Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Sepi yang Menikam di Siang Hari

 
jalan-jalan yang biasanya ramai, tiba-tiba sepi

JALAN-jalan ini biasanya ramai. Di sini selalu ada mobil-mobil berlalu-lalang dengan deru yang riuh. Di sini selalu saja ada mahasiswa yang beramai-ramai dan bergerombol demi berpindah dari satu gedung ke gedung yang lain. Tapi hari ini, semuanya kosomg-melompong. Tak ada satupun yang lalu lalang. Tak ada keriuhan. Sepi.

Warga Amerika Serikat (AS) sedang merayakan thanksgiving. Inilah satu-satunya kegiatan yang membuat mereka mudik demi makan kalkun bersama seluruh keluarga. Dampaknya sangat terasa di kota kecil seperti Athens, yang jantungnya adalah aktivitas perkuliahan. Ribuan mahasiswa yang pulang kampung itu menyisakan sepi yang menari-nari di siang hari. Tak ada aktivitas. Tak ada bunyi.

Kali ini aku memilih tak ke mana-mana. Setahun silam, aku berkunjung ke desa kecil di dekat Cincinnati. Di sana aku mengunjungi sebuah ranch atau peternakan kuda yang amat besar. Tahun ini aku memilih tak ke mana-mana. Aku menikmati suasana kota yang sepi dan mengalirkan sungai-sungai refleksi dalam diriku.

Apakah gerangan makna sepi? Entah. Aku seolah terlontar ke dalam kisah The Sleeping Beauty. Ketika seorang pangeran memasuki kota yang semua penduduknya tertidur. Kota itu berbalut sepi. Jalan-jalan lebar serta rumah-rumah besar, namun tak ada orang di situ. Ia lalu mencari-cari di manakah denyut nadi rasa sepi itu hingga menuntunnya ke menara tempat sang putri tertidur.

Tentu saja, aku bukanlah pangeran itu. Aku hanyalah seorang biasa dari negeri jauh yang terdampar di kota serba asing ini. Aku hanya bisa mengabadikan sepi ini satu demi satu. Kucatat satu kalimat dalam buku diary bahwa sepi adalah spasi yang menyediakan ruang untuk interpretasi. Sepi adalah kondisi ketika manusia berada dalam kondisi tak berbunyi, kondisi reflektif yang dicapai ketika udara dan semesta sesaat tak mengalir. Sepi adalah kesunyian di luar sana yang kemudian meniupkan tanda tanya dalam batinmu.

Tiba-tiba saja aku terkenang puisi Chairil Anwar berjudul Hampa.

Sepi di luar.
Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak.Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti

Sebagaimana Chairil, di tengah sunyi ini, kita tiba-tiba saja mempertanyakan banyak hal. Tanda tanya itu lalu memenuhi benak ini, berseliweran, dan menikam-nikam diri dengan jumawanya. Aku tiba-tiba dikejutkan dengan stau tanya, selepas halte ini, hendak ke manakah diriku?


Athens, 23 November 2012

Kisah Ara dan Sahabat Baru


Ara dan Cassey

BARUSAN saya paham kalau para bayi selalu punya daya-daya survival yang tinggi di dunia sosial ketimbang orang dewasa. Buktinya, bayi Ara bisa dengan mudah bersahabat dengan siapapun. Meskipun dirinya belum bisa bicara, namun dia mudah saja menjalin komunikasi dan bermain dengan bayi-bayi lain, atau dengan gadis-gadis bule. What?

Saya cukup menikmati saat-saat ketika membawa bayi Ara ke manapun. Saya merasakan beda antara berjalan sambil membawa bayi, dan berjalan sendirian. Ketika saya berjalan sendirian, tak ada satupun yang menyapa. Palingan hanya sahabat-sahabat dekat. Tapi ketika sedang menggendong Ara, akan banyak orang yang tersenyum-senyum lalu datang menyapa dan berbasa-basi.

Rupanya, banyak warga Amerika yang senang dengan bayi. Mereka suka sekali melihat keceriaan, kelucuan, atau kemanjaan para bayi. Ara termasuk bayi yang mudah diajak berteman. Ketika melihat orang baru, ia selalu berkata “Hai!” Kadang tangannya ikut menggapai. Hebatnya, yang sering dilambar Ara adalah gadis-gadis manis. Ketika gadis-gadis itu tersenyum dan membalas lambaian Ara, maka saya pun ikut disenyumi. Saya pun ikut sumringah. Hehehe.

bersama bayi Amrik
bersama bayi Cina
bersama bayi Pakistan

Sering saya mengagumi kemampuan para bayi beradaptasi dengan sunia sosial. Bayi Ara tak mengenal istilah minder, malu, atau sungkan. Ketika bertemu sesama bayi, ia selalu bersemangat. Ia ikut berceloteh, mengajak bermain-main, lalu saling memperhatikan. Mungkinkah para bayi saling berkomunikasi? Nampaknya demikian. Ara dan teman-teman bulenya saling memandang, lalu menyapa, kemudian langsung akrab. Bukankah ini ajaib?

Tanpa disadarinya, Ara mengajari saya untuk selalu melihat orang dengan pikiran positif. Memang, sering Ara kebingungan ketika bertemu seorang dewasa yang baru dilihatnya. Namun sekian menit berikutnya, ia akan terbiasa. Ia mulai terbiasa bergaul dan langsung mengakrabkan diri. Ara mengajarkan saya untuk melihat semua orang sebagai sahabat.

bersama Rama
Ara dan Jacob

Tadinya, saya melihat banyak tembok dalam dunia sosial Interaksi jadi serba terbatas. Tapi bayi Ara telah mengajarkan untuk selalu terbuka dan menerima siapa saja. Dengan gaya polosnya, ia seolah menampar cara berpikir saya yang seringkali malu atau minder dengan dunia sekitar. Ia menunjukkan bahwa pikiran yang positif adalah cahaya terang yang mengalahkan rasa malu dan minder. Dengan pikiran positif itu yang energinya adalah hati yang bening, ia menjalin relasi dan persahabatan di mana-mana.

Bayi Ara, terimakasih atas inspirasinya!

Kisah Hidup yang Terasa Hambar

 
Duber RI untuk AS, ino Patti Djalal, saat meluncurkan buku Life Stories

DI tengah sunyi senyap kota Athens, karena penduduknya pergi merayakan thanksgiving, aku menuntaskan buku berjudul Life Stories: Resep Sukses dan Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang. Buku ini memuat kisah tentang para perantau Indonesia di Amerika, yang kemudian sukses menjadi ‘orang’ ketika tiba di tanah air.

Buku yang dieditori Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat (AS) Dino Patti Djalal ini adalah bunga rampai yang isinya adalah pengalaman mereka yang merantau, lalu kembali ke tanah air demi menerapkan pengetahuan. Mereka yang kembali kemudian sukses menjadi pejabat atau pesohor.

Buku ini cukup menarik. Namun setelah membaca pengalaman beberapa tokoh, aku tiba-tiba menemukan satu hal yang janggal. Nampaknya, mereka yang pengalamannya ditulis di buku ini cenderung seragam. Maksudku, rata-rata mereka adalah mereka yang cerdas, atau mereka yang kaya, sehingga mendapatkan kesempaan mudah untuk ke Amerika.

Banyak yang memang terlahir dari keluarga kaya, sehingga mudah saja mendapatkan tiket dari orangtuanya untuk ke Amerika. Memang, mereka jelas bekerjakeras untuk mencaai impiannya, akan tetapi mereka memulai starting point yang berbeda dengan orang kebanyakan. Wajar saja jika mereka kemudian sukses dan unggul ketika kembali ke tanah air.

Rata-rata yang ditulis di buku ini adalah mereka yang cerdas. Tak punya kendala berbahasa Inggris, serta mudah beradaptasi. Kisah dari tokoh-tokoh di sini jadi agak monoton. Semua bercerita tentang prestasi. Semua bercerita tentang hal yang baik-baik saja. Kehidupan menjadi amat simple. Anda datang, anda berusaha, lalu anda menang.

Sebagai pembaca, buku ini jadi hambar. Aku hanya membaca separuh, kemudian memutuskan untuk berhenti membacanya. Sejujurnya aku berharap lebih. Aku berharap agar mereka yang dimuat kisahnya bukan cuma mereka yang menempati titik puncak dari karier-karier di tanah air. Aku berharap ada sedikit variasi dengan profil mereka yang merindu Indonesia, bertarung dengan nasib di negeri orang, hingga akirnya hidup lalu menempatkannya di satu titik.

Kita tak harus membahas sukses atau kisah hebat. Tapi kita ingin menangkap denyut nadi dari banyak rupa-rupa manusia yang secara nekad berangkat ke luar negeri demi menebar jejaring harapan. Bukankah skenario kehidupan ini amat beragam? Mengapa pula kita hanya mengangkat satu keping kenyataan?

Aku jauh lebih suka membaca buku Impian Amerika yang ditulis Kuntowijoyo. Buku ini memotret kisah-kisah orang Indonesia, baik yang sengaja datang, tidak sengaja terdampar atau mereka-mereka yang nekad untuk ke luar negeri. Melalui buku Impian Amerika itu, Kunto hendak memapar banyak potret atau gambaran tentang warga Indonesia yang berdiaspora ke negeri asing. Mereka tak selalu sukses, malah banyak yang kemudian berjibaku di jalan-jalan sebagai warga biasa atau mungkin sebagai pengangguran, namun memelihara semangat serta kecintaan yang dahsyat kepada tanah air.

Maafkan atas pengakuan ini. Ibarat makanan, buku Life Stories kehilangan gizi sebuah kisah yakni daya tahan manusia yang berusaha untuk menemukan jalan nasibnya. Tak semua sukses. Tak semua seindah kisah-kisah dongeng.

Namun lewat pergumulan mereka dengan nasib, kita bisa belajar banyak tentang watak dunia serta manusia-manusia yang berdialektika di dalamnya. Kita bisa belajar banyak tentang manusia dan kemanusiaan, lalu mencari posisi kita di tengah peta besar bernama kemanusiaan itu.(*)


Athens, 22 November 2012

Rahasia Besar Jokowi - Ahok



SETIAP kali membaca berita tentang tanah air, saya selalu berharap akan ada berita baru tentang Jokowi - Ahok. Betapa tidak, di tengah berita-berita politik di tanah air yang runyam dan penuh intrik, berita tentang Jokowi - Ahok memberikan serangkum angin sejuk bahwa ada sesuatu yang berubah di tanah air.

Segala ucapan dan tindakan yang dilakukan Jokowi selalu saja membersitkan ketenangan bahwa ada sekuntum harapan yang sedang bersemi di negeri kita. Di tengah politisi yang sibuk dengan tengkar kata dan saling meremehkan, Jokowi membisikkan optimisme bahwa di negeri kita, geliat perubahan mulai terasa.

Memang, Jokowi belum bisa dievaluasi sebab ia baru sebulan menjabat, akan tetapi, ia telah membawa satu harapan dan keyakinan, sesuatu yang nyaris hilang selama puluhan tahun repubik ini berdiri. Sekian lama kita mengenyam kemerdekaan, namun kita seolah kekurangan stok pejabat yang bisa down to earth dan membersitkan optimisme sebagaimana Jokowi.

Kita memang telah lama kehilangan kepercayaan pada dunia politik. Selama ini kita hanya disodorkan dengan politisi yang itu-itu saja. Bagi saya, politisi bukan sekadar mereka yang menjalankan amanah rakyat di sidang parlemen, namun juga mesti mengemban peran untuk hadir di tengah-tengah sedih dan nestapa yang menikam masyarakat kita.

Ketika masyarakat dirundung nestapa karena banjir atau macet, mesti ada sosok yang datang dan memadamkan sedih itu sambil menguatkan optimism bahwa masalah seberat apapun bisa kita tuntaskan, sepanjang kita punya solidaritas dan saling menginspirasi. Pada titik ini, saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan Jokow - Ahok.

Mereka hadir laksana oase di tengah gersangnya dunia politik Indonesia. Baik di kancah lokal maupun kancah nasional, kita selalu saja dhadapkan dengan politisi yang bisanya hanya mengandalkan pencitraan. Kita kekurangan stok politisi yang datang mengetuk rumah kita bukan saat hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada). Kita seakan dipaksa memilih seseorang yang sama sekali tidak kita kenal. Kita hanya tahu kiprahnya melalui CV atau melalui selembar foto yang dipasang di jalan-jalan raya.

saat Jokowi membagikan kartu Jakarta Sehat (foto: Kompas.com)

Kita hanya dihadapkan dengan mereka yang mengatasnamakan partai atau ideologi, namun setelah terpilih, maka peran dianggap selesai. Ideologi hanya jadi slogan, tanpa dijelmakan dalam kebijakan. Celakanya, tak ada satu mekanisme untuk menagih atau mempertanyakan kembali apa-apa yang pernah dijanjikan.

Sebagai rakyat, mungkin kita adalah rakyat yang paling hebat sedunia. Kita tak pernah mempertanyakan ulang tentang janji-janji para politisi dahulu. Bahkan, sudah beberapa kali pemilihan presiden, kita selalu saja diberi janji-janji tentang kesejahteraan, namun tak pernah sedikitpun kita tagih janji-janji tersebut. Di satu daerah di Sulawesi, ada pemimpin yang menjanjikan pendidikan dan kesehatan gratis. Akan tetapi ketika terpilih, rakyat hingga kini masih terbebani. Ketika ditanya prestasi, maka dengan mudahnya ia mengutip angka-angka pertumbuhan ekonomi serta angka kemiskinan. Padahal, angka itu belum tentu merefleksikan kinerjanya. Angka-angka itu mengabaikan segala daya dan upaya para rakyat yang hendak keluar dari rimba kemiskinan.

Revolusi Jokowi - Ahok

Bagi saya, kehadiran Jokowi - Ahok telah membawa satu revolusi dalam dunia politik Indonesia. Mereka telah memberi gebrakan yang semoga saja bisa memberikan efek bagi dunia politik kita hingga ke pelosok. Mereka telah mempopulerkan wacana kerakyatan yang disampaikan bukan saat kampanye, namun saat sedang menjabat. Saya sunggguh bahagia saat mendengar Jokowi akan menata kampung kumuh, memperbaiki got, serta berniat membangun transportasi massal.

Di luar itu, Jokowi - Ahok telah menghadirkan revolusi besar dalam dunia politik Indonesia. Lewat keseimbangan antara ide dan praksis, mereka telah membuka banyak rahasia dalam politik hingga menjadi wacana publik. Saya mencatat beberapa hal baru yang mereka bawa, yakni:

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)

Pertama, Jokowi - Ahok telah menunjukkan kepada kita semua bahwa politik bukan semata soal pencitraan. Politik adalah kerja keras yang 'berdarah-darah' ketika dihadapan pada upaya sejauh mana memahami keinginan rakyat. Dengan gaya 'blusukan', Jokowi telah menunjukkan bahwa persoalan tidak bisa dipahami hanya dengan duduk di belakang meja. Persoalan harus dipahami dengan cara melihatnya secara langsung di jantung persoalan tersebut. Dengan cara ini, ia bukan saja melihat persoalan, namun juga menangkap denyut nadi esensi persoalan yang mengaliri tubuh republik ini, kemudian bisa menjadi inspirasi untuk merumuskan apa yang terbaik.

Selama ini kita sering beranggapan bahwa para pejabat itu adalah mereka yang hidup di dunia atap langit. Kita beranggapan bahwa ada semacam benteng yang menbatasi antara kita dengan mereka. Kita di bumi, dan mereka di langit. Ketika Jokowi berkunjung ke masyarakat, maka terbukalah tabir tentang sosok pejabat. Ternyata dirinya adalah manusia biasa yang hari-harinya juga dipenuhi dnegan berbagai persoalan. Ternyata dirinya juga kesulitan mewujudkan mimpi, namun dirinya telah menunjukkan ikhtiar yang luar biasa untuk berbuat sesuatu, meskipun dirinya belum lama duduk di kursi jabatan.

Kedua, Jokowi - Ahok telah menunjukkan satu aspek yang nyaris hilang dari republik ini yakni transparansi. Selama ini, kita sebagai rakyat tak pernah paham proses-proses lobi serta negoasiasi dalam pengambilan keputusan. Kita sebagai rakyat diperlakukan sebagai obyek yang tak boleh tahu rapat-rapat para pejabat kita. Ketika Ahok memublikasikan hasil rapat melalui Youtube, maka ia telah membuka satu katup penting yang selama ini tertutup rapat dalam dunia politik kita.


Sudah lazim bagi kita semua bahwa politik ibarat sebuah panggung pertunjukan. Senada dengan Erving Goffman, politik memiliki dua sisi yakni panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan adalah apa yang ditampilkan di hadapan publik. Di sini, sikap ramah dan santun diperlihatkan bahwa seolah semua baik-baik saja. Namun dipanggung belakang, kita tak paham bahwa di situ ada perkelahian, pertempuran, serta saling berebut jatah proyek.

Melalui apa yang dilakukan Ahok, kita jadi tahu tentang panggung belakang politik kita. Kita jadi tahu bahwa ternyata dalam rapat-rapat pemerintah, terdapat negosiasi, serta saling tekan demi lahirnya keputusan. Ketegasan Ahok dalam rapat itu memberikan harapan akan terciptanya transparansi serta keterbukaan pada publik untuk langsung melihat apa yang terjadi di dunia politik.

Ketiga, politik tidak menjadi sebuah menara gading. Politik menjadi satu menara api yang memancarkan cahaya ke mana-mana. Meskipun baru sebulan, Jokowi - Ahok telah mengeluarkan kartu Jakarta Sehat yang ditujukan kepada seluruh rakyat Jakarta. Pada titik ini, politik memancarkan cahaya yang menerangi segala kegelapan hati publik bahwa di tengah kesulitan kehidupan, satu persoalan telah teratasi. Bahwa di tengah mahalnya segala jenis barang, rakyat kecil bisa terbantu dengan kartu tersebut. Bahwa di tengah kelangkaan pejabat yang melihat rakyat, keduanya menunjukkan bahwa mereka tidak sedang meninggalkan rakyat.

Semoga saja langit tak pernah lelah mengirimkan awan untuk memayungi langkah keduanya. Semoga saja keduanya bisa berbuat lebih, yang tidak hanya dirasakan bagi warga Jakarta, namun seluruh rakyat Indonesia yang tengah mengalami kerinduan atas sosok yang benar-benar peduli wong cilik.


Athens, 21 November 2012


BACA JUGA:







 

 
 


Bocah Kecil yang Melihat Peluru

 
suasana Gaza

ANAK itu terbangun di pagi hari. Namanya Bashar Al Anshar. Ia lalu membasuh tangan dan kaki lalu salat dua rakaat. Salatnya belum usai ketika langit tiba-tiba memerah dan suara berdentuman. Bukan memerah karena fajar menyingsing, namun memerah karena bom yang berdenyar dengan suara yang memekakan telinga.

Bashar tak lantas berlari ke dalam sebuah bungker, sebagaimana pernah dilakukan pemimpin Irak, Saddam Husein. Bashar tetap melanjutkan shalat. Ia menengadah ke langit dengan mata yang menetskan air mata satu demi satu. Ia berharap bahwa langit akan memuntahkan bala kepada pihak yang sedang membom kawasan Gaza. Bashar berdoa dengan mata berlinang.

“Duhai Dirimu yang berdiam di langit sana. Kumohon agar engkau mendatangkan burung yang membawa batu panas, sebagaimana pernah kau kriimkan pada tentara Abrahah yang hendak menyerah Mekah. Turunkanlah azab kepada mereka, sebagaimana kau turunkan pada mereka yang pernah mengingkari-Mu.”

Hari-hari terakhir ini, Gaza adalah lautan api. Kawasan itu menjelma menjadi ladang api yang dipenuhi jerit tangis manusia. Bom berjatuhan dan tanpa ampun meluluhlantakkan tempat itu. Malaikat maut seakan hadir dalam sosok bengis yang berkuda sambil mengayunkan kampak demi memenggal manusia-manusia tak berdosa.

Namun, di tengah dentuman bom dan isak tangis manusia yang menyayat, Bashar tetap berdoa dengan nada lirih, dengan suara yang seakan berbisik-bisik.

“Duhai Engkau Yang Maha Lembut. Bukankah Engkau mengasihi kami yang selalu membasahi lidah demi menyebut nama-Mu? Bukankah Kau sedemikian menyayangi kami sehingga tak ikhlas membiarkan kulit kami disentuh peluru-peluru itu, sebagaimana diri-Mu pernah menyelamatkan Ibrahim dari api yang menyala-nyala?”

Bashar lalu membuka mata. Usai berdoa, Bashar lalu memanggul senjata. Ia ingin mempertahankan satu-satunya yang dimilikinya. Ia akan bertarung sehebat-hebatnya. Ia akan mempertahankan selapis kehidupan yang digenggamnya saat ini. Ia juga ingin melindungi beberapa orang yang dikasihinya.

Bashar adalah si kecil yang bertarung nyawa. Usianya baru 15 tahun. Mungkin di masa depan, ia bisa menjadi insinyur atau dokter yang bermakna bagi kemanusiaan. Namun ia tak ingin berlarut-larut demi memikirkan masa depan. Yang ada adalah hari ini. Gaza mencatat satu tragedi tentang semangat juang yang tak kunjung padam. Namun manusia-manusia di sana bukanlah mereka yang mudah jatuh hanya karena peluru. Tak mudah kalah hanya karena pecahan bom.

Bashar lalu menatap lurus ke depan. Ia lalu keluar rumah dengan senjata. Tak lama kemudian, sebuah bunyi keras menyentak kesadarannya. Ia seakan melihat sebuah peluru yang melesat lurus lalu menembus sesuatu. Tiba-tiba dadanya basah. Hiks! Peluru itu telah menembus dadanya sendiri. Sayup-sayup, ia masih mendengar tangisan bayi yang melengking di ujung sana.



Athens, 20 November 2012
Saat membayangkan Gaza

Dua Hari Bersama Thomas Friedman


SELAMA dua hari ini, pikiran saya dibanjiri gagasan dari Thomas Friedman. Maklumlah, seminggu silam, saya membeli bukunya yang berjudul The Lexus and Olive Tree (1999). Membaca buku ini, saya serasa diajak tamasya untuk memahami bagaimana globalisasi bekerja.

Bagi Friedman, Lexus adalah merek mobil mewah yang diproduksi di Jepang. Mobil ini nyaris seluruh aspek produksinya ditangani oleh robot-robot canggih sehingga kualitasnya amat baik. Wajar saja jika harganya sangat mahal. Di mata Friedman, Lexus adalah simbol dari kemewahan serta pembangunan pesat. Sedangkan Olive tree adalah pepohonan Olive yang disaksikannya di tepi sungai di Yordania. Olive Tree adalah simbol dari kesederhanaan serta tradisi yang berurat akar di semua masyarakat.

Kata Friedman, dunia saat ini digerakkan oleh dua kekuatan yakni dorongan untuk menggapai kemakmuran (yang disimbolkan oleh Lexus), dan hasrat untuk mempertahankan identitas (yang disimbolkan oleh Olive Tree). Dua kekuatan ini mewarnai wacana global, seiring dengan globalisasi yang ibarat gelombang telah menyapu bersih semua negeri-negeri yang batasnya nyaris lenyap.

Saya menyenangi Friedman bukan karena isu yang dikemukakannya amat penting untuk memahami dunia yang tabiatnya makin aneh, namun juga karena bentuk dan style kepenulisan yang sangat khas dan amat menghentak. Dalam beberapa uraian, saya seakan tak mau berkedip sedetikpun disebabkan sebegitu piawainya pria, yang tiga kali memenangi Pulitzer ini, membangun retorika yang ditulis dengan gaya bahasa yang amat meyakinkan.

Di tengah kesibukan tugas-tugas kuliah yang mulai memasuki puncaknya, saya mengunyah-nguyah karya Friedman dengan amat lahap. Sayangnya, selama dua hari ini, saya hanya bisa membaca hingga bab tiga. Mudah-mudahan saja dalam waktu dekat ini, saya bisa menuliskan resensi atas buku ini di blog. Semoga saja, buku ini kelak bisa menginspirasi.


Athens, 20 November 2012

In Dewey and Freire, We Trust!

Butet with the children of jungle tibe


There was not anything in this school. There was no large building with a lot of classes. There was no blackboard, nor chalks, no chairs nor tables where students sit and put their bags and equipment to learn. In this school there was not even a teacher nor any disciples. In this school, there was only a strong spirit to learn something from nature without any barriers or limitation.
I do not want to talk about international standard schools that sporadically sprouted up in my country. I do not want to talk about schools with teachers who come from foreign countries. I do not want to talk about a school with a great curriculum which prepares students to become wealthy and successful in the world community. I just want to talk about a jungle school that I saw on the edge of the jungle in Sumatra Island, Indonesia.
In this island, the rainforest is the mother of the universe where people live among the animals. This forest is a home for many communities that still maintain their traditions. They try to preserve their culture and close the connection to the outside world that has been tainted by modernism. Unfortunately, the policy of the Indonesian government that gave permission to a number of corporations to cut down the trees began to threaten these living organisms and also the communities who live in this forest.
Maybe in the future, the tribal children will become extinct just like their community. Maybe in the future, they will lose the knowledge they inherited from their ancestors. For a thousand years, this knowledge became very powerful to make their communities still exist. Today, they are threatened and might lose everything including their lives. But, they still have a hope that spread from this school.
If you consider a school as a place where all the students sit in a large building, this jungle school was very different. The jungle school had no building. This school was a place that all of the tribal people came and shared their experiences together. They came with the same spirit to share, not just knowledge about the forest, but also their experiences about life.
Several years ago, with two journalists, I went to this school. We wanted to compile an investigative report about alternative schools in various parts of Indonesia. This school was very unique in our radar. This school did not have a permanent building. There was only one small wooden house on the edge of the forest. There was only one adult female who was willing to share her experiences. She learned from the children about several ways to hunt in the forest. She also learned about how to survive and how to flow with the trees and animals in the forest. Joined with the children, they do not want to conquer nature. They just want to learn something from nature, and live together in a holistic community.
Her name is Butet Manurung. She has two masters and one doctoral degree from a famous university in Australia. When I met her, she wore a long cloth to cover her body. She dressed in the indigenous people clothes. When I asked why she dressed like that, she replied that she wanted to be a part of that community. She did not want to be a teacher. She just wanted to learn a lot with the kids.
In this school, children learn about knowledge that they need and how to love and protect the wild forests where they live. This school is a vehicle for sharing knowledge, which provides an opportunity for tribal people to share experiences with their children. In last five years, Butet also thought some modern skills such as reading and writing in order to help the children to maintain their rights to the forest when negotiating with the State or corporations.
Butet did not teach in the air-conditioned rooms like the other teachers. She also did not sit in comfortable chairs in front of a complete or high-tech computer that was already connected with an internet. She just sat on a fallen tree trunk or on the rocks like a comfortable jet black marble, with breezy wind and freshness of nature. She only used the many books that were thrown away in the big cities.
Since her first coming to the forest, Butet started learning and knowing the habits of the tribe. She diligently observed and followed their daily lives. She lived with them, slept in the same place, ate what they ate, went barefoot and felt the amusement of mud and dirt stuck to the soles of the feet and between her toes. Butet tried to understand how to become part of the Jungle Tribe. Butet was amazed at those who are able to follow the river and the woods without getting lost. She was amazed at the swift kids that climb trees without any fear of falling. She was amazed at the friendliness of nature.
When I talked with her, I noticed something strange. She showed me a notebook. On the front page, it says, "Only in Freire and Dewey, I trust!" I was shocked. How could the thought of Dewey and Freire inspire an alternative school that was established away from the United States (U.S.) and Brazil?

"What do you mean with the sentence ‘in Freire and Dewey we trust?’"
"I was inspired by these two figures. They are a light that gives me direction to build this school, "she said.
"What inspiration did you get from them? Why did you not learn from the many other educational leaders? I believed that their theories were also based on particular social settings. If Freire and Dewey are not from here, how come their theory is applicable to understand our society, especially the tribal people here? "

She was silent for a moment. Then she saw the kids in the distance that were climbing a tree and laughing. At that time, there were also children who bathed a buffalo near the river. She was smiling when she saw the children being so very happy. After that, she turned to me and said:
"You're right. The theory was born in a particular social setting. As Marx put forward his theory in his book Das Kapital, he wanted to explain the social setting of German society and other socialist societies at the time when he was alive. I believe that every theory has a philosophy as well as general aspects to explain something universal. I saw it in the theory of Dewey and Freire. They wanted to explain the problems of humanity in general, and education as the liberator of human imprisonment, "she said.
Then, our discussion was ended. I saw the sunset in the top of the tree. I decided to go home after promising that I will come back again the next day.

*** 

After arriving home, I looked for some literature. I wanted to compare the two figures that were mentioned by Butet. I was very familiar with the idea of ​​Paolo Freire especially about education for the oppressed. Paulo Freiré is the Brazilian philosopher of education, born in 1921 in Recife, who devoted his life's work to the liberation pedagogy for the oppressed, also the title of his most widely read work. As citizen of the nation with one of the most inequitable distributions of income in the world, Freire became concerned with the plight of the desperately poor (70%) of Brazil's 80 million people who usually receive little or no formal education.
For his efforts, he was first jailed and then sent into a long exile by the military dictatorship which seized power in Brazil in 1965. But this only challenged Freiré to deepen his commitment and write more about his dual goal of literacy and conscientizafào (conscience raising) for the oppressed. Since his exile, he has lived and worked in Chile, in the U.S. at Harvard, in Geneva, and died at the age of 75 after returning to Brazil.
I read some literatures about Dewey. He is an important figure who was the father of Freirean thought. He is internationally known as a professor in philosophy and education. He is often considered the foremost American educational philosopher of the first half of the twentieth century and founder of Wilmington College in Ohio.
Dewey believed that democratic movements for human liberation were necessary to achieve a fair distribution of political power and an “equitable system of human liberties.” However, criticisms have been raised about limitations in Deweyian approaches to education, especially the way they are practiced in many elite private schools. Frequently, these schools are racially, ethnically, and economically segregated, and therefore efforts to develop classroom community often ignored the spectrum of human differences and the continuing impact of society’s attitudes about race, class, ethnicity, gender, social conflict, and inequality on both teachers and students.
In addition, because of pressure on students to achieve high academic scores, teachers maintain an undemocratic level of control over the classroom. Both of these issues are addressed by Freire and Dewey who call on educators to aggressively challenge both injustice and unequal power arrangements in the classroom and society.
After reading some literature about their background, I find the fact that their thoughts are closely related. Fron Dewey, Freire learned the concepts about how to integrate the educational experience of the social reality. In some books, Freire often cited Dewey’s thought. I think there is a great similarity between Dewey and Freire. One of the similarities was the idea that the individual and community are not separate concepts in the education of the individual. Rather, they are linked to one another and have to be seen as reciprocal concepts. They do not exist in isolation, as if one has to make a choice between them.
Instead, one has to see them in conjunction with one another. Freire's idea that education is a tool for social policy and to express political reality is an important idea in his work.  He does not see the education of the individual as separate from the social condition in which one lives.  Both are using education as a tool to remedy social inequality.
To this extent, the individual and their social condition are strongly linked.  In terms of Dewey, his critique of Rousseau as being too individualistic in his beliefs of education as well as Plato for being too socially driven reflects how Dewey himself believed that education involves a process whereby the individual is taught to see themselves as part of a larger community.  The development of the mind was a part of "the communal process" by which individuals do not have to be separate from society, but rather seek to develop education of the individual within it to build a world community.
Like Freire, this construct of education is one where the traditional philosophical dualistic division between individual and society is not as apparent. Essentially, there is a convergence of educational ideas between both thinkers in seeking to make the education of the individual a process of social construction, whereby elitism and oppression is replaced in a notion of community enhancement of the individual.
But I still have some questions. What are the differences between Dewey and Freire? Both of them came from different social settings. Does the social setting affect their thinking about education and emancipation of society? Then, how come their ideas are implemented in Indonesian context?  And why is this woman living in the jungle?

***

The sun light became very hot when I go back into the jungle where Butet lives. She was sitting and reading some fairy tales with the children when I arrived. She told a fable about animals that live in harmony. She happily greeted me when she saw my coming, and then asked for me to sit down and to listen. Her story was very interesting. I saw the kids were very excited and enthusiastic to hear.
After talking, she invited the children to play some games. Then, she met with me to discuss about her experience.
"I began to live with the tribal population in this forest since 2003. They lived in the forest that was designated as Bukit 30 National Park. This forest had approximately 60,000 acres. Although this forest became a national park, the government gave the permission to some companies to cut and to sell timber forests, " she said.
She also explained that there are 1,300 people who live and hunt in this forest. They call themselves Anak Dalam Tribe. There were about five to 10 children in every community. She tried to introduce an alternative form of teaching in the school that named SOKOLA.

Then I asked a question:

"You have not answered my question yesterday. What is the influence of Dewey and Freire on the material that is taught to the children here, " I asked.
"Dewey is an inspiring figure. He said that the best education that was expected by parents for their children is in accordance with what is desired by the community. Only by knowing what is required of an individual, then we can find out what the community needs, "she replied.
“How come Dewey inspired you. Does he come from the different society like your society now?”
"I feel you're right. I believe that his principle in education can be applied everywhere. I agree with Dewey that the purpose of education is creating social change and reform. I also like his idea that education is a regulation of the process of coming to share in the social consciousness; and that the adjustment of individual activity on the basis of this social consciousness is the only sure method of social reconstruction. The challenge in this community is how to determine the right direction for this community. That should be answer by all of the people in here,”
"How do you draw up the curriculum?
"I follow the path that was highlighted by Dewey. In order for education to be most effective, content must be presented in a way that allows the student to relate the information to prior experiences, thus deepening the connection with this new knowledge. "


To Be Continued….

Sensasi Jadi Headline (13)


SETIAP kali aku menulis di kanal Kompasiana, maka setiap kali pula tulisan itu menjadi headline. Aku tak tahu ada apa gerangan. Aku juga tak tahu seberapa bagus tulisan itu. Bagiku, tulisan hanyalah sebentuk cara untuk berkomunikasi. Lewat tulisan itu, kita tidak sedang memapar apa yang dipikirkan, namun kita juga sedang menyambungkan rasa kepada orang banyak.

Lewat tulisan, kita bisa menyebar kesejukan hati, ketenangan rasa, serta bahagia yang kita yang luapkan ke mana-mana. Kita juga sedang mengatasi gelisah lewat kata-kata yang mengalir lembut ke sungai jernih.

Untuk kesekian kalinya kupasang link tulisan yang kembali jadi HL. Semoga bisa jadi spirit untuk terus menulis.











Kompasianival Ditengah Robohnya Dunia Sosial Kita


banner acara Kompasianival di Jakarta, hari ini

DI Jakarta, ribuan blogger Kompasiana sedang mengikuti acara Kompasianival. Acaranya heboh dan mempertemukan berbagai macam komunitas blogger yang bertemu di dunia maya, menemukan kesepahaman gagasan, lalu berpameran bersama.

Aku tak terlalu intens mengikuti perkembangan di ranah maya itu. Meskipun aku sendiri cukup rajin menulis di kanal itu. Yang membuatku terkejut adalah saat melihat fakta banyaknya komuntas kreatif yang terbentuk di kanal maya itu. Di antaranya adalah komunitas Blood for Life, Kopi Keliling, Jakarta Cosplay, Plotpoint, World Vision, Akademi Samali, Kompasioner Hobi Jepret (Kampret), Save Street Child, Komutoku, Kumpulan Emak Blogger, Card to Post dan masih banyak lainnya.

Tiba-tiba saja melintas ide dalam benakku. Komunitas ini menjadi solusi alternatif bagi kian sumpeknya dinamika komunikasi masyarakat perkotaan. Komunitas-komunitas itu bisa menjadi varian lain bagi pudarnya solidaritas sosial di antara anggota masyarakat. Btw, mengapa sumpek? Mengapa alternatif?

Kita sering tak menyadari bahwa di antara anggota masyarakat sering terbentuk sekat-sekat yang dilestarikan oleh sinetron televisi, serta gosip yang berseliweran. Kita sering melihat orang lain karena fisik, penampilan, atau barangkali karena isu-isu yang mengalir deras. Seringkali, masyarakat kita hanya menempatkan orang tertentu dalam posisi dihargai. Kita hidup dalam kanal-kanal yang saling mencurigai. Bahkan terhadap tetangga pun, kita sering tidak menemukan kehangatan. Dunia sosial kita sudah lama roboh ketika tak ada tersisa kehangatan di situ.

Komunikasi ini memang tak sehat sebab sering meminggirkan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya, kita memang butuh komunikasi yang terbuka, menyejukkan, serta dibangun dari prinsip kesetaraan serta saling menghargai. Komunitas itu terbentuk di ranah maya, yang kemudian berlanjut di ranah keseharian.


Seorang sahabat amat bahagia ketika bertemu sesama penggemar motor. Mereka sering bertemu setiap minggu lalu merecanakan sesuatu. Melalui komunitas motor, ia menemukan dirinya. Ia menemukan hal-hal yang kemudian membuatnya amat bahagia. Ia menemukan kesamaan tema dan topik diskusi. Ia merasa dihargai dan diterima oleh satu komunitas.

Mungkin ini yang ditemukan teman-teman di Kompasiana. Blog menjadi arena bagi mereka untuk saling berbagi ide dan memperkuat jejaring sosial. Mereka bisa menyusun program bersama, tertawa bersama, dan saling menginspirasi. Mereka bersua lewat kata, dipertemukan oleh gejolak dan hasrat yang sama pada dunia aksara, lalu menemukan kehangatan persahabatan lewat pertemuan. Mungkin inilah esensi ngeblog, ssensi yang menjadi jalan keluar atas kesumpekan dunia sosial. Selamat berkompasianival!