Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Istana Pasir Gus Dur


Mungkin negeri ini terlampau sempit untuk menampung ide-ide besar yang pernah kau rajut untuk kemaslahan umat. Mungkin negeri ini terlampau bebal untuk terbuka menerima gagasan besarmu. Kau membuka pintu bagi mereka yang berbeda. Kita seiring-sejalan, bergandengan tangan, tanpa harus bertanya kamu siapa dan agama apa. Kau membangun istana pasir harapan, tempat semua orang dengan berbagai baju bisa bersama-sama hidup tanpa rasa takut.

Hari ini semua orang menyatakan duka atasmu. Semua murid, anak, sahabat, lawan politik, hingga musuh-musuhmu menyatakan duka. Semua sedih. Tapi saya yakin kau tidak sedang sedih. Di sana, di negeri atas langit itu, kau sedang bahagia menyaksikan suatu negeri yang baru, negeri tanpa kategori, negeri tanpa batasan sosial. Di situ kau berumah pada istana yang lama kau proyeksikan saat di sini. Sementara kami di sini, masih harus bergelut dengan onak dan duri. Kami masih harus melepas raung tertahan saat menyaksikan hukum yang dicabik buaya, korupsi menggurita. Kami masih harus bergulat di sini, sebuah negeri yang sejak puluhan tahun lalu merdeka, namun hanya bisa jalan di tempat. Tak beranjak.

Daur Ulang Ikrar


Tahun baru menjelang. Kalender diganti. Terompet memekik. Ini tubuh masih duduk di tempat yang sama. Tapi tidak dengan pikiran yang merindu pulang. Kadang daku malu dengan ikrar di malam tahun baru. Sebab setahun lalu juga menggumamkan ikrar yang sama. Sudah tiga tahun selalu menyebut ikrar yang sama.

Sementara tubuh ini kian menua. Tapi tidak dengan ikrar yang terus didaur ulang. Barangkali harus berhenti berikrar. Sudah saatnya berkata jujur tentang target-target yang tercatat di buku agenda. Sudah waktunya melongok ulang pada buku agenda yang penuh dengan catatan penjelajahan. Entahlah...

Suatu Hari di Tepi Telaga...

HARI ini aku kembali ke Makassar. Ada kepingan hati yang memanggil-manggil langkah kecilku. Ada sosok yang meminta untuk bertemu. Sosok yang melengkapi sisi lain hatiku yang tumbuh berpasangan bak kecambah. Di Makassar, ada cinta yang memanggil dan membuatku sontak lemas dan merindukan pertemuan dengannya.

Kau dan aku adalah dua tubuh, satu jiwa. Kau adalah sosok yang pada masa silam pernah bersatu jiwa denganku. Jiwa kita pernah sama-sama berpusar dalam energi Sang Pencipta, sebelum akhirnya ditiupkan dalam tubuh yang berbeda. Jiwa kita ibarat dua sisi koin yang saling melengkapi hingga dalam setiap penciptaan kembali, jiwa kita selalu mencari ruang untuk bertaut.

Buddha pernah bilang, manusia adalah energi yang selalu mengalami proses penciptaan. Ketika tubuh manusia bersatu dengan tanah, tidak lantas menjadi akhir bagi jiwa sebab jiwa akan selalu mencari wadah baru untuk tumbuh. Bersetuju dengan Buddha, aku sering berkhayal bahwa pada penciptaan sebelumnya, diriku adalah seorang samurai perkasa dan kau adalah gadis berkimono dengan pipi yang bersemu merah. Kita bertemu dalam satu perjumpaan di dekat telaga dalam satu proses yang amat ajaib. Hati kita langsung bertaut. Aku meninggalkan pedangku hanyut di telaga demi rumah kecil di tepi telaga itu yang kita bangun sama-sama.

Atau mungkin pula dalam kehidupan sebelumnya diriku adalah penyair yang hidup di tepi sungai Yang Tze di Cina, dan kau adalah seorang sosok yang tiba-tiba membuat semua kembang hatiku luruh berguguran. Kau meruntuhkan semua gerbang kata yang kususun untuk mengabadikan gunung Thay San dan Sungai Yang Tze yang berkelok-kelok di hatiku. Kau adalah aksara yang memenuhi semua kanvas lukisan kehidupan yang kusiapkan sebagai tanda bagi semesta yang melingkupiku. Kau adalah samudera yang memenuhi seluruh alam imajinasiku dan memenuhi semua sketsa yang kususun di tepi sungai itu.

Kita tumbuh dalam berbagai episode sejarah dan tidak peduli pada semua peperangan besar yang membuat nestapa manusia. Kita tumbuh di tepi telaga itu dan tidak mau terlibat dalam hiruk-pikuk pertempuran dan bau anyir darah di sana-sini. Hidup bersamamu adalah hidup di tengah pusat universum semesta. Kau adalah angkasa yang menjadi akhir dari semua perjalananku. Bersamamu, aku merasa betah tinggal di tepi telaga itu. Bersamamu adalah bersama semesta yang menyediakan jawab atas semua pencarian dan penjelajahanku.

Berratus-ratus tahun kau dan aku berreinkarnasi kembali. Kita terpisah lama, hingga suatu hari aku menemuimu di satu sudut kampus. Dan secara ajaib, peristiwa masa silam itu kembali melintas dalam benakku. Kita terlontar kembali ke masa kini, tidak dalam wujud samurai dan penyair. Kita sudah tidak bersama-sama di tepi telaga itu lagi. Aku sendiri sudah lupa di mana sungai tempat pedangku berlabuh. Kaupun tidak lagi berkimono merah.

Tapi, bisakah kita mengulangi episode ketika cinta kita tumbuh di tepi telaga itu?

Pesan Buku Lewat Situs

KEMBALI saya memesan buku lewat online. Bukannya sok-sokan, namun ada kebutuhan baca yang mulai tak terpuaskan oleh beberapa toko buku di Makassar. Sebanyak tiga kali dalam seminggu, saya selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi toko buku di Makassar. Makanya, saya paham apa saja koleksi terbaru toko buku tersebut.

Kadang, saya merasa aneh dengan selera baca saya. Sebuah buku yang baru di satu toko buku sering tidak membuat saya tertarik. Tapi, seiring dengan waktu, tiba-tiba saja saya tertarik untuk membaca buku itu, pada saat toko buku sudah tidak memajangnya lagi. Ini saya rasakan pada beberapa buku, misalnya karya Seno Gumira Adjidarma yang judulnya Kitab Omong Kosong. Dua tahun yang lalu, saya lihat buku ini di toko buku, tapi tidak membuat saya tertarik. Nanti setelah buku itu mulai sukar ditemukan di toko buku, saya jadi sakaw untuk membacanya.

Beberapa tahun lalu, saya juga terinspirasi membaca karya-karya Hernowo tentang melejitkan potensi menulis. Kembali membaca tulisannya di situs Mizan, tiba-tiba membangkitkan kembali hasrat saya untuk membaca karya-karya Hernowo seperti Mengikat Makna, Quantum Reading, dan Quantum Writing. Sayang sekali, toko-toko buku sudah tidak memajang karya yang terbit beberapa tahun lalu itu.

Saat-saat seperti inilah saya butuhkan situs buku online yang tetap menyimpan buku-buku yang sudah digusur di toko buku. Situs buku online ini menjadi penyelamat atas hasrat membaca yang meluap-luap dan tidak bisa lagi diwadahi oleh toko buku yang ada. Situs ini menjadi tempat buat saya untuk menelusuri kembali lapis-lapis kenangan saya akan buku-buku yang bermakna, sekaligus menjadi wadah yang menyediakan semua butuh yang saya butuhkan.

Saat menulis postingan ini, saya baru saja memesan lima buku di situs bukabuku.com. Lima buku itu adalah: Mengikat Makna (Hernowo), Langkah Mudah Membuat Buku yang Menggugah (Hernowo), Jangan Mau Gak Nulis Seumur Hidup (Gola Gong), Kitab Omong Kosong (Seno Gumira Adjidarma), serta Orang Cina-Bandar Tol-Candu dan Perang Jawa (Peter Carey).

Ada keuntungan dalam memesan buku lewat situs online. Pertama, harganya lebih murah. Meskipun apada akhirnya, kita juga harus membayar ongkos kirim. Jika dibandingkan dengan toko buku, kita cuma rugi beberapa ribu rupiah. Kedua, koleksinya cukup banyak. Tidak cuma buku-buku terbaru, tapi banyak juga yang menyajikan buku lama yang sudah tidak dipajang di toko buku. Saya akhirnya bisa memperbarui kembali koleksi buku yang beberapa tahun lalu sempat lenyap entah di mana, apakah dipinjam teman dan tidak dikembalikan, ataukah hilang karena dicuri orang.

Mulanya, saya merasa tidak aman membeli buku lewat online. Bisa saja si pengelola situs itu tiba-tiba masa bodoh setelah kita mentransfer uang. Atau bisa saja mereka berasalan bahwa uangnya belum sampai. Namun setelah saya coba bertransaksi untuk membeli buku sebulan yang lalu, saya menyimpulkan bahwa membeli lewat jalur online cukup aman. Saya terpuaskan dengan pelayanannya yang cepat dan transparan. Malah, lewat situs itu, saya bisa mengecek sudah sejauh mana perjalanan paket buku yang saya pesan.

Intinya adalah saya merasa aman dengan pembelian lewat online.(*)

Tafsir Ulang Lokalitas


SAYA cukup menikmati saat-saat tinggal di daerah. Di sini, di rumah orang tua, segalanya serba tersedia. Jika lapar, tinggal ambil makanan ke dapur. Sementara di Makassar, setiap bangun pagi pikiran akan bekerja keras demi mendapatkan uang dan sesuap nasi. Di sini, semuanya ada. Tanpa harus memikirkan mau makan apa.

Dulunya saya pikir setiap pulang kampung, saya akan terisolasi dari informasi. Di sini memang tidak ada koran atau majalah. Tidak ada juga tempat penyewaan atau rental film. Pulang kampung identik dengan kesiapan kita untuk menjauh dari semua perangkat teknologi informasi. Kita menjalani hidup dengan tenang, tanpa diganggu dengan berbagai isu dunia ataupun isu nasional.

Itu dulu. Sekarang beda. Meskipun cuma ada koran lokal, namun saya bisa mengaktifkan internet dari rumah. Maka mata saya mulai menjelajah dunia, menyusuri informasi dari media-media besar. Saya bisa terkejut saat membaca apa yang terjadi di Kopenhagen, Denmark, saat konferensi tentang perubahan iklim. Bayangkan, dari kota sekecil ini saya bisa mengakses Denmark yang jauh di seberang lautan.

Saya rasa, sudah waktunya kita meninjau ulang apa yang disebut kota-desa, serta kemodernan dan keterisolasian. Dahulu, kota identik dengan arus informasi yang tinggi, sementara kampung identik dengan keterisolasian. Tapi di sini, saya merasa kategorisasi itu sudah saatnya dipertanyakan. Di kota sekecil ini saya bisa tetap bergaul dengan warga global. Saya bisa tetap memicingkan mata saat menyaksikan penampilan Beyonce Knowles melalui situs Youtube (lihat gambar di atas. Seksi khan?)

Kita hidup pada era di mana batasan dan teritori fisik sudah mulai kabur. Dalam artian, anda bisa berada di manapun, tapi akan terkoneksi dengan siapapun yang berada di manapun. Batasan geografis jadi tidak penting. Sudah tak masalah anda tinggal di hutan belantara, namun selagi anda masih terkoneksi dengan internet dan teknologi lainnya, anda tetap bisa saling menyapa dengan sesamanya.

Saya teringat antropolog asal India bernama Arjun Appadurai. Ia menyebut situasi sekarang dengan kata 'deteritorialisasi,' situasi ketika semua teritori (batasan) fisik melebur. Kata Appadurai, batas kota-desa, atau pusat-pinggiran, sudah saatnya ditinjau ulang. Ia mendefinisikan ulang lokalitas dengan sebutan struktur perasaan (the structure of feeling). Meskipun anda berjauhan secara fisik, sepanjang anda bisa saling kontak, bisa saling menghubungi dan saling mengetahui keberadaan masing-masing setiap hari melalui teknologi komunikasi, maka anda dihubungkan dalam satu lokalitas. Sebaliknya, meski anda berada dalam satu kota atau bertetangga, jika tidak saling sapa, maka tidak bisa disebut sebagai lokalitas yang sama. Batasannya adalah sejauh mana hati anda terhubung dan bisa saling sapa, sekalipun melalui teknologi.

So, saya tidak sedang terisolasi di sini. Saya sedang menelisik dunia dan tercengang-cengang saat menyadari betapa sempitnya ruang yang pernah saya jelajahi. Di sini, saya bisa terkoneksi dengan banyak orang, menjaga kembali rajutan kenangan, saling bertukar kata dan persembahan, serta tetap membangun struktur atau fondasi perasaan yang pernah sama-sama kita ikrarkan. Di sini, di kota kecil ini, saya sedang mengidentifikasi diri saya sebagai warga dunia.(*)



Ledakan Intelektual di Pulau Kecil


BERAPA jumlah sarjana dan magister di Pulau Buton? Mulanya saya mengira jumlahnya sedikit. Ternyata saya keliru besar. Jumlah sarjana sudah ribuan orang. Sementara jumlah magister, mungkin sudah lebih 100 orang.

Ini kesimpulan yang agak terburu-buru, namun saya meyakini kebenarannya. Jumlah pendaftar pegawai negeri sipil (PNS) di Kota Bau-Bau sangatlah banyak hingga ribuan orang. Padahal, persyaratan untuk seleksi PNS adalah minimal bergelar sarjana. Bahkan, untuk formasi magister, jumlah pendaftarnya hingga puluhan orang. Sementara jumlah yang diterima adalah bilangan jari. Cuma sekitar 10 orang.

Anda jangan berpikir bahwa mereka dari perguruan tinggi kacangan. Tidak. Saya banyak mengenal kawan yang merupakan alumnus perguruan tinggi bergengsi di Jawa. Dan tiba-tiba saja, mereka semua ingin kembali ke daerah dan bersaing memperebutkan kursi pegawai negeri sipil (PNS). Dan sebagaimana tadi telah saya katakan, jumlah mereka sangat banyak.

Menyaksikan fenomena ini, saya agak merinding membayangkan apa yang terjadi di masa depan. Mungkin, sekitar 10 tahun lagi, jumlah yang ada saat ini akan meningkat hingga sepuluh kali lipat. Logikanya, jika setiap tahun kampus-kampus mewisuda para sarjana baru dan magister baru, maka jumlah itu akan membengkak pada satu titik. Jika jumlah lowongan PNS tidak banyak, dan -anggaplah-- hanya mampu menampung 5 persen dari jumlah mereka setiap tahun, bayangkanlah sendiri apa yang terjadi pada tahun-tahun mendatang. Akan terdapat ribuan pengangguran intelektual yang akan menjadi bom waktu bagi permasalahan sosial di masyarakat.

Mungkin ini adalah buah dari kampanye bersekolah pada masa Orde Baru. Dahulu, pendidikan dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk meningkatkan derajat keluarga. Makanya, sekolah-sekolah berpromosi agar anak-anak yang tinggal di sekitarnya bisa bersekolah. Saya masih ingat, dulunya di sampul-sampul buku pelajaran sekolah dasar selalu tertera kalimat "Ajaklah teman-temanmu usia 7-12 tahun untuk sekolah."

Pada masa ini, sekolah dianggap sebagai satu-satunya tangga kesuksesan. Maka bersekolahlah semua anak-anak. Apalagi, orang tua termakan bujuk rayu pemerintah dan kerap mengingatkan anaknya untuk sekolah tinggi-tinggi. Di Pulau Buton, dekade tahun 1980-an dan 1990-an adalah masa-masa di mana seorang anak yang baru saja lulus SMA melambungkan cita-cita untuk sekolah tinggi ke kota-kota besar. Saat lulus SMA mereka berkelana jauh ke kota-kota untuk mencari pendidikan yang lebih tinggi. Ini masa yang romantis. Saya masih ingat begitu padatnya Pelabuhan Murhum Bau-Bau, jelang seleksi tes perguruan tinggi.

Setelah sang anak lulus sarjana, maka mereka mendaki lagi di sekolah yang lebih tinggi yaitu magister. Selanjutnya berbondong-bondonglah mereka kembali ke kampung halaman demi mendapatkan pekerjaan. Memang, banyak juga yang memilih untuk bertahan di rantau, namun saya yakin masih jauh lebih banyak yang memilih kembali ke kampung halaman dengan beragam alasan. Banyak di antaranya yang ikut seleksi PNS. Tapi, jumlah lowongan hanya sekitar 5 persen.

Ke mana yang lain? Mereka berkontribusi pada meledaknya jumlah pengangguran intelektual. Mereka memenuhi kembali kampung-kampung dengan membawa keangkuhan pengetahuan. Banyak yang hanya bisa membual, tanpa berbuat apa-apa. Hanya menunggu tes PNS atau berkolusi agar lulus. Mereka menunggu-nunggu berkah dari langit.

Tapi, tidak semua demikian. Banyak juga yang kreatif dan berbuat sesuatu. Mereka menjadi aktivis, pekerja LSM, serta pengusaha yang kemudian makin meramaikan dinamika di kampung halaman. Mereka menjadi elemen penggerak demokratisasi. Maka makin ramailah dinamika di kampung halaman, dengan hadirnya generasi cerdas, suka berpolitik. Maka makin ramailah kampung halaman dengan intrik politik yang dibawa orang-orang kota. Wah.....!!



Memilih Jadi Indiana Jones

SAYA memutuskan untuk banting stir dari cita-cita saya untuk menjadi akademisi. Lama merenungkannya, saya tiba pada keputusan untuk memilih menekuni profesi lain. Meski demikian, keinginan saya yang menyala-nyala untuk menekuni jalur ilmu pengetahuan tidak akan saya padamkan begitu saja. Saya akan menitinya, namun melalui jembatan yang lain. Mungkin kelak, saya akan merencanakan publikasi yang banyak, tidak hanya merambah pada satu bidang saja. Saya memilih menjadi intelektual bebas yang lepas bagai merpati.

Saya tidak sedang kecewa. Pengalaman saya menyaksikan bagaimana kiprah para akademisi di Universitas Hasanuddin kian membulatkan tekad saya. Pada akhirnya, saya mulai melihat mereka dengan titik pandang berbeda. Memang, para akademisi nampak mulia dalam dunianya. Mereka seolah menjadi penjaga gawang nilai yang menyediakan lentera bagi mereka yang tertatih di tengah kebodohan atau ketidaktahuan. Namun, berapa banyakkah mereka yang menyandang tugas suci itu? Jumlah mereka hanya dihitung jari, lebih banyak para petualang politik, atau mereka yang memilih jalur itu demi tetap menjaga kerja lambung. Atau agar asap dapur tetap mengepul.

Pengalaman saya selama delapan bulan menjadi asisten pengajar, cukuplah memberikan saya pengetahuan apa yang terjadi di balik dunia ini. Saya agak miris melihat rekruitmen tenaga akademisi yang sedemikian rupa. Setiap kali hendak jadi akademisi, pertanyaan pertama adalah siapa yang akan menjadi backing dan mengamankan posisi kita. Memang, ada banyak tes yang harus dilewati. Namun, seperti kata teman Supa Atha’na, “Tes yang banyak itu sengaja didesain untuk menggolkan orang tertentu yang memang sudah disiapkan. Tes itu untuk menahan laju mereka yang berkualitas, tapi punya potensi perlawanan pada sistem,” katanya.

Saya setuju dengan Supa. Betul, ada jalan yang panjang untuk melewati test akademik itu. Tapi saya tidak yakin dengan hasilnya. Saya mengenal banyak dosen muda. Saya cukup mengenal kapasitas mereka. Baik di jalur akademik ataupun praktisi, mereka bukanlah siapa-siapa. Malah, mereka tidak menghasilkan apa-apa, selain kebanggaan semu tentang posisi sosialnya. Mereka hanyalah para pembual yang punya koneksi bagus untuk melewati ajang rekruitmen. Makanya, saya tidak terlalu optimis melihat masa depan universitas ini. Terlampau banyak alumnus terbaik yang apada akhirnya memilih banting stir demi memelihara idealisme dan menantang derasnya gelombang dunia di luar kampus.

Saya memilih untuk tidak bersama para pembual berkoneksi itu. Betapa bodohnya saya jika harus menjilat kiri kanan demi satu posisi. Saya ingin dipandang berdasarkan penguasaan saya atas sesuatu. Saya ingin dinilai bukan karena siapa di belakang saya, melainkan sejauh mana penjelajahan saya di langit intelektualitas, sejauh mana capaian atau karya yang saya hasilkan, atau seberapa banyak tulisan yang saya publikasikan baik di media massa maupun di satu jurnal ilmiah. Saya ingin dinilai karena saya pernah menjadi cumlaude di satu universitas terbaik di negeri ini, pada satu program ilmu murni (pure science) yang penuh dengan penjelajahan filosofis. Saya tidak mau dipandang dari linear tidaknya program studi yang saya tekuni. Pandangan yang menunjukkan kepicikan berpikir dan tiadanya pahaman yang memadai tentang filsafat ilmu pengetahuan. Saya ingin dinilai berdasarkan tanggung jawab sosial yang saya emban: memberikan pencerdasan bagi sesama melalui hal-hal kecil yang bisa saya lakukan dengan langkah sederhana, pada kerja-kerja sosial dan api idealisme yang saya pelihara saat menjadi jurnalis dan pekerja sosial.

Ketika saya memutuskan untuk meninggalkan kampus, maka saya sudah memikirkan semuanya. Saya tidak mau sebodoh seorang asisten pengajar di kampus Unhas, yang mengabdi selama 12 tahun, namun tidak kunjung diangkat sebagai pengajar tetap. Saya tidak sebodoh itu dan meletakkan masa depan saya pada segelintir orang yang angkuh dan harus dijilat agar memandang kita. Saya ingin menentukan jejak langkah sendiri, bukan kepada segelintir orang itu. Saya adalah subyek yang aktif dan hendak menggurat sejarah dengan tangan saya sendiri. Untuk itu saya menolak smeua praktik penghambaan demi satu posisi sosial.

Pada akhirnya, saya memilih banting stir untuk menggapai cita-cita kecil saya yakni menjadi Dr Indiana Jones. Saya ingin fokus menjadi Indiana Jones, pengelana yang berpindah-pindah dari satu koordinat ke koordinat yang lain. Saya ingin bertualang, tidak sebagai akademisi, namun sebagai profesi yang lain. Saya tidak pernah takut tinggal di satu kota kecil. Sebagai antropolog seperti Indiana, petualangan saya adalah menggapai kampung-kampung yang jauh dari peradaban, berkenalan dengan banyak manusia yang tidak banyak tercatat dalam sejarah, bersentuhan dengan mereka yang dibisukan oleh situasi.

Mungkin saya akan meninggalkan banyak kawan di kota. Mungkin pula saya akan meninggalkan berkarat-karat kenangan dan kenyamanan yang pernah saya bangun. Tapi, seperti halnya Indiana, hasrat petualangan yang berkobar-kobar akan membawa saya untuk hidup di negeri yang jauh, pada tempat-tempat eksotis yang tidak banyak diketahui oleh para manusia kota. Demikian pilihan saya. Menjadi Indiana Jones.(*)

Refleksi tentang Prita

.............
Ketika Prita didenda Hakim – yakni petugas Negara yang tak adil – kita secara spontan berduyun-duyun datang untuk bersama perempuan yang dizalimi itu. Kita datang dengan uang recehan – fragmen dari sebuah kesatuan yang tak nampak — yang justru menunjukkan sesuatu yang mengagumkan: kita belum menyerah kepada “tirani keputusan-keputusan kecil”. Kita adalah bebrayan: sesama yang bisa punya saat bersama. Setidaknya sampai hari ini.
.............

Goenawan Mohammad
(Tempo, 14 Desember 2009)

Pesan Dale Carnegie

Ingat, kebahagiaan tidak tergantung pada siapa diri anda dan apa-apa yang anda miliki, melainkan pada apa yang anda pikirkan!!

Dale Carnegie



Tampilan Baru

Kawan yang baik...

Maafkanlah atas ketidaknyamanan ini. Saya sedang bereksperimen dengan tampilan blog ini. Banyak di antara Anda yang memprotes tampilan blog sebelumnya. Saya paham bahwa kenyamanan saat membaca blog juga ditentukan oleh seberapa nyaman tampilannya saat mata memandang. Tentunya saya berusaha untuk tidak membuat anda bosan dan segera meninggalkan blog ini. Sayapun kerap jenuh melihat tampilan blog yang itu-itu saja. Untuk itu, saya juga berusaha berubah. Tidak cuma menyajikan tampilan baru, namun juga untuk membunuh rasa jenuh dan bosan yang kerap bersarang kala harus mengisi postingan baru.

Semoga tampilan yang baru ini tidaklah mengecewakan. Terimakasih...



Kebahagiaan adalah Udara yang Melingkupi


HARI ini ada lagi orang bunuh diri dengan cara melompat dari gedung tinggi. Seorang perempuan bernama Linda Sari (34) ditemukan tewas karena melompat dari lantai 27 dari Apartemen Harmoni, Jalan Suryopranoto, Jakarta Pusat.

Linda bukanlah pembantu. Malah, ia adalah pemilik tunggal apartemen pribadinya di lantai 27 tersebut. Dari segi finansial, ia jelas sangat jauh dari cukup. Bagi warga masyarakat yang hidup di pinggiran kali Ciliwung, Linda menjalani hidup ala Cinderella. Hartanya berlimpah sampai-sampai sanggup membeli sebuah apartemen, yang di Jakarta brata-rata harganya dia atas Rp 1 miliar. Lantas, mengapa ia memilih bunuh diri?

Banyak yang berspekulasi bahwa ia depresi karena pada usia 34 tahun masih lajang. Dunia sekitarnya menuntut ia segera menikah, namun ia tak punya pilihan. Mungkin pula ia depresi karena putus hubungan dengan seseorang. Kata seorang psikolog, seorang perempuan lebih emosional dalam menghadapi suatu masalah. Mereka mudah panik dan menyelesaikan masalah dengan jalan pintas. Ini berbeda dengan pria yang lebih rasional dan bisa menyelesaikan masalah dengan lebih tenang.

Tapi apakah sesimpel itu hingga harus mengorbankan nyawa? Kadang saya agak ragu dengan analisis para psikolog itu. Bagi saya, fenomena ini hanyalah puncak gunung es dari permasalahan sosial yang sesungguhnya mendera bangsa ini. Bagi saya, ada soal besar yang dirasakan perempuan seperti Linda, dan soal itu --tanpa sadar-- juga sedang mengepung kita. Masyarakat kita terlampau sibuk dan bergulat dalam dilema pencarian kebahagiaan, sebuah titik yang membuat kita nyaman sebenar-benarnya, selalu merasa cukup, tanpa diganggu rasa depresi.

Kita kerap alpa dalam mendefinisikan bahagia. Kita selalu hanya melihatnya dengan capaian-capaian ekonomi dan simbol-simbol material. Untuk itu, kemudi hidup kita digerakkan dalam orbit material. Kita mencari ilmu setinggi-tingginya, lalu harta sebanyak-banyaknya. Kelak kita akan tiba pada satu titik bahwa semua itu tidak selalu memberikan rasa nyaman bagi kita. Harta yang menimbun itu tidak bisa memberikan rasa damai. Setiap saat kita was-was dan ketakutan. Sementara mereka yang berumah di pinggir kali justru menemukan kenyamanan tersebut, sesuatu yang kita cari hingga mengorbankan banyak waktu kita dalam hidup.

Fenomena Linda bukanlah fenomena tunggal. Banyaknya warga yang bunuh diri mestinya menjadi perhatian serius bahwa ada masalah serius yang sedang melanda bangsa ini. Pemerintah sibuk berretorika tentang pertumbuhan ekonomi yang harus tinggi agar meninggikan derajat hidup warganya. Tapi fenomena Linda yang berasal dari latar sosial yang makmur menjadi alarm bagi kita bahwa materi bukanlah satu-satunya hal yang dicari manusia. Kita memang mencari bahagia dan demi kebahagiaan itu kita siap melakukan apapun.

Tapi, apakah bahagia memang sampai sejauh itu? Kata Jalaluddin Rumi, manusia yang mencari kebahagiaan ibarat ikan laut yang sibuk mencari air. Bahagia ibarat udara yang senantiasa melingkupi kita. Bahagia adalah sesuatu yang amat dekat dengan diri kita. Dia adalah sesuatu yang tak berjarak, mengisi sesuatu tanpa menuang. Bahagia melingkupi segala sesuatu. Bahagia mengikuti kemanapun kita pergi, namun sayangnya, tak banyak dari kita yang menemukan bahagia tersebut.

Banyak orang arif yang menyarankan untuk bahagia kita tak perlu gelisah dengan apa yang belum kita miliki. Keinginan seperti itu adalah penjara yang membatasi semua gerak kita, memaksa kita untuk mengejar sesuatu, hingga membuat hidup seperti upaya mengejar deadline tertentu. Kita tak menikmati hari sebab setiap saat kita harus mengejar target-target tertentu. Setiap saat kita bergegas, dan waktu menjelma jadi menit-menit yang tanpa makna. Kita tenggelam dalam aktivitas demi mengejar sesuatu yang menjadi ambisi kita.

Ketimbang memikirkan apa yang belum kita miliki, jauh lebih baik jika kita fokus pada apa yang kita miliki. Kita renungi apa yang kita miliki dan melihat mereka yang lebih kekurangan dari kita. Perenungan itu akan membawa kita pada sebersit bahagia bahwa betapa beruntungnya itu. Ternyata, kita punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain, dan semestinya itu harus disyukuri. Ayah saya sering bilang, “Jangan terlampau sering menoleh ke atas. Banyak-banyaklah menoleh ke bawah.” Petuah ini sangat sederhana. Namun betapa pentingnya ketika meresapi makna yang terkandung di baliknya.

Mungkin, sebab-sebab depresi adalah karena kita terlalu sering melihat ke atas, hal-hal yang belum kita miliki dan dimiliki orang lain. Sementara ‘melihat ke bawah’ mengadung implikasi makna agar kita selalu bersyukur pada apa-apa yang kita capai dan –boleh jadi—belum dicapai orang lain. Tak selalu material. Boleh jadi apa yang saat ini kita punyai adalah fisik yang sehat dan rasa bahagia karena dilingkupi orang-orang yang kita cintai. Ini adalah asas yang hidup dan berdenyut dalam masyarakat kita sendiri. Agama dan moralitas tradisional dalam masyarakat kita sudah banyak mencatat kearifan-kearifan tersebut dan ajakan agar kita selalu bersyukur. Dan betapa bodohnya kita karena terlalu modern dan mengejar hal-hal yang jauh di luar jangkauan kita. Untuk bahagia, kita hanya perlu bersyukur dan ikhlas. Kita mencapai ketenangan sebagaimana yang dimiliki oleh mereka yang hidup tanpa rasa ambisi dan ketakutan.

Pada saat menulis ini, saya baru saja disapa tetangga sebelah rumah. Kakinya lumpuh sejak kecil sehingga kalau berjalan ia selalu menyeret tubuhnya. Tapi ia mandiri. Ia tidak larut dalam keberadannya sebagai orang cacat. Ia menjadi tukang kayu dan mengerjakan pekerjaan berat yang tidak sanggup dilakukan orang normal. Rumahnya sederhana, hanya berdinding bambu. Tapi jangan tanya seberapa banyak kebahagiaannya. Di rumah itu, ia punya seorang istri dan empat orang anak yang selalu gembira. Rumahnya riuh dengan gelak tawa. Dan setiap pagi, ia selalu menyapa saya dengan senyum lebar, sesuatu yang membuat saya iri.

Tiba-tiba saja saya tersentak. Dalam keterbatasan itu, ia lebih bahagia dari Linda Sari yang bunuh diri di apartemen mewah.....



Masjid Raksasa, Satu Jamaahnya


PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) Sulsel akan membangun masjid raksasa dengan 99 tiang. Di lokasi yang direncanakan akan menjadi kawasan Center Point of Indonesia (CPI), akan dibangun masjid besar yang diyakini akan kian mengukuhkan imej Sulsel sebagai Serambi Madinah.

"Pembangunan Masjid tersebut akan semakin mengukuhkan Sulsel sebagai bumi serambi Madinah. Sementara 99 tiang Masjid bersumber dari Asmaul Husna atau jumlah nama-nama Allah," ujar Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dalam rapat paripurna DPRD Sulsel, sebagaimana dikutip Kompas.com, Senin (14/12).

Ada beberapa hal menarik yang tiba-tiba membuatku gatal berkomentar. Pertama, apa pentingnya mengklaim diri sebagai serambi Madinah? Mengapa tidak membiarkan saja masyarakat yang memberi klaim tersebut karena melihat bahwa di bumi Sulsel, Islam sudah lama membumi dan menyatu dengan napas masyarakatnya. Pandangan yang mengklaim diri sendiri sebagai Serambi Madinah adalah pandangan yang menyiratkan keangkuhan tanpa melihat realitasnya di masyarakat.

Orang Sulsel hanya bangga dengan sejarahnya sebagai pemeluk Islam yang taat. Namun, apakah benar sejarah mencatat demikian? Saya jadi ragu. Saya pernah membaca catatan penjelajah asing yang singgah ke Pelabuhan Makassar pada abad ke-17. Ia mencatat tentang Gowa sebagai negeri yang memeluk Islam, namun tidak taat. Saat penjelajah itu memasuki kota Makassar, ia menyaksikan Sang Sultan sedang menyabung ayam. Ini belum termasuk catatan tentang bagaimana intrik di istana serta sejumlah praktik yang jauh dari Islam. Lantas, apa dasarnya menyebut diri sebagai Serambi Madinah?

Mungkin ini ada hubungannya dengan keberadaan Qahhar Mudzakkar yang pernah memproklamirkan negara Islam. Tapi, apa artinya klaim tersebut di saat Islam ditegakkan dengan berdarah-darah. Mereka yang bukan Islam banyak dibunuh, para pendeta bissu mengalami kekerasan, serta teror pada penduduk hingga menimbulkan kenangan yang traumatik. Sejarah Sulsel tak banyak mencatat keemasan tentang pembumian syariat Islam. Kalaupun ada, maka mungkin itu bisa ditemukan pada sosok Syekh Yusuf yang mendunia. Tapi harus dicatat, Syekh Yusuf sudah lama meninggalkan Makassar. Ia melengkapi catatan tentang mereka yang sufi dan terasing dari negerinya. Kesimpulan saya, klaim 'Serambi Madinah' itu tidak berdasar dan terlalu mengada-ngada.

Kedua, ngapain membangun masjid sebesar itu kalau jamaahnya hanya beberapa gelintir? Di Kota Makassar saja sudah bertebaran banyak masjid besar dengan konstruksi yang mentereng. Namun, jangan tanya berapa jamaahnya. Jamaah hanya membeludak hanya saat salat Jumat. Sementara pada salat wajib, jumlah jamaahnya tidak sampai satu saf. Di saat banyak masjid bertebaran hingga seribu, namun jamaahnya hanya itu-itu saja. Toh, banyaknya masjid tetap saja tidak menjelaskan sejauh mana kedalaman masyarakatnya memahami Islam. Semuanya akan berpulang pada sejauh mana semangat Islam yang indah itu bisa melebur dalam kehidupan masyarakatnya. Bukan dari seberapa banyak masjid dalam satu kota. Lagian, ketimbang membikin masjid-masjid besar, kenapa pemerintah tidak menjalankan program untuk membumikan ajaran Islam itu sehingga menjadi darah yang mengaliri jantung kehidupan masyarakat. Upaya-upaya yang bisa menjelmakan Islam sehingga menjadi berita gembira dan rahmat bagi banyak orang.

Ketiga, di satu sisi apa yang dilakukan Pemprov Sulsel seolah-olah religius dan sangat mencintai agama Islam. Namun di sisi lain, ini mencerminkan pandangan yang picik mengenai Islam. Islam diciutkan hanya bermakna material semata. Islam dilihat sebagai benda. Seolah ketika membangun masjid raksasa, maka Islam akan makmur dan jaya. Seolah ketika masjid raksasa berdiri, maka akan memberikan kebanggaan bagi umat dan semua problem masyarakat selesai. Padahal, bukan di situ letak substansinya. Ngapain membangun masjid sebesar itu ketika di sekitarnya terlampau banyak pengemis yang memenuhi jalan-jalan di Kota Makassar dan menadahkan tangan hanya demi sesuap nasi. Tantangan terbesar bagi kita semua adalah bagaimana membumikan Islam menjadi makna yang menjadi sukma bagi tindakan semua masyarakat. Bukannya membangun masjid besar yang raksasa.

Malah, tindakan membangun masjid besar tersebut mencerminkan pandangan yang menjadikan Islam sebagai komoditas politik untuk meningkatkan imej sebagai pemimpin yang religius. Islam direduksi hanya sebagai alat kekuasaan, sesuatu yang bisa menaikkan citra sang penguasa. Inilah zaman virtual ketika agama kehilangan rasa. Hanya menjadi sesuatu yang megah, namun tidak terasa sebagai jiwa yang menenangkan.(*)

Bulgo Books Rental


SETIAP orang pastilah punya impian sendiri. Ada yang bermimpi menggapai puncak Everest, bahkan mimpi yang paling ‘gila’ sekalipun yakni bisa menjangkau bulan. Tak ada yang salah dengan mimpi itu. Sebab mimpi akan menjadi mercu suar yang memberikan tanda arah dan tujuan. Melalui mimpi, manusia bisa tahu hendak ke mana arah yang dituju dan tidak akan tersesat di jalur tersebut. Makanya, selagi gratis, kita tak perlu takut bermimpi setinggi langit.

Adikku Atun tengah mendaki puncak mimpinya. Ia akhirnya membuka rental yang menyewakan ratusan buku-buku. Mulai dari novel yang berat-berat seperti Da Vinci Code hingga jenis komik yang ringan-ringan seperti Doraemon. Ini bukan sekadar rental biasa yang bermaksud mencari marjin keuntungan besar. Ini adalah mimpi yang sudah lama diikrarkannya dengan teguh. Makanya, ketika mimpi itu tergapai, ia amat bahagia dan menjalani hari-harinya dengan riang.

Setiap hari yang dipikirkannya adalah rental buku yang dinamakannya Bulgo Books Rental –nama yang diambil dari nama kesayangan ponakan di Kolaka. Mulanya ia hanya memajang koleksi pribadi. Tapi nampaknya, koleksi itu mulai tidak memadai. Ia lalu menghubungi beberapa jasa penjualan buku komik melalui internet. Suaminya juga menyempatkan waktu ke Jakarta dan menjelajahi pusat perbelanjaan Senen demi menemukan buku-buku yang dijual yang murah. Berkardus-kardus buku telah dibelinya hingga memenuhi ruang tengah rumahku yang juga sudah dipenuhi kardus buku pesanan melalui internet.

Seisi rumah ikut-ikutan repot. Mamaku kebagian tugas membungkus buku dengan plastik tipis transparan. Tetanggaku ikut menstempel semua buku. Sementara Atun sendiri setiap jam tiga sore akan ke rental buku dan menjagainya hingga jam sembilan malam. Ia hanya buka tutup rental saja, meskipun sesekali ikut membungkus buku dengan plastik.

Banyak anggota keluarga yang mulanya pesimis dengan rental itu. Apalagi, biaya sewa ruko yang cukup mahal yakni Rp 6 juta per tahun. Tapi, baru seminggu rental beroperasi, semua paham bahwa ternyata bisnis itu menjanjikan. Satu demi satu para pelanggan berdatangan. Pelanggan awal adalah anak-anak SMP yang gandrung pada komik Jepang. Kini, pelanggannya mulai bervariasi. Mulai banyak ibu-ibu pegawai negeri yang menggemari novel-novel Danielle Steele dan Harlequin. Ada pula dokter yang menggemari novel berat seperti Digital Fortress karya Dan Brown.

Banyaknya pelanggan itu membawa marjin keuntungan yang lumayan. Ia sudah bisa tersenyum saat memproyeksikan keuntungan yang bakal ditangguk dalam setahun. Tapi aku yakin bukan keuntungan itu yang menjadi tujuannya. Ia menikmati hari-hari yang bergelimang dengan buku, memiliki sedikit keuntungan untuk membeli buku-buku terbaru, serta menggapai impian yang lama didengungkannya diam-diam. Ini adalah kuncup bahagia yang mekar di hati saat sebuah impian berhasil diwujudkan.

Untuk itu ia sangat bahagia menjalani hari-harinya. Mungkin saat ini ia tengah mengamati list rencana hidupnya. Mungkinkah ia sedang mencari-cari mimpi apa lagi yang belum digapainya?

Bau-Bau, 14 Desember 2009

Tak Perlu Jadi Orang Denmark untuk Bahagia


TANPA sadar, mungkin kita sudah jadi budak modernisasi. Kita sibuk mengejar kekayaan dan kemasyhuran, dan di saat bersamaan, kita kehilangan saat-saat indah bersama keluarga atau orang-orang yang mencintai kita. Kita kehilangan momen-momen penting untuk bersama-sama dan memaknai hari-hari dengan bahagia bersama semua orang terdekat kita.

Hari ini, ada tulisan karya Hendrawan Nadesul yang menyentuh saya di harian Kompas, Sabtu (12/12). Ia menjelaskan survei Adrian White dari Universitas Leinchester tentang bangsa-bangsa yang bahagia di dunia. Ternyata, bangsa yang paling kaya bukanlah bangsa yang paling bahagia. Bangsa paling bahagia adalah bangsa Denmark. Mau tahu apa alasannya? Simak kutipan berikut:

Rasa bersyukur. Orang Denmark gampang bersyukur, menikmati hidup tanpa perlu berkelimpahan, hidup secukupnya (contentment), serta merasa tak perlu diperbudak kesuksesan. Kenapa Denmark bisa begitu? Di Denmark pendidikan dan kesehatan gratis, hari tua terjamin, ditunjang filosofi hidup tak perlu ngoyo. Lain dari itu tingkat pengharapan (ekspektasi) orang Denmark rendah. Kesuksesan kecil saja sudah bikin mereka bahagia. Apabila gagal, mereka pun masih berbesar hati untuk bangkit lagi.

Tulisan ini sangatlah inspiratif. Ternyata, uang bukanlah segala-galanya yang memberikan kebahagiaan bagi siapapun. Kita melihat kemegahan bangsa-bangsa dari seberapa banyak pencakar langit yang dibangun. Ternyata itu tidak memberikan kebahagiaan. Manusia membutuhkan sesuatu yang lebih dari itu. Kita butuh sesuatu yang membahagiakan. Ini memang hal yang sederhana. Mungkin, kita sedari kecil sudah pernah diberi tahu bahwa uang bukanlah segala-galanya. Tapi betapa tidak mudahnya menerjemahkan pahaman tersebut dalam dunia sosial kita. Selanjutnya kita terjebak arus mereka yang sibuk mengejar uang dan kekuasaan. Kita jadi tidak menghargai waktu dan hal-hal kecil yang ada di sekitar kita. Sesuatu yang remeh-temeh, namun membahagiakan.

Sejak bangsa-bangsa memasuki modernisasi, semuanya mengejar kesenangan dan kemewahan. Pada masa silam, bangsa-bangsa bersaing demi menunjukkan dominasi kekuasannya sebagaimana kisah pertarungan bangsa Troya dan bangsa Sparta. Pada masa kini, bangsa seperti Jepang dan Amerika saling membuktikan bahwa dirinyalah yang paling berkuasa. Sayangnya, itu tidak menjadi ukuran kebahagiaan warganya.

Kata Nadesul, survei Adrian White membuktikan, bangsa yang didikte oleh keinginan dan ambisi tinggi tidak lebih berbahagia dari bangsa yang mendahulukan rasa bersyukur dan hidup secukupnya. “Hal itu karena betul tak ada batas tertinggi buat kepuasan. Sayang hanya seperempat responden dunia yang meniscayai itu. Dengan mengukur satisfaction with life index, kebahagiaan bangsa Jepang hanya di urutan ke-90 dunia. Negara kecil dan tak terlalu kaya, seperti Bahama, Swedia, Malta, Kosta Rika, dan Butan, termasuk 20 besar dunia dalam kebahagiaan bangsanya. Hidup juga perlu enjoy,” katanya.

Survei kebahagiaan yang memakai data WHO, UNESCO, CIA, dan New Economic Foundation tersebut diukur dari kepuasan subyektif bangsa terhadap kesehatan, pendidikan, dan kekayaan relatif, selain tingkat pengharapan terhadap hidup. Makin rendah ekspektasi suatu bangsa, makin gampang tumbuh rasa bersyukurnya dan terangkat rasa bahagianya. Sebaliknya, makin tinggi ekspektasi bangsa, makin sering tidak puas dan menjadi kurang bahagia.

Kita melihat bagaimana orang Jepang berjalan kaki seperti dikejar hantu. Mereka rata-rata gila kerja dan tinggi ekspektasi dalam hidupnya. Begitu juga orang Korsel, China, dan Thailand, yang derajat kebahagiaannya masing-masing di urutan ke-102, ke-82, dan ke-76 saja. Tingkat pengejaran prestasi tanpa henti bangsa berbanding terbalik dengan tingkat perolehan kebahagiaan hidup.

Membaca tulisan Nadesul ini saya terhenyak. Kebanyakan dari kita menjadikan uang sebagai hal penting. Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya agar kelak sang anak bisa menjadi mesin pencetak uang. Ketika anak itu gagal menjadi orang kaya, maka orangtua tiba-tiba merasa gagal dalam kehidupan. Akhirnya sang anak merasa bersalah dan kemudian bunuh diri. Uang adalah simbol kekuasaan. Uang seolah mendikte semua orang untuk bekerja keras dan belajar lebih giat. Uang memisahkan manusia dari manusia lainnya dan saling mengabaikan hubungan-gubungan manusiawi yang bisa dirajut. Kita kehilangan banyak waktu luang untuk mengejar uang.

Uang juga telah mendikte pendidikan kita untuk mencetak lulusan sebanyak-banyaknya agar bekerja secepat-cepatnya. Pendidikan kita memperlakukan mahasiswa seperti robot yang bekerja demi mencetak uang. Pendidikan kita tidak memanusiakan. Tidak mengajarkan kita untuk mencintai sesama kita. Tidak memberikan rasa bahagia pada diri kita. Pendidikan menjadi pecut atas keserakahan kita untuk segera lulus dan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.

Yang hebat dari bangsa Denmark karena mereka melihat kesuksesan hidup sangat penting, bukan faktor uang. Mereka menikmati hidup bersama semua anggota keluarga dan teman-teman dekatnya.

Bagi saya, kebahagiaan ala bangsa Denmark itu bisa pula ditemukan dalam masyarakat kita. Banyak masyarakat desa kita yang masih memelihara indahnya hubungan-hubungan kekeluargaan. Tapi, seberapa kuatkah nilai-nilai itu bisa bertahan tatkala setiap hari kita berhadapan dengan sinetron-sinetron yang menampilkan gaya hidup mewah? Pemerintah kita yang sibuk menyingkirkan warga desa dengan rupa-rupa alasan. Kemudian para aktivis LSM yang menganggap masyarakat desa sebagai obyek yang akan mendatangkan uang.

Tapi kita harus tetap optimis. Saya myekini bahwa nilai-nilai itu masih berdenyut di sebagian masyarakat kita. Untuk itu, kita berharap agar nilai-nilai dan kearifan tradisional itu bisa lestari. Toh, nilai-nilai itulah byang membahagiakan kita. Anda tak perlu mengejar prestasi setinggi-tingginya. Cukup menjadi orang biasa, dan bahagialah dengan sesama keluarga. Inilah pelajaran berharga yang saya temukan dari tulisan ini.(*)

Seleksi PNS dan Permainan Kuasa

MENJADI pegawai negeri sipil (PNS) di daerah ibarat meraih impian yang paling tinggi. Di daerah-daerah, tak banyak pekerjaan yang hebat-hebat sebagaimana di kota. Tidak banyak kantor swasta yang bisa menggaji layak para bawahannya. Tak banyak BUMN yang gaji karyawannnya tinggi-tinggi dan memungkinkan untuk hidup mewah. Di daerah-daerah hanya ada satu profesi yang prestisius yakni menjadi PNS. Pantas saja jika banyak yang siap menggelontorkan uang hingga Rp 60 juta demi mendapatkan status sebagai PNS.

Ke manakah dana disetorkan? Ini sudah menjadi rahasia publik. Terdapat banyak jalan ke mana dana itu hendak disetorkan. Tampaknya, ada semacam kerjasama yang menguntungkan antara aparat pemda dengan mereka yang menginginkan jalan pintas. Di negeri ini, terlalu banyak orang serakah yang mengincar banyak duit demi memperkaya diri sendiri. Makanya, selagi tes PNS masih diadakan di daerah, maka akan selalu ada jalan pintas, tanpa melihat bagaimana kebutuhan daerah di masa mendatang. Lagian, ini bukan cuma terjadi di daerah. Bahkan di kota-kota atau pusat sekalipun, praktik seperti ini sudah jadi rahasia umum. Malah, di dunia akademis sekalipun, praktik ini terjadi. Saya sudah mengalaminya sendiri. Tapi akan saya kisahkan dalam tulisan lain.

Meski bayarannya mahal, tetap saja banyak yang bersedia membayar. Orang-orang berpikir, mendingan bayar seharga Rp 65 juta, tapi setelah itu masa depan sudah di tangan. Menjadi PNS adalah kesuksesan meraih masa depan yang cerah. Rata-rata orang daerah berpikir bahwa PNS bukan hanya identik dengan baju seragam yang mentereng, namun juga gaji tinggi, mobil dinas pelat merah, serta waktu luang yang cukup besar untuk menikmati hidup bersama keluarga.

Ini berbeda dengan para pegawai BUMN atau kantor pertambangan lain yang kaya-raya, tapi hari-harinya adalah kerja keras, tanpa banyak waktu kosong untuk berleha-leha bersama keluarga. Makanya, profesi PNS amat prestisius bagi banyak orang di daerah.

Saya menyaksikan langsung bagaimana proses seleksi PNS di daerah. Selama beberapa hari ini, hampir semua kabupaten di Sulawesi Tenggara mulai menerima pendaftaran PNS. Rata-rata menyetor berkas pendaftarannya di kantor pos di daerah masing-masing. Makanya, selama beberapa hari ini, kantor pos padat dengan ribuan manusia yang hendak mengadu nasib.

Saya menyaksikan ribuan orang yang berdesakan di kantor Pos di Kota Bau-Bau. Saking padatnya antrian, sampai-sampai Jalan Murhum --tempat kantor tersebut-- harus ditutup demi melayani para pencari kerja tersebut. Ada pengharapan besar pada wajah mereka yang sedang antri tersebut. Saya sendiri bertanya-tanya, apakah ribuan antrian ini, serta karut-marutnya pelaksanaan tes PNS adalah pertanda bahwa negeri ini sudah gagal menyediakan pekerjaan yang baik bagi warganya sendiri? Mereka paham bahwa akan ada permainan di balik tes itu, tapi mereka tetap saja ngotot menjalani tes dan menguji sejauh mana peluangnya untuk mengalahkan nasib. Atau mungkinkah mereka yang datang itu, rata-rata sudah punya backing di luaran sana?

Tiba-tiba saja saya membayangkan bagaimana daerah ini ke depan. Masih adakah masa depan gemilang ketika seleksi PNS menjadi ajang permainan uang dan kekuasaan? Bisakah kita berharap banyak bahwa proses ini akan melahirkan para PNS yang terbaik untuk memberikan pelayanan publik bagi warga daerah? Ataukah seleksi ini hanya untuk mengumpulkan pundi-pundi keuangan, tanpa bermaksud menambah pasokan personel bermutu bagi institusi di daerah?

Maafkan kawan, saya hanya menjadi penyaksi yang bersuara parau atas fenomena ini. Saya tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya.

Biarlah Saya Ikut Arus...

SAYA tidak terlalu tertarik untuk ikut seleksi pegawai negeri sipil (PNS). Tapi, kelihatannya, saya tidak punya banyak pilihan. Ada begitu banyak orang yang peduli dan meminta saya untuk segera kembali ke daerah. Tak ada yang bisa saya lakukan selain mengikuti arus, kemudian setelah itu kembali ke rel obsesi dan hasrat saya. Kali ini, biarlah saya kembali ke daerah selama beberapa waktu, lalu merencanakan lagi hal lain. Mungkin ini jalan yang paling bagus.



Nostalgia Demonstrasi


SEJAK pagi tadi saya ikut barisan massa yang berdemonstrasi. Saya bergabung bersama kawan-kawan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Makassar Timur, serta kawan-kawan dari koalisi lembaga kemahasiswaan di Unhas. Bagi saya, ini bukan sekedar demonstrasi biasa. Ini adalah momentum reuni dengan sesama sahabat para mantan aktivis mahasiswa Unhas. Saya bahagia bisa bersama-sama dengan mereka.

Kami bergerak dari pintu 1 Unhas menuju jembatan fly over. Ini adalah untuk kesekian kalinya saya menyaksikan ribuan mahasiswa Unhas yang memenuhi jalanan dengan mengenakan atribut jas almamater berwarna merah. Saya serasa bernostalgia dengan masa-masa demo yang marak pada tahun 1998 sewaktu menggulingkan Soeharto. Semangat berkobar-kobar. Sepanjang jalan, saya ikut meneriakkan yel-yel makian pada rezim ini yang korup.

Saya cukup menikmati suasana. Tapi setelah dua jam berarak, saya mulai kelelahan. Saat itulah saya sadar bahwa saya sudah bukan anak muda yang penuh semangat demi perubahan. Kepala mulai pening akibat kepanasan. Persendian serasa mau copot. Saya lelah karena aktivitas hari ini yang di luar kebiasaan. Fisik yang lelah itu menjadi alamat bahwa sudah saatnya saya menghentikan ‘kegilaan’ hari ini.

Saya lalu memisahkan barisan. Lalu ke sebuah kafe untuk menenangkan diri. Betapa nikmatnya aroma es teh jeruk yang diminum saat kepanasan dan kelelahan. Saya lalu mengaktifkan facebook dan melihat ada pesan dari sahabat Irvan Irawan. “Bang Yus, sudah bukan waktunya melakukan aktivitas fisik yang lelah. Pikiran anda yang kami tunggu.” Saya renungi pesan tersebut. Irvan benar. Sudah waktunya aktifitas fisik ditransformasi menjadi kegiatan berpikir. Penalaran adalah bentuk perlawanan juga.
Tapi, apa salahnya bernostalgia?

foto by Hariandi Hafid

Titip Koin buat Prita

SAYA ingin menyumbangkan koin yang saya miliki kepada Prita. Tapi, di kota Makassar tak ada Posko Peduli Prita. Makanya saya bingung hendak kasih sama siapa koin yang begitu banyak. Ada yang bisa kasih saran?

Bung...!!! Ayo Bikin Revolusi

BUNG! Bukankah telah berkali-kali kukatakan bahwa ada yang salah di negeri ini. Kita tak pernah tahu apa yang sedang terjadi di dalam kelambu kekuasaan. Mereka –yang sibuk mengklaim keberadaan kita sebagai rakyat—sedang memainkan lakon yang kian memusingkan. Di dalam kelambu itu sedang ada intrik yang tertutup dan haram hukumnya diketahui oleh kita sebagai warga bangsa. Kita hanya menyaksikan satu fragmen ala opera sabun yang tak pernah jelas arahnya. Sementara mereka sibuk bersilat kata dan adu gertak, dan sesaat kemudian segera tersenyum tatkala kamera televise menyorot.

Bung…!! Kita dibodoh-bodohi oleh situasi. Tidak ada yang mau memberikan penjelasan, sekadar agar kita sebagai kawula tidak bingung. Bukankah kau sendiri pernah bilang bahwa penguasa yang suka menyembunyikan sesuatu adalah penguasa yang menyimpan muslihat? Jika memang tak ada yang salah di sini, kenapa tidak buka-bukaan saja? Biar kita sama tahu, kalau perlu kita saling menahan dan tidak baku tikam dengan usus memburai di jalan-jalan.

Bung..!! Pemerintahan ini semakin tidak jujur. Aku punya firasat bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan ibarat bangkai yang meskipun ditutup rapat, toh baunya tercium juga. Kita sama-sama mencium bau busuk. Tapi anehnya, tak ada satupun para pemimpin kita yang mau buka suara. Semuanya sibuk menjaga citra. Di negeri ini, nilai-nilai kesatriaan sudah lama lenyap. Tak ada lagi manusia gagah perkasa yang berbesar hati mengakui kesalahan dan siap meletakkan lehernya untuk dipenggal sebagai hukuman. Negeri ini krisis manusia besar yang berbesar hati mengakui ada sesuatu yang terjadi.

Bung..!! Terlalu banyak dalih di negeri ini. Semuanya tenggelam di balik apologi dan alibi. Jiwa besar sudah lama tamat dikalahkan kepengecutan. Jikapun ada manusia berjiwa besar, rasa-rasanya tak akan mungkin membongkar sesuatu yang akan menyeret banyak petinggi-petinggi. Tapi, bukankah berkali-kali kau bilang bahwa dalih sebesar apapun akan kesulitan menutupi bau anyir bangkai yang menyengat di hidung para rakyat? Dan betapa bodohnya kita yang diam saja dan tidur seperti bayi, sementara firasat kita bergidik kala mengetahui apa yang terjadi. Kita sama dungu kala hanya diam saja, tanpa melakukan apa-apa. Kalau kita terus diam begini, maka kebajikan bisa tenggelam. Dan keangkaraan akan menenggelamkan negeri kita.

Bung…!! Mari kita kepal tangan. Kita garami massa dengan samudera gagasan. Kita bakar mereka dengan api kesadaran yang kita sulut. Kita getarkan angkasa dnegan sorak-sorai perlawanan. Kita akan teriak dengan gemuruh hingga membuat mereka terbirit-birit. Kita kalahkan mereka. Kita bikin peradaban baru tanpa korupsi, tanpa penindasan, tanpa kejahatan. Bung..!! Marilah kita kembali ke jalan. Kita rapatkan barisan dan sama-sama teriak revolusi!!!! Bung,... Ini revolusi!!!



Dahaga yang Tak Terpuaskan


BELAKANGAN ini, minat baca saya sedang di puncak-puncaknya. Hampir tiap minggu saya beli buku baru. Itu belum cukup, saya juga seolah menjadi pelanggan (karena rajin membeli secara eceran) beberapa majalah seperti Tempo, Intisari, National Geographic, dan Traveler. Itupun saya merasa kurang, padahal setiap hari saya rajin membaca Kompas dan beberapa media lokal. Rasa dahaga saya pada bacaan baru lagi di puncak-puncaknya. Setiap membaca sesuatu, rasa tidak puas kembali datang sehingga saya akan membeli edisi berikutnya.

Saya tak peduli bahwa demi memenuhi rasa puas itu saya mesti menghabiskan banyak uang. Saya tak peduli, deposit ATM-ku semakin terkuras karena bacaan-bacaan tersebut. Nilai buku atau majalah itu tak sebanding dengan kerja keras para penulisnya untuk menghadirkan sebuah bacaan yang bermutu bagi khalayaknya. Lihat saja edisi National Geographic yang terbaru. Liputannya tentang satu suku di belantara Afrika yang tidak pernah berdusta dan mempertahankan cara hidup tradisionalnya. Andaikan saya datang langsung melihat suku tersebut, betapa mahalnya ongkos yang saya keluarkan. Namun cukup membeli National Geographic seharga Rp 50.000, maka keingintahuan itu segera terjawab.

Kalau saya perhatikan buku-buku yang saya beli selama sebulan terakhir, kebanyakan adalah buku-buku fiksi atau sastra. Padahal minat saya bukan cuma sastra saja, akan tetapi pada buku-buku tentang ilmu sosial. Sayangnya, saya tidak banyak menemukan buku-buku baru di bidang ilmu sosial. Sebagaimana pernah saya katakan di blog ini, produktivitas ilmuwan sosial di tanah air kita amat sangat rendah, jika dibandingkan produktivitas para penulis fiksi. Buktinya, saat ke toko buku Gramedia di Makassar, rak yang memajang karya ilmu sosial hanya satu saja, sementara tak yang memajang karya fiksi berjumlah puluhan.

Jangan-jangan, problemnya terletak pada percetakan dan toko buku. Mereka hanya mau mencetak atau menjual buku-buku yang laku di pasaran saja. Tapi masalahnya, apa sih definisi pasaran tersebut? Bukankah mereka yang bergerak di lapangan ilmu sosial juga bisa menjadi pasar yang baik untuk buku-buku sejenis?

Mungkin masalahnya bukan cuma produktivitas para ilmuwan sosial yang rendah, namun juga kemampuan membaca yang rendah. Masyarakat penggiat ilmu sosial tak begitu suka memperluas wawasannya. Mereka cukup puas mendapat pendidikan di bangku perguruan tinggi, tanpa mengasahnya dengan bacaan-bacaan baru yang lebih segar. Mereka juga tidak tertarik untuk menuliskan dengan tekun semua buah-buah pikirannya hingga menjadi inspirasi bagi banyak orang. Rasa cepat puas itu adalah jurang terjal yang akan menelan mereka pada situasi kepongahan tentang diri yang hebat, dan kelak akan menjadi krisis yang mendera.

Tapi saya tak mau ikut-ikutan larut. Saya mau membaca sebanyak-banyaknya dengan sikap yang tidak pernah puas.(*)



Kondisi LSM yang Terseok-seok

HARI ini kembali saya rapat program dengan teman-teman di Lembaga Studi Informasi Media (Elsim). Kami membahas rencana kerjasama dengan satu lembaga internasional yakni World Wildlife Fund (WWF). Kemarin, saya sudah ketemu dengan Mas Koko, project officer WWF untuk sama membahas apa yang hendak dilakukan. Selama setahun, Elsim akan menerima bantuan sebesar Rp 300 juta, untuk mengelola program kampanye lingkungan secara bersama. Posisi saya sendiri sebagai penggembira yang memberikan sumbang saran. Saya juga diminta mengelola beberapa kegiatan.

Menurut saya, jumlah bantuan tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan rencana besar program yang hendak dibuat. Duit Rp 300 juta jelas tidak memadai untuk rencana menggerakkan kesadaran publik tentang pentingnya satu isu. Entah kenapa, sudah jarang lembaga internasional yang mengucurkan dana besar untuk kegiatan. Dua bulan yang lalu, saya juga ikut menandatangani MoU antara Toyota Foundation dengan Pusat Kegiatan Penelitian (PKP) Unhas untuk riset dan advokasi tradisi La Galigo.

Dananya tidak seberapa besar yakni Rp 300 juta untuk dua tahun kegiatan pendampingan dan pemberdayaan. Saya sering bertanya-tanya, mengapa dana yang dikucurkan buat LSM kian tahun kian sedikit. Ini jelas sangat berbeda dengan situasi pada masa sebelum dan pasca-reformasi. Pada masa itu, ada begitu banyak uang yang dikucurkan kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tiba-tiba saja, para penggiat LSM langsung kaya raya dan serasa mendapat durian runtuh.

Makanya, menjadi fenomena yang tidak mengherankan kalau pada masa itu, LSM menjadi garda depan perubahan sosial. Hampir tiap hari ada saja LSM yang memberikan gagasan baru bagi upaya penemuan langkah-langkah bagi bangsa ini ke depan. Menurut saya, para penggiat LSM harus kaya. Bukan dalam artian mereka hidup mewah, namun mereka sanggup memenuhi semua kebutuhannya. Mereka juga manusia kok. Mereka harus bisa membebaskan dirinya dari masalah kemiskinan, sebelum melakukan pemberdayaan kepada orang miskin. Mereka tak boleh terjebak dengan persoalan yang semestinya harus diselesaikannya.

Sayangnya, situasi saat ini amat jauh berbeda. Kondisi LSM seperti Elsim bagaikan ’hidup segan mati tak mau.’ Banyak aktivis LSM di Sulawesi Selatan yang ’banting setir’ menjadi petualang politik atau tim sukses pada berbagai perhelatan politik baik di tingkat provinsi, maupun di daerah-daerah. Dana bantuan program dari berbagai lembaga internasional kian sedikit. Malah, dana itu tak cukiup untuk sebuah program besar dengan hasil terukur sebagaimana yang dituntut oleh para pendonor.

Dalam keadaan seperti ini, apakah yang bisa dilakukan? Saya tidak tahu. Saya selalu percaya bahwa banyak aktivis LSM yang masih idealis demi menggapai visi besar untuk pemberdayaan masyarakat. Tapi, seberapa banyakkah mereka yang seidealis itu dan tidak memikirkan apakah asap dapur mengepul ataukah tidak? Dalam amatan saya, kebanyakan aktivitas LSM justru sibuk putar otak untuk menyiasati keadaan. Makanya, kondisi di dunia LSM tidak semeriah dulu.

Tapi, kadang-kadang saya melihat ada soalan juga di dunia LSM. Barangkali, ada sejumlah LSM yang punya akses langsung pada lembaga donor semacam World Bank. Mereka kemaruk dan menguasai dana sendirian, tanpa hendak berbagi dengan lembaga lainnya. Mereka kaya sendirian dan tak mau membagi jaringan.

Inilah dunia LSM di Sulsel. Mereka mesti pandai-pandai bernegosiasi dengan para pendonor yang pelit dan banyak maunya, juga persaingan dengan sesama LSM yang kadang kemaruk. Lantas, di manakah posisi para aktivis LSM yang idealis? Marilah kita sama-sama menjawabnya.(*)

Nagabumi, Ilmu Silat, dan Ilmu Filsafat


PADA tahun 1980-an, saya dan (mungkin) anda pernah menjadi penggemar berat dari kisah-kisah silat karangan Asmaraman S Khoo Ping Hoo, yang ditulis dalam lembaran stensilan. Saat itu, saya hanyalah siswa sekolah dasar (SD) yang baru mulai lancar membaca. Namun kisah-kisah itu telah membius dan memesonakan saya tentang negeri-negeri yang jauh, tentang para pendekar yang hidup dengan laku moral tertentu.

Kisah yang ditulis Khoo Ping Hoo bukan cuma tentang pendekar dari negeri Tiongkok, namun juga tentang para pendekar dari Jawa, maupun tempat lain di Nusantara. Ia menulis tentang para pendekar yang tidak sekadar pandai bersilat atau berkelebat mengendarai angin, namun juga para pendekar yang berfilsafat dan berusaha memaknai hidup di sepanjang jejak perjalanannya. Dalam semua bukunya, selalu bisa ditemukan ceceran kearifan-kearifan atau hikmah para pendekar yang menceburkan diri dalam telaga persilatan, menemukan kesempurnaannya dalam perkelahian, berkelana dan mengadu ilmu kesaktian, hingga memilih menjadi warga biasa tatkala tiba pada satu titik perenungan: bahwa di atas langit, masih ada langit.

Sedemikian dahsyatnya kisah-kisah silat tersebut, hingga beberapa di antaranya masih tertoreh di ingatan masa kecil saya. Bagi saya, Khoo Ping Hoo adalah master cerita silat yang tak ada duanya. Karyanya bukan sekadar silat, namun tentang filsafat dari para petarung yang menemukan dunianya dalam pengembaraan dan perkelahian. Ia jarang menulis tentang para kaisar atau para bangsawan. Tokoh yang ditulisnya selalu warga biasa yang menempa diri dalam latihan keras, atau secara tak sengaja diwarisi kesaktian maha dahsyat lalu berkelana di negeri-negeri yang dilukiskan Khoo Ping Hoo dengan amat indah, seolah lukisan seseorang yang paham etnografi dengan baik.

Lebih dari itu, ia mewariskan satu genre bercerita yang kemudian banyak ditiru oleh para pengarang sesudahnya. Memang, era 1980-an adalah eranya kisah-kisah silat yang bertebaran di rak-rak toko buku, maupun di lapak penjual koran. Selain Kho Ping Hoo, hadir pula banyak kisah silat dari pengarang Cina yang beberapa di antaranya adalah To Liong To (Golok Naga dan Pedang Langit) hingga Sin Thiau Tay Hiap (Pendekar Pemanah Rajawali). Malah, beberapa kisah silat dari Jepang juga ikut meramaikan pustaka yakni karangan Eiji Yoshikawa yang berjudul Musashi dan Taiko.

Sementara di tanah air, beberapa beberapa orang mencoba mengikuti jejak Khoo Ping Hoo. Sebut saja, misalnya, Bastian Tito dengan kisah silatnya Wiro Sableng, yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Saya juga penggemar berat Wiro Sableng yang berkelana di seantero Jawa, hingga negeri-negeri lain seperti Cina dan Jepang. Malah, saya masih ingat di luar kepala beberapa episode penting Wiro Sableng. Mulai dari buku-buku awal yakni Empat Brewok dari Goa Sanggreng, kemudian Maut Bernyanyi di Padjajaran, hingga buku-buku yang terbit belakangan yakni petualangan Wiro Sableng di negeri Latanahsilam.

Sayangnya, sejak memasuki era 1990-an dan 2000-an, kisah-kisah silat seperti itu tiba-tiba lenyap tak berbekas. Saya jarang menemukan satu kisah silat sedahsyat yang ditulis oleh para pengarang pada tahun 1980-an. Sepanjang tahun 2000, imajinasi saya pun kian jauh dari hingar-bingar pertarungan, denting pedang beradu yang memercikkan bunga api, atau pukulan maut yang diawali dengan rapalan mantra tertentu dan tiba-tiba seberkas sinar memancar diiringi jerit kematian. Ingatan tentang cerita silat itu menjadi kenangan yang nyaris terkubur.

Nagabumi: Jurus Tanpa Bentuk

Minggu lalu, saya membeli novel tebal berjudul Nagabumi: Jurus Tanpa Bentuk yang ditulis Seno Gumira Adjidarma, terbitan Gramedia (2009). Saya memang menyenangi semua tulisan Seno dan selalu menggenapi koleksi karya Seno. Dulunya, saya menganggap Seno hanyalah spesialis tulisan sastra yang kadang-kadang saya pusing menemukan di mana letak keindahan tulisan tersebut. Tetapi belakangan ini, saya harus mengubah pandangan tersebut. Seno adalah penulis serba bisa, yang tidak cuma menulis sastra, tapi juga reportase jurnalistik tentang para wali atau penyebar Islam (padahal ia sendiri seorang Kristen), tulisan feature tentang komik atau kartun, atau jenis tulisan-tulisan yang ilmiah tapi tetap renyah tentang kartun Indonesia dan Malaysia.

Buku ini cukup tebal yaitu 815 halaman, dengan sampul hard cover. Kira-kira sama tebalnya dengan buku Musashi karya Yoshikawa. Baru membaca bagian belakangnya saja, saya sudah terpesona. Ternyata, Seno menulis tentang kisah Pendekar Tanpa Nama yang berkelana di banyak tempat di Nusantara. Sebagaimana dikatakannya di bahagian belakang buku, ia menulis cerita tempat orang-orang awam menghayati dunia persilatan sebagai dunia dongeng, tentang para pendekar yang telah menjadi terasing dari kehidupan sehari-hari karena tujuan hidupnya adalah menggapai wibawa naga.

Saya tercengang karena Seno seolah memadamkan rasa dahaga saya akan kisah-kisah silat sejenis. Selama dua hari, saya habiskan waktu untuk membaca novel tersebut sampai tuntas, sampai-sampai saya harus menunda waktu tidur. Isinya sungguh menarik. Saya bisa membayangkan dahsyatnya pertarungan yang sukar diikuti pandangan mata, pertarungan para pendekar yang berkelebat hingga nampak sebagai bayang-bayang. Mereka tidak sekedar adu kesaktian. Pertarungan hanya titik akhir dari satu dialog filosofis yang menunjukkan cara masing-masing pendekar memaknai dunia dan mengisi petualangannya dengan pemaknaan tersebut. Saya menemukan filsafat di balik setiap jurus dan sekelebatan tubuh yang mengincar titik kelemahan.

Selain filsafat di balik setiap pertarungan tersebut, saya menemukan beberapa kelebihan novel ini. Pertama, data-data yang disajikan dalam novel ini sedemikian rinci dan kaya. Ini pertama kalinya saya menemukan ada novel yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yang lengkap dengan catatan kaki yang banyak, serta daftar pustaka. Setting Jawa pada abad ke-7 dan ke-8 sangat detail sehingga sosok pendekar di sini bukanlah sosok yang berada di ruang hampa sejarah. Dalam novel ini, tersaji banyak kutipan dari naskah-naskah kuno –yang digeluti para filolog--, kemudian data-data arkeologis dan sejarah baik menyangkut prasasti, candi sejarah pendirian candi, hingga kuasa yang mengendalikan Jawa maupun daerah lainnya di Nusantara. Pada bebeapa bagian, saya menemukan gaya novel ini seperti penulisan etnografi atau pelukisan yang mendalam atas satu kenyataan. Semua data baik arkeologi, antropologi, dan sejarah tersebut disajikan dalam kisah-kisah sehingga ketika membacanya kita tidak merasa terasing. Kita mengenal fakta-fakta itu dalam kisah, dalam setiap jengkal perjalanan sang pendekar. Inilah kelebihan novel ini. Dalam satu wawancara dengan media, Seno mengakui bahwa ia mengumpulkan semua bahan tersebut sejak tahun 1989 dan mulai dituliskan secara bersambung sejak tahun 2007. Ia mengoleksi semua disertasi, tesis, ataupun karya-karya ilmiah yang menggambarkan dinamika pada masa tersebut. Pantas saja, novel ini menjadi demikian kaya dengan data-data.

Kedua, nampak benar bahwa gaya penulisan sastra sangat kuat di novel ini. Ini wajar saja sebab penulisnya adalah seorang sastrawan. Namun, jangan lantas berpikir bahwa sastra itu wilayah yang memusingkan. Tidak sama sekali. Tulisan yang tersaji dalam ratusan lembar novel ini adalah tulisan yang mengalir deras bagai bendungan yang jebol. Gayanya realis dan di beberapa bagian, kita terhanyut sebab seolah merasakan pergolakan batin sang pendekar. Sepanjang membaca novel ini, saya berpikir bahwa dunia kependekaran atau dunia persilatan ibarat satu telaga di mana seseorang menceburkan diri. Sekali mencebur, maka sang pendekar tidak semudah itu menghilangkan jejak. Ia memasuki dunia baru yang di dalamnya ada intrik, kekerasan, dan situasi sewaktu-waktu di serang oleh yang lain. Tiba-tiba saja saya berempati pada sang tokoh, kemudian mempersonifikasikan diri saya sebagai sang pendekar tanpa tanding tersebut. Dan betapa tak mudahnya menjadi pendekar.

Ketiga, novel ini bisa menjadi bentuk lain penulisan sejarah. Satu hal yang membuat sejarah demikian memusingkan dan tidak menarik adalah kita berhadapan dengan fakta-fakta berupa kronologis yang kadang tidak menjelaskan apa-apa. Melalui novel, kita bisa paham kalau pada suatu masa pernah hidup manusia-manusia yang saling berdinamika sebagaimana manusia di masa kini. Ada kisah asmara, serta kisah bagaimana pergulatan di panggung politik. Sejarah adalah telaga yang menampung aneka kisah manusia, tidak Cuma kisah para bangsawan atau kaisar saja. Dan sejarah tak sempat mencatat kisah tentang manusia sakti yang memilih menjadi orang biasa, tanpa harus memilih jalan kemahsyuran atau kekayaan. Pada akhirnya, kependekaran adalah laku moral. Semakin tinggi kesaktian, maka semakin besar pula tanggung jawab yang harus diemban. Kesaktian adalah kekuasaan. Tak heran jika banyak pendekar yang tersesat menjadi golongan hitam, karena tak punya falsafah yang kokoh atas kesaktiannya. Kesaktian lalu menjadi angkara yang membinasakan.

Kalaupun ada kelemahan dalam novel ini, maka itu terletak pada editing yang kurang sistematis. Saya banyak menemukan salah ketik yang cukup mengganggu. Mulanya saya berpikir, jangan-jangan demikianlah cara bertutur manusia di masa silam. Tapi setelah membaca dengan teliti, ternyata itu adalah salah ketik.

Secara keseluruhan, novel ini sangat menghibur dan memperkaya wawasan saya. Ciaaattt!!!!! Awas Kakang!!!

Berpesiar dengan Oasis of the Seas


KOMPAS (5/12) hari ini menampilkan tulisan tentang kapal pesiar Oasis of the Seas. Saya membacanya sampai tuntas dengan semangat besar. Liur saya menetes dan menunjukkan betapa inginnya saya agar kelak bisa menumpang pada kapal pesiar terbesar di dunia tersebut.

Lewat penelusuran di internet, saya menemukan testimoni bahwa waktu sebulan tidaklah memadai untuk menelusuri keindahan kapal ini. Ada serasa tidak berada di laut, melainkan berada di sebuah hotel berbintang setinggi 17 lantai, yang di dalamnya ada bar, banyak kolam renang, gedung opera, pedestrian untuk jalan-jalan, hingga hutan kecil.

Yup.. Baiklah!! “Biar kamu tidak penasaran. Saya akan tampilkan tulisan itu secara utuh. Lengkap dengan beberapa foto. Siapa tahu bisa menambah daftar impianmu kelak..”




Oasis of the Seas, Resor Modern Terapung di Laut

”Oooh, my God,” ujar perempuan tua kulit putih asal New York, Amerika Serikat, dengan suara membahana saat masuk ke kapal pesiar raksasa, Oasis of the Seas, di Fort Lauderdale, Miami, Florida, AS.

Suara membahana perempuan tua itu mewakili perasaan sebagian orang yang masuk ke kapal pesiar raksasa yang punya 2.700 kamar di 17 lantai. Semua orang yang memasuki kapal raksasa itu terbengong-bengong menyaksikan bagian dalam kapal ini. Seperti masuk sebuah kota supermodern.

Hari itu, Selasa pagi, 24 November 2009. Sekitar 11.000 orang masuk ke kapal di lantai lima. Bagian ini berfungsi sebagai lobi kapal. Bagian ini disebut Royal Promenade. Di situ ada puluhan toko dan restoran, serta sebuah bar yang bisa bergerak naik turun dari satu lantai ke lantai lain. Namanya Rising Tide Bar.

Tamu yang masuk ke kapal, yang dibuat di Finlandia selama tiga tahun, itu adalah para undangan yang terdiri dari 500 wartawan dari sejumlah media massa 48 negara di dunia, anggota keluarga karyawan dan pimpinan perusahaan Royal Caribbean International (pemilik kapal pesiar ini), serta sekitar 10.000 orang dari agen biro perjalanan.

Kapal terbesar dan tertinggi di dunia ini hari itu berlayar selama tiga malam dua hari di Laut Karibia, di antara negara-negara pulau, yakni Kuba, Puerto Riko, Bahama, dan seterusnya.

Perjalanan kapal yang memiliki puluhan gedung teater ini dimulai sekitar pukul 21.00 waktu setempat ketika ribuan orang di tempat berkumpul, di sebuah gedung di salah satu ujung lantai empat, menyaksikan penampilan kelompok band ABBA imitasi. Kapal berlayar tanpa terasa. Bukan karena sebagian besar penumpang asyik menyaksikan wanita cantik yang melantunkan lagu ”Fernando”, tetapi karena besarnya ukuran kapal itu.

Bahkan, hujan deras dan ombak besar yang terjadi di Laut Karibia, malam itu, tidak sedikit pun menggoyang kapal berbobot 225.280 ton yang dibangun dengan biaya sekitar 1,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 12 triliun.

Ruang kelab malam

Di depan gedung teater di lantai empat itu ada ruang kasino besar yang menyediakan 450 mesin judi (slot machine) dan 27 meja judi (gaming table). Di lantai ini juga terdapat sebuah ruang kelab malam yang setiap malam menggelar musik jazz dan blues serta komedi.

Di sini (dek 4) hadir pula rumah makan besar, Opus 4, yang menyajikan makanan-makanan yang cocok untuk lidah orang Asia, termasuk Indonesia. Di rumah makan ini ada empat dari 200 karyawan asal Indonesia yang bekerja di Oasis of the Seas. Empat orang itu adalah Seno Manggola Sampurno (asal Salatiga, Jawa Tengah), Jumai (Bali), Suriawan (Lubang Buaya, Jakarta), dan Dani Kusnandi (Cibubur, Bogor).

Menurut Dani Kusnandi, salah seorang pimpinan rumah makan Opus 4, Oasis of the Seas membawa 2.158 awak kapal (asal 71 negara di dunia) yang dipimpin Kapten Senior William Wright. Awak kapal terbanyak berasal dari Filipina dan India. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pegawai mekanik. ”Ini bisa dimaklumi karena sebagian besar dari dua negara itu fasih berbahasa Inggris dan Spanyol,” ujar Dani.

Menurut para karyawan Royal Caribbean asal Indonesia, 21 kapal pesiar raksasa milik perusahaan ini tidak ada yang berlayar ke perairan Indonesia karena masalah keamanan. Namun, ketika Kompas bertanya kepada William Wright soal kemungkinan berlayar ke Indonesia, pria gagah berperawakan tinggi yang juga menjabat senior vice president di Royal Caribbean ini mengatakan, ”Suatu saat nanti, karena saat ini kami juga menjelajahi wilayah Timur Tengah.”

Sejuta kata yang bisa dituangkan dalam tulisan ini untuk menggambarkan kehebatan dan keunikan kapal ini. Akan tetapi, itu tidak mungkin. Untuk menikmati seluruh bagian kapal ini dalam waktu tiga malam empat hari juga tidak mungkin.

Seperti di mal

Bila kita sebagai penumpang mencoba mendatangi tempat ini di bagian dalam kapal selama satu bulan, tanpa satu hari pun muncul di dek 17 atau 16, kita akan merasa tidak di dalam kapal. Atau jika kapal itu terus berlayar di laut, kita tidak akan merasa sedang berada di atas lautan. Kemungkinan besar kita hanya merasa sedang menikmati atau menyaksikan suasana kehidupan hotel dan mal selama 24 jam per hari. Atau jika hobi berjudi, kita seperti hidup di salah satu tempat di Las Vegas.

Kapal ini dibangun untuk orang berusia dari enam bulan sampai 90 tahun. Para wartawan Taiwan yang ikut dalam pelayaran ini mengatakan, ”Kapal ini hanya untuk orang kaya atau orang yang dibiayai orang kaya.”

Selama berlayar, penumpang bisa makan sesuka hati setiap saat. Bila salah pesan, kita bisa mengembalikan makanan tersebut tanpa dicemberuti karyawan penyaji makanan itu. Penumpang hanya membayar minuman yang mengandung alkohol.

”Reuni orang-orang yang suka berwisata paling baik adalah kapal ini,” kata Budi Darmawan Gani, Direktur PT Multi Alam Bahari Internasional (perwakilan dari Royal Caribbean International di Indonesia).

Salah satu tempat menarik yang perlu dicatat dari kapal ini adalah Aqua Theater. Ini merupakan wilayah pergelaran dengan media air yang berada di bagian belakang kapal. Di situ ada kolam renang yang bisa ditutup secara otomatis. Di kolam renang ini para atlet bisa mempergelarkan seni drama tari dan gerak atletik menawan.

Malam terakhir, dari pelayan, di tempat itu dipertunjukkan sendratari air mengenai penciptaan air. Di tengah adegan itu seorang atlet renang melakukan loncat indah dari menara setinggi 20 meter. Sendratari air ini ditutup dengan pertunjukan tarian air mancur dari kolam air itu. Air mancur bisa melenggak-lenggok setinggi 30 meter yang bisa membuat basah penonton.

Untuk sampai ke teater air (kawasan ini juga diberi nama The Boardwalk) ini, penumpang harus masuk lewat dek atau lantai delapan. Di dekat kolam teater air itu juga ada bagian untuk panjat tebing. Sebelum sampai ke kawasan panjat tebing ini bisa ditemukan wilayah untuk anak-anak bermain, seperti kuda putar (carousel atau dermolen) yang dibuat dari kayu buatan tangan.

Di bagian tengah dek ini ada taman dengan ribuan tanaman, termasuk pohon-pohon besar seperti bambu dan trembesi. Juga ada puluhan tanaman lidah mertua.

Bila berada di kamar di lantai (dek) sebelas dan memandang taman ini, kita serasa berada di sebuah hotel di tengah hutan. Sulit untuk membayangkan kita berada di tengah laut atau di kapal.

Bila ingin menikmati angin laut dan memandang laut luas, kita harus naik ke dek 16 atau 17. Di sana ada bar dan kelab malam besar untuk dansa-dansi.

Keluar dari bar dan kelab malam besar itu akan dijumpai sejumlah kolam renang dengan berbagai variasinya, seperti kolam ombak, jacuzzi, kolam pantai, dan seterusnya. Kesetiaan kita untuk menikmati pemandangan laut luas dan angin laut bisa sirna apabila saat itu matahari bersinar terang mengingat ada puluhan perempuan dari usia tua sampai remaja berjemur dengan pakaian minim.

Untuk dapat menikmati berlayar dengan kapal raksasa Oasis of the Seas selama 70 hari, seseorang harus mau mengeluarkan uang paling tidak 5.000 dollar AS. (J Osdar)

Lebih Suka Twilight Ketimbang New Moon


KETIMBANG New Moon, saya lebih suka nonton Twilight. Baik di novel maupun di film, saya lebih suka Twilight. Sebab dalam Twilight kita baru berkenalan dengan tokoh-tokohnya, diajak masuk ke dalam dunia vampir yang rasional dan punya sekeping cinta. Sementara New Moon mengandaikan bahwa kita sudah paham tentang dunia yang saat ini tengah kita amati, seolah kita tahu persis bagaimana karakter dan konflik yang melanda semua tokoh-tokohnya.

Dalam New Moon, tak ada kejutan sebagaimana teriak histeris para ABG saat pertama melihat sosok Robert Pattinson yang memerankan Edward Cullen. Tak ada magis atau satu perasaan aneh dalam diri kita saat menyadari indahnya cinta yang menjembatani hati seorang remaja dan seorang vampir penghisap darah.

Dalam New Moon, kita digiring masuk dalam konflik lika-liku cinta yang lebih pelik. Seperti halnya Bella Swan, kita kehilangan sosok Edward, namun kita juga kegirangan menyaksikan hadirnya sosok Jacob Black. Dan setelah itu, konflik mulai pecah ketika Jacob menjadi manusia srigala yang merupakan musuh abadi para vampir seperti Edward.

Kali ini, saya tak ingin cerita banyak. Saya takut jika penuturan ini akan merusak imajinasi anda tentang film itu sendiri. Silakan saja anda menyaksikan di bioskop-bioskop terdekat.

Film ini banyak ditonton. Telah memecahkan rekor box office atau daftar film laris. Tapi saya tak mau merekomendasikannya...