Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Seusai Debat Capres, Panglima Medsos Mulai Bertempur




Di layar televisi, Jokowi dan Prabowo saling lempar kata, saling kunci, dan saling melepaskan bom kalimat. Di depan televisi, sejumlah orang bersorak seolah menyaksikan satu arena pertarungan antara dua gladiator terluka yang saling menebas.

Jauh di luar kaca, sejumlah orang sibuk menelaah debat, mencari kalimat atau kata-kata pamungkas. Ada pula yang menyiapkan meme, kartun, bahan olokan, hingga bahan hinaan kepada capres yang tidak didukungnya.

Ini politik di era 4.0. Di belakang Jokowi dan Prabowo, ada sejumlah orang, mulai dari barisan orang cerdas penyusun konsep dan materi debat, hingga tim-tim lapangan yang mengolah semua bahan menjadi materi kampanye, meme, bahan lucu-lucuan, bahan olokan, hingga bahan saling mencela.

Marilah kita telaah keberadaan orang-orang yang membuat politik menjadi sedemikian meriah, ramai, tapi juga begitu penuh semburan benci dan saling olok.

***

Di kafe yang terletak di satu sudut kota Jakarta, ramai orang menyemut dan ikut nonton bareng. Tadinya saya mengira mereka menonton tim sepakbola yang sedang berlaga. Tapi layar besar di ruangan itu menayangkan hal lain. Dua orang calon presiden yakni Jokowi dan Prabowo sedang bersilat lidah. Mereka saling beradu argumen.

Rupanya, kafe yang saya masuki ini adalah markas relawan pendukung satu calon presiden. Pantas saja suasananya meriah. Ketika ada kalimat pamungkas yang menohok jantung lawan, semuanya histeris dan berteriak. Persis kayak tim kesayangan sedang mencetak gol.

Namun, saya lebih tertarik menyaksikan sejumlah orang di sudut kafe. Mereka mengamati debat capres itu dengan penuh antusias. Ketika ada kalimat atau kata yang menohok, langsung diolah saat itu juga menjadi berbagai produk desain grafis.

Mereka membuat meme, karikatur, hingga grafis berisikan quote atau kutipan menarik. Saat itu juga, semua produk desain grafis itu langsung di-upload di media sosial dan berbagai jejaring media, mulai dari Facebook, WhatsApp Grup, Instagram, Twitter, jaringan email, hingga men-japri sejumlah orang.

Mereka membuat war room atau ruang perang yang aktivitasnya adalah menjadi pabrik konten. Di ruang itu, mereka memetakan semua isu, melihat koten lawan, kemudian merencanakan konten terbaik untuk melakukan counter isu.

Ketika Jokowi menyinggung tentang tanah yang dikuasai Prabowo, tim itu langsung membuat berbagai produk meme, kutipan, dan karikatur untuk disebar ke mana-mana. Mereka bisa kerja cepat sebab keterlambatan bisa membuat ide akan tenggelam.

Ide itu akan disambar oleh tim lain, yang kemudian membuat produk desain dan memasang logo mereka. Saya teringat ketika mengunjungi war room salah satu relawan capres paling besar. Saat itu, saya dimintai masukan tentang bagaimana menyusun “laskar siber” yang kuat.

Saya katakan bahwa tidak ada rumusan baku sepeti apa postur tim. Hanya saja, ada tiga unsur penting yang menjaga dinamika informasi.

Pertama, tim intelektual. Mereka inilah yang memetakan mana isu yang perlu dijawab atau isu yang perlu disebar. Mereka juga pembuat semua konten.

Kedua, tim produksi yang beranggotakan para graphic designer atauu videographer yang mengolah semua bahan.

Ketiga, tim distribusi. Tim ini beranggotakan sejumlah orang yang menyebarkan konten itu ke mana-mana. Bisa melalui media mainstream atau media sosial. Tim ini memantau lalu lintas konten dan memberikan evaluasi apakah konten itu menjual ataukah tidak.

Sinergi dari tiga kekuatan inilah yang akan memastikan konten itu bisa menyebar ke mana-mana. Tim intelektual juga menyusun banyak narasi untuk disebar. Makanya, kita sering menerima pesan-pesan di Whatsapp yang isinya kampanye dengan argumentasi seolah-olah rasional, yang bertujuan agar kita mendukung atau memojokkan seorang capres.

Dalam pilpres ini, penguasaan arena udara menjadi sangat penting. Seorang politisi berkata, wacana udara harus dimenangkan sehingga bisa menopang kerja-kerja tim darat yang melakukan perang. Politik di era 4.0 adalah keseimbangan antara online dan offline. Kerja-kerja offline akan jadi isu di dunia online. Di sisi lain, perdebatan di dunia online, akan mempengaruhi kerja-kerja tim offline.

Semakin kuat di dunia maya, maka semakin mudah melakukan penetrasi di darat. Untuk memenangkan dunia digital, maka kreativitas adalah kunci. Makanya, tim-tim kerja di setiap tim harus bisa merekrut orang-orang kreatif yang bisa mengolah setiap konten sehingga menjadi konten yang bernas dan mudah diserap publik.

Tim harus bisa menyederhanakan yang rumit, menyusun ide kreatif yang lucu dan menghibur, kemudian mendistribusi konten itu sehingga diterima para netizen.
Dalam buku Marketing 4.0: Moving from Traditional to Digital yang ditulis maha guru pemasaran yakni Philip Kotler dan Hermawan Kertajaya, terdapat penjelasan tentang delapan tahapan dalam memasarkan konten.

Mulai dari: (1) Tetapkan tujuan, (2) Pemetaan target pasar, (3) Perencanaan konten, (4) Penciptaan konten, (5) Distribusi konten, (6) Penguatan konten, (7) Evaluasi pemasaran konten, dan (8) Perbaikan pemasaran konten.

Saya rasa tahapan paling krusial adalah tahapan 4,5, dan 6 yakni bagaimana menciptakan konten dan mendistribusikannya. Kotler menyebut perlunya menggunakan jasa buzzer dan influencer sebagai orang yang bisa membantu penyebaran konten.

Jika tim kerja adalah para panglima, maka buzzer dan influencer adalah para jenderal perang yang disiapkan untuk menyerbu. Jika ingin menjadikan konten itu viral, maka buzzer berperan penting untuk memantulkan konten itu ke mana-mana.

Sedangkan influencer adalah orang-orang yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Mereka bisa direkrut dan dijadikan hulubalang untuk menyebarkan pesan-pesan yang bisa melumpuhkan kerja tim lawan. Para buzzer dan influencer lalu diminta untuk memasang tagar tertentu agar diikuti orang lain.

Dalam konteks pilpres, para influencer ini punya peran penting sebab bisa menentukan seberapa ramai satu isu dipercakapkan atau tidak. Setahu saya, belum ada satu jawaban tegas, seberapa kuat pengaruh media sosial dalam kemenangan satu capres.

Beberapa lembaga survei menilai jumlah pengguna internet belum signifikan. Makanya, pertempuran udara hanyalah satu strategi yang dianggap belum bisa menjadi rudal untuk menghancurkan pertahanan lawan.

Tetap saja dibutuhkan pasukan marinir dan infanteri darat untuk menyerbu dan merekrut semua orang agar mau memilih. Selain itu, harus dicatat pula kalau tidak semua orang menggunakan media sosial yang sama. Survei yang dilakukan Indikator menunjukkan bahwa pengguna WhasApp Grup dan Facebook lebih besar sehingga bisa mempengaruhi opini netizen.

Padahal, sering kali energi terbesar dihabiskan di Twitter, yang jumlah penggunanya tidak begitu banyak. Setidaknya, pilpres ini menyisakan satu pelajaran penting bahwa keliru besar jika Anda berpikir bahwa pilpres ini adalah el clasico antara Jokowi versus Prabowo. Sebab Jokowi dan Prabowo hanya dua jago yang berlaga di arena gladiator.

Mereka adalah brand atau merek dari orkestra banyak orang yang saling bekerja untuk memenangkan mereka. Politik kita bukan sekadar arena duel antara dua orang, melainkan melibatkan kerja-kerja kolektif yang massif.

Pemenangnya bukan siapa yang paling cerdas dan paling hebat, melainkan siapa yang didukung tim kerja yang rapi dan terorganisir. Lantas, siapa pemenangnya? Apakah Jokowi atau Prabowo? Kita akan temukan jawabannya pada 17 April 2019 mendatang.

Kita semua punya pilihan, juga catatan atas apa yang kita inginkan terjadi.





Cerita tentang Ricardus Keiya




Saya menghabiskan malam bersama dua pemuda timur Indonesia. Tapi saya ingin cerita tentang lelaki berbaju merah dan berkalung salib.

Namanya Ricardus Keiya. Di medsos, namanya adalah Rigo Detto. Dia berasal dari Paniai, Papua. Datang ke Bogor untuk kuliah di kampus IPB bersama 40 rekannya sesama Papua. Mereka sesama penerima beasiswa dari pemerintah Papua. 

Riki, demikian ia disapa, tadinya ingin gabung di Persipura. Dia pesepakbola handal yang sudah lulus seleksi. Sayang, orangtuanya ingin dia lanjut kuliah. Datanglah dia ke Bogor. Tapi, kenyataan tidak seindah yang dibayangkannya.

Dia mesti betadaptasi dengan materi kuliah yang belum pernah didapatnya di Papua. "Taputar saya dikasi soal kalkulus." 

Dia tak mau patah arang. Dia pun beradaptasi dengan perkuliahan yang tidak mudah. Dia mencari aktivitas lain. Dia bergabung dengan tim sepakbola IPB. Dia menjadi bintang yang dielu-elukan dalam banyak turnamen.

Alam memang melakukan seleksi. Demikian pula 40 orang dari Papua itu. Dia akhir perkuliahan, hanya 2 orang yang berhasil meraih gelar sarjana. Riki adalah salah satunya. 

Sisanya rata2 putus di tengah jalan, dengan berbagai alasan. Kebanyakan tidak bisa beradaptasi dengan materi2 yang belum pernah dipelajari semasa SMA di Papua. Apa boleh buat, pendidikan di barat dan timur memang sangat timpang.

Riki memang mengejutkan. Tak hanya lulus S1, dia pun lanjut program magister bidang Sosiologi Pedesaan. Dia pun sering ikut kegiatan riset di satu lembaga.Bahkan dia pernah jadi pemateri pada diskusi tentang Papua di satu universitas di Jakarta.

Kini dia tak lama lagi akan lulus magister. Dia menulis tesis tentang landgrabbing atau perampasan lahan di Merauke, Papua.

Saat saya tanya pendapatnya tentang lahan luas hingga ratusan ribu hektar yang dimiliki seorang capres, Riki langsung bersemangat. Dia menjelaskan banyak sisi tentang lahan itu, serta beberapa analisis.

Sayang, dia tidak ingin pernyataannya dipublish di sini. Mengapa? "Biar banyak orang yang cari saya untuk diskusi mengenai landgrabbing. Biar saya ikut terkenal seperti kaka," katanya sembari terkekeh.

Iya deh. Ntar bocorin yaa



Membaca Jurnalisme Musik




Untuk pertama kalinya saya melihat ada buku yang membahas seluk beluk dunia jurnalisme musik. Sebagai pembelajar jurnalistik sekaligus pemain piano dan biola, buku ini 'gue banget.'

Ulasannya cukup bagus. Gaya menulisnya adalah tengah2 antara menulis akademik dan populer, mirip2 gaya menulis yang selama ini saya terapkan.

Yang dibahas juga lengkap. Mulai dari media2 yang membahas musik hingga mendiskusikan kritik musik. Saya suka cerita tentang Pure Saturday, band yang memilih jalur indi dan konsisten di situ.

Buku bergizi untuk akhir pekan cocok dibaca sambil mendengar vokal Freddy Mercury yang berpadu dengan lengkingan gitar Brian May.


Bukalapak, Lupabapak, dan Kedunguan Digital


ilustrasi

Di era pemilihan presiden, semua orang tiba-tiba memiliki sumbu pendek. Hanya karena satu cuitan, maka satu negeri bisa ribut. Hanya karena satu komentar di media, satu bangsa bisa terbelah. Bahkan hanya karena satu tagar di internet, semua orang akan sibuk membelah diri dalam berbagai kubu. Ini bukan soal cebong vs kampret.

Ini soal bangsa yang kian terpolarisasi. Energi publik yang seharusnya dipakai untuk mendiskusikan berbagai hal yang substansial, tiba-tiba tersita untuk masuk dalam debat remeh-temeh yang sejatinya berpangkal pada kesalahan dalam memilih diksi dan kalimat yang tepat untuk menyatakan maksud.

Pendiri Bukalapak itu tidak menyadari kalau dirinya bukan lagi anak muda alay yang bebas ngomong apa saja di media sosial. Dia seorang public figure yang seharusnya memiliki kecerdasan dalam hal menangkap momen apa yang sedang terjadi di bangsanya.

Sebagaimana pengakuannya, dia tidak bermaksud untuk bersikap seperti apa yang dituduhkan. Dia hanya tidak tahu bagaimana memilih diksi yang tepat. Dia kembali menjadi anak muda bodoh yang karbitan, tapi tiba-tiba mendadak kaya karena mainan startup mendapat siraman dari investor.

Kalau pun dia menyenangi satu kubu, jelas tak ada salahnya. Dia bisa saja gentle mengakui sikap politiknya, tanpa harus gentar karena tekanan dan seruan Lupabapak. Abaikan saja suara netizen yang mengingatkan dirinya perhatian seorang kepala negara. Bantah saja argumentasi kalau kemajuan usahanya itu karena iklim yang dibuat oleh kepala negara itu.

Akuilah kalau selama ini dirinya bukan hanya buat platform digital untuk para UKM, sebagaimana klaimnya selama ini, tetapi juga membuat bahan gorengan yang kemudian cepat disambar para cebong dan kampret. 

Tak perlu ngomong soal dana riset sebab para periset sendiri sudah lama mengeluh risetnya diabaikan sebab pihak berwenang hanya peduli pada laporan keuangan dan aspek administrasi. Di negeri ini, riset sudah lama jadi barang pajangan, dan hanya menjadi alat legitimasi kebijakan.

Para periset hanya berkutat dengan debu di lapangan riset dan berbagai laboratorium. Nasib mereka tak baik-baik amat. Satu-satunya riset yang diperhatikan dan bikin penelitinya makmur hanya survei politik dan opini pesanan. Itu pun hanya untuk membuat tim sukses gembira dan capresnya sujud syukur.

Di sisi lain, kita pun harus mengakui kalau watak netizen kita memang suka ribut. Bahkan soal Valentine saja sibuk berdebat sebab dianggap bukan budaya kita. Semuanya lupa kalau budaya kita yang sesungguhnya adalah suka debat dan tengkar tanpa ada ujung demi membela kelompok kita.

Budaya kita adalah perasaan merasa tertinggal saat ada kereta debat yang sudah berjalan jauh. Semua ingin ikut dalam adu tengkar.

Dulu, kita menyaksikan bagaimana Sari Roti hendak diboikot. Seruan itu hanya sejenak sebab setelah itu semuanya kembali pada rutinitas sehari-hari. Dengan memboikot Sari Roti tidak membuat kehidupan Anda semakin baik.  Kini, Bukalapak hendak diboikot. Ketika di masa depan ternyata Bukalapak masih eksis, maka kita akan kembali menarik ludah yang sudah dilepaskan.

Para ahli psikologi menyebut fenomena kolektif ini sebagai fear of missing out (fomo). Banyak orang ingin ikut terlibat membahas sesuatu yang sedang ngetrend. Tanpa memilah dan menganalisis, langsung saja ikut menyebar satu tagar.

Dunia digital membuat kita mudah emosional sehingga gampang terserat dalam arus debat yang tak henti. Siapa yang paling diuntungkan dari debat ini? Tentunya, tim sukses dan tim pemenangan. Yang bertepuk adalah para spin doctors, para pemelintir informasi, mereka yang membelokkan setiap debat untuk menguatkan laskar siber dan menggempur lawan. 

Setiap isu ibarat amunisi dan bom yang kemudian diledakkan di media sosial sehingga huru-hara dan keramaian tercipta. Dengan melempar isu, mereka jadi tahu siapa kawan dan siapa lawan, kemudian menghimpun mereka dalam satu barisan.

Mereka bisa memerintah algoritma media sosial sehingga pesan untuk ribut itu tersulut ke mana-mana. Setelah itu, mereka ramai-ramai mengipasi kita agar selalu ribut. Ketika perhatian publik tercurah pada satu isu, mereka akan melakukan operasi yang lain.

Misalnya menjauhkan perdebatan tentang salat Jumat, atau fokus pada mencari isu lain untuk menutupi debat tidak berkualitas.

Saya ingat satu bab dalam buku 21 Lessons for 21st Century yang ditulis Yuval Noah Harari mengenai kebebasan. Katanya, di era big data dan kecerdasan digital, maka manusia kehilangan kebebasannya sebab tunduk pada kekang yang dipegang oleh para pengendali digital.

Bahaya yang dihadapi manusia saat ini adalah apa yang disebutnya kediktatoran digital, saat semua algoritma dan mesin cerdas bisa memetakan potensi cebong dan kampret dalam diri seseorang, kemudian diarahkan untuk menjadi pemandu sorak yang meramaikan hiruk-pikuk dan diskusi tak ada ujung di ruang maya kita.

Marilah kita akui bahwa kita juga terjebak pada kedunguan digital secara massif sehingga kita kehilangan nalar untuk melihat mana hal penting dan tak penting untuk ditengkarkan.

Atau haruskah kita menunggu pilpres ini berlalu biar kita kembali menemukan akal sehat kita?




Sepuluh Postingan Hebat untuk Caleg Juara




Pertanyaan penting yang sering muncul dari para caleg di media sosial adalah bagaimana menyusun materi atau konten yang tepat untuk memikat orang agar setia menjadi pengikut (follower), dan setelah itu akan memilih di bilik suara?

***

Seiring dengan kian dekatnya pemilu, kawan itu mulai bijak di media sosialnya. Sebelumnya, dia rajin menyembur kebencian dan permusuhan kepada seseorang yang kini sedang menjabat. Tapi belakangan ini, dia berubah drastis. Dia mulai rajin membagikan petuah-petuah dan postingan bijak.

Dia tak sendirian. Hampir semua politisi dan caleg kini masuk ke media sosial. Rimba persilatan medsos kini dipenuhi banyak orang yang mendadak baik. Ada yang rutin memajang foto kegiatan, kata-kata bijak, ada pula yang sibuk memasang foto tersenyum.

Namun rimba persilatan medsos ini terasa menjemukan sebab semua orang menggunakan jurus yang sama. Semua orang menampilkan postingan berupa wajah yang sudah dipercantik oleh sotosop, kemudian dibumbui kalimat bijak, setelah itu ajakan memilih.

Sebagai netizen, kita nyaris tak menemukan kebaruan. Tak ada variasi dan jurus baru. Padahal, jantung dari semua aktivitas pengelolaan medsos adalah kreativitas.

Mereka yang menguasai medsos bukan mereka yang terganteng dan terkaya, melainkan mereka yang paling kreatif, paling bisa mengolah hal-hal sederhana menjadi menarik, serta bisa membangun interaksi kuat dengan para netizen.

Di mata saya, jantung dari semua aktivitas di media sosial adalah pengelolaan konten. Ketika Anda punya konten menjual, maka Anda akan dikenali, kemudian disukai. Jika selalu konsisten, rasa suka akan berubah menjadi dukungan hingga dipilih di bilik suara.

Banyak orang yang terus-menerus menyajikan menu yang itu-itu saja di media sosial. Padahal, ada banyak kiat dan strategi konten yang bisa dipilih. Seiring waktu, Anda bisa memantau semua konten itu, melihat mana yang disukai, kemudian jadikan sebagai style atau ciri Anda.

Saya mengidentifikasi ada 10 jenis postingan yang bisa dipilih seorang politisi di media sosial. Kita lihat satu persatu.

Pertama, narasi. Inilah jenis postingan yang paling populer dan disukai. Anda cukup bercerita tentang diri Anda secara apa adanya. Tak sekadar bercerita, bagikanlah hikmah atau pembelajaran dengan cara yang kreatif dan tidak menggurui.

Sekali Anda bisa mengetuk hati seseorang, maka dia akan segera menjadi follower, setelah itu relawan, kemudian jadi tim sukses. Saya memantau narasi adalah kekuatan dari beberapa politisi yang paling disukai di media sosial.

Lihat saja postingan Presiden Jokowi, Ridwan Kamil, Anies Baswedan, Airlangga Hartarto, hingga tokoh-tokoh seperti Basuki Tjahaja Purnama. Mereka bisa bercerita dengan mengalir dan menunjukkan sisi paling manusiawi pada diri mereka.

Kedua, analisis. Banyak netizen menyukai tulisan-tulisan yang menyajikan cara pandang atas satu hal. Analisis tidak selalu berupa angka-angka, tapi juga bisa berupa upaya menghubungkan satu atau dua fakta, kemudian memberikan gambaran atas apa yang terjadi, prediksi ke depan, serta apa yang harus dilakukan.

Tokoh seperti Mahfud MD disukai orang-orang di Twitter karena beliau sering memberikan pencerahan kepada publik atas peristiwa aktual. Demikian pula beberapa nama seperti Gus Nadir yang sering memberikan kultwit tentang peristiwa aktual.

Ketiga, foto bercerita. Kalangan generasi milenial biasanya lebih suka hal-hal yang visual dan menarik mata. Mereka menggemari foto-foto yang unik dan menampilkan sisi lain seseorang. Melalui foto, netizen bisa membangun interaksi dengan seseorang.

Sebagai politisi, Anda tak perlu setiap saat menampilkan wajah. Sesekali angkat sisi lain dari daerah pemilihan Anda. Bisa berupa tempat wisata, kehidupan sosial, hingga kebiasaan warga yang unik-unik. Melalui foto, ajak orang-orang untuk terlibat. Sampaikan gagasan Anda melalui foto yang sederhana tapi kuat.

Keempat, video pendek. Sebagaimana foto, ini juga jenis postingan populer yang disukai. Saya perhatikan karakteristik netizen adalah senang membagikan banyak hal melalui media sosial, termasuk melalui WhatsApp Grup.

Video pendek dengan durasi satu menit menjadi amat disukai sebab ringan, mudah diunduh, dan mudah pula disebarkan ke mana-mana. Tantangan dalam membuat video adalah bagaimana menyajikan satu konten yang unik dan tidak sekadar memajang foto dan kalimat-kalimat retorik.

Saran saya, buatlah video pendek yang bercerita. Bisa dalam bentuk testimoni atau pengakuan orang-orang yang mengenal Anda. Bisa pula berisikan kunjungan atau perjalanan ke satu titik.

Kelima, meme. Bagi milenial, meme adalah hal yang juga disukai. Meme berupa parodi atau foto-foto yang diberikan teks-teks lucu. Meme disukai karena punya sifat yang menghibur. Ini klop dengan karakter generasi milenial yang senang dengan hal-hal menghibur dan menyenangkan.

Contoh Meme
Sebagai politisi, Anda bisa membuat meme untuk menyampaikan maksud. Bisa berupa foto Anda dan seorang pesohor serupa artis, setelah itu ada kalimat-kalimat lucu. Bisa pula berupa grafis diri Anda beserta tanya jawab yang isinya jawaban mengapa masuk politik. Kemudian di sudut bawah, ada karikatur anak kecil dengan kepala gundul yang memberikan komentar lucu. Itu bisa kok.

Keenam, karikatur. Yang dimaksud karikatur adalah penggambaran satu obyek konkret dengan cara melebih-lebihkan obyek tersebut. Karikatur bisa berupa wajah yang sedang tersenyum, dengan kepala terlihat besar, tetapi badan tampak kecil.

Karikatur bisa menjadi cara untuk menyampaikan pesan. Yang terpenting di sini bukanlah gambar, tapi apa pesan kuat yang hendak disampaikan. Sebagaimana meme, karikatur punya unsur menghibur yang bisa membuat orang suka dan membagikannya.

Ketujuh, infografik. Saya mengamati, infografik sangat populer belakangan ini. Hampir semua media online, tim relawan, hingga tim sukses, selalu menyenangi penyajian data melalui infografik. Data yang kadang memusingkan bisa menjadi lebih sederhana dan menarik.

Tak hanya tim sukses, saya juga mengamati semua lembaga negara dan swasta punya divisi yang rajin membuat infografik. Sebab penyajian infografik bisa menyentuh semua kalangan, serta mudah dipahami.

Kedelapan, quote atau kutipan. Biasanya untuk keperluan Instagram, kutipan sangat disukai. Jika Anda tak punya kutipan menarik, bisa pula mengambil kutipan dari tokoh-tokoh hebat. Bisa pula mengambil hal sederhana, tetapi bisa mengetuk hati seseorang ketika membacanya. Misalnya ucapan: “Di tengah berbagai masalah dan kesibukan, jangan lupa untuk bahagia.”



Kesembilan, pers rilis. Sebagai politisi, usahakan untuk selalu dekat dengan media. Anda mesti responsif dengan berbagai isu yang terjadi di sekitar Anda. Respon kepada media bisa diberikan dalam berbagai bentuk.

Selain memberikan pernyataan, juga dalam bentuk mengirimkan press release atau pernyataan pers. Pernyataan itu disampaikan dalam kalimat sederhana yang langsung pada sasaran. Perkuat pada argumentasi dan data-data sehingga komen Anda tidak asal.

Jika Anda melakukannya dengan baik, media-media akan sukarela memuatnya secara gratis. Semakin sering muncul di media, maka peluang Anda untuk dikenal dan disukai semakin besar. Setelah dimuat media, link atau tautan pernyataan itu bagikan di media sosial, kemudian boost sehingga menjangkau ribuan orang. Mudah khan?

Kesepuluh, retweet dan reshare. Anda bisa membagikan postingan tertentu atau tautan berita yang isinya menarik serta menunjukkan posisi berpikir Anda. Bagikanlah hal-hal bermanfaat yang Anda yakini bisa membawa dampak positif bagi konstituen Anda.

Bisa pula membagikan kalimat atau pesan dari calon presiden yang Anda sukai. Pilihlah pernyataan yang optimis, inspiratif, dan membawa harapan sebab biasanya jenis pernyataan begini yang disukai netizen.

Berikan pencerahan, perspektif, serta sudut pandang yang menarik sehingga seseorang semakin menyukai Anda dan suka rela menjadi relawan.

***

Nah, sepuluh jurus di atas hanya secucil dari berbagai jenis postingan yang saya amati di media sosial. Anda bisa mengembangkannya menjadi berbagai jenis postingan. Prinsipnya adalah pikatlah seseorang dengan konten yang menarik dan membuatnya sejenak berhenti saat mengamati ribuan konten yang melintas di media sosial.

Pertanyaan berikutnya, apakah jurus-jurus yang bisa diterapkan agar semua orang menyukai postingan yang kita buat? Seberapa efektif kampanye digital untuk memenangkan seseorang? Saya akan mengurainya pada tulisan mendatang. Ingatkan yaa, kalau-kalau saya lupa. Hehehe.


Suatu Hari Bersama KHALID MUSTAFA




DI satu hotel dekat Pasar Baru, Jakarta, saya bertemu dengannya. Namanya Khalid Mustafa. Dia adalah sosok yang populer di kalangan penyidik KPK maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dia adalah orang yang paling sering dipanggil lembaga itu dan ditanyai banyak hal.

Namun, dia tidak dipanggil sebagai tersangka. Dia dipanggil untuk memberikan keterangan ahli terhadap penyimpangan dalam hal pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dia diminta mengidentifikasi ada tidaknya korupsi di proyek-proyek pengadaan barang dan jasa. Dia selalu tidak butuh waktu lama. Semua regulasi dan teknis pengadaan dihapalnya luar kepala.

Saya ingat Bung Hatta yang pernah mengatakan bahwa korupsi di Indonesia laksana kanker yang sudah masuk stadium empat, satu tahap di mana koruptor saling memangsa. Tugas Pak Khalid adalah memberikan kesaksian dan analisis apakah proyek pengadaan itu sudah sesuai prosedur atau tidak, apakah ada potensi korupsi ataukah tidak.

Kisah hidup lelaki asal Parepare ini sangat menarik untuk ditelusuri. Seorang teman bercerita, dirinya dulu adalah teknisi komputer di Makassar. Dia lalu merantau ke Jakarta, kemudian mendaftar sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Di sinilah, dia menemukan passion-nya yakni senang mengamati semua dokumen pengadaan barang.

Dia membaca undang-undang, kemudian melihat praktik di sekelilingnya. Dia cepat menyerap berbagai aturan dan regulasi. Di blognya, dia bercerita banyak. Saat masih golongan 2C, dia sudah sering dipanel dengan menteri dan dirjen untuk memberikan materi tentang pengadaan barang dan jasa.

Dia melihat bahwa pengadaan barang dan jasa selalu menjadi celah bagi tindak pidana korupsi. Masih segar di ingatan kita saat Gubernur Ahok mempersoalkan harga printer dan scanner di Pemrov DKI yang ditulis senilai 150 miliar rupiah. Ada banyak proyek pemerintah yang lalu di-markup dan sengaja dibesarkan agar masuk kantung pejabat. Di sinilah titik korupsi mulai menyebar.

Kata Khalid, ada tiga tipe aparat sipil negara yang diproses hukum karena korupsi pengadaan. Pertama, orang yang memang punya niat jahat untuk korupsi. Kedua, orang yang tidak bisa menolak perintah atasan. Ketiga, orang yang tidak tahu bahwa dia salah, tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, dan tidak punya kompetensi terkait pengadaan.

Dia juga menilai bahwa nyaris tidak ada satu pun perguruan tinggi yang memberikan kelas khusus pengadaan. Padahal, ini kemampuan yang dibutuhkan oleh semua instansi pemerintah, perusahaan penyedia, dan semua pejabat struktural. Sebab semua kantor pemerintah pasti membutuhkan kemampuan ini biar tidak korupsi dan uang negara terselamatkan.

Khalid melihat tantangan di depan mata. Dia merasa punya keahlian itu. Dia mundur dari ASN, kemudian mulai mengelola pelatihan mengenai pengadaan barang dan jasa. Dirinya laris diundang sebagai pembicara di mana-mana. Dia sudah mengunjungi puluhan kota dari Sabang sampai Merauke demi memberikan materi. 

Jadwalnya padat. Kata seorang teman, untuk membuat janji dengannya mesti konfirmasi jauh-jauh hari. Sebab dalam sebulan, dia bisa ke luar daerah sampai lebih 20 kali.

Tanpa disadari, dia sudah memberikan kontribusi bagi Indonesia agar lebih kuat dan berdaya, serta pemerintah menjalankan tugasnya dengan benar. Melalui sistem yang kuat, juga kapasitas yang memadai, praktik korupsi bisa dihindari.

Kemarin, saya ketemu di Pasar Baru, dia menjalin kerjasama dengan penyedia platform IndonesiaX untuk memberikan kelas-kelas gratis dalam hal pengadaan barang dan jasa. Khalid ingin agar semua orang di seluruh Indonesia bisa belajar mengenai pengadaan barang dan jasa secara gratis melalui online.

IndonesiaX menyediakan kelas-kelas gratis yang diasuh para pakar di berbagai bidang. Saya mengecek, mereka bekerja sama dengan banyak orang hebat seperti Profesor Rhenald Kasali, dan juga kampus besar seperti UI dan UGM untuk memberikan kelas gratis melalui online. Anda cukup register dan bisa menyelesaikan kursus atau kelas gratis itu pada periode tertentu. Anda pun bisa mendapatkan sertifikat kompetensi.

Rupanya Khalid terobsesi untuk memberikan kelas online dan bekerja sama dengan kampus-kampus agar mahasiswa diberikan kompetensi terkait pengadaan. Sebagai pengurus di Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), dia menggaransi kalau mahasiswa di satu kampus yang mengambil kelas yang diasuhnya akan bisa mendapatkan gelar di belakang nama sebagai pemegang kompetensi di bidang procurement atau pengadaan.

Berapa biaya yang harus dikeluarkan kampus dan mahasiswa? “Tak perlu. Kelas itu gratis. Namun untuk mengambil sertifikat mesti ikut ujian kompetensi dan membayar biaya yang tidak seberapa,” katanya.

Saya langsung terkenang kampus di timur yang mulai melirik potensi kelas-kelas online dengan para pakar. Kampus-kampus cukup membuat MoU dengan lembaganya, maka sudah bisa mengunduh materi. mahasiswa bisa pula dapat sertifikat kompetensi dan gelar tambahan. 

Saya menikmati pertemuan dengannya. Saat hendak berfoto, saya langsung berseloroh bahwa kebahagiaan bisa berfoto dengan seorang pakar. Dia langsung menjawab dengan aksen Makassar yang kental. “Bukanji pakar. Tapi pakarumbang ji.”

Saya terkekeh. Bagi yang pernah di Makassar pasti tahu makna “pakarumbang.” Iya khan?


Catatan Seusai Reuni SMP




Di satu siang yang cerah, beberapa kawan mengajak saya untuk reunian sesama alumni SMP 3 Baubau di Pulau Buton. Datanglah saya dengan ruang gembira di resto de leuit, Bogor. 

Dahulu, kami sekolah di pulau kecil, jauh dari pusat peradaban kota-kota besar. Di masa itu, kami jalan kaki ke sekolah, menempuh jarak yang tidak singkat. Kami pun tak mengenal berbagai jenis les dan bimbingan, sebagaimana anak jaman now.

Tapi saya perhatikan, semua kawan2 saya malah sukses di bidang masing-masing. Semua menemukan arena untuk berkiprah. 

Sebagai orang kampung yang tinggal di kota, saya mulai memikirkan banyak hal. Di kota, banyak yang mengira bahwa bisa menyekolahkan anak di tempat mahal dan mewah adalah cara terbaik untuk menyiapkan masa depan yang cerah.

Banyak orang yang terlalu protektif dan melimpahkan anaknya dengan fasilitas. Padahal esensi pendidikan bukan itu. Tempat sekolah dan fasilitas bukan tolok ukur dari kualitas dan masa depan seorang anak. Malah anak bisa jadi generasi strawberry yang mudah rapuh ketika menghadapi tantangan 

Yang terpenting dari sekolah adalah anak menemukan motivasi dan daya juang. Ketika dia punya itu, maka tidak penting bersekolah di mana. Dia akan menemukan jalannya untuk menggapai apa yang jadi mimpi dan passion-nya. 

Justru ketidaknyamanan dan keterbatasan adalah bagian dari latihan untuk menjadikan seorang anak sebagai petarung yang berjiwa Spartan. 

Tentu saja, ada juga faktor lain. Di antaranya adalah dukungan orang tua yang serupa sungai mengalir, juga harapan-harapan baik dari lingkungan. Dukungan itu juga berupa menyediakan waktu untuk menemani anak dalam berbagai aktivitas. 

Bagi orang kota, waktu bersama anak adalah hal paling mewah sekaligus paling mahal sebab semua orang terjebak dalam berbagai kesibukan. Padahal, itu jauh lebih penting daripada memberinya berbagai fasilitas mewah dan sekolah mahal.

Di acara reuni sekolah kampung di kota besar ini, saya tersenyum melihat teman2 yang sudah sukses. Ada yang sudah jadi kepala cabang dari bank swasta. Ada yang jadi pelaut dan sudah keliling tujuh samudera. Ada juga yang menekuni karier sebagai petinggi di badan SAR Nasional.

"Kamu sendiri sudah jadi apa Yos" tanya seorang kawan. 
"Saya sudah menemukan dunia saya. Yakni menjadi pelatih kucing. Sesekali saya jadi penjual obat di berbagai lokasi" kataku dengan gembira.

Semua orang melongo. Namun sejurus kemudian, semua tertawa terbahak-bahak.



Gadis Imut dalam Tubuh Robot Petarung




Tadinya, saya berpikir bahwa film Artificial Intelligence yang dibuat Steven Spielberg adalah film science fiction terakhir yang mempesona. Setelah nonton film Alita: Battle Angel yang diproduseri James Cameron, saya merevisi pandangan itu.

Alita menyajikan efek visual yang begitu megah dan adegan laga yang ditata seperti tari balet. Sepintas ini bukan film animasi sebab semua tampilan visual tampak sangat realistik. Padahal, yang tampil di layar adalah para cyborg dan robot, yang saling bertarung.

Film ini adalah proyek ambisius James Cameron yang pernah membuat film terlaris di dunia yakni Titanic dan Avatar. Di satu media, James Cameron bercerita kalau rencana film ini sudah ada di kepalanya sejak tahun 2000, namun ditundanya karena harus menyutradarai film Avatar.

Selain itu, Cameron menganggap teknologi film saat itu belum mumpuni untuk membuat film Alita. Dia harus menunda proyek itu lebih 10 tahun hingga dianggapnya teknologi sudah memungkinkan untuk mewujudkan mimpinya untuk membuat film animasi yang seakan menyatu dengan dengan realitas. Dia lalu berkolaborasi dengan sutradara Robert Rodriguez.

Sosok Alita seperti gadis remaja imut, namun tubuhnya adalah robot. Jika saja tak melihat matanya yang berukuran besar, sebagaimana karakter dalam komik Jepang, barangkali saya tidak akan berpikir bahwa ini animasi. Ketika melihat adegan pertarungan robot yang begitu realistis, saya mengira ini beneran.

Film ini memang berawal dari komik Jepang (manga) berjudul Gunnm yang dibuat Yukito Kishiro. Setting kisah adalah tahun 2563, ketika banyak manusia berinteraksi dengan robot. Malah banyak manusia yang menjadi cyborg, separuh tubuhnya adalah robot. Lanskap cerita mengingatkan saya pada film Elysium.

Bumi masih dihuni manusia, meskipun dipenuhi sampah. Sebagian manusia, khususnya kelompok kaya dan berkuasa, membangun satu kota di langit. Di sana, manusia terpilih mengontrol kehidupan di bumi yang dipenuhi rongsokan dan sampah.

Kisah Alita bermula ketika Dr Dryson Ido menemukan serpihan kepala robot di satu rongsokan. Dia lalu menghidupkan robot itu dan memberinya tubuh. Robot perempuan remaja itu terbangun dalam kondisi tak mengenal siapa dirinya. Ido memberinya nama Alita demi mengingatkan pada anak perempuannya yang telah tewas.

Sampai di sini, saya teringat komik Astro Boy yang digambar Osamu Tezuka. Robot kecil itu diperlakukan seperti anak oleh ilmuwan yang menemukannya. Bedanya, ingatan Alita pelan-pelan terkuak saat dalam situasi kritis dirinya harus berkelahi dan menghadapi lawan-lawan yang sangar.

Alita adalah tipe perempuan muda yang culun, namun begitu gesit dan lihai ketika bertarung. Terlihat ringkih dan rapuh, namun dia melayani semua adehan pertarungan tanpa sedikit pun mundur. Dalam banyak pertempuran, dia pelan-pelan mengingat masa lalunya sebagai seorang prajurit pasukan khusus yang dahulu berperang di bumi.

Saya sangat menikmati banyak adegan pertempuran yang dibuat sangat realistis. Pembuat komik dan film ini menghadirkan satu dunia baru di era masa depan. Di sini, ada adegan motorball ala balapan liar yang diikuti Anakin Skywalker dalam film Star Wars, di mana pesertanya bisa saling membunuh. Ada pula mastermind yang bisa mengendalikan para robot demi membunuh Alita.

Para robot musuh Alita digambarkan bengis dan berkelahi dengan sadis. Di tengah banyak laga yang dihadapi Alita, terselip kisah cinta antara Alita dengan seorang pemuda. Kesemua kepingan kisah itu kian melengkapi pertarungan Alita yang keras dan bisa membuat dirinya setiap saat tewas.

Hingga akhirnya, terkuak satu kepingan fakta kalau Alita menguasai satu teknik beladiri yang sudah punah selama 300 tahun. Dia adalah bagian dari laskar yang dahulu hendak menyerbu kota di atas bumi, yang menindas semua warganya.

Saya melihat film ini adalah gabungan dari kisah Astro Boy, Star Wars, Elysium, Artificial Intelligent, Avatar, dan juga perjuangan ala Braveheart.

Di beberapa media online, banyak yang mengkritik kisahnya yang kurang mengeskplor karakternya. Wajar saja sebab film ini kan tidak melulu drama, selain itu masih akan ada sekuel atau kelanjutannya.

Saya justru sangat menikmatinya. Saya memberi jempol untuk semua adegan laga dan pertarungan di sini. Hanya saja, perlu disampaikan kalau film ini memang bukan untuk anak-anak sebab banyak adegan kekerasan. Bagi yang menggemari adegan laga dan tempur antar robot, film ini adalah juara.

Tak percaya? Nontonlah.



Profesi Baru yang Muncul di Era Digital




Dalam satu acara yang dihelat Tempo, saya bertemu Ali Akbar, anak muda yang menulis buku Digital Ekosistem. Dia mengaku bekerja sebagai Data Scientist, sering pula mengaku sebagai pakar SEO atau Search Engine Optimization. Di acara itu, Ali Akbar membawakan materi tentang bagaimana mengembangkan aset digital.

Menurut pihak Tempo, Ali Akbar adalah sosok yang selalu direkomendasikan pihak Google untuk membawa materi tentang digital. Itu menandakan beliau punya rekam jejak yang baik di mata Google.

Bagi saya, Ali Akbar orangnya menyenangkan. Dia jauh dari kesan serius. Dia tampil seperti anak muda kuliahan yang memakai hoody dan topi. Dari sisi bisnis, dia orang yang bisa memaksimalkan Google untuk meraup miliaran rupiah. Dia pun tak pelit ilmu. Dia senang berbagi ilmu.

Hari itu, dia bercerita tentang seorang kawannya yang curhat karena tidak punya pekerjaan. Kawannya adalah seorang akuntan, lulusan UI. Ali bertanya apa keahlian yang hendak dijual kawannya. Rupanya kawan itu tidak tahu apa keahliannya yang bisa mendatangkan duit banyak.

Kawannya menjawab hal lain. Katanya, rumah tangganya baru saja dilanda prahara. Beruntung dia bisa menyelamatkan pernikahannya. Tak lama berpikir, Ali Akbar mengusulkan supaya kawannya itu jadi Konsultan Pernikahan. Hah? Apa profesi itu memang ada?

Ali Akbar mulai merancang strategi. Dia mengusulkan agar kawannya membuat website yang menerangkan dirinya sebagai Konsultan Pernikahan. 

Ali Akbar tahu persis bahwa orang-orang, khususnya yang tinggal di kota, selalu bertanya pada Google terkait semua hal. Jika mau jalan-jalan, maka mereka mengecek lokasi jalan-jalan favorit di Google. Demikian pula dalam hal makan, tugas-tugas, bahkan mencari teman kencan. Orang-orang sangat percaya pada rekomendasi Google.

Ali Akbar menyuruh temannya untuk menggunakan fasilitas Google Adwords. Anda bisa mengapling tempat di mesin pencari Google untuk produk Anda. Memang, fasilitas itu berbayar, tapi hasilnya menakjubkan. Siapa pun yang mengetik di Google kata “Konsultan Pernikahan” dan “Konsultan Perkawinan”, maka pasti akan menemukan nama temannya di semua halaman pertama Google, lengkap dengan nomor teleponnya.

Bagi saya, strategi ini ibarat nelayan yang memasang bubu di sungai, setelah itu sesekali mengeceknya. Anda pun bisa melakukannya. Anda bisa kapling kata “orang ganteng” di Google sehingga semua pencarian mengenai orang ganteng akan merekomendasikan nama Anda. 

Jika Anda caleg di Kota Baubau, bisa saja bayar Google sehingga ketika siapa pun mencari kata “caleg hebat di Baubau”, maka Google akan merekomendasikan nama Anda (upss... ini bocoran strategi)

Nah, balik ke teman Ali Akbar. Belum lama setelah “bubu” itu dipasang, temannya mulai kebanjiran telepon dari banyak orang. Rupanya, ada banyak orang yang punya masalah pernikahan sehingga butuh konsultasi.

Biarpun bukan psikolog, teman Ali Akbar mulai kebanjiran klien. Pelan-pelan dia belajar bagaimana menghadapi klien. Dia pun laris diundang televisi sebagai konsultan pernikahan. Di website konsultan pernikahan, dia rajin menulis tips bagaimana mempertahankan pernikahan. Beberapa buku dihasilkannya. Bahkan profilnya sering masuk majalah. Kalau Anda tak percaya, coba searching nama Indra Noveldy. Dialah teman Ali Akbar.

Saya sengaja menulis tentang Ali Akbar dan temannya sebab melihat beranda media sosial tiba-tiba saja dipenuhi banyak “konsultan pernikahan” dadakan. Seorang mantan pejabat publik baru saja keluar tahanan, kemudian hendak menikah lagi. Publik terbagi dua, apakah mendukung mantan atau mendukung yang baru.

Melihat analisis yang keren-keren, seolah paham benar problem rumah tangga orang lain, saya berpikir kenapa tidak sekalian buka jasa konsultan pernikahan. Setidak-tidaknya kebiasaan membahas pernikahan bisa mendatangkan rejeki bagi Anda. 

Itu lebih baik dari sibuk bergunjing untuk membahas rumah tangga orang lain, setelah itu sibuk nyari informasi tentang tes CPNS. Setiap pernikahan selalu punya dinamika. Tak perlu kita memvonis orang lain. Cukuplah mendengarkan, memberi masukan jika diminta, serta berharap hal baik akan terjadi.

Kesimpulannya, ada orang yang bisa meraup untung dari berbagai isu, tapi ada juga yang hanya menghasilkan "sampah" di media sosial.