Di tengah gelap dan horornya sejarah di masa Orde Baru, ada sosok-sosok luar biasa yang hadir untuk menyalakan sumbu kesadaran sosial. Ada sejumlah sosok aktivis yang mengawal gagasan modernisasi, lalu perlahan menumbuhkan tradisi berpikir kritis di masa itu.
Buku berjudul Cendekiawan dan Transformasi Sosial yang ditulis Sony Karsono ini memotret perjalanan tiga sosok pendiri LP3ES yakni Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, dan Dawam Raharjo.
Buku ini bukan sesuatu yang asing buat saya. Saya pernah membacanya dalam versi disertasi sejarah di kampus Ohio University yang berjudul Indonesia's New Order, 1966-1998: Its Social and Intellectual Origins. Malah, saya pernah menulis tentang perjalanan Nadiem Makarim dengan berbekal informasi pada disertasi ini.
Buku ini menyajikan lintasan ide-ide di masa Orde Baru yang dipantik oleh tiga sosok aktivis muda. Mereka berasal dari latar kelas menengah, yang pernah menyumbangkan Oder Lama, kemudian mengisi perjalanan Orde Baru dengan pendekatan modernisasi dan pembangunanisme.
Di zaman ketika Indonesia tengah mabuk dengan wacana pembangunan, ketiga sosok ini sudah berbicara tema-tema seperti partisipasi, bottom-up approach, hingga perspektif kritis serta Marxisme. Melalui publikasi berupa buku dan jurnal Prisma, mereka membawa perspektif baru agar rakyat Indonesia tetap kritis dalam melihat proyek pembangunan dari pemerintah.
Bagi saya, buku ini tak sekadar menyajikan biografi. Buku ini bisa menjadi “lubang kunci” untuk meneropong apa yang terjadi di masa itu. Kata Geertz, “a vehicle of meaning” untuk melihat kenyataan yang lebih luas. Buku ini menjadi jendela untuk melihat realitas sosial, menyaksikan bagaimana benih-benih ide aktivisme tumbuh dari lahan gembur kelas menengah, yang jenuh melihat kampanye ideologi di masa Orde Lama.
Dalam ranah riset kualitatif, kita mengikuti perjalanan satu tokoh untuk melihat bagaimana dinamika sosial. Misalnya, satu sosok lahir dari latar keluarga seperti apa, bagaimana pandangannya tentang pendidikan dan kemajuan, serta pengalaman dan mimpi-mimpi yang dibangun. Perjalanan tokoh ini akan membantu kita untuk memahami dinamika zaman, serta kekuatan-kekuatan sejarah yang mempengaruhi zaman itu.
Dengan menelusuri sosok Nono Anwar Makarim, kita bisa melihat bagaimana dirinya tumbuh dari kelas menengah mapan dan peduli pendidikan. Dia bisa bersekolah di universitas, yang kemudian mempertemukannya dengan banyak pemikir hebat. Dia bertualang ke kampus Harvard, lalu kembali ke tanah air untuk mendirikan LP3ES. Dia bisa mendapatkan dana dari lembaga internasional karena esai cemerlang yang ditulisnya.
Demikian pula dengan menelusuri biografi Ismid Hadad yang sepanjang masa keemasannya dihabiskan untuk membangun aktivisme dan jaringan intelektual. Melalui Jurnal Prisma, dia menyebarkan gagasan-gagasan kritis. Dia pun membuat program pelatihan jurnalistik di kota-kota, yang sukses memunculkan sejumlah jurnalis kritis, di antaranya adalah Dahlan Iskan.
Lain lagi dengan Dawam Raharjo yang memperkenalkan ide-ide modernisasi melalui organisasi HMI, lalu di akhir Orde Baru aktif di ICMI. Dia melihat perubahan sosial harus dilakukan dari dalam. Dia membawa ide-ide Marxisme untuk membangkitkan kesadaran orang Islam. Dia pun coba melakukan modernisasi pesantren agar lebih adaptif dengan perkembangan zaman.
Ketiga sosok ini melihat Orde Baru membawa harapan baru, namun seiring waktu, mereka melihat ada banyak hal yang dikorbankan. Pembangunan hanya mengejar capaian fisik, lalu abai pada dimensi manusia.
Bagi saya, yang paling menarik dari buku ini adalah perspektifnya dalam melihat Orde Baru. Banyak sejarawan kita melihat periode itu hanya dari sisi yang kelam, horor, juga wajah negara yang kejam. Orde Baru identik dengan otoritarianisme negara yang setiap saat mematai-matai warganya.
Padahal, bagi mereka yang hidup di masa itu, ada banyak sisi yang muncul sebagai counter dari kelamnya negara. Ada banyak suara-suara perlawanan, yang disuarakan oleh para intelektual, termasuk para sastrawan.
Dalam buku ini, Sony menuturkan tiga poros penting intelektual di masa Orde Baru:
Pertama, kelompok intelektual yang membantu Presiden Soeharto untuk modernisasi. Mereka adalah pemikir Widjojo Nitisastro, Ali Murtopo, Daoed Joesoef, Harry Tjan Silalahi, dan Jusuf Wanandi.
Kedua, intelektual yang berdiri di luar kekuasaan dan membangun wacana tanding. Ketiganya adalah pendiri LP3ES yakni Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, dan Dawam Rahardjo. Mereka mendorong tema-tema keadilan sosial agar pemerintah tidak melulu bicara pembangunan ekonomi. LP3ES yang menjadi garda depan pemikiran kritis di masa itu.
Ketiga, kelompok sastrawan yang menggunakan sastra sebagai medium untuk menyampaikan kritik pada situasi negara. Di antaranya adalah Motinggo Busye, Yudhistira Massardi dan Teguh Esha.
Ketiga poros penting ini saling berdialektika dengan cara masing-masing. Para ekonom penganjur modernisasi mendesain banyak kebijakan pemerintah, yang kemudian mendapat respon dari para aktivis social justice. Para seniman lalu bersuara kritis melalui karya-karya mereka. Bahkan jurnalis pun ikut bersuara kritis.
Dua tahun lalu, saya menulis jurnal berjudul Iwan Fals: The Voice of Resistance. Saya melihat kelahiran para musisi kritis di beberapa kota yakni Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Iwan Fals adalah musisi kritis yang ikut menyalakan semangat perlawanan pada rezim. Lagu-lagunya menjadi lagu wajib saat demonstrasi. Dia keliling kota untuk bernyanyi demi menjatuhkan rezim Orde Baru.
Buku ini seakan mengingatkan saya kalau ada banyak warna-warni di masa Orde Baru. Meskipun negara sangat represif, suara-suara kritis perlahan menjadi api kecil yang menyalakan kesadaran, hingga pada satu titik, api itu kian membesar lalu membakar rezim.
Namun, tetap saja ada hal yang tidak selesai sesuai membaca buku ini. Saya melihat ketiga sosok ini memulai karier dengan idealisme yang sama. Mereka ingin membangun wacana tanding dari penguasa. Namun seiring waktu, ketiganya menempuh jalan berbeda.
Nono Anwar Makarim memilih jalan menjadi pengacara papan atas, dengan klien-klien kaya. Ismid Hadad tetap konsisten untuk menempuh jalan sunyi. Sementara Dawam bergabung dengan ICMI, yang di masa itu merupakan organisasi yang melekat pada kekuasaan.
Ketiganya memulai perjalanan di titik yang sama, namun kemudian memilih jalan berbeda. Di akhir masa Orde Baru, gagasan-gagasan yang mereka bangun berkontribusi pada jatuhnya rezim. Namun mereka sendiri seakan kehilangan peran, sebagaimana LP3ES yang perlahan memudar dan kehilangan arah.
Kini, puluhan tahun setelah Orde Baru tumbang, kita berhadapan dengan generasi baru yang tak lagi bermimpi heroik untuk melakukan perlawanan. Kita berhadapan dengan generasi micin yang menjadikan Tik Tok sebagai tempat mengungsi dari realitas. Di era Metaverse, kita akan menyaksikan makin banyak yang bermigrasi ke alam virtual.
Kita
hanya menyisakan kenangan tentang perlawanan anak muda di tengah represi
negara. Kenangan, yang boleh jadi akan segera hilang tersaput angin sejarah.