Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Menyerap Inspirasi Banyuwangi


Pantai Merah di Banyuwangi, yang mengingatkanku pada Phi Phi Island di Thailand. But, kayaknya pantai ini jauh lebih indah. Lihat saja pulau di hadapannya.

SELALU saja ada kebahagiaan tersendiri kala bertemu sosok-sosok yang menginspirasi. Selalu saja ada harapan serta tunas-tunas keyakinan yang tumbuh bahwa melalui sosok itu, kita bisa menemukan oase bagi negeri yang tengah krisis dengan sosok hebat. Setidaknya, itulah penilaianku usai menghadiri presentasi yang dibawakan oleh Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di Jakarta.

Tadinya kupikir ia akan berbicara sebagai birokrat lainnya. Salah satu gaya presentasi para bupati yang bagiku menjemukan adalah ketika mereka hanya membaca naskah yang diketik oleh para asisten atau staf ahli. Makin menjemukan ketika sang pejabat itu membaca naskah dengan retorika yang datar. Dalam situasi demikian, aku memilih tidur.

Tapi bupati ini beda dengan yang lain.

Ia tak membaca naskah apapun. Seorang stafnya menayangkan presentasi. Ia menjelaskan apa yang tampil dengan retorika yang mengagumkan. Tadinya aku hanya pernah mendengar kata Banyuwangi. Pernah, aku melalui kota itu saat transit dari Surabaya menuju Bali dengan bus antar provinsi. Tapi presentasi bupati ini sukses membuatku penasaran seperti apakah gerangan wajah Banyuwangi.

Tiba-tiba saja aku ingin melangkahkan kaki untuk merasakan langsung bagaimana homestay di rumah warga desa sekitar Pantai Merah, atau menuruni bukit menuju Kawah Ijen yang terkenal itu. Aku langsung penasaran untuk menyusuri sisi timur Jawa, lalu menyusuri masyarakat Using, yang pernah kubaca dalam satu etnografi tentang agama Jawa karya Andrew Betty.

Dalam acara yang diadakan Kemendagri, sang bupati mengejutkan semua audiences dengan pertanyaan singkat, bisakah target pembangunan tercapai sembari melibatkan seluruh masyarakat? Bisakah kita mencapai target pembangunan dengan anggaran daerah yang sangat terbatas?

festival tari di Banyuwangi

Kalau pertanyaan ini diberikan pada para bupati atau walikota di kampung halamanku, jawabannya bisa kutebak. Mereka hanya menunggu kucuran dan kemurahan hati pemerintah pusat. Di satu daerah di Sulawesi Tenggara pernah digelar acara tari kolosal yang diikuti ribuan orang. Tujuannya? Bukan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi untuk ‘menggoda’ pemerintah pusat agar mengucurkan anggaran. Ini khas logika para pemimpin daerah. Mereka hanya bisa membujuk pusat lalu menanti-nanti dana. Lain lagi dengan daerah lain di Sulawesi Tenggara. Demi hadinya mal, pemerintahnya siap melakukan apapun. Dipikirnya, investasi itu akan membawa manfaat bagi daerah. Padahal, pihak pemda tak mengkajinya secara serius. Benarkah?

Nah, Bupati Banyuwangi ini berbeda. Ia menunjukkan berbagai strategi, kiat, dan inovasi. Menurutnya, pembangunan digerakkan oleh beberapa hal penting, yakni nilai kemanfaatan bagi publik (public value), partisipasi seluruh masyarakat, serta kepemimpinan (leadership) yang kuat. Tanpa ketiganya, target pembangunan tak akan bisa tercapai. Ia juga menekankan pentingnya kreativitas serta inovasi dalam menjawab persoalan, yang disebutnya sebagai faktor penting bagi upaya pencapaian target pembangunan. Tak perlu menunggu ‘pihak atas’, tapi gerakkan roda ekonomi dengan inovasi, yang anntinya akan membawa kebaikan bagi masyarakat sekitar.

“Kalau cuma andalkan APBD, maka kami tak bisa berbuat banyak di Banyuwangi. Kami mengembangkan beberapa terobosan yang bisa menggerakkan ekonomi, tanpa harus mengandalkan APBD,” katanya. Ia mengakui bahwa setiap daerah memiliki konteks yang berbeda.

Di Banyuwangi, ia memulai pembangunan dengan memetakan persoalan. “Selama ini orang menganggap bahwa indikator keberhasilan pembangunan adalah ketika banyak mal dan pusat perbelanjaan. Padahal, kontribusinya pada peningkatan ekonomi sangat sedikit. Makanya, kami menolak mal,” katanya.  Hasil kajian dan pemetaan masalah yang dilakukannya berujung pada didorongnya sektor pariwisata untuk menggenjot ekonomi daerah.

Ia menekankan pentingnya wisata berbasis budaya dan masyarakat lokal. Ia menolak dibangunnya hotel kelas melati sebab berdasar kajian yang dilakukannya, hotel itu justru menyuburkan praktik prostitusi. Ia hanya mengijinkan pembangunan hotel berbintang di kawasan tertentu.

Menurutnya, sektor pariwisata di tanah air tidak digarap dengan serius. Ia juga memaparkan beberapa gagasan menarik tentang wisata. Pertama, ada anggapan bahwa wisata identik dengan minuman keras dan hiburan malam. Padahal, pengalaman di Langkawi, Malaysia, menunjukkan bahwa wisata justru tidak identik dengan hiburan malam. Malah, jumlah wisata Malaysia bisa mencapai 34 juta orang per tahun. Jumlah ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan kunjungan wisatawan yang mencari hiburan malam di Thailand yang hanya 14 juta orang. Malah, Indonesia jauh tertinggal di bawah, yang hanya bisa mendatangkan 7 juta orang setahun.
           
Kedua, anggapan bahwa wisata identik dengan fasilitas modern yang justru berjarak dengan kehidupan masyarakat. “Di Banyuwangi, kami mendorong tumbuhnya homestay. Di sekitar Pantai Merah, kami menolak dibangunnya hotel. Kami menyarankan wisatawan untuk tinggal di rumah warga atau homestay. Kami juga mengembangkan dormitory stay. Tentunya, kami telah melatih warga di hotel-hotel berbintang tentang bagaimana melipat handuk, melayani tamu, serta menyediakan makanan,” lanjut pria yang pernah jadi anggota DPR RI ini.

Yang menarik, ia selalu melibatkan masyarakat desa dalam proses pembangunan. Ia menggelar berbagai festival budaya dan tradisi, lalu meminta masyarakat desa untuk menampilkan atraksi kesenian. “Bahkan, saat pembukaan salah satu festival ski internasional, saya meminta hiburannya adalah para ibu-ibu berkerudung yang memainkan rebana. Para turis justru suka. Mereka sibuk ber-selfie dengan para penampil tersebut,” katanya lagi.

Bupati Banyuwangi (kanan) saat memberikan presentasi
bupati dan diriku

Ketiga, pariwisata harusnya terus melibatkan masyarakat dan budaya. Ia mendesak agar semua hotel yang dibangun mesti bercirikan budaya lokal, baik dari segi bangunan, ornamen, hiasan, hingga suasana di dalam hotel.

Pemaparan bupati berusia muda ini memang menarik. Dalam usia singkat kepemimpinannya, ia sukses mengubah beberapa hal. Ia menjadikan Banyuwangi sebagai destinasi wisata internasional. Ia berhasil mengemas Pantai Merah menjadi lebih menarik sehingga dikunjungi banyak wisatawan internasional. Ia juga membangun infrastruktur penunjang seperti bandara dan jalan-jalan mulus ke beberapa obyek wisata. Malah, ia juga berhasil membangun satu bandara dengan konsep eco-friendly. Saat ini, bandara itu telah disinggahi dua maskapai penerbangan yakni Wings Air dan Garuda.

***

YANG kucatat adalah apa yang disampaikannya. Barangkali, kenyataan di lapangan tidaklah seindah yang dikatakannya. Aku tak terlalu peduli dengan kenyataan itu. Bagiku, presentasinya sukses menaikkan adrenalin dalam diriku untuk menjelajah wilayah itu. Foto-foto yang ditampilkannya membuatu sadar bahwa di sebelah timur Jawa itu terdapat satu wilayah yang sedemikian indah untuk dijelajahi.

Pantas saja, dua bulan lalu, sahabatku asal Thailand, Ussama Kaewpradap, tiba-tiba saja mengontakku. Saat itu, ia datang berwisata ke Banyuwangi. Ia minta guidance atau arahan. Hanya saja, saat itu aku justru tak mengerti apa yang membuatnya tertarik ke Banyuwangi. Bagiku, wilayah itu tak masuk dalam radar pariwisata tanah air. Aku tak tahu obyek wisata apa yang menarik di sana. Ternyata aku keliru. Presentasi sang bupati sukses membuka mataku.

Hari ini kucatat harapan untuk singgah ke wilayah yang sedemikian mengusik rasa kepenasarananku. Semoga saja ada rejeki atau barangkali keajaiban sehingga bisa berkunjung ke wilayah itu. Mudah-mudahan, semuanya sesuai dengan kata pak bupati, “Sekali anda ke Banyuwangi, anda pasti akan datang lagi.”




Kisah Ajaib Mantan Pembom Ikan

Tulisan ini terpilih sebagai pemenang XL Awards 2014. Berita tentang pengumuman lomba itu, bisa dicek DI SINI dan DI SINI.

seorang nelayan tengah memandang laut di Pulau Badi

DI Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, terdapat kisah menakjubkan tentang seorang nelayan. Tadinya, ia kerap membom ikan demi mendapatkan hasil panen berlimpah. Namun sejak melihat poster iklan XL tentang Internet Ngebut, hidupnya berubah drastis. Berkat teknologi, ia lalu mengubah hari-harinya hingga menjadi lebih bermakna dan menginspirasi semua orang.

***

LELAKI itu masih berdiri di tepi Pantai Pulau Badi di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, ketika kuhampiri. Ia sedang memandang ke tengah laut, di mana ia melihat bebrapa kapal layar jenis phinisi sedang mendekat ke pulau itu. Ia lalu tersenyum saat melihat kapal itu berdatangan. Ia mengajakku ke dermaga demi melihat kapal-kapal itu.

Di dermaga kecil di pulau itu, beberapa kapal membuang jangkar. Di tengah hamparan pasir putih indah, yang air lautnya nampak serupa kaca bening dan menampakkan terumbu karang di dasarnya, anak muda itu lalu bercakap dengan beberapa orang di kapal. 

Nampaknya mereka membahas tangkapan ikan yang lebih dari biasanya. Ketika aku mendekat, anak muda itu berbisik, “Alat ini tak pernah salah.” Ia menunjukkan alat GPS serta fishfinder yang menjadi rahasianya sehingga mendapat ikan lebih banyak dari nelayan lainnya.

GPS yang ditunjukannya bisa menentukan berbagai posisi ikan. Kemudian, alat fishfinder bisa mendeteksi lautan, lalu memberikan informasi di mana posisi ikan. Berkat dua alat itu, ia selalu mendapatkan tangkapan ikan yang berlimpah. Selama beberapa bulan mengoperasikan alat itu, ia akhirnya bisa membeli kapal, lalu mengajari nelayan lain sehingga hasil tangkapan melimpah.

Aku terperangah. Lelaki itu pemilik beberapa kapal penangkap ikan. Untuk soal pengetahuan, ia amat ringan tangan untuk berbagi pada sesama. Ia membantu nelayan lain agar menguasai beberapa perangkat teknologi sehingga bisa mendapatkan panen yang lebih banyak ketimbang sebelumnya.

Namanya Daeng Baco. Usianya sekitar 50-an tahun. Ia bercerita banyak hal tentang dirinya. Dahulu, ia adalah pembom ikan yang beroperasi di sekitar Keplauan Spermonde. Ia melalangbuana ke banyak pulau dengan bom di tangan. Ia gembira ketika melempar bom, sebab air dan pecahan karang akan berhamburan ke udara laksana letusan gunung. 

Sedetik kemudian, ikan-ikan mengambang di lautan yang langsung dikumpulkan lalu di jual. Ia tak peduli ketika karang-karang ikut mati dan berhamburan. Yang dipikirkannya hanya keuntungan.

Spermonde (archipelago shelf) adalah surga bagi wisatawan, tapi kerap kali menjadi neraka bagi biota laut. Dahulu, Kepulauan Spermonde memiliki tingkat keragaman karang yang cukup tinggi dimana terdapat total spesies 262, seperti yang pernah dicatat oleh peneliti Moll (1983). Kini, keadaan kepulauan ini cukup memprihatinkan karena ulah warga pulau sendiri.

Daeng Baco berkisah, banyak nelayan yang memilih jalan pintas ketika menangkap ikan. Mereka menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak (bom), racun sianida (bius ikan), trawl, dan lain-lain. Mengapa? “Kalau pakai bom, tidak perlu capek lempar jala, trus menunggu ikan. Cukup lempar bom, terus tunggu hasilnya,” katanya.

kapan nelayan di Pulau Badi

Praktek menangkap ikan seperti ini selain merusak ekosistem terumbu karang juga telah menimbulkan kerugian ekonomi, memicu berbagai perselisihan dan konflik social. Bila keadaan ini dibiarkan terus maka diperkirakan dalam waktu 15 tahun ke depan terumbu karang Indonesia akan habis.

Menurut satu publikasi, di Provinsi Sulawesi Selatan, penangkapan ikan tidak ramah lingkungan merupakan masalah yang sangat sulit untuk diatasi. Perusakan terumbu karang akibat bom dan bius masih banyak dilakukan. Namun, pendekatan lewat birokrasi jelas tidak efektif. Yang harus dilakukan adalah bagaimana meningkatkan ekonomi nelayan sehingga meninggalkan praktik membom ikan. Bagaimanakah caranya?

Bermula Iklan XL

Daeng Baco terpekur ketika mengisahkan titik balik. Sebagai alumni satu universitas swasta di Makassar, ia memang memilih kembali ke pulau sebagai nelayan biasa. Sayangnya, selama beberapa tahun, ia belum mendapatkan nafkah yang memadai bagi keluarganya. Ia jujur mengakui kalau titik balik itu bermula dari iklan XL tentang internet seru. Ia lalu penasaran dengan iklan itu. 

Dipikirnya, internet itu adalah sesuatu yang mahal. Ternyata, internet adalah sesuatu yang murah dan terjangkau. Lebih menyenangkan lagi, sinyal XL bisa menjangkau berbagai pulau-pulau sehingga warga bisa mengaksesnya setiap saat dengan biaya murah.

Saat itu, ia lalu menelusuri berbagai situs yang membahas tentang nelayan. Ia tersentak saat mengetahui tentang adanya berbagai kemudahan bagi nelayan. Ia mendapat informasi tentang nelayan di luar negeri yang menggunakan berbagai perangkat teknologi tinggi seperti GPS, radar kelautan, fishfinder, kompas, dan beberapa aplikasi di android.

Batinnya seolah menyala-nyala. Pengalaman nelayan di negara lain telah memperluas cakrawa berpikirnya untuk melihat berbagai kemungkinan-kemungkinan yang tidak ditempuh para nelayan tradisional di Pulau Badi. Kebanyakan nelayan hanya bertahan dengan sistem penangkapan ikan ala tradisional, yang justru memiliki struktur sosial yang kadang tidak memberi ruang bagi nelayan untuk berkembang.

Melalui situs online, Daeng Baco lalu memesan perangkat fishfinder. Perangkat teknologi ini adalah buatan Korea yang harganya cukup mahal yakni antara lima hingga sembilan juta rupiah. Tapi ia berpikir kalau apa yang dilakukannya adalah dalam rangka investasi. “Saya melihat teknologi sebagai satu harapan untuk mendapatkan hasil lebih di dunia nelayan. Mudah-mudahan saya bisa berhasil,” katanya.

Ternyata, ia memang berhasil. Meskipun mulanya ia kesulitan mengoperasikan, seriring waktu ia mulai bisa beradaptasi. Ia menekankan bahwa teknologi bisa sangat ramah bagi penggunanya ketika diakrabi, dipelajari, dan dipahami. Menurutnya, semuanya teknologi punya prinsip yang sama yakni memudahkan pekerjaan  manusia. Ia yakin ketika kita memahami prinsipnya, maka teknologi akan sangat membantu kehidupan.

pantai indah Pulau badi, Kep Spermonde, Sulsel

Alat fishfinder yang dibelinya itu  menggunakan gelombang suara mikro-magnetik dalam mencari keberadaan ikan laut. Alat ini telah lama dimiliki oleh nelayan asing, dan telah diterapkan untuk memaksimalkan tangkapan. Alat ini  bisa memberikan informasi tentang keberadaan ikan, suhu air, serta kedalaman air. Konon, kemampuan alat itu adalah bisa melacak ikan hingga kedalaman 1.500 meter, dengan cara menenggelamkan sensor pada kedalaman satu hingga dua meter.

Hebatnya, Daeng Baco tak ingin sukses sendirian. Ia berbagi pengalaman kepada para nelayan lainnya. Ia mempromosikan gagasan bahwa teknologi penangkapan ikan hanyalah bagian kecil dari keajaiban-keajaiban yang dihadirkan internet. 

Yang penting, para nelayan mesti sabar untuk menelusuri beragam informasi, tahu apa yang dibutuhkannya, lalu bisa menemukan hal-hal yang bisa membantu kehidupan seseorang.

Di pelabuhan kecil Pulau Badi di Kepulauan Spermonde, aku merasa beruntung bisa bertemu dengan lelaki penuh inspirasi ini. Ia bisa mengubah pahaman bahwa teknologi bisa membantu kehidupan manusia sehingga bisa menjalani hidup dengan lebih bahagia. 

Sejak awal, teknologi memang diniatkan untuk mempermudah urusan manusia, namun seringkali ada anggapan bahwa teknologi hanya untuk orang-orang pintar dan generasi sekolahan saja. Padahal, semua masyarakat bisa merasakan langsung dampak positif dari teknologi.

Daeng Baco telah membuktikannya.




Lelaki Korea Bergincu Merah


Kim Soo Hyun dalam salah satu drama Korea

SESEORANG di rumahku sedang keranjingan menonton drama You Who Come from the Star. Ia agak telat menyaksikan drama yang beberapa waktu lalu membuat banyak perempuan ‘terkapar’ pada pemeran prianya yakni Kim Soo Hyun. Ketika ‘terpaksa’ menyaksikan tayangan ini, aku menemukan definisi tampan bagi orang Korea. Yakni wajah bersih dan cling setiap saat, rambut rapi seolah tiap saat keluar dari salon, serta bibir bergincu merah. Inikah tampan?

***

SEBUAH badai hiburan tengah melanda dunia. Badai itu kerap disebut Korean Wave. Melengkapi penetrasi yang tinggi di bidang teknologi, di mana-mana bisa kita saksikan berbagai produk industri hiburan asal negeri Ginseng itu. Di tanah air, layar televisi kita ikut menyiarkan tayangan drama, film, musik asal Korea.

Entah kenapa, setelah menyaksikan beberapa film Korea, tak satupun yang ‘bersarang’ di benakku. Aku juga tak bisa menghapal persis wajah para pemerannya. Aku hanya mengingat satu nama yakni Cha Tae Hyun yang berperan dalam film My Sassy Girl. Tadinya, aku berpikir mungkin agak sulit menghapal wajah aktor asal Asia Timur.

Tapi anggapan ini langsung kutepis. Aku menghapal betul wajah dan karakter bintang film Hongkong seperti Jet Li, Andy Lau, Jacky Chan, Aaron Kwok, Stephen Chow, Mo Shao Chung, Chao Wen Chuo, hingga aktor laga favoritku yakni Donnie Yen dan Ekin Cheng. Ketika melihat wajah mereka di poster, aku langsung mengenalinya. Anehnya, aku tak bisa menghapal satupun aktor film Korea, padahal beberapa filmnya telah kutonton. Why?

Tak hanya aktor, aku juga tak menghapal satupun aktris Korea. Aku hanya bisa menyebutkan beberapa judul film yang ceritanya bisa membuatku betah dan menontonnya hingga tuntas. Di antara film itu adalah My Sassy Girl, My Boss is My Hero, Sex is Zero, dan My Girlfriend is an Agent.

Bagiku, aktor dan aktris Korea memiliki tipikal wajah yang sama. Para aktor dan aktris lahir dari rahim kebudayaan yang kriteria tampan dan cantik telah mengalami penyamaan. Industri hiburan telah menetapkan satu kriteria tentang tampan dan cantik, yang kemudian menjadi ikon kapitalisme. Setiap orang ingin berpenampilan sebagaimana kriteria-kriteria itu. Apakah bisa?

“Korea adalah negeri yang warganya paling banyak melakukan bedah plastik,” kata Anton, seorang sahabat asal Palembang yang tengah menjalani program post-doktoral di University of California at Berkeley, Amerika Serikat. Anton, yang beberapa kali berkunjung ke Korea, juga memaparkan analogi. Katanya, jika di tanah air sunatan adalah sesuatu yang wajib bagi lelaki, maka di Korea, bedah plastik dianggap sebagai hal wajib. Hah?

Anton benar. Beriringan dengan penyeragaman konsep, industri kedokteran menyediakan praktik bedah plastik yang lalu menjadi trend. Setiap orang ingin mengubah penampilan agar nampak lebih bersinar sehingga menarik hati lawan jenisnya. Di tengah keseragaman penampilan seperti itu, adakah tempat bagi keunikan? Entahlah.

poster drama You Who Come from the Star

Yang pasti, industri hiburan di Korea memang laksana virus yang merasuk ke mana-mana. Di satu blog, aku menemukan keheranan seorang warga Amerika yang ikut program pertukaran pelajar di Korea. Katanya, di kelas yang diikutinya, semua orang punya defenisi yang seragam tentang cantik. Yakni memiliki mata yang besar. Maklum saja, mayoritas warga Korea memiliki mata sipit, yang dianggap pasaran.

Siswa Amerika itu menjelaskan kalau beberapa teman sekelasnya sengaja ke sekolah membawa alat sejenis pembesar bola mata yan justru bisa berbahaya bagi siswa itu. Jika alat itu terlupa, maka kerap kali para siswa menggunakan bolpoin untuk membesarkan bulu mata.

Beberapa sosiolog telah mengatakan bahwa selera kita adalah selera yang dikonstruksi oleh media massa. Industri hiburan melakukan proses ‘cuci otak’ sehingga semua orang memiliki konsep yang seragam. Demi konsep yang seragam itu, orang-orang akan melakukan banyak hal dan mengeluarkan uang sebanyak yang sanggup dikeluarkan. Celakanya, Korea mengidap ‘amnesia’ massal yang kemudian membawa konsekuensi pada dinamika sosial, budaya, serta relasi personal antar warganya.

Namun, apakah anda sepakat dengan konsep tampan dan cantik ala Korea itu?

Sejak dulu, aku menolak penyeragaman definisi. Apapun itu. Bagiku, wajah bersih dan cling, rambut selalu rapi seolah keluar dari salon, serta gincu merah bukanlah tolok ukur ketampanan seorang lelaki. Yang disebut tampan adalah mereka yang memiliki wajah tegas dan karakter yang kuat. Ketampanan seseorang tak bisa dilihat dari fisik, namun suara yang tegas, berwibawa, serta punya pesona yang sanggup menggerakkan orang lain untuk melakukan apapun yang diinginkan sang pemilik suara tegas. Lelaki yang gagah adalah lelaki yang punya kharisma, mata yang tajam namun teduh, serta memiliki ketenangan dalam keadaan apapun. Ia juga bisa menenangkan siapapun yang sedang galau melalui kalimat-kalimat yang menggetarkan.

Ini menurutku lho. Bisa kutebak kalau definisi ini amat berbeda dengan definisi dari para ABG yang memajang poster Lee Min Ho dan Kim Soo Hyun sembari histeris lalu mengecupnya. Boleh jadi, sosok para lelaki bergincu merah itu justru lebih membekas di hati ketimbang kisah-kisah hebat dan inspiratif dari mereka yang mengubah dunia secara diam-diam dan tak berniat menyebarkan kisah-kisah magisnya.

Yah, setiap zaman memang punya ciri. Setiap zaman punya selera.



Yang Kusuka di Kota Makassar


buku yang dibeli hari ini

YANG kusuka dari Kota Makassar adalah energi besar dari warganya untuk mencipta dan melahirkan karya-karya bagus. Jumlah mereka tak banyak, namun jika kubandingkan dengan kota-kota lain, hanya di Makassar, aku bisa merasakan hasrat besar untuk menuliskan gagasan lalu membuatnya abadi di sepanjang zaman.

Memang, Makassar sedang dipenuhi ancaman dari geng motor. Banyak juga ancaman tentang kekerasan, serta amarah yang dengan begitu mudahnya melepas badik keluar dari sarungnya. Tapi di sini juga ada kelembutan serta semangat belajar yang tinggi. Ada beberapa orang yang kukenal menyimpan magma belajar serta menulis yang membuatku iri setengah mati. Beberapa di antaranya telah berkibar di level nasional, namun tetap tak mau kehilangan identitasnya sebagai orang Makassar.

Mungkin, semangat mengagumkan ini lahir dari rahim budaya dialektis yang banyak memberi ruang bagi perbedaan gagasan. Barangkali, iklim diskusi sudah sedemikian kokoh di tempat ini sehingga menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kecambah-kecambah hasrat ingin tahu yang lalu menguatkan pohon ilmu pengetahuan. Yang pasti reproduksi pengetahuan di Makassar ibarat bunga yang terus memekar dan wanginya semerbak.

Satu hal yang kusayangkan, akademisi Makassar tidak secepat para penggiat kebudayaan dalam merespon dinamika. Para akademisi justru jalan di tempat, mandek karya, terjebak pada rutinitas dan riset pesanan, serta hanya bisa berbicara dari sudut yang ‘common sense.’ Mereka tak sejeli beberapa sahabat di Kampung Buku dan Ininnawa (beralamat di Jalan Abd Daeng Sirua) yang tekun melahirkan buku-buku bagus, membentuk jejaring dengan para peneliti, lalu belajar bersama-sama dalam dunia indah yang penuh dengan aksara.




Makassar, 16 September 2014
seusai membeli buku-buku lokal yang bagus.



Mereka yang Susah Air di Atas Air


suatu siang di Pulau Badi

MEREKA yang tinggal di pulau-pulau berpasir putih di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, itu seakan tinggal di atas surga. Langit biru, pasir putih, lautan jernih menjadi bagian dari keseharian mereka. Siapa sangka, di balik keindahan pulau-pulau itu terselip banyak kisah mengharukan tentang perjuangan demi menemukan sumber penghidupan hingga ke daratan-daratan yang jauh.

***

TAK lama lagi, perahu kecil yang kutumpangi akan sampai di Pulau Badi. Dari kejauhan, pulau itu nampak indah. Laut dan langit biru seakan mengapit pohon hijau dan pasir putih. Di kejauhan, aku melihat perahu nelayan serta anak kecil yang bermain di pasir putih. Pemandangannya sungguh menakjubkan.

Pulau Badi terletak di Desa Mattiro Deceng, Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkep. Dari Makassar, pulau ini bisa ditempuh hingga dua jam perjalanan. Pulau ini juga bisa dijangkau dari Pangkajene, ibukota Kabupaten Pangkep. Akan tetapi, lebih banyak orang yang berangkat dari Makassar. Penduduk pulau juga lebih banyak bepergian ke Makassar.

Bersama seorang fasilitator Destructive Fishing Watch (DFW), lembaga yang concern pada isu kelautan, serta penumpang lain, aku turun dari perahu. Ternyata ada beberapa jergen berisi air yang juga ikut diturunkan. Barulah kutahu kalau ternyata perahu itu juga memuat banyak jergen berisi air. Seorang warga pulau lalu menjelaskan tentang masalah yang mendera warga pulau. Ternyata mereka yang berdiam di sekeliling air itu justru mengalami masalah kesulitan mendapatkan pasokan air bersih. Meskipun berumah di tengah air, namun air tawar amatlah penting untuk dikonsumsi dan dimasak.

Haris, seorang warga pulau, menuturkan, bahwa meskipun demi mendapatkan air tawar yang layak diminum itu, mereka harus menempuh perjalanan selama dua jam berperahu ke Makassar. Bahkan di tengah musim ketika ombak mengaduk lautan, mereka harus tetap mendapatkan air bersih. “Kami mau gimana lagi. Air bersih adalah kebutuhan utama warga pulau. Tak mungkin mengharapkan sumur sebab airnya payau. Untuk minum dan masak, kami harus mendapatkan air bersih,” katanya.

Dalam kunjungan singkat itu, aku menyempatkan diri berkunjung ke sekeliling pulau yang bisa dilakukan hanya dalam beberapa jam. Luas pulau hanya 6,50 hektar dengan jumlah penduduk sebanyak 402 kepala keluarga (KK). Lebih 90 persen penduduk pulau ini bekerja sebagai nelayan. Ada pula yang berprofesi sebagai pedagang pengumpul. Namun tak banyak.

Pulau ini memang cukup kondang sebagai kawasan konservasi karang. Sebelumnya, masyarakat kerap merusak karang dan memanfaatkannya sebagai bahan bangunan. Namun seiring dengan banyaknya program konservasi karang dari beberapa lembaga lokal dan internasional, maka kondisinya kini membaik. Beberapa tempat menjadi spot penyelaman. Di sini, dengan mudahnya ditemukan clown fish yang muncul dalam film Finding Nemo, serta beberapa ikan hiu.

Banyaknya program konservasi itu amatlah kontras dengan ketersediaan prasarana di pulau ini. Sejauh yang kuamati dan saksikan, sentuhan pemerintah di pulau ini hanyalah dalam bentuk ketersediaan bangunan sekolah dasar. Di luar itu, nyaris tak ada sarana dan prasarana yang dibangun untuk warga pulau.



Mereka yang tinggal di pulau ini seolah dibiarkan hidup dan menata dirinya sendiri, tanpa banyak merasakan makna pembangunan yang sesungguhnya. Demi air bersih, warganya harus menempuh perjalanan melewati laut. Demikian pula dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, serta prasarana yang dibutuhkan mereka yang berumah di pulau-pulau.

Haris menuturkan, galon air yang didatangkan dari Makassar itu harus dibeli dengan harga 8000 rupiah. warga pulau harus membeli satu galon air seharga 8.000 rupiah. Padahal, di kota Makassar, harga segalon air di depot isi ulang hanya sekitar 2.500 rupiah. Jika air itu habis dalam waktu tiga hari, silakan hitung biaya yang harus dibayarkan oleh para nelayan kecil di pulau ini.

Belum lagi jika ditambah dengan biaya listrik. Dahulu, d beberapa pulau, ada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang bisa menyediakan listrik secara terbatas. Sayangnya, pembangkit ini tak bertahan lama. Kebutuhan listrik warga lalu dipasok oleh genset yang membutuhkan bahan bakar dnegan biaya yang cukup besar. Dengan biaya yang sedemikian banyak setiap bulannya, masihkah anda berminat tinggal di pulau-pulau indah itu?

Desalinator

Di tahun 2011, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memiliki program pengadaan desalinator air laut di pulau ini. Program ini sangatlah bagus dan bisa menjadi solusi bagi masyarakat setempat. Selama lebih tiga tahun, masyarakat menikmati air bersih berbiaya murah yang dibangun dengan bahan baku air laut.

Kata beberapa warga yang kutemui, air yang dihasilkan oleh alat ini sangat segar dan tawar sebagaimana air merek Aqua. Bahkan jika dibandingkan dengan air galon yang dibeli dari Makassar, air yang dihasilkan dari alat ini masih lebih baik. Uji laboratorium juga menegaskan hal itu.

Sungguh disayangkan, alat itu tiba-tiba rusak. Warga sudah berupaya untuk memperbaiki alat itu, namun tak ada satupun yang bisa memperbaikinya di Makassar. Alat buatan Swiss itu agak berbeda dengan mesin desalinator air laut yang ada di pulau-pulau lain. Warga juga telah mengontak pihak kontraktor yang memasang alat,  namun tak ada respon sama sekali. Kata seorang kawan, logika yang dibangun para kontraktor adalah logika proyek. “Setelah mereka memasang alat, mereka langsung kabur sebab menganggap kontraknya sudah selesai,” katanya.

Pelajaran berharga di masa mendatang adalah pengadaan sarana dan prasarana harus berbasis masyarakat. Dalam artian, masyarakat harus ikut mengawasi dan mengadakan satu sarana, lalu mengawal sarana itu secara terus-menerus. Pelajaran lainnya, pihak luar tak boleh lepas tangan atas apa yang sudah dibangunnya. Mereka harus selalu siap untuk membantu dan menyelesaikan segala keluhan masyarakat.

perahu nelayan

Yang menakjubkanku, masyarakat menjadi terbiasa dengan berbagai kesultan hidup. Di tengah berbagai masalah yang mendera, mereka tak kehilangan keceriaan menghadapi hari. Aku merasakan bahagia itu saat bersama seorang pria yang membudidayakan kuda laut, serta beberapa nelayan yang datang mengobrol di rumah warga yang kudiami selama semalam.

Pelajaran berharga yang kudapatkan di situ adalah di balik setiap keindahan, selalu ada ketidakindahan yang kadang tak bisa kita pahami sebelum memasuki jantung keindahan itu. Dan di balik setiap ketidakindahan, selalu ada keindahan dan keriangan dari mereka yang mengalaminya.

Kita bisa membumikan filosofi itu di konteks Pulau Badi. Bahwa di balik keindahan pulau itu, ada kesulitan warga mendapatkan air bersih dan listrik. Di balik kesulitan itu, selalu ada kebahagiaan menjalani hari-hari di pulau yang amat mempesona itu. Inilah butir-butir inspirasi yang kutemukan di pulau itu.



Kiat Gratis Keliling Tanah Air


saat berperahu di Kepulauan Spermonde, Sulsel


PERNAH, kubaca tulisan seorang travel blogger tentang kiat gratis bisa jalan-jalan ke luar negeri. Salah satunya adalah menikah dengan warga asing. Saat itu, kutambahkan satu kiat lagi yakni memenangkan beasiswa ke luar negeri. Anda tak hanya jalan-jalan, tapi juga bisa tinggal selama bertahun-tahun. Aku telah mengalaminya.

Belakangan, muncul pertanyaan, bagaimanakah halnya jika kita berkeinginan untuk keliling Indonesia? Adakah kiat gratis? Bisakah kita memiliki pekerjaan yang mengharuskan kita untuk setiap bulan melakukan perjalanan lalu belajar di satu tempat?

Dahulu, pertanyaan itu kusimpan rapat-rapat. Kupikir mustahil bisa keliling ke banyak tempat di tanah air. Indonesia yang begini luas tak mungkin dijelajahi satu per satu. Kupikir betapa menyenangkannya bisa mengunjungi banyak tempat, mengambil gambar, lalu pindah lagi ke tempat lain.

Namun selalu saja ada kejutan yang kadang datang menghampiri. Selama beberapa bulan ini, aku perlahan-lahan menjadi seorang traveler. Aku berpindah-pindah banyak tempat, mengunjungi pulau-pulau eksotik, lalu merencanakan perjalanan ke mana-mana. Kok bisa? Yup, sebab aku bekerja sebagai peneliti. Pekerjaan ini memungkinkanku untuk setiap saat melakukan perjalanan, bertemu orang baru, lalu mengambil gambar-gambar menarik.

saat berada di Papua Barat

Ternyata ada jalan lain untuk bisa keliling tanah air. Dengan menjadi peneliti, anda memiliki kesempatan untuk setiap saat belajar dari kenyataan, menyerap pengetahuan di semua tempat, lalu berguru pada masyarakat setempat. Demi kegiatan riset itu, aku berkelana hingga tanah Papua, pedalaman Sulawesi barat, hingga kota-kota kecil di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Selama beberapa bulan ini, aku mengunjungi banyak tempat yang kemudian mengasah nuraniku untuk lebih arif dalam memandang setiap kenyataan.

Susahkah jadi peneliti? Bagiku, semua pekerjaan punya dimensi kesusahan sendiri. Aku menyadari betul kalau aku punya beberapa kelemahan di bidang ini. Namun penelitian selalu mengajarkanku untuk terbiasa bekerja secara tim, saling melengkapi kekurangan masing-masing, lalu membangun satu mekanisme kerja yang memungkinkan akhirnya riset yang berhasil.

Harus dicatat, kebahagiaan sebagai peneliti tidaklah dilihat dari seberapa banyak tempat yang didatangi. Kebahagiaannya terletak pada seberapa sanggup kita melahirkan satu rekomendasi yang lalu mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik. Bahagianya ada pada senyum riang dari orang-orang yang terbantu atas kehadiran kita, serta mendapatkan manfaat dari kehadiran kita yang hanya sesaat. Puncaknya adalah bahagia ketika bisa berguru dan mengasah pengetahuan pada orang-orang hebat yang humble (rendah hati) dan jauh dari kesan angkuh.

Aku bersyukur bisa berguru pada seorang dukun yang pandai menafsirkan bintang di Mamasa, Sulawesi Barat. Aku senang karena bisa menyaksikan keahlian seornag nakhoda kapal phinisi di pulau-pulau sekitar Makassar. Aku juga tak akan pernah lupa dengan pengalaman bertemu seorang pemain sasando di Kupang yang jari-jarinya seolah punya mata sebab bisa memainkan sasando dengan dua tangan. Semua jarinya menyentuh senar demi menghasilkan melodi yang aduhai dan luar biasa indah.

bersama pemusik sasando asal Pulau Rote di Kupang, NTT


Perjalanan itu semakin bermakna sebab menjadi arena untuk mengayakan pengetahuan, sekaligus memperkaya pengalaman batin. Inilah berlian-berlian indah yang kutemukan di perjalanan. Inilah harta karun berharga yang kutemukan dari kunjungan ke banyak tempat di tanah air.

Aku telah menemukan jalan untuk keliling Indonesia. Bagamanakah dengan anda? Apakah anda tak berkeinginan untuk mengunjungi setiap jengkal dari tanah air yang sedemikian luas dan kaya budayanya?


Bogor, 11 September 2014

Rahasia di Balik Tulisan Juara


saat Ara menulis dengan tangan kiri

DARI sekian banyak mengamati tulisan-tulisan yang menang lomba, sejatinya ada prinsip universal yang bisa diterapkan. Ada banyak kiat-kiat praktis serta bagaimana memancing atensi para juri dan pembaca sehingga berpihak pada tulisan kita. Dari sisi teknis semua orang bisa mempelajari bagaimana menulis yang baik. Tapi tak semua orang bisa menghadirkan gagasan yang kuat dalam tulisannya.

Padahal, gagasan itulah yang akan menjadi ruh yang menjiwai tulisan. Nah, bagaimanakah menemukan gagasan itu?

***

DI atas perahu kecil jenis jolloro’, di tengah-tengah gugusan Kepulauan Spermonde di Sulawesi Selatan, saya mengaktifkan internet melalui ponsel yang saya bawa. Seseorang telah menandai saya di twitter. Katanya, nama saya masuk sebagai juara kedua dalam lomba menulis yang diadakan Seknas Jokowi (beritanya DI SINI). Tentu saja saya kaget bercampur bahagia. Kok bisa?

Dari sisi hadiah, lomba ini tak menyediakan hadiah sebesar ketika saya memenangkan lomba penulisan esai ekonomi yang diadakan oleh Sekretariat Kabinet RI. Saat itu, saya menerima uang tunai 20 juta rupiah sebagai juara pertama. Tapi lomba menulis yang diadakan oleh Seknas Jokowi ini punya nilai lebih.

Betapa tidak, juri untuk lomba ini adalah para sastrawan dan penulis papan atas. Di jajaran juri, ada nama Seno Gumira Adjidarma, penulis yang paling saya idolakan sebab bisa menulis dalam berbagai genre, mulai dari novel, esai, analisis sastra, filsafat, tulisan populer, catatan perjalanan, hingga komik populer. Saya mengagumi energi dan kejutan-kejutan yang dibawanya dalam jagad kepenulisan tanah air.

Juri lainnya juga tak kalah kaliber. Ada Linda Christanty, yang pernah memenangkan Khatulistiwa Literary Award, lalu AS Laksana, penulis yang rajin saya senangi karya fiksinya. Para juri ini telah malang melintang di dunia kepenulisan. Makanya, saya tak berharap banyak. Bisa masuk nominasi saja sudah syukur. Ketika mengetahui bahwa tulisan itu menjadi salah satu pemenang, jelas saya merasa sangat bahagia sekaligus terkejut. Mengapa? Sebab tulisan yang menang itu bukanlah tulisan yang saya sukai, tapi tetap saya ikutkan demi meramaikan lomba.

Beberapa teman bertanya tentang bagaimana kiat bisa memenangkan lomba menulis. Saya telah menuliskan rahasia ini beberapa kali. Tapi terkait kemenangan kemarin, saya ingin berbagi tentang pentingnya gagasan yang kuat di balik sebuah tulisan yang menang lomba.

Berani Berpikir Beda

SERING, dalam satu lomba, para peserta cenderung menuliskan hal-hal yang menurutnya hebat, dahsyat, atau bisa memunculkan decak kagum. Pernah, seorang kawan memperlihatkan tulisan yang akan diikutkannya lomba. Baru baca pengantarnya, saya tak tertarik untuk meneruskan bacaan. Ia menulis, “Paradigma baru sains mengajarkan kita untuk selalu humble dalam melihat semesta yang eksis dari teori big bang.” Kalimat ini bisa mengesankan bahwa penulisnya seorang cerdas, namun yakinlah kalimat ini tak akan mengesanan juri manapun. Mengapa? Sebab semua juri dan pembaca selalu menginginkan gagasan yang orisinil, serta bisa membuat orang-orang betah untuk membacanya hingga tuntas.

Artinya, temukan topik yang sederhana, menggugah, dan bisa dipahami siapapun. Dalam artian, topik itu bisa dikaji secara universal dan menyimpan demikian banyak inspirasi. Beranilah untuk menjelajahi hal-hal yang tidak banyak disentuh orang lain sebab dengan cara demikian, tulisan anda akan unik dan akan diperhatikan.

Seorang teman pernah ikut lomba foto tentang hari buruh. Di saat banyak orang memotret luapan emosi para buruh yang sedang berdemonstrasi, teman itu memilih ke pelabuhan rakyat. Ia memotret para buruh berusia muda yang sedang mengangkut karung-karung berisikan beras dan kopra. Ia mengambil gambar tentang mereka yang penuh coreng-moreng dan jelaga karena bekerja sejak subuh. Hasilnya, fotonya langsung menang. Padahal, secara teknis fotografi, jepretannya standar. Tapi ia sukses menampilkan ide yang fresh dan orisinal.

Teman lain pernah ikut seleksi beasiswa ke luar negeri. Ia mengikuti tes wawancara. Di saat orang lain bercerita tentang mimpi-mimpi untuk bangsa yang lebih baik di tengah percaturan globalisasi ataupun harapan untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan, teman itu datang dengan gagasan sederhana.

Ia mengatakan, “Di masa depan saya ingin menjadi pendongeng. Saya akan menggali kearifan masyarakat kita, kemudian dikisahkan kepada anak-anak Indonesia agar mereka tidak kehilangan identitas dan karakternya. Dengan cara itu saya berharap bisa berkontribusi pada perubahan.” Ide ini sederhana, unik dan punya kekuatan. Teman itu sukses mendapat beasiswa ke Amerika.

Beberapa waktu lalu, ada pembuat dokumenter yang mengangkat gagasan tentang Suster Apung, yakni seorang suster yang berpindah-pindah pulau dnegan perahu kecil demi memberikan pelayanan kesehatan. Saya tak terkejut jika ide ini memenangkan lomba film dokumenter sebab gagasannya sederhana dan tidak biasa, tapi penuh inspirasi.


Artinya, kata kunci pertama dalam setiap lomba, baik itu menulis, memotret, melukis, pidato, presentasi, juga seleksi beasiswa adalah keunikan gagasan, kesederhanaan, dan kekuatan. Tulisan yang baik selalu lahir dari gagasan yang baik dan bertenaga. Ketika seseorang menemukan gagasan yang kuat, maka metode, teknik, serta panduan dalam kepenulisan akan menjadi sayap-sayap yang akan menerbangkan gagasan itu ke mana-mana.

Tampilkanlah sesuatu yang tidak biasa. Hadirkan makna dari kenyataan yang setiap hari disaksikan orang, namun seringkali luput dari perhatian. Munculkanlah sekeping kenyataan yang bisa menggerakkan serta menghadirkan gagasan positif agar orang lain ikut bergerak. Temukan inspirasi, sesuatu yang serupa rembulan bisa menghadirkan cahaya terang untuk membantu orang lain agar melihat dengan jernih di tengah kegelapan.

Caranya mudah. Amati semua kenyataan di sekitar. Berusaha untuk temukan makna dan pembelajaran dari setiap kejadian. Pungutlah semua hikmah yang bertebaran di sekitar kita. Jika itu berhasil ditemukan, maka anda sudah memiliki satu tahap untuk menjadi juara. Jika anda berhasil menemukan satu pembelajaran serta makna penting, maka anda sudah memiliki satu point penting untuk menjadi juara. Selanjutnya adalah tinggal menyempurnakan proses narasi dan bagaimana membingkai gagasan demi gagasan.

Untuk tahap selanjutnya adalah melakukan riset. Beberapa kali saya tegaskan bahwa tulisan yang baik lahir dari riset yang juga baik. Bagi para penulis, riset itu dilakukan dengan cara membaca berbagai tulisan serupa demi menemukan sisi lain yang tak pernah disentuh. Bisa pula membaca berbagai informasi terkait topik yang akan dituliskan. Dengan cara demikian, sebuah tulisan akan lebih kaya perspektif.

Jika semua informasi dan data telah dikumpulkan, saat selanjutnya adalah mulai menulis. Ada banyak teknik menulis yang bisa diterapkan. Kadang, seorang penulis akan memulai dari menuliskan dahulu hal-hal penting yang akan dirangkainya menjadi artikel. Ia bisa mulai dari belakang, tengah, atau depan. Prinsipnya adalah biarkan semua gagasan itu mengalir dengan lepas bak sungai.

Tentu saja, tulisan ini terlampau singkat untuk membahas beberapa hal penting dan mendasar di balik sebuah tulisan yang memenangkan lomba. Namun saya selalu meyakini bahwa tulisan yang baik selalu berangkat dari gagasan yang baik. Makanya, jangan pernah kehilangan fokus dalam setiap aktivitas. Percayalah, di balik semua hal biasa, terdapat sesuatu yang luar biasa dan bisa menjadi pelajaran bagi yang lain. Membagikan pengalaman itu pada yang lain secara gratis jauh lebih menakjubkan ketimbang menang lomba. Inilah semangat utama yang mesti disemai dan terus dipupuk.