Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Orang Buton Mengenang Tragedi Karbala

Ritual memberi makan anak yatim, setiap 10 Muharram, di Buton

Di Pariaman, orang mengenal peristiwa Karbala dengan ritual Tabuik. Di Pulau Buton, orang mengenang tragedi Karbala dengan ritual pekandeana ana-ana maelu atau memberi makan anak yatim. Orang Buton tak larut dalam sedu sedan. Mereka menyukuri setiap kehidupan dengan menguatkan tali-temali solidaritas. 

Mereka menatap masa depan.

*** 

BAPAK tua itu membaca doa dengan isak tangis. Dia seorang lebe, seorang ulama yang memimpin doa bersama. Dia komat-kamit membaca doa di hadapan talam bertudung yang di dalamnya terdapat banyak makanan. Ada puluhan orang mengelilingi talam itu, ikut berdoa bersama bapak tua itu. 

Namun hari itu, ritual haroa terasa sedih. Ini bulan Muharram. Ritual haroa terasa lebih sedih sebab mengenang sesuatu yang terjadi di masa silam. Sekitar 14 abad silam, terjadi peristiwa asyura, sebuah tragedi terjadi nun jauh di Karbala. Akibat tragedi itu ada banyak duka, khususnya bagi anak-anak yang kehilangan ayah.

Di kalangan orang Buton, haroa berasal dari kata ha (ayo) dan aroa (hadapi). Yang dihadapi adalah Allah dan Rasul. Saat haroa, semua orang khusyuk berdoa, berserah diri di hadapan Allah, menyampaikan cinta kasih dan rintihan suci.

Haroa bisa digelar hingga belasan kali dalam setahun. Ada haroa yang digelar di bulan-bulan tertentu, misalnya maludu (maulid), rajabu (bulan Rajab), Nisifu Sya’ban (Sya’ban), hingga Ramadhan. Ada juga haroa yang digelar untuk menandai peristiwa kehidupan, misalnya alaana bulua (akikah), pedole-dole, posusu, posuo, kawia (kawinan), dan posipo (menyuapi). 

Ada pula haroa untuk kematian, mulai dari menguburkan hingga pomaloa (malam tahlilan). Tak hanya itu, saat bangun rumah, ada banyak ritual haroa yang dilakukan.

Kata seorang ahli agama di Buton, yang dihadapi dalam haroa bukan hanya Allah dan Rasul, tetapi juga mia dadi mia mate (orang hidup dan orang mati). Masyarakat meyakini, mereka yang meninggal tak benar-benar meninggal. Mereka menjadi sumanga, spirit yang terus mendampingi manusia hidup. Mereka turut hadir saat haroa.

Di bulan Muharram, saat ritual pekandeana ana-ana maelu, anak-anak yatim menjadi pusat perhatian. Sepasang anak yatim duduk di dekat bapak tua yang membacakan doa. 

Sebelumnya, sepasang anak yatim itu dimandikan dengan air asyura, atau air yang telah dibacakan doa sehari sebelumnya. Mengapa sepasang? Ada dua tafisr yang saya temukan. 

Ada yang mengatakan, sepasang ini adalah representasi dari kelompok bangsawan (kaomu), dan kelompok rakyat kebanyakan (walaka). Ada juga yang mengatakan, sepasang itu adalah lambang dari Hasan dan Husain, dua cucu tersayang Baginda Rasulullah.

Sepasang anak itu dimandikan, dibasahi rambutnya, diusap-usap, dan dikenakan pakaian yang bagus. Semua yang hadir mendoakan mereka. Setelah itu, semuanya menyalami mereka lalu menyuapkan makanan, kemudian memberikan pasali, berupa amplop berisi bantuan.

Mengapa memberi makan anak yatim di bulan Muharram? Seorang ulama bercerita, ada banyak pesan yang hendak dititipkan dari generasi ke generasi. Dia menyebut banyaknya anak-anak yang yatim saat Husain, cucu Rasulullah, meninggal di Karbala. Sekitar 14 abad silam. Di antara anak yatim itu adalah Ali Zainal Abidin.

Ali Zainal Abidin harus tetap hidup untuk melanjutkan risalah kebaikan dari ayah, kakek, dan kakek buyutnya. Ali Zainal Abidin mengemban tugas yang berat sehingga dia perlu didukung dan dikuatkan. Dia perlu dibangkitkan semangatnya agar tetap membawa risalah agama Islam.

Dalam buku Haroa dan Orang Buton, yang ditulis Kamaluddin dkk, saya menemukan cerita tentang ritual ini. 

Pernah ada masa di mana Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851) bertanya pada pembantu dekatnya: “Padamo sambaheya komiu?” Apakah kalian sudah sembahyang?” Segera dijawab: “Padamo Waopu”. Sudah Baginda. Sultan kembali bertanya hal yang sama, juga dijawab sebagaimana sebelumnya.

Namun Sultan kembali bertanya: “Komanga ana maelu yi tangana kampo siro padhamo abawakea hakuna?” Bagaimana anak yatim di tengah kampung, apakah mereka sudah diberikan haknya? 

Mendengar pertanyaan itu, semua menjawab belum. Saat itu juga, Sultan Idrus membacakan Surah Al Maun 1-7. “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Yakni orang yang menghardik anak yatim, dan tidak memberi makan orang miskin....”

Pesan Tersirat

Dulu, ritual haroa pekandeana ana-ana maelu dilakukan di rumah warga. Kini, ritual ini dilakukan oleh pemerintah daerah, yang dilakukan secara kolosal di satu aula, dan menghadirkan ratusan anak yatim.

Di internet, saya membaca liputan tentang Pemerintah Kabupaten Buton dan Pemerintah Kota Baubau yang menggelar ritual di aula Rujab Bupati dan Walikota, serta menghadirkan Syara dari Masjid Agung Keraton Buton. 




Ritual memberi makan anak yatim yang diadakan di Buton setiap 10 Muharram

Di Kabupaten Buton, pemberian makan kepada anak yatim-piatu itu dilakukan secara simbolis oleh Asisten Satu Setda Kabupaten Buton dan sejumlah perangkat Masjid Agung Keraton Buton.

Usai melaksanakan ritual, Asisten Satu Setda Kabupaten Buton Alimani, S.Sos., M.Si mengatakan tradisi Pakande Ana-ana Maelu merupakan ajaran agama Islam dalam memperingati setiap tanggal 10 Muharram.

"Kegiatan ini dalam rangka memperingati 10 Muharram dan kita tahu berdasarkan sejarah bahwa kita di Kesultanan Buton itu dalam memperingati hari 10 Muharram itu selalu dengan memberikan makan kepada anak yatim," ucap Alimani.

Ritual ini ‘naik kelas’, sebab bukan haya dilakukan di rumah, tetapi juga menjadi agenda pemerintah kabupaten. Hanya saja, saya berharap pesan penting ritual ini tak hanya diamalkan pada bulan Muharram, tetapi juga di semua bulan lainnya.

Bagi saya, ritual ini membawa pesan yang teramat dalam. Ritual ini menghubungkan manusia hari ini dengan masa silam. Manusia hari ini menyerap semua hikmah dan pembelajaran masa lalu agar tidak terulang lagi di masa sekarang.

Di Nusantara, ritual mengenang asyura ini bisa ditemukan jejaknya dalam berbagai kebudayaan. Masyarakat Ternate membuat bubur asyura untuk dimakan anak yatim. Masyarakat Bengkulu mengenangnya dengan tirual Tabot. 

Orang Pariaman melakukan ritual Tabuik.  Dan kami orang Buton mengenalnya dengan ritual pekande-kandeana ana-ana maelu. Semua ritual ini bertujuan untuk merawat ingatan pada satu peristiwa, membangun benang merah dengan peristiwa itu, serta membangun komitmen di masa kini agar peristiwa serupa tidak terjadi.

Meskipun orang Buton juga menangisi kematian Husain di Karbala, namun ritual mereka fokus pada putra Husain yakni Ali Zainal Abidin. Pesan kuat yang dipetik adalah menangisi kematian memang penting, tapi jauh lebih penting merawat kehidupan, memberinya semangat dan motivasi kuat untuk tetap merawat tradisi kebaikan, serta menghadapi masa depan.

Dengan memberi makan pada anak yatim, yang merupakan simbol dari Ali Zainal Abidin, leluhur Buton memberi pesan kuat, bahwa masalah sebesar apapun akan terasa ringan jika semua anggota masyarakat saling membantu saling menguatkan, dan saling menjaga solidaritas sosial.

Jauh sebelum Indonesia mendeklarasikan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara”, leluhur Buton telah lebih dahulu menyatakan anak yatim dan miskin adalah milik komunitas. 

Mereka disapih dan dirawat komunitas. Mereka akan tumbuh menjadi kembang indah yang semerbak berkat dukungan kuat dari komunitas.

Tarimakasi.


BACA JUGA:

Sufi Besar, Tasawuf, dan Naskah di Pulau Buton

Hatibi Bula, Cinta, dan Kisah Ulama Besar di Buton

Kisah Raja Bugis di Pulau Buton

Sepenggal Kisah Syaikh Abdul Wahid di Tanah Buton

Menyibak Kabut di Keraton Buton




Gelar Pasukan NASDEM dan Siasat Mengunci ANIES

Partai Nasdem saat kampanye

Dari seluruh penjuru Indonesia, ribuan kader Nasdem ramai berdatangan ke Jakarta. Diperkirakan ada lebih 70 ribu kader Nasdem akan menyemut di Stadion Gelora Bung Karno pada 16 Juli mendatang. 

Pesan apa yang hendak disampaikan Partai Nasdem dengan melakukan gelar pasukan dengan budget hingga 70 miliar rupiah itu? Apakah Nasdem ingin mengunci Anies agar tidak ikut skenario partai lain di koalisi? 

*** 

WAJAH Surya Paloh tiba-tiba berubah. Dia dan orang-orang dekatnya sedang menghitung dan memetakan situasi politik yang terjadi. Dia tiba pada kesimpulan bahwa Nasdem akan menghadapi situasi yang tidak mudah.

Pada mulanya, partai yang awalnya berupa Ormas itu memulai langkah berani dengan mengajukan Anies Baswedan sebagai calon presiden. Selanjutnya, berbagai duri terhampar di sepanjang langkah partai itu. Mulai dari kadernya ditersangkakan, hingga bisnis terganggu.

Partai itu yakin Anies akan memenangkan palagan pertarungan pilpres nanti. Pencalonan Anies adalah momen bagus bagi partai untuk keluar dari bayang-bayang PDIP selama dua periode, sekaligus menjadi “ketua kelas”yang menentukan arah bangsa ini selama lima tahun.

Namun belakangan ini, situasinya mulai berubah. Anies Baswedan, calon yang diusung, perlahan makin dekat dengan Partai Demokrat, sesama anggota koalisi perubahan. 

Sejatinya, itu tak menjadi masalah sebab Anies harus berkomunikasi dengan semua partai pengusung. Kedekatan itu berbuah manis. Sejumlah analis mensinyalir kalau satu nama calon wakil presiden yang akan diumumkan adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Tadinya, Anies tidak menimbang AHY. Namun pertemuannya dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membalikkan semua kenyataan. Entah apa yang disampaikan SBY, yang pasti, pasca pertemuan itu, Anies kian mantap memilih AHY sebagai pasangan.

Ada yang mengatakan, SBY berbisik jika Anies memilih AHY, maka dia akan mengerahkan semua sumber daya yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan itu. Anies tak perlu gelar fundrising. Cukup duduk manis dan membiarkan tim bekerja dengan amunisi yang terjaga.

Dua periode jadi presiden, cukuplah untuk mengumpulkan sumber daya. Apalagi, setelah tidak menjabat, hampir tak ada momen di mana SBY habis-habisan mengeluarkan sumber daya.

Sementara bagi Surya Paloh dan semua lingkarannya, bukan uang yang jadi kunci kemenangan. Belajar dari pilpres lalu,jika ingin menang, maka “Djawa adalah koentji.”Jika ingin menguasai Jawa, maka taklukkan Jawa Timur. Sebab Jawa Tengah adalah kandang banteng, sedangkan di Jabar, Anies akan berbagi suara dengan Prabowo. 

Untuk menguasai Jawa Timur, maka tarik kader NU untuk masuk arena. Sebab NU menjadi simpul yang menghubungkan banyak kalangan di Jawa Timur, bisa menggerakkan jamaah yang jumlahnya diperkirakan 100 juta orang, dan membawa kemenangan. Wajar jika Nasdem ingin ajukan Khofifah, juga Yenny Wahid.

Selain itu, pasangan Anies-AHY diyakini tidak membawa dampak signifikan bagi peningkatan suara Nasdem. Partai biru kuning itu tidak akan dapat apa-apa. Sebab Anies tidak identik dengan Nasdem. Anies identik dengan PKS, yang bakalan meraup peningkatan suara dengan mengusung Anies. 

Surya Paloh akirnya tiba pada ide untuk menggelar Apel Siaga Perubahan. Sejumlah kalangan mengatakan, acara ini seakan tandingan dari acara serupa yang digelar PDIP. Palingan isinya adalah pidato-pidato. Mulai dari Surya Paloh hingga Anies Baswedan.

Apel Siaga dengan budget hingga 75 miliar rupiah ini serupa show of force atau pamer kekuatan. Namun kepada siapakah pamer kekuatan itu hendak dilakukan?

Saya menduga, pamer kekuatan itu ditujukan ke Anies Baswedan. Di rapat raksasa nanti, Nasdem bakal menyampaikan satu pesan sederhana kepada Anies: “Kami sudah berdarah-darah untuk mendukungmu. Maka mari kita menari dan menyamakan gerak. Jika tidak, silakan ikut ke sana. Kami akan menentukan masa depan kami.”

Bagi Nasdem, pencalonan Anies adalah pertaruhan besar, sekaligus ujian sejarah. Jika menang, partai akan melejit dan punya kuasa mewarnai kanvas republic. Jika kalah, partai akan siap-siap memasuki babak baru sebagai partai oposisi.

Melihat gerak Nasdem dan Demokrat, kita bisa menyimpulkan kalau politik kita serupa panggung. Di depan, semua elite akan memakai retorika perubahan dan bicara kepentingan bangsa. Namun di balik layar, semua saling mencari posisi paling menguntungkan.

Namun, ada juga sisi positif dari dinamika ini. Kedua partai ini kelak akan menyadari kalau mereka sama-sama tidak punya pilihan. Nasdem membutuhkan koalisi ini untuk tetap bisa mengusung Anies. Sementara Demokrat juga tidak mungkin menyeberang ke koalisi pemerintah.

Memang, AHY sudah bertemu Puan, tetapi jika harus bergabung, maka narasi perubahan yang selama ini digaungkan akan terasa seperti “menggantang asap, mengukir langit.”Narasi itu akan kosong. Hampa makna.

Kedua partai ini akan mencari titik temu, meskipun harus melalui gelar pasukan dengan biaya miliaran rupiah. Itulah tabiat partai kita. Suka hambur-hambur uang, sementara rakyat pemilihnya harus mengais-ngais rejeki yang tak seberapa lalu berharap nasibnya berubah hanya karena percaya dengan 'buang-buang liur' para politisi.



Membaca Ulang Soedjatmoko


Dia belajar di Sekolah Kedokteran Jawa, tetapi lebih banyak membahas ilmu sosial. Dia ikut terlibat dalam aktivisme dan dunia intelektual. Dia bergaul dengan Sjahrir dan Agus Salim. 

Di usia 23 tahun, dia menjadi diplomat ulung termuda yang membela Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar. 

Dia bukan intelektual yang berumah di menara gading. Diplomat senior dan duta besar ini mendirikan banyak majalah, memantik polemik berbagai isu, mulai budaya, filsafat, hingga sastra. 

Pria yang disapa Soedjatmoko atau Mas Koko ini adalah cendekiawan awal negeri ini yang hendak mencari jawaban atas berbagai isu sosial ekonomi.

Jurnalistik adalah rumahnya untuk menyapa banyak orang, membuka diskusi, dan mengajak para cendekia Indonesia memikirkan berbagai tema-tema besar. Dia seorang intelektual publik yang menyapa orang banyak dengan gagasan-gagasan. Sebab gagasan punya kaki untuk bergerak.

Saya masih memendam kagum saat membaca bukunya di tahun 2000-an. Dia membahas pembangunan sebagai kebebasan, teknologi sebagai tradisi, juga ekonomi yang mendorong lahirnya daya cipta. Dia sudah membahas dampak pembangunan, serta posisi ilmu sosial.

Dia seorang intelektual generalis yang berbicara berbagai topik, tanpa disekat oleh satu disiplin ilmu tertentu. Tepat kata Ignas Kleden, kalau dia bukan ilmuwan, melainkan intelektual yang menggumuli setiap persoalan dengan serius.

Posisinya sebagai intelektual publik membawanya berkelana ke banyak negara dan menjadi pengajar di kampus-kampus terkemuka. Hingga dia diangkat sebagai Rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang.

Kini, pemikiran pria yang dikenal sebagai Soedjatmoko ini dibahas dalam edisi khusus Prisma, oleh para intelektual muda yang tidak pernah bersentuhan dengannya. Semoga kelak Prisma juga membahas sosok-sosok cendekia lain seperti Arief Budiman.



Maestro Kuliner


Di Rumah Makan Paotere, saya memilih ikan baronang untuk dibakar. Pelayan menyilahkan saya duduk di salah satu sudut. Beberapa detik kemudian, dia membawakan beberapa bahan mentah, mulai tomat, lombok, daun kemangi, garam, hingga irisan mangga.

Sembari menunggu ikan dibakar, saya mengambil pisau kecil, kemudian mulai mengiris bahan, lalu mencampur jadi satu. Terasa hembusan asap pembakaran ikan dari luar. Saat ikan bakar datang, lalapan sudah siap. 

Jauh sebelum Robert Chambers memperkenalkan pendekatan partisipatif, rumah-rumah makan di Makassar sudah memulainya. Pembeli bukan sekadar obyek yang hanya menerima makanan jadi. Tapi mereka ikut menjadi subyek yang meracik bumbu dan lalapan. Ikut menyentuh tomat, lalap, dedaunan, dan irisan manga.

Dalam suasana yang agak panas, saya makan dengan peluh berceceran. Ada banyak kuliner Makassar yang tidak cocok dimakan di ruang ber-AC. Kuliner itu lebih cocok dimakan diwarung kaki lima, saat panas terasa dari atap seng, namun perlahan lenyap saat angin sepoi-sepoi merambah ke warung.

Di rumah makan ini, saya ingat Haji Tawakkal, pemiliknya. Pria asal Labakkang, Pangkep itu, dahulunya hanya berjualan di dekat Pelabuhan Paotere, yang menjadi tepat kapal-kapal kayu berlabuh.

Saat berbincang dengannya beberapa tahun lalu, dia bercerita tentang usahanya yang dulu cuma warung kaki lima, dan dikelola pamannya Daeng Gassing. Yang dijual di warung itu hanyalah nasi, lalapan, dan sayur. 

“Para pelanggan rata-rata adalah nelayan atau warga yang membawa ikan, cumi, udang dari pelelangan di Pelabuhan Paotere. Mereka bau ikan, kakinya berlumpur, tidak pakai sandal. Istilahnya paku lonting,“ kenang Haji Tawakkal yang sudah yatim piatu sejak kecil.

Seiring waktu, warung itu mulai menyediakan ikan yang diolah oleh Haji Tawakkal. Di warung itu, orang-orang menemukan rasa yang original, juga sentuhan personal saat ikut meracik bumbu dan mengolahnya.

Warung itu menjadi ruang demokratis yang mempertemukan banyak kalangan. Di antara pelanggan warung, ada sosok Jusuf Kalla dan Aksa Mahmud, dua pebisnis hebat di kota Makassar yang menentukan haru biru politik negeri ini.

Sembari menunggu, Jusuf Kalla selalu mengajak Haji Tawakkal berbincang. Aksa Mahmud mengajari Haji Tawakkal untuk bisnis. “Pak Aksa yang memaksa saya untuk beli ruko. Katanya, jangan sewa. Setiap ketemu saya ditanya. Alhamdulillah, bisa beli ruko,”katanya.

Saat Jusuf Kalla menjadi wakil presiden, Haji Tawakkal sering dianggil ke Istana Wapres untuk membakar ikan. Di situlah, Haji Tawakkal membakar ikan di tengah sorot mata paspampres. Dia tetap tenang sebab tahu pasti kalau Pak JK percaya 100 persen dengan kualitas menu yang disentuhnya.

Dari warung yang dipenuhi lalat, Rumah Makan Paotere mulai merambah ke mana-mana. Cabangnya dibuka di banyak lokasi, bahkan di Kota Jakarta. Haji Tawakkal menikmati buah dari kerja keras. Dia memulai semua dari nol, kini asetnya kian membesar. Pelanggannya bukan lagi Paku Loting, tapi orang bermobil.

Saya lanjut mencicipi ikan baronang di hadapanku. Ini salah satu olahan kuliner laut ternikmat yang saya cicipi dalam enam bulan terakhir. Tetiba, punggung saya ditepuk dari belakang. Ada suara keras dengan akses Bugis yang pekat.

“Kapan ko datang Ndi. Kenapa ko nda bilang-bilang?”Saya menoleh dan melihat wajah Haji Tawakkal. Dia tersenyum hangat.

Hmm. Sepertinya semua makanan ini akan gratis. Nyamanna!

.



Miftahul Anwar


Pernah ada masa kita setiap hari selalu tumbuh bersama. Pernah ada masa kita saling membesarkan. Sejak kamu masuk kampus Unhas di tahun 1999, kita sudah saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama.

Pernah kita saling ribut. Saat itu, saya kelepasan kalimat: “Saya yang angkat kau dari comberan.” Rupanya kau tertawa ngakak dan mengiyakannya. Kepada banyak orang kau mengulang kalimat itu. Padahal itu cuma kalimat spontan saat sedang ribut.

Saya bersaksi dirimu adalah seorang adik yang paling baik dan paling suka membantu. Saat dibutuhkan, kau selalu hadir. Tak pernah terdengar keluhan, kecuali tawa dan canda. Kamu selalu bisa membahagiakan banyak orang.

Jalan sejarah menuntunmu untuk menjadi aktivis dan demonstran. Hari-harimu adalah turun ke jalan untuk memprotes pemerintah, tentunya di sela-sela itu dirimu ingin melindungi adik Uci yang juga turun ke jalan. Kamu memang heroik.

Pernah ada masa kamu dicari banyak wartawan, saat berani mengusir Jenderal Wiranto yang sedang pidato di kampus Unhas. Kamu mengajukan tuntutan lalu mengusir Wiranto. Itu tindakan paling berani mahasiswa Unhas yang belum bisa ditandingi hingga masa kini. 

Saat itu, saya masih menjadi wartawan, yang tiba-tiba mendapat tugas untuk mewawancarai dirimu. Redakturku memujimu setinggi langit. Saya diam saja, pura-pura tidak kenal. Dalam hati, saya berbisik, “Saya yang mengangkatnya dari … (ups).

Beberapa hari lalu, saya melihat fotomu yang sedang terbaring di satu rumah sakit. Saya nyaris tak percaya, dirimu yang begitu kuat dan kokoh, tiba-tiba terbaring tak berdaya. Hingga pagi ini, saya membaca namamu disebut banyak orang saat mengucap belasungkawa.

Saya tak ingin terjebak dalam sedu sedan. Kata seorang kawan di Afrika, kematian adalah sesuatu yang tidak seharusnya dirayakan dengan bersedih. 

Kematian harus dihadapi dengan tegar, sebab seseorang sedang pindah ke kehidupan yang baru, berlayar menggapai keabadian, lalu menjemput takdir. Kematian adalah perjalanan.

Saya yakin, kamu di sana sedang tersenyum sembari melihat betapa banyaknya kasih dan cinta yang melepasmu. Di sana, kamu tak lagi berdemonstrasi, sebab telah menemukan kebahagiaan sejati dalam pelukan Yang Maha Menggenggam. 

Kamu telah menyatu dengan semesta, sembari menjadi bintang, bulan, dan malam yang mengawasi kehidupan hari ini.

Selamat jalan adindaku Green Cemara sahabatku, kawan seiring seperjuangan, juga kawan yang pernah mengayunkan pedang bersama.


Sultan yang Merawat Masjid Wawoangi

Masjid Wawoangi (foto: Rustam Awat)

Semilir angin berhembus di Wawoangi, Buton Selatan. Di satu bukit, suara azan terdengar sayup-sayup. Suara azan itu mengalun dari satu masjid tua yang terlihat tua. Dinding masjid terbuat dari anyaman bambu. Atapnya dari kayu jati.

Mereka yang berkunjung ke masjid ini membutuhkan waktu sekitar sejam dari kota Baubau. Jika perjalanan dari Batauga, ibukota Buton Selatan, hanya membutuhkan waktu setengah jam. Masjid itu terletak di atas bukit, Desa Wawoangi.

Dari pemukiman warga di Dusun Laguali, jarak masjid mencapai 3 kilometer. Pengunjung bisa menempuhnya dengan kendaraan roda dua ataupun empat. Sebagian jalannya sudah dilapisi aspal, sebagian belum. 

BACA: Serpih Jejak Gajah Mada di Buton Selatan


Dari masjid tua ini, pemandangan sangat indah. Semya wilayah desa di Sampolawa dapat terlihat. Dari kiri masjid, pengunjung bisa menyaksikan pemukiman warga Kelurahan Katilombu, Jayabakti dan sekitarnya. 

Kita bisa melihat Desa Tira. Sejumlah kapal Boti alias Phinisi tampak jelas berjejer terpakir menghiasi bibir perairan Desa Tira.Kita bisa melihat pasir putih menghiasi mata keelokan Pantai Lagundi Desa Bahari.

Dari sisi bagian, kita bisa melihat Pulau Batu Atas, wilayah Buton Selatan paling ujung. Begitupun lautan lepas laut Banda.

Di bagian barat tampak jelas benteng yang hingga kini belum digarap potensi wisatanya dinas terkait.

Masjid Tua Wawoangi ini jauh dari kebisingan kendaraan, maupun pemukiman warga. Beberapa orang datang untuk berzikir. Setiap malam Jumat, masyarakat wilayah sekitar datang untuk menunaikan ritual ibadah.

Masjid yang kokoh berdiri di atas bukit, kesejukan alamnya, kerindangan pepohonan, menambah keheningan bila menunaikan ibadah. Angin sepoi-sepoi bertiup dari segala penjuru, udara yang masih segar alami menambah khususnya para jamaah yang ingin beribadah di Masjid Tua itu.

Penari di Buton Selatan (foto: Rustam Awat)

Ini memang masjid bersejarah. Masjid ini diperkirakan berdiri pada tahun 1527 oleh Syaikh Abdul Wahid, penyebar Islam di tanah Buton. Mulanya, Syaikh Abdul Wahid melihat ada sinar yang turun dari atas. Dia melihat itu sebagai pertanda untuk membangun masjid.

Sebelum ke tanah Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pernah tinggal di Johor. Dia dan isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Setelah itu, mereka hijrah ke Pulau Batu Atas pada tahun 933H/1526M. Batu Atas masuk dalam wilayah Kesultanan Buton.

Di Pulau Batu Atas, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton untuk menyebarkan agama Islam. 

BACA: Sepenggal Kisah Syaikh Abdul Wahid


Raja Buton ke-6, Timbang Timbangan atau Lakilaponto terkenal dengan kesaktiannya dan bisa mengalahkan bajak laut. Beberapa kali Kerajaan Buton coba ditaklukan para bajak laut demi bisa menguasai perairan menuju Maluku Utara untuk mencari rempah-rempah.

Sekian ratus tahun, masjid itu tetap berdiri kokoh. Masjid ini tetap didatangi warga dan mereka yang hendak menemukan nuansa yang berbeda. Banyak pula yang sengaja datang untuk mengunjungi dua makan di depat pintu masuk masjid.

Dua makam itu adalah makam Sultan Buton ke-7 La Saparagau. Satu lagi adalah makam ayahnya La Gafari atau Sangia Rauro. Selain itu, terdapat pula banyak makam lain di sekitar situ, yakni kerabat sultan, pengawal, dan masyarakat.

Sultan La Saparagau mendapat julukan Sangia I Wawoangi. Di masyarakat Buton, Sangia bermakna orang yang disucikan. Sangia adalah gelar untuk sosok yang sangat dhormati. Dengan menziarahi kuburnya, masyarakat berharap bisa mendapatkan kearifan sosok ini.

Dalam catatan antropolog Tony Rudyansyah, sangia sering dikaitkan dengan sosok atau figur yang memilih tinggal bersama komunitas. Tadinya, para sangia adalah pembesar kesultanan, yang kemudian memilih tinggal bersama komunitas di dalam wilayah kesultanan. Saat mereka meninggal, makamnya sering dikeramatkan. Masyarakat berziarah untuk mendoakannya.

Bisa disimpulkan kalau sosok La Saparagau adalah sosok penting dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya di Wawoangi, tapi di seluruh wilayah Kesultanan Buton.

Kisah La Saparagau

Sultan La Saparagau adalah sultan Buton ke-7. Dia memerintah hanya dua tahun lamanya, yakni 1645—1647. Ada juga sejarawan yang menyebut setahun, yakni 1645—1646. La Saparagau adalah satu dari lima sultan yang berasal dari luar Kamboru-Mboru Talupalena sekalipun oleh dua trah Kaomu saingannya ia dianggap sebagai representasi kaomu Tanailandu.

La Saparagau adalah anak La Galunga Kokoburuna I Wawoangi dari pernikahannya dengan Wa Sugirumpu, yang merupakan amak dari Sultan Murhum. La Galunga berasal dari Katimanuru dan ibunya bernama Watubapala binti Lambaawu. Seterusnya Katimanuru adalah anak dari Raja Mulae Sangia Yi Gola Raja Buton yang ke-5. 

Salah satu acara aday di Buton Selatan (foto: Rustam Awat)

La Galunga bersaudara dengan La Siridatu dan La Kabhaura. Ketiganya adalah anak La Maindo, yang menjabat sebagai Lakina Batauga Mancuana. Saparagau dikenal juga sebagai Sangia I Wawoangi atau gelar lainnya Oputa Kopogaana Pauna. 

Jabatan terakhir Saparagau sebelum diangkat menjadi Sultan adalah Sapati. Sebagai Sapati, dia memegang semua alat kelengkapan dan kebesaran sultan. Semua menjadi tanggung jawabnya hingga waktu penyerahannya kepada pejabat sultan yang baru. Alat kelengkapan dan kebesaran sultan ini dinamakan “Parintana Bhaaluwu o Peropa”

BACA: Hatibi Bula, Cinta, dan Kisah Albino di Buton Selatan


Ketegangan di internal elite tampaknya memicu intrik yang alot, memacu seteru yang tajam di antara para aristokrat Buton. Sebagai Sapati, La Saparagau berhak menyimpan pataka dan alat-alat kebesaran sultan, sampai ada sultan baru terpilih baru ia menyerahkannya.

Tetapi kisruh yang alot itu tampaknya mengeruhkan segalanya. Sekelompok orang dari golongan yang Saparagau mengambil tindakan hendak “merebut” kekuasaan. Saparagau ditekan dan didesak oleh kaumnya sendiri agar kekuasaan itu diambilnya saja ketimbang nanti malah diduduki seorang yang dari luar kaum mereka.

La Saparagau yang awalnya menolak dan mengelak dari desakan sekelompok kaumnya itu, diakhirnya terpaksa memilih menurut saja untuk menghindari berseteru dengan kaumnya sendiri

Akhirnya digelar musyawarah yang dihadiri banyak kelompok. Musyawarah itu tak mencapai kata sepakat. Tekanan dari pengikut La Saparagau yang semakin keras, Sara Kesultanan akhirnya semufakat menunjuk Saparagau menggantikan La Buke.

Keputusan yang diambil oleh Syara Kesultanan itu tidak lagi melalui prosedur sebagaimana biasa lazimnya. Saparagau menaiki kekuasaan dengan tidak melalui upacara pelantikan, ia tidak diputarkan payung kemuliaan di atas kepalanya (lihat Zahari, 1977: 15)

Ada beberapa peristiwa-peristiwa penting terjadi dalam masa La Saparigau memerintah. Di antaranya adalah pemberian gelar Lakina (pemimpin) untuk pemimpin Sorawolio. Sultan Saparagau merasa perlu mengadakan jabatan seorang kepala yang akan menjadi pengawas pada kampung itu dengan gelar “Lakina”. 

Jabatan Lakina Sorawolio ini termasuk dalam jabatan “Pangkat” yaitu pembesar kerajaan. Kemudian pada kampung itu dibangun pula sebuah masjid dengan syarat agamanya terdiri dari seorang imam, khatib, dan bilal. Untuk jaminan keamanan juga dibangun sebuah banteng pertahanan yang dikenal dengan “Kotana Sorawolio”. Lakina Sorawoilo karena tugasnya disebut dalam adat “Ayele-yele Sarana Wolio”

Saparagau mangkat di tahun 1646. Dia dimakamkan di Wawoangi. Makamnya bersisian dengan makam ayahnya La Galunga. Sesudah wafatnya beliau dikenal dengan nama “Oputa Mopogaana Pauna” yang kira-kira berarti Sultan yang bercerai dan meninggalkan paying kesultanannya. Dia juga sering dikenal dengan nama “Sangia I Wawoangi” atau keramat di Wawoangi.

Peristiwa Saparagau yang mengambil sendiri kekuasaan karena kehendak dari kaumnya, menjadi suatu pengalaman bagi syarat kerajaan, khususnya bagi Bonto Peropa dan Bhaaluwu. 

Setelah itu, alat kelengkapan dan kebesaran sultan tidak lagi diserahkan dan dipercayakan kepada pejabat Sapati, melainkan langsung diambil dan dipelihara oleh Bonto Peropa sampai waktu penyerahannya kepada sultan yang baru.

Sultan Saparagau mempunyai enam orang anak, tiga lelaki dan tiga perempuan. Anak-anak Saparagau berturut saya deretkan: Katimanuru (mengambil nama neneknya), La Sugi, La Ngiyangka Yarona Lasaidewa, Wa Ode Lawele, Wa Ode Cirisa, Wa Ode Mabu.

Makna Sangia

Di banyak tempat di Buton, sering kali kita menemukan makam para Sangia atau mereka yang dikeramatkan. Di masa hidupnya, mereka adalah orang penting di kesultanan yang kemudian meninggalkan istana lalu tinggal bersama masyarakat biasa.

Di Lasalimu (wilayah Kabupaten Buton), ada makan Sangia Watole dan Sangia Wasuamba (La Karambau). Di Buton Tengah, ada makan Sangia Wambulu. Sedangkan di Buton Selatan ada Sangia I Wawoangi dan Sangia I Lakambau. 

Makam para Sangia ini selalu dikeramatkan dan menjadi tempat untuk ziarah. Di waktu tertentu, masyarakat akan datang untuk membacakan doa serta memberikan sesajen. Ini menunjukkan bahwa meskipun seorang tokoh sudah lama berpulang, namun sosoknya tetap abadi dan memberikan pengaruh bagi masyarakat di sekitarnya.

Menurut Tony Rudyansjah, keberadaan para Sangia ini bersifat “memberikan kehidupan” dan dekat dengan masyarakat pedesaan. Para sangia ini tetap menjadi role model dan memberikan mata air keteladanan bagi semua orang di komunitas.

Bisa pula dilihat dari sisi lain. Keberadaan Sangia yang terus hidup di hati masyarakat menunjukkan adanya kontinuitas atau ketersambungan sejarah. Masa lalu dan masa kini tetap hidup berdampingan. Masa lalu menyediakan pembelajaran untuk menjadi kompas bagi masyarakat hari ini.

Dilihat dari sisi kekuasaan, para sangia menunjukkan kekuasaan di Kesultanan Buton tidak bersifat mutlak dan satu arah. Semua komunitas punya kuasa sendiri yang dibawa para Sangia sehingga sering kali bisa menjadi pengimbang dari kekuasaan pihak istana.

Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton, posisi kepala pemerintahan dipegang oleh Sultan. Kepala adat dipegang oleh siolimbona (legislatif). Kekuasaan Sultan memiliki ciri utama “mengambil segalanya” dari rakyat dan hambanya. Itu bisa dilihat dari persembahan, upeti, pajak, dan kewajiban yang harus dipenuhi rakyat setiap tahunnya.

Sedangkan kekuasaan spiritual berada di tangan Sangia yang lebih bercirikan “memberikan segalanya” untuk kesejateraan dan keselamatan rakyat. Para Sangia kebanyakan para sultan dan pembesar yang menjelang meninggalnya, tinggal bersama komunitas di pedesaan. Kepercayaan pada mereka berperan dalam memberikan keselamatan dan kesejahteraan rakyat. 

Pesan dari Wawoangi

Masjid Wawoangi ibarat sungai inspirasi yang tidak pernah kering. Masjid pertama yang dididirikan di tanah Buton ini menjadi saksi dari banyak peristiwa dan perubahan sosial. 

Di tanah Buton, Islam pertama diajarkan secara massif di masjid ini. Masjid ini menjadi makam dari salah seorang Sultan Buton. Pada tahun 1960-an, masjid ini menjadi saksi dari kerusuhan yang terjadi di Sampolawa.

Masjid Wawoangi

Di tahun 1973 masjid ini dibangun kembali oleh masyarakat desa. Tahun 1989 dilakukan pembersihan lokasi pembangunan Masjid Tua itu. Pada tahun 2000 masjid ini dipugar kembali dengan tidak merubah bentuk keasliannya.

“Dananya pertama kita dari dana swadaya masyarakat kita kumpul-kumpul, pemugaran masjid ini kita tidak lakukan perubahan bentuk, tinggi, bentuknya rangkanya tidak dilakukan perubahan. Tapi setelah berkembangnya zaman dibuatkanlah tehel ini, dulunya ini lantainya kerikil,” kata seorang warga.

BACA: Buton Selatan yang Lebih Indah dari Maldives


Dengan tidak mengubah keaslian bentuk, masjid tua yang sakral ini berdindingkan bambu yang diikat dengan tali ijuk. Atapnya tersusun rapi terbuat dari belahan papan kayu jati. Tiang utama penyangga terbuat dari jati. Di depan pintu utama masjid ada tulisan Arab kuno. Di beberapa bagian juga ada tulisan lafadz Arab kuno.

Masyarakat setempat meyakini Masjid Tua ini sangat sakral dan menyimpan cerita mistis. Di atas bukit itu, kala azan berkumandang, suaranya terdengar jelas di seluruh wilayah kadie Wawoangi. “Dulu adzannya belum ada mike. Jadi bunyi gendang dan adzan kedengaran di wilayah Wawoangi,” kata warga.

Di sebelah kanan bawah bagian pintu utama masjid terdapat lubang yang bertuliskan huruf lafaz Arab kuno. Disebutkan sejumlah peneliti, di bawah pintu utama terdapat lafaz tulisan gundul arab yang merupakan sisa bukti sejarah masjid tua ini.

Semoga masjid ini tetap lestari, bertahan melintasi zaman, serta selalu menjadi tempat bagi siapapun yang hendak memperdalam pengetahuan mengenai agama. Jika Buton identik dengan keislaman yang kuat, maka masjid ini punya andil untuk merawat pengetahuan itu.



Hasbullah


Dari begitu banyak orang yang saya kenal di Jakarta, adinda Hazbullah adalah salah satu orang yang paling ikhlas. 

Betapa tidak, saat dia sudah berkeluarga, rumahnya selalu menjadi tempat penampungan banyak orang. Di situ, selalu kumpul anak2 Makassar, anak HMI, anak Unhas, anak Bone, anak IAIN, bahkan orang2 yang tak punya rumah.

Jika Anda melakukannya saat kaya, itu mah biasa. Hasbullah menampung banyak orang justru saat dia tidak punya apa2, saat dia biasa2. Bahkan saat ini pun, ada beberapa teman yang masih “dipiara” olehnya. Itu keren.

Semasa kuliah hingga lulus, dia tipe aktivis yang suka mengorganisir. Dia punya spirit kolektif yang kuat. Dia juga tipe orang dengan adab yang baik. Dia selalu ramah pada semua orang. Dia dekat dengan banyak kalangan.

Saat dia sampaikan hasrat untuk maju KPU Sulsel, banyak orang turun tangan untuknya. Banyak orang rela pasang badan untuknya. Dia menjadi simbol kolektif kawan2nya. Ketika dia terpilih hingga jadi Ketua KPU sulsel, maka itu bukan hal mengejutkan.

Bagi saya, dia hanya menerima karma dari banyak hal baik yang dia berikan pada semesta. Sekali Anda memberi, maka semesta akan membalasnya dengan cara yang unik. Dan sekali Anda abai pada sekeliling, semesta juga akan membalasnya dengan cara yang kejam.

Sebelum maju jadi komisioner KPU, dia sudah mencoba banyak hal. Entah kenapa sering gagal. Rezekinya bukan di situ. Rupanya semesta menyiapkan satu skenario hebat untuknya, yakni menjadi Ketua KPU Sulsel. 

Selamat Adinda Hasbullan. Selamat menjalankan amanah. Tetap jadi sosok yang rendah hati. Jangan bangga. Ini dunia ji. Lagian cuma lima tahun menjabat, setelah itu kita kembali menggelandang.

Jangan lupa untuk traktir kopi saat jumpa2 di Makassar.