Etnis Cia-Cia yang Bersahaja (Ekspedisi Buton Selatan 2)


ADA dua jalur yang bisa ditempuh dari Kota Bau-Bau untuk menuju Buton Selatan. Jalur pertama adalah langsung menuju Batauga. Di sini, jalannya sangat mulus dan kita bisa menjangkau Batauga hanya dalam waktu sekitar dua atau tiga jam. Jalur lainnya adalah melalui Kecamatan Sorawolio, selanjutnya ke Wakokili dan belok kanan melalui desa-desa seperti Hendea dan Rongi.

Jika melalui jalur kedua ini, jalanan rusak akan ditemukan saat sampai di Sorawolio khususnya di Desa Gonda. Memasuki perbatasan Kota Bau-Bau dan Kabupaten Buton, jalanan semakin rusak parah. Setiap melintas jalan ini, saya selalu kesal dan tak habis pikir, mengapa jalanan itu tidak dibenahi. Padahal, jalanan ini berusia cukup tua sebab dibangun oleh pemerintah Belanda, sebagai akses jalan untuk mengangkut aspal dari lokasi pertambangan menuju Kota Bau-Bau.

Mulai memasuki Sorawolio, warga yang berumah di situ berasal dari etnis Cia-Cia. Saya tak tahu apa makna kata Cia-Cia dan sejarah keberadaan mereka di Pulau Buton. Tetapi, etnis ini sejak dahulu menjadi bagian dari mereka yang mendirikan Kesultanan Buton. Dalam berbagai publikasi tentang Buton yang dilakukan para penjelajah atau peneliti asal Belanda di masa lampau, nama Cia-Cia selalu disebut sebagai bangsa besar yang menjadi salah satu etnis besar yang ikut mendirikan kesultanan. Penyebar Islam di Buton, Syaikh Abdul Wahid, pertama kali singgah di Burangasi, yang warganya adalah etnis Cia-Cia.

Kemudian, Raja Buton pertama, Wa Kha Kaa, menghabiskan sisa hidupnya di Wabula dan beranak-pinak di situ. Wabula adalah salah satu desa yang dihuni betnis Cia-Cia. Tak hanya itu, sejumlah Sultan Buton juga berasal dari etnis Cia-Cia. Makanya, sebutan Cia-Cvia sebagai salah satu etnis besar di Buton, adalah sebutan yang amat pantas, mengingat luasnya cakupan sebaran orang Cia-Cia. Perkiraaan saya, pesisir selatan Pulau Buton sebagian besar dihuni oleh orang Cia-Cia sendiri.

Meskipun hidup membaur dengan warga lainnya di Buton, orang Cia-Cia memiliki bahasa sendiri yang menjadi medium komunikasi sehari-hari. Bahasanya cukup luas dipergunakan. Saya sendiri menguasai beberapa kosa kata dalam bahsa Cia-Cia. Padahal, saya hanya sekali berkunjung ke situ. Itupun cuma sekitar seminggu.

Beberapa bulan lalu, etnis Cia-Cia banyak dibahas dalam berbagai publikasi internasional. Malah, koran bergengsi seperti The Strait Times dan The Wall Street Journal yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) juga ikut menurunkan tulisan tentang etnis Cia-Cia. Mereka banyak disebut karena bahasa Cia-Cia diajarkan dengan alfabet Korea di banyak sekolah di Sorawolio, Bau-Bau. Beberapa media besar di Indonesia ikut-ikutan mengutip berita dari luar negeri tersebut, tanpa melakukan verifikasi langsung ke sekolah mengajarkan bahasa Cia-Cia dalam alfabet Korea. Berikut kutipan dari beberapa media tersebut:

Ternyata tidak semua penduduk Indonesia menggunakan Bahasa Indonesia sebagai sarana tulis menulis. Suku di pedalaman Buton, Sulawesi Selatan, cia cia misalnya. Mereka menggunakan huruf hangeul untuk menulis kata-kata. Menurut profesor dari Seoul National Univesity, Lee Ho Young, suku cia-cia sebenarnya bisa berbahasa dalam Bahasa Indonesia. Namun mereka buta huruf sehingga tidak bisa menulis.

Saat datang ke pemukiman tersebut, Lee pun mengajarkan huruf hangeul kepada anggota suku sejak 21 Juli 2009. Tujuannya agar suku cia cia tsb dpt memelihara bahasa aslinya walaupun menulis dengan huruf Korea. “Cia-cia sekarang dapat memelihara bahasa aslinya (dengan menuliskannya menggunakan hangeul),” kata Lee seperti dilansir The Straits Times, Jumat (7/8/09). Selain membantu Lee rupanya memiliki tujuan lain. Sebagai ahli bahasa, Lee ingin huruf hangeul dapat digunakan di luar Korea. “Saya harap ini akan menjadi batu loncatan untuk menyebarkan hangeul ke luar”. kata Lee.

Untuk menunjang misi tersebut Hunminjeongeum Research Institute, tempat Lee bernaung, berencana akan melatih guru bahasa November. Penyebaran hangeul sudah digunakan sejak beberapa tahun lalu untuk membantu suku-suku minoritas di Asia yg tidak memiliki sistem penulisan. Huruf hangeul yang memiliki 24 karakter diperkenalkan oleh King Sejong pada tahun 1443 untuk menggantikan karakter huruf China di Korea.

Fakta ini menjadi berita besar baik bagi orang Korea sendiri, maupun oleh warga Asia, maupun dunia. Orang Korea amat bangga dengan kebudayaannya. Menurut seorang teman yang pernah ke Korea, di sana jarang dilihatnya mobil-mobil impor. “Kebanyakan orang Korea pakai mobil Hyundai sebab diproduksi Korea sendiri,” katanya. Kebanggaan akan budaya ini menjadi api yang membakar nasionalisme dan menebalkan identitas bangsanya. Makanya, saya bisa bayangkan betapa hebohnya orang Korea ketika mengetahui bahwa ada satu etnis kecil di Indonesia, di tengah Pulau Buton, yang belajar alfabet Korea untuk menuliskan bahasanya sendiri. Ini adalah berita besar buat mereka.

Pantas saja kalau dalam beberapa bulan ini, ada banyak wartawan asal Korea yang datang ke Bau-Bau untuk meliput kegiatan diajarkannya bahasa Korea tersebut. Bahkan tayangan tentang pengajaran bahsa Korea itu akan diputar di semua televisi nasional Korea, dalam momentum peringatan kemerdekaan di Korea.

Tak pelak, hal ini juga menimbulkan rasa penasaran dari negeri Jepang –yang merasa lebih hebat dari Korea. Menurut Walikota Bau-Bau, Amirul Tamim, ia sudah beberapa kali dikunjungi wartawan asal Jepang yang menanyakan kenapa harus mengajarkan alfabet Korea, dan bukannya alfabet Jepang. Amirul mengatakan bahwa orang Korea lebih proaktif memperkenalkan budayanya. Kebetulan pula, yang diajarkan adalah tetap bahasa Cia-Cia, namun dengan aksara Korea.

Menurut saya sendiri, apa yang dilakukan oleh orang Korea amatlah revolusioner. Dalam harian The Wall Street Journal, disebut ambisi mengajarkan alfabet Korea ke Pulau Buton itu adalah ambisi untuk menggaungkan nama Korea dalam pentas global. Sebab mengajarkan alfabet, pastilah diiringi dengan memperkenalkan kebudayaan. Melalui aksara itu, secara kultural, kebudayaan Korea menjadi kebudayaan dunia yang sifatnya lintas batas dan diapresiasi oleh berbagai bangsa, tidak cuma bangsa Korea sendiri. Kebudayaan adalah pintu masuk atau jendela untuk memulai aktivitas ekonomi, yang ujung-ujungnya adalah menjadikan Korea sebagai pusat keunggulan dunia. Kira-kira demikian.(*)

9 komentar:

nani mengatakan...

malu aku jadi orang indonesia....

Yusran Darmawan mengatakan...

kenapa malu? jelasin dong...

singgih sugiarto mengatakan...

kenapa mesti malu ya?aneh saya kadang, dengan orang2 yang seakan-akan meremehkan bangsa sendiri.padahal 'seseorang' itu pun tidak melakukan hal yg 'berarti' buat bangsanya sendiri.

halim mengatakan...

saya pikir itu sama sekali tidak memalukan. sebaliknya itu sangat membanggakan. ditengah keanekaragaman bangsa kita, kita masih memiliki satu keunikan lagi yang lebih international. disisi lain, bunyi-bunyi bahasa cia-cia lebih mudah dituliskan dalam huruf hangeul dari pada huruf latin.

Kevin C mengatakan...

Kenapa mesti malu? Ini hal yg bagus kok! Terlebih saya juga bisa nulis Hangul hehe. Saya gk malu jadi warga Indonesia, tapi saya gk pengen jadi warga Indonesia. entah kenapa. Capek aja sama pemerintahnya yg suka korupsi dan terlalu memikirkan kekayaannya sendiri. Sedangkan rakyatnya ditelantarkan begitu saja.

Rashy mengatakan...

Kenapa orang jepang juga mau maksa hiragana dan katakana-nya untuk huruf cia-cia? haha.. nyambung darimana coba.. kalau bahasa korea emang mirip2 sama bahasa cia-cia sih. Sy sih nggak bisa bhs daerah, tp kata adik sy yang suka dengerin lagu korea pengucapnya mirip2 gitu deh...

tapi, kelihatan 'aneh' ya kalau kita mesti pake huruf korea untuk bahasa ibu indonesia :D

Unknown mengatakan...

Saya sangat bangga,,, bajinga....

Unknown mengatakan...

Indau miano cia-cia

Unknown mengatakan...

Indau miano cia-cia

Posting Komentar