Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Sisi Lain Abraham Samad


Abraham Samad memegang badik di Makassar

HARI-hari belakangan, warga media sosial sibuk membahas Abraham Samad. Ada yang hendak menikamnya, namun dukungan atasnya juga berlipat-lipat. Mereka yang mendebat dan mendukung kepada Abraham sejatinya bermuara pada harapan tentang bangsa yang bebas dari korupsi. Namun tahukah orang-orang siapakah sesungguhnya Abraham?

***

SUATU hari di awal tahun 2004. Saya bergegas datang ke Warkop Phoenam di Makassar untuk menjadi moderator diskusi. Pembicaranya adalah guru besar sosiologi Universitas Airlangga, Daniel Sparingga. Ia akan dipandu dengan dua intelektual Makassar yakni Husain Abdullah dan Abraham Samad.

Nah, dua yang terakhir ini tak asing dengan publik Makassar. Husain adalah wartawan RCTI yang juga berprofesi sebagai akademisi Universitas Hasanuddin. Sedangkan Abraham adalah pengacara dan aktivis yang hampir setiap hari bisa ditemukan di warung kopi itu. Abraham akrab dengan semua jurnalis Makassar.

Saat itu, saya berposisi sebagai asisten redaktur politik dari koran Makassar yang belum lama berdiri. Sebagai pengambil kebijakan untuk liputan politik, saya dekat dengan banyak politisi dan aktivis. Saya sering berada di tempat para aktivis selalu berkumpul dan bersenda-gurau. Tempat itu adalah warung kopi yang banyak bertebaran di kota Makassar.

Di mata saya, Abraham adalah aktivis yang suka berkumpul di warung kopi. Sungguh mudah mencarinya. Pada saat itu, salah satu topik paling hangat di Makassar adalah dugaan korupsi beberapa anggota DPRD Sulsel. Sebuah LSM bernama Anti-Corruption Committee (ACC) berdiri di shaf terdepan untuk menggugat korupsi itu. Pimpinannya adalah Abraham.

Lelaki itu menyediakan waktunya 24 jam untuk wawancara. Keseringan ngobrol di warung kopi membuat saya cukup dekat dengannya. Ada atau tidak ada isu, Abraham bisa dicari di situ. Abraham merelakan namanya dikutip di koran, meskipun tak ada wawancara sebelumnya. Saya melihat sisi lain dirinya. Ia suka tampil di media dan forum-forum diskusi.

Di masa itu, Makassar diramaikan dengan diskusi. Setiap minggu selalu saja ada diskusi. Demi meramaikan diskusi, saya bersama Abraham ikut dalam pertemuan yang diadakan oleh kawan Zainal Dalle dan Rusman Madjulekka. Kami merancang beberapa diskusi. Nah, Abraham menjadi salah satu pembicara yang rutin kami undang.

Saat itu, Abraham memang tokoh yang lahir dari iklim aktivisme di Kota Makassar. Kiprahnya nyaris tak pernah terdengar di Jakarta. Padahal, ia seorang penulis kolom yang produktif di koran tempat saya bekerja. Ia juga tampil di banyak diskusi. Ia menjadi sahabat jurnalis yang kerap membutuhkan analisis demi memahami satu kenyataan dengan lebih baik.

Sepintas penampilannya dingin, sorot matanya juga tajam. Awalnya saya tak mau mengakrabkan diri dengannya. Namun beberapa senior dan sahabat saya sering bersamanya, maka sayapun jadi ikut-ikutan akrab dengannya. Ia adalah sosok yang mudah tertawa, agak kontras dengan tampilannya yang sangar.

Di warung kopi itu, kami sering mendiskusikan situasi terkini di tingkat lokal. Waktu itu, Makassar menjadi satu kota yang ramai dengan diskusi. Pada saat wacana korupsi menguat, Abraham menjadi ikon aktivis LSM yang vokal menyuarakan isu ini. Ia juga sangat dekat dengan aktivis organisasi Islam di Makassar.

Sebelumnya, ia pernah mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Selatan. Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas ini hanya punya satu baliho di perempatan Lapangan Karebosi, dikarenakan tidak punya uang. Nasib belum berpihak padanya. Nasib itu pula yang membuatnya kian kondang sebagai aktivis.

Ia lalu kembali ke jalur yang selama ini ditekuninya yakni sebagai pengacara dan aktivis anti korupsi. Ia membela kasus besar. Di antaranya terdakwa bom Makassar, Kaharuddin dan Muhtar Dg Lau. Ia juga ikut membela terdakwa teroris Agus Dwikarna, yang ditangkap dan masih ditahan pemerintah Philipina tanpa pengadilan jelas. Di luar aktivitasnya, ia juga suka membaca wacana keislaman, sampai-sampai ia mengidolakan pemimpin Iran, Rafsanjani, hingga diabadikan sebagai nama anaknya.

Pernah pula saya bertengkar dengannya hanya gara-gara komentarnya yang agak pedas dan menyinggung media tempat saya bekerja. Saya melapor ke atasan saya, Zainal Dalle, yang saat itu juga menelepon Abraham sambil berteriak, “Abraham, apa ko bilang sama wartawanku?”

***

DI mata saya, Abraham adalah produk lokal yang kemudian menasional. Tak heran jika publik tanah air sempat bertanya-tanya siapakah gerangan sosok yang begitu masuk Jakarta langsung menjadi pimpinan tampuk tertinggi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagai orang yang menyaksikan kiprahnya, saya mencatat satu celah Abraham. Beliau suka tampil di depan. Dalam banyak diskusi, ia selalu ingin menonjol. Ia juga suka tampil di media massa. Tipenya sangat beda dengan sosok kharismatis Baharuddin Lopa yang lebih memilih tenang, meskipun sedang meniti di dekat bara api. Di satu sisi, sikap suka tampil ke depan ini memang menjadi kekuatan bagi seorang figur. Tapi di sisi lain, ini bisa jadi bumerang. Sebagai garda depan pemberantasan korupsi, ia diharapkan bisa menarik jarak dari apapun, termasuk politisi dan media massa. Sekali masuk pusaran arena, ia bisa jadi sasaran tembak dari banyak orang, termasuk yang sedang membidiknya saat ini.

Saya juga melihat Abraham pandai melihat peluang. Anda bisa bayangkan, bermula dari aktivitas di lingkup lokal, tiba-tiba menjadi pemimpin dari lembaga yang diincar banyak orang. Ia melompat jauh dan melampaui banyak tahapan yang sejatinya dilalui mereka yang hendak meniti karier di ibukota. Boleh jadi, kekuatannya berpangkal pada kemampuannya dalam membangun lobi dan jejaring dengan partai politik. Mungkin ini bisa dianggap hal wajar sebab pemilihan komisioner KPK sendiri harus melalui fit and proper test di DPR RI.

Pada titik ini, lobi, koneksi, klik, dan jejaring sosial bisa bermain. Boleh jadi, pengakuan Anas Urbaningrum dan Gde Pasek Suardika benar tentang lobi yang dilakukan Abraham ke Anas saat hendak menjadi Ketua KPK.  Artinya, demi menggapai posisi tertinggi itu, Abraham bisa saja memaksimalkan semua jejaring politik untuk menaikkan dirinya. Mungkin saja ia menjalin relasi dengan banyak pihak lalu membangun beberapa deal politik demi posisi puncak yang hendak dikejarnya. Entah.

***

HARI-hari belakangan ini, nama Abraham sering disebut-sebut. Saya tiba-tiba teringat liputan media ketika Abraham kembali ke Makassar setelah terpilih jadi Ketua KPK. Di liputan itu, ada gambar Abraham yang sedang memegang sebilah badik dan diacungkan ke atas.

Saya masih ingat kata-katanya. Ia berkata, “Saya akan tuntaskan kasus Century, cek pelawat, kasus Gayus, dan kasus Wisma Atlet. Kalau keempat kasus itu tidak selesai, maka saya akan pulang kampung dengan membawa rasa malu.”

Setahun lagi periodenya di KPK akan berakhir. Kepada yang bertemu dengannya, saya ingin menitip pertanyaan, apakah janji yang diucapkannya beberapa tahun lalu itu masih relevan ataukah tidak?


Bogor, 23 Januari 2015

Novel Filsafat, Rasa Remaja


SELALU saja ada kekaguman pada novelis Jostein Gaarder. Setiap novel yang dihasilkannya selalu membahas tema-tema besar dan filosofis, yang dikemas dalam kalimat-kalimat sederhana. Setelah sebelumnya membaca Dunia Sophie, kini saya hanyut saat mengikuti petualangan remaja bernama Anna dalam kisah Dunia Anna.

Jika Dunia Sophie membahas tentang petualangan ke rimba raya filsafat, dengan berbagai karakter dan barisan pemikir besar, kisah Dunia Anna hadir dengan tema-tema tentang lingkungan dan semesta. Keduanya punya benang merah yang sama, yakni alam pikiran remaja yang di dalamnya terdapat begitu banyak rasa ingin tahu.


Benang merah yang lain adalah surat. Dalam novel terbarunya, terdapat kisah tentang remaja bernama Nova, yang hidup pada tahun 2082, dan menerima surat dari nenek buyutnya Anna dari tahun 2013. Surat itu tak berisi rasa kangen, melainkan mendiskusikan tema-tema seperti lingkungan, alam semesta, serta berbagai fauna yang hidup pada tahun 2013. Sayangnya, beberapa tanaman dan hewan yang dibahas itu malah punah pada tahun 2082. Di sini terletak ironi dan kegetiran.

Novel ini membuat saya sesaat merasa kekosongan. Saya langsung melihat alam semesta sebagai ruang hdup yang juga punya posisi yang sama dengan manusia. Kita hanya mengontrak sebuah ruang hidup, yang kelak akan kita kembalikan kepada anak cucu kita. Ketka ruang hidup itu hancur, maka kelak kita akan menerima gugatan dari generasi mendatang.

Ada bagian yang membuat saya terdiam. Yakni ketika Nova bertemu nenek buyutnya Anna, lalu menuntut agar beberapa hewan punah dibangkitkan kembali. Anna jelas tak punya kuasa untuk itu. Anna hanya bisa diam sebab menyadari bahwa pangkal kerusakan itu terletak pada keangkuhan manusia hari ini yang memosisikan alam sebagai obyek yang akan ditaklukan. Manusia mengidap kesombongan sebagai pengendali alam semesta, lalu mengabaikan hak hidup bagi hewan dan tumbuhan.

Jika dilihat dari sisi filosofis, kisah yang dituturkan Gaarder ini telah banyak ditemukan. Para pemerhati lingkungan telah lama menyampaikan kekhawatiran atas bumi yang didiami hari ini. Malah, mereka telah membuat banyak aksi dan gerakan yang mengingatkan banyak orang tentang perubahan iklim serta betapa pentingnya menjagai bumi untuk diwariskan ke masa depan.

Hanya saja, Gaarder sukses menyampaikan gagasan itu dalam kalimat-kalimat sederhana, yang bisa dipahami para remaja, sekaligus mengetuk kesadaran mereka untuk mencintai alam lebih dari apapun. Menyelamatkan generasi muda hari ini amatlah penting untuk merekayasa masa depan, membentuk zaman yang lebih baik dan lebih arif secara ekologis.

Saya membayangkan bahwa kelak saya pun akan melakukan dialog serupa dengan anak saya Ara yang masih berusia tiga tahun. Barangkali, kelak dia akan bertanya hal-hal yang mulai susah saya terangkan. Ketika kami menonton beberapa film animasi, ia bertanya tentang beberapa hewan yang tidak saya ketahui namanya.

Kelak, anak saya akan mengutip kalimat dari novel Jostein Gaarder yang telak menohok saya. Barangkali ia akan mengutip Anna yang mengatakan,Kita telah menjauhkan diri kita dari alam tempat kita hidup dan mengabaikan seluruh eksistensi. Sudah sebegitu jauh hingga kebanyakan orang lebih bisa menyebutkan nama-nama pemain sepak bola dan bintang film ketimbang menyebutkan jenis-jenis burung.” (hlm 173).

Hmm. Boleh jadi, Ara pun akan mengutip kalimat itu saat ‘menghardik’ ketidaktahuan saya atas alam semesta.


Duel Terdahsyat Kenshin Himura






FINALLY! Saya menyaksikan film Ruroini Kenshin 3; The Legend Ends yang mengisahkan samurai bernama kenshin Himura. Saya menyukai beberapa adegan pertempuran dengan menggunakan pedang. Saya menyenangi wajah manis pemeran Kaoru Kamiya, kekasih Kenshin. Ada beberapa hal lain yang lebih membuat saya tertarik dan amat menikmati film ini. Ada juga hal yang mengecewakan.

***

KENSHIN mengarahkan pedang lurus ke arah penantangnya. Di hadapannya, lelaki bernama Aoshi Shinimori punya obsesi menjadi yang terbaik. Ia ingin mengalahkan Kenshin agar dicatat dalam sejarah sebagai pendekar nomor wahid. Pertarungan dimulai. Pedang berkelabatan.

Di tengah rerimbunan pepohonan, adegan pertempuran dalam film Ruroini Kenshin ini menjadi menarik. Kemampuan Kenshin menjadi bertambah setelah sebelumnya bertemu gurunya. Ia belajar mengendalikan emosinya, sehingga saat bertarung, ia bisa menghadirkan rasa lapar akan kemenangan.

Saya menyukai adegan tempur dengan pedang itu. Saya lama tak menyaksikan film Jepang. Terakhir, yang saya nonton adalah kisah The Last Samurai. Itupun film buatan Hollywood yang mengisahkan para samurai. Kisahnya cukup menancap di benak, khususnya saat sang tokoh mengagumi disiplin para samurai sembari berkata, “What is samurai? It means ‘devoted yourself to honour!”

Di film Ruroini Kenshin 3, kekalahan Aoshi menjadi dramatis. Sebab saat Aoshi terkapar, Kenshin sempat memberikan pertanyaan filosofis, “Aoshi, untuk apa kamu bertarung?” Melalui pertanyaan itu, Kenshin seolah menegaskan bahwa duel berpedang harus memiliki tujuan. Tak sekadar mencari siapa yang terbaik, namun diarahkan pada sesuatu yang lebih besar, dalam hal ini membela orang lain. Inilah tahap tertinggi seni berpedang, ketika pendekar meleburkan dirinya pada kepentingan orang banyak.

Kenshin Himura versus Makoto Shishio

Kisah di film ini lebih banyak berisikan perjalanan Kenshin untuk mengalahkan musuhnya Shishio Makoto. Adegan pembukanya adalah pertemuan dengan guru, yang membuat Kenshin kembali memperdalam ilmunya. Selanjutnya, perjalanan untuk mengalahkan Shishio.

Adegannya dibuat persis dengan kisah dalam serial komiknya. Sebagai pembaca komiknya, saya cukup puas menyaksikan adegan dalam versi filmnya. Hanya saja, saya merasa bahwa ada penyederhanaan dalam film.

Misalnya, pertemuan Kenshin dengan sang guru. Dalam komik, terdapat adegan akhir ketika Kenshin hendak melengkapi ilmu Hiten Mitsurugi-Ryu dengan jurus Amakakeru Ryū no Hirameki. Ia mesti berhadapan dengan sang guru. Sang guru mengingatkan bahwa salah satu dari mereka akan tewas ketka duel di udara. Demi ilmu itu, Kenshin bersedia menjalaninya. Trnyata sang guru yang tewas. Saat sekarat, sang guru masih sempat berucap, “Beginilah takdir yang harus dijalani. Saya juga dulu menewaskan guru saya untuk mendapatkan ilmu ini.”

Adegan ini tak ada dalam film. Padahal filosofinya sangat kuat.

Hal lain yang disederhanakan adalah kehadiran para Juppongatana, para samurai hebat di sekitar Shishio. Mereka tak banyak tampil. Di komiknya, para Juppongatana ini menjadi momok menakutkan. Kenshin mesti berhadapan dengan mereka satu per satu, sebelum akhirnya mencapai klimaks ketika bertarung dengan Shishio.

Tapi saya cukup terhibur dengan kehadiran sosok culun Seta Soujiro. Tampang tak berdosanya amat mirip dengan karakter dalam versi komik. Sayang, tak banyak penjelasan tentang latar belakang mengapa ia menjadi sangat kejam. Yang muncul adalah pertarungan dramatisnya dengan Kenshin, sebelum akhirnya kalah telak. Rupanya, Kenshin bisa membaca arah pergerakan kaki Sojiro sehingga bisa mengalahkannya.

 
Emi Takei, pemeran Kaoru Kamiya, kekasih Kenshin
tiga gadis dalam film. Kaoru, Megumi, dan pacar Shishio
 
Yahiko, Kaoru, Kenshin, dan Sagara Sanosuke

Saya juga terhibur dengan kehadiran Kaoru Kamiya. Sejak awal film, saya menyukai permainan aktris Emi Takei ini. Sosoknya mirip kaoru dalam versi komik yang manja, namun kadang suka marah-marah. Karakterya seperti permen rasa lolipop, yang mudah berubah. Ia terlihat sangat ingin melindungi Kenshn dan berharap agar lelaki itu tetap selamat.

Tema Perubahan

Di luar dari aspek cerita, yang saya pelajari dari kisah ini adalah cerita tentang perubahan. Benar kata seoang kawan, bahwa tak semua orang bersedia berubah. Selalu saja ada yang tak nyaman dnegan perubahan. Ketika Jepang akhirnya berubah pada masa Meiji, ada banyak kelompok status quo yang justru merasa terancam dengan perubahan itu. Mereka lalu mengacaukan keadaan, merancang kudeta dan membaka sebuah kota.

Dalam keadaan seperti ini, kita butuh sosok penyelamat seperti Kenshin Himura. Kita butuh seseorang yang ikhls mendedikasikan dirinya untuk mengatasi angkara-murka. Tema ini memang klasik. Sejarah peradaban kita selalu memberi ruang bagi para pahlawan.

Bedanya adalah pahlawan dalam film ini adalah seseorang yang memilih tinggal di desa, menjadi pengasuh anak-anak, serta kerap menjadi sasaran canda dan olok-olok. Yang paing saya sukai dari sosok Kenshin adalah sosoknya yang membumi dan tak hendak tinggal di istana. Ia juga menolak jabatan, dan memilih jadi warga biasa.

Namun saat negara membutuhkannya, ia akan berada pada posisi terdepan. Ia akan mengayunkan pedang sembari berteriak, “Hiten Mitsurugi-Ryu...”

Dan damai hadir di bumi.



BACA JUGA:






Suara di Balik Meja PNS


ilustrasi (foto; ilalangmbojo.blogspot.com)

DEMI menyelesaikan urusan terakhir terkait administrasi kepindahan, saya akhirnya pulang kampung. Ketika berkunjung ke kantor pemerintah daerah, kantor tempat saya beraktivitas selama beberapa tahun, saya merasa terharu. Saya mengenang saat-saat ketika menjalani hari-hari di kantor ini. Saya mengingat ada banyak orang baik yang bekerja tulus di balik meja birokrasi.

Kita sering terlampau sederhana dalam melihat sesuatu. Seringkali, kita hanya melihat sisi luar, lalu memberi label bahwa sesuatu itu tidak bagus. Padahal, mereka yang menjalaninya pasti akan punya penilaian berbeda. Pada akhirnya, kita akan mengamini bahwa perbedaan pendapat selalu bermuara dari begitu cepatnya memberikan penilaian, tanpa proses belajar dan memperkaya pengetahuan.

Ketika pertama kali memutuskan berkarier di dunia birokrasi, saya terjebak pandangan bahwa seorang PNS selalu identik dengan kemalasan, kelambanan, dan ketidakbecusan dalam bekerja. Dahulu, saya masih menjadi mahasiswa, amat sering saya ikut demonstrasi dan mengeam pemerintah. Dahulu, saya menuduh bahwa para pegawai adalah mereka yang suka kongkalikong demi memperkaya diri sendiri.

Saat mulai bekerja, saya masih memelihara anggapan itu. Saya butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan keadaan yang memaksa kita untuk disiplin dalam menjalani hari. Perlahan, saya menyesuaikan diri. Saya mulai menikmati apel pagi, apel siang, perjalanan dinas, hingga beberapa kali menyusun naskah pidato.

Saya melakukan semua pekerjaan dengan penuh semangat. Beberapa kali saya mendengar rumor tentang politik. Bahwa si pejabat A suka meminta uang. Pejabat B suka menyuruh-nyuruh, atau pejabat C sering menerima gratifkasi. Saya semakin yakin bahwa anggapan saya sebelumnya benar.

Kenyatan itu memang ada, namun tak selamanya demikian. Saya bertemu banyak orang yang tulus membantu, tanpa menghaapkan apapun. Saya teringat seorang ibu di Bagian Hukum dan Organisasi yang membantu saya mengurus berkas, menyempurnakan semua isian tentang kepindahan. Ketika hendak saya beri tip, dia justru menolak. Ia hanya berkata, “Suatu saat ada anak atau keluarga saya yang barangkali sedang susah dan kamu sedang senang. Saat itu, saya ingin kamu membantunya.”

Saya juga ingat seorang bapak yang menjabat sebagai kepala bagian. Jelas-jelas, semua urusan lewat dia. Tapi ia sangat marah ketika diajak bicara uang, sebagaimana para pejabat lain. Ia melakukan semua pekerjaan dengan ikhlas, tanpa mengharap apapun. Bapak, yang sering diam-dam berzikir itu, meniatkan semua kerja-kerjanya sebagai bagian dari kewajiban. Ia berharap ada banyak silaurahmi dan saling mendoakan.

Selama bekerja di situ, ada begitu banyak pegawai biasa, para staf rendahan sebagaimana saya, yang justru saling menjaga ikatan sulaturahmi. Kami bersahabat dan sering mengolok-olok. Semua hal jadi topik obrolan yang tak pernah habis. Kami sering duduk di kantin belakang kantor sembari membahas kelucuan-kelucuan. Mulai dari tingkah pejabat eselon satu, hingga tingkah seorang kepala bidang yang hobi menjilat atasan.

Tak disangka, obrolan-obrolan itu justru menjadi kenangan indah, yang membantu saya untuk memahami kompleksitas dunia birokrasi. Di tengah disiplin dan ritme kerja atasan, saya menemukan banyak hal menarik dan lucu, yang tak akan habis dibahas dalam semalam.

Terhadap semua kawan seperjuangan itu, saya menitip banyak harapan. Ada banyak orang baik di dunia ini yang ketika bersatu akan bisa mengubah keadaan. Hanya saja, ada banyak orang baik yang justru menjadi bagian dari struktur organisasi. Mereka kehilangan kedirian, lalu bertindak dan berperilaku sebagaimana arus besar dalam organisasi itu.

Akan tetapi, selalu saja ada anomali (penyimpangan) dalam anggapan kita.Ternyata, setelah menjalani dunia birokrasi, saya bertemu banyak orang yang secara ikhlas siap membantu saya untuk melakukan banyak hal. Mereka tak berharap apapun, selain dari komitmen untuk saling menjaga persahabatan.

Merekalah yang membuat saya terharu dan betah berada di komunitas ini. Mereka yang justru amat memahami saya itu adalah para pahlawan yang kepadanya saya jaminkan persahabatan abadi. Terimakasih karena telah menjadi bagian dari kekerabatan di lingkup birokrasi. Terimakasih karena telah saling belajar bersama.

Kini, saya siap memasuki tantangan baru. Saya akan kembali beradaptasi dengan ritme pekerjaan baru. Namun hati, pikiran, dan nalar saya senantiasa siap menghadapi perubahan apapun, sepanjang ada keyakinan bahwa sesuatu seberat apapun bisa diselesaikan, sepanjang ada kerjasama dan saling membantu.

Terimakasih brothers and sisters.


Jangan Belanja di Gramedia Online


ilustrasi

DI luar negeri, hal lazim belanja buku lewat jalur online. Ada kepuasan saat bertransaksi dengan situs-situs besar seperti Amazon.com, sebab informasi selalu diberikan kepada pembeli. Mulai dari harga buku, keadaan fisik buku (jika membeli bekas), hingga perkembangan pengiriman. Bahkan kita bisa melacak posisi terakhir buku yang dipesan.

Belanja buku lewat online memang mengasyikkan. Buku bisa lebih cepat datang, tanpa perlu mencari-cari di toko buku. Di tanah air, saya tadinya ragu berbelanja lewat online. Saya mencoba pada satu situs. Hasilnya memuaskan. Saya pun berlangganan di situs itu. Saya cukup puas sebab bukunya selalu datang tepat waktu.

Suatu hari, saya berhasrat kuat untuk membaca satu buku. Tertera kalau buku itu bisa dibeli lewat Gramedia online. Situs langganan saya tak menawarkan buku itu. Saya pun mendaftar sebagai member di Gramedia Online, lalu melakukan transaksi untuk membeli dua buku. Konfirmasi pembayaran telah dilakukan. Nomor order adalah 223250. Saya pikir, Gramedia adalah grup besar yang pasti akan menjunjung tinggi kepuasan pelanggannya.

Sehari setelah transaksi, tak ada kabar tentang pesanan itu. Bahkan dua minggu setelahnya, tetap tak ada kabar. Saya cek status pembelian, tetap saja tak berubah. Jangan-jangan ada yang salah. Saya pun mencoba menelepon ke kantor pusatnya, karyawan yang mengurusi online malah gak pernah bisa dihubungi. Saya disuruh agar menelepon lagi keesokan harinya. Besoknya, saya menelepon, kembali mendapat jawaban yang sama. Jelas, saya kecewa. Hiks.

Saya bisa paham jika hal ini terjadi ketika bertransaksi dengan situs-situs kecil. Tapi untuk sebuah unit bisnis yang namanya menjulang tinggi, hal ini sangat disayangkan. Padahal, mengurusi belanja online, tidak ribet-ribet amat. Cukup menyediakan seorang operator yang selalu stand by, jawab semua pertanyaan pelangaan melalui imel, beri respek, rajin mengecek transaksi hingga distribusi barang ke pelanggan.

Dunia online menuntut kita untuk selalu merespon setiap pesan. Sebab warga dunia online adalah mereka yang selalu terkoneksi dan bergerak dalam ritme informasi yang cepat. Sekali mereka kecewa, maka butuh energi besar untuk mengembalikan kepercayaan itu. Sebab, kekecewaan itu akan disebar di ranah maya, yang lalu menjelma sebagai virus yang perlahan membesar dan menjalar ke mana-mana.

Makanya, berikan respon. Dengarkan masukan. Terima kritik, lalu benahi organisasi demi memaksimalkan kepuasan pelanggan.

Hanya dengan cara itu kita bisa menjaga kepercayaan para pelanggan. Pesaing di dunia ini amat banyak. Tanpa menjaga kepercayaan, maka secara perlahan orang dengan mudah berpaling ke pihak lain yang lebih bisa menjaga reputasi dan pelayanan.

Saya teringat uraian dalam buku Wow Selling mengenai menjaga loyalitas. Seorang pria yang dikenal di Amerika sebagai sales mobil terhebat. Ternyata, rahasianya sederhana. Ia bisa menjaga relasi dengan semua orang. Ia sellau tersenyum dan menjadi sahabat menyenangkan. Ia jujur mengakui kalau ada barangnya yang tak bagus. Ia menjadikan semua orang sebagai saudara yang perlu dipahami keinginannya. Ia mendengar.

Sayangnya, saya belum menemukan bentuk perhatian seperti itu pada situs sebesar Gramedia Online. Harusnya, mereka secara rutin memberikan informasi tentang barang yang sudah dibeli. Jika barang itu tak ada, segera hubungi pelanggan, sampaikan keadaan sesungguhnya. Jangan membiarkan seorang pembeli dalam posisi yang galau sebab tidak tahu kabar terbaru tentang pesanannya.

Tapi setidaknya, saya tahu satu hal. Bahwa situs besar tak selalu memberikan jaminan tentang penjualan yang juga wow. Yup, saya belajar banyak hal baru.



Keajaiban Menulis Warga Desa


buku yang dibuat komunitas wisata di Wakatobi

SIAPA bilang warga desa tak bisa melahirkan sebuah buku bagus? Selama dua bulan, saya berkeliling empat daerah dan memberikan pelatihan menulis bagi warga desa dan para sahabat di daerah. Niat awalnya adalah untuk mengenalkan mereka pada dunia menulis dan dunia teknologi informasi. Hasilnya sungguh mencengangkan dan melebihi apa yang saya bayangkan. Mereka membuat saya terbelalak ketika berhasil membuat buku. It’s amazing!

***

BEBERAPA bulan silam, saya menerima undangan dari Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (Bakti) untuk mengisi materi tentang penulisan blog bagi para aktivis di Kupang. Saat itu, saya sangat tertantang untuk membumikan keterampilan menulis secara praktis bagi para sahabat di daerah.

Ketika pelatihan dilaksanakan, saya menemukan antusiasme yang sangat tinggi dari teman-teman di daerah tentang dunia menulis. Mereka mengejutkan saya dengan artikel serta tulisan yang sangat bagus, seolah ditulis oleh penulis profesional. Saya berkesimpulan bahwa siapapun akan sangat lancar ketika diminta menulis tentang kegiatannya sehari-hari.

Memang, saat itu saya memosisikan diri sebagai pendengar yang baik. Saya tidak memperkenalkan berbagai teori tentang kepenulisan yang dipelajari di kampus-kampus. Saya tak mau mengutip kisah para penulis hebat.  Setiap orang punya jalan sendiri untuk menemukan spirit kepenulisannya.

Teori-teori menulis hanya cocok diajarkan di kampus-kampus atau di masyarakat kota. Untuk masyarakat biasa, yang harus dilakukan adalah bagaimana membiarkan mereka bebas bercerita secara lepas. Tugas kita adalah menyediakan kanal-kanal agar semua kisah itu ditampung dalam aksara. Sebagai trainer, saya memilih untuk menjadi pendengar yang baik ketika masyarakat bercerita tentang dunia yang setiap hari mereka hadapi. Hasilnya mengejutkan. Kawan-kawan kita di daerah punya sedemikian banyak kisah-kisah hebat untuk dituliskan.

Sayangnya, saat itu Bakti belum berencana untuk menerbitkan hasil pelatihan menulis. Padahal, saat itu saya menemukan banyak tulisan menarik tentang dunia yang dihadapi para aktivis dan jaringan masyarakat di Kupang. Kisah-kisah rakyat biasa itu justru menjadi luar biasa sebab di dalamnya terdapat orisinalitas, kejujuran atas apa yang dihadapi, serta cara-cara khas masyarakat memahami persoalan, lalu menemukan cara unik untuk menghadapinya.

Dua bulan silam, kantor tempat saya bekerja di Institut Pertanian Bogor (IPB) memiliki program kerjasama dengan satu kementerian, serta pemerintah daerah. Program itu terkait promosi pariwisata di beberapa daerah, yakni Raja Ampat (Papua Barat), Sikka (NTT), Wakatobi (Sultra), lalu Seruyan (Kalteng). Salah satu item kegiatan adalah melahirkan beberapa produk promosi. Kembali, saya merasa tertantang untuk memberikan keterampilan menulis bagi warga desa demi mengenalkan daerahnya ke dunia luar.

Hal pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi komunitas menulis dan fotografi yang akan ikut dalam pelatihan di daerah. Untuk menulis, tolok ukurnya sederhana. Setiap orang pasti punya kisah menarik. Yang penting adalah kemauan untuk membagikan kisah itu pada orang lain. Itu sudah cukup. Saya juga baru tahu kalau komunitas fotografi ada di semua daerah. Tak semua memakai kamera DSLR. Banyak di antara mereka yang justru memakai smartphone. Itu sudah cukup. Yang penting adalah ada niat dan keinginan untuk mengabadikan momen.

suasana pelatihan di Sikka, NTT

Selanjutnya adalah bagaimana merancang pelatihan. Kami coba membuat satu pelatihan yang sangat fleksibel. Materinya bisa berkembang sesuai kebutuhan peserta. Lokasi pelatihan bisa berpindah-pindah. Kami bisa menggelarnya di tepi sawah-sawah hijau saat petani pulang dari sawah, di satu dangau kecil yang di bawahnya terdapat sungai jernih, atau barangkali di atas satu tebing yang dari situ terdapat pemandangan fantastis.

Pelatihan menulis didesain sebagai satu ruang belajar bersama di mana setiap orang bebas bercerita tentang dunianya. Saya percaya bahwa setiap orang punya kisah unik untuk dikisahkan. Setiap orang punya sumur dalam, tempat di mana berbagai imajinasi dan kisah-kisah menarik dipendam sekian lama.

Tugas dari pelatihan menulis adalah menyediakan tali dan timba sehingga setiap orang bisa mengambil inspirasi dari sumur dalam pengalamannya lalu disajikan sebagai inspirasi bagi banyak pihak. Tugas dari pelatihan menulis adalah menemukan rasa percaya diri serta mengasah keberanian untuk bercerita secara bebas, melalui medium tulisan, agar kisah-kisah yang terpendam itu bisa menggugah banyak pihak.

Saya teringat sebuah buku berjudul Transformed by Writing karangan Robert Hammond. Buku ini menjelaskan tentang kekuatan sebuah cerita yang bisa mengubah cara pandang atas kehidupan, serta mengubah dunia. Buku ini membuat saya yakin bahwa kisah-kisah yang ditulis para aktivis dan warga desa menyimpan kekuatan dahsyat untuk mengubah sesuatu. Melalui kisah, orang-orang bisa memahami dinamika, mengetahui apa yang dirasakan satu komunitas, serta menggalang solidaritas yang kukuh.

Bagi para aktivis dan peneliti sosial, menulis bisa menjadi senjata hebat. Ketimbang penurunkan tim peneliti yang bertugas untuk memahami satu masyarakat, jauh lebih baik memberikan keterampilan bagi warga biasa untuk menuliskan pengalamannya. Semua tulisan itu akan menjadi informasi berharga, memperkaya analisis, serta memperdalam pengetahuan tentang sesuatu, dari sisi pandang masyarakatnya.

buku yang dibuat komunitas wisata di Raja Ampat, Papua Barat

Di Raja Ampat, Papua Barat, seorang perempuan bercerita tentang rekannya yang berprofesi sebagai pelukis dengan medium pasir kuning, yang ternyata adalah limbah dari PT Freeport. Tulisannya membuat saya tersentuh karena menghadirkan ironi bahwa warga Papua berkreasi dengan limbah pasir, sementara emas justru dinikmati segelintir orang.

Di Sikka, Nusa Tenggara Barat, saya mendapati tulisan warga tentang tempat-tempat wisata eksotik yang justru terabaikan. Sungguh menyedihkan kala menyaksikan begitu gandrungnya warga kita yang hendak berwisata ke negara-negara tetangga, sementara di kampung halaman kita ada banyak tempat wisata hebat yang justru tak pernah dipijak. Saya merasakan betapa bangsa ini punya potensi hebat yang justru diabaikan oleh anak bangsanya. Melalui kisah sahbaat di Sikka itu, saya merasakan betapa indah dan menakjubkannya tanah air kita, yang justru tak banyak kita kenali.

***

BEBERAPA waktu setelah pelatihan, beberapa email berdatangan. Yang membuat saya terharu ketika ada email dari Wakatobi, Sikka, Raja Ampat, dan Seruyan yang menampilkan rencana buku yang akan diterbitkan. Mereka merancang desain sampul yang menarik, menyiapkan foo dan artikel-artikel. Saya terkesima karena para sahabat di daerah begitu antusias untuk memublikasikan pengalaman dan kisah-kisah mereka sendiri.

Para sahabat di daerah itu telah menampar keangkuhan akademik saya yang hingga kini hanya bisa menghasilkan sejumput publikasi. Pada akhirnya, menulis adalah soal keberanian untuk mengabarkan sesuatu. Menulis tak terkait gelar akademis, atau aktivitas ilmiah. Menulis adalah cara berekspresi, menyampaikan gagasan, menjerat rasa ingin tahu, lalu mengalirkan kecintaan pada tanah air. Menulis adalah cara lain untuk mengabarkan tentang satu keping kenyataan, lalu mengubah cara pandang atas kenyataan itu. Menulis adalah cara lain untuk mengibarkan revolusi.

Tak percaya? Saatnya belajar ke desa-desa.



Tahun Baru, Pesta Seks, dan Ritual Nikmat


ilustrasi


TAHUN baru tak hanya identik dengan terompet, karnaval, pesta tengah malam, serta kembang api. Di beberapa negara, tahun baru juga identik dengan pesta seks. Kini, pesta seks ini ikut menjadi wabah di tanah air kita. Entah sejak kapan dimulai, dan entah siapa yang membawanya. Yah, meskipun pahit, inilah fakta yang tengah melanda generasi kita hari ini.

***

SEBUAH pesan terkirim ke nomor ponsel saya. Seorang sahabat yang berprofesi sebagai pengusaha mengirimkan pesan untuk ketemuan di malam tahun baru. Saya tak terlalu bersemangat menanggapi. Di saat bersamaan, saya punya acara sendiri dengan teman kantor. Sahabat itu kembali kirim pesan, “Kamu rugi kalau tak datang. Saya lagi punya pacar ABG. Dia akan ajak teman-temannya untuk ikut party.”

Saya dan teman itu punya hubungan panjang. Selain kami sama-sama berasal dari Sulawesi, kami juga pernah bekerja di tempat yang sama. Hanya saja, saya memilih hengkang karena berbagai alasan. Dirinya tetap konsisten di jalur itu, dan selanjutnya berhasil menjadi kaya-raya.

Saya tak mengerti apa maksud pesannya hari ini. Kami baru ketemuan lagi beberapa hari lalu. Ia sudah bikn sahabat yang dulu. Ia sudah menjadi pria metropolis. Pakaiannya nampak mahal. Rambutnya disisir rapi. Aroma tubuhnya sangat khas aroma parfum berkelas. Pembicaraannya selalu tentang bisnis. Ia menyebut investasi, produk, dan juga marketing (pemasaran). Saya lebih suka mendengarkannya ketimbang ikut berbicara.

Beberapa tahun silam, ketika dirinya masih pengusaha kecil, ia pernah memanggil saya untuk merayakan tahun baru di satu diskotik, yang kini telah ditutup oleh Ahok. Saya menyaksikan berbagai minuman di atas meja. Hampir semua bermerek impor. Teman itu menggelar pesta dengan sejumlah pramugari sebuah maskapai. Ia serupa raja minyak yang dikelilingi gadis cantik.

Saya memandang gadis-gadis itu. Semuanya muda dan cantik. Semuanya seksi. Mereka larut dalam pesta yang diiringi musik berdentam-dentam. Di tempat itu, tak ada dialog. Hanya ada tawa cekikikan serta suara denting gelas yang beradu ketika hendak diminum. Beberapa orang menari untuk mengikuti musik. Entah kenapa, di tengah hingar-bingar itu, saya tak menemukan di mana letak kenikmatannya.

Melihat saya terdiam, teman itu lalu mendekat. Ia berbisik, “Jangan pulang dulu. Seteah pesta, akan ada pesta seks.” Saya bisa merasakan aroma minuman terpancar kuat. Saya lalu melirik ke arah gadis-gadis itu. Saat itu, entah kenapa, perasaan saya sangat tidak nyaman. Saya memilih pulang dan beristirahat.

Apakah gerangan yang dicari oleh mereka yang sedang berpesta itu? Terhadap teman saya, analisis sosiolog Daniel Bell paling pas menjelaskannya. Kata Bell, kapitalisme memiliki kontradiksi dalam drinya. Kapitalisme memaksa manusia untuk menjadi pekerja keras di siang hari, dengan mematuhi semua hukum ekonomi yakni efisiensi, sedikit pengorbanan, demi meraih hasil besar. Akan tetapi di malam hari, manusia akan menjadi dirinya. Aspek budaya akan menuntut pemenuhan. Manusia akan ‘dipaksa’ untuk seboros mungkin demi memenuhi naluri pesta dan kebahagiaan.

Hari-hari yang dilalui teman saya adalah bekerja. Ia seorang pekerja keras yang setiap hari mengejar client agar bersedia bekerjasama. Uang laksana menempel dengannya. Sekali proyeknya berhasil, ia punya dana segar untuk berpesta selama beberapa bulan. Di siang hari ia pekerja keras yang amat irit belanja, namun di malam hari, ia menjadi seorang pemboros yang meminum bir jauh lebih banyak dari kebiasaannya minum air putih.

“Gimana? Jadi ikut gak? Kasih kabar dong”

Kembali pesannya masuk ke ponsel. Sekian tahun berlalu, ia masih memiliki hobi yang sama. Saya membayangkan bahwa kali ini pesta yang akan digelarnya memiliki skala yang lebih besar. Di saat cuma jadi pengusaha kelas teri, ia sudah bisa menggelar party dengan para pramugari. Pasilah kali ini pestanya lebih berkelas.

Saya lalu memperhatikan beberapa pemberitaan media. Harian Tribun Timur di Makassar memberitakan tentang mahasiswa yang tinggal di pondokan, sebutan lain untuk rumah kos mahasiswa, yang mem-booking banyak kondom. Lalu sebuah haran nasional memberitakan kelangkaan kondom di Bekasi karena telah diborong.  Saya juga liputan tentang fenomena pesta seks di kalangan ABG pada malam tahun baru. Seorang teman apoteker juga meniyakan kalau penjualan kondom akan mencapai titik tertinggi saat valentine dan pesta tahun baru.

Nampaknya, pesta seks menjadi semacam ritual yang dilakukan setiap jelang tahun baru. Seingat saya, ritual seperti ini kerap dilakukan di kota-kota di Korea dan Jepang. Lantas, sejak kapan generasi hari ini ikut-ikutan menggelar pesta seks? Saya hanya bisa menduga. Mungkin ini adalah sisi lain dari kemajuan. Sisi-sisi lain dari kemajuan di Korea dan Jepang merasuk bersama industri budaya populer. Kaum muda kita adalah kaum yang paling rentan dalam menghadapi berbagai invasi budaya itu.

Rupanya, masyarakat kota di tanah air kita telah bertransformasi menjadi seperti masyarakat kota-kota besar yang melalui tahun baru dengan lendir terhambur. Anak-anak muda kita terlanjur memaknai kemajuan sebagai bertingkah sebagaimana mereka yang di sana, lalu mengabaikan segala tatanan nilai yang dibangun di rumah dan sekolah. Tapi, benarkah tatanan nilai diperkenalkan dengan baik di rumah dan sekolah? Tidakkah kesibukan orangtua untuk mengejar uang bisa berujung pada hak-hak anak, termasuk bagaimana mengenalkan nilai dan etika di dalam rumah?

Entah. Yang pasti, fenomena seks bebas ini tak melulu pada anak remaja dan anak kuliahan. Bahkan mereka yang sudah bekerja dan sukses, sebagaimana teman saya, juga melakukannya. Harusnya momen tahun baru menjadi momen reflektif. Semua pihak mesti melihat ulang ke belakang dengan jernih, mengakui berbagai problem yang muncul hari ini, lalu bersama-sama menemukan formulasi dan solusi terbaik untuk hari esok.

Di saat merenungi banyak hal, kembali ponsel saya berbunyi. Teman tadi kembali mengirim pesan lewat Whatsapp. Kali ini ia mengirimi gambar seorang gadis yang muda yang amat cantik, serupa wajah bintang sinetron. Saya tak tahu hendak berkata apa. Tak lama kemudian, kembali ia mengirim pesan.

“Gimana? Mau nggak sama dia?”



Diriku di Tahun 2014


aku dan keluarga


DIMATAKU, tahun 2014 adalah tahun paling melelahkan. Kepindahanku sebagai pegawai pemerintah daerah di Buton, Sulawesi Tenggara, ke kampus besar Institut Pertanian Bogor (IPB) harus diikuti dengan banyak adaptasi. Mulai dari suasana dan irama kerja, adaptasi keluarga di kota yang baru, hingga belajar membangun jaringan. Aku belajar untuk mengalir bersama sungai kehidupan di kota yang baru.

Aku juga mencatat tahun 2014 sebagai tahun paling ajaib. Kepindahan ke Bogor ibarat membuka 'pintu ke mana saja' yang dimiliki Doraemon. Aku beroleh kesempatan mengunjungi banyak tempat di tanah air, merasakan pahit manis dan asin pedas Indonesia di titik terjauh, bertemu dan berguru pada banyak orang di desa-desa dan pulau-pulau kecil.

***

SEBELUMNYA, kami tinggal di pesisir pantai. Hari-hari kami adalah laut biru, nyiur melambai, hingga hembusan angin pantai yang di siang hari terasa panas. Ketika memutuskan ke Bogor, kami harus belajar ulang. Kehidupan seolah distel ke titik awal. Aku sudah terbiasa pindah-pindah kota. Akan tetapi yang kupikirkan adalah keluarga. Aku membayangkan suasana, iklim, serta banyak hal yang membutuhkan adaptasi.

Bogor adalah kota yang terunik di tanah air. Curah hujannya cukup tinggi. Pantas saja jika kota ini disebut kota hujan, sebab hampir setiap hari hujan akan turun. Adaptasi pertama adalah cuaca yang berbeda dengan tempat lain. Hal lain yang dipikirkan adalah adaptasi sosial dan budaya. Kami memasuki setting budaya berbeda, dengan karakter penduduk yang juga beda.

Di tengah adaptasi itu, selalu saja ada pelajaran berharga. Kami mulai terbiasa dengan kultur pegunungan yang hijau dan pemandangan Gunung Salak di kejauhan. Kami mulai menikmati betapa banyaknya buah-buahan segar yang harganya murah di sini. Perlahan, kami mulai mengerti sepatah dua kata pembicaraan dalam bahasa Sunda. Di sekitar rumah, istriku dipanggil Teteh. Aku sendiri dipanggil Akang. Kadang dipanggil A’a. Hmm... Panggilan itu terdengar nyaman di kuping.

Perlahan aku mulai mengenali banyak orang. Jaringan pertemanan perlahan mulai berbuah. Beberapa tugas mengharuskanku untuk berkunjung ke daerah-daerah. Mulailah lembar petualangan dibuka satu per satu.

Di awal tahun 2014, aku berkunjung ke luar negeri yakni Thailand. Saat itu, aku ikut dalam rangkaian tur bersama beberapa sahabat penulis dan fotografer. Aku amat terkesima melihat industri pariwisata di negara itu. Hingga suatu hari aku menerima pesan dari sahabatku Ussama Kaewpradap asal Thailand yang hendak mendaki Gunung Bromo, lalu menyeberang ke Bali. Sesuai mendaki gunung dan menusuri banyak tempat, ia mengirim pesan, “You’re the luckiest man in this world. Cause you live in a paradise!”

Hah? Saat itu aku ragu. Hingga akhirnya, tugas sebagai peneliti telah membawaku ke banyak tempat di tanah air. Setelah mengunjungi banyak pantai dan tempat wisata di tanah air, aku merevisi semua anggapan tentang ‘rumput tetangga yang selalu lebih hijau.’ Faktanya adalah kita justru tak mengenali seberapa hijau rumput kita sendiri.

Kita tak banyak tahu seberapa biru langit di kampung halaman kita sendiri. Kita tak tahu seberapa dalam lautan kita yang telah menjadi ibu bagi ribuan biota laut yang membentuk taman-taman surga di dasarnya. Kita tak tahu kemegahan gunung-gunung di negeri kita sendiri yang selalu menjadi surga bagi para pengelana. Kita tak pernah merasakan betapa indahnya keceriaan di desa-desa, senyum anak-anak rimba, tetes keringat petani yang memanen padi, hingga tawa bahagia para nelayan yang perahunya dipenuhi ikan.

Indonesia begitu banyak menyimpan kisah-kisah ajaib. Kisah itu tak ditemukan di kota-kota. Kalaupun ada, maka media kita telah banyak mengulasnya di berbagai sisi. Lagian, wacana tentang kota-kota itu dengan mudahnya kita temukan di dunia maya, ruang pertemuan jutaan netizen dari berbagai penjuru. Sementara kisah-kisah tentang desa-desa, tentang petani kecil, tentang nelayan di satu pulau terpencil, menjadi berlian-berlian berharga yang harus ditemukan dan dibagikan. Aku merasa sungguh berunung bisa berkelana ke banyak pulau.

Pengalaman berkeliling ke berbagai pulau-pulau dan desa-desa telah mengalahkan semua hasrat petualangan ke negeri-negeri jauh. Perjalanan itu mengatasi rasa lapar dan rasa haus untuk menyaksikan sisi lain tanah air yang tak selalu dibingkai liputan media.

Setiap perjalanan selalu membuka mata tentang banyaknya hal yang bisa digapai. Barangkali, inilah seni perjalanan. Yang terbaik untuk kita lakukan adalah senantiasa menyerap pengetahuan di sekitar kita, lalu memperkaya batin dan pengalaman. Dengan cara itu, kita bisa melihat kehidupan dari sisi yang berbeda.

Belum setahun aku di tempat baru. Aku mulai menemukan ritme kehidupan. Aku mulai mengenali hawa pagi yang sejuk, embun di dedaunan, serta suara-suara alam ala pegunungan. Meskipun harus bergegas dan terbiasa berpindah-pindah, aku sangat menikmati keadaan. Mudah-mudahan saja pada tahun-tahun mendatang ada banyak hal baik yang akan dilakukan. Untuk soal ini, aku sedang menanam banyak benih.

Tahun 2015 ini aku tak punya banyak target. Biarlah kehidupan terus bergerak. Diriku hanyalah setetes air dari sungai kehidupan yang ikut mengalir, berkelit dari bebatuan, lalu menyatu dengan samudera besar bernama alam semesta. Semoga saja ada banyak kebaikan yang ditemui di sepanjang perjalanan menuju samudera besar itu. Semoga selalu ada kupu-kupu bahagia yang hinggap di sepanjang perjalanan, memberikan lega sesaat ketika jeda, lalu menjadikan semua perjalanan itu menjadi kisah-kisah indah yang menakjubkan.

Selamat tahun baru.