Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Teka-Teki Cinta di Bukit Lamando, Buton Selatan

Bukit Lamando, Buton Selatan

Di Rongi, Desa Sandang Pangan, Buton Selatan, sebuah bukit menjelma jadi destinasi wisata baru yang digandrungi anak-anak muda. Sejauh memandang di bukit itu terlihat rumput hijau yang membentang bak karpet.

Di bukit itu, tersimpan kisah cinta yang tragis dari Lamando dan Wa Ode, kisah resistansi pada kesultanan, serta kisah pertautan dengan alam semesta yang jejaknya tersimpan hingga kini.

***

Bulit-bulir keringat menetes satu-satu dari dahi La Aing. Bersama rombongannya, dia berjalan kaki hingga puncak Bukit Lamando. Hari itu, dia berencana  untuk berkemah bersama rekan-rekannya sesama mahasiswa Universitas Dayanu Ikhsanuddin.

Bukit Lamando serupa jamdrud yang memancarkan karisma hijau. Beberapa tahun lalu, bukit ini masuk dalam Anugerah Pesona Indonesia, ajang pemberian penghargaan bagi destinasi wisata yang diadakan Kementerian Pariwisata.

Di bukit itu, La Aing memasang tenda kemudian duduk memandang hamparan hijau di hadapannya. Bersama beberapa mahasiswi, dia becerita lepas hingga sore menjelang. Dia bergegas turun ke sungai terdekat untuk mengambil air lalu membawanya dalam termos kecil.

Dalam remang senja di sungai itu, dia seakan melihat bayangan sosok pria yang berdiri di dekat sungai. Dia melihat samar-samar. Dia bergegas keluar dari sungai, lalu menuju tenda yang dia dirikan. Dia menceritakan pengalaman itu kepada rekannya. Saat itulah dia mendengar kisah tentang Lamando, sosok yang namanya diabadikan sebagai nama bukit.

Konon, di tempat itu pernah tinggal seorang anak muda bernama Lamando. Dia digambarkan sebagai anak muda yang miskin. Dia yatim piatu sejak kecil. Ayah ibunya meninggal tidak meninggalkan apa-apa sebagai bekal hidup.

Ketika remaja, Lamando naik mendaki ke bukit, tinggal menetap, dan mengasingkan dirinya di sana. Sejak itu nama bukit itu dinamailah namanya sendiri.

Bukit Lamando (foto: La Nas)

Semua kebutuhan hidup tersedia di bukit ini. Lamando tinggal mengolahnya. Dia mengeruk punggung bukit, membikin telaga kecil untuk tempat mandi. Rumahnya tepat di puncak bukit. Rumah itu dinamai Cubu Lamando. Di kiri kanannya, ada padang savana yang membentang melandai, naik turun mengikut lekuk punggung gunung.

Hewan-hewan bertabiat merusak tanaman kebun seperti babi dan monyet, tak pernah mengganggu tanamannya. Dia sisihkan bagian untuk semua hewan, di simpankan di depan, sebuah lahan kecil telah dipagarinya terpisah dari lahan kebunnya, ditanami umbia-umbian, jagung dan pisang. 

Suatu hari, ada peristiwa yang mengusiknya. Lamando terperanjat melihat seorang gadis manis telah berdiri menghadapinya. Ia menyapu matanya, memastikan tidak sedang bermimpi. Perempuan itu mendekatnya.

Dia berbincang singkat. Perempuan muda itu mengajaknya jalan-jalan ke sekitar bukit. Lamando menolak. Dia belum kenal dekat. Matahari sebentar lagi tenggelam.

Perempuan itu pulang membawa segunung kekecewaan. Malam itu Lamando tak bisa tidur. Bayangan perempuan itu terus hadir di matanya.

BACA: Serpih Jejak Gajah Mada di Buton Selatan


Perempuan itu memakai kain bercorak. Ada sanggul rapi di rambutnya, serupa ekor kumbang. Dia memakai gelang (simbi) dari emas bersusun empat di lengannya. Anting emas, menggantung manis di kedua telinganya. Di dadanya kalung emas besar bertatah permata menjuntai indah, yang di Buton disebut Jao-Jaonga.

Tidak ada perempuan secantik itu di kampung halamannya. Tidak ada perhiasan seindah ini. Dari mana datangnya?

Ketika kokok ayam terdengar, Lamando bangkit dari tempatnya membaringkan badan. Ia memulai beraktivitas seperti biasanya, mengurus kebun jagungnya dan memetik biji kopi dari pohonnya.

Di sore hari, gadis itu datang kembali. Dia menemui Lamando di gunung. Kembali Lamando menolak ajakannya. HIngga hari-hari selanjutnya, perempuan itu selalu datang di sore hari.

Di satu sore, Lamando mulai menanyakan nama dan asal perempuan itu. “Nama saya Wa Ode. Saya datang dari kampung sebelah di bawah kaki gunung, jawabnya.

Lamando segera mafhum. Memang, ada banyak kampung di bawah kaki gunung tempatnya tinggal. Tapi mengapa rupanya secantik ini?

Gadis penari

Sore berganti sore. Perempuan itu terus datang. Bahkan dia meminta Lamando agar menjadikannya istri.

Lamando tahu dirinya dari kelas sosial yang lebih rendah ketimgang gadis yang bernaa Wa Ode itu. Usia mereka pun tak sepantaran. Tak pantas dirinya bersanding dengan para pemilik gelar La Ode atau kelas sosial Kaomu. Jika dipaksakan akan melawan adat.

Jika pernikahan itu dipaksakan, maka Wa Ode akan kehilangan kebangsawanannya. Dia akan dijadikan sebagai Analalaki, yang kehilangan segala-gala haknya sebagai bangsawan.

Tetapi Wa Ode tak peduli dengan semua itu. Pesona Lamando telah benar-benar memincut hatinya. Ia berharap kedua hati mereka dapat diikat dalam pertalian marital yang suci dan abadi sampai garis maut memisahkan.

Dia menginginkan Lamando kelak menjadi suaminya. Dalam inginnya yang besar itu, usaha dan upaya tiada henti dia lakukan, sekalipun itu melawan norma adat.

Lamando mulai luluh. Dia mulai terpikat bujuk rayu dan kecantikan gadis itu. Dia tak hanya melihat kesungguhan Wa Ode. Rupa dan perangai gadis itu telah juga memikat hatinya. Maka mereka menikah. Keduanya tinggal serumah di bukit itu.

Setelah tujuh hari berlalu, Wa Ode meminta Lamando agar mau turun gunung dan melihat rumahnya di kampung bawah.

Wa Ode tidak ingin jalan sendiri. Mereka harus jalan berdua bersisian saling menggandeng tangan. Tetapi Lamando masih saja terus menolaknya. Dia enggan meninggalkan rumahnya.

Saat gadis itu menangis, Lamando tak kuasa menolak. Dia berkata: “Entahlah firasat ini, apa yang akan datang, mungkin sesuatu hal buruk bakal terjadi, sejak saya naik tinggal di gunung ini, tak pernah barang sebentarpun saya pergi tinggalkan tempat ini”

Mereka turun gunung. Wa Ode menggamit tangan Lamando. Mereka berjalan menyusur lereng bukit, lalu turun ke kampung.

Tibalah mereka di Ue eno Lele Nigooli, sebuah sungai berarus deras. Mereka berhenti di sungai itu. Wa Ode mengajak Lamando mandi, menyelam ke sungai itu, tetapi Lamando menolak karena ia tak pandai berenang.

Lamando terus saja menolak. Wa Ode kemudian memeluk Lamando lalu bersamanya melompat. Mereka menyebur ke sungai. Arus sungai yang deras membawa mereka ke dasar. 

Seketika Wa Ode telah berubah wujud menjadi buaya bersisik putih. Dia bawa Lamando dalam peluknya mengelilingi dasar sungai. Ada banyak buaya-buaya lain di sana. Rupanya di situlah itu rumahnya. Buaya lain adalah kerabatnya. 

Lamando tersentak. Perempuan yang selama ini menamaninya adalah jelmaan buaya. Di tengah ketakutan dan kekalutan perasaannya, dia lalu berenang ke permukaan. Dia lari meninggalkan sungai Ue eno Lele Nigooli menuju ke bukit tempatnya tinggal.

Wa Ode mengejar Lamando. Dia ingin menjelaskan situasinya. Namun Lamando terus berlari. Setiba di gubuk, Lamando bersembunyi di tepian tebing. Hingga akhirnya dia jatuh dan tewas tanpa sempat mendengar penjelasan Wa Ode.

***

Kisah Lamando dituturkan dari zaman ke zaman. Kisah itu abadi dan diketahui hampir semua masyarakat Rongi. Kisah itu menjadi pelajaran agar masyarakat tidak sembarangan menerima orang lain.

Anak-anak diajarkan untuk tidak terpengaruh bujuk rayu apalagi dari orang yang tidak dikenal, sekalipun berperangai dengan tampilan sebagai bangsawan yang terhormat.

Kisah Lamando menjadi nyanyian kedelapan dari tiga belas nyanyian rakyat yang dilantunkan Pande Ngkaole dalam tradisi Batanda di setiap ritual tahunan Matogalampa di Rongi.

Ritual Matogalampa di Lapandewa, Buton Selatan (foto: Rustam Awat)

Menurut beberapa orang, kisah ini menunjukkan adanya relasi antara pusat kuasa dengan negeri bawahannya.

Negeri Rongi yang merupakan bagian rumpun pasukan Matana Sorumba Lapandewa disimbolkan sebagai Lamando, seorang jelata miskin, kemudian dibujuk oleh Wa Ode sebagai simbol pusat kuasa untuk menjadi bagiannya. Di ujung cerita, semuanya jadi petaka yang membawa ke penaklukan.

Di lihat dari sisi ini, kisah Lamando adalah bagian dari strategi kultural dari satu komunitas untuk menola hegemoni dari pihak lain. Mitos dan kisah itu penting untuk mempertegas batas antara”kita” dan “mereka.” Melalui kisah itu, jarak terbentang, sehingga komunitas tetap bisa melihat dengan kritis semua relasi dengan penguasa.

Di masa silam, penduduk Desa Rongi, kini disebut Desa Sandang Pangan, bagian dari rumpun Lapandewa memegang peranan penting terutama dalam urusan pertahanan keamanan Kesultanan Buton.

Rongi ikut mengawal tugas yang diberikan pusat Kesultanan Buton yaitu mengawasi musuh yang mampu menerobos dan mendekati ibukota kesultanan. Penduduknya sering diminta berperang dan berkorban.

Penduduk Rongi juga secara khusus menjaga pergerakan musuh di wilayah sebelah timur yang berbatasan dengan wilayah adat sara Wabula dan di sebelah barat yang berbatasan dengan wilayah adat sara Sampolawa.

Untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara pusat Pemerintahan Kesultanan Buton dengan syara adat Lapandewa maka Parabela Lapandewa atau Kabelengkao tinggal di Rongi. Wakilnya -sering disebut Waci-- tinggal di Wabuea, kampung lama yang disebut Sempa-Sempa. Wabueya bermakna buaya betina. Kampung itu dinamai demikian karena terdapat gua dengan batu yang merupai buaya betina.

Tari Mangaru

Kisah itu juga bisa dilihat dari sisi ekologis. Di banyak masyarakat, pernikahan antara manusia dan buaya ini sering ditemukan. Kisah itu punya makna ekologis agar manusia tidak memburu dan membunuh buaya. Manusia harus berdampingan dengan buaya, sebab ada pertalian hubungan keluarga serta saling kawin-mawin.

Kisah itu terbukti efektif menjaga relasi di masa kini, membuat manusia menyadari bahwa dirinya hanya satu bagian dari semesta ekoogi yang luas, di mana flora dan fauna juga ikut menjadi bagian penting.

Hingga kini, kisah Lamando dirawat dalam tradisi. Bahkan kisah itu diabadikan dalam kabanti, syair lokal yang berisikan pesan-pesan dan filosofi hidup. Syair kabanti Batanda dilantunkan di Rongi semalam suntuk dalam ritual tahunan Matogalampa.

Di situ, ada kisah Lamando, anak muda yang menikah dengan buaya dan berakhir tragis. Di situ ada kisah tentang pertalian manusia dengan semesta, menjadi bagian dari mata rantai ekosistem, serta sama-sama hidup dan berdiam di bumi yang satu.

 

(tulisan ini dibuat berdasarkan data dari budayawan La Yusri dan peneliti Yadi La Ode. Pertama kali dimuat dalam buku Inspirasi Buton Selatan).


Serpih Jejak Gajah Mada di Buton Selatan

 

Tari Fomani di Siompu, Buton Selatan

Dua orang lelaki memasuki lapangan. Usianya separuh baya. Keduanya memakai ikat kepala berupa kain batik, sarung Buton, serta selempang kain merah dan putih di badannya. Tangan kanan memegang parang, tangan kiri membawa tameng.

Keduanya bersilat disaksikan banyak orang. Sorak-sorai terdengar di mana-mana. Demikian pula tepuk tangan. Keduanya saling memutari, kemudian saling serang.

Di Pulau Siompu, di wilayah Buton Selatan, keduanya menampilkan Tari Fomani. Tarian ini telah ditampilkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Menurut budayawan dan tokoh masyarakat, tarian ini diduga kuat dipengaruhi oleh tradisi di Kerajaan Majapahit. Itu terlihat dari kain merah putih, serta ikat kepala batik.

Tarian ini selalu tampil di upacara adat Meta’ua. Masyarakat meyakini, tari Fomani berasal dari seorang yang diyakini berasal dari Majapahit.

Pernah pada satu masa, datang serombongan pasukan. Mereka menyapa warga dan ikut melaksanakan ritual adat. Banyak yang beranggapan kalau rombongan itu adalah dipimpin sosok legendaris Gajah Mada. Rombongan itu diyakini Mereka singgah dalam satu ekspedisi untuk ke daerah lain.

Atribut yang dibawa rombongan adalah umbul-umbul berwarna merah dan putih, yang sering disebut sebagai sang saka getih-getah samudera atau sang saka gula kelapa yang merupakan bendera kerajaan majapahit. Hingga kini, simbol merah putih sebagai warna selempang yang dipakai oleh penari Fomani tetap dipertahankan sampai saat ini.

Sejarah mencatat nama Gajah Mada dengan tintas emas. Dia adalah sosok mahapatih paling berpengaruh dalam perjalanan panjang Kerajaan Majapahit menuju puncak kejayaaannya.

Kerajaan Majapahit sendiri dikenal sebagai kerajaan terbesar di Nusantara, yang wilayahnya lebih luas dari Indonesia saat ini. Wilayah Majapahit juga mencakup Singapura, Malaysia, Brunei, dan selatan Thailand.

Gajah Mada dikenal sebagai sosok patih perkasa yang setia kepada pemangku takhta Majapahit untuk terus menjaga keutuhan dan melebarkan pengaruh kerajaan.

Salah satu peranan Patih Gajah Mada pada masa kejayaan Majapahit yang paling terkenal adalah menyatukan wilayah nusantara seperti yang diucapkannya dalam Sumpah Palapa.

Di tanah Buton, Gajah Mada bukan sekadar sosok dari jauh yang kemudian meninggalkan jejak di panggung sejarah. Gajah Mada adalah bagian dari tradisi lokal, diakui sebagai putra daerah.

Dalam kitab Pararaton disebutkan, Gajah Mada mulai menggelar ekspedisi penaklukan Nusantara sejak tahun 1360 masehi. Di masa itu, Buton dipimpin raja keduanya, Bulawambona.

Dalam kronik Buton dan tutur lisan Wabula, di masa itu kerajaan Buton menyerang Wabula dengan dibantu sepasukan Manjapai.

Para pasukan Manjapai (Majapahit) itu disebutkan pandai benar menunggang kuda, dapat melepas anak panah sembari berbaring di punggung kuda yang sedang berlari kencang.

Gajah Mada di Buton dikisahkan sebagai anak Sijawangkati, panglima militer yang mengawal Sipanjonga. Sijawangkati adalah salah seorang dari Mia Patamiana, yang merupakan empat orang bangsawan asal Johor yang mendirikan Kerajaan Buton.

Keempatnya adalah Si Panjonga, Si Malui, Si Jawangkati, dan Si Tamanajo. Si Jawangkati menikahi Puteri Lasem Lailan Mangraini, perempuan jelita adik bungsu Sibatara dan Jutubun--Bhau Besi Raja Kamaru.

Rekonstruksi Patung Gajah Mada di Monumen Nasional, Jakarta

Di Lipu Katobengke, Sijawangkati dikenal sebagai Parabhela Mancuana. Dialah yang menaklukkan Tobe-Tobe dengan membunuh rajanya Dungku Changia. Si Jawangkati punya postur yang tinggi dan besar. Dia yanh pertama memimpin Kampung Gundu-Gundu, salah satu kampung tua di Buton.

Ingatan tentang Gajah Mada bisa ditemukan di banyak lokasi. Di Kamaru, kini wilayah Kabupaten Buton, Gajah Mada dinamakan "Kompo Ooge" atau Si Perut Besar. Di Batauga, Buton Selatan, dia dinamakan "Landoro Langi" yang menyimpan jejaknya di Bukit Ombo, Gunung Wamoroko.

Gajah Mada juga dikisahkan ada di Takimpo, wilayah Kabupaten Buton. Dia diyakini dikuburkan di sebuah situs dekat batu naga dalam Benteng Takimpo. Masyarakat adat meyakini di situlah kuburan Gajah Mada beserta empat puluh orang prajurit pengikut setianya.

Di Liya dan Kaledupa, Kepulauan Wakatobi, jejak Gajah Mada begitu juga kuat tertinggal. Gajah Mada menjadi ingatan kolektif masyarakat adat. Sebuah tempat tapa yang dinamai Tapaa disebut pernah ia singgahi. Bahkan di Liya, pemuka adat mempercayai bahwa Gajah Mada muksa di sana pada sebuah tempat dalam goa di Togo Mo'ori.

Sebuah jejak prasasti juga terpahat di sana, di pesisir pantai antara Sempo Liya dan pulau Simpora. Di situ terdapat batu yang oleh masyarakat setempat dinamai Batu Mada. Apakah cerita-cerita semua mengenainya itu adalah dongeng belaka yang tiada kebenarannya? 

Di tanah Buton, kisah Gajah Mada ditemukan di banyak lokasi. Dia dihormati, disanjung, bahkan telah dikultuskan sebagai Maharsi atau manusia suci yang nirnoda. Bermula dari tempat paling mula dijejaknya sejak ketibaannya di Buton, di pulau yang tepat berada di muka Kalampa dan bandar Batauga—pelabuhan paling ramai saat itu, pulau Siompu.

Di Pulau Siompu, Gajah Mada digambarkan sebagai sosok berbadan bongsor, memanggul tameng dengan pedang pada tangannya. Di bahunya yang lebar terpasang kokoh kelat dan gelang kuning mengilau pada lengannya, rambutnya panjang, disanggul cepol, ia tampak gagah dengan wibawa yang besar.

Tradisi lisan mengisahkan, ketika datang, dia tidak dikenali. Dia disebutkan datang bersama empat puluh orang yang setia mengawalnya. Mereka memanggul tameng, menenteng senjata, memikul panji kebesaran

Karena tak diketahui namanya, pemuka adat Pharabela Siompu menamainyalah La Palei Yandala. Ada juga yang menyebutnya Lapale Yandala yang kira kira berarti "Orang yang melalui atau melintasi samudera.

La Pelei ini melabuhkan kapalnya di lepas pantai barat hingga selatan Pulau Siompu. La Pelei mendarat dengan perahu kecil di mata air Butu, atau sering disebut Oeno Butu yang terletak di tepian pantai Kula, Nggula Nggula. Dahulu tempat itu memang menjadi persinggahan para pelayar untuk mengisi perbekalan air minum, karena mata air dengan debit yang besar ada di sana.

Bahkan konon dahulu itu ada air jatuh pada tebingnya yang arusnya menumpah langsung ke laut.

Gajah Mada dikisahkan berselubung kain putih. Kain itu dikenakan mereka yang bersiap muksa. Dia memakai sabuk berbentuk kepala harimau dengan mulut menganga melingkar di perutnya yang bongsor.

Rambutnya mengilap diminyaki lungsir putih sesudah ia berlangir--mencuci rambut dengan perdu memakai kulit kayu dan daunnya. Inilah tradisi merias bagi elite Majapahit yang hendak muksa.

Prajurit pengiringnya bercelana geringsing dengan sekain merah putih menyampir bersilang di kiri-kanan dada mereka. Inilah pakaian para penari Fomani yang disebut "Kamanu Manu" di Siompu.

Fomani adalah tari perang, tari yang memantik nyali, menguji ketangguhan dan ketangkasan prajurit Bhayangkara pengawal bawaan Gajah Mada.

Gerak dalam Fomani adalah sepenuhnya gerak unjuk kekuatan, tameng di tangan kiri, tombak di tangan kanan, diadu saling bentur sekuatnya dan menusuk setandasnya. Fomani di Siompu adalah jejak tinggalan Gajah Mada yang masih terus dikenang hingga kini, ia lestari.

Tarian Fomani (foto: La Yusrie)

Tradisi pengenangan yang dikemas dalam ritual tahunan Metaua. Inilah tradisi adat di Siompu yang sepenuhnya adalah sebenar-benar pengenangan terhadap tokoh besar paling disanjung: Gajah Mada atau oleh mereka di Siompu dinamai Lapalei Yandala atau Lapale Yandala.

Jejak Gajah Mada disimpan rapi oleh keturunan Ina Hamu di Lapala, Batuaga. Keturunannya menjadi ahli waris dan penjaga situs yang diyakini sebagai makam Gajah mada. Ina Hamu dikabarkan sering mendendangkan syair Gunung Ringgi.

Syair ini berisi kisah Majapahit dan pengelanaan Gajah Mada ke negeri-negeri terjauh di timur. Syair ini disampaikan dalam dalam bahasa Jawa kuno berlanggam kromo dengan sebagian di dalamnya terdapat diselipi kata-kata Cia-Cia, Pancana, dan Wolio.

Gajah Mada digambarkan sebagai seorang sederhana tetapi dengan wibawa yang besar. Dia tegas dalam mengambil sikap, jujur dalam perkataan, mengabaikan kehendak dirinya dengan menyimpan kepentingan orang banyak sebagai yang utama.

Dia memperoleh gelar kehormatan dari kerajaan Buton sebagai "Landoro Nangi", yang kira-kira berarti: "Orang besar yang menang".

Gajah Mada menetap di Wamoroko, sebuah daerah pegunungan di timur Batauga dengan puncaknya yang berkabut dan berhawa sejuk.  Seorang budayawan menganggap daerah itu sebagai tempat yang paling tepat mewujudkan Dharma Agung dan bakti yang dicitanya setelah ter(di)sisih dari hirukpikuk politik di kerajaan Majapahit, menjadi Resi atau seorang petapa suci yang agung.

Ritual Adat di Batauga, Buton Selatan (foto: Rustam Awat)

Pada sebuah puncak bukit paling tinggi dengan dikelilingi pohon-pohon besar dipilihnya sebagai tempat tapa, merenung sekaligus menenung bakal takdir baik-buruknya sendiri, dinamai tempatnya itu sebagai: Ombo, dan konon di sanalah ia mencapai Moksa nya.

Konon dalam Sanskerta, "Ombo" itu berarti tempat yang lapang dan nyaman, sedangkan dalam Buton dimaknai sebagai tempat yang "Rahasia" dan "Terlarang". Begitulah Gajah Mada menyimpan jejaknya di Buton, abadi dalam ingatan kolektif masyarakatnya, abadi dalam tembang syair nyanyian rakyat, abadi dalam pahatan beraksara Pallawa pada batu-batu dan dinding di gua Batara Batauga.

Ina Hamu sering mendendangkan syair Gunung Ringgi, yang liriknya:

"Agungie Lan Panguwasanin ee

Banderanoe Maajapahi...Saikie Wus

Kumelebatie... Ingee Saindenging

Nusuwantarae... Ya Iki Kang Daadi

Gegayuhaningsun... Lanee Ingi Wanci

Iki Ingisun Mapan Ing Saluhuring

Gunung Ringgi... Akang Agawei

Ingsun Bise Narasakake Manawa

Ing Duwuring Langi... Langi Isi Ana

Langi Mane... Akuana Lungguie Ingi..

Dawuring Wach Batara Ombo Kangi

Agungi..."

 

***

Keyakinan tentang Gajah Mada berasal dari Buton selatan tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat Buton. Belum lama ini, terbit fiksi sejarah berjudul Bajak Laut dan Mahapatih yang menyebutkan asal Gajah Mada berasal dari Buton Selatan.

Dalam novel, yang terbit tahun 2019 ini, berlatar masa pendudukan VOC ini, Gajah Mada disebutkan telah meninggalkan lembaran-lembaran yang kemudian dibaca oleh seorang Tumenggung Wira yang bekerja di masa Sultan Amangkurat I, putra Sultan Agung di Kesultanan Mataram.

Gajah Mada bercerita tentang asal-usulnya dan misteri kesaktiannya.Novel itu mengisahkan masa kecil Gajah Mada di Batauga, Pulau Buton, tahun 1312 Masehi. Kakeknya, Awa, memintanya untuk merantau ke Keraton Majapahit di Jawa.

Sebelum Gajah Mada berangkat, dia diberitahu rahasia keluarganya turun-temurun di Pulau Buton. Keluarganya menjaga satu gua yang di dalamnya terdapat satu telaga. Jika seseorang mandi di telaga itu, maka dia akan kebal dan sakti mandraguna.

Berbekal kesaktian itu, Gajah Mada lalu merantau ke Majapahit melalui Dermaga Pulau Buton dan singgah di Pulau Bali.

Dia lalu bergabung dengan pasukan Bhayangkara yang merupakan pasukan elite Majapahit. Tugas pertamanya adalah mengawal putri Sri Gitarja, yang kemudian menjadi ratu bergelar Tribuwana Tunggadewi.

Dalam novel ini, ada kisah cinta antara Gajah Mada dan Sri Gitarja. Namun ada batas sosial yang memisahkan mereka. Mereka hanya bisa saling mencintai, tanpa bisa saling memiliki.

Berkat cinta itu, Gajah Mada menjadi figur yang selalu berusaha tampil ke depan. Bahkan dia mengangkat Sumpah Palapa yang menyatukan Nusantara agar Sri Gitarja memandang dirinya dengan penuh rasa bangga.

Biar pun fiksi, informasi mengenai Gajah Mada yang disebutkan berasal dari Pulau Buton penting untuk ditelusuri. Penulis novel, Adithya Mulya telah melakukan riset sejarah di Buton. Menurutnya, Kampung Maapahit ada Buton Selatan.

Dalam catatan kaki di novel ini, dia menggambarkan ada beberapa teori tentang asal-usul Gajah Mada. Dia memilih versi yang menyebutkan Gajah Mada berasal dari Buton sebab di sana ada kampung bernama Majapahit, serta banyak pohon maja.

Di berbagai website, ada disebutkan tentang asal Gajah Mada. Masyarakay Kerinci, Jambi, punya versi kalau Gajah Mada berasal dari daerah itu. Ada beberapainformasi mengenai kuburan Gajah Mada. Ada yang mengklaim di Tuban (Jawa Timur), Dompu (NTB), bahkan ada yang bilang di Lampung.

Sejak republik ini berdiri, ada banyak versi sejarah yang sengaja dibiarkan tumbuh. Bukan hanya Gajah Mada bahkan tokoh kekinian seperti Sukarno juga banyak versi mengenai asal-usulnya. Berbagai versi itu sengaja dibuatkan agar masing-masing daerah memiliki keterikatan dengan satu tokoh.

Di Buton Selatan, memang ada satu kampung yang namanya Majapahit. Di situ ada kuburan kuno seluas 40 kali 40 meter yang diduga berisi para petinggi dan pembesar Majapahit. Konon, pernah prasasti yang ditulis dalam bahasa Sansekerta. Tapi prasasti itu sudah lenyap. Tidak ada satu catatan kuat kalau di antara yang dikubur di situ ada sosok Gajah Mada.

Di sekitar kuburan itu terdapat pohon maja serta pohon beringin yang rindang. Sampai kini, situs itu sering dikunjungi umat Hindu yang tinggal di sekitar Kota Baubau untuk berziarah. Umat Hindu menganggap makam itu adalah makam para leluhurnya. Mereka datang saat tertentu, misanya saat menanam, juga saat memanen.

Pemerintah Daerah (Pemda) telah membuat plang informasi mengenai kuburan Gajah Mada. Akses jalan menuju kuburan itu dibenahi. Bahkan masuk dalam kalender pariwisata. 

Memang, informasi tentang Gajah Mada memang simpang siur. Dalam situasi ini, sah-sah saja jika ada yang mengklaim makam Gajah Mada ada di satu lokasi.

Situasinya sama persis dengan lokasi Sriwijaya yang penuh kontroversi. Sejarawan India, Ramesh Chandra Majumdar, berpendapat Sriwijaya ada di Jawa. Sarjana Belanda, J.L. Moens menduga Sriwijaya berpusat di Kedah (Malaysia) dan pindah ke Muara Takus (Riau). Sementara sejarawan George Coedes, Slamet Muljana, dan O.W. Wolters, lebih memilih Palembang. 

Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, salah satu yang meyakini pusat Sriwijaya ada di Palembang. Alasannya, prasasti Sriwijaya banyak ditemukan di sana. Biarpun Palembang yang lebih disepakati, kontroversi itu masih hidup hingga kini.

Dalam konteks ini, kita bisa memahami mengapa banyak muncul klaim mengenai asal-usul Gajah Mada. Selagi belum ada sumber resmi yang sahih, maka sah-sah saja anggapan kalau Gajah Mada memang berasal dari Buton Selatan. Bahkan kuburannya kini menjadi situs sejarah di sana.

Tahun 2016, satu rumah produksi di Jakarta membuat film berjudul Barakati yang berisikan perjalanan ke Buton demi mencari asal-usul Gajah Mada.

Novel Bajak Laut yang menyebutkan Gajah Mada lahir di Buton Selatan

Film Barakati yang bertemakan pencarian Gajah Mada hingga Buton Selatan

Film ini dibintangi beberapa aktor dan artis papan atas yang tengah menjadi idola anak muda. Di antaranya adalah Fedi Nuril, Acha Septriasa, Dwi Sasono, dan Tio Pasukadewo. Sayang, film ini tidak begitu sukses. 

Namun, klaim tentang Buton sebagai asal-usul dan kuburan Gajah Mada itu semakin kuat. Informasi itu terekam di media sosial, tercatat oleh mesin pencari Google, hingga menyebar dari mulut ke mulut. Di era ini, informasi yang dianggap sahih adalah informasi yang terekam oleh Google.

Beberapa tahun setelah film Barakati, kini muncul pula novel berjudul Bajak Laut dan Mahapatih yang mengisahkan misteri Gajah Mada di Pulau Buton. Jika novel ini kelak difilmkan, sebagaimana karya Adhitya Mulya lainnya, maka klaim itu akan semakin kuat. Buton selatan bisa menjadi lokasi ziarah bagi mereka yang menggemari kisah Majapahit dan segala kedigdayaannya.

***

Jalanan menuju makam Gajah Mada kini mulai diaspal. Jalanan ini akan memudahkan siapa pun yang datang berkunjung. Pemerintah Kabupaten Buton Selatan membenahi makam ini agar kelak bisa menjadi tempat ziarah yang bisa dikunjungi siapa saja.

Makam itu terdapat di atas sebuah bukit di Kelurahan Majapahit, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan. Tempat itu kini menjadi lokasi wisata religi. Lokasinya berjarak sekitar 3 kilometer (km) dari jalan utama.

"Leluhur kami sering bercerita tentang makam Patih Gajah Mada. Di sana juga ada tumbuh pohon maja beberapa ratus meter dari kuburan, dan ada juga tulisan Sansekerta di atas batu," kata Kaimuddin, Camat Batauga.

Dulu, di sekitar makam itu ada prasasti yang ditulis dalam bahasa Sansekerta. Kini, prasasti itu hilang. Tahun 2000, prasasti itu masih bisa disaksikan. Sayangnya, prasasti itu hilang sebelum dilakukan studi ilmiah.

Kompleks yang diyakini makam Gajah Mada di Buton Selatan

Tempat yang diyakini sebagai makam Gajah Mada itu berukuran sekitar 40 x 40 meter. Di tengah lahan itu terdapat pohon besar yang rindang.

Di situ bisa dilihat, beberapa batu yang diduga merupakan batu nisan yang tidak bernama.

Menurut seorang warga Kelurahan Majapahit, La Ode Basarudin, tempat itu sering diziarahi sejumlah warga. Lihat Foto Makam gajah mada dipercaya berada di Kelurahan Majapahit, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan.

"Ada warga yang ke sini untuk sembahyang. Apalagi kalau hendak menanam atau memanen hasil pertanian, mereka pasti membawa sesuatu ke makam mahapatih ini," kata Basarudin.

Masyarakat meyakini, dahulu Gajah Mada bersama 40 pengikutnya datang ke Pulau Buton. Mereka langsung masuk ke dalam hutan. Kedatangan mereka tidak diketahui masyarakat setempat.

Baru pada pagi harinya, warga desa sekitar melihat ada asap tebal muncul dari dalam hutan. Karena penasaran, warga pun mendatangi sumber asap. Rupanya, Gajah Mada mengetahui kedatangan warga. Ia pun mengajak pengikutnya untuk masuk semakin jauh ke dalam hutan.

Di dalam hutan, rombongan Gajah Mada menemukan sebuah perkampungan kecil. "Mereka kemudian berunding, dan minta izin tinggal tak jauh dari kampung itu. Setelah diizinkan, mereka tinggal di atas bukit itu. Konon, Patih Gajah Mada mati bersama 40 pengawalnya di atas bukit itu," ujar Basarudin.

Kini, kawasan yang diduga makam itu telah dibenahi. Makam itu diyakini akan menjadi lokasi ziarah banyak kalangan. Bukan hanya warga Indonesia, tapi juga warga Malaysia dan Singapura. Di dua negara itu, sosok Gajah Mada juga sangat dihormati. Jejak Gajah Mada bisa ditemukan di Museum Nasional Singapura hingga koleksi para sultan di Malaysia.

Dalam waktu dekat, semua orang bisa berkunjung ke makam itu sembari mengenang sosok hebat yang pernah menyatukan Nusantara. Sosok itu terbaring di Buton Selatan.

 

(tulisan ini dibuat berdasarkan data dari budayawan La Yusri dan peneliti Yadi La Ode. Pertama kali dimuat dalam buku Inspirasi Buton Selatan 1).




Drone IRAN di Langit RUSSIA

Drone Shahed milik Iran


Biden berkunjung ke Saudi Arabia. Putin berkunjung ke Teheran. Keduanya sedang berebut pengaruh di Timur Tengah. Sepekan sebelumnya, media-media luar sibuk membahas tentang drone Iran yang segera menjadi bala tentara Russia.

Russia tengah dalam kecamuk konflik melawan barat, yang menjadikan Ukraina sebagai proksi. Dalam situasi itu, Russia ditopang Cina, India, Brasil, dan Afrika Selatan. Kini, arsenal perang Iran yakni drone tempur akan segera bergabung di langit Russia.

Nampaknya, martir Iran, Jenderal Qassem Soleimani, tengah tersenyum melihat misinya ke Moskow di tahun 2015 kini sedang mekar.

***

FOTO-foto itu beredar di banyak lini media sosial. Foto bidikan satelit itu memperlihatkan drone Iran yang siap dikirim ke Russia. Dua pekan silan, perwakilan tentara Russia mengunjungi Pegunungan Zagros untuk meihat kesiapan drone.

Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, mengungkap rencana Iran untuk mengirimkan drone tempurnya ke langit Russia. Pihak Moskow memilih diam. Teheran pun tidak memberikan respon atas kicauan banyak pihak.

Sullivan mengungkapkan fakta itu di akhir tur Presiden Biden ke Asia Barat. Niat Biden untuk melobi banyak negara Arab agar menaikkan produksi minyak ditanggapi dingin. Bahkan niat Biden untuk menyebar sentiment anti-Iran yang diharapkan bisa menyatukan front militer Israel dan Arab juga gagal.

“Iran siap untuk mulai melatih pasukan Russia tentang cara mengoperasikannya pada akhir Juli,” katanya. 

Iran dikenal memiliki ekosistem drone. Menurut laporan CNN, di antara drone yang terkenal adalah drone “pembunuh” Shahed-191 dan Shahed-129. Menurut beberapa sumber, Shahed-129 memiliki lebar sayap 50 kaki dengan kecepatan jelajah 160 km per jam, memiliki daya tahan 24 jam dengan jangkauan 1.700 km dan langit-langit 24.000 kaki.

BACA: Shizo Abe dan Jepang yang Sedang Tidak Baik-Baik Saja


Sedangkan Shahed-129 bisa membawa delapan  bom berpemandu presisi miniatur Sadid-345 yang mampu mengenai sasaran yang bergerak. Ukuran kecil bom dengan jangkauan 6 km mengurangi kerusakan tambahan dan akan memungkinkan Shahed untuk mencapai lebih banyak pembunuhan atau serangan serangan per misi.

Shahed 191 membawa dua rudal Sadid-1 secara internal, memiliki kecepatan jelajah 300 km/jam, daya tahan 4,5 jam, jangkauan 450 km, dan muatan 50kg. Langit-langitnya setinggi 25.000 kaki. Kantor Berita Fars Iran mengatakan bahwa Shahed 191 telah digunakan dalam pertempuran di Suriah.

Keduanya adalah drone siluman, lebih sulit untuk dideteksi oleh pertahanan udara, dan dapat saling melengkapi dalam operasi.

Media barat melaporkan Russia kekurangan drone bersenjata yang memiliki kemampuan untuk melakukan misi jarak jauh demi menemukan dan menghancurkan, beberapa senjata, di antaranya adalah peluncur roket bergerak HIMARS yang dipasok AS. Selain itu, drone relatif murah dan dapat dibuang, tidak seperti pesawat berawak.

Jika kesepakatan drone benar-benar berhasil, itu akan menandai lompatan kuantum dalam hubungan Russia-Iran. Sebab, Iran akan melakukan sesuatu untuk Russia yang hanya mampu dilakukan oleh China tetapi tidak akan dilakukan karena takut akan pembalasan AS.

Itu membuat Iran menjadi negara mitra yang sangat istimewa bagi Russia. Ironisnya, bagaimanapun, Russia belum meningkatkan hubungannya dengan Iran sebagai “strategis.”

Di sisi lain, Iran kian berani menantang “tatanan berbasis aturan” Barat. Iran diam-diam akan memperkuat Russia yang sedang mengerahkan sistem senjatanya di teater Eropa melawan sistem pertahanan udara yang dipasok ke Ukraina oleh AS dan negara-negara NATO.

Dalam perang teknologi tinggi, langkah Iran mengejutkan. Langkah ini akan meningkatkan posisi Iran secara regional dan internasional.

Dalam konteks geopolitik, kita bisa mengatakan, pintu negosiasi nuklir antara Iran dan AS telah ditutup rapat melalui mediator Eropa, yang telah berlangsung di Wina selama setahun terakhir.

Tidak mengherankan, Teheran akan menarik kesimpulan, Amerika Serikat telah kembali ke strategi (gagal) puluhan tahun untuk mempromosikan front Israel-Arab melawan Teheran.

Jelas, Teheran bergerak ke lintasan baru yang tetap didasarkan pada permusuhan Amerika yang tak henti-hentinya. Ini berarti bahwa Teheran akan menggandakan upayanya untuk meningkatkan hubungan dengan tetangga Arabnya dan mengeksplorasi semua kemungkinan jalan ke arah itu.

Teheran akan memanfaatkan jendela peluang dalam pemikiran Saudi yang baru untuk mengurangi ketergantungannya pada AS dan mengeksplorasi otonomi strategis dan politik luar negeri yang independen.

Teheran mendapat manfaat dari hubungan Saudi-Russia dan Saudi-Cina yang semakin dalam. Niat Arab Saudi memasuki BRICS akan membawa Saudi cukup dekat pada pandangan dunia Iran, yang menempatkan keunggulan pada tatanan dunia multipolar yang demokratis di mana setiap negara bebas memilih jalur perkembangan dan sistem politiknya.

Yang pasti, dengan latar belakang sejarah dari kawasan Asia Barat yang transformatif ini, kunjungan Presiden Vladimir Putin ke Teheran pada hari Selasa sangat penting dari kaca mata geopolitik.

***

BAGI Russia, Iran bukan sekadar pemasok drone. Sejak tahun 2014, saat Russia mulai diembargo banyak negara karena mencaplok Krimea, para ilmuwan Russia telah belajar banyak pada Iran, negara yang sejak tahun 1979 telah diembargo barat.

Selama 40 tahun diembargo, Iran punya semangat perlawanan yang tak henti berdenyut di nadi warganya. Iran punya kekuatan ideologi untuk membangkitkan sisi paling heroik di dalam diri warganya. Namun bagaimana menerapkannya dalam ekonomi?

Di satu situs berita Russia, ada analisis dari ekonom Russia tentang strategi Iran dalam menghadapi hantaman senjata finansial barat. Iran punya dua sekutu, yakni resistance economy (ekonomi perlawanan) dan shadow economy (ekonomi bayangan).

Pemimpin Iran Ayatollah Ali Khamenei berbicara tentang 'ekonomi perlawanan' di tahun 2007. Pemimpin tertinggi Iran ini menyatakan "memimpin negara sebagai jihad" dan "memastikan partisipasi luas rakyat dalam pembangunan ekonomi." Komponen kunci dari model ekonomi seperti itu adalah substitusi impor dan pengurangan ketergantungan pada ekspor minyak.

BACA: Gagalnya "Jebakan Betmen" Biden untuk Jokowi


Sementara shadow economy pernah dikemukakan Wall Street Journal. Media itu menganalisis “puluhan transaksi proxy Iran” pada 61 akun di 28 bank asing di China, Hong Kong, Singapura, Turki, dan UEA, dengan total ratusan juta dolar.

Menurut sumber WSJ, bank Iran mengatur agar perusahaan Iran mendirikan badan hukum di luar negeri dan berdagang atas nama mereka sendiri dengan pembeli asing dalam dolar, euro, atau mata uang asing lainnya melalui rekening yang dibuka di bank asing.

Badan intelijen Barat menegaskan bahwa “ada bukti transaksi semacam itu bernilai puluhan miliar dolar.” Menurut perkiraan IMF, “operasi impor dan ekspor tersembunyi Iran akan tumbuh menjadi 150 miliar dollar pada tahun 2022. Barang ekspor utama yang dijual dalam ekonomi bayangan adalah bensin, baja, dan petrokimia.

Apakah Russia berhasil menerapkan strategi Iran yang telah bertahan selama 40 tahun? Belum tentu. Situasi ekonomi Iran dan Russia tidak sama.

Yang pasti, Iran dan Russia sama-sama menjadi powerhouse energi. Keduanya bisa mendikte negara-negara Eropa yang mulai khawatir krisis energi di musim dingin.

Di bulan Maret 2022, Amerika Serikat melobi Venezuela dan Iran untuk menyediakan pasokan minyak pengganti Russia. Venezuela langsung menolak sebab sebelumnya AS mendukung pemimpin oposisi. Sedangkan Iran dilaporkan hampir saja menerima tawaran Amerika.

Namun, di subuh hari, 13 Maret 2022, sebanyak 12 rudal dari Iran menghantam konsulat Amerika di Erbil, Irak. Rudal itu ditembakkan sebagai peringatan dua tahun meninggalnya Jenderal Qassem Soleimani yang terbunuh akibat rudal dari drone milik AS.

Qassem adalah satu dari begitu banyak martir Iran yang rela mati demi perjuangan. Mereka siap menumpahkan darah dan menyabung nyawanya untuk membela bangsanya.

Mereka mewarisi darah juang dari mereka yang terbantai di Karbala puluhan abad silam. Demi perjuangan itu, mereka menjelma sebagai singa-singa padang pasir yang siap bertarung hingga titik darah penghabisan.

 



C A N T I K

 


Perempuan itu cantik jelita. Dia berharap bisa menikahi miliader kaya raya. Di satu grup percakapan di negeri Paman Sam, dia menuliskan kriteria lelaki yang diharapkan untuk menikahinya. Dia menyebutkan biaya hidup, serta perumahan mewah yang ingin ditinggalinya.

Sebagai mantan peserta Miss Kecantikan, dia sangat percaya diri. Biaya perawatan tubuhnya mahal. Belum lagi biaya-biaya lain. Dia juga mengajukan fakta kalau kebanyakan miliader punya istri yang biasa saja, tidak fashionable, dan terlihat membosankan. Dia merasa jauh lebih cantik dan pantas menggandeng para milader.

Tak disangka, postingannya ditanggapi oleh CEO JP Morgan, salah satu bank paling besar di negeri itu. CEO yang juga miliader itu membuat kalkulasi secara ekonomi mengapa dia menolak menikahi perempuan itu.

“Dari sisi bisnis, merupakan keputusan salah untuk menikahimu. Jawabannya mudah saja. Coba tempatkan “kecantikan” dan “uang” bersisian. Pihak A menyediakan kecantikan, dan pihak B membayar untuk itu. Tapi kecantikan Anda akan menghilang, sementara uang saya tidak akan hilang tanpa ada alasan yang kuat,” katanya.

“Faktanya, pendapatan saya mungkin akan meningkat dari tahun ke tahun, tapi Anda tidak akan bertambah cantik tahun demi tahun. Dari sudut pandang ekonomi, saya adalah aset yang meningkat (apresiasi), dan anda adalah aset yang akan menyusut (depresiasi). Nilai Anda akan sangat mengkhawatirkan 10 tahun mendatang,” katanya.

“Di Wall Street, jika nilai tukar turun, kita akan menjualnya dan ide buruk untuk menyimpan dalam jangka panjang, seperti pernikahan yang Anda inginkan.  Mungkin kejam untuk mengatakan ini. Kami hanya akan berkencan dengan Anda, tapi tidak akan menikahi Anda,” lanjutnya.

“Saran saya lupakan mencari pria kaya. Dan omong-omong, Anda bisa membuat diri sendiri untuk menjadi orang kaya dengan penghasilan miliaran. Milikilah kesempatan yang lebih baik daripada mengharapkan untuk bertemu seorang pria kaya yang bodoh,” katanya.

Kisah ini sangat relevan untuk memotret apa yang terjadi sekitar kita. Lihatlah istri-istri orang penting negeri ini. Mereka biasa saja.

Lihatlah Iriana Jokowi. Dia tampak sederhana saat mendampingi pria yang punya kendali atas tirilunan kekayaan negeri ini.

Orang-orang hanya melihat fisik semata. Padahal, ada banyak hal tak terlihat. Tengoklah masa-masa ketika pria itu bukan siapa-siapa. Dia bersedia menerima pria yang saat itu masih menjadi batu kali, bersabar menjalani proses dan berbagai tantangan, hingga batu kali itu menjelma menjadi emas.

Belajar dari kepingan realitas itu. Jauh lebih penting untuk memperkuat substansi, mengasah semua skill dan kecakapan hidup, serta keluasan hati untuk menerima orang lain, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Di titik ini, pesona, kecemerlangan, dan kegemilangan akan memancar dari diri seseorang. Di titik ini, masa depan cerah hanyalah dampak dari kualitas diri yang terus memancar.

Pikiran yang jernih, ketulusan hati, dan optimisme hidup akan membuat seseorang jauh lebih bersinar dan melampaui tampilan fisiknya.


ARUNG PALAKKA di Tepian Sejarah

buku Indonesia dan Masa Lalunya yang diedit Anthony Reid dan David Marr


Jika diminta menyebutkan sosok paling kosmopolit yang hidup di abad ke-17, saya tak ragu untuk menyebutkan Arung Palakka. Dia sosok yang melintasi wilayah dan bertualang ke mana-mana.

Dia lahir di tanah Bugis, besar di Makassar, lalu bertualang Buton, Batavia, hingga tanah Minangkabau. Dia bernegoisasi dengan orang Belanda, berkonflik dengan orang Minang, lalu menguasai perdagangan Batavia.

Di Batavia, yang dulu dikenal sebagai Queen of the East, dia memimpin orang Bugis yang menempati Muara Angke, sering disebut To Angke, lalu menguasai perputaran bisnis emas, dari Sumatera hingga Batavia.

Namun sejarah lebih banyak mencatat episode Arung Palakka saat perang Makassar di mana dirinya bersekutu dengan Belanda. Kita pun melihat dirinya dengan cara pandang masa kini.  Sejarah kita tak mencatat namanya dengan tinta emas.

Kita melihatnya hanya dengan satu perspektif. Dia seakan hanya milik orang Bugis. Padahal, betapa berwarnanya kenyataan di masa lalu, dan betapa terbatasnya cara pandang kita yang hanya melihatnya sepenggal-sepenggal.

BACA: Kisah Raja Bugis di Pulau Buton


Hari ini saya membaca kisah Arung Palakka dalam buku Perception of the Past in Southeast Asia yang diedit Anthony Reid dan David Marr. Buku yang diterjemahkan dan terbit kembali dengan judul Indonesia dan Masa Lalunya ini menghimpun catatan menarik dari banyak sejarawan.

Dalam buku ini, saya menemukan artikel mengenai Arung Palakka yang ditulis Leonard Andaya, yang pernah menulis buku The Heritage of Arung Palakka.

Sebelum berkisah tentang sosok penting itu Andaya mengurai beda antara tradisi istana dan tradisi pedesaan dalam menulis sejarah, yang di kalangan Bugis disebut attoriolong, sedang di Makassar disebut patturioloang.

Dalam tradisi istana, selalu digambarkan keadaan bumi yang porak poranda, kemudian hadir seorang penguasa dari alam atas (To Manurung) yang menegakkan tatanan baru. Sejarah kemudian dicatat berdasarkan kehadiran penguasa itu.

Lain lagi dengan tradisi pedesaan. Bukan penguasa yang menggerakkan sejarah, melainkan adat dan kebiasaan. Orang Bugis menyebutnya Ade’, orang Makassar Ada’. Nilai-nilai adat yang sangat tua ini ini membentuk kosmos orang desa, di mana terjadi interaksi antara warga biasa, bangsawan, penguasa, dan para dewa.

Para sejarawan takjub dengan cara penggambaran masa silam ini. Bukan ketepatan yang dicari, tapi bagaimana nilai-nilai adat diterapkan dan menjadi senyawa kehidupan masyarakat.

Di titik ini, kita bisa melihat kisah Arung Palakka. Dia orang Bugis, yang di masa lalu berperang dengan Sultan Hasanuddin, pemimpin Makassar.

Dalam perang itu, Arung Palakka adalah musuh bebuyutan. Namun dia sangat diterima dan dihormati orang Makassar. Setelah dia mangkat, makamnya diziarahi dan didoakan. Bahkan dia juga dihadirkan dalam tradisi lisan orang Makassar dengan nada positif.

Andaya mencatat, di tahun 1970-an, ada naskah pementasan berjudul Sinrili’ na Kappala Tallumbatua yang berkisah tetang perang Makassar. Kisah itu dituturkan seorang penutur, dengan bantuan alat musik bertali yang disebut keso-keso.

Dalam kisah itu, Arung Palakka menjadi karakter utama. Dia mendapat nama baru yakni Andi Patunru. Andi adalah gelar bangsawan, sedang Patunru bermakna menaklukkan. Kisah Andi Patunru dituturkan dalam beberapa babak.

Dimulai dari masa kecil sebagai tawanan Gowa, diperlakukan sebagai anak oleh Karaeng Pattingallloang, hingga melarikan diri di usia 25 tahun ke Buton, lalu Batavia, kemudian kembali ke Makassar Bersama Belanda.

BACA: Navigasi Bugis di Amerika Serikat


Bagian paling menarik buat saya adalah Andi Patunru selalu menjadi simbol dari penegakan nilai-nilai kultural yang menjadi kompas kehidupan masyarakat. Dia menjadi simbol dari keikhlasan untuk menegakkan siri atau rasa malu, juga harga diri.

Dalam banyak kisah, kita lebih sering menemukan cerita seseorang yang dibuat siri atau dipermalukan karena diabaikan. Kita jarang menemukan kisah mengenai seseorang yang merebut kembali harga dirinya atau memulihkan dirinya. Di sinilah posisi Andi Patunru atau Arung Palakka.

Orang Bugis Makassar memegang teguh siri. Mereka ikhlas dicaci maki dan dipermalukan apabila memang merasa salah. Tapi mereka akan melawan dengan kekerasan bisa merasa benar. Lebih baik mati untuk mempertahankan harga diri (mate ri siri’na).

Nilai lain yang diletakkan pada kisah Arung Palakka adalah pacce (dalam bahasa Makassar) atau pesse (dalam bahasa Bugis). Kata Andaya, pacce bermakna sedih atau pedih, tapi mengungkapkan satu emosi yang jauh lebih lembut. Pacce adalah motivasi yang memperkuat perasaan setia kawan di kalangan orang Makassar.

Selain bahas Andi Patunru, naskah itu juga membahas Tunisombayya atau penguasa Gowa. Sungguh menarik meihat bagaimana naskah itu menempatkan Tunisombayya sebagai sosok yang hendak melawan nasib, yang disebut taka’dere dan sare. Kehancuran Gowa karena perang Makassar disebabkan Tindakan pribadi Tunisombayya yang hendak merintangi taka’dere.

Seusai membaca artikel menarik ini, saya merenungkan banyak hal. Mereka yang hidup di masa lalu justru bisa melampaui berbagai kategori yang kita sematkan hari ini. Hari ini kita hanya melihatnya secara hitam putin, seakan-akan ada kawan dan lawan. Orang dulu tidak berpandangan demikian. Mereka selalu melihat semua peristiwa dan kisah dari sisi peneguhan nilai-nilai budaya.

Saya ingat kisah Winnetou yang dikarang Dr Karl May. Ada bagian tentang orang Indian yang selalu mengagumi keberanian, meskipun itu datang dari lawannya, Orang Indian akan mengagumi pemilik keberanian dan keperkasaan, meskipun harus berhadapan di medan tempur.

Hari ini kita melihat masa silam dengan cara pandang masa kini. Padahal, sebagaimana dicatat Anthony Reid, kita hanya bisa merekonstruksi masa lalu. Peristiwa itu ada di ruang obyektif sejarah, di mana kita hanya bisa mereka-reka.

Kita hanya menghampiri, lalu menduga-duga, kemudian mencoba rekonstruksi dengan bantuan metodologi dan teori. Kita hanya bisa menyusun ulang, dengan nalar yang dipenuhi kepentingan hari ini.

Di titik ini, Arung Palakka, sosok yang pernah menguasai Btaavia ini, lebih sering terabaikan. Dia menunggu kita di tepian sejarah untuk meninjau ulang banyak hal. Berkat para peneliti seperti Leonard Andaya, kita melihat lebih jernih dan membersihkan banyak kabut dari sosok besar itu.




Sekolah MAHAL



Lebih dua pekan, wajah pria itu terlihat sedang muram. Dia memendam masalah. Saya bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan. Saya pikir, orang kaya-raya sebagaimana dirinya dia sudah tidak punya masalah.

Saat dia mengajak buka puasa, barulah terungkap banyak cerita. Rupanya, anaknya sedang ditahan polisi karena kasus narkoba. Satu lagi anaknya punya riwayat nyaris bunuh diri karena depresi. “Saya kurang apa? Saya sudah sekolahkan mereka di tempat paling mahal,” katanya.

Saya lebih banyak diam. Banyak orang melimpahi anaknya dengan fasilitas paling mahal di kota-kota besar. Anak itu bukannya mandiri, tapi hanya menjadi beban orang tuanya.

Saya ingat artikel The New York Times mengenai fenomena Strawberry Generation. Istilah ini menggambarkan generasi Taiwan yang lahir tahun 1980-an pada masa pasca-perang, memiliki orang tua mapan dan kaya, serta kehidupan yang serba menyenangkan.

Generasi ini amat dimanjakan orang tuanya yang dahulu miskin. Orang tua tak ingin masa kelam mereka yang berada dalam ekonomi sulit karena peperangan menimpa anak mereka. Orang tua ini lalu melimpahi anaknya dengan semua fasilitas.

Generasi ini digambarkan serupa buah strawberry, yang mudah koyak hanya karena sedikit benturan. Generasi ini digambarkan tampak mewah, ranum, indah, akan tetapi tidak siap menghadapi benturan.

Orang tuanya memberinya semua fasilitas dan kemewahan namun lupa menanamkan sikap kemandirian, daya tahan, serta karakter beradaptasi di segala sesuatu. Ternyata, semua fasilitas bisa menjadi sesuatu yang negatif.

Anak-anak jadi serba manja dan kehilangan daya juang serta semangat bertarung menghadapi situasi yang serba sulit. Saat dihadapkan dengan tantangan, seorang anak gampang menyerah dan rapuh, sebagaimana strawberry.

Rupanya, segala tantangan dan ketidaknyamanan adalah bagian dari lahan gembur yang menyuburkan karakter seorang anak untuk menjadi petarung. Seorang anak harus berhadapan dengan tantangan.

Tanpa tantangan, anak akan kehilangan daya survival, sesuatu yang dahulu dimiliki orang tuanya dan bisa membawanya pada kesuksesan. Sering kita tidak menyadari bahwa pemberian semua fasilitas tidak selalu bagus buat anak.

Pria di hadapan saya berpikir, ketika menyekolahkan anaknya di tempat paling mewah, maka dianggapnya satu prestasi. Padahal sekolah mahal tak selalu bisa jadi jaminan kesuksesan seorang anak.

Sekolah mahal menyediakan banyak hal, tapi tak bisa mengajarkan daya tahan menghadapi kesulitan serta bagaimana menumbuhkan tekad kuat untuk menggapai mimpi. Orang tua harus tetap mendampingi seorang anak, memberinya tantangan, lalu mengapresiasi semua upaya-upaya kecilnya.

Pria ini tak sendirian. Ada banyak orang sibuk mengejar kemakmuran, lalu berpikir bahwa dengan menyekolahkan di tempat mahal, maka misi dianggap selesai. Padahal, semua tantangan adalah bagian dari proses pendewasaan untuk menjadi pribadi yang tangguh dan kuat.

Mendaki puncak memang melelahkan, tetapi kebahagiaan saat berada di puncak serupa air yang membasuh semua lelah. Mereka yang setiap saat menghadapi tantangan, kelak akan jadi pribadi tangguh dengan mental yang kokoh.

Saya ingat catatan Iqbal Djawad tentang acara televisi yang paling laris di Jepang yakni Hajimete no Otsukai. Di acara itu, anak-anak seusia TK diberikan misi tertentu sambil diikuti oleh kru televisi yang menyamar. Misalnya disuruh mengantarkan makanan untuk ayahnya di rumah sakit. Anak itu akan merasa berat, bahkan menangis.

Tapi anak itu mengambil tantangan, kemudian berjalan kaki atau kadang naik bus menuju rumah sakit. Saat anak itu tersesat, dia akan coba bertanya ke orang lain, yang kemudian menunjukkan jalan. Saat dia berhasil menjalankan misinya, orang tuanya akan memeluknya dan memberi ucapan terima kasih. Dia akan mendapatkan hadiah.

Saya mengenang masa-masa kecil dahulu di kampung. Orang tua saya hanya sanggup menyekolahkan di sekolah negeri di kampung. Tak ada les-les khusus, tak ada banyak fasilitas. Tapi kasih sayang dan perhatian mereka ibarat mercu suar yang menerangi segenap langkah saya ke mana pun.

Rasa cinta mereka ibarat setetes embun yang terus menyirami jiwa yang kerontang. Ada masa di mana saya mengalami kenakalan-kenakalan dan menyimpang arah, namun tetes-tetes embun cinta itu akan selalu menjadi tempat kembali untuk menemukan kesejukan.