Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Selamat Ultah buat Tiah


HARI ini, 31 Maret, kakak saya Sitti Rahmatiah berulang tahun. Di hari yang penting ini, saya senantiasa melimpahkan doa agar dirinya tetap mendapatkan keberkahan dari Yang Maha Pencipta. Semoga dirinya tetap dilimpahkan kasih dan sayang dari-Nya, dilebihkan semua rezeki, dan dimudahkan segala urusan. Amin. Selamat ulang tahun...

Cinderella Itu Bernama Kate Middleton

Pangeran William dan kekasihnya Kate Middleton

KITA, manusia modern, selalu saja membutuhkan kisah dongeng. Bahkan di zaman millenium, ketika manusia tidak lagi menunggang kereta kuda melainkan pesawat nuklir, sebuah dongeng tetap saja aktual. Kemudian kita akan menghabiskan waktu untuk membahas segala dongeng tersebut, memikirkan betapa megahnya pentas dongeng yang dihadirkan, lalu memandang dengan tatap penuh iri, sembari berharap jika keajaiban itu datang pada diri kita. Bukankah demikian?

Hari ini, saya berkunjung ke stand majalah asing di satu toko buku. Betapa saya terkejut ketika melihat mayoritas liputan majalah tertuju pada rencana pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton. Majalah Reader Digest menyebut pernikahan ini dengan judul besar Wedding of the Decade. Pernikahan ini disebut-sebut seperti pernikahan megah abad pertengahan yang akan menyita perhatian publik dunia. Bukan saja karena kemewahannya, namun kisah-kisah kerajaan yang serupa dongeng, hasrat para selebriti atau pesohor untuk diundang ke pernikahan ini, serta bombardir liputan media yang mewartakan pernikahan ini sebagai yang terbesar di abad ini, bahkan lebih besar dari pernikahan Pangeran Charles dan Lady Diana, tahun 1981 lalu.

pernikahan Lady Diana dan Pangeran Charles tahun 1981 lalu
Kisah William dan Kate serupa kisah negeri dongeng. Keduanya berasal dari latar berbeda. William seorang bangsawan, cucu Ratu Elizabeth II, yang disebut-sebut akan masuk daftar pemimpin Kerajaan Inggris setelah ayahnya Pangeran Charles. Sementara Kate Middleton bukanlah bangsawan. Ia hanyalah wanita dari latar keluarga kelas menengah, namun memiliki kualitas kecerdasan, kebijaksanaan, serta kedewasaan, yang kemudian membuat William jatuh hati. Sebagaimana Lady Diana, ibu William, Kate didaulat media sebagai metamorphosis Cinderella di abad modern. Pantas saja jika pernikahan itu dinantikan banyak orang.

Pernikahan ini disebut akan dikemas dalam tradisi kerajaan yang sudah berusia ratusan tahun. Konon, Kate akan pergi ke Westminster Abbey dengan mobil pada 29 April mendatang dan kemudian berkeliling ke mal, parade kuda, Whitehall, dan gedung parlemen. Lalu, Uskup Agung Canterbury akan menikahkan William dan Kate. Uskup London akan memberikan nasihat pernikahan, yang semua itu dipimpin oleh petinggi Westminster. Setelah itu, pasangan tersebut akan menuju Istana Buckingham untuk menggelar resepsi pribadi, bersama keluarga, dan teman-teman dekatnya. Akan ada dansa, pameran seni, serta pesta pora beberapa malam.

Pernikahan ini memang disebut sebagai pernikahan termahal. Reader Digest menampilkan liputan tentang permata-permata yang dikenakan oleh Kate di hari penting itu, gaun-gaun mewah, properti kerajaan, ritual pernikahan, serta pesta besar menyambut pernikahan. Juga diberitakan tentang hasrat para selebiritis dunia yang ingin sekali diundang di acara ini. Jauh-jauh hari, Elton John mengklaim telah diminta untuk menyanyi di acara ini, meski belakangan pihak Istana membantahnya. Kemudian Victoria Beckham dan David Beckham sampai harus mengemis-ngemis agar bisa diundang. Ada begitu banyak kisah tentang selebriti yang sangat ingin diundang berpartisipasi di acara megah ini dan tidak mungkin semuanya dipaparkan di sini.

Lapis-Lapis Realitas

Kate Middleton
Saya melihat bahwa banyak pula pernikahan mewah, namun masih kalah heboh dari pernikahan ini. Makanya, saya lebih suka melihat pernikahan ini sebagai titik pusat gravitasi perhatian masyarakat dunia yang dikonstruksi oleh media massa. Begitu derasnya liputan media, membuat pernikahan ini serasa pernikahan impian yang diinginkan semua orang. Bahkan di negeri seperti Indonesia, yang jauh dari kiblat kekuasaan Kerajaan Inggris, berita pernikahan William dan Kate tetap saja menjadi berita besar yang dibahas terus-menerus. Nah, saya melihat di balik pernikahan megah ini terdapat beberapa lapis realitas yang isyarat penting demi menjelaskan situasi zaman kita hari ini.

Pertama, pernikahan ini adalah selubung indah dari kapitalisme. Sebagaimana pernah dikemukakan sosiolog George Ritzer, kapitalisme hadir lewat bujuk rayu dan kisah serupa negeri dongeng. Makanya, pernikahan ini bukan cuma sesuatu yang alamiah sebagaimana pertemuan dua insan, namun sudah bertransformasi sebagai arena kontestasi yang menawarkan display dari berbagai produk yang diluncurkan secara bersamaan. Pernikahan ini menjadi catwalk besar sehingga semua produk-produk mahal dipamerkan hingga menggoda banyak pesohor dunia.

Beberapa perusahaan seperti Alcatel meluncurkan ponsel khusus yang disesuaikan dengan momen pernikahan kerajaan antara William dan Kate. Selain ponsel, perusahaan elektronik General Electric (GE) juga membuat sebuah kulkas dihiasi gambar pasangan William dan Kate. Kalau anda membaca liputan media terbaru, di situ ada cerita tentang mereka yang terlibat di pernikahan, seperti perusahaan pembuat film dokumenter, perusahaan penyedia karangan bunga, perusahaan penyedia pasukan pengamanan, hingga –yang menakjubkan– perusahaan penyedia permata safir biru yang dikenakan Kate Middleton. Permata yang kemudian menjadi trend, banyak perusahaan yang membuat duplikatnya yang lalu laris manis di Inggris dan Eropa.

Kedua, pernikahan ini kian menegaskan bahwa masyarakat kita memang masih menyenangi sesuatu yang disebut dongeng. Masyarakat kita sudah bertransformasi dengan amat cepat, akan tetapi tetap saja membutuhkan kisah-kisah yang romantis serupa kisah negeri dongeng. Sejauh pengamatan saya, terdapat begitu banyak liputan media yang menggambarkan kisah romantic mereka.

Kisah mereka digambarkan putus nyambung hingga beberapa kali selama beberapa tahun. Mereka diketahui pacaran tahun 2005 ketika bermain ski es di Swiss. Selanjutnya putus lagi di tahun 2007 saat Kate melihat foto Pangeran William yang memeluk seorang wanita cantik di klub. kate memutuskan cinta mereka. Kate mengekspresikan kesedihannya dengan menjadi pribadi yang berbeda. Kate yang dikenal sebagai wanita berpakaian santun tiba-tiba ketahuan berpesta gila-gilaan dengan saudaranya, Pippa dengan menggunakan rok mini.

Kate dikenal sebagai “Waity Kattie”, istilah karena Kate setia menunggu William dan percaya bahwa William memang untuknya. William pada akhirnya menyadari betapa ia telah kehilangan Kate setelah melihat foto-foto Kate yang menikmati hidup. Dibalik foto-foto ceria Kate, sesungguhnya Kate merana. Tiga bulan setelah perpisahan tersebut, William mengundang Kate ke pesta kostum di baraknya di Bovington, Dorset, Inggris. Sejak saat itu, mereka kembali sebagai pasangan.

Puncaknya adalah ketika William melamar Kate saat mereka berlibur di Kenya. William menyembunyikan cincin milik ibundanya (Lady Diana) yang dulu digunakan Prince Charles saat melamar Lady Diana pada tahun 19821. William melamar Kate dengan sangat romantis dan personal, meski mereka enggan bercerita detailnya seperti apakah Sang Pangeran berlutut saat melamar Kate dan mengenakan cincin tersebut di jari manis Kate. Wow.. It’s so romantic!

Ketiga, industri kapitalisme selalu saja membutuhkan ikon untuk selalu mengundang hasrat public. Industri media selalu membutuhkan Cinderella baru untuk memantik simpati public sehingga deg-degan mengikuti kisah ini. Jika beberapa tahun silam, Lady Diana menjadi ikon Cinderella itu, maka gelar itu akan jatuh ke Kate Middleton. Beberapa bulan lalu, saya membaca liputan Yahoo yang berjudul Is Kate Middleton the new Princess Diana? Sementara tabloid The Sun juga menulis: Kate Middleton Trumps Princess Diana as queen of fashion. Pada harian lain, The Sun juga menulis: Princess Diana’s legacy to burden Kate Middleton.

Memang, banyak yang membandingkan kisah kate dengan Diana. Namun benarkah sama persis? Christopher Andersen, sang penulis buku William and Kate: A Royal Love Story, menyatakan bahwa walau keduanya sering disamakan sebagai wanita beruntung pilihan Pangeran Inggris, namun Kate dan Diana bagai dua kutub yang berbeda. “Ada perbedaan besar. Diana masih berusia 19 tahun ketika dia masuk ke dunia ini. Semua orang juga menganggapnya sudah tahu aturan karena dia adalah seorang aristokrat. Tapi dia dibiarkan sendiri. Dia tahu dari awal kalau suaminya mencintai wanita lain. Ini masalahnya dari awal. Pangeran Charles tidak mencintainya,” ungkap Andersen.

Lantas, bagaimana dengan Kate? “Dalam hal ini, Kate tidak hanya sudah 29 tahun, tidak hanya dia sudah berpacaran selama 9 tahun dengan William, tapi juga karena keduanya punya komitmen yang sangat besar bersama,” terang pria ini.  Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa Kate dan Diana memang punya persamaan sebagai wanita yang hidup bak putri dalam dongeng. ‘Tapi nyatanya, mereka memang punya persamaan, seperti Kate yang sudah jadi ikon fashion, dan potensi yang besar untuk jadi selebriti,’ tutupnya. Hmm, apakah kita masih menganggap Kate sebagai duplikat Diana?

Pada akhirnya, pernikahan ini adalah sebuah panggung besar yang menjadi arena display dari industri dan produk. Meskipun sebagai konsumen media kita jenuh menyaksikannya, namun selalu saja hadir kisah-kisah romantic yang memantik hasrat ingin tahu dan kekaguman tentang betapa mewahnya pernikahan ini. Kisah Cinderella itu hanyalah pemantik agar kita terus setia mengikuti perkembangan pernikahan ini serta tergoda untuk memiliki salah satu permata yang dikenakan Kate Middleton. Dan di saat bersamaan, kita kemudian melupakan segala problem yang sedang mendera hidup kita, melupakan timbunan masalah yang menyesakkan hari-hari kita. Yah…. Ini memang bukan zaman Cinderella. Tapi selalu saja ada Cinderella yang terlahir di muka bumi ini untuk menghipnotis kita. Dan hari ini, Cinderella itu bernama Kate Middleton.(*)


Jakarta, 30 Maret 2011
setelah lebih dua bulan vakum dari Kompasiana


Mereka yang Segera ke Belanda

SEBANYAK enam orang sahabat sekelas akan bersiap-siap ke Belanda. Mereka akan berangkat tanggal 9 April mendatang dengan menumpang Garuda Indonesia tujuan Amsterdam. Beberapa hari ini mereka sibuk menyiapkan keberangkatan. Mulai dari mencari tas pakaian (koper), berpamitan dengan keluarga, serta menyelesaikan hal-hal yang belum kelar. 

teman-teman penerima IFP Fellowship di Kelas B, LBI UI
Mereka diterima di beberapa universitas bergengsi di beberapa kota di Belanda seperti Wageningen, Uttrecht, ISS, hingga Groningen. Rencananya, mereka akan menjalani pelatihan bahasa di Maatscricht, sebuah kota kecil yang terletak di perbatasan antara Belanda dan Jerman. 

Sebulan setelah mereka, berikutnya kawan-kawan yang ke Inggris akan segera menyusul. Rata-rata mereka sudah terima Letter of Acceptance (LOA) dari kampus-kampus di Inggris seperti Manchester, Liverpool, dan Birmingham. Mereka pun sudah mulai menyiapkan keberangkatan.

Sementara saya dan beberapa teman lain masih dalam suasana penantian. Kami belum tahu kapan dan hendak ke mana. Tapi saya cukup menikmati penantian ini. Berangkat atau tidak, bagi saya sudah tidak menjadi tema penting. Saya memiliki misi yang jauh lebih penting dari keberangkatan tersebut. Untuk misi tersebut, saya sudah tidak sabar untuk segera meninggalkan Jakarta.(*)

Ideologi Versus Epistemologi dalam Kajian Kebudayaan

salah satu tarian Buton sebagai kebudayaan yang perlu diwariskan

DALAM setiap diskusi kebudayaan, saya selalu menemui masalah ketidaksiapan untuk menerima segala sesuatu apa adanya. Kita terlanjur memelihara keyakinan bahwa kebudayaan kita adalah sesuatu yang hebat, dikagumi bangsa-bangsa lain, serta menunjukkan keperkasaan atau kedigdayaan bangsa kita. Di satu sisi, ini memang positif sebab menunjukkan sejauh mana nasionalisme bekerja dan menjadi energi yang mendorong majunya suatu kebudayaan. tapi di sisi lain, ini akan menjadi masalah sebab menunjukkan ketertutupan serta potensi untuk dininabobokan dalam setiap diskusi menyangkut tema ini.

Para antropolog menyebutnya sebagai romantisisme kebudayaan. Romantisisme adalah produk dari idealisasi. Setiap kebudayaan selalu saja memiliki romantisisme sendiri-sendiri karena hanya dengan cara demikianlah kebudayaan bisa tetap menjadi the way of life. Bahkan para peneliti pun kerap kali terbius oleh romantisisme kebudayaan. Mereka lalu mereproduksi wacana yang romantis tentang satu kebudayaan, menganggapnya seolah tidak pernah salah, hingga melihatnya sebagai kebenaran absolut yang diwariskan dari pengetahuan masa silam untuk diawetkan generasi masa kini.

Pertanyaan kritis yang selalu saya ajukan adalah jika memang masa silam itu memang gemilang atau jaya, lantas, mengapa harus mengalami keterputudan sejarah di masa kini? Mungkin jawabannya adalah kolonialisme bangsa barat. Tapi kembali muncul pertanyaan, jika halnya adalah kolonialisme, bukankah nenek moyang kita juga memiliki tradisi yang agung dan adiluhung? Lantas kenapa mereka harus takluk dan kemudian menitip pesan kepada anak cucunya agar meromantisasi segala hal yang terjadi sebelum mereka kalah?

Mungkin ini adalah faktor politik dan kekuasaan. Nenek moyang bangsa kita adalah nenek moyang yang kalah. Mereka takluk oleh bedil sehingga dengan segera mereproduksi berbagai mitos yang menguatkan dirinya di mata anak cucu. Mereka lalu membangun cerita yang menunjukkan kehebatan, adiluhung, keperkasaan, kekuatan, atau kedigdayaan. Kolonialisme telah mengajarkan kita bahwa sehebat apapun kehebatan nenek moyang kita dalam hal kebudayaan, mereka takluk dan tak berdaya melawan sains dan teknologi. 

Bangsa Eropa tak punya ajian, juga tak punya gada wesi kuning, atau pusaka keris dari gua di Pulau Buton, namun mereka sukses mengalahkan para raja-raja kecil di daerah, sukses mengamankan jalur dagang dan membawa timbunan rempah-rempah ke negeri seberang. Catat pula, luas wilayah Netherland hanya sebesar wilayah Jawa Barat, akan tetapi penduduknya sanggup mencaplok negeri yang luasnya demikian besar dan demikian kaya-raya.

Saya sering bertanya-tanya. Lantas, mengapa pula kita harus menjunjung tinggi kebudayaan yang diwariskan pada kita hari ini? Jika alasannya adalah demi menjaga kontinuitas kebudayaan, bukankah kebudayaan itu adalah energi yang tumbuh dari suatu masyarakat di setiap zaman? Namun, saya tetap berprasangka positif. Upaya mempelajari kebduayaan mestinya diarahkan untuk memahami suatu masyarakat sehingga bisa memfasilitasi mereka untuk menumbuhkan efek-efek dinamik dalam kebudayaannya sehingga bisa survive dan berkembang. Upaya mempelajari kebudayaan bukanlah untuk memuji-muji secara berlebihan, kemudian menganggap bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari yang lain, sehingga seolah menaklukan dunia. Upaya mempelajari kebudayaan adalah mempelajari hikmah-hikmah dari zaman, menemukan hukum-hukum yang sifatnya universal serta memiliki relevansi dengan masa kini, sehingga menjadi bedil yang memporak-porandakan pandangan yang melihat satu kebudayaan sebagai segala-galanya.

right or wrong is my culture
Masalahnya dalah banyak di antara kita yang menjelmakan kebudayaan sebagai ideologi. Bagi saya, ada perbedaan antara ideologi dan sains (ilmu pengetahuan). Jika epistemologi adalah sesuatu yang meniscayakan keterbukaan, maka ideologi justru meniscayakan ketertutupan. Jika dalam epistemologi ada dialog, maka dalam ideologi, tidak pernah ada dialog. Segalanya serba tertutup. Dalil yang sering dikemukakan penganut ideologi dalam kebudayaan adalah: “Anda bisa saja menunjukkan kesalahan keyakinan saya, namun saya tidak akan menerimanya. Sebab keyakinan saya selalu benar. Titik!”

Lantas, dengan cara apa kita melakukan diskusi kebudayaan. Diskusinya harus mengarah pada ruang epistemologis. Konsekuensinya adalah semua pihak mesti berpikir terbuka dan tidak mudah tersinggung. Semua pihak mesti berjiwa dan melihat setiap argumentasi sebagai bagian dari dinamika berpikir yang kelak akan mmperluas perspektif kita akan sesuatu. Jika tidak siap berpikir terbuka, maka kebudayaan akan selalu diromantisir. Sebenarnya, taka pa meromantisir, tapi kadang terlalu berlebihan. Pantas saja ada cerita tentang tokoh lokal yang mengalahkan Nabi Muhammad dalam adu tanding kesaktian. Wah, kalau ini sih sudah bisa dikatakan sebagai upaya memanipulasi sejarah. What?

BACA JUGA:







Mencari Harta Karun di Pancawati

HARI ini badan saya masih amat lelah gara-gara kemarin seharian mengikuti outbond di Lembur Pancawati, Bogor. Konsep outbond ini adalah untuk mengasah kepemimpinan (leadership), mufakat (commitment), serta belajar (learning). Namun, materi tidak diajarkan dalam kelas, dalam suasana yang kaku. Materi tersebut diperkenalkan melalui outbond serta aktivitas yang dilakukan secara bersama-sama. Saya mengikuti outbond ini bersama teman-teman dari The Indonesian International Education Foundation (IIEF). Selama outbond, kami diberikan tantangan, kemudian menjawab tantangan tersebut lewat kerjasama tim serta upaya untuk menyelesaikan masalah secara bersama-sama.

ilustrasi
Outbond ini diadakan di Lembur Pancawati, Bogor. Tempatnya sangat indah sebab terletak di kaki Gunung Bungalow. Posisinya tepat di bibir sebuah tebing, dan untuk menuju ke bawah, kita mesti melewati sebuah tangga yang sangat tinggi. Namun keindahan dari tebing dan dari lembah sama-sama memukau. Konsep Lembur Pancawati ini adalah konsep tradisional namun telah mengalami sentuhan modern. Semua bangunan terbuat dari bambu. Kemudian banyak tempat bersantai. Pengelolanya nampak serius menyiapkan tempat ini dengan keindahan artistik yang terjaga. 

Pihak pengelola Pancawati menyiapkan tempat itu dengan fasilitas yang sangat lengkap. Selain banyak bangunan pertemuan serta penginapan serta villa, ada juga kolam renang, track sepeda, track permainan mencari harta karun, wisata desa, arung jeram, ronda kampung, flying fox, serta outbond. Fasilitasnya lengkap, tempatnya juga eksotis, khususnya buat mereka yang terbiasa diterjang polusi dan hawa panas Jakarta. Tempat ini serupa oase yang menawarkan kesejukan dan oksigen yang bersih. Saya merekomendasikan tempat ini buat mereka yang hendak menikmati alam, sekaligus belajar mencintai alam semesta. Pancawati juga memiliki banyak instruktur yang dilatih khusus untuk itu. Kemarin saya banyak berbincang dnegan seorang instruktur bernama Ais (sstttt..... anaknya manis lho...)

Kemarin, saya mengitari semua tempat-tempat eksotis ini. Lewat permainan semacam mencari jejak, bersama teman-teman, kami dibekali peta dan mesti mengumpulkan point yang disebar di pegunungan dan lembah-lembah. Ini semacam pencarian harta karun. Makanya, saya sangat antusisas mengikutinya. Walaupun sempat tersesat beberapa kali, akhirnya kami sukses juga mencapai titik akhir. Memang melelahkan. Tapi sangat menyenangkan.

ilustrasi
Hari ini, tubuh saya masih lelah setelah seharian mengitari gunung dan lembah. Sayang sekali karena cuma sehari. Saya masih ingin berlama-lama dan menikmati fasilitas yang ditawarkan Pancawati. Saya masih ingin mencoba bersepeda di pedesaan, mengikuti wisata desa, serta melihat interaksi antara wisatawan dan warga desa. 

Saya membayangkan itu akan jadi liputan yang sangat menarik tentang perjumpaan dua kebudayaan. Saya ingin sekali melihat aktivitas bersama warga desa, ketimbang sekadar mengagumi keindahan alam. Apa boleh buat sebab di outbond  ini posisi saya sebagai orang kota yang seolah tak pernah melihat eksotisme alam. Padahal, keindahan alam di pulau tempat saya besar tak kalah eksotik. Tapi okelah sekadar buat melepas kepenatan akibat tugas-tugas dan aktivitas perkuliahan.

Sayang sekali karena waktu yang membatasi. Mudah-mudahan, kelak saya bisa berkesempatan untuk kembali mengunjungi tempat ini. Kemarin saya belajar bahwa Pancawati di Bogor bukan sekadar tempat outbond yang indah. Namun sebuah harta karun yang dijaga untuk dilestarikan. Bukan villanya. Melainkan alam semesta yang eksotik, menawan, dan tetap memberi kesejukan bagi siapapun yang singgah ke tempat itu, meskipun untuk sejenak.(*)

NB

Foto-foto kegiatan ini akan segera menyusul...

Perlukah Financial Planning?

SAYA bukan seorang yang pandai mengelola keuangan. Saya tipe orang yang tidak bisa menyimpan uang. Saya pandai menghabiskan uang dalam sekejap. Ini memang kebiasaan buruk dan sudah saatnya untuk dihentikan. Belakangan ini, saya merasakan benar betapa pentingnya membuat manajemen perencanaan keuangan yang baik dalam sebuah keluarga.


Tadi, saat ke toko buku, saya membaca buku tentang perencana keuangan (financial planning). Isinya sangat praktis dan menihok kebiasaan buruk untuk menghabiskan uang skeetika. Saya cuma membacanya sebentar, tapi saya bisa menangkap isi buku serta langkah-langkah untuk mewujudkan perencanaan keuangan. Dalam buku itu, saya tersentak saat disodori fakta bahwa ada begit banyak kelas menengah di Indonesia. Batasan kelas menengah di sini adalah mereka yang punya pekerjaan atau penghasilan, bisa membeli barang bermerek, namun tidak punya rumah alias masih numpang dengan orang tua. 

Menurut buku ini, kelompok kelas menengah ini rata-rata tidak punya perencanaan matang tentang ke mana anak-anak akan bersekolah, tidak punya rencana tentang dengan cara apa mencukupi kebutuhan saat pensiun, termasuk tidak punya tabungan cukup untuk saat-saat insidentil, misalnya sakit atau kecelakaan.

Saya membaca buku ini hanya sekilas. Namun, tiba-tiba saja saya langsung memikirkan betapa pentingnya membuat perencanaan keuangan. Mungkin sudah saatnya membuat perencanaan matang berupa pemasukan setiap bulan, lalu alokasi ke mana uang mengalir, serta menyisihkan untuk tabungan. Sebab hanya dengan perencanaan matang, maka gaji yang sedikit itu bisa bersisa sehingga ada dana cadangan utuk keperluan yang sifatnya mendesak, termasuk menyiapkan dana untuk bersenang-senang setelah sebelumnya menyusun prioritas penting untuk masa depan.

Hampir delapan bulan saya menjadi kepala keluarga. Namun, semuanya seolah mengalir begitu saja. Saya seolah mengikuti arus mengalir, tanpa membuat rencana yang matang. Mungkin sekaranglah saatnya memutus kebiasaan buruk tersebut.(*)

Cinta Serupa Embun



....
Cinta serupa jembatan yang menautkan dua hati. 
Tidak selalu untuk menyempurnakan, 
melainkan untuk membangun kesepahaman 
bahwa setiap insan selalu memiliki kelemahan. 
Cinta memberikan napas, oksigen, 
serta nyawa yang mengatasi ketidakpahaman, 
memintas jarak dua hati, 
serta menjadi embun penyejuk 
di tengah kerontang kerinduan akan kasih sayang. 
Cinta serupa embun yang lalu menganaksungai, 
memberikan kesuburan, 
serta kekuatan untuk selalu menerima sesuatu 
dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang...


Penari Perut Amatiran

penari perut

Nampaknya Dwi sedang menari perut. Tapi ini cuma nampaknya. Ia berdiri di belakang sebuah gambar perempuan penari perut. Namun, wajahnya bisa nongol di situ. Di lihat sepintas, serasa sedang menari. Tapi setelah di lihat beberapa pintas, ternyata cuma berfoto di dekat dinding tripleks yang bergambar penari perut. Tapi kok mirip ya? Jangan-jangan gadis ini berbakat sebagai penari perut amatiran. hihihihi.....

Senang atas Hasil Toefl IBT


SATU misi telah sukses ditunaikan. Saya datang ke Jakarta dengan harapan untuk menaikkan skor kemampuan bahasa Inggris. Ini bukan misi yang mudah. Meskipun saya menjalani training di lembaga bahasa di kampus Universitas Indonesia (UI), semuanya tidak semudah yang dibayangkan orang-orang. Sebab semuanya akan berpulang pada kapasitas seorang individu.

Saya bukan tipe orang yang senang belajar bahasa. Apalagi harus mempelajari tata bahasa atau grammar. Sejak memutuskan untuk menerima beasiswa, saya mesti menjalani pelatihan bahasa ini dengan baik. Saya datang ke Jakarta dengan mengantongi skor TOEFL 470. Ini termasuk skor yang rendah. Dalam waktu sebulan, saya sukses menaikkan skor hingga 513. Bulan selanjutnya, skor itu mulai turun hingga 500, dan selanjutnya naik sedikit jadi 520. Saya merasa jalan di tempat. Padahal, saya butuh skor 550 sebagai prasyarat belajar di kampus luar negeri.

Ada beberapa sebab yang mempengaruhi skor yang stagnan. Pertama, sistem belajar didesain dengan sangat padat ala anak sekolahan. Saya masuk kampus setiap pukul 08.00 pagi hingga pukul 15.00 sore hari. Anda bisa bayangkan betapa lelahnya saya setiap hari. Itupun tiba di rumah saya tidak bisa segera istrahat sebab masih harus mengerjakan tugas harian, menulis jurnal dalam bahasa Inggris, atau mengerjakan tugas esaay. Kedua, kejenuhan. Dengan jadwal yang ketat serta tugas yang banyak, nyaris tak ada waktu buat saya untuk melakukan hal lain. Gara-gara pelatihan ini, saya mengabaikan banyak pekerjaan yang mestinya harus dituntaskan. But what can I do?

Tiga bulan pertama, saya merasakan puncak kejenuhan. Memasuki Januari, saya diwajibkan belajar Toefl IBT. Kata banyak orang, dari sisi kesulitan, Toefl IBT jelas jauh lebih sulit dari Toefl ITP. Sebab IBT menuntut kemampuan aktif. IBT terdiri atas empat bagian yakni membaca (reading), mendengar (listening), berbicara (speaking), dan menulis (writing). Jumlah soalnya juga jauh lebih banyak. Sementara Toefl ITP hanya terdiri atas tiga bagian yakni mendengar (listening), struktur (grammar), dan membaca (reading).

Mulanya saya agak pesimis. Saya mudah putus asa kalau mendengar kesaksian banyak orang tentang susahnya IBT sebab kita diharuskan menjawab soal di depan komputer, mesti berbicara atau menjawab pertanyaan yang diajukan komputer, serta mesti menulis di tempat yang sama. Itupun semuanya dibatasi waktu yang sempit. IBT benar-benar menguji sejauh mana kemampuan kita dalam bahasa Inggris. Tidak hanya sebagai pemakai pasif, namun juga sebagai pemakai aktif. Mungkin IBT bersandar pada filosofi bahwa bahasa itu bukan hanya untuk mengerti sesuatu, melainkan untuk mentrasmisikan pesan.

Dengan pesimisme itu, mulailah saya belajar IBT. Tapi setelah beberapa minggu belajar, saya mulai merasakan kalau IBT lebih mudah ketimbang ITP. Dalam IBT, tidak ada pertanyaan yang sifatnya menjebak. Semua pertanyaan pada listening selalu berdasarkan pada materi yang diajarkan seorang professor. Kita tidak dijebak dengan kalimat-kalimat yang dibuat mirip sebagaimana ITP, namun diminta untuk menjelaskan substansi, ide pokok, serta mengetahui apa substansi yang diinginkan seorang pembicara. Bagian tersulit dari IBT adalah berbicara (speaking). Pada bagian ini, kita mesti terbiasa dengan spontanitas dan memberi respon dengan cepat dalam bahasa Inggris.


Setelah dua bulan belajar, akhirnya saya memberanikan diri untuk menjalani tes Toefl IBT. Prosesnya agak rumit karena saya mesti mendaftar secara online pada website ETS, lembaga penyelenggara tes ini di Amerika Serikat (AS). Biayanya juga mahal, sekitar 150 dollar AS. Dengan penuh deg-degan saya menjalani tes di kampus UI. Meskipun koneksi dengan provider ETS di Kuala Lumpur, Malaysia, sempat terganggu, akhirnya saya melewati tes Toefl IBT.

Setelah lebih seminggu, semalam saya menerima pemberitahuan lewat email. Skor saya adalah 85. Apakah jumlah ini cukup tinggi? Bagi saya, ini capaian yang fantastis. Sebab batas requirement yang dibutuhkan kampus-kampus di seluruh dunia adalah rata-rata 79 dan 80. Ini jumlah yang setara dengan 550 pada skor Toefl ITP. Sementara saya mencapai 85 atau ekuivalen dengan 563 dalam ITP. Saya telah melampaui target saya sebelumnya yang hanya mengincar skor 73 atau setara dengan 530 sebagai prasyarat melanjutkan pelajaran bahasa di luar negeri.

Pelajaran besar yang saya dapatkan dari upaya ini adalah bekerja keras tanpa kenal lelah selalu akan membuahkan hasil. Ketimbang duduk pesimis di rumah tanpa melakukan sesuatu, maka jauh lebih baik jika menghadapi semua masalah dan bekerja keras. Hanya dengan kerja keras, kita akan sanggup melewati masalah dengan tidak menjadi pecundang. Tak ada kata mustahil dalam kerja keras. Gunung tinggi sekalipun akan sukses kita ratakan sepanjang kita percaya sanggup melakukannya. Bahkan bintang di langit bisa kita kumpulkan selagi kita yakin sanggup melakukannya. Sebagai mana kata Paolo Coelho, “Bermimpilah setinggi langit, sebab Tuhan akan memeluk semua impianmu.”(*)

DIRIMU yang Tak Pernah Pergi

TUHAN... aku senantiasa malu jika menyebut nama-Mu. Namun, malam ini izinkanlah diriku untuk selalu bergetar menyebut nama-MU. Beribu berkah dan rezeki yang KAU turunkan. Berjuta-juta kenikmatan KAU limpahkan kepadaku. Bermiliar-miliar keindahan KAU tampakkan padaku.


Namun, betapa bodohnya diri ini yang jarang menyebut nama-MU dalam lantunan cinta. Betapa dungunya pikiran ini yang selalu hendak mencari-cari jalan ke arah-MU. Diri-MU jauh lebih terang dari matahari. Diri-MU jauh lebih benderang dari segala konsep tentang cahaya terang. Diri-MU jauh lebih jelas dari segala konsep tentang jelas.

Malam ini, izinkanlah diriku untuk menghaturkan tanda cinta. Maafkan segala kebodohan dan kesombongan yang selalu saja menghalangi pandang mataku dari nikmat-MU yang luar biasa. Diri ini malu dan tersungkur kala mengingat semua karunia-MU. Diri ini seorang pendosa yang tak henti-hentinya membanjiri bumi-MU dengan kesalahan. Tapi diri-MU tak pernah meninggalkanku. Diri-MU tetap setia memeluk dan menghangatkan hidupku dengan kasih-MU. Diri-MU setia menjagai diriku, bahkan di saat diriku sedang mengingkari-MU. 



Terimakasih atas bahagia 
yang KAU limpahkan malam ini. 
Malu aku atas diri-MU


Pengalaman Ikut GRE

HARI ini saya menjalani tes Graduate Record Examinations (GRE). Bagi siapapun yang hendak melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat (AS) wajib untuk mengikuti tes GRE. Biayanya juga cukup mahal, sekitar 150 dollar AS, yang jika dikonversi ke uang rupiah, sekitar satu juta lima ratus ribu rupiah. Mahal khan? Untunglah, semua biaya untuk mengikuti tes ini ditanggung oleh sponsor beasiswa.

Bagi saya, GRE adalah salah satu tes paling sulit. Menurut informasi beberapa sahabat, bahkan seorang yang lahir dan besar di AS sekalipun akan kesulitan mengerjakan soal GRE. Tes ini hanya diperuntukkan bagi sekolah-sekolah non bisnis. Jika tertarik mendaftar sekolah bisnis jenis tes yang mesti diikuti adalah GMAT.

Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui sejauh mana minat serta kemampuan seseorang sebelum mengikuti perkuliahan. Nah, problemnya adalah kita disamakan dengan calon mahasiswa luar negeri yang rata-rata punya kemampuan bahasa Inggris yang hebat, serta penguasaan matematika yang kuat. Nah, bahasa Inggris dan matematika adalah dua kelemahan saya. Makanya, sejak mendaftar tes ini, saya agak pesimis, namun mesti menguatkan diri sebab tes ini dianggap penting sebagai syarat untuk mengikuti perkualiahan di AS. GRE ini diniatkan sebagai tes yang mengukur kemampuan semua calon mahasiswa pascasarjana di AS. Jadi, bisa kita bayangkan bagaimana sulitnya sebab kita masuk pada standar internasional.

Saya mengikuti tes GRE di kantor IIEF di lantai 28, Menara Imperium, Jakarta. Tempatnya sangat representatif dan memadai. Dibandingkan dengan tes IBT yang saya jalani minggu lalu, maka tempat tes di IIEF sangat eksklusif. Pelayanannya juga profesional.

GRE terdiri atas tiga bagian: verbal (30 pertanyaan dalam 30 menit), quantitative section (28 pertanyaan dalam 45 menit), dan analytical writing (dua esai dalam 75 menit).  Nilai maksimal untuk verbal dan quantitative adalah 800, sedang analytical writing diberi nilai maksimal 6. 

Kata teman di AS, bagian quantitative (matematika) biasanya tidak terlalu menjadi masalah. Tapi bagi saya, sama saja. Kesulitannya luar biasa. Sebab sejak lulus SMA, saya tidak pernah lagi belajar matematika. Tiba-tiba mesti menjawab soal matematika. Mestinya, ada tes yang didesain khusus untuk peminat ilmu-ilmu sosial, sebab sejak sekolah menengah hingga kuliah di universitas, saya tidak belajar matematika. Terhadap teman-teman, saya sering berseloroh, meskipun soal ini disajikan dalam bahasa Indonesia, saya tetap akan mengalami kesulitan besar. Apalagi jika disajikan dalam bahasa Inggris.

Bagian selanjutnya adalah verbal. Inilah bagian yang lebih menantang. Kesulitan umum bagi kita yang bukan penutur Inggris terutama pada penguasaan vocabulary. Jangan bayangkan vocabulary pasaran yang akan keluar dalam tes, melainkan kata-kata yang mungkin kita baru tahu saat itu. Belum lagi struktur kalimat soal yang dibuat rada memutar hingga memerlukan tambahan waktu untuk memahami maksud soal tersebut. Sebagai perbandingan, orang yang bertutur Inggris sekalipun normalnya akan mendapatkan nilai verbal lebih rendah dibanding nilai quantitative. Bagaimana dengan kita yang sehari-hari berbahasa Indonesia atau malah bahasa Buton?

Bagian terakhir GRE adalah analytical writing. Di bagian ini peserta akan diberi satu kasus, dan berdasar kasus itu peserta diminta menuliskan tanggapan dan argumennya. Respon dari kasus bisa setuju ataupun tidak, yang penting argumen yang disusun mesti sistematis dan meyakinkan.

Waktu yang diberikan untuk mengerjakan tes tentu saja terbatas. Akan sangat membantu jika sebelum tes kita melakukan simulasi dengan mengerjakan soal dalam kerangka waktu tes sungguhan. Ini akan memberikan sense bagaimana cara membagi waktu dalam pengerjaan nantinya. Jangan pernah terpaku mengerjakan satu soal sulit, karena bobot soal sulit dan mudah tidak dibedakan.

Satu lagi yang penting, tes ini berformat komputer. Artinya, peserta tidak akan diberi lembar soal dan lembar jawaban. Peserta mesti membaca soal dan memberikan jawaban langsung di layar komputer. Bagi yang tidak terbiasa ini bisa menimbulkan kesulitan tersendiri. Satu lagi kelemahan tes berformat komputer, peserta mesti menjawab soal secara urut. Soal yang dianggap sulit tidak bisa dilompati untuk kemudian dikerjakan ulang nanti. Ini menjadi semakin membuat penting manajemen waktu. 

Saya benar-benar kesulitan mengerjakan tes ini. Khususnya pada kemampuan verbal dan kuantitatif. Tapi, sesulit apapun tes itu, saya telah menjalaninya. Muloanya saya agak panik. Sesaat sebelum tes, saya bertemu seorang senior penerima beasiswa IFP dari Cohort 5. Ia baru saja kembali dari Massachusets. Menjelang masuk tes GRE, ia seperti mengetahui kepanikan saya dan teman-teman. ia lalu membisikkan kalimat yang memadamkan kepanikan itu. "There is a magic word. You'll be fine! Go ahead!"


Jakarta, 21 Maret 2011

Menanti Buku Biksu Ajahn Brahm

TADI siang, saya singgah ke Toko Buku Gramedia di Matraman, Jakarta. Begitu masuk, saya langsung tersentak melihat sampul buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2 karya biksu Ajahn Brahm. Saya sudah membaca buku sebelumnya, dan langsung saya nobatkan sebagai buku spiritual terbaik yang pernah saya baca. 

Sayang sekali, saya tidak membawa duit cukup untuk membawanya pulang. Lagian, dalam situasi seperti saat ini, saya mikir-mikir kalau hendak beli buku baru. Bukan karena tidak ada duit, melainkan minggu depan ada dua ujian yang harus saya jalani dan semuanya tidak mudah untuk dilewati. Meskipun saya tidak serius mempersiapkan diri, namun saya berusaha untuk tidak menyibukkan diri untuk membaca sesuatu. Sebab ketika saya mulai membaca sesuatu, maka pikiran saya akan bekerja total untuk memikirkan bacaan tersebut. makanya, saya memutuskan untuk tidak membaca dulu karya terbaru Ajahn Brahm

Mudah-mudahan, selesai ujian saya kembali bisa membacanya. Buku itu akan menempati daftar pertama buku yang wajib saya miliki usai ujian nanti. 

BLACK SWAN: Kisah Angsa Binal

MESTINYA film Black Swan yang mendapatkan piala Oscar atau Academy Award. Film ini menggambarkan sekeping kenyataan tentang para ballerina, serta menunjukkan seberapa besar usaha seorang pemain ballaerina yang hendak menjiwai karakter yang dimainkan sepenuh hati. Dalam usaha itu, seorang penari bisa mengorbankan banyak hal, termasuk menjelma menjadi karakter sebagaimana yang hendak diperankannya. What?

Kisahnya bermula ketika Nina (Natalie Portman) menjadi balerina di sebuah perusahaan balet New York City. Hari-harinya adalah menari. Ketika artistik sutradara Thomas Leroy (Cassel) memutuskan untuk mengganti ballerina Beth MacIntyre (Ryder) untuk produksi pembukaan musim baru mereka, Swan Lake, Nina adalah pilihan pertamanya. Tapi Nina memiliki kompetitor: penari baru, Lily (Kunis), yang mengesankan Leroy juga. Swan Lake membutuhkan seorang penari yang dapat memainkan Swan Putih dengan penuh kepolosan, dan Black Swan, yang mewakili tipu daya dan sensualitas. Nina cocok peran White Swan, namun Lily adalah personifikasi dari Black Swan. Nina terobsesi untuk memerankan dua sosok itu demi menjadi imaji kesempurnaan. Secara perlahan, ia mulai menemukan sisi gelap dirinya, sebagaimana karakter Black Swan. 

Permainan Natalie Portman, sarjana psikologi dari Universitas Harvard ini, memang ciamik. Tapi saya lebih suka dengan kisahnya. Ini adalah kisah pergulatan melwan diri demi obsesi akan kesempurnaan. Kisah seperti ini pernah saya dengar ketika seorang pemain teater Jepang bunuh diri di atas panggung teater. Ia masih sempat memberikan penampilan, bahkan di saat-saat terakhir hidupnya. Bukankah ini yang dinamakan dedikasi pada profesi?

Entah apa sebutannya, sang aktor melakukan semacam kontemplasi untuk menghayati peran itu. Ia menghilangkan identitas "dirinya" lalu memasukkan karakter lain yang hendak diperankannya. Prosesnya jelas tidak mudah sebab amat sukar untuk menghilangkan individualitas demi empati pada satu karakter. Kita terbiasa melihat ssuatu dengan cara pandang yang kita sadari. Kita tidak terbiasa melihat sesuatu dengan cara pandang orang lain.


Namun Portman melakukannya demi sebuah totalitas. Demi peran sebagai Black Swan, ia mesti memasukkan karaktar jahat dan binal dalam dirinya. Ketika sang pelatih mencium dan meremas payudaranya, ia sebenarnya hendak mengajarkan bagaimana melepaskan sebuah desire atau hasrat. Ia hendak menunjukkan bahwa demi sebuah penampilan, kita mesti bertingkah sebagaimana peran demi mengeluarkan energi tubuh secara maksimal. Hanya dengan cara melepaskan energi dalam 'kenakalan' itu, ia akan sempurna menari sebagai Black Swan. Jika tidak, ia hanya akan menjadi White Swan yang cantik dan rapuh.

Saya sudah sering mendengar kisah demikian dari para seniman. Beberapa aktor yang bersemedi di satu tempat sunyi sebelum memainkan peran. Ada aktor yang lama tinggal di rumah sakit jiwa demi peran sebagai orang gila. Ia bertingkah seperti orang gila, demi menemukan feel atau rasa yang tepat untuk mendalami peran. Tom Hanks pernah hidup bersama seorang idiot dan meniru tingkah sang idiot demi peran Forrest Gump. Saya sudah pernah menuliskan di blog ini tentang Lola Amaria yang menghabiskan hari-hari di Victoria Park demi memahami bagaimana soerang TKI berinteraksi setiap harinya.

Mungkin inilah yang disebut totalitas. Meskipun banyak yang bilang ini berpotensi menimbulkan penyakit psikologis, namun mereka melakukan riset demi peran. Mereka berempati dan menghilangkan dirinya lalu membuka gerbang dirinya untuk orang lain. Bukankah ini luar biasa?


Jakarta, 20 Maret 2011


Misteri si Cantik Petronela Van Batavia

GADIS kecil itu tiba-tiba merajuk. Ketika ibunya mendekat, ia lalu berlarian ke arah utara. Semilir angin Batavia tanggal 25 Januari 1707 mengibas rambutnya yang keemasan. Gadis bernama Petronela Wilhelmina Van Hoorn, sang kembang Batavia, tiba-tiba saja berbalik arah. Ia lalu kembali menemui ayahnya Gubernur Jenderal Joan Van Hoorn yang menyambutnya dengan senyum lebar. Gadis itu lalu tersipu malu sambil membenamkan wajahnya di baju putih bersih ayahnya. Hari itu, Petronela adalah bintang terang yang menjadi pusat perhatian semua orang. Hari itu, ia diminta untuk meletakkan batu pertama pembangunan Stadhuis, balai kota VOC di Batavia.

Tangan mungil Petronela meletakkan sebuah batu yang menjadi awal dari lahirnya sebuah gedung yang menjadi saksi panjang sejarah kolonialisme di negeri-negeri yang dihembus angin timur. Hari itu adalah hari di mana VOC sedang menaikkan layar. Sejak jalur ke Timur Jauh disusun dalam bentuk sketsa oleh Van Linschoten di akhir abad ke-16, bangsa Belanda mulai merambah hingga ke Nusantara dan menjelajah di setiap jengkal tanah ini. 

Semuanya dimulai dari seorang pemabuk dan tukang bikin onar bernama Cornelis de Houtman. Lelaki yang tinggal di Lisabon dan jago berpedang ini memimpin ekspedisi menuju Timur Jauh pada tahun 1595. Meskipun nyaris gagal, ia berhasil mencapai Nusantara dan kembali ke Tanah Belanda untuk mengabarkan petualangannya menelusuri negeri ajaib di sana. Maka dimulailah episode kedatangan ribuan kapal bermeriam hingga menancapkan jantung kekuasaan di pusat kota Batavia.

Petronela kecil tak mengenal siapa de Houtman. Namun, berkat de Houtman, ia akhirnya meresmikan sebuah gedung besar. Gedung ini kelak menjadi saksi mata dari kolonialisme yang menggemuruh dari pinggiran jalan-jalan di Amsterdam dan Leiden hingga tepi kanal Batavia. Gadis kecil bermata biru dan rupawan itu sama sekali tidak menyangka jika gedung putih itu tidak cuma menyimpan memori indah serupa kenangannya di tepi sungai Wageningen di tanah Holandia, namun gedung itu juga mencatat nestapa serta pilu dari rasa yang remuk redam dan catatan-catatan lirih dari balik penjara di dasar gedung itu.

Stadhuis atau balai kota VOC yang kini dinamakan Museum Fatahillah

Mereka menyebutnya perdagangan lintas benua. Kita menyebutnya kolonialisme. Gedung ini menyimpan suara nyaring yang menggerakkan laju perdagangan dari timur jauh hingga menumbuhkan gedung-gedung raksasa di Amsterdam sana. Balai kota ini mengendalikan sebuah tanah air yang amat besar hingga puluhan kali negeri asal si kecil Petronela. Sebelum Petronela meletakkan batu pertama, gedung ini telah dibangun oleh si bengis nan cerdas Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1620 di dekat kali Besar Timur. Namun gedung itu rata dengan tanah, hingga selanjutnya dibangun kembali pada tahun 1626. Gedung ini adalah menyimpan selaksa kisah yang tak pernah habis tentang suatu masa yang penuh dengan nestapa, tentang bara perlawanan yang memercik dan membakar, hingga kisah pergulatan sebuah bangsa demi melepaskan diri dari belenggu penjajahan.


*** 


Patung Hermes di Museum Fatahillah
Hari ini, 18 maret 2011, aku berkunjung ke Stadhuis yang kini disebut Museum Fatahillah, Jakarta. Semalam aku memimpikan gadis kecil berambut pirang yang menuntunku ke gedung ini. Serasa nyata, dalam mimpi singkat itu ia membisikkan suatu rahasia di gedung besar yang menyimpan kenangan itu. Ia menyebut namanya Petronela. Mulanya kuanggap lelucon. Namun deskripsi lukisan karya Johannes Ranch di gedung arsip membuatku tersentak kala menyadari gadis kecil dalam mimpiku adalah Petronela. 

Dalam mimpiku, gadis itu membisikkan rahasia di bawah patung Hermes yang bertumpu di bola dunia. Mungkinkah ini rahasia dan teka-teki masa silam yang disimpan Petronela tentang bangsa ini. Lewat catatan sejarah di gedung arsip, pernah kubaca kalau VOC meninggalkan misteri besar berupa ribuan batangan emas serta kekayaan yang ditimbun dari perdagangan antar bangsa. Mungkinkah Petronela hendak menunjukkan rahasia itu?

Setelah memasuki museum yang juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta, aku lalu menuju ke patung Hermes di halaman belakang, tidak jauh dari meriam Si Jagur. Di tempat yang ditunjukkan Petronela, aku melihat sebuah tulisan yang digurat dengan batu. Saat itulah aku tersentak setelah merenungi apa yang tertulis di situ. What?


BERSAMBUNG

Bukankah Dirimu adalah Bintang?


ISTRIKU rapuh. Belakangan ini ia mudah jatuh sakit. Hampir setiap hari ia selalu saja migrain alias sakit kepala. setiap kali diriku menanyakan kabar, dirinya akan berkata sedang sakit. Kau tahu, di kota yang jauh ini aku selalu cemas mendengar dirinya sedang sakit. Kutakut jika sakit itu kelak akan membawa dampak bagi sesuatu yang sedang diperamnya. Tapi, apakah memang benar demikian?

Ibu dan adik sudah memberi masukan. Ibu yang mengatakan itu gejala alamiah bagi seorang gadis yang sedang berbadan dua. Aku yakin ibu benar sebab ia sudah melewati tahap-tahap mengandung empat orang anak, kemudian melahirkan dan membesarkannya. Ia melewati banyak moment pengting yang sekarang ini sedang kujalani. Mestinya aku lebih tenang dengan segala masukan ibu. Tapi tetap saja galau ini sukar dipadamkan. Ada semacam kerikil yang menggelayut setiap kali diriku menarik napas. 

Istriku yang jauh. Aku ingin melihat dirimu yang ceria dan tak ada beban sebagaimana nampak pada foto di atas. Aku ingin melihat dirimu selalu tersenyum sebagaimana senyuman kanak-kanak, sesuatu yang pertama mengikatkan hatimu dan hatiku. Aku ingin mengembalikan masa-masa lalu yang penuh kemanjaan, keceriaan, dan ada suara-suara bahagia yang berbisik di sudut hati kala sedang bersua. 

Kelak, istana impian kita akan kelar di pucuk awan sana, dan di situ akan kuletakkan penangkap bintang agar dirimu tak perlu melihatnya dari kejauhan. Setiap saat dirimu bisa menyentuh, mengaguminya, sekaligus  menjelmakan diri sebagai bintang. Hei.... bukankah dirimu adalah bintang?


Jakarta, 17 Maret 2011

Teror Bom, Teror Kemanusiaan

paket yang meledak di kantor JIL, di Jalan Utan Kayu (foto: kompas)


SERING saya tidak sepakat dengan sikap Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berdakwah dengan menentang kaum Islam mayoritas. Tapi saya menghargai mereka sebagai bagian dari sesama saudara sebangsa dan setanah air. Makanya, ketika mendengar ada bom yang dikirim buat mereka, saya mengutuk siapapun pelakunya. Bahkan siapapun yang mengatasnamakan Islam dalam tindakannya. Saya akan membela JIL yang teraniaya. Bukan membela mereka secara ideologis. Tapi saya ingin membela mereka sebagai rekan sesama anak bangsa yang seyogyanya dilindungi semua hak-haknya sebagai warga negara. 

Negeri ini mulai terasa tidak aman. Di sini, perbedaan pendapat tidak dijamin. Ketika Anda berbeda pendapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima kemurkaan dari orang lain. Ketika Anda berpikir lain, maka bersiap-siaplah menerima nasib seperti para sahabat JIL yang menerima paket kiriman bom. Negeri ini terjebak dalam banalitas atau kedangkalan berpikir yang kian parah dan menikam jantung penghargaan pada keragaman berpikir di negeri ini.

Negeri ini tidak pernah bisa belajar dari masa silam, pada masa-masa ketika founding father kita mengalami perbedaan, namun bisa dieliminir demi tujuan yang sama yakni kemerdekaan. Di masa itu, Sukarno dan Hatta bisa membangun sintesis yang amat aduhai tentang kebangsaan dalam bingkai persatuan yang kemudian menjadi pilar utama kenegaraan. Negeri ini dibangun di atas pilar kemanusiaan, namun betapa sulitnya menyaksikan penghargaan atas kemanusiaan. Di negeri ini, transformasi pengetahuan berjalan setengah-setengah. Semuanya serba tanggung!

Terdapat begitu banyak orang pintar dan bergelar sarjana, namun kepintaran justru membawa kesempitan. Terdapat banyak ulama dengan gelar mentereng, namun tetap saja ada begitu banyak penganiayaan pada yang berbeda agama. Terdapat banyak orang yang bergelar haji, namun jumlahnya  sebanding dengan seberapa banyak kasus terorisme yang mengatasnamakan pembelaan atas agama. Terdapat banyak orang alim, namun banyak pula mereka yang rela bunuh diri demi melukai yang lain. Inilah negeri yang serba paradoks.

Lantas, apa yang bisa dibayangkan tentang masa depan bangsa ini? Nampaknya kita mesti bekerja keras untuk membangun penyadaran. Kita mesti tetap setia membangkitkan kesadaran hingga menjadi matahari yang menerangi semua. Kita mesti belajar bagaimana menjadi oase yang memberikan kesejukan bagi siapapun. Barangkali kita harus belajar, sebagaimana puisi Rendra, "Kesadaran adalah matahari//  kesabaran adalah bumi//  keberanian menjadi cakrawala// dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.."

You Are Not Alone

Spiritualitas itu tidak terletak pada seberapa sering seseorang melakukan ibadah. Spiritualitas itu terletak pada sejauh mana seseorang berbuat kebaikan, memberi manfaat bagi sesamanya, serta memberi makna bagi apapun di sekitarnya. 

Kutipan di atas adalah refleksi saya usai membaca buku You Are Not Alone karya Arvan Pradiansyah. Buku ini berisikan 30 renungan tentang ketuhanan, spiritualitas, serta prilaku kita sehari-hari. Kekuatan buku ini adalah gaya bahasa yang ringan, mengalir, serta mudah dipahami oleh siapa saja. Anda tak perlu berkerut kening untuk memahai buku ini. Membacanya cukup dengan rileks dengan pikiran yang hanyut sebab di sana-sini terdapat kutipan dan kisah-kisah yang bertaburan makna untuk diresapi.

Dari sampul dan isinya, sangat terasa kalau buku ini tidaklah ditujukan pada agama tertentu, namun semua orang yang menghayati agama sebagai sebuah jalan untuk membebaskan diri dari prilaku tidak terpuji. Buku ini melepaskan dirinya dari kungkungan agama. Sebab isinya justru meresap ke jantung makna, yang diyakini sebagai aspek sosial dari ajaran agama.

Dari sekian banyak kelebihan buku ini, saya menemukan beberapa kerikil tajam. Saya sudah membaca tuntas hingga halaman terakhir. Namun, entah mengapa saya tak menemukan ada kebaruan di buku ini, selain dari taburan kutipan dari beberapa sosok penting. Memang kisah-kisahnya menghanyutkan. Kita diajak melihat sesuatu dengan cara pandang baru yang lebih jernih. Namun, beberapa kisah yang dituturkan adalah kisah yang sudah sering saya temukan dalam ajaran-ajaran tasawuf. Makanya saya tidak terlalu terkejut. Bahkan beberapa kisah sudah pernah saya temukan dalam beberapa tulisan sufistik dari Jalaluddin Rakhmat dan Nurcholish Madjid (alm). 

Saya bisa menunjukkan beberapa kisah yang secara orisinil merupakan penggalan kisah yang dipaparkan beberapa sufi, termasuk beberapa kisah dari Ali bin Abi Thalib. Namun, apakah mengutip kisah sufi tanpa meyebutnya sumbernya bisa disebut plagiat? Entahlah. Dalam pahaman saya, ini sesuatu bisa disebut plagiat ketika mengutip gagasan seseorang, tanpa menyebut sumber asli gagasan tersebut. Ini soal kejujuran. Tapi saya sangat yakin kalau pengarang buku ini punya niat yang sangat mulia. Tujuannya adalah menyebarkan makna dan keindahan beragama sehingga semua orang bisa meresapi dan mempraksiskannya. Mungkin pula, kisah-kisah sufistik itu memang kisah yang tidak bertuan, sebab tujuannya adalah untuk mendidik dengan cara yang sangat kreatif melalui kisah.

Maafkan atas pernyataan ini. Secara jujur, yang saya nikmati dari buku ini bukanlah kisah-kisahnya. Melainkan beberapa kutipan dari sejumlah tokoh yang menggambarkan indahnya spiritualitas serta tangga-tangga manusia menuju kesempurnaan. Belakangan ini, saya sering menemukan buku spiritualitas praktis seperti ini. Entah bagaimana menjelaskan fenomena ini. Tapi bisa jadi ada beberapa asumsi mengapa buku sejenis memenuhi rak toko buku kita.

Pertama, masyarakat kita sudah bertransformasi menjadi masyarakat kota yang sibuk hingga tak punya waktu meresapi sesuatu. Masyarakat kita adalah masyarakat yang bergegas di pagi hari menuju kantor atau tempat bisnis sehingga kehilangan daya nalar dan refleksi atas apa yang terjadi di sekitar. Masyarakat kita kehilangan getar ketika melihat setetes embun, dan kehilangan nurani ketika melihat sesuatu yang tidak adil. Dalam kehidupan yang serba sibuk di Jakarta, kita mudah kehilangan nurani, sesuatu yang sejatinya bisa menjadi cermin untuk berrefleksi serta menemukan suara kesejatian. Nah, di tengah masyarakat yang serba sibuk, kehadiran buku spiritualitas yang instan bisa menjadi oase yang sejenak bisa mengurangi kepenatan. Tak hanya buku, hadir pula sosok motivator hingga inspirator yang menggantikan peran para mubalig untuk memberi motivasi dan bimbingan spiritualitas.

Kedua, kita tidak punya banyak stok penulis dengan beragam spectrum tema yang diangkat. Entah kenapa, tema yang ditawarkan selalu yang itu-itu saja. Tak banyak penulis yang bisa mengeksplorasi berbagai tema yang menarik, dengan sudut pandang yang unik, sehingga sebuah karya menjadi tenyah seperti martabak, namun tetap reflektif. Yang terjadi kemudian adalah reproduksi tema yang sama dan mulai menjenuhkan.

Ketiga, mungkin para penerbit kita memang kurang kreatif sehingga selalu mereproduksi satu tema secara berulang-ulang. Ketika satu buku yang bernuansa spiritualitas praktis meledak di pasaran, maka produsen buku berlomba-lomba menggarap tema yang sama. Saya tidak menuduh bahwa ini semata-mata demi uang. Tidak sama sekali. Tapi ada stagnasi intelektualitas serta kemandekan kreativitas yang cukup akut dan melanda kita. Yang terjadi kemudian adalah hadirnya buku dengan sampul beda, namun cita rasa sama.

Apapaun itu, setidaknya buku ini mesti dilihat dengan cara pandang yang positif. Setidaknya, pengarang buku ini sudah coba untuk memadamkan api angkara dengan cara sederhana yakni  melalui tulisan. Saya tiba-tiba teringat kisah sufi tentang seekor burung kecil yang menyimpan air di paruhnya dan hendak memadamkan api yang melumat tubuh Nabi Ibrahim. Dari paruhnya yang kecil ia teteskan air untuk memadamkan api Namrud. Burung-burung lain menertawainya. Dengan tenang ia menjawab, “Aku tahu tetesan air ini tidak akan mungkin memadamkan api Namrud tapi aku ingin agar Tuhan tuliskan dalam kitab-Nya bahwa aku sudah berbuat untuk kekasih-Nya.”


Jakarta, 14 Maret 2011


Keseimbangan Sebuah Bencana


KITA hidup dalam dunia yang penuh ketidakpastian. Bencana seolah mengepung kita. Setelah dunia diguncang dengan bencana sosial yakni kemurkaan rakyat pada pemerintah yang kemudian mendorong huru-hara dan revolusi, kini bencana alam terus menerjang. Dua hari yang lalu, Jepang remuk diredam tsunami. Entah, besok negara apa lagi yang terkena dampak tsunami.

Entah apa makna di balik semua bencana ini. Misteri besar yang susah dipecahkan para geolog adalah mengapa dan kapan gempa akan menghantam satu wilayah. Mereka hanya bisa memberikan eksplanasi tentang rangkaian patahan bumi di dasar sana sebagai hasil evolusi selama jutaan tahun. Namun, tak ada yang bisa menebak kapan bencana akan menghantam. Alam semesta menyisakan banyak misteri yang menggelayuti pikiran para saintis untuk disibak dan ditemukan penjelasan serta maknanya. 

Jika saja bencana sosial dan bencana alam bisa disusun korelasinya, maka sedang terjadi ketidakseimbangan di semesta kita. Saya teringat fisikawan Ilya Prigogine. Ketika satu struktur tidak seimbang, maka segera akan terjadi sebuah guncangan. Dalam konteks bumi kita, bencana harus selalu dilihat sebagai mekanisme untuk mengatasi ketidakseimbangan tersebut. Kita sama tahu kalau bencana sosial terjadi karena api korupsi dan kejahatan pemerintah merebak. 

Nah, bisakah kita mengatakan air masuk daratan karena ada api angkara yang menyala di daratan? Lantas apakah api angkara yang melanda Jepang? Saya tak paham. Dugaan saya, negeri itu hanyalah akibat dari sebab yang sedang terjadi di belahan bumi lain. Saya percaya, dunia adalah satu mata rantai yang saling terhubung. Hanyalah arogansi serta kedunguan kita sendiri yang menyebabkan kita terpencar-pencar karena batasan politik dan ekonomi.

Kita hidup di era penuh ketidakpastian. Namun, hingga detik ini saya masih yakin kalau alam ini selalu mencari kesimbangannya. Ketika air memasuki daratan, itu pertanda kalau sedang ada api di situ. Dan air hendak memadamkan api. Meskipun harganya amat mahal yakni kehancuran di sana-sini.(*)

As Brave as Napoleon


Tomorrow is the time. I have the same feeling with Napoleon Bonaparte, the famous French leader, when he went to the battle. I ever read from some articles that Napoleon was nervous when he entered the battle, but he still bravely. Tomorrow is my battle. Tomorrow is the end of what I'm looking for since the first time I came to this city. I'm little bit nervous. Although it is natural for everyone who wants to enter the arena, nervous can be a burden too. I must erase nervous in my mind. Maybe I must control my expectation to the test. I must revise my target before. It is better if I think to do my best and after that let everything happen to the hand of God. 

Oh my God, I mention your name again. When I mention this word, I feel safe because I believe that God never leaves me. But I’m hesitating too. I know for the last month I did not spend my time to talk with Him. Is He angry? I hope not. I hope whatever I’ve done before; He still gives me his great power that can enable me to overcome all of my problems. Tomorrow, I hope everything will be okay. I will enter the battle with brave like Napoleon ever done in previous time.

Be Brave son! Like Napoleon!

Lesson Learned from Mr Obama

When Barrack Obama started the campaign in the election day of United States (US) several years ago, he had an interesting slogan to attract the US citizens. His campaign slogan is "Yes, We Can." This is an interesting slogan because he mentions the word "We", not the word "I".  As reported by CNN, the largest media network in the US, Obama said that it means he believes that working together is very important to make the United States (US) as the strongest country in the world. Like Obama, I believe that working together is better than working individually for several reasons.

For those who do not agree with this opinion maybe think that working together may trigger conflict and negative effects. This is true if we think that everyone is an individual person. But this is totally wrong when we think like the famous Greek philosopher Aristotle that human is social animal. We can work together in group as long as we can eliminate the individuality and keep focus on the common goal.

The first is sharing with each other. When we work together, we can learn from each other, say our friends. As we know that there is no person who knows everything, it means that we must learn from other people. Working in group enables us to combine our strength with our friend's strength. This is the best chance for us to improve our weakness by learning from our friends.

The second reason is effectiveness. When we work in a group, we work more effectively than working individually. Sun Zu, the famous Chinese philosopher, said that the Chinese great wall was not completed in one night. The Chinese Great Wall was finished because of an effort by everyone who worked together. It means that if we work on something together, we can finish the project faster still with maximum result.

The third reason is increasing our humanity. When working together, we realize our weaknesses and our strengths from our friends.  We can reflect our knowledge and capacity in order to improve it. We can understand ourselves and open our mind that we are not perfect in every section. That's why we must learn from many sides, not only from our friend, but also from our enemy.

In conclusion, working together is important for us in order to share with each other, effectiveness and to increase our humanity side. Although we have different ideas, but we can combine them together and make us stronger than before.(*)


Bersiap Jalani Tes IBT

HARI Sabtu mendatang, saya akan menjalani test IBT Toefl. Tes ini agak berbeda dengan tes ITP Toefl yang beberapa kali saya jalani. Jika ITP Toefl hanya menekankan pada kemampuan pasif, maka IBT Toefl lebih dari itu. Selain kemampuan pasif, tes ini juga merangkum kemampuan aktif sehingga seseorang tidak hanya dituntut untuk bisa memahami teks bahasa Inggris, namun juga bisa menggunakannya untuk berkomunikasi secara aktif.

Bagi banyak orang, tes ini lebih 'angker' dari tes Toefl biasa. Jika dalam tes ITP, soalnya hanya mencakup tiga bagian besar yakni Listening, Structure, dan Rading, maka dalam tes IBT, soalnya terdiri atas empat tahap yakni Reading, Listening, Speaking, dan Writing. Yang bikin 'angker' karena tes ini dilakukan di depan komputer, dan seseorang di Amerika Serikat (AS) akan online dan mendengarkan semua respon yang kita berikan atas pertanyaan, kemudian memberikan nilai. Banyak yang grogi saat menjalani tes ini sehingga menjadi speechless alias kehilangan kata saat hendak berbicara. Memang, butuh mental yang kuat untuk bisa mengatasi semua soal dan memberikan jawaban yang tepat atas semua pertanyaan. 

Sabtu nanti, saya akan menjajal tes ini. Pihak penyandang dana hanya mengizinkan saya untuk sekali saja mengikuti tes ini. Sebab biayanya juga mahal, sekitar dua juta rupiah. Karena cuma sekali, maka saya mesti bisa maksimal merebut point. Nah, dengan persiapan yang terbatas, serta kemampuan bahasa yang minim, apakah saya sanggup melewatinya? Entahlah.

Mungkin butuh belajar selama beberapa bulan untuk bisa lulus tes ini dengan nilai yang baik. Tapi, saya tak punya banyak pilihan. Hari Sabtu nanti, saya mesti menjalani tes dan berusaha untuk menggapai nilai yang terbaik. Makanya, semboyan mesti membara dalam dada. saya mesti mencurahkan kemampuan terbaik. gagal dan berhasil itu urusan nanti. Gagal sekalipun tak masalah sepanjang saya telah bertempur dan sekarat di medan laga. Bukankah demikian?