Burangasi; Spiritualitas di Tengah Kekeringan (Ekspedisi Buton Selatan 6)


APA sih sebab awal mengapa manusia membentuk pemukiman di satu tempat? Para arkeolog mendefinisikan bahwa manusia membentuk pemukiman berdasarkan aliran air. Di mana air mengalir, maka di situlah ada pemukiman. Air adalah simbol dari kehidupan sekaligus tanda dimulainya peradaban.

Namun kunjungan saya di Lapandewa dan Burangasi, membuat saya meragukan banyak pendapat para arkeolog. Masyarakat di dua desa itu hidup dalam kondisi kekurangan air, bahkan untuk digunakan dalam hidup sehari-hari. Masyarakat Lapandewa dan Burangasi tidak punya satupun sumber air, selain dari menunggu kapan hujan jatuh dari langit. Di sekitar situ, tak ada sungai, tak ada mata air, kecuali harus berjalan kaki menuju Desa Lande yang jaraknya bisa sampai puluhan kilometer.

Saat berkunjung ke Burangasi dan Lapandewa, saya melihat rata-rata penduduk membuat bak besar penampungan air di dekat rumahnya. Kemudian di atap rumah penduduk, rata-rata ada saluran air yang menampung air dari atap, untuk kemudian disalurkan ke bak-bak besar di dekat rumah, sebagaimana bisa disaksikan pada gambar di bawah.

Menurut seorang warga, satu-satunya sumber air adalah air hujan yang jatuh dari langit. Ketika air hujan tidak mengucur selama berbulan-bulan, maka penduduk harus mengambil air ke Desa Lande, yang untuk menuju ke situ, warga harus menyeberangi beberapa bukit dan lembah. Membayangkannya saja saya tidak berani, apalagi harus melakukannya.

Yang buat saya terheran-heran adalah krisis air ini bukan terjadi nanti sekarang, namun boleh jadi sudah dirasakan oleh penduduk Burangasi sejak beratus-ratus tahun lalu. Cukup banyak catatan yang menuturkan penduduk Burangasi sudah beratus-ratus tahun mendiami wilayah tandus itu. Jika mengacu pada manuskrip sejarah, penyebar Islam pertama di Buton yaitu Syaikh Abdul Wahid pertama kali singgah di Burangasi, dan selanjutnya menuju Keraton Buton.

Sejarah mencatat kedatangan Syaikh Abdul Wahid, pada abad ke-15 atau tahun 1400-an. Dalam satu literatur, diceritakan bahwa Syaikh asal Pathani (Thailand selatan) itu tinggal selama sebulan di Burangasi, dekat kompleks benteng. Ia lalu menyebarkan Islam pertama kalinya di Burangasi, sebelum kemudian mengislamkan tanah Buton. Dengan asumsi bahwa pada tahun tersebut sudah ada pemukiman di Burangasi, maka artinya usia pemukiman di Burangasi adalah sekitar 600 tahun lebih. Walaupun era Kesultanan Buton sudah lama berakhir, hingga kini struktur sosial yang dibangun pada masa kesultanan masih bisa ditemukan. Yaitu posisi parabela atau perwakilan kesultanan di daerah yang masih bisa ditemukan di Burangasi.

Sejarah juga mencatat bahwa sebelumnya masyarakat tinggal di dalam benteng, namun karena krisis air pada suatu saat, sejak tahun 1967, mereka lalu tinggal di kawasan pemukiman sekarang, yang letaknya tidak terlalu jauh dari benteng yang ada. Jika cerita ini benar, maka upaya mengatasi masalah krisis air ini sudah pernah ditempuh oleh para tetua Burangasi di masa silam.

Saat menuju Burangasi dan Lapandewa, sempat pula saya menyaksikan pipa air yang membentang dari Gunung Sejuk. Menurut informasi dari seorang warga, pipa itu adalah bagian dari proyek mengatasi masalah air yang dilakukan lembaga CARE Internasional. Sayangnya, pipa air itu hanya mengalirkan air selama seminggu. Selanjutnya, pipa itu rusak dan tidak dipergunakan lagi hingga kini. Ini adalah contoh dari pelaksanaan proyek yang hanya menghabiskan uang, tanpa memikirkan bagaimana maintenance atau memelihara proyek tersebut.

Yang mencengangkan saya adalah daya tahan masyarakat untuk menerima kondisi krisis air itu sebagian bagian dari hari-hari yang mereka jalani. Mereka tak pernah mengeluh pada kondisi itu. Mereka bisa beradaptasi dengan cara membangun bak berukuran besar, atau berjalan kaki sejauh beberapa kilometer dan melintasi bukit demi lembah demi mengumpulkan air. Sebagai orang lur (outsider) yang mengunjungi kampung itu, saya benar kagum pada daya tahan atau adaptasi penduduk setempat. Saya tak sempat melakukan wawancara. Dugaan saya, mereka bisa bertahan dengan cara seirit mungkin dalam menggunakan air. Mungkin saja mereka hanya mandi pada saat tertentu, serta menggunakan air hanya untuk sesuatu yang amat perlu, misalnya minum atau mengambil air wudhu.

Mungkin alasan itu pulalah yang membuat fisik penduduk amat kuat dan bertenaga. Bayangkan jika anda mengangkat air dan menempuh jarak beberapa kilometer. Pastilah fisik anda akan sangat kuat dan perkasa. Mungkin ini adalah sisi lain dari krisis air di Burangasi dan Lapandewa.

Dalam kondisi yang krisis air tersebut, penduduk Burangasi masih mempertahankan tradisi Islam yang kental. Mereka amat religius dan masih melestarikan ritual agama Islam. Krisis air tersebut tidak hanya membuat mereka pasrah dengan keadaan. Mereka justru kian memperkokoh keimanannya kepada Tuhan. Mereka menjadi bangsa yang religius dan meyakini bahwa smeuanya sudah digariskan Tuhan.(*)

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Apakah Ada jejak Sayid dan keturunan nya di burangasi

Unknown mengatakan...

Apakah ada jejak Sayid dan keturunan nya di burangasi

Posting Komentar