Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Mereka yang Lebih Hebat dari PUTRI ARIANI

Putri Ariani

Di ajang American Got Talents dia serupa malaikat yang turun ke bumi. Suaranya menghipnotis banyak orang, menembus relung-relung hati, dan meninggalkan jejak-jejak basah. Putri Ariani adalah permata hati rakyat Indonesia yang tampil di panggung dunia.

Namun, Putri bukan yang terhebat. Siapakah gerangan?

*** 

BOCAH itu berusia delapan tahun. Dia datang ke panggung Indonesian Got Talents dengan tertatih-tatih. Dia bocah tuna netra yang naik ke panggung untuk menjajal kemampuan bernyanyi. Ayahnya menggamit lengannya dan menuntunnya.

“Nama saya Nisma Ariani Putri. Sering dipanggil Putri,”katanya. Juri tampak cuek saat mempersilakan dia bernyanyi. Dan keajaiban dimulai di titik itu. Saat bernyanyi, dia menghipnotis semua orang di Gedung itu. Dia mempesona.

Kisah Putri bermula dari kelahiran yang prematur di Riau. Dia lahir di usia kandungan 6 bulan 18 hari.. Ayahnya, Ismawan Kurnianto, menuturkan kalau ibunya Putri divonis placenta previa, yakni kondisi ketika ari-ari atau plasenta berada di bagian bawah rahim sehingga menutupi sebagian jalan lahir.

“Dokter yang menangani berkata, pilih anak atau ibunya,” kata Ismawan. 

BACA: Musisi Jenius yang Menyayangi Kucing


Takdir berkata lain. Putri lahir dengan selamat, meskipun prematur. Saat berada di inkubator selama tiga bulan, barulah ketahuan kalau rupanya ada kerusakan di organ mata.

Ismawan, pria lulusan Fakultas Teknik UII itu, tak pernah sedikitpun kehilangan rasa kasih pada putrinya yang netra. Dia menerima putrinya sebagai anugerah besar dari Yang Kuasa. Tak sedikitpun cintanya pada anaknya berkurang, meskipun anaknya memiliki keterbatasan. 

Demi anaknya, dia siap mengambil keputusan apapun, termasuk meninggalkan pekerjaannya. Dia ingin lebih banyak di rumah. "Saya mengambil keputusan untuk berhenti bekerja karena Putri Ariani lebih membutuhkan saya ada di sisinya," kata Ismawan.

Dia memilih untuk membuka usaha sendiri yakni rumah makan Selera Melayu. Rumah makan itu ramai dikunjungi sehingga memberi pemasukan besar bagi keluarga itu. 

Namun seiring waktu dan usia Putri yang terus bertambah, Ismawan menyadari anaknya perlu mendapatkan pendidikan yang memadai. Sementara di Riau, tak ada pendidikan untuk anak seperti Putri. Apalagi, sejak usia dua tahun, Putri sudah menunjukkan ketertarikan pada dunia tarik suara. Dia mulai mengenali nada-nda serta suka bersenandung.

Ibunda Putri, Reni Alfianty, bercerita kalau mereka pindah ke Yogyakarta agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan di bidang musik. “Kami memutuskan untuk meninggalkan restoran,”katanya. 

Di satu acara podcast, dia ditanya mengapa seberani itu demi anaknya. Saat itu, apa tidak berpikir nanti akan makan apa? “Nanti Allah yang kasih,”kata Reni.

Ismawan dan Reni siap menghadapi risiko apapun, termasuk kondisi keuangan keluarga yang tak sebaik sebelumnya. Demi anak, mereka siap berkorban untuk yang terbaik. "Ini gimana masa depan anak-anak saya, bingung juga kan. tapi saya bilang anak-anak, nanti enggak bisa minta macem-macem sama mama ya," ucap Reni. 

Mereka menyekolahkan Puri di SMAKN 2 Kasihan, Yogyakarta. Dulu sekolah ini bernama Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta. Sekolah ini berada di Jalan PG Madukismo, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sekolah ini punya tradisi yang panjang. Berdiri pada 1 Januari 1952, sekolah musik tertua di Indonesia ini awalnya bernama Sekolah Musik Indonesia (SMIND). Sekolah ini  berdiri atas inisiatif masyarakat musik dan budayawan yang ada di Indonesia, khususnya pemusik Keraton Yogyakarta. 

Kasih tak bertepi dari pasangan ini tak berhenti di sini. Melihat bakat anakya yang sangat besar di bidang music, mereka mengikutkan putri di berbagai kompetisi bermusik. Di antaranya adalah Indonesian Got Talents.

“Ada satu kata-kata Putri yang menyentuh hati saya. Pak, walaupun Putri tidak bisa meliat, tapi Putri ingin dilihat banyak orang,”kata Ismawan.

Maka kompetisi music menjadi ajang bagi Putri agar bisa disaksikan banyak orang. Dia tak bisa melihat. Dia tak bisa menyaksikan audiens, yang mungkin di antara mereka memandangnya negatif. 

Namun, panggung musik menjadi arena untuk mengeluarkan sisi terbaik pada dirinya, yakni suara emas yang menghipnotis. Suara Putri menembus relung hati banyak orang, yang lalu terkesima, kemudian memberi dukungan.


Kisah Putri Ariani mengingatkan pada artikel yang ditulis Malcolm Galdwell dalam Outliers, yang terbit tahun 1988. Katanya, kesuksesan tidak berasal dari angka nol. Semua orang berutang pada orang tua dan dukungan orang lain. 

Kesuksesan adalah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai “keuntungan yang terakumulasi”. Tempat dan kapan seseorang tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar.

Galdwell menolak anggapan tentang keberhasilan yang semata-mata dipicu oleh kecerdasan, bukan pula oleh pesona seorang individu. 

Menurutnya, keberhasilan seseorang menggapai satu kesuksesan tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek saja, melainkan terdapat hal yang lebih rumit, kompleks, dan hanya bisa dipahami dengan menelusuri kehidupan orang tersebut.

Gambaran yang paling sederhana namun gamblang dipaparkan Gladwell dalam cerita singkat mengenai pohon ek. Pohon itu menjadi pohon tertinggi di hutan menjadi yang tertinggi bukan semata-mata karena dia paling gigih.

Dia menjadi yang tertinggi karena “kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalangi sinar matahari kepadanya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit kayunya sewaktu masih kecil, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum dia tumbuh dewasa.

Dalam hal Putri Ariani, dia bisa menggapai sukses karena ada orang tua yang rea menjadi tanah gembur agar tunas bakat anaknya tumbuh subur dan kelak menjadi pohon rindang. 

Ayah ibunya adalah pelita yang menyediakan terang bagi langkah anaknya yang tertatih-tatih. Ayah ibu adalah matahari yang tak lelah menyinari, dan tak memintas balas.

*** 

RABU, 27 September 2023, Putri Ariani menyanyikan lagu Don't Let The Sun Go Down On Me, yang dinyanyikan Elton John. Beberapa pekan sebelumnya, dia menyanyikan lagu I Still haven’t Fund What I’m Looking For” yang dipopulerkan U2.

Bisa tampil di Grand Final American Got Talents saja sudah merupakan Sejarah. Apalagi jika jadi juara.

Dia selalu tampil memesona, dan mengubah lagu orang lain menyatu dengan karakternya sehingga melahirkan nada-nada berbeda. Dia seakan terlahir untuk menyanyikan lagu itu.

BACA: Rhoma Irama di Mata Profesor Amerika


Saat audisi, dia sudah memikat para juri. Simon Cowell terkesima hinga menekan tombol golden buzzer. Sofia Vergara dan Heidi Klum tak segan menyebut suaranya seperti malaikat. Begitu pula dengan Howie Mandel yang meyakini Putri adalah salah satu malaikat yang diturunkan ke bumi.

Di sudut panggung Grand Final itu, ada dua sosok luar biasa yang serupa lilin, siap berkorban untuk menghadirkan cahaya terang. Dua sosok luar biasa itu adalah orang tua yang hari-harinya adalah memikirkan peta jalan terbaik untuk anaknya.

Dua sosok yang mengingatkan pada puisi Kahlil Gibran: “Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa merestui dan memberkatinya."

Tentu saja, tak cuma Ibu, Putri juga punya Ayah yang luar biasa.



Ekonomi Bajak Laut dalam Kisah One Piece




KECERIAAN selalu memancar di wajah anak muda yang selalu memakai topi jerami itu. Namanya Monkey D. Luffy. Dia berhasrat untuk menjadi bajak laut terhebat yang menemukan harta karun One Piece. Dia pun mengarungi lautan untuk menggapai impiannya. 

Dia berkawan dengan Roronoa Zoro, sosok tempramental dan ke mana-mana membawa pedang. Dia juga mengajak Nami, sosok perempuan ceria yang lihai membaca peta dan navigasi. Dia juga berkawan dengan Saji, seorang koki yang pandai menendang, juga Usopp sosok yang selalu membawa ketapel.

Mereka adalah tim yang hebat. Mereka memang menyebut dirinya bajak laut, namun mereka tak pernah menjarah dan membunuh. Mereka bertualang untuk mencari harta, serta melindungi yang lemah. Mereka punya misi untuk menggapai impian masing-masing.

Saya menyaksikan kisah Monkey D Luffy dalam serial One Piece yang tayang di Netflix. Ini adalah versi live action dari anime yang dibuat Eiichiro Oda. Dalam versi komik, kisah ini laku keras di berbagai negara. Bahkan versi anime-nya juga laris manis. 

Biarpun saya tidak mengikuti One Piece, serial ini sangat menghibur. Saya menyukai petualangan anak muda bertopi jerami bersama kawan-kawannya. 

Di mata saya, mereka adalah tim yang saling melengkapi. Semua punya keahlian berbeda, dan saling melindungi. Mereka punya solidaritas kuat. Meskipun Monkey D Luffy adalah pimpinan, dalam kehidupan sehari-hari, dia sama halnya dengan anggota lainnya. 

Dia sosok yang selalu ceria dan berpikir positif. Dia pun tidak pernah memberi perintah dan menyuruh-nyuruh. Malah, dia lebih sering dikerjai dan di-bully oleh para anak buahnya. 

Namun saat krisis menerjang, dia akan berdiri paling depan untuk membela rekannya. Dia mengingatkan saya pada sosok Kenshin Himura dalam Ruroini Kenshin, yang saat ada masalah akan bertempur dan menyabung nyawanya, namun saat damai, akan menjadi sosok paling lucu dan menghibur.

Bagi saya, kisah ini bukan sekadar kisah bajak laut. Ada banyak pelajaran bisnis, manajemen, serta team building. Saya ingat kata-kata Eric Barker, untuk melihat manajemen yang rapi serta sukses, jangan malu untuk belajar pada komplotan pencuri. Belajarlah pada bajak laut.

Lihat saja komplotan para maling saat beraksi. Mereka punya pembagian tugas yang rapih. Semua bergerak menjalankan peran masing-masing. Dalam serial Money Heist yang membahas komplotan pencuri di satu bank, semua anggota tim saling berkolaborasi. 


Saya segera teringat buku The Invisible Hook: The Hidden Economic of Pirates yang ditulis Peter Leeson. Menurutnya, manajemen terbaik bisa ditemukan pada komplotan pencuri hingga bajak laut. Mereka semua tahu apa yang menjadi goal (tujuan), lalu punya pembagian kerja yang sangat rapih saat beraksi di lapangan.

Kata Peter Leeson, wacana tentang bajak laut sebagai makhluk haus darah dan barbar adalah konstruksi dari para bangsawan di abad pertengahan yang merasa kepentingannya terganggu. Justru, para bajak laut itu adalah para pebisnis tangguh yang berhasil membangun sistem bisnis, yang bertumpu pada kesetaraan.

Para bajak laut seperti Blackbeard paling paham bagaimana kerja tim. Mereka yang memberontak pada sistem kerja di kapal-kapal angkatan laut kerajaan, yang menempatkan mereka sebagai budak. Mereka membangun sistem baru bagaimana menjalankan skema bisnis, mengenalkan saham, serta bagaimana berbagi kentungan.

Kita mengenal sejarah perusahaan modern, justru dimulai dari kisah bajak laut. Kata Peter Leeson, sejarah perusahaan-perusahaan besar selalu berawal dari organisasi para bajak laut. Bahkan perusahaan seperti Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang serupa bajak laut, sukses menjarah alam Nusantara lalu membuat kota-kota di tanah Nederland tumbuh bak tulip di musim semi.

Demikian pula dengan East Indian Company (EIC) yang menjadi kongsi dagang Inggris dan melebarkan sayap hingga negara-negara dunia ketiga.

Masih kata Peter Leeson, kelebihan organisasi para penyamun ini adalah adanya kesetraaan serta pembagian tugas yang rapih. Berbeda dengan kapal kerjaan yang sangat hierarkis, kapal-kapal bajak laut justru sangat demokratis. Mereka memilih pemimpin yang bisa mengayomi semua kru kapal. 

Mereka membentuk perusahaan yang goal utamanya adalah mengejar profit. Seorang nakhoda atau bos punya pendapatan yang tidak berbeda jauh dengan anggotanya. Bahkan mulai dikenal istilah saham, yang kemudian mempengaruhi berapa keuntungan  yang diterima saat misi telah selesai.

Ini persis kisah Columbus yang ketika hendak berlayar, menemui Raja Spanyol lalu meminta agar pelayarannya dibiayai, dengan konsekuensi Raja akan menerima pembagian hasil yang lebih besar jika dirinya kembali dari The New World atau Dunia Baru. Dari sinilah konsep saham bermula.

Tak hanya itu, konsep asuransi juga bermula dari bajak laut. Saat ada krunya yang tewas, maka akan ada dan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan.


Dalam serial One Piece ini, saya melihat bagaimana manajemen bekerja secara praktis. Semua anggota tim tahu tugas masing-masing. Di titik tertentu, semuanya sigap dan saling bantu, serta mengutamakan kepentingan bersama. Mereka menjalankan manajemen yang rapih, juga menghitung seua risiko dari aktivitas mereka.

Selain Nami, gadis seksi di serial ini, tokoh favorit saya adalah Monkey D. Luffy. Dia tipe pemimpin yang mengakar. Dia pandai menjaga ritme kerja dan emosi para krunya. Dia tampil terdepan saat ada masalah. Dia punya rasa setia kawan hebat, yang membela sahabatnya dalam setiap masalah. Dia tipe pekerja, yang siap setiap saat menjadi tameng.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sulit menemukan sosok seperti pemimpin bajak laut ini. Banyak pemimpin hanya duduk di belakang meja dan menunggu laporan perkembangan situasi. Banyak yang hanya duduk manis, namun tiba-tiba menuntut agar perusahaan segera cuan. 

Pemimpin ini lupa kalau kesuksesan tak pernah jatuh dari langit. Namun harus dikejar dengan segala daya upaya, serta kemampuan untuk melihat berbagai peluang.

Kira-kira demikian.



Haz Algebra


Tak disangka, kami jumpa di Kendari. Padahal selama ini dia berumah di Manado. Anak muda ini, Haz Algebra adalah penggiat literasi, penyuka kajian, dan suka berdiskusi tema filsafat dan ekonomi politik.

Usianya masih belia. Basic-nya adalah kedokteran. Tapi dia menerjemahkan buku The Wealth of Nation karya Adam Smith dengan sangat bagus. Padahal, kata seorang profesor ekonomi, buku itu tidak mudah diterjemahkan. Banyak kata2 yang sudah tidak digunakan.

Saya pertama membaca namanya di buku karya sejarawan Yuval Noah Harari yang judulnya 21 Lessons for 21st century. Terjemahannya keluar hanya berselang sebulan setelah buku itu keluar di negara asalnya. Dia punya idealisme. Karya2 bagus harus diterjemahkan sesegera mungkin. Biar anak muda segera mendapat asupan nutrisi wacana baru.

Saya juga membeli terjemahan huku Upheaval dari Jared Diamod, yang diterbitkannya jauh lebih awal dari Gramedia. Saya juga mengoleksi buku Enlightment Now karya Steven Pinker. Ini buku bagus yang membela rasionalisme dan pencerahan Eropa. Saya pun membeli Kapital karya Piketty, yang diterjemahkan dengan apik.

Bukan hanya membaca, dia rajin dan suka berdiskusi. Di Manado, dia rutin mengajak orang2 berdiskusi di satu kafe dan membahas karya2 terbaru dari para ekonom dan filosof. Dia menjadikan aktivitas menulis dan membaca sebagai aktivitas yang tak terpisahkan. Dan anak2 muda harus mengisi masa mudanya dengan tarung ide dan gagasan.

Di ranah digital, dia membuat grup diskusi yang mendiskusikan pemikiran Harari di Indonesia. Anggotanya banyak pemikir bahkan profesor. Saya menduga anggota grup itu tidak tahu kalau adminnya asalah seorang anak muda dengan bacaan keren.

Bagi saya, Haz Algebra telah membongkar banyak hal. 

Pertama, pusat2 diskusi dan pengetahuan itu tidak mesti ada di Jakarta dan kota2 lain di Jawa. Pusat pengetahuan bisa muncul di Manado, Makassar, Ambon, atau Palu. Lihat saja kerja2 Haz dan rekannya di penerbit Globalindo di Manado. Mereka bergerak lebih dahulu dalam menerjemahkan karya literasi lalu menerbitkannya secara swadaya. Ini keren abis.

Kedua, batas2 pengetahuan itu lebur. Dia anak muda lulusan kedokteran yang membaca filsafat dan ekonomi, dengan pengetahuan yang sudah membumbung tinggi dan melebihi para peraih doktor ekonomi, yang disertasinya bisa jadi dibuatkan orang lain. Haz adalah tipe intelektual organik yang menjadikan aktivitas membaca dan menerjemahkan serupa bermain dan bersenang-senang. 

Ketiga, kerja2 literasi tidak selalu dimonopoli pemerintah, tapi kerja yang secara organik ditumbuhkan oleh komunitas dan individu yang suka membaca dan berbagi. Mereka melakukannya karena idealisme untuk menghadirkan secercah cahaya pencerahan di benak semua anak bangsa.

Anak muda seperti Haz membuat kita optimis melihat bangsa ini. Kerja-kerja mereka seperti udara. Tak terlihat tapi telah menjaga napas hidup, merawat pengetahuan, dan menjadi energi untuk menggerakkan bangsa. 

Di titik ini, kita mesti menjura dan berterimakasih atas kerja2 hebat mereka.

Saya berharap dia betah bekerja sebagai dokter di Kota Kendari dan melanjutkan kerja2 intelektual di kota ini. Sayang, dia sudah tidak jomblo lagi. Padahal ada banyak gadis manis yang rela antri untuk mendapat sekeping hatinya.



Mattulada


Sembari menunggu panggilan naik pesawat, saya membaca Manusia dalam Kemelut Sejarah yang pertama diterbitkan LP3ES tahun 1977, di masa saya belum lahir. Kini dicetak ulang dan banyak beredar di toko buku.

Ini buku klasik. Tapi selalu relevan. Malah buku ini akan abadi. Isinya mengenai para founding fathers, mulai Sukarno hingga Tan Malaka. 

Yang bikin spesial, para penulis di buku ini adalah para begawan sejarah. Mereka adalah nama2 besar yang menghiasi kanvas intelektualitas bangsa ini. Di antara nama2 besar di sini, tinggal Taufik Abdullah yang masih hidup. 

Lainnya sudah berpulang. Beberapa di antara mereka adalah Onghokham, YB Mangunwijaya, Nugroho Notosusanto, dan banyak lagi.

Saya tercekat saat membaca nama Mattulada yang menulis tentang Kahar Muzakkar. Rasanya baru kemarin saya melihat dirinya yang penuh kharisma di kampus Unhas. Mattulada adalah guru dari semua pengkaji budaya di Sulawesi Selatan saat ini. Dia menorehkan banyak sapuan indah di kanvas kajian budaya Sulsel.

Namanya harum, bukan saja di Sulsel, tapi juga Sulawesi Tengah. Dia budayawan, periset, hingga sosok guru yang bijaksana. Di masa2 awal reformasi, dia selalu tampil sebagai pembicara kunci dalam semua diskusi budaya.

Saya terkenang suatu masa di mana kampus menghadirkan dirinya sebagai dosen senior dalam satu acara dialog akademik. Seorang dosen muda berbicara dengan berapi-api tentang mahasiswa yang dianggapnya semakin kurang ajar. “Masak anak-anak sekarang memanggil dosennya dengan sebutan anjing. Itu kan bangsat,” kata dosen muda itu.

Di luar dugaan saya, Mattulada malah membela mahasiswa. “Sebaiknya Anda harus introspeksi. Kalau Anda dipanggil anjing, jangan2 ada unsur anjing dalam diri Anda. Karena puluhan tahun saya mengajar di Makassar dan Palu, belum ada orang yang memanggil saya anjing,” katanya.

Semua mahasiswa, termasuk saya, bertepuk tangan. Dosen itu tersipu malu, lalu meninggalkan ruangan.

Kini, saya membaca catatan Mattulada tentang Kahar, sembari menyeka air mata. 


Alfatihah untuk prof.