Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Ironi Wisata Wakatobi


TERNYATA pariwisata di Wakatobi hanya menjadi komoditas yang menguntungkan bagi sedikit orang. Pariwisata hanya indah sebagai senandung bagi turis yang gandrung dengan hal-hal yang eksotis. Pariwisata hanya menakjubkan bagi mereka yang tak pernah lihat laut yang masih biru dan indah. Sementara bagi warga setempat, wisata justru menjadi mimpi buruk dan bencana karena tidak memberi manfaat bagi mereka.
Persoalan sebutan taman wisata yang indah itu hanyalah konsep belaka dari yang datang dari para pelancong. Sementara bagi orang Wakatobi sendiri, tak ada yang berubah. Hari-hari berjalan dengan biasa dan mereka masih harus melemparkan jala ke laut demi mendapatkan ikan. Malah, sejak konsep wisata itu kian dipertegas, penduduk Wakatobi justru semakin kesulitan. Para nelayan mulai dibatasi untuk menangkap ikan jenis tertentu sebab disebut pemerintah sebagai ikan langka. Tiba-tiba saja mereka harus diajari cara menangkap ikan yang benar –yang katanya tidak merusak karang. Ini jelas mengabaikan fakta bahwa sejak dulu bangsa Wakatobi telah kenyang asam garam di laut. Sejak dulu mereka sudah terbiasa menyaksikan ombak ganas dan punya setumpuk pengetahuan lokal tentang cara menangkap ikan sejak masa nenek moyang mereka dahulu.
Parahnya, belakangan ini pemerintah punya program baru. Sejumlah nelayan dilarang melaut. Mereka hanya diberi tugas menjaga sejumlah kawasan agar tidak terjadi perusakan karang. Mereka digaji Rp 600 ribu dan dilarang melaut. Seorang nelayan yang kutemui merasa stress dengan kondisi itu. Larangan melaut bagi nelayan ibarat merusak sebuah kanvas yang dimiliki pelukis. Larangan itu adalah upaya menjauhkan sang nelayan dari medan aktivitas serta panggung ekspresi bagi dirinya. Melaut bukan sekadar upaya menangkap ikan, namun upaya menemukan koordinat eksistensi dirinya. Melaut adalah panggung di mana nelayan menemukan kebahagiaan sekaligus mengaktual segenap pengetahuan lokalnya. Namun apa yang didapat sejak era wisata merambah di Wakatobi? Tidak lebih dari sebuah petaka baru.(*)


Bau-Bau, 29 April 2008

Pukul 08.26 (saat bangun pagi dan usai antar ibu)

Potauraka dan Negosiasi Identitas Orang Buton



SEPERTI halnya pada berbagai masyarakat dan kebudayaan lain, prosesi pernikahan bagi masyarakat Buton tidak sekadar mengesahkan ikatan kasih antara dua insan manusia, namun juga menjadi arena yang mempertemukan dua keluarga besar. Jaringan keluarga yang sempat tercerai-berai akibat berbagai proses sosial, langsung dipertemukan kembali melalui momentum pernikahan.

Hari ini, saya menyaksikan tahapan awal menuju proses pernikahan dalam payung adat Buton. Saya cukup beruntung bisa menyaksikan tahapan tersebut dari dekat karena pihak yang menikah adalah adik saya Atun. Tahapan awal yang saya saksikan hari ini adalah potauraka oogena. Secara harfiah, potauraka oogena bermakna pertunangan besar. Sebelum potauraka oogena, biasanya diadakan lebih dahulu potauraka yang lebih kecil yaitu pertunangan dan yang hanya dihadiri oleh kedua belah pihak. Biasanya, dalam potauraka ini hanya dihadiri keluarga inti yaitu ayah, ibu, maupun si anak. Namun dalam potauraka oogena, prosesnya lebih kompleks karena dihadiri oleh perwakilan dua keluarga yang hendak bertaut. Tidak hanya keluarga inti, namun perwakilan dua keluarga besar itu ikut hadir.

Dua keluarga besar itu akan dipertemukan dalam satu ruangan kemudian dilakukanlah pembicaraan penting menyangkut pernikahan, termasuk berapa jumlah boka, kapan tanggal pernikahan, serta bagaimana perlengkapan acara tersebut. Boka adalah jumlah mahar yang harus ditunaikan kedua belah pihak. Saya tak tahu persis apa makna boka, namun diperkirakan tradisi ini sudah ada sejak Islam pertama masuk ke Tanah Buton.

Besaran boka bervariasi, tergantung pada strata sosial seseorang. Di masyarakat Buton, strata sosial itu terdiri atas tiga bagian, yaitu kaomu, walaka, dan papara. Kaomu adalah kelas kaum bangsawan yang sejak masa silam menjadi eksekutif atau pimpinan tertinggi di pemerintahan. Mereka dicirikan oleh adanya gelar Laode di depan namanya. Sedangkan golongan walaka adalah golongan legislatif yang menjadi pilar utama pemerintahan. Mereka mewakili rakyat biasa, termasuk para intelektual ataupun cerdik pandai di seluruh negeri. Sedangkan papara adalah kelas pekerja yang menjalankan berbagai pekerjaan kasar. Meskipun pembagian ini kelihatannya simpel (sederhana), sesungguhnya tidaklah sesederhana ini. Sebab pada masing-masing strata, terdapat dinamika serta kelas-kelas tersendiri. Di masing-masing strata, juga terdapat dialektika serta negosiasi antar kelompok sehingga gelar dan kehormatan tidak selalu dilihat dalam kerangka yang sederhana.

Dalam kehidupan sehari-hari, pembagian kelas ini sudah tidak terlalu nampak. Kategori sosial yang berdenyut di masyarakat sudah mengalami pergeseran menjadi kategori ekonomi. Seorang papara yang kaya atau ekonominya sangat makmur, bisa mendapatkan posisi yang lebih terhormat di masyarakat ketimbang golongan kaomu. Gelar Laode sudah tidak menjadi keistimewaan di tengah laju zaman yang kian menekankan pada profesionalitas dan kapabilitas. Gelar-gelar itu seakan nyanyi sunyi atau kadang menjadi bahan olok-olok di tengah stratifikasi masyarakat yang kian menghamba pada putaran laju ekonomi. Persoalan jumlah besaran boka itu sudah bisa dinegosiasikan. Seorang walaka yang kemudian menjadi pejabat, seakan bisa menentukan berapa jumlah boka di acara pernikahan. Ini bukan sekedar guyon. Bulan lalu, saya pernah menyaksikan dialog di satu keluarga yang bingung bagaimana mengukur jumlah boka jika kelak anak wali kota Bau-Bau yang hendak menikah. Ia memakai ukuran zaman kesultanan tentang berapa besar boka seorang pemimpin. “Yang jelas, jumlahnya harus disamakan dengan sultan. Ini kan pemimpin kita,” katanya kepadaku.

Saya agak geli juga mendengarnya. Ternyata, persoalan adat bisa dinegosiasikan ketika ada pertimbangan politik di tengah pergeseran zaman seperti ini. Boleh jadi, keluarga itu hendak menjilat di hadapan wali kota. Tapi, itu adalah urusan pribadinya.

Kembali ke soal pernikahan. Keluarga saya berasal dari golongan walaka. Sedangkan keluarga Acan (kekasih Atun) berasal dari golongan Kaomu. Dikarenakan dua strata yang berbeda inilah, persoalan potauraka menjadi arena yang sangat seru disaksikan. Pihak keluarga laki-laki mengirimkan seorang utusan yang bertindak sebagai duta (the ambassador) untuk menegosiasikan berbagai urusan keluarga. Ia mewakili keluarga dan menyampaikan pesan atau amanat. Sedang kami dari pihak perempuan, juga memiliki wakil dari anggota keluarga yang paling paham soal adat. Saat pertemuan, saya menyaksikan ada dialog serta negosiasi yang cukup alot dan sangat menarik untuk divisualisasikan. Keduanya laksana berada di forum negosiasi alot antar negara dan sama-sama berusaha menunjukkan supremasi masing-masing sehingga tuntutan atau keinginannya bisa diapresiasi yang lain. Sedangkan bagi pihak satunya, keinginan itu boleh jadi dipandang tidak adil sehingga harus dicari titik temunya. Maka terhamparlah satu proses dialog yang seru dan mengasyikkan.

Utusan keluarga laki-laki selalu mempertegas identitas kebangsawanannya. Sedang kami dari keluarga perempuan lebih banyak defensif (bertahan) sambil mengedepankan jalan yang terbaik. Yang menarik bagiku adalah kedua belah pihak sama-sama mengeluarkan kalimat-kalimat yang “bersayap” dan penuh makna atau simbol yang tidak dipahami oleh mereka yang tidak banyak mencebur dalam kebudayaan Buton. Misalnya saja ungkapan dari wakil keluargaku yang menyebut dirinya sebagai “bapak” dan menyebut golongan Laode sebagai “anak”. Istilah ini hanya bisa dipahami dengan mengetahui bagaimana dialektika atau pola hubungan antara kaomu dan walaka.

Dua negosiator ini beberapa kali menyebut adat dan sejumlah contoh-contoh bagaimana selayaknya persoalan tersebut didudukkan. Berbagai contoh kasus sengaja dihamparkan sebagai tanda luasnya pemahaman akan adat sebagai dasar dalam mengambil sebuah putusan. Misalnya saja, kesalahan yang pernah dilakukan Imam Masjid Keraton Buton karena dianggap tidak mengerti adat. Begitu juga dengan banyak kasus yang lain. Bagi saya, contoh kasus yang diangkat adalah upaya yurispudensi atau upaya melihat bagaimana putusan pada kasus terdahulu. Ternyata, masyarakat Buton telah menerapkan aspek yurispudensi saat hendak menetapkan sebuah keputusan penting.

Dalam beberapa hal, saya bisa menangkap ada kesamaan dengan kebudayaan Bugis. Misalnya saja istilah yang mengatakan, “Lelaki memikul dan perempuan menjunjung.” Istilah ini dikemukakan ketika kedua belah pihak bernegosiasi tentang berapa harga yang sama-sama dibayarkan demi menggelar sebuah resepsi pernikahan. Istilah ini juga ada dalam kebudayaan Bugis yaitu “Urane malempa, makunrae majunjung” yang maknanya sama yaitu lelaki memikul, perempuan menjunjung. Artinya, lelaki memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada perempuan sebab pikulan selalu lebih besar dari junjungan. Saya tidak paham sejak kapan istilah ini mulai dikemukakan, yang jelas ini sudah menjadi adat dan kebiasaan yang sukar untuk diubah.

Ada beberapa pelajaran berharga yang saya petik hari ini. Pertama, perkara identitas menjadi penting hanya pada momen tertentu, di antaranya adalah pernikahan. Acara pernikahan menjadi arena bagi seorang bangsawan untuk menunjukkan dominasi atau keunggulan dirinya. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka kian marginal sebab kategori yang paling penting adalah profesionalitas, namun di ajang pernikahan, mereka akan mempertegas superioritasnya. Wilayah adat lahir tidak saja sebagai way of life atau pola yang mengatur kehidupan sehari-hari, namun juga melestarikan strata atau ketidaksamaan kelas di masyarakat. Adat jelas terkait kekuasaan. Bahwa di masa silam, adat sengaja dibuat demi menegaskan superioritas satu kelompok atas kelompok yang lain. Tatkala zaman mengalami pergeseran, adat masih menjadi “senjata” yang dipertahankan kelompok tertentu untuk mempertegas dominasinya. Di sinilah letak anehnya adat yang seakan jalan di tempat di saat perubahan terus mengepung kita.

Kedua, pernikahan bukan cuma soal mempertemukan dua anak manusia, namun sebuah pesta besar yang mempertemukan dua keluarga besar. Makanya, terjadi negosiasi yang cukup alot dan menyangkut gengsi kedua belah pihak. Ketiga, pernikahan juga bisa menjadi jembatan untuk menguatkan jaringan sosial dua keluarga besar. Hubungan keluarga yang sudah mulai retak, bisa dipertautkan kembali dalam momen pernikahan.(*)


Bau-Bau, 28 April 2008


Tiba di Bau-Bau

AKHIRNYA tiba juga di Bau-Bau. Kapal KM Bukit Siguntang yang kutumpangi terlampau lama tiba di tujuan. Biasanya Makassar – Bau-Bau ditempuh hanya sekitar 13 jam, kapal KM Bukit Siguntang butuh waktu sekitar 20 jam untuk mencapai Bau-Bau. Saya tidak tahu kenapa sampai demikian telat. Mungkin karena ombak yang agak keras di banding biasanya, membuat kapal ini sangat lambat.

25 April 2008
Pukul 18.00 Wita

Ironi Media Massa

HARI ini saya sungguh sedih. Seorang kakak Zainal Dalle, yang selama ini menjadi Koordinator Liputan di Harian Tribun Timur, tiba-tiba dikeluarkan dari Tribun dengan alasan yang sungguh tidak masuk akal. Inilah ironi bekerja di satu media massa. Meskipun lantang berteriak demokratisasi, ternyata di dalam media justru terjadi banyak praktik pelanggaran HAM. Bekerja di media itu sangat kejam sebab setiap saat harus memasang kepribadian ganda. Di satu sisi takut pada aturan kalau-kalau dikeluarkan, sementara di sisi lain selalu jeli menyoroti urusan rumah tangga orang lain. Betapa kejamnya media massa kita.


Ketika Jackie Chan Menantang Jet Li


JAUHKANLAH logika dan alur sejarah yang runtut dalam menyaksikan sebuah adikarya seni semacam film. Menontonlah dengan sikap terbuka dan biarkanlah diri kita hanyut dalam genangan sensasi yang datang silih berganti hingga tanpa sadar kita mencebur masuk dalam logika yang dikonstruksi dalam film. Sebagaimana lazimnya sebuah realitas yang berdialektika dalam satu bingkai pemaknaan, film memiliki realitas dan logika sendiri yang jika dirunut secara perlahan-lahan akan menyeret kita dalam logika film itu sendiri.

Kesan itu saya dapatkan ketika hari ini saya menyaksikan sebuah film kungfu kolosal berjudul The Forbidden Kingdom. Film ini tak bermaksud berpijak pada satu fakta dan realitas antropologis, namun menjejak pada mitologis dan folklor Cina yang sungguh kaya. Yah, kisah keperkasaan Kera Sakti atau Sun Go Kong menjadi kisah yang sejak dulu menjadi sukma bagi bangsa Cina serta menggambarkan bagaimana pandangan dunia mereka. Sedemikian populernya kisah yang diambil dari novel The Journey to The West karya pengarang Wu Cheng sehingga seakan-akan menjadi fakta antropologis: bahwa pernah pada satu masa hidup sosok Raja Kera (Monkey King) yang memiliki tongkat sakti dan punya kemampuan merobek-robek takdir dan menantang mereka yang berdiam di Istana Kekaisaran Langit. Pertanyaannya, adakah sosok Kera Sakti? Adakah Istana Kekaisaran Langit? Faktanya jelas tidak ada, namun sering dianggap ada atau menjadi tanda tanya yang kadang bikin pusing kepala. Ternyata, antara realitas film dan realitas antropologis seakan berimpit dan saling memberi ruang sehingga kita yang menyaksikan film seakan semaput dan menganggapnya realitas.

Namun, upaya memilah-milah antara fakta dan realitas ini boleh jadi adalah keisengan para akademisi serta kritikus sastra dan film. Sebagai penonton, kita tak usah banyak teori. Cukup duduk manis dan menyaksikan film ini dengan penuh ketakjuban pada aksi heroik, perkelahian dengan ilmu meringankan tubuh hingga nyaris terbang, serta duel dengan kelincahan tubuh seperti bajing yang bersalto sambil menodongkan pedang. Semuanya menyenangkan dan sanggup membuat kita berdecak kagum. Tiba-tiba saja sang pemain melesat dan nyaris terbang dengan hanya berpijak pada bunga lotus ungu yang mekar di kaki sebuah bukit. Tiba-tiba saja kita tersentak menyaksikan sihir dan ajian yang sanggup mengeluarkan cahaya putih, semacam energi yang memencar dahsyat dan menghancurkan sekeliling. Inilah dunia film kungfu. Sebuah dunia yang sejak lama selalu mendatangkan imaji, khayal, dan decak kagum.

Berbeda halnya dengan film Hero karya Zhang Yi Mou yang lebih puitik dan menikam makna pada titik terdalam, film The Forbidden Kingdom ini dibuat dengan tema yang sangat menghibur. Filosofi kungfu yang sangat dalam itu dibuat dalam narasi yang simpel sehingga kita tidak perlu mengerutkan kening dan berpikir serius. Dalam tuturan Jackie Chan, kungfu adalah sesuatu yang tak berbentuk, namun hidup. Sebuah energi yang mendesak keluar dari tubuh kemudian mengaum lepas ketika disalurkan dalam pukulan atau gerak tubuh. Seorang pelukis juga pemain kungfu sebab melepaskan energinya pada kanvas. Bahkan penyair sekalipun adalah pemain kungfu sebab menjelmakan kata menjadi gemuruh yang menggelegar dan menyentak kesadaran kita. Kungfu adalah seni yang lahir dari proses mengolah dan “memasak” energi dalam tubuh manusia. Pandangan ini jelas berasal dari ajaran Buddha dan Tao yang sangat kuat menekankan pada peran manusia dalam upaya menggapai kesempurnaan. Suatu cahaya pencerahan yang kemudian menjadi pemandu atas nilai dan dan ziarah melayari dunia.

Tanpa berpretensi menjelaskan lebih jauh pada makna dan filosofi kungfu, film ini cukup berhasil dalam memotret panggung karakter manusia yang didalamnya ada gerak, negosiasi, serta dialog. Film ini mendeskripsikan berbagai tingkah polah manusia yang kemudian memilih hidup sebagai petarung. Mulai dari the drunken master (Jackie Chan), silent monk (Jet Li), hingga the golden sparrow (Crystal Liu Yi Fei --wow pemain ini mengingatkanku pada Dian Sastro). Semuanya punya ciri serta gerak yang memukau sehingga menjadikan film ini sedap dipandang serta menegangkan hingga akhir.

Kisahnya sendiri berawal ketika seorang remaja di Amerika Serikat (AS) Jason menemukan tongkat antik asal Cina di tempat pegadaian. Jason hanya menganggap tongkat itu hanyalah sekedar tongkat. Namun yang sebenarnya tongkat itu adalah tongkat asli milik Raja Kera. Lantas saja, ketika tongkat sudah berada di tangannya, Jason terlempar ke masa lalu. Masa di mana Cina memiliki banyak jago kungfu. Juga kehidupan yang di jaman modern hanya dianggap sebagai mitos saja. Di masa lampau Cina ini, kemudian Jason bertemu dengan pendekar-pendekar legendaris. Seperti Lu Yan, yang memiliki julukan drunken master. Lalu pendekar tangguh yang dikenal dengan nama the silent monk (biksu pendiam). Kemudian pendekar perempuan yang cantik berjuluk the golden sparrow (Walet Emas) –ini dia nih idolaku sepanjang film. Jason mengikuti langkah tiga pendekar ini pada jalan-jalan yang penuh dengan aksi laga.

Petualangan Jason dan tiga pendekar legendaris itu tidaklah main-main. Mereka memiliki tugas mengembalikan tongkat sakti yang Jason temukan di tempat pegadaian itu. Sedangkan Raja Kera sendiri disekap dalam dinding batu oleh Panglima Perang Giok yang sangat jahat. Raja Kera sudah tersekap dalam dinding batu selama 500 tahun. Jason dan tiga pendekar itu harus berusaha mati-matian melawan musuh-musuhnya. Tentu saja mereka harus berhadapan dengan panglima yang jahat itu. Termasuk pula pendekar jahat, si Pembunuh Kejam dan Ni Chang yang berjuluk Iblis Perempuan Berambut Putih. Dalam petualangan ke masa lampau di Cina, Jason banyak belajar tentang kehidupan. Jason tak pernah menemukan berbagai hal dalam kehidupannya yang nyata. Ia mempelajari betapa beratnya menanggung sebuah kepercayaan. Termasuk pula dengan bijaksana ia belajar tentang kehormatan, kesetiaan dan persahabatan. Tak hanya itu, ia juga mendalami arti dari kungfu itu sendiri yang pada akhirnya bisa membebaskan dirinya.

Dengan kisah naratif seperti itu, mestinya film ini berlalu dengan datar-datar saja. Namun, saya justru merasa sangat terhibur menyaksikannya. Apa sih yang membuat film ini menarik? Bagi saya, kekuatannya terletak pada nostalgia film kungfu yang diproduksi Shaw Brothers. Sepanjang 1960-an hingga 1970-an, Shaw Brothers menjadi pemasok utama berbagai film kungfu dengan tokoh utamanya yaitu Bruce Lee. Kehadiran pria yang lahir di Washington dengan nama Lee Siu Lung ini menjadi awal dari genre film martial arts yang mengandalkan pada adegan perkelahian yang apik di mana karakter manusia hanya dibelah ke dalam dua bahagian yaitu baik dan jahat. Kita sedih ketika menyaksikan si baik menjadi bulan-bulanan. Dan kita langsung bersorak ketika si baik kemudian menang dan si jahat kalah. Seakan ada naluri yang menggerakkan kita untuk selalu memenangkan si baik atau pendekar budiman. Dengan kesederhanaan pandang seperti itu, kita seakan membangkitkan naluri purba dalam diri untuk selalu memenangkan yang baik. Kaidah moral menjadi sangat penting demi menjaga kelestarian nilai agar dunia aman dan terang benderang. Inilah yang menjadi tema sederhana dari berbagai film kungfu klasik.

Nah, dalam The Forbidden Kingdom ini, pengaruh film kungfu klasik ini sudah nampak sejak awal film yang menampilkan sejumlah gambar atau ikon film lama. Meskipun temanya sederhana, namun sangat menghibur dan cukup jeli dalam memasukkan makna melalui tuturan dan bahasa visual. Kekuatan film ini juga terletak pada gaya humoris serta adegan perkelahian yang luar biasa. Penata kelahi Woo Chan Ping (yang pernah menata kelahi dalam film The Matrix dan Fearless) menyuguhkan orkestra duel yang tertata apik. Perkelahian antara dua tokoh ditata dengan indah sebagaimana dua penari balet memperlihatkan kelenturan tubuhnya, kadang meliuk, berkelit hingga melompat tinggi seakan nyaris terbang dan jatuh mendarat di atas kelopak bunga lotus. Diiringi musik klasik Cina, kita seakan tidak menyaksikan duel yang mempertaruhkan nyawa, kita serasa menyaksikan opera klasik yang penuh dengan aksi akrobatik dan kelenturan dan daya tahan tubuh yang luar biasa. Bayangin, beberapa kali menghantam tembok hingga tembok hancur, namun fisiknya masih bisa berdiri tegak. Yah, itulah film kungfu. Barangkali, inilah keunikan dari kebanyakan film Cina. Pandangan tentang tubuh yang perkasa dan geraknya melebihi takaran normal ini menjadi permainan imajinatif yang menyaksikan untuk ditonton. Kita suka justru karena “abnormalitasnya” itu.

Hal lain yang juga menjadi nilai lebih adalah inilah film pertama yang mempertemukan dua superstar kungfu Jet Li dan Jackie Chan. Kehadiran dua tokoh ini kian menegaskan bahwa sejak dulu khasanah perfilman Cina tak pernah sepi dengan film laga yang mengandalkan kelihaian bertarung. Sejak era Bruce Lee, perfilman Cina seakan menjadi mata air dari begitu banyaknya aktor laga di Hollywood dengan beragam ciri atau jurus masing-masing. Tokoh yang kini paling menonjol dan sukses di bidang ini adalah Jackie Chan dan Jet Li (kadang ditulis Jet Lee). Keduanya sukses di perfilman Cina dan kemudian membawa gaya bertarung itu untuk merasuki Hollywood.

Minggu lalu, saya membaca majalah Time terbaru yang didalamnya membahas Chan dan Li yang bermain dalam film ini. Dengan hanya menjelaskan sekilas tentang isi film, Time langsung mengajukan pertanyaan yang cukup menohok, “Is Hongkong Movie Will Never End?”. Tampaknya Hollywood mulai resah atau “takut kehabisan piring” seiring dengan ekspansi aktor Cina yang tak pernah henti. Bagaimanapun, aktor Cina punya kelenturan dan kemampuan yang tidak dimiliki aktor laga Hollywood seperti Chuck Norris ataupun Steven Seagal. Yang menarik dari analisis Time adalah deskripsi tentang keuletan dan disiplin dari aktor Cina yang menempa diri sejak masih kecil demi menguasai ilmu bela diri. Bela diri Kungfu butuh sebuah tindakan disiplin luar biasa serta sendi dasar spiritualitas yang kokoh. Chan mulai latihan sejak masih kanak-kanak hingga remaja –saat itu ia menjadi cameo (pendatang baru) dalam film Bruce Lee. Sedangkan Li juga belajar wushu sejak kecil dan pernah tampil di hadapan Presiden Nixon dalam satu eksibisi tahun 1974. Meski demikian, Time juga cukup jujur menyisipkan pernyataan bahwa Jackie Chan dan Jet Li justru berguru banyak pada sejumlah komedian dan aktor pertama di Amerika yaitu Charlie Chaplin, Buster Keaton dan Harold Lloyd. Artinya, ada proses dialogis dan menyerap realitas yang dilakukan aktor Cina untuk memperkaya khasanah bermain di film genre seperti ini.

Sejak awal meniti karier di jalur film beraliran laga (wu xia), Chan dan Li memiliki ciri khas serta jurus maut yang menggetarkan jagad film kungfu pasca kematian legenda kungfu Bruce Lee. Jackie Chan mulai populer sejak tahun 1978 ketika berperan sebagai Wong Fei Hung, pendekar mabuk, dalam film The Drunken Masters. Perannya sebagai pendekar mabuk itu begitu membekas di benak fansnya sehingga di akhir tahun 1990-an dibuat kembali sekuel film tersebut. Selanjutnya, ia menjajal sekitar 100 film, di antaranya Rumble in The Bronx, My Lucky Stars, Supercop, Thunderbolt, hingga film Hollywood seperti Shanghai Noon, The Medallion, Around the Worlds in 80 Days, hingga Rush Hour I – III (bersama Chris Tucker). Lain lagi Jet Li. Ia juga menggapai puncak kariernya ketika berperan sebagai Wong Fei Hung, pemilik jurus tendangan tanpa bayangan dalam film Kungfu Masters, yang kerap disebut Once Upon A Time in China. Perannya sebagai Guru Wong yang berkepala botak serta berpakaian ala rahib Shaolin ini juga menjadi ikon yang susah lenyap di benak fans setianya. Di saat merambah perfilman Hollywood, Jet Li juga bermain dalam sejumlah film seperti Romeo Must Die, The One, hingga Craddle to Grave.

Dengan seabrek pengalaman dari masing-masing aktor tersebut, bisa dibayangkan film ini penuh dengan aksi perkelahian yang menawan mata. Saya paling suka adegan ketika Chan dan Li berkelahi untuk memperebutkan tongkat sakti. Chan dengan jurus mabuk yang gemulai dan terlihat lunglai, namun penuh energi, sedangkan Li dengan jurus Shaolin yang lentur dan bertenaga. Dua-duanya perkasa. Dua-duanya sakti. Siapa yang menang? Saksikan sendiri di bioskop. Ciaaattt…..!!!!!!!

Makassar, 22 April 2008

Pukul 00.00 Wita


Kebersahajaan Ahmadiyah dan Kecongkakan Islam Pemerintah

HARI ini berita di televisi banyak menayangkan informasi tentang “kesesatan” Ahmadiyah. Jaksa Agung Hendarman Supandji ikut-ikutan mengomentari kesesatan itu dan mengeluarkan instruksi berupa larangan melakukan aktivitas. Ia merespon tindakan pemerintah melalui Departemen Agama –yang dibawahnya bernaung lembaga pengawas aliran kepercayaan— yang telah mengecam Ahmadiyah dan menuding mereka telah menyempal dari Islam yang sesungguhnya.

Larangan pemerintah langsung berbuntut pada aksi sporadis yang dilakukan berbagai organisasi Islam di banyak tempat. Ribuan massa dengan menggunakan atribut Islam berdemonstrasi di depan Istana Negara dan meminta Presiden SBY agar membekukan semua kegiatan Ahmadiyah. Sementara di Bogor, demonstrasi juga …

BELUM SELESAI


Politik Indonesia seperti Pasar Kaget


TULISAN Emanuel Subangun di Kompas hari ini, Selasa (15/4), yang berjudul “Pemasaran Partai Politik” sangat inspiratif. Salah satu penggagas pandangan post-modernisme di Indonesia itu memaparkan tesis yang sungguh menarik tentang bagaimana fenomena mereka yang sibuk di partai politik. Ia tidak latah dan menganalisis sebagaimana ilmuwan politik yang hanya sibuk melihat struktur serta rasionalitas politik. Ia justru memasuki ranah kultural dan mengupas realitas politik melalui pendekatan prilaku manusia. Makanya, analisis itu sangatlah membumi dan menyegarkan karena kupasan akan dimensi manusia tersebut.

Dalam pandangan saya, antara analisis politik dan kultural sangat berbeda. Pendekatan politik terlampau banyak berkutat pada aspek kelembagaan baik berupa partai politik, institusi, hingga mekanisme dan hubungan antar lembaga. Pendekatan ini tidak banyak membahas manusia sebab berasumsi bahwa manusia adalah objek dari sebuah struktur, yang prilakunya akan mengikuti tata nilai yang lazim dalam struktur tersebut. Inilah yang membuat analisis kultural menjadi menarik.

Jika selama ini politik hanya dipahami sebagai arena di mana terjadi kontestasi dan pergulatan demi kemaslahatan bangsa dan negara, maka di level kultural, semuanya bisa diobrak-abrik. Perilaku manusia tidak selamanya dibimbing oleh nilai-nilai yang ideal atau adiluhung tersebut. Prilaku manusia justru bergerak karena perkara remeh-temeh, yang boleh jadi dipandang tidak penting oleh orang banyak. Misalnya saja, keinginan untuk kian mengepulkan asap dapur atau keinginan untuk punya mobil baru. Semuanya adalah hal yang manusiawi dan berada di level kultural yang jarang dijamah para ilmuwan politik. Persoalan itu dianggap tidak penting, padahal itu bisa menjadi awal dari pagelaran besar bernama partai politik dan demokrasi di negara ini. Hehehehe….. Itulah uniknya manusia. Itulah enaknya membedah politik dengan pendekatan kultural sebab analisisnya tidak melangit, melainkan membumi. Baiklah, saya kutipkan bagian dari penjelasan Subangun yang bikin saya terpingkal-pingkal.

Dalam buku teks ilmu politik lazim disebutkan, berpolitik adalah perjuangan untuk duduk dalam jabatan publik nan politik (public office). Jabatan ini dimaksudkan sebagai sarana merumuskan dan menjalankan kebijakan publik (public policy) demi kemaslahatan rakyat banyak. Akan tetapi, jika mengingat keadaan sekarang di mana pengangguran kaum terdidik di Indonesia amat tinggi karena ekonomi sedang macet, mencari ”jabatan publik” dapat berubah mencari pekerjaan dalam hubungan dengan lowongan kerja. Maka, menjadi pengurus partai tak ubahnya melamar pekerjaan. Kini, dalam pasar kerja yang sempit, duduk di pemerintahan adalah jaminan bahwa upah akan berlimpah karena negara kita subur. Seperti orang muda bermimpi bekerja di perusahaan asing karena gaji dibayar dengan dollar.

Membaca bagian ini, saya langsung tertawa terbahak-bahak. Sebelumnya, saya sudah menyadari fenomena ini. Namun Subangun seakan membuka mata saya untuk melihat lebih terang bahwa politik di negeri ini bukanlah perkara bagaimana mengejawantahkan cita ideal demi mensejahterakan masyarakat. Ternyata, politik tidak lebih dari sebuah pasar kerja di mana banyak pedagang yang menjajakan barang. Mekanisme demokrasi dan ketatanegaraan hanyalah sebuah aturan atau rambu-rambu yang berlaku di pasar. Partai politik dan para fungsionarisnya tidak lebih dari pedagang-pedagang yang sibuk menawarkan barang dengan beragam cara. Pembelinya adalah rakyat Indonesia yang boleh jadi terbagi atas beberapa kategori, mulai dari yang acuh, sampai yang sinis melihat realitas politik. Kata Subangun, ranah politik ibarat sebuah pameran lowongan kerja di mana banyak orang akan sibuk berbondong-bondong masuk ke dalam antrian. Tema-tema kerakyatan serta kesejahteraan menjadi jurus ampuh untuk memikat pencari kerja. Maka, berdirilah banyak partai politik baru dengan para personel yang berharap dapat tambahan penghasilan baru.

Masalahnya, analisis itu hanya tepat bagi mereka yang pengangguran dan ingin masuk partai politik demi penghasilan baru. Lantas, bagaimana dengan mereka yang udah kaya? Jawabannya ada dua hal. Pertama, mereka ingin tambah kaya sebab akan mendapatkan insentif dari semua proyek pembangunan yang ada di daerahnya. Kedua, mereka ingin melestarikan kekayaannya dengan cara membangun dinasti politik yang kelak mengamnkan semua aset dan kekayaannya. Itulah politik Indonesia. Masih tak beranjak dari urusan perut dan arena pamer kekuasaan.
Saya merasa geli karena selama ini saya termasuk orang yang kadang terjebak arus dan suka mensakralkan politik. Sering saya terkagum-kagum saat melihat para politisi sibuk kampanye dan memberi janji-janji kepada warga. Saya kadang terjebak juga dengan kekaguman banyak orang karena seorang kandidat di pilkada punya baliho paling cantik. Saya pernah juga tersentuh dengan janji-janji yang katanya hendak mensejahterakan orang banyak. Padahal, sebagaimana diisyaratkan Subangun, para politisi itu tidak lebih dari penjual obat yang sedang sibuk menawarkan dagangan. “Pokoknya, barangnya laku dulu. Persoalan apakah obat itu manjur atau tidak, itu adalah urusan belakangan,” demikian kata penjual obat di kampungku saat kutanya rahasianya.

Nah, bagaimana dengan persoalan ideologi partai? Ah... itu semua Cuma strategi marketing saja kok. Persoalan ideologi itu tak ada bedanya dengan teriakan yang mengabarkan sejauh mana kecanggihan obat tersebut. Semuanya hanya persoalan bagaimana agar “jualan” tersebut dengan gampang terjual ke publik. Makanya, analisis yang memetakan kekuatan nasionalis dan islami itu hanyalah analisis yang lucu-lucuan, tanpa melihat konteks apa yang sesungguhnya terjadi. Hari ini, saya baca Kompas, dan menemukan analisis serupa dilontarkan pengamat politik Indra J Piliang dan Sukardi Rinakit. Mereka menganalisis kemenangan kader PKS dan PAN di Pilkada Jabar. “Suara kubu nasionalis terpecah jadi dua. Makanya, kubu Islam bisa melenggang dan jadi pemenang,” kata Indra.

Ini analisis terlucu yang pernah saya dengar. Bayangin, mereka berpikir bahwa realits nasionalis dan Islami seolah-olah itu adalah realitas yang sejati atau real. Apakah ada realitas itu? Ah saya tidak yakin. Saya rasa, batas-batas realitas itu sudah kabur dan harus diperdebatkan. Padahal, itu cuma persoalan bungkus saja. Itu cuma persoalan kemasan yang hendak ditawarkan kepada orang banyak. Kemasan yang sama saja dengan gaya retorik penjual obat yang sedang berteriak, “Obat ini didatangkan langsung dari Jerman, Lihat saja bentuknya seperti rudal yang akan langsung membom penyakit bapak-bapak. Makanya beli obat saya,” katanya. Yah.... inilah politik.(*)


Skor TOEFL-ku 504

AKHIRNYA saya berhasil mencapai skor TOEFL sebesar 504. Hari ini saya bahagia dan seakan berjalan di udara saat mengetahui pencapaianku tersebut. Minggu lalu, hanya berhasil mendapatkan point 485. Ternyata, dalam waktu seminggu, berhasil ditingkatkan. Saya bahagia sebab ternyata pelatihan yang kuikuti bisa mendapatkan hasil yang cukup signifikan.

Awalnya, saya agak pesimis untuk melihat skorku. Pada saat tes TOEFL, pensilku tiba-tiba patah saat hendak menjawab soal listening. Kemudian, dialog dalam bahasa Inggris yang harus kukenali, suaranya agak aneh. Seperti mendengar suara robot yang sedang berbicara. Makanya, semangatku langsung down dan seakan putus asa. Saat itu, saya berpikir bahwa pelajaran berharga saat hendak test TOEFL berikutnya adalah siapkan semua perlengkapan secara lebih baik sehingga bisa berkonsentrasi menjawab soal yang diajukan. Semoga test minggu ini saya bisa mendapatkan hasil yang lebih baik. Amin…

Mengintip Nadine di Wakatobi


HARI ini, saya tersentak melihat foto Nadine Chandrawinata di Harian Kompas, Minggu (13/4). Mantan Putri Indonesia itu sungguh cantik dan selalu punya sesuatu yang memaksa mataku terus terpaku menatapnya. Nadine adalah magnet yang menarik seluruh imaji dan hasrat liarku. Namun, bukan alasan kecantikan itu yang membuat saya tersentak hari ini. Saya menyaksikan Nadine berpose dengan pakaian Kombo Wolio, baju adat bagi remaja putri di Pulau Buton. Ini bukanlah baju para bangsawan. Bukan pula baju yang digunakan saat menikah. Kombo Wolio adalah pakaian adat yang dikenakan remaja perempuan.

Dalam petualangan ke Wakatobi, Nadine mengenakan baju adat tersebut setelah sebelumnya ia dilantik sebagai Duta Wakatobi untuk mempromosikan keindahan pesona bawah laut ke penjuru dunia. Baginya, kawasan Wakatobi adalah kawasan bawah laut yang terindah di dunia. “Kalau bukan kita, siapa lagi? Saya sudah melihat banyak dasar laut di Indonesia dan Wakatobi ada di papan atasnya,” katanya sebagaimana dikutip Kompas. Hari itu, ia laksana bidadari yang turun dari khayangan. Ratusan warga Wakatobi berjubel untuk bisa berpose dengannya. Ia lelah, namun tak kuasa menahan luapan bahagia massa yang selama ini hanya bisa menyaksikannya berlenggok di layar kaca.

Meski hanya membaca berita dan mendengar kisahnya dari teman-teman di Wakatobi, saya sungguh bangga. Bayangkan saja, Nadine, sang Putri Indonesia itu, mengenakan pakaian adat dari sebuah bangsa yang selama ini tak pernah tercatat dalam sejarah dan memori kolektif orang Indonesia. Sebuah bangsa yang –meminjam istilah antropolog Marshal Sahlins—seakan-akan diabaikan dan sengaja diabaikan dalam pulau-pulau sejarah kontemporer. Sebuah bangsa yang hanya disebut sekedar sebagai catatan kaki yang tidak penting dari sejarah bangsa ini.

Ribuan pulau di gugusan Indonesia, ribuan daratan terbentang di sepanjang jazirah Nusantara. Namun, adakah yang mengingat bahwa salah satu di antaranya adalah gugusan kepulauan Wakatobi? Adakah yang mematri satu kenangan tentang Buton yang di dalamnya terdapat gugusan pulau-pulau menakjubkan termasuk Wakatobi? Memori kolektif orang Indonesia hanyalah diisi dengan catatan tentang kejayaan. Namun di Buton dan Wakatobi, tak banyak kisah selain dari kebersahajaan dan kearifan menantang samudera. Orang-orang Wakatobi punya kisah bagaimana gelora samudera menjadi bagian dari sesuatu yang mengisi hari-hari mereka.

Ini bukan Bugis atau Makassar yang sejak dulu sudah menjadi kebudayaan dominan dan ekspansif di kawasan timur. Ini adalah Wakatobi dan kebudayaan Buton yang sejak dulu punya kebersahajaan, namun menjelajah sebagai salah satu bagian dari bangsa di kitaran timur Nusantara. Bangsa Buton yang seakan terlahir untuk menaklukan laut dan berkelana di sepanjang batas lautan. Jika Bugis punya phinisi, maka mereka punya lambo dan sope-sope yang kemudian menjadi medium untuk nentang laut.

Kembali ke soal Nadine. Ada rasa bangga ketika melihatnya mengenakan baju adat tersebut. Belakangan ini, nama Wakatobi kian populer di kalangan turis dan mereka yang mencintai dunia bawah laut. Berdasarkan pengalamanku, nama Wakatobi seakan menjadi misteri yang eksotis dan menantang untuk dijelajahi. Salah seorang dosenku di UI, Dr Riga Adiwoso, termasuk orang yang sangat penasaran untuk menyaksikan langsung Wakatobi. Dalam salah satu perbincangan, ia mengungkapkan kepenasarannya untuk menyaksikan langsung indahnya pemandangan pantai Wakatobi kemudian menyelam dan menyaksikan pemandangan bawah laut Wakatobi yang tersohor itu.

Saat kutanya lebih jauh tentang sejauh mana pengetahuannya tentang Wakatobi, dosenku itu hanya bisa menggeleng. Ia tak banyak tahu selain dari eksotisme pantai serta bawah laut yang banyak dituturkan orang-orang. Bagiku, ini adalah fenomena yang menarik untuk didiskusikan. Ternyata, manusia modern selalu saja merindukan nuansa eksotisme serta suasana di mana alam masih terjaga dan tidak dirambah oleh mesin besar modernisasi.(*)

13 April 2008


Konser DEBU di Kampus Unhas


LELAH di sela-sela kesibukan di Makassar, saya singgah menyaksikan konser musik DEBU di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas). Kelompok musik DEBU mengusung musik dengan nuansa spiritual dan sufistik. Mereka menggunakan beragam instrumen dari timur tengah dengan syair yang sangat menyentuh, yang terinspirasi dari syair sufistik ulama besar Jalaluddin Rumi.

Saya selalu tersentuh setiap mendengar musik dengan lirik yang sufistik. Apalagi jika dinyanyikan DEBU, yang semua personelnya berasal dari satu keluarga. Mereka adalah warga Amerika Serikat (AS) yang justru mengalami kegandrungan terhadap Islam dan menjadikannya sebagai jalan hidup dan mata air kebahagiaan. Mereka berwajah barat, berambut pirang, mata biru, serta wajah yang gagah dan cantik. Melihat personelnya, saya serasa menyaksikan konser Westlife, namun dengan versi yang berbeda. Mereka tidak sedang menyanyikan lagu-lagu barat. Mereka justru menyanyikan lagu dengan irama Melayu dan dipengaruhi musik sufistik berlatar Timur Tengah.

Fenomena DEBU adalah fenomena yang menarik dibahas. Di saat begitu banyak orang Indonesia tergila-gila pada peradaban barat, mereka justru berpaling ke timur. Di saat banyak remaja Indonesia mengecat rambutnya dengan warna pirang dan mengidolakan mereka yang berwajah indo atau bule, para personel DEBU justru memilih melihat timur dan mendedikasikan hidupnya di jalan Islami. Mereka melawan arus atau mainstream pemikiran yang melihat barat selalu identik dengan kemajuan atau peradaban yang unggul.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mendengar kisah kelompok ini. Mereka datang ke Makassar demi memenuhi undangan dari Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Prof Dr Abdurrahman Basalamah. Kemudian, mereka lalu tinggal di satu pesantren kecil di salah satu desa di pangkep. Mereka memilih cara hidup yang sederhana dan menjauhkan diri dari hiruk-pikuk perkotaan. Mereka memilih jalan Islami sebagaimana diajarkan guru sekaligus orang tuanya yaitu Syekh……. (ah.. lupa namanya)

Persolannya, bagaimana membedah DEBU dengan menggunakan perangkat analisis sosial. Apakah ini fenomena kejenuhan pada kaidah modern sebagaimana pernah diterawang Emile Durkheim? Bisakah mereka dilihat sebagai fenomena krisis rasionalitas sebagaimana pernah diurai Daniel Bell? Mungkin Durkheim dan Bell benar. Meskipun saya merasa pemikiran itu kurang adil bagi DEBU. Bagaimanapun, mereka bukanlah sekedar obyek yang jenuh pada modernisasi. Mereka adalah subyek yang memilih sesuatu atau mengguratkan jejak sejarahnya sendiri pada kanvas kehidupan. Barangkali mereka menyadari bahwa kemajuan, peradaban, serta modernisasi hanyalah konsep-konsep belaka yang lahir dari cara pandang manusia atas kenyataan. Barangkali mereka menyadari bahwa apa yang disebut kemajuan itu adalah kamuflase dan ilusi yang diciptakan kaum kapitalis yang hendak mencengkram dunia. Sebuah ilusi dari keserakahan manusia yang hendak memangsa semesta demi memenuhi isi perutnya. DEBU sedang melawan semua itu dengan gigih. Mereka memilih hidup pada jalan kebersahajaan. Sebuah hidup yang selalu diselimuti bahagia.(*)

8 April 2008

Hadiah dari Harwan

SAYA harus berterima kasih pada sahabatku Harwan Andi Kunna. Kemarin, dia mengkopikan banyak jurnal asing tentang tema kebudayaan, antropologi, komunikasi, hingga teori sosial lainnya. Selama ini, Harwan sangat rajin men-download jurnal asing demi mengatasi rasa hausnya pada ilmu pengetahuan. Terima kasih Harwan……