Pahatan Ingatan yang Meleleh

"Tulisan kakak terlalu berat. Saya malas baca," katamu suatu pagi. Aku agak sedih dengan kenyataan itu. Aku selalu berharap agar dirimu meluangkan waktu untuk membaca coretanku, merasakan sesuatu yang menggejolak di hatiku. Merasakan getar yang memenuhi dinding-dinding hati, merasakan lahar yang akan meledakkan pikiranku. Ah...mungkin aku agak egois. Aku ingin menyeretmu untuk memasuki lorong-lorong pekat keresahan dan kegelisahanku. Membawamu jauh mengangkasa ke mega-mega pencapaian berpikirku.

Tapi, setelah kupikir-pikir, mungkin bukan kemalasan yang tengah kau rasakan. Ini juga bukan soal selera. Kau sama sekali tak punya waktu untuk mengikuti ritme detak jantungku. Sejak kau bekerja di tempat baru itu, waktumu hanya untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Perusahaaan itu tak seberapa menggajimu, tapi tiba-tiba harus menyedot semua aktivitasmu. Kau mulai mengabaikanku. Padahal di banding perusahaan itu, aku menyerahkan hidupku ke tanganmu. Menyerahkan hari-hariku untuk menemanimu, melihatmu tumbuh dewasa dan matang.

Rentang panjang perjalanan kisah kita laksana kisah-kisah seru yang pernah dijalani mereka yang dimabuk asmara. Hari-hari begitu berwarna. Kita saling tertawa bersama, menghabiskan hari sama-sama. Menguras habis isi dompet kita hanya untuk kenang-kenangan yang sama-sama kita pahat. Andai kenangan itu seperti patung, mungkin tak terhitung ribuan patung kenangan yang pernah kita buat sama-sama. Bahkan alam semesta ini adalah pahatan yang pernah sama-sama kita ukir. Dirimu perlahan menjadi atmosfer yang memenuhi angkasaku. Semua yang kupandang adalah dirimu.

Dan tatkala kita sama-sama dewasa, kita mulai kehilangan hari-hari itu. Hari-hari itu menjelma menjadi pahatan yang beku Kau mulai menemukan ritme yang lain. Mungkin semua pahatan hati itu sudah lama hancur berkeping-keping. Tidak indah lagi untuk usia dewasamu yang kian rasional. Tiba-tiba saja kita terseret untuk menjalani hidup dalam pelukan kapitalisme yang sinis. Kita jadi makin rasional dan realistis. Hidup bukan lagi soal menghabiskan hari untuk membahas Panda Poo dan Master Oogway. Hidup adalah soal menjalani rutinitas yang menghisap seluruh energi berpikir kita. Tak ada lagi kisah tentang putri tidur dan pangeran kurcaci yang sama-sama tamasya di tepi danau Unhas. Atau kisah tentang putri-putri dalam kartun Disney yang selalu berakhir dengan happy ending.

Adakah happy ending untuk semua yang sedang kita jalani hari ini? Saya masih optimis itu pasti bisa buat kita. Akhir yang baik adalah konsekuensi dari perencanaan yang matang. Kita mesti bisa mengalahkan situasi hari ini. Kita mesti bisa memenangkan duel melawan keadaan kita masing-masing. Kita mesti segera mencari satu titik terang yang menjadi turning point bagi kehidupan kita hari ini.

Namun, sampai berapa lamakah turning point itu tercapai? Kita sama-sama tak tahu. Waktu adalah paling sukar untuk ditebak. Ketika kau malas membaca tulisanku, mungkin itu adalah satu sisi ketika semua hal tentangku mulai mengabur. Mungkin tak guna lagi bagimu membaca kegelisahanku yang jadi nyanyi sunyi bagimu. Mungkin keresahanku menjadi lagu yang masuk ke telinga kiri dan keluar lagi ke telinga kananmu. Mungkin perlahan aku meleleh bagai lilin yang terbakar oleh api. Mungkin aku sudah jadi patung es yang meleleh akibat sengatan matahari. Mungkinkah aku mulai meleleh dalam pikiranmu???


Makassar, 15 September 2009
Pukul 10.51

0 komentar:

Posting Komentar