Bukit Lamando, Buton Selatan |
Di Rongi, Desa Sandang Pangan, Buton Selatan, sebuah bukit menjelma jadi destinasi wisata baru yang digandrungi anak-anak muda. Sejauh memandang di bukit itu terlihat rumput hijau yang membentang bak karpet.
Di bukit itu, tersimpan kisah cinta yang tragis dari Lamando dan Wa Ode, kisah resistansi pada kesultanan, serta kisah pertautan dengan alam semesta yang jejaknya tersimpan hingga kini.
***
Bulit-bulir keringat menetes satu-satu dari dahi La Aing. Bersama rombongannya, dia berjalan kaki hingga puncak Bukit Lamando. Hari itu, dia berencana untuk berkemah bersama rekan-rekannya sesama mahasiswa Universitas Dayanu Ikhsanuddin.
Bukit Lamando serupa jamdrud yang memancarkan karisma hijau. Beberapa tahun lalu, bukit ini masuk dalam Anugerah Pesona Indonesia, ajang pemberian penghargaan bagi destinasi wisata yang diadakan Kementerian Pariwisata.
Di bukit itu, La Aing memasang tenda kemudian duduk memandang hamparan hijau di hadapannya. Bersama beberapa mahasiswi, dia becerita lepas hingga sore menjelang. Dia bergegas turun ke sungai terdekat untuk mengambil air lalu membawanya dalam termos kecil.
Dalam remang senja di sungai itu, dia seakan melihat bayangan sosok pria yang berdiri di dekat sungai. Dia melihat samar-samar. Dia bergegas keluar dari sungai, lalu menuju tenda yang dia dirikan. Dia menceritakan pengalaman itu kepada rekannya. Saat itulah dia mendengar kisah tentang Lamando, sosok yang namanya diabadikan sebagai nama bukit.
Konon, di tempat itu pernah tinggal seorang anak muda bernama Lamando. Dia digambarkan sebagai anak muda yang miskin. Dia yatim piatu sejak kecil. Ayah ibunya meninggal tidak meninggalkan apa-apa sebagai bekal hidup.
Ketika remaja, Lamando naik mendaki ke bukit, tinggal menetap, dan mengasingkan dirinya di sana. Sejak itu nama bukit itu dinamailah namanya sendiri.
Bukit Lamando (foto: La Nas) |
Semua kebutuhan hidup tersedia di bukit ini. Lamando tinggal mengolahnya. Dia mengeruk punggung bukit, membikin telaga kecil untuk tempat mandi. Rumahnya tepat di puncak bukit. Rumah itu dinamai Cubu Lamando. Di kiri kanannya, ada padang savana yang membentang melandai, naik turun mengikut lekuk punggung gunung.
Hewan-hewan bertabiat merusak tanaman kebun seperti babi dan monyet, tak pernah mengganggu tanamannya. Dia sisihkan bagian untuk semua hewan, di simpankan di depan, sebuah lahan kecil telah dipagarinya terpisah dari lahan kebunnya, ditanami umbia-umbian, jagung dan pisang.
Suatu hari, ada peristiwa yang mengusiknya. Lamando terperanjat melihat seorang gadis manis telah berdiri menghadapinya. Ia menyapu matanya, memastikan tidak sedang bermimpi. Perempuan itu mendekatnya.
Dia berbincang singkat. Perempuan muda itu mengajaknya jalan-jalan ke sekitar bukit. Lamando menolak. Dia belum kenal dekat. Matahari sebentar lagi tenggelam.
Perempuan itu pulang membawa segunung kekecewaan. Malam itu Lamando tak bisa tidur. Bayangan perempuan itu terus hadir di matanya.
Perempuan itu memakai kain bercorak. Ada sanggul rapi di rambutnya, serupa ekor kumbang. Dia memakai gelang (simbi) dari emas bersusun empat di lengannya. Anting emas, menggantung manis di kedua telinganya. Di dadanya kalung emas besar bertatah permata menjuntai indah, yang di Buton disebut Jao-Jaonga.
Tidak ada perempuan secantik itu di kampung halamannya. Tidak ada perhiasan seindah ini. Dari mana datangnya?
Ketika kokok ayam terdengar, Lamando bangkit dari tempatnya membaringkan badan. Ia memulai beraktivitas seperti biasanya, mengurus kebun jagungnya dan memetik biji kopi dari pohonnya.
Di sore hari, gadis itu datang kembali. Dia menemui Lamando di gunung. Kembali Lamando menolak ajakannya. HIngga hari-hari selanjutnya, perempuan itu selalu datang di sore hari.
Di satu sore, Lamando mulai menanyakan nama dan asal perempuan itu. “Nama saya Wa Ode. Saya datang dari kampung sebelah di bawah kaki gunung,” jawabnya.
Lamando segera mafhum. Memang, ada banyak kampung di bawah kaki gunung tempatnya tinggal. Tapi mengapa rupanya secantik ini?
Gadis penari |
Sore berganti sore. Perempuan itu terus datang. Bahkan dia meminta Lamando agar menjadikannya istri.
Lamando tahu dirinya dari kelas sosial yang lebih rendah ketimgang gadis yang bernaa Wa Ode itu. Usia mereka pun tak sepantaran. Tak pantas dirinya bersanding dengan para pemilik gelar La Ode atau kelas sosial Kaomu. Jika dipaksakan akan melawan adat.
Jika pernikahan itu dipaksakan, maka Wa Ode akan kehilangan kebangsawanannya. Dia akan dijadikan sebagai Analalaki, yang kehilangan segala-gala haknya sebagai bangsawan.
Tetapi Wa Ode tak peduli dengan semua itu. Pesona Lamando telah benar-benar memincut hatinya. Ia berharap kedua hati mereka dapat diikat dalam pertalian marital yang suci dan abadi sampai garis maut memisahkan.
Dia menginginkan Lamando kelak menjadi suaminya. Dalam inginnya yang besar itu, usaha dan upaya tiada henti dia lakukan, sekalipun itu melawan norma adat.
Lamando mulai luluh. Dia mulai terpikat bujuk rayu dan kecantikan gadis itu. Dia tak hanya melihat kesungguhan Wa Ode. Rupa dan perangai gadis itu telah juga memikat hatinya. Maka mereka menikah. Keduanya tinggal serumah di bukit itu.
Setelah tujuh hari berlalu, Wa Ode meminta Lamando agar mau turun gunung dan melihat rumahnya di kampung bawah.
Wa Ode tidak ingin jalan sendiri. Mereka harus jalan berdua bersisian saling menggandeng tangan. Tetapi Lamando masih saja terus menolaknya. Dia enggan meninggalkan rumahnya.
Saat gadis itu menangis, Lamando tak kuasa menolak. Dia berkata: “Entahlah firasat ini, apa yang akan datang, mungkin sesuatu hal buruk bakal terjadi, sejak saya naik tinggal di gunung ini, tak pernah barang sebentarpun saya pergi tinggalkan tempat ini”
Mereka turun gunung. Wa Ode menggamit tangan Lamando. Mereka berjalan menyusur lereng bukit, lalu turun ke kampung.
Tibalah mereka di Ue eno Lele Nigooli, sebuah sungai berarus deras. Mereka berhenti di sungai itu. Wa Ode mengajak Lamando mandi, menyelam ke sungai itu, tetapi Lamando menolak karena ia tak pandai berenang.
Lamando terus saja menolak. Wa Ode kemudian memeluk Lamando lalu bersamanya melompat. Mereka menyebur ke sungai. Arus sungai yang deras membawa mereka ke dasar.
Seketika Wa Ode telah berubah wujud menjadi buaya bersisik putih. Dia bawa Lamando dalam peluknya mengelilingi dasar sungai. Ada banyak buaya-buaya lain di sana. Rupanya di situlah itu rumahnya. Buaya lain adalah kerabatnya.
Lamando tersentak. Perempuan yang selama ini menamaninya adalah jelmaan buaya. Di tengah ketakutan dan kekalutan perasaannya, dia lalu berenang ke permukaan. Dia lari meninggalkan sungai Ue eno Lele Nigooli menuju ke bukit tempatnya tinggal.
Wa Ode mengejar Lamando. Dia ingin menjelaskan situasinya. Namun Lamando terus berlari. Setiba di gubuk, Lamando bersembunyi di tepian tebing. Hingga akhirnya dia jatuh dan tewas tanpa sempat mendengar penjelasan Wa Ode.
***
Kisah Lamando dituturkan dari zaman ke zaman. Kisah itu abadi dan diketahui hampir semua masyarakat Rongi. Kisah itu menjadi pelajaran agar masyarakat tidak sembarangan menerima orang lain.
Anak-anak diajarkan untuk tidak terpengaruh
bujuk rayu apalagi dari orang yang tidak dikenal, sekalipun berperangai dengan
tampilan sebagai bangsawan yang terhormat.
Kisah Lamando menjadi nyanyian kedelapan dari tiga belas nyanyian rakyat yang dilantunkan Pande Ngkaole dalam tradisi Batanda di setiap ritual tahunan Matogalampa di Rongi.
Ritual Matogalampa di Lapandewa, Buton Selatan (foto: Rustam Awat) |
Menurut beberapa orang, kisah ini menunjukkan adanya relasi antara pusat kuasa dengan negeri bawahannya.
Negeri Rongi yang merupakan bagian rumpun pasukan Matana Sorumba Lapandewa disimbolkan sebagai Lamando, seorang jelata miskin, kemudian dibujuk oleh Wa Ode sebagai simbol pusat kuasa untuk menjadi bagiannya. Di ujung cerita, semuanya jadi petaka yang membawa ke penaklukan.
Di lihat dari sisi ini, kisah Lamando adalah bagian dari strategi kultural dari satu komunitas untuk menola hegemoni dari pihak lain. Mitos dan kisah itu penting untuk mempertegas batas antara”kita” dan “mereka.” Melalui kisah itu, jarak terbentang, sehingga komunitas tetap bisa melihat dengan kritis semua relasi dengan penguasa.
Di masa silam, penduduk Desa Rongi, kini disebut Desa Sandang Pangan, bagian dari rumpun Lapandewa memegang peranan penting terutama dalam urusan pertahanan keamanan Kesultanan Buton.
Rongi ikut mengawal tugas yang diberikan pusat Kesultanan Buton yaitu mengawasi musuh yang mampu menerobos dan mendekati ibukota kesultanan. Penduduknya sering diminta berperang dan berkorban.
Penduduk Rongi juga secara khusus menjaga pergerakan musuh di wilayah sebelah timur yang berbatasan dengan wilayah adat sara Wabula dan di sebelah barat yang berbatasan dengan wilayah adat sara Sampolawa.
Untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara pusat Pemerintahan Kesultanan Buton dengan syara adat Lapandewa maka Parabela Lapandewa atau Kabelengkao tinggal di Rongi. Wakilnya -sering disebut Waci-- tinggal di Wabuea, kampung lama yang disebut Sempa-Sempa. Wabueya bermakna buaya betina. Kampung itu dinamai demikian karena terdapat gua dengan batu yang merupai buaya betina.
Tari Mangaru |
Kisah itu juga bisa dilihat dari sisi ekologis. Di banyak masyarakat, pernikahan antara manusia dan buaya ini sering ditemukan. Kisah itu punya makna ekologis agar manusia tidak memburu dan membunuh buaya. Manusia harus berdampingan dengan buaya, sebab ada pertalian hubungan keluarga serta saling kawin-mawin.
Kisah itu terbukti efektif menjaga relasi di masa kini, membuat manusia menyadari bahwa dirinya hanya satu bagian dari semesta ekoogi yang luas, di mana flora dan fauna juga ikut menjadi bagian penting.
Hingga kini, kisah Lamando dirawat dalam tradisi. Bahkan kisah itu diabadikan dalam kabanti, syair lokal yang berisikan pesan-pesan dan filosofi hidup. Syair kabanti Batanda dilantunkan di Rongi semalam suntuk dalam ritual tahunan Matogalampa.
Di situ, ada kisah
Lamando, anak muda yang menikah dengan buaya dan berakhir tragis. Di situ ada
kisah tentang pertalian manusia dengan semesta, menjadi bagian dari mata rantai
ekosistem, serta sama-sama hidup dan berdiam di bumi yang satu.
(tulisan ini
dibuat berdasarkan data dari budayawan La Yusri dan peneliti Yadi La Ode.
Pertama kali dimuat dalam buku Inspirasi Buton Selatan).