Pantai Merah di Banyuwangi, yang mengingatkanku pada Phi Phi Island di Thailand. But, kayaknya pantai ini jauh lebih indah. Lihat saja pulau di hadapannya. |
SELALU saja ada
kebahagiaan tersendiri kala bertemu sosok-sosok yang menginspirasi. Selalu saja
ada harapan serta tunas-tunas keyakinan yang tumbuh bahwa melalui sosok itu,
kita bisa menemukan oase bagi negeri yang tengah krisis dengan sosok hebat.
Setidaknya, itulah penilaianku usai menghadiri presentasi yang dibawakan oleh
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di Jakarta.
Tadinya kupikir
ia akan berbicara sebagai birokrat lainnya. Salah satu gaya presentasi para
bupati yang bagiku menjemukan adalah ketika mereka hanya membaca naskah yang
diketik oleh para asisten atau staf ahli. Makin menjemukan ketika sang pejabat
itu membaca naskah dengan retorika yang datar. Dalam situasi demikian, aku
memilih tidur.
Tapi bupati ini beda dengan yang lain.
Ia tak membaca
naskah apapun. Seorang stafnya menayangkan presentasi. Ia menjelaskan apa yang
tampil dengan retorika yang mengagumkan. Tadinya aku hanya pernah mendengar
kata Banyuwangi. Pernah, aku melalui kota itu saat transit dari Surabaya menuju
Bali dengan bus antar provinsi. Tapi presentasi bupati ini sukses membuatku
penasaran seperti apakah gerangan wajah Banyuwangi.
Tiba-tiba saja
aku ingin melangkahkan kaki untuk merasakan langsung bagaimana homestay di rumah warga desa sekitar
Pantai Merah, atau menuruni bukit menuju Kawah Ijen yang terkenal itu. Aku
langsung penasaran untuk menyusuri sisi timur Jawa, lalu menyusuri masyarakat
Using, yang pernah kubaca dalam satu etnografi tentang agama Jawa karya Andrew
Betty.
Dalam acara yang
diadakan Kemendagri, sang bupati mengejutkan semua audiences dengan pertanyaan
singkat, bisakah target pembangunan tercapai sembari melibatkan seluruh
masyarakat? Bisakah kita mencapai target pembangunan dengan anggaran daerah
yang sangat terbatas?
festival tari di Banyuwangi |
Kalau pertanyaan
ini diberikan pada para bupati atau walikota di kampung halamanku, jawabannya
bisa kutebak. Mereka hanya menunggu kucuran dan kemurahan hati pemerintah
pusat. Di satu daerah di Sulawesi Tenggara pernah digelar acara tari kolosal
yang diikuti ribuan orang. Tujuannya? Bukan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi
untuk ‘menggoda’ pemerintah pusat agar mengucurkan anggaran. Ini khas logika
para pemimpin daerah. Mereka hanya bisa membujuk pusat lalu menanti-nanti dana. Lain lagi dengan daerah lain di Sulawesi Tenggara. Demi hadinya mal, pemerintahnya siap melakukan apapun. Dipikirnya, investasi itu akan membawa manfaat bagi daerah. Padahal, pihak pemda tak mengkajinya secara serius. Benarkah?
Nah, Bupati
Banyuwangi ini berbeda. Ia menunjukkan berbagai strategi, kiat, dan inovasi. Menurutnya,
pembangunan digerakkan oleh beberapa hal penting, yakni nilai kemanfaatan bagi
publik (public value), partisipasi seluruh masyarakat, serta kepemimpinan
(leadership) yang kuat. Tanpa ketiganya, target pembangunan tak akan bisa
tercapai. Ia juga menekankan pentingnya kreativitas serta inovasi dalam
menjawab persoalan, yang disebutnya sebagai faktor penting bagi upaya
pencapaian target pembangunan. Tak perlu menunggu ‘pihak atas’, tapi gerakkan
roda ekonomi dengan inovasi, yang anntinya akan membawa kebaikan bagi
masyarakat sekitar.
“Kalau cuma
andalkan APBD, maka kami tak bisa berbuat banyak di Banyuwangi. Kami
mengembangkan beberapa terobosan yang bisa menggerakkan ekonomi, tanpa harus
mengandalkan APBD,” katanya. Ia mengakui bahwa setiap daerah memiliki konteks
yang berbeda.
Di Banyuwangi,
ia memulai pembangunan dengan memetakan persoalan. “Selama ini orang menganggap
bahwa indikator keberhasilan pembangunan adalah ketika banyak mal dan pusat
perbelanjaan. Padahal, kontribusinya pada peningkatan ekonomi sangat sedikit.
Makanya, kami menolak mal,” katanya.
Hasil kajian dan pemetaan masalah yang dilakukannya berujung pada
didorongnya sektor pariwisata untuk menggenjot ekonomi daerah.
Ia menekankan
pentingnya wisata berbasis budaya dan masyarakat lokal. Ia menolak dibangunnya
hotel kelas melati sebab berdasar kajian yang dilakukannya, hotel itu justru
menyuburkan praktik prostitusi. Ia hanya mengijinkan pembangunan hotel
berbintang di kawasan tertentu.
Menurutnya, sektor
pariwisata di tanah air tidak digarap dengan serius. Ia juga memaparkan
beberapa gagasan menarik tentang wisata. Pertama, ada anggapan bahwa wisata
identik dengan minuman keras dan hiburan malam. Padahal, pengalaman di
Langkawi, Malaysia, menunjukkan bahwa wisata justru tidak identik dengan
hiburan malam. Malah, jumlah wisata Malaysia bisa mencapai 34 juta orang per
tahun. Jumlah ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan kunjungan
wisatawan yang mencari hiburan malam di Thailand yang hanya 14 juta orang.
Malah, Indonesia jauh tertinggal di bawah, yang hanya bisa mendatangkan 7 juta
orang setahun.
Kedua, anggapan
bahwa wisata identik dengan fasilitas modern yang justru berjarak dengan
kehidupan masyarakat. “Di Banyuwangi, kami mendorong tumbuhnya homestay. Di sekitar Pantai Merah, kami
menolak dibangunnya hotel. Kami menyarankan wisatawan untuk tinggal di rumah
warga atau homestay. Kami juga mengembangkan dormitory stay. Tentunya, kami telah melatih warga di hotel-hotel
berbintang tentang bagaimana melipat handuk, melayani tamu, serta menyediakan
makanan,” lanjut pria yang pernah jadi anggota DPR RI ini.
Yang menarik, ia
selalu melibatkan masyarakat desa dalam proses pembangunan. Ia menggelar
berbagai festival budaya dan tradisi, lalu meminta masyarakat desa untuk
menampilkan atraksi kesenian. “Bahkan, saat pembukaan salah satu festival ski
internasional, saya meminta hiburannya adalah para ibu-ibu berkerudung yang
memainkan rebana. Para turis justru suka. Mereka sibuk ber-selfie dengan para penampil tersebut,” katanya lagi.
Bupati Banyuwangi (kanan) saat memberikan presentasi |
bupati dan diriku |
Ketiga,
pariwisata harusnya terus melibatkan masyarakat dan budaya. Ia mendesak agar
semua hotel yang dibangun mesti bercirikan budaya lokal, baik dari segi
bangunan, ornamen, hiasan, hingga suasana di dalam hotel.
Pemaparan bupati
berusia muda ini memang menarik. Dalam usia singkat kepemimpinannya, ia sukses
mengubah beberapa hal. Ia menjadikan Banyuwangi sebagai destinasi wisata
internasional. Ia berhasil mengemas Pantai Merah menjadi lebih menarik sehingga
dikunjungi banyak wisatawan internasional. Ia juga membangun infrastruktur
penunjang seperti bandara dan jalan-jalan mulus ke beberapa obyek wisata.
Malah, ia juga berhasil membangun satu bandara dengan konsep eco-friendly. Saat ini, bandara itu
telah disinggahi dua maskapai penerbangan yakni Wings Air dan Garuda.
***
YANG kucatat adalah apa yang
disampaikannya. Barangkali, kenyataan di lapangan tidaklah seindah yang
dikatakannya. Aku tak terlalu peduli dengan kenyataan itu. Bagiku,
presentasinya sukses menaikkan adrenalin dalam diriku untuk menjelajah wilayah
itu. Foto-foto yang ditampilkannya membuatu sadar bahwa di sebelah timur Jawa
itu terdapat satu wilayah yang sedemikian indah untuk dijelajahi.
Pantas saja, dua bulan lalu, sahabatku
asal Thailand, Ussama Kaewpradap, tiba-tiba saja mengontakku. Saat itu, ia
datang berwisata ke Banyuwangi. Ia minta guidance
atau arahan. Hanya saja, saat itu aku justru tak mengerti apa yang membuatnya
tertarik ke Banyuwangi. Bagiku, wilayah itu tak masuk dalam radar pariwisata
tanah air. Aku tak tahu obyek wisata apa yang menarik di sana. Ternyata aku
keliru. Presentasi sang bupati sukses membuka mataku.
Hari ini kucatat harapan untuk singgah ke
wilayah yang sedemikian mengusik rasa kepenasarananku. Semoga saja ada rejeki
atau barangkali keajaiban sehingga bisa berkunjung ke wilayah itu.
Mudah-mudahan, semuanya sesuai dengan kata pak bupati, “Sekali anda ke
Banyuwangi, anda pasti akan datang lagi.”