JAUHKANLAH logika dan alur sejarah yang runtut dalam menyaksikan sebuah adikarya seni semacam film. Menontonlah dengan sikap terbuka dan biarkanlah diri kita hanyut dalam genangan sensasi yang datang silih berganti hingga tanpa sadar kita mencebur masuk dalam logika yang dikonstruksi dalam film. Sebagaimana lazimnya sebuah realitas yang berdialektika dalam satu bingkai pemaknaan, film memiliki realitas dan logika sendiri yang jika dirunut secara perlahan-lahan akan menyeret kita dalam logika film itu sendiri.
Kesan itu saya dapatkan ketika hari ini saya menyaksikan sebuah film kungfu kolosal berjudul The Forbidden Kingdom. Film ini tak bermaksud berpijak pada satu fakta dan realitas antropologis, namun menjejak pada mitologis dan folklor Cina yang sungguh kaya. Yah, kisah keperkasaan Kera Sakti atau Sun Go Kong menjadi kisah yang sejak dulu menjadi sukma bagi bangsa Cina serta menggambarkan bagaimana pandangan dunia mereka. Sedemikian populernya kisah yang diambil dari novel The Journey to The West karya pengarang Wu Cheng sehingga seakan-akan menjadi fakta antropologis: bahwa pernah pada satu masa hidup sosok Raja Kera (Monkey King) yang memiliki tongkat sakti dan punya kemampuan merobek-robek takdir dan menantang mereka yang berdiam di Istana Kekaisaran Langit. Pertanyaannya, adakah sosok Kera Sakti? Adakah Istana Kekaisaran Langit? Faktanya jelas tidak ada, namun sering dianggap ada atau menjadi tanda tanya yang kadang bikin pusing kepala. Ternyata, antara realitas film dan realitas antropologis seakan berimpit dan saling memberi ruang sehingga kita yang menyaksikan film seakan semaput dan menganggapnya realitas.
Namun, upaya memilah-milah antara fakta dan realitas ini boleh jadi adalah keisengan para akademisi serta kritikus sastra dan film. Sebagai penonton, kita tak usah banyak teori. Cukup duduk manis dan menyaksikan film ini dengan penuh ketakjuban pada aksi heroik, perkelahian dengan ilmu meringankan tubuh hingga nyaris terbang, serta duel dengan kelincahan tubuh seperti bajing yang bersalto sambil menodongkan pedang. Semuanya menyenangkan dan sanggup membuat kita berdecak kagum. Tiba-tiba saja sang pemain melesat dan nyaris terbang dengan hanya berpijak pada bunga lotus ungu yang mekar di kaki sebuah bukit. Tiba-tiba saja kita tersentak menyaksikan sihir dan ajian yang sanggup mengeluarkan cahaya putih, semacam energi yang memencar dahsyat dan menghancurkan sekeliling. Inilah dunia film kungfu. Sebuah dunia yang sejak lama selalu mendatangkan imaji, khayal, dan decak kagum.
Berbeda halnya dengan film Hero karya Zhang Yi Mou yang lebih puitik dan menikam makna pada titik terdalam, film The Forbidden Kingdom ini dibuat dengan tema yang sangat menghibur. Filosofi kungfu yang sangat dalam itu dibuat dalam narasi yang simpel sehingga kita tidak perlu mengerutkan kening dan berpikir serius. Dalam tuturan Jackie Chan, kungfu adalah sesuatu yang tak berbentuk, namun hidup. Sebuah energi yang mendesak keluar dari tubuh kemudian mengaum lepas ketika disalurkan dalam pukulan atau gerak tubuh. Seorang pelukis juga pemain kungfu sebab melepaskan energinya pada kanvas. Bahkan penyair sekalipun adalah pemain kungfu sebab menjelmakan kata menjadi gemuruh yang menggelegar dan menyentak kesadaran kita. Kungfu adalah seni yang lahir dari proses mengolah dan “memasak” energi dalam tubuh manusia. Pandangan ini jelas berasal dari ajaran Buddha dan Tao yang sangat kuat menekankan pada peran manusia dalam upaya menggapai kesempurnaan. Suatu cahaya pencerahan yang kemudian menjadi pemandu atas nilai dan dan ziarah melayari dunia.
Tanpa berpretensi menjelaskan lebih jauh pada makna dan filosofi kungfu, film ini cukup berhasil dalam memotret panggung karakter manusia yang didalamnya ada gerak, negosiasi, serta dialog. Film ini mendeskripsikan berbagai tingkah polah manusia yang kemudian memilih hidup sebagai petarung. Mulai dari the drunken master (Jackie Chan), silent monk (Jet Li), hingga the golden sparrow (Crystal Liu Yi Fei --wow pemain ini mengingatkanku pada Dian Sastro). Semuanya punya ciri serta gerak yang memukau sehingga menjadikan film ini sedap dipandang serta menegangkan hingga akhir.
Kisahnya sendiri berawal ketika seorang remaja di Amerika Serikat (AS) Jason menemukan tongkat antik asal Cina di tempat pegadaian. Jason hanya menganggap tongkat itu hanyalah sekedar tongkat. Namun yang sebenarnya tongkat itu adalah tongkat asli milik Raja Kera. Lantas saja, ketika tongkat sudah berada di tangannya, Jason terlempar ke masa lalu. Masa di mana Cina memiliki banyak jago kungfu. Juga kehidupan yang di jaman modern hanya dianggap sebagai mitos saja. Di masa lampau Cina ini, kemudian Jason bertemu dengan pendekar-pendekar legendaris. Seperti Lu Yan, yang memiliki julukan drunken master. Lalu pendekar tangguh yang dikenal dengan nama the silent monk (biksu pendiam). Kemudian pendekar perempuan yang cantik berjuluk the golden sparrow (Walet Emas) –ini dia nih idolaku sepanjang film. Jason mengikuti langkah tiga pendekar ini pada jalan-jalan yang penuh dengan aksi laga.
Petualangan Jason dan tiga pendekar legendaris itu tidaklah main-main. Mereka memiliki tugas mengembalikan tongkat sakti yang Jason temukan di tempat pegadaian itu. Sedangkan Raja Kera sendiri disekap dalam dinding batu oleh Panglima Perang Giok yang sangat jahat. Raja Kera sudah tersekap dalam dinding batu selama 500 tahun. Jason dan tiga pendekar itu harus berusaha mati-matian melawan musuh-musuhnya. Tentu saja mereka harus berhadapan dengan panglima yang jahat itu. Termasuk pula pendekar jahat, si Pembunuh Kejam dan Ni Chang yang berjuluk Iblis Perempuan Berambut Putih. Dalam petualangan ke masa lampau di Cina, Jason banyak belajar tentang kehidupan. Jason tak pernah menemukan berbagai hal dalam kehidupannya yang nyata. Ia mempelajari betapa beratnya menanggung sebuah kepercayaan. Termasuk pula dengan bijaksana ia belajar tentang kehormatan, kesetiaan dan persahabatan. Tak hanya itu, ia juga mendalami arti dari kungfu itu sendiri yang pada akhirnya bisa membebaskan dirinya.
Dengan kisah naratif seperti itu, mestinya film ini berlalu dengan datar-datar saja. Namun, saya justru merasa sangat terhibur menyaksikannya. Apa sih yang membuat film ini menarik? Bagi saya, kekuatannya terletak pada nostalgia film kungfu yang diproduksi Shaw Brothers. Sepanjang 1960-an hingga 1970-an, Shaw Brothers menjadi pemasok utama berbagai film kungfu dengan tokoh utamanya yaitu Bruce Lee. Kehadiran pria yang lahir di Washington dengan nama Lee Siu Lung ini menjadi awal dari genre film martial arts yang mengandalkan pada adegan perkelahian yang apik di mana karakter manusia hanya dibelah ke dalam dua bahagian yaitu baik dan jahat. Kita sedih ketika menyaksikan si baik menjadi bulan-bulanan. Dan kita langsung bersorak ketika si baik kemudian menang dan si jahat kalah. Seakan ada naluri yang menggerakkan kita untuk selalu memenangkan si baik atau pendekar budiman. Dengan kesederhanaan pandang seperti itu, kita seakan membangkitkan naluri purba dalam diri untuk selalu memenangkan yang baik. Kaidah moral menjadi sangat penting demi menjaga kelestarian nilai agar dunia aman dan terang benderang. Inilah yang menjadi tema sederhana dari berbagai film kungfu klasik.
Nah, dalam The Forbidden Kingdom ini, pengaruh film kungfu klasik ini sudah nampak sejak awal film yang menampilkan sejumlah gambar atau ikon film lama. Meskipun temanya sederhana, namun sangat menghibur dan cukup jeli dalam memasukkan makna melalui tuturan dan bahasa visual. Kekuatan film ini juga terletak pada gaya humoris serta adegan perkelahian yang luar biasa. Penata kelahi Woo Chan Ping (yang pernah menata kelahi dalam film The Matrix dan Fearless) menyuguhkan orkestra duel yang tertata apik. Perkelahian antara dua tokoh ditata dengan indah sebagaimana dua penari balet memperlihatkan kelenturan tubuhnya, kadang meliuk, berkelit hingga melompat tinggi seakan nyaris terbang dan jatuh mendarat di atas kelopak bunga lotus. Diiringi musik klasik Cina, kita seakan tidak menyaksikan duel yang mempertaruhkan nyawa, kita serasa menyaksikan opera klasik yang penuh dengan aksi akrobatik dan kelenturan dan daya tahan tubuh yang luar biasa. Bayangin, beberapa kali menghantam tembok hingga tembok hancur, namun fisiknya masih bisa berdiri tegak. Yah, itulah film kungfu. Barangkali, inilah keunikan dari kebanyakan film Cina. Pandangan tentang tubuh yang perkasa dan geraknya melebihi takaran normal ini menjadi permainan imajinatif yang menyaksikan untuk ditonton. Kita suka justru karena “abnormalitasnya” itu.
Hal lain yang juga menjadi nilai lebih adalah inilah film pertama yang mempertemukan dua superstar kungfu Jet Li dan Jackie Chan. Kehadiran dua tokoh ini kian menegaskan bahwa sejak dulu khasanah perfilman Cina tak pernah sepi dengan film laga yang mengandalkan kelihaian bertarung. Sejak era Bruce Lee, perfilman Cina seakan menjadi mata air dari begitu banyaknya aktor laga di Hollywood dengan beragam ciri atau jurus masing-masing. Tokoh yang kini paling menonjol dan sukses di bidang ini adalah Jackie Chan dan Jet Li (kadang ditulis Jet Lee). Keduanya sukses di perfilman Cina dan kemudian membawa gaya bertarung itu untuk merasuki Hollywood.
Minggu lalu, saya membaca majalah Time terbaru yang didalamnya membahas Chan dan Li yang bermain dalam film ini. Dengan hanya menjelaskan sekilas tentang isi film, Time langsung mengajukan pertanyaan yang cukup menohok, “Is Hongkong Movie Will Never End?”. Tampaknya Hollywood mulai resah atau “takut kehabisan piring” seiring dengan ekspansi aktor Cina yang tak pernah henti. Bagaimanapun, aktor Cina punya kelenturan dan kemampuan yang tidak dimiliki aktor laga Hollywood seperti Chuck Norris ataupun Steven Seagal. Yang menarik dari analisis Time adalah deskripsi tentang keuletan dan disiplin dari aktor Cina yang menempa diri sejak masih kecil demi menguasai ilmu bela diri. Bela diri Kungfu butuh sebuah tindakan disiplin luar biasa serta sendi dasar spiritualitas yang kokoh. Chan mulai latihan sejak masih kanak-kanak hingga remaja –saat itu ia menjadi cameo (pendatang baru) dalam film Bruce Lee. Sedangkan Li juga belajar wushu sejak kecil dan pernah tampil di hadapan Presiden Nixon dalam satu eksibisi tahun 1974. Meski demikian, Time juga cukup jujur menyisipkan pernyataan bahwa Jackie Chan dan Jet Li justru berguru banyak pada sejumlah komedian dan aktor pertama di Amerika yaitu Charlie Chaplin, Buster Keaton dan Harold Lloyd. Artinya, ada proses dialogis dan menyerap realitas yang dilakukan aktor Cina untuk memperkaya khasanah bermain di film genre seperti ini.
Sejak awal meniti karier di jalur film beraliran laga (wu xia), Chan dan Li memiliki ciri khas serta jurus maut yang menggetarkan jagad film kungfu pasca kematian legenda kungfu Bruce Lee. Jackie Chan mulai populer sejak tahun 1978 ketika berperan sebagai Wong Fei Hung, pendekar mabuk, dalam film The Drunken Masters. Perannya sebagai pendekar mabuk itu begitu membekas di benak fansnya sehingga di akhir tahun 1990-an dibuat kembali sekuel film tersebut. Selanjutnya, ia menjajal sekitar 100 film, di antaranya Rumble in The Bronx, My Lucky Stars, Supercop, Thunderbolt, hingga film Hollywood seperti Shanghai Noon, The Medallion, Around the Worlds in 80 Days, hingga Rush Hour I – III (bersama Chris Tucker). Lain lagi Jet Li. Ia juga menggapai puncak kariernya ketika berperan sebagai Wong Fei Hung, pemilik jurus tendangan tanpa bayangan dalam film Kungfu Masters, yang kerap disebut Once Upon A Time in China. Perannya sebagai Guru Wong yang berkepala botak serta berpakaian ala rahib Shaolin ini juga menjadi ikon yang susah lenyap di benak fans setianya. Di saat merambah perfilman Hollywood, Jet Li juga bermain dalam sejumlah film seperti Romeo Must Die, The One, hingga Craddle to Grave.
Dengan seabrek pengalaman dari masing-masing aktor tersebut, bisa dibayangkan film ini penuh dengan aksi perkelahian yang menawan mata. Saya paling suka adegan ketika Chan dan Li berkelahi untuk memperebutkan tongkat sakti. Chan dengan jurus mabuk yang gemulai dan terlihat lunglai, namun penuh energi, sedangkan Li dengan jurus Shaolin yang lentur dan bertenaga. Dua-duanya perkasa. Dua-duanya sakti. Siapa yang menang? Saksikan sendiri di bioskop. Ciaaattt…..!!!!!!!
Makassar, 22 April 2008
Pukul 00.00 Wita