Di layar televisi, Jokowi dan Prabowo saling lempar kata, saling kunci, dan saling melepaskan bom kalimat. Di depan televisi, sejumlah orang bersorak seolah menyaksikan satu arena pertarungan antara dua gladiator terluka yang saling menebas.
Jauh di luar kaca, sejumlah orang sibuk menelaah debat, mencari kalimat atau kata-kata pamungkas. Ada pula yang menyiapkan meme, kartun, bahan olokan, hingga bahan hinaan kepada capres yang tidak didukungnya.
Ini politik di era 4.0. Di belakang Jokowi dan Prabowo, ada sejumlah orang, mulai dari barisan orang cerdas penyusun konsep dan materi debat, hingga tim-tim lapangan yang mengolah semua bahan menjadi materi kampanye, meme, bahan lucu-lucuan, bahan olokan, hingga bahan saling mencela.
Marilah kita telaah keberadaan orang-orang yang membuat politik menjadi sedemikian meriah, ramai, tapi juga begitu penuh semburan benci dan saling olok.
***
Di kafe yang terletak di satu sudut kota Jakarta, ramai orang menyemut dan ikut nonton bareng. Tadinya saya mengira mereka menonton tim sepakbola yang sedang berlaga. Tapi layar besar di ruangan itu menayangkan hal lain. Dua orang calon presiden yakni Jokowi dan Prabowo sedang bersilat lidah. Mereka saling beradu argumen.
Rupanya, kafe yang saya masuki ini adalah markas relawan pendukung satu calon presiden. Pantas saja suasananya meriah. Ketika ada kalimat pamungkas yang menohok jantung lawan, semuanya histeris dan berteriak. Persis kayak tim kesayangan sedang mencetak gol.
Namun, saya lebih tertarik menyaksikan sejumlah orang di sudut kafe. Mereka mengamati debat capres itu dengan penuh antusias. Ketika ada kalimat atau kata yang menohok, langsung diolah saat itu juga menjadi berbagai produk desain grafis.
Mereka membuat meme, karikatur, hingga grafis berisikan quote atau kutipan menarik. Saat itu juga, semua produk desain grafis itu langsung di-upload di media sosial dan berbagai jejaring media, mulai dari Facebook, WhatsApp Grup, Instagram, Twitter, jaringan email, hingga men-japri sejumlah orang.
Mereka membuat war room atau ruang perang yang aktivitasnya adalah menjadi pabrik konten. Di ruang itu, mereka memetakan semua isu, melihat koten lawan, kemudian merencanakan konten terbaik untuk melakukan counter isu.
Ketika Jokowi menyinggung tentang tanah yang dikuasai Prabowo, tim itu langsung membuat berbagai produk meme, kutipan, dan karikatur untuk disebar ke mana-mana. Mereka bisa kerja cepat sebab keterlambatan bisa membuat ide akan tenggelam.
Ide itu akan disambar oleh tim lain, yang kemudian membuat produk desain dan memasang logo mereka. Saya teringat ketika mengunjungi war room salah satu relawan capres paling besar. Saat itu, saya dimintai masukan tentang bagaimana menyusun “laskar siber” yang kuat.
Saya katakan bahwa tidak ada rumusan baku sepeti apa postur tim. Hanya saja, ada tiga unsur penting yang menjaga dinamika informasi.
Pertama, tim intelektual. Mereka inilah yang memetakan mana isu yang perlu dijawab atau isu yang perlu disebar. Mereka juga pembuat semua konten.
Kedua, tim produksi yang beranggotakan para graphic designer atauu videographer yang mengolah semua bahan.
Ketiga, tim distribusi. Tim ini beranggotakan sejumlah orang yang menyebarkan konten itu ke mana-mana. Bisa melalui media mainstream atau media sosial. Tim ini memantau lalu lintas konten dan memberikan evaluasi apakah konten itu menjual ataukah tidak.
Sinergi dari tiga kekuatan inilah yang akan memastikan konten itu bisa menyebar ke mana-mana. Tim intelektual juga menyusun banyak narasi untuk disebar. Makanya, kita sering menerima pesan-pesan di Whatsapp yang isinya kampanye dengan argumentasi seolah-olah rasional, yang bertujuan agar kita mendukung atau memojokkan seorang capres.
Dalam pilpres ini, penguasaan arena udara menjadi sangat penting. Seorang politisi berkata, wacana udara harus dimenangkan sehingga bisa menopang kerja-kerja tim darat yang melakukan perang. Politik di era 4.0 adalah keseimbangan antara online dan offline. Kerja-kerja offline akan jadi isu di dunia online. Di sisi lain, perdebatan di dunia online, akan mempengaruhi kerja-kerja tim offline.
Semakin kuat di dunia maya, maka semakin mudah melakukan penetrasi di darat. Untuk memenangkan dunia digital, maka kreativitas adalah kunci. Makanya, tim-tim kerja di setiap tim harus bisa merekrut orang-orang kreatif yang bisa mengolah setiap konten sehingga menjadi konten yang bernas dan mudah diserap publik.
Tim harus bisa menyederhanakan yang rumit, menyusun ide kreatif yang lucu dan menghibur, kemudian mendistribusi konten itu sehingga diterima para netizen.
Dalam buku Marketing 4.0: Moving from Traditional to Digital yang ditulis maha guru pemasaran yakni Philip Kotler dan Hermawan Kertajaya, terdapat penjelasan tentang delapan tahapan dalam memasarkan konten.
Mulai dari: (1) Tetapkan tujuan, (2) Pemetaan target pasar, (3) Perencanaan konten, (4) Penciptaan konten, (5) Distribusi konten, (6) Penguatan konten, (7) Evaluasi pemasaran konten, dan (8) Perbaikan pemasaran konten.
Saya rasa tahapan paling krusial adalah tahapan 4,5, dan 6 yakni bagaimana menciptakan konten dan mendistribusikannya. Kotler menyebut perlunya menggunakan jasa buzzer dan influencer sebagai orang yang bisa membantu penyebaran konten.
Jika tim kerja adalah para panglima, maka buzzer dan influencer adalah para jenderal perang yang disiapkan untuk menyerbu. Jika ingin menjadikan konten itu viral, maka buzzer berperan penting untuk memantulkan konten itu ke mana-mana.
Sedangkan influencer adalah orang-orang yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Mereka bisa direkrut dan dijadikan hulubalang untuk menyebarkan pesan-pesan yang bisa melumpuhkan kerja tim lawan. Para buzzer dan influencer lalu diminta untuk memasang tagar tertentu agar diikuti orang lain.
Dalam konteks pilpres, para influencer ini punya peran penting sebab bisa menentukan seberapa ramai satu isu dipercakapkan atau tidak. Setahu saya, belum ada satu jawaban tegas, seberapa kuat pengaruh media sosial dalam kemenangan satu capres.
Beberapa lembaga survei menilai jumlah pengguna internet belum signifikan. Makanya, pertempuran udara hanyalah satu strategi yang dianggap belum bisa menjadi rudal untuk menghancurkan pertahanan lawan.
Tetap saja dibutuhkan pasukan marinir dan infanteri darat untuk menyerbu dan merekrut semua orang agar mau memilih. Selain itu, harus dicatat pula kalau tidak semua orang menggunakan media sosial yang sama. Survei yang dilakukan Indikator menunjukkan bahwa pengguna WhasApp Grup dan Facebook lebih besar sehingga bisa mempengaruhi opini netizen.
Padahal, sering kali energi terbesar dihabiskan di Twitter, yang jumlah penggunanya tidak begitu banyak. Setidaknya, pilpres ini menyisakan satu pelajaran penting bahwa keliru besar jika Anda berpikir bahwa pilpres ini adalah el clasico antara Jokowi versus Prabowo. Sebab Jokowi dan Prabowo hanya dua jago yang berlaga di arena gladiator.
Mereka adalah brand atau merek dari orkestra banyak orang yang saling bekerja untuk memenangkan mereka. Politik kita bukan sekadar arena duel antara dua orang, melainkan melibatkan kerja-kerja kolektif yang massif.
Pemenangnya bukan siapa yang paling cerdas dan paling hebat, melainkan siapa yang didukung tim kerja yang rapi dan terorganisir. Lantas, siapa pemenangnya? Apakah Jokowi atau Prabowo? Kita akan temukan jawabannya pada 17 April 2019 mendatang.
Kita semua punya pilihan, juga catatan atas apa yang kita inginkan terjadi.