POLITIK ibarat energi yang menarik pusaran berpikir orang-orang. Politik ibarat pasir hidup yang mengisap dan memerangkap seseorang ke dasarnya, kemudian tak membiarkannya keluar. Anda tak punya daya untuk keluar, dan hari-hari anda adalah terperangkap dalam tema yang itu-itu saja. Di situ memang ada keasyikan, namun lihatlah sekeliling. Anda akan menemukan bahwa selama ini anda ibarat katak dalam tempurung, tak pernah beranjak!
Demikianlah hal-hal yang kecil yang saya amati saat berada di kampung. Di sini, semua pertemuan, semua perbincangan selalu punya nuansa politis, suatu hal yang tidak terlalu saya sukai. Meski perhelatan politik masih jauh, namun entah mengapa, semua orang begitu asyiknya membahas tema itu setiap hari, tanpa kecuali. Setiap hari ada tilikan terhadap geopoliik, pergeseran peta kekuatan, hingga siapa saja yang akan didorong untuk arena pilkada beberapa tahun mendatang. Tampaknya, politik perlahan menjadi darah daging beberapa orang di kampung ini yang mendamba kuasa dan berharap cipratan kuasa.
Beberapa hari ini, saya bersama teman yang seolah mendedikasikan hidupnya di jalur politik. Mereka melihat politik sebagai kosmos yang mengitari. Dalam waktu dua hari, kami banyak bertemu beberapa sosok yang ambisi jadi penguasa. Teman-teman saya seolah menyimpan stok ‘jilatan’ yang tak habis-habis. Saat bertemu si A, mereka akan ‘menjilat’ setinggi langit. Dalam waktu beberapa jam berikutnya, mereka bertemu si B, lagi-lagi mereka ‘menjilat’ dengan jenis ‘jilatan’ yang sama. Di sini, tak ada kesetiaan. Hanya ada sebuah dunia yang oportunis, hipokrit, dan penuh kebohongan. Saya stres.
Saya tak habis pikir saat mengamati kawan-kawan yang isi otaknya adalah politik. Apa pula kekuatan-kekuatan yang menggerakkan proses berpikirnya hingga tiap hari membahas politik begitu rupa? Saya teringat Erving Goffman. Karakter manusia ibarat dua panggung yakni panggung depan dan panggung belakang. Semua yang ditampilkan dalam dialog sehari-hari adalah ibarat panggung depan dari sebuah opertunjukan teater. Di situ ada manipulasi, ada dusta, ada rekayasa, ada politik!
Sementara panggung belakang adalah sebuah tempat di mana anda akan jujur dengan diri anda sendiri. Di situ anda merias diri, mematut-matut wajah di cermin, hingga menyaksikan coreng-moreng di wajah anda sendiri. Saat berbincang dengan kawan-kawan yang isi kepalanya adalah politik, saya bertanya-tanya pada diri saya, apakah gerangan panggung belakang itu? Mungkinkah kekuatan-kekuatan yang menggerakkan kita untuk selalu bicara politik karena kita melihat politik sebagai game atau permainan sabung ayam. Dalam permainan itu, pemenangnya tidaklah penting. Yang paling utama adalah proses-proses menuju kemenangan tersebut. Kita bisa asyik memeta-metakan kekuatan, menghitung peluang, serta mengira-ngira mana yang akan menang, kemudian bersorak-sorai ketika terompet arena pertandingan itu sudah dibunyikan.
Kita menyanjung yang menang, dan di saat bersamaan, melupakan yang kalah. Kita tak pernah tahu bagaimana perasaan mereka yang kalah itu, bagaimana ia mengatasi rasa malu akibat kekalahan, bagaimana ia bergulat untuk menyembuhkan luka-lukanya. Segera setelah dinyatakan kalah, ia akan masuk ke dunia yang senyap di mana-mana hari-harinya akan berbalik 180 derajat. Tak ada lagi sorak-sorai, yang ada hanyalah hitung-hitungan seberapa jauh ia menderita atas proses yang dijalaninya. Dan kita tak punya andil di situ. Usai perhelatan itu, kita menjadi massa yang sibuk mencaci seseorang yang kalah.
Mungkin yang kita lihat dari politik adalah game atau permainan itu sendiri. Game menjadi tujuan dari semuanya. Meskipun tidak selalu mutlak demikian. Beberapa teman masuk ranah politik, mendekati para kandidat yang haus kuasa itu, demi harapan agar kelak dirinya bisa masuk lingkar kuasa. Tatkala masuk lingkar kuasa itu, mereka bisa mendapatkan cipratan proyek. Wah, kategorinya berbeda lagi. Ada yang masuk ranah politik karena suka dengan game-nya, namun ada juga yang berharap bisa cari makan di situ. Yah... Itulah manusia Indonesia.(*)
Demikianlah hal-hal yang kecil yang saya amati saat berada di kampung. Di sini, semua pertemuan, semua perbincangan selalu punya nuansa politis, suatu hal yang tidak terlalu saya sukai. Meski perhelatan politik masih jauh, namun entah mengapa, semua orang begitu asyiknya membahas tema itu setiap hari, tanpa kecuali. Setiap hari ada tilikan terhadap geopoliik, pergeseran peta kekuatan, hingga siapa saja yang akan didorong untuk arena pilkada beberapa tahun mendatang. Tampaknya, politik perlahan menjadi darah daging beberapa orang di kampung ini yang mendamba kuasa dan berharap cipratan kuasa.
Beberapa hari ini, saya bersama teman yang seolah mendedikasikan hidupnya di jalur politik. Mereka melihat politik sebagai kosmos yang mengitari. Dalam waktu dua hari, kami banyak bertemu beberapa sosok yang ambisi jadi penguasa. Teman-teman saya seolah menyimpan stok ‘jilatan’ yang tak habis-habis. Saat bertemu si A, mereka akan ‘menjilat’ setinggi langit. Dalam waktu beberapa jam berikutnya, mereka bertemu si B, lagi-lagi mereka ‘menjilat’ dengan jenis ‘jilatan’ yang sama. Di sini, tak ada kesetiaan. Hanya ada sebuah dunia yang oportunis, hipokrit, dan penuh kebohongan. Saya stres.
Saya tak habis pikir saat mengamati kawan-kawan yang isi otaknya adalah politik. Apa pula kekuatan-kekuatan yang menggerakkan proses berpikirnya hingga tiap hari membahas politik begitu rupa? Saya teringat Erving Goffman. Karakter manusia ibarat dua panggung yakni panggung depan dan panggung belakang. Semua yang ditampilkan dalam dialog sehari-hari adalah ibarat panggung depan dari sebuah opertunjukan teater. Di situ ada manipulasi, ada dusta, ada rekayasa, ada politik!
Sementara panggung belakang adalah sebuah tempat di mana anda akan jujur dengan diri anda sendiri. Di situ anda merias diri, mematut-matut wajah di cermin, hingga menyaksikan coreng-moreng di wajah anda sendiri. Saat berbincang dengan kawan-kawan yang isi kepalanya adalah politik, saya bertanya-tanya pada diri saya, apakah gerangan panggung belakang itu? Mungkinkah kekuatan-kekuatan yang menggerakkan kita untuk selalu bicara politik karena kita melihat politik sebagai game atau permainan sabung ayam. Dalam permainan itu, pemenangnya tidaklah penting. Yang paling utama adalah proses-proses menuju kemenangan tersebut. Kita bisa asyik memeta-metakan kekuatan, menghitung peluang, serta mengira-ngira mana yang akan menang, kemudian bersorak-sorai ketika terompet arena pertandingan itu sudah dibunyikan.
Kita menyanjung yang menang, dan di saat bersamaan, melupakan yang kalah. Kita tak pernah tahu bagaimana perasaan mereka yang kalah itu, bagaimana ia mengatasi rasa malu akibat kekalahan, bagaimana ia bergulat untuk menyembuhkan luka-lukanya. Segera setelah dinyatakan kalah, ia akan masuk ke dunia yang senyap di mana-mana hari-harinya akan berbalik 180 derajat. Tak ada lagi sorak-sorai, yang ada hanyalah hitung-hitungan seberapa jauh ia menderita atas proses yang dijalaninya. Dan kita tak punya andil di situ. Usai perhelatan itu, kita menjadi massa yang sibuk mencaci seseorang yang kalah.
Mungkin yang kita lihat dari politik adalah game atau permainan itu sendiri. Game menjadi tujuan dari semuanya. Meskipun tidak selalu mutlak demikian. Beberapa teman masuk ranah politik, mendekati para kandidat yang haus kuasa itu, demi harapan agar kelak dirinya bisa masuk lingkar kuasa. Tatkala masuk lingkar kuasa itu, mereka bisa mendapatkan cipratan proyek. Wah, kategorinya berbeda lagi. Ada yang masuk ranah politik karena suka dengan game-nya, namun ada juga yang berharap bisa cari makan di situ. Yah... Itulah manusia Indonesia.(*)
0 komentar:
Posting Komentar