawah ICMI yang menjadi lokomotif pemikiran di era Orde Baru. Periode kedua adalah periode bisnis ketika Mahaka Grup yang dipimpin Erick Thohir mengambil-alih media itu, kemudian mengubah haluan media itu menjadi lebih berorientasi pasar.

Di mata Janet, Republika di masa Erick Thohir mengalami pergeseran. Saat berkunjung ke media itu, tidak tampak banyak simbol-simbol keislaman. Padahal media ini bertujuan untuk melayani masyarakat Muslim.

Pihak Republika mengklaim apa yang mereka lakukan sesuai dengan garis keislaman. Dalam tulisan tentang sejarah Republika, yang beredar untuk kalangan internal, terdapat kutipan: “Dari halaman pertama hingga terakhir, tak ada yang menyimpang dari kerangka kerja “amar ma’ruf nahi mungkar.”

Syahrudin El Fikri, salah seorang redaktur senior yang ditemui Janet mengatakan bahwa inilah Islam substansial.

“Kami tidak bisa hanya berdiam diri melihat para tetangga miskin. Itu salah. Kami tidak bisa diam saja melihat gereja dibakar. Itu tidak boleh. Kami tidak bisa membiarkan kaum Ahmadiyah dibakar. Kami bekerja karena kami harus mengatakan sesuatu: toleransi. Inilah yang disebut Islam substantif.”

Janet pertama kali bertemu Erick pada bulan Februari 2013. Di sebuah restoran yang trendi, Erick mengajak Janet untuk makan malam. Pertama bertemu, Erick langsung bertanya, “Apakah Anda Muslim?” Janet menjawab bukan.

Erick bercerita, saat pertama masuk kantor Republika, dia memperlihatkan sebuah foto mengenai situasi di negara lain. Erick berkata:

“Kali pertama masuk Republika, saya tunjukkan foto. Inilah Islam. Orangnya memang Jerman, tetapi Muslim. Jangan mengira bahwa orang Tionghoa dan orang kulit putih, bukan Muslim. Belum tentu. Anda tak bisa berprasangka seperti itu."

Janet lalu bertanya tentang agama Erick Thohir, yang langsung dijawab lugas: “Saya seorang haji. Namun yang jelas, Islam bagi keluarga saya adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Itu identitas kami, tetapi juga sesuatu yang sangat personal,” kata Erick.

Erick mengakui bahwa dirinya membawa visi bisnis ke Republika, yang tadinya dikelola sangat idealis. Dahulu, Republika adalah tempat orang menuangkan gagasan-gagasan tentang bangsa. Ada banyak intelektual dan pemikir yang rutin mengisi kolom di media ini.

Di masa Erick, Republika makin berorientasi bisnis.

“Saya ingat empat pesan yang saya sampaikan ketika masuk Republika. Pertama, media ini seharusnya berada di tengah, moderat. Kedua, saya tidak ingin Islam dianggap bodoh, miskin, dan terbelakang. Ketiga, kita tak boleh berprasangka. Ketika melihat sesuatu, kita tidak bisa secara otomatis langsung berpikir negatif. Kita harus berpikiran terbuka. Terakhir, Anda harus memikirkan pembaca,” katanya.

Erick menginginkan media ini bisa berpikir positif. “Anti globalisasi? Itu belum terbukti buruk. Jangan mengira itu buruk. Orang asing juga membayar pajak. Oleh karena itu, saya bilang berpikir positiflah,” katanya.

Janet tak puas dengan pernyataan Erick. Dia lalu mewawancarai pihak redaksi. Semuanya berpandangan sama bahwa pebisnis tidak ikut mencampuri semua kebijakan redaksional. Saat ada hal-hal menyangkut politik, maka sikap pihak redaksi belum tentu sama dengan Erick Thohir.

Pada saat diwawancarai, Erick Thohir masih menjabat sebagai Presiden Direktur TvOne. Saat pemilihan presiden tahun 2014, TvOne mendukung Prabowo Subianto. Republika pun dianggap mendukung Prabowo.

buku yang ditulis Profesor Janet Steele

Pihak redaksi mengklaim kalau mereka netral. Sebagai media, mereka mendukung siapa pun. Tapi, Janet Steel mengamati tajuk harian ini dan juga Republika Online (ROL) kebanyakan dukungan kepada Prabowo.

Pihak redaksi Republika Online menyebut, kebanyakan pembaca media itu berasal dari Muhammadiyah yang menyukai tulisan-tulisan serangan pada Jokowi. Makanya, tulisan-tulisan mengenai serangan pada Jokowi selalu menjadi tulisan terpopuler yang tampil di halaman depan.

“Kami tidak bisa mengontrolnya Itu otomatis. Sebab cyber army Prabowo menyebarkan tulisan itu ke mana-mana. Makanya, Republika seakan-akan mendukung Prabowo,” kata Joko Sadewo, Pimred Republika Online.

Janet menganalisis hubungan antara web analytics atau proses mengukur dan menganalisis trafik situs web dan gatekeeping, proses menentukan berita yang tayang. Pembaca Republika memiliki kecenderungan untuk mendukung Prabowo dengan perbandingan 6 banding 1. Inilah para pembaca yang kemudian menyebarkan tulisan itu ke mana-mana sehingga menjadi hit.

Janet berkesimpulan bahwa segmen pasar menentukan arah pemberitaan media. Bahwa semua pilihan-pilihan berita, pada akhirnya akan diseleksi oleh segmen pembaca sehingga menentukan perwajahan dan isu yang ditampilkan.

Karena segmen pasarnya adalah komunitas Muslim, media ini lebih fokus pada isu-isu tentang Islam, mulai dari partai politik berbasis Islam, hingga tema-tema yang diperbincangkan komunitas Muslim.

Masuknya Erick Thohir mengubah wajah media ini ke arah komersial. Transisi itu menyebabkan adanya kompromi dengan idealisme dan ceruk pasar sebelumnya. Media ini akan tetap menyajikan jurnalisme yang profesional dan berbicara atas nama demokrasi, ekonomi, juga toleransi.

Dengan demikian, kita sudah bisa memprediksi bagaimana sikap media ini terkait pilpres tahun 2019. Belajar pada Janet, media ini akan berposisi di tengah, tapi pembaca dan cyber army yang akan menyebar berita itu ke mana-mana sehingga membentuk citra atau gambaran tentang media ini.

Gerak netizen ini adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dihambat oleh Erick Thohir. Dia pun tidak mungkin mengintervensi media sebab di era media sosial ini, netizen punya otoritas hendak membagikan berita yang mana, juga menentukan mana yang hits dan mana yang bukan.

Pertanyaan terakhir yang cukup menohok dari Janet adalah: apakah Republika melayani kepentingan pembaca Muslim ataukah menjadi pemuas keinginan mereka?

***

KINI, sosok Erick Thohir kembali berada dalam spotlight percakapan publik. Sejauh ini, dia bisa menampilkan sosok sebagai pekerja keras yang cepat dalam mengambil keputusan. Kalangan milenial mengidolakan sosok seperti ini sebagai figur pemimpin yang tak sekadar menata kata, tetapi bisa pula bekerja.

Jika dia berniat menjadi pemimpin bangsa ini, karpet merah sedang terbentang untuknya. Apalagi jika kinerjanya semakin moncer. Erick akan jadi kereta yang melaju kencang dan tak bisa dihentikan siapa pun. Bahkan oleh Prabowo maupun Sandiaga Uno.

Kita tunggu saja.



Laskar Digital untuk Menaklukkan BRIGITTA LASUT


Hillary Brigitta Lasut

Ketika Hillary Brigitta Lasut memimpin sidang MPR RI, terbersit banyak harapan kalau telah lahir generasi baru yang akan mengelola politik dengan cara-cara milenial, minimal dia akan menggunakan media sosial secara efektif untuk mengelola pesan dan aspirasi politik.

Tapi setelah beberapa bulan berlalu, dia tak selincah anak muda bernama William Aditya Sarana, kader PSI yang menggunakan medsos untuk membuka praktik anggaran di DKI Jakarta. Malah dia tak “bunyi” di media sosial. Suara dan pandangan politiknya seakan tenggelam di dasar laut Bunaken.

Marilah kita memetakan aset digital yang dia miliki. Pertama, dia punya Facebook Fanpage dengan jumlah follower hingga 10K. Bagi politisi yang lolos Senayan, jumlah ini terbilang kecil. Kedua, di Instagram, dia punya 57,3K follower. Ini jumlah yang cukup besar. Tampaknya dia lebih banyak aktif di Instagram. Ketiga, dia punya akun Youtube yang hanya diikuti 947 orang.

BACA: Senjata Digital untuk Aktivis Jaman Now

Kekuatan media sosial bukan dilihat dari jumlah follower, tapi seberapa produktif dia melahirkan konten berkualitas yang kemudian viral. Kekuatannya pada sejauh mana reproduksi gagasan yang kemudian heboh dan menyebar ke mana-mana, tidak hanya dapilnya, tetapi seluruh Indonesia.

Di sinilah letak kelemahan Brigitta Lasut. Dia bukan tipe orang yang rajin menginformasikan melalui media sosial. Di Fanpage Facebook, dia tidak banyak membagi postingan. Sepanjang November, dia tidak memosting apa pun. Dia hanya aktif di bulan Oktober yang tercatat ada 7 aktivitas.

Dia lebih banyak akif di Instagram. But, come on, postingannya kebanyakan selfie dengan sejumlah tokoh, dan selfie saat ada kegiatan. Dia belum bisa memaksimalkan Instagram sebagai kanal yang mengalirkan gagasan.

Bolehlah memajang foto selfie, tapi dia harus menyiapkan banyak ruang untuk mengalirkan gagasan-gagasan yang substansial, yang diolah kembali dengan sederhana, yang bisa dipahami generasinya. Harusnya dia perkuat pada substansi pesan yang berkaitan dengan publik sebab sebagai wakil rakyat dia adalah penyambung lidah dan penyampai pesan yang berkewajiban untuk kembali menyampaikan pesan pada publik.

Mungkin saja dia memang sibuk. Tapi dia bisa saja memercayakan urusan media sosial kepada sejumlah juru bicara (jubir) digital yang dia tunjuk untuk membagikan sejumlah hal bermanfaat yang dilakukannya.  Dia bisa memaksimalkan kerja staf yang bisa menjadi admin sekaligus mengelola sejumlah prajurit digital yang berfungsi untuk menyebarkan informasi tentang dirinya. Dia bisa menaklukkan orang lain melalui konten yang produktif dan bermanfaat.

BACA: Laskar Digital untuk Menangkan Pilkada

Belajar pada pilpres lalu, untuk menjadi politisi milenial yang kuat di dunia digital, dia harus membekali timnya dengan tiga hal. Pertama, digital listening tool, yang berisikan perangkat untuk memetakan semua percakapan di media sosial. Kedua, digital media platform, yang isinya berbagai platform media sosial, juga media mainstream. Ketiga, mobile apps, yang digunakan relawan secara mobile di berbagai lokasi.

Ketiga perangkat ini digunakan untuk mengontrol semua aliran informasi. Jantung dari aktivitas ini adalah perlunya kreator konten untuk memetakan semua percakapan netizen. Selanjutnya, tim kreator konten akan merancang konten yang bisa viral, meneruskannya kepada para influencer dan laskar media sosial yang akan meneruskannya di lapangan.

Harusnya, tim medsos Brigitta bisa mulai memetakan percakapan netizen dengan mengamati big data. Setelah itu, timnya membuat banyak konten yang kemudian dioptimasi sehingga menyebar ke mana-mana.

Timnya harus paham bagaimana merancang sesuatu yang bisa viral. Harus memahami social currency atau sesuatu yang berlaku universal bagi netizen. Harus menampilkan hal yang menginspirasi dan bermanfaat. Harus paham bagaimana mengelola semua emosi netizen.

BACA: Digital Storytelling untuk Menang Pemilu

Jika dia melakukan langkah-langkah itu, dia hanya butuh waktu singkat untuk meraih popularitas. Dia tinggal merawat popularitas dan branding yang dia miliki, dan kelak bisa terus subur sehingga menjadikannya sebagai politisi milenial yang berpengaruh di media sosial.

Tapi, lagi-lagi semuanya berpulang pada politisi itu. Tidak semua politisi paham dan siap mengeluarkan dana untuk menunjang penetrasinya di media sosial. Tidak semua paham karakter “jaman now”, apa yang diinginkan publik sekarang, dan bagaimana mencapainya.

***

Dalam buku The New Digital Age, mantan petinggi Google Eric Schmidt menyebut dunia kini terbagi dua yakni dunia nyata dan dunia maya. Manusia mencurahkan banyak perhatian ke dunia maya demi menjangkau informasi dan membangun koneksi.

Semua strategi bisnis dan strategi politik berusaha untuk menjangkau dua dunia itu. Dalam dunia pemasaran, orang mengenal kombinasi strategi online dan strategi offline. Dua strategi ini saling melengkapi dan memperkuat.

Dinamika di dunia offline (dunia nyata) akan terpantul gemanya di dunia online, demikian pula sebaliknya. Di dunia politik, semua orang sama sepakat bahwa untuk menjangkau jutaan warga, khususnya kalangan milenial, maka dunia online adalah tempat paling strategis.

Di tahun 2007, anak muda Chris Hughes melakukan revolusi di bidang pemasaran politik. Dia membangun platform di media sosial untuk membantu Obama memenangkan pemilihan Presiden Amerika Serikat. Dia berhasil menjangkau jutaan warga Amerika hanya dengan menggerakkan jemari di media sosial.



Di belahan bumi lain, anak muda Whael Ghonim menggunakan media sosial untuk menggerakkan revolusi di Tunisia. Dia membakar satu gelombang revolusi yang lalu menyebar ke Timur Tengah.

Di Hongkong, anak muda Joshua Wang juga menggunakan media sosial untuk menggerakkan Umbrella Revolution atau revolusi payung. Melalui Twitter, dia menggedor semangat orang-orang untuk bergerak dan memprotes kebijakan negara.

BACA: Perang Robot di Arena Pilpres

Abad 21 ditandai oleh perubahan yang digerakkan dengan cara-cara milenial, yang cirinya adalah tidak dipimpin oleh satu tokoh revolusi, menekankan partisipasi dan kolektivitas, cepat terorganisir sebab dihubungkan media sosial, serta punya isu-isu bersama yang viral.

Kalangan baby boomer agak susah memahami kecenderungan baru ini. Pengerahan massa, kampanye jalanan dengan ribuan kendaraan, aksi spanduk di semua sudut kota, temu kader hingga ribuan relawan, serta kampanye yang menghadirkan penyanyi dangdut adalah cara-cara lama yang sudah tidak efektif di zaman kekinian.

Kini, cara-cara lama itu akan segera diganti dengan penetrasi media sosial. Makanya, yang harus dibangun adalah infrastruktur media sosial yang kuat, di mana di dalamnya terdapat konten yang kuat, serta penetrasi digital yang juga bagus.

BACA: Kiat Membangun Laskar Media Sosial di Era 4.0

Kerja-kerja media sosial selalu terkait dua hal: produksi konten berkualitas dan viral, dan diseminasi konten itu ke mana-mana. Jika dua aspek ini bisa ditangani dengan baik, maka seorang politisi bisa memaksimalkan kanal media sosialnya untuk berbagi dan menjangkau konstituen.

Contoh paling bagus tentang manajemen pengelolaan media sosial yang efektif adalah Fanpage pribadi Presiden Joko Widodo, Ridwan Kamil, dan Anies Baswedan. Mereka bisa mengelola konten dengan baik, tahu apa yang ingin diketahui publik, serta membangun komunikasi.

Yang kurang dari konten politisi di atas adalah mereka belum bisa menjadikan media sosial sebagai platform untuk berdialog dan merekam aspirasi publik untuk menjadi rekomendasi dalam penyusunan kebijakan publik.

Namun, melalui media sosial, mereka membangun kedekatan dengan publik, menghilangkan tembok pemisah, serta memperkuat silaturahmi digital untuk menunjang kerja-kerja politik mereka sebagai kerja untuk publik.

Dalam dunia politik, menaklukkan dunia offline atau dunia digital menjadi sangat penting, Jika tidak, Anda yang akan ditaklukkan oleh beragam wacana yang menerpa bagai hujan. Anda hanya jadi penonton.

Di era politik 4.0, pengelolaan digital adalah koentji!


Cerita tentang Juara Kelas




Di satu kafe di Jakarta Timur, saya bertemu dengannya. Dia sahabat semasa SD hingga SMA di Pulau Buton. Dia masih ceria seperti dulu. Dalam satu perbincangan, dia cerita kalau dirinya sedang membangun rumah senilai miliaran rupiah di kampung kami.

Saya tahu dia tidak niat pamer. Saya pandangi kawan ini dari ujung kepala sampai ujung kaki. Saya tidak sedang berhadapan dengan kawan saya yang dulu. Dia sudah berubah. Dia mengelola banyak usaha. Dia kini sukses, bahkan lebih dari semua teman-teman sekolahnya.

Saya membayangkan dirinya dahulu. Dia seorang siswa paling malas. Kadang sekolah dan kadang tidak. Dia bukan siswa yang masuk radar guru-guru. Bahkan dia nyaris tinggal kelas. Saya masih ingat ada guru yang menyuruhnya berhenti sekolah. Dia sudah dianggap gagal. Mungkin, alasan itu membuatnya tidak kuliah.

Seusai bertemu dengannya, saya ceritakan pada ibu di kampung melalui telepon. Ibu saya adalah guru SD yang cukup mengenal semua kawan saya. Dia nyaris tak percaya pada apa yang saya katakan. Seorang anak yang dahulu divonis gagal total di sekolah, ternyata bisa melejit dan melampaui semua teman-temannya.

Saya teringat buku Barking up the Wrong Tree yang ditulis Eric Barker. Ada uraian tentang riset yang dilakukan oleh Karen Arnold, periset di Boston College. Karen mengikuti 81 orang lulusan terbaik SMA untuk melihat seperti apa karier mereka.

Sebanyak 95 persen yang lanjut kuliah, rata-rata IPK mereka adalah 3.6. Keberhasilan di SMA menentukan keberhasilan di perguruan tinggi. Mereka bisa diandalkan, konsisten, dan punya kehidupan yang baik.

Tetapi adakah di antara mereka yang jadi pemimpin besar? Atau sosok inspiratif yang mengubah dunia? Atau minimal jadi sosok yang melampaui kebanyakan warga di kampung halamannya? Jawabannya nol.

Karen berkesimpulan: “Mereka adalah orang hebat di dunia kerja. Mereka jadi karyawan yang baik. Tapi mereka bukan orang visioner. Mereka tinggal dalam sistem, bukan mengubah sistem.”

Mengapa orang nomor satu di sekolah jarang menjadi orang nomor satu di kehidupan nyata? Dia punya dua jawaban.

Pertama, sekolah menghadiahi siswa yang secara konsisten melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Nilai akademis selalu berbanding lurus dengan nilai kedisiplinan. Nilai akademis adalah peramal yang bagus untuk kedisiplinan, kesungguhan, dan kemampuan mematuhi aturan.

“Pada dasarnya kita menghadiahi kepatuhan dan kemauan mengikuti sistem,” katanya. Banyak lulusan terbaik mengakui kalau mereka bukanlah yang tercerdas, tetapi mereka adalah pekerja keras. Ada yang bilang, ini hanya soal memberi apa yang diinginkan guru dan bukan benar-benar memahami pelajaran dengan lebih baik.

Kedua, sekolah hanya menghadiahi nilai tinggi pada kaum generalis. Tidak banyak pengakuan diberikan pada passion atau kemahiran siswa. “Para lulusan terbaik selalu sukses, secara pribadi dan profesional. Tapi mereka tidak pernah mengabdi total di satu arena di mana mereka menuangkan seluruh gairahnya. Biasanya itu bukan resep meraih kehebatan dan keunggulan” katanya.

Saya ingat anak saya Ara. Dia sangat bagus untuk pelajaran matematika, tapi dia sangat lemah untuk pelajaran bahasa Sunda. Hanya gara-gara itu dia tidak menjadi yang terbaik di kelasnya. Pendekatan generalis tidak membawa pada kemahiran.

Karen melihat semua lulusan terbaik selalu pragmatis. Mereka mengikuti aturan dan lebih menghargai nilai A ketimbang keterampilan serta pemahaman mendalam atas satu topik.

Sekolah memang punya aturan, tapi kehidupan tidak bekerja sebagaimana aturan di sekolah. Kehidupan punya struktur yang lebih rumit, sehingga pemenangnya adalah mereka yang kreatif dan jeli melihat di mana dirinya bisa mengembangkan potensi seluas-luasnya.

Karen menyebut beberapa nama yang gagal di sekolah kemudian jadi pemimpin dunia. Di antaranya adalah Winston Churcill, perdana menteri Inggris terhebat. Dia orang yang terbilang biasa-biasa saja di sekolah. Ketika jadi politisi pun, dia masih menjadi sosok yang biasa-biasa dan malah penakut. Dia sering dikontraskan dengan Neville Chamberlain, sosok jenius dan cemerlang yang diprediksi jadi pemimpin besar Inggris.

Tapi, justru ketakutan Churcill adalah sisi yang sangat dibutuhkan Inggris saat itu. Churcill adalah orang pertama yang memandang Hitler sebagai ancaman. Sementara saat itu banyak yang melihat Hitler sebagai kawan. Ketakutan Churcill ternyata menjadi penyelamat bagi Inggris sebelum Perang Dunia II. Dia pun dicatat sejarah.

Hari ini saya kembali bertemu kawan itu. Dia bercerita banyak mimpinya yang ingin digapai. Saya ingat dirinya yang dulu. Saya yakin, sejak dulu dia adalah orang hebat. Dia malas karena sekolah gagal menemukan potensi terbaiknya. Saat keluar sekolah, dia justru bisa melejit laksana roket.

Dia masih bercerita banyak hal. Saya pilih mendengarkan, sembari mencatat dalam hati. Dia keren.



Membaca Storynomics




Mulanya saya penasaran ketika Luhut Binsar Panjaitan menyebut konsep Storynomic untuk pengembangan pariwisata. Saya googling, kata ini dikutip banyak pelaku pariwisata. Maksudnya, Anda tak mungkin bicara wisata kalau tak punya cerita yang hendak dibagikan.

Makin penasaran dengan kata ini saat membaca artikel di National Geographic kalau UGM kembangkan Borobudur dengan basis storytelling sebagai elemen penting dari storynomic.

Saya telusuri lagi ternyata kata ini diambil dari salah satu buku yang direkomendasikan para pelaku ekonomi digital. Buku itu berjudul Storynomics: Story Driven Marketing in the Post Advertising World yang ditulis Robert McKee, terbit tahun 2018.

Buku ini membahas bagaimana promosi atau iklan gaya lama yang kini digusur oleh storytelling atau pendekatan bercerita. Hollywood telah lama memakai teknik bercerita ini untuk periklanan dan film. Dalam konteks ekonomi, satu cerita bisa menjadi jantung dari tubuh bisnis, pemasaran, branding iklan, dan kegiatan ekonomi.

Storytelling adalah fundasi utama dari pemasaran konten. Anda tak mungkin memasarkan sesuatu jika tak punya kisah menarik. Kita sama tahu, sekarang ini banyak orang yang terlalu mendewakan big data untuk memahami manusia.

Tapi penulis buku ini membantahnya. Menurutnya, kekuatan perubahan bukanlah data. Manusia punya banyak aspek sosial, budaya dan ekonomi yang tak bisa dikuantifikasi. Kita perlu memahami aspek psikologis, sosiologis, dan antropologis di mana manusia hidup. “Taruh data dalam cerita, maka pengalaman hidup akan terasa masuk akal,” katanya.

Sebagai seorang pembual yang tak pernah kehabisan bahan cerita, buku ini ibarat peta yang menuntun ke mana hendak bergerak. Saya melihat ada trend semua lembaga, perusahaan, perguruan tinggi, politisi, kantor2, bahkan warung untuk lebih membuka diri di era 4.0. Tapi tidak semua paham apa yang cerita yang harus dibagikan untuk mengikat audiens.

Saya melihat beberapa hal yang dibahas di sini sudah saya lakukan, meskipun dengan bahasa berbeda. Saya baru tahu kalau konsepnya sudah semakin berkembang hingga jadi storynomics.

Sayang, saya belum baca tuntas buku yang terbit tahun 2018 ini. Saya membelinya seharga 10 ribu rupiah melalui online. Lumayan, saya tak perlu memesan melalui Amazon atau mendatangi Periplus.

Baru membaca bagian awal, saya sudah tahu kalau buku ini punya kemampuan untuk menyedot pembacanya hingga lembar terakhir.



Kompasiana yang Mengubah Hidup




Kemarin, sahabat Agung Han terpilih sebagai Kompasianer of the Year 2019. Dia menyisihkan ratusan bahkan ribuan blogger lain yang bergabung dalam Kompasiana sebagai platform bagi komunitas blogger terbesar dan tetap eksis di Indonesia.

Di tahun 2013, saya pernah mendapatkan penghargaan yang sama. Malah, saya dapat dua penghargaan yakni sebagai Kompasianer of the Year, dan juga sebagai Reporter Warga Terbaik.

Saya mengenang masa-masa berkompasiana. Saat itu, orang-orang baru mulai mengenal dunia blog. Tadinya, Kompasiana hanya diperuntukkan bagi para jurnalis Kompas, kemudian dibuka untuk publik. Saya pun ikut meramaikan dengan berbagai jenis artikel.

Saya teringat masa itu saya begitu tertantang untuk membuat artikel terpopuler setiap hari. Makanya, saya bereksperimen dengan berbagai gaya menulis renyah dan populer, serta judul-judul yang agak genit.

Belakangan saya sadari bahwa eksperimen itu perlahan mengubah gaya menulis saya, yang tadinya serius dan filosofis menjadi lebih populer. Kompasiana mengubah saya dari seseorang yang menulis jelimet dan penuh istilah2 akademis, menjadi lebih populer dan mudah dipahami siapa pun.

Di masa itu, Kompasiana selalu menghargai reportase dan pengamatan lapangan. Saya pun sering menulis reportase, ketimbang menulis opini. Bagi saya, tulisan opini sifatnya hanya temporer. Hanya aktual pada momen tertentu. Sementara tulisan reportase akan selalu abadi. Dia tidak akan basi dibaca kapan pun.

Tapi, kelebihan tulisan opini, khususnya politik, adalah selalu menjaring banyak pembaca. Saya berusaha menyeimbangkan. Sesekali tulis opini, tapi lebih banyak tulis reportase. Dengan cara demikian, saya cukup produktif menulis buku, juga selalu punya pembaca di mana-mana.

Nikmat berkompasiana adalah bisa terhubung dengan jejaring blogger di seluruh Indonesia. Mayoritas blogger malah pernah singgah di Kompasiana. Interaksi dengan banyak influencer juga dimulai di sini. Bahkan Kompasiana menjadi barometer dari suara dan opini publik atas situasi politik tanah air. Saya pun senang karena tetap berjejaring dengan mereka hingga kini.

Sekian tahun di Kompasiana, muncul keinginan untuk berumah di blog pribadi. Ada masa di mana saya ingin menjadi diri saya, tanpa harus ikut dalam arus besar. Biarpun menulis di blog sendiri ibarat menempuh jalan sunyi, namun saya justru menemukan kedamaian di situ, Saya lebih bebas menulis hal-hal yang tidak populer.

Ternyata saya tidak bisa lepas dari gaya menulis yang diterapkan di Kompasiana. Ditambah lagi setelah membaca beberapa literatur, saya makin bersemangat menulis populer. Apalagi saya membaca banyak jurnal berbahasa Inggris yang ditulis dengan gaya santai.

Saya mengamini kata-kata Kang Jalal yang pernah dikutip Yudi Latif: “Ketika saya menulis dengan sederhana dan mengalir berarti saya sangat memahami topik itu. Tapi ketika saya menulis dengan gaya yang sulit dipahami, itu berarti saya pun tak paham apa yang dibahas. Saya berlindung di balik istilah akademis untuk menutupi ketidakmampuan saya memahami satu topik.”

Beberapa tahun setelah menjadi Kompasianer of the Year, saya masih tetap menekuni dunia blog. Ketika perlahan literasi bergeser dari cetak ke digital, saya ikut mendapat berkah. Catatan2 di medium digital itu menyebar ke mana2.

Saya punya banyak sahabat di mana-mana. Ketika berkunjung ke tempat terjauh, saya sering kaget bertemu orang yang tiba-tiba menyapa dan bercerita kalau pernah berinteraksi di dunia maya.

Saya memang tidak berkompasiana lagi. Tapi semangatnya tetap tersisa yakni sharing dan connecting. Saya tetap berbagi dan terhubung dengan banyak orang. Saya punya banyak sahabat penulis dunia maya yang saling memancarkan aura dan gelombang positif. Semangat berbagi itu selalu terbawa hingga kini.

Di banyak tempat yang saya singgahi, saya bertemu banyak sahabat. Lebih bahagia lagi karena sahabat itu tak sekadar menyapa, tapi ada seulas senyum gembira, jabat tangan yang hangat, serta kalimat pendek “Hai, saya pernah baca tulisanmu. Saya suka”

Bahagianya tak terkira.

Jangan Hukum AGNEZ MO




Bukan hal luar biasa jika Agnez Mo menjadi trending topic. Di media sosial, sejak lama terbentuk kelompok Agnez Haters yang selalu siap melontarkan segala caci pada apa yang dilakukannya. 

Kalimatnya memang menunjukkan satu gejala inferior sebagai bangsa. Dia sesungguhnya menyampaikan bahwa dia minder saat nama Indonesia disebut. Dia berlindung dengan menyebut nama-nama bangsa lain. 

Dengan cara itu, dia berharap si pewawancara akan memahami kalau dia memang berbeda dengan kebanyakan Indonesia yang tidak punya prestasi dan jejak di panggung dunia. Dia bisa bangun diferensiasi dan seakan berkata “saya dari ras bangsa unggul.”

Agnez Mo bukanlah Susi Susanti yang dalam film Susi: Love for All selalu bangga menyebut nama Indonesia, bahkan di saat bangsanya tengah diamuk konflik rasial. Saat kewarganegaraan Susi dipertanyakan, saat keluarganya dalam keadaan takut karena konflik etnik, dia tetap menyebut dirinya Indonesia.

Tapi marilah kita lihat kasus ini dari sudut pandang lain. Agnez berada dalam situasi sebagai pihak yang diwawancarai. Sejak awal, dia bercerita tentang Indonesia yang begitu beragam, serta dirinya yang minoritas. Topiknya adalah bagaimana menjadi minoritas dan bisa keluar dari kerumunan.

Anggaplah, Agnez “salah ngomong”, maka itu tidak ada artinya dengan begitu banyak publikasi nama Indonesia seiring dengan popularitasnya di panggung internasional. Saya rasa dia tidak mungkin mengabaikan identitas keindonesiaan yang disandangnya sejak kecil hingga berkarier sebagai penyanyi. Rasanya tidak adil jika dia dihukumi hanya karena satu atau dua pernyataan.

Marilah kita melihat Agnez sebagai perjalanan panjang. Apa pun yang dilakukannya akan selalu dianggap salah. Dulu, dia dicaci tidak pantas berada di panggung internasional sebab dirinya terlalu Indonesia. 

Saya masih ingat persis. Di tahun 2010, dia mendapat kehormatan sebagai presenter di ajang American Music Awards (AMA). Perempuan yang berprofesi sebagai penyanyi itu tampak kikuk dan hanya bisa cengengesan. 

Banyak orang yang mengatakan bahwa bahasa Inggrisnya masih belum memadai untuk tampil di acara sekelas itu. Dia grogi, demam panggung, dan lebih banyak diam serta tersenyum. Di media sosial, dia menjadi bulan-bulanan sebab bahasa Inggrisnya payah. Dia dianggap terlalu Indonesia, kurang menginternasional.

Namun pada situs-situs berbahasa asing, komentar tentang dirinya selalu positif. Agnez disebut sebagai fenomena baru. Situs globalgrind.com menyebut, bahwa meskipun Indonesia adalah negeri dengan kepadatan penduduk keempat dunia dan minim penyanyi di panggung dunia, Agnez bisa tampil di Amerika Serikat (AS) dan bekerja sama dengan produser hebat Timbaland. Kolaborasi mereka telah menelurkan album “Coke Bottle.”

Ibarat sebuah perjalanan, Agnez masih berada di tepi kancah musik dunia, di mana kompetisi dan artis baru selalu bertumbuhan. Ia memang masih jauh dari pencapaian seniornya Anggun C Sasmi. Beredar isu kalau album Agnez sempat dijual secara bajakan, sehingga ditarik oleh pihak i-Tune. Gosip juga beredar tentang cover albumnya yang meniru simbol Illuminati, semacam sekte tertentu yang dikabarkan anti-agama.

Ketika Agnez menyebut ambisinya untuk go international, ia langsung dianggap arogan. Demikian pula ketika Agnez memajang fotonya yang sedang bersama seorang penyanyi Amerika di Instagram. Orang-orang langsung menganggapnya pamer. 

Padahal, apa yang dilakukan Agnez dilakukan pula oleh banyak orang di media sosial. Dan jika ditelaah, semua kritikan itu selalu menyangkut hal remeh-temeh atau tidak substansial. Semua pengkritik hanya menyoroti soal yang tidak penting, seperti style ketika berbicara, gaya ngomong, postingan di media sosial, atau soal klaim-klaim.

Hebatnya, Agnez tak pernah menanggapi kritikan itu. Ia terus berbenah dan mengasah diri. Di ranah musik, barangkali Agnez adalah penyanyi dengan jumlah penghargaan paling banyak di Indonesia. Ia memenangkan puluhan trofi, termasuk 10 Anugerah Musik Indonesia (AMI), tujuh Panasonic Awards, dan empat MTV Indonesia Awards. Ia juga telah dipercaya menjadi duta anti narkoba se-Asia serta duta MTV EXIT dalam memberantas perdagangan manusia.

Pengamat musik Bens Leo menyebut bahwa Agnez adalah satu-satunya penyanyi wanita yang sudah pantas menjadi seorang diva dan penerus Anggun C Sasmi. Ia dianggap mampu menjual CD-nya sebanyak 1 juta kopi dalam waktu singkat, berkolaborasi dengan musisi dunia, sampai mengonsep video klipnya sendiri.

Di level internasional, ia berhasil meraih penghargaan dua tahun berturut-turut atas penampilannya di ajang Asia Song Festival di Seoul, Korea Selatan, pada tahun 2008 dan 2009. Hingga akhirnya, ia menjadi satu-satunya artis Indonesia yang pernah menjadi presenter dan berkesempatan menyanyi di Red Carpet American Music Awards di Los Angeles, AS, pada 2010 lalu. 

Barangkali, ia pula satu-satunya artis Indonesia yang menjadi aktris utama pada dua drama Asia yakni The Hospital dan Romance In the White House yang dibuat oleh sebuah rumah produksi di Taiwan.

Dengan prestasi yang segudang, mengapa Agnez banyak dikritik di media sosial? Bukankah kiprahnya adalah representasi dari semangat kerja keras dan hasrat untuk berprestasi serta ikhtiar untuk menggapai impian?

Semua kritikan itu semakin menunjukkan pijakan kakinya yang sudah kian jauh di dunia entertain. Makian itu semakin menunjukkan bahwa Agnez adalah sosok penting yang namanya semakin berkibar. Harus dicatat, di usianya yang terbilang muda, ia telah mencapai semua hal yang kian menempatkannya sebagai diva musik tanah air. Ia telah ‘melambung jauh’ dengan segala prestasi yang untuk menandinginya mesti menggapai jalan terjal.

Inspirasi Agnez

Daripada sibuk mencaci Agnez, marilah kita belajar banyak hal darinya. Kita bisa memetik hikmah demi menyuburkan benih-benih kerja keras dan semangat dalam diri kita. Dia bisa menjadi inspirasi buat kita semua bahwa kesuksesan bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. 

Kesuksesan hanya dari kerja keras serta proses menyempurnakan diri untuk terus belajar. Ia membuka mata kita semua bahwa usia muda tak selalu bermakna hijau alias tak matang. Pada Agnez, kita bisa belajar beberapa hal:

Pertama, kita belajar tentang bagaimana menanam mimpi dan menyuburkannya secara terus-menerus. Beberapa tahun silam, Agnez selalu menyebut ambisinya tentang go international. Demi mimpi itu ia tak pernah surut. 

Ia memiliki langkah-langkah kecil untuk menggapai mimpinya. Ia tak mau sekedar diam dan menunggu. Ia berbuat dan melakukan beragam daya dan upaya untuk menggapai mimpinya itu. Penulis Paolo Coelho mengatakan, tak masalah sebesar apa pun mimpimu, namun semuanya tergantung pada seberapa kuat usaha untuk menggapai mimpi itu.

Kedua, Agnez mengajarkan kita tentang pentingnya kerja keras dan perubahan. Saya tak pernah lupa tayangan ketika dirinya menjadi presenter di acara American Music Awards. Ia dikritik karena kemampuan bahasanya yang rendah. 

Media mencatat, bahwa setahun setelah acara itu, ia tampil membawakan presentasi dalam bahasa Inggris di hadapan ratusan orang di Pacific Place Mall, Jakarta. Ia berbicara tentang “Dream, Believe, and Make It Happen” dalam bahasa Inggris yang fasih dan mengundang decak kagum. Bahkan, seorang moderator berkebangsaan AS sempat memberikan pujiannya terhadap Agnez, “Penggunaan bahasa Inggris-nya lebih baik ketimbang saya berbicara bahasa Indonesia.”



Ketiga, Agnez mengajarkan kita tentang dedikasi pada profesi. Sejak masih kecil, ia tahu bahwa jalan hidupnya adalah menjadi seorang penyanyi. Demi pilihan itu, ia mengasah diri. Di tanah air, tak banyak penyanyi cilik yang sukses bertransformasi menjadi penyanyi dewasa yang penuh prestasi. Ia sukses melakukannya sekaligus sukses menuai prestasi.

Keempat, Agnez mengajarkan kita untuk berani menghadapi tantangan-tantangan baru. Ia tak hendak berpikir nyaman dengan menikmati ketenaran sebagai diva musik tanah air. Ia menjemput tantangan baru dengan memasuki jantung musik dunia. Kalaupun ia belum sesukses Anggun, ia telah meniti di atas jalan yang sama, dan kelak akan menempatkannya pada posisi yang sukar digapai penyanyi tanah air lainnya.

Di tanah air, kita terbiasa dengan hidup yang datar-datar saja. Sering kali, kita tak siap dengan hidup ala roller coaster. Ketika melihat seseorang hendak keluar dari zona datar, kita sering tak nyaman dan merasa terganggu. Kita lalu melekatkan berbagai label seperti ambisius, gila, cari popularitas, dan banyak sebutan lainnya. Kita memelihara energi negatif, yang semakin membuat kita semakin tidak produktif dan sibuk memperhatikan orang lain.

Sebagaimana halnya Agnez, jauh lebih jika kita mengasah diri, dan menyalakan motivasi dalam hati kita, yang kemudian menjadi cahaya terang untuk menemani batin kita di belantara kehidupan.

Jauh lebih baik jika kita menyerap energi positif dari semua orang, kemudian mentransformasikannya menjadi kerja keras yang menghiasi setiap langkah kita sehingga ladang kehidupan kita akan semerbak dengan bunga-bunga prestasi serta jejak-jejak indah dalam sejarah kehidupan kita.

Dia jangan dihukum. Lebih baik kuatkan dirinya agar selalu melihat Indonesia sebagai tanah air yang diperjuangkan dan dicintai dengan sepenuh jiwa.