Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Ciuman Akrab ala Kupang


 
seorang teman di Kupang

DUA sahabat itu baru saja bertemu. Mereka berpelukan, sambil tertawa gembira. Tak cukup dengan berpelukan, mereka lalu berciuman. Wait, mereka tak benar-benar berciuman. Mereka hanya saling mempertemukan hidung masing-masing, lalu digoyangkan ke kiri dan ke kanan. Inilah gaya berciuman ala Kupang yang merupakan tanda keakraban.

Ketika berkunjung ke Kupang, aku menyaksikan dan menyenangi ekspresi kehangatan antar manusia. Aku menyenangi hal-hal kecil yang mendekatkan jarak antar dua manusia. Tradisi, budaya, hingga ritual ibarat tali temali yang menyatukan relasi antar beberapa pihak, sekaligus menjaga awetnya rasa, sesuatu yang berdenyut-denyut dalam diri ketika bertemu dengan seseorang yang amat dekat dengan kita.

Kata seorang teman, berciuman hidung adalah tradisi orang Sabu yang masih bertahan hingga kini. Warga setempat menyebutnya hengedo. Ada yang mengatakan kalau ciuman adalah sarana untuk menungkapkan gemuruh perasaan di hati. Ada pula yang mengatakan kalau ciuman hidung menunjukkan perdamaian dan keterbukaan hati. Yang kupahami bahwa pernyataan itu menunjukkan bahwa ada makna-makna indah di balik tindakan ciuman hidung. Aku menyukai filosofinya.

Barangkali, tradisi mencium seseorang sebagai tanda keakraban adalah sesuatu yang barangkali lebh tua dari peradaban manusia itu sendiri. Di berbagai tempat, manusia punya cara-cara sendiri dalam mengekspresikan tanda cintanya. Ciuman pun mengalami evolusi. Ketika budaya dan tata nilai mekar di berbagai tempat, yang kemudian membedakannya dengan masyarakat lain, ciuman mulai memiliki makna berbeda.

Aku teringat pengalaman beberapa tahun lalu. Aku agak terkejut ketika berkenalan dengan seorang teman asal Kolombia. Tanpa merasa risih, ia langsung mencium pipiku. Itu dilakukannya setiap kali kami ketemuan. Tadinya aku agak malu. Tapi beberapa hari kemudian, aku mulai berani. Ketika bertemu dengannya, aku langsung mencium, meskipun dengan pipi yang bersemu kemerahan. Cupp..!

Apakah ciuman itu adalah tradisi barat? Dulu aku berpikir demikian. Tapi pengalaman mengajarkanku bahwa timur pun memiliki tradisi ciuman untuk menunjukkan keakraban dan kehangatan persaudaraan. Makna yang indah itu kutemukan di Kupang, pada bumi yang dipenuhi dengan aneka pangan, serta dihangatkan oleh ringkik kuda di kejauhan.

Hingga akhirnya aku harus meninggalkan Kupang. Saat menunggu penerbangan ke Jakarta dari Bandara El Tari, Kupang, seorang sahabat tiba-tiba datang mengucapkan selamat datang. Ia menjabat tangan, lalu berbisik Selamat Jalan. Setelah itu, ia lalu mencium hidung. Terimakasih sahabat. 


Ketika sudah berada dalam pesawat, tiba-tiba saja aku ingin mengulanginya sekali lagi. Ah...




Kisah Papua, AIDS, dan Gadis Diskotik


beberapa gadis Papua yang menyambut di bandara

BARU masuk di Bandara Sorong, Papua Barat, aku langsung menyaksikan sebuah papan bertuliskan pemeriksaan HIV secara gratis. Ini bandara lho! Jika di gerbang masuk sudah ada pengumuman tentang HIV, maka boleh jadi penyakit ini menjadi momok bagi seluruh masyarakat Sorong, Papua Barat.

Saat seorang pria menjemput kedatanganku untuk dibawa ke Hotel Royal Mamberamo, aku semakin yakin kalau asumsiku tak salah. Pria itu bercerita tentang banyaknya kasus HIV di tanah Papua Barat. Katanya, gadis-gadis penjaja seks yang tak lagi laku di banyak kota akhirnya membanjiri Papua. Mengapa mereka sampai membanjiri Papua?

Mungkin problemnya terletak pada kultur. Orang Papua menganggap seks bukan hal yang tabu, melainkan sebagai hal yang biasa saja. Selain itu, ada anggapan kalau perempuan dari luar daerah justru lebih menggairahkan. “Orang Papua menyukai paha putih,” kata lelaki yang menemaniku keliling Sorong sambil tertawa.

Berbagai lembaga internasional telah memasuki Papua Barat demi menekan angka penderita Aids. Namun rasanya, pendekatan mereka lebih ke arah memadamkan api yang sudah terlanjur berkobar. Jika saja pendekatannya lebih ke arah memadamkan api selagi masih kecil, barangkali mereka bisa mengatasi satu masalah besar di kemudian hari. Nah, seberapa sabarkah kita untuk bisa mengatasi hal kecil demi mencegah hal besar?

Papua Barat ibarat neon yang dihinggapi banyak laron. Sebagai daerah pelabuhan dan transit, ada banyak orang yang berlalu-lalang di kota ini. Penduduknya juga lebih heterogen. Uang mengalir laksana sungai. Wajar saja jika di kota ini, diskotek tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Wajar pula jika banyak ladies berdatangan dan berharap untuk mengeruk uang di sini. Tak hanya datang bekerja, beberapa di antara mereka justru menularkan virus ganas itu, atau boleh jadi, para perempuan itu justru ditulari oleh lelaki pendamba kenikmatan itu.

Data terbaru menunjukkan bahwa total penderita HIV – Aids di Papua Barat berjumlah 3.150 orang. Jumlah ini cukup besar mengingat populasi Papua Barat yang tak seberapa besar. Data ini tidak termasuk berapa banyak orang yang tewas akibat digerogoti penyakit itu.

Di sekitar hotel yang kutempati, banyak diskotik yang selalu ramai hingga dini hari. Ketika melongok ke situ, ada banyak gadis-gadis seksi yang mengajak masuk ke dalam. Aku lebih tertarik melihat banyaknya warga setempat yang dipekerjakan sebagai bagian keamanan atau pelayan diskotek. Melihat mereka, ada sebersit sedih merayap di hatiku. Barangkali suatu saat, Papua Barat bisa menjadi lahan konflik baru ketika warga setempat hanya bisa menjadi jongos dari sistem kapitalisme ini.

Aku memutuskan untuk tidak melakukan pengamatan di banyak diskotik. Rasanya aku lebih baik melepas lelah setelah lama menempuh perjalanan dari Jakarta. Tak kusisakan energi untuk melihat-lihat diskotik di sana. Ketika hendak pulang, aku masih sempat melihat sebuah lambaian, serta cium jauh dari seseorang salah satu diskotik. Ada senyum manis dari pemilik bibir merah merona yang nampaknya sedang menunggu. Ah, maafkanlah. Aku ingin istirahat.



Di Balik Seraut Wajah Manis


 




“Beib.. Dadamu dibusungkan dikit dong. Biar seksi!”

DI depanku, seorang gadis muda berparas manis membusungkan dada. Si pemberi perintah adalah seorang penata gaya yang jalannya agak melambai. Gadis itu seorang model yang mengikuti semua arahan. Ia serupa lempung yang bisa dibentuk sesuai dengan keinginan sang pembuatnya. Bedanya adalah gadis ini punya jiwa, punya nyawa. Ketika ia diminta menatap kamera, apakah gerangan yang sedang dibayangkannya?

Aku bertemu gadis itu ketika sedang bersantai di kota tua, Jakarta. Gadis itu serupa lampu yang dikerubungi lalat fotografer. Rupanya ada promosi sebuah kamera digital terbaru. Sejumlah orang disuruh mencoba kamera itu. Gadis itu lalu menjadi obyek untuk difoto. Ia wajib mengikuti arahan. Kadang disuruh menatap kamera, membusungkan dada, atau malah disuruh berpose membungkukkan badan sambil menatap ke depan. Para juru foto lalu berlomba mengambil gambar dengan pose terseksi.

Aku lalu bergabung dengan para pengambil gambar. Setelah beberapa jepretan, aku memilih untuk menyaksikan dari kejauhan. Tiba-tiba, datang seorang perempuan di sampingku. Perempuan itu memakai topi lebar warna coklat. Dengan bersikap sok akrab padaku, ia lalu menunjuk gadis itu.

“Cantik khan?” katanya.
“Bagiku biasa saja,” kataku.
“Ah, pasti kamu bercanda. Semua orang bilang dia cantik,”
“Tidak. Bagiku, gadis itu terlalu kurus. Lihat pergelangan tangannya,”
“Kamu gak gaul sama model. Semua model harus langsing. Tapi seksi khan?”

Aku tak ingin berdebat. Bagiku, gadis model itu punya tubuh yang kelewat kurus. Ia serupa seseorang yang lama menderita sakit. Wajahnya memang manis. Tapi ketika kulihat badannya, tulang-tulangnya bertonjolan. Point-nya jatuh di mataku. Entah kenapa, perempuan di sebelahku menyebutnya cantik.


Aku lalu mengeluarkan sebungkus Sampoerna. Kusodorkan pada perempuan di sebelahku. Ia mengambil sebatang. Kuraba kantong celanaku untuk mengeluarkan zippo demi menyalakan rokok. Ternyata aku tak membawanya. Saat menoleh ke perempuan di sebelahku, ia langsung mengeluarkan korek gas, lalu membakarnya. Kami pun sama merokok.

“Cantik itu relatif” kataku memulai pembicaraan.
“Bagiku mutlak,” katanya.
“Apanya?”
“Semua orang punya standar sendiri. Tapi ada sesuatu yang universal.”
“Mungkin juga. Apa kamu mengenalnya?”
“Tentu saja. Dia kan saudaraku,"

Diskusi kami berakhir. Perempuan di sebelahku lalu beranjak. Kuperhatikan ke mana ia bergerak. Ternyata ia masuk ke dalam sebuah sedan putih yang diparkir di dekat Museum Bank Indonesia. Tak lama kemudian, mobil itu meluncur.

Lembayung senja tampak di ufuk Jakarta yang penuh asap. Aku lalu memasukkan kamera ke dalam tas kecil yang kusandang. Di ujung sana, pemotretan telah usai. Gadis model itu berjalan ke arahku sambil memegang jaket kulit hitam. Ia bertanya tentang perempuan yag tadi di sampingku. Saat aku menunjuk ke satu sudut, ia berterimakasih. Ia menjabat tanganku sambil menyelipkan sebuah kartu nama. Aku tak paham apa maksudnya.






Kupandangi kartu nama itu hingga tak sadar kalau dirinya telah menghilang. Di situ, tertera nomor telepon yang setiap saat bisa dihubungi. Entah apa maksudnya. Aku lebih suka merenungi kenyataan yang kusaksikan hari ini. Di kota seperti Jakarta, para model serupa pajangan yang indah dipandang. Mereka adalah porselen yang mempercantik ruangan. Demi kata cantik itu, mereka lalu mempermak diri dan tubuhnya agar sesuai dengan kriteria itu. Malah, mereka mengurangi porsi makan agar bisa lebih kurus. Padahal, survei membuktikan bahwa lelaki lebih suka pada perempuan montok.

Di balik seraut wajah manis itu, terdapat dunia yang serupa fatamorgana. Di luar nampak mentereng, tapi di dalam ada banyak cerita tentang gaya hidup yang glamour, atau affair dengan para esmud, sebutan lain untuk para eksekutif muda. Konon, banyak yang lalu terjebak dengan style ala metropolis, lalu memperkaya dirinya dengan barang-barang mahal. Demi barang mahal itu, mereka siap melakukan apa saja.

Entahlah. Aku tak ingin terjebak dengan prasangka. Daripada memikirkan sesuatu yang tidak-tidak, aku memilih untuk pulang ke rumah. Kupandangi kartu nama itu, sebelum akhirnya membuangnya ke dalam sebuah tong sampah. Semoga suatu saat angin akan mempertemukan kita.



Hikayat Lorong Janda di Barrang Lompo


seorang nelayan bersama anaknya
 
JIKA di Timor Leste dan Aceh terdapat kampung janda, maka di Pulau Barrang Lompo, yang terletak tak jauh dari Kota Makassar, terdapat lorong Janda. Jika di dua daerah sebelumnya, para suami tewas dalam suasana konflik sehingga meninggalkan banyak janda, di Barrang Lompo, para suami adalah para nelayan yang tewas saat menyelam. Jelang pilpres, apakah para capres kita sempat memikirkan banyaknya nelayan yang tewas di lautan ganas?


LEMBAYUNG senja nampak di ufuk barat. Perempuan itu tengah duduk di atas perahu yang diparkir di pasir putih Pulau Barrang Lompo. Di pulau kecil itu, ia seolah menunggu seseorang dari lautan. Di tengah suara ombak yang berdebur, matanya sangat peka menyaksikan siapapun yang datang. Bahkan hingga matahari  seakan ditelan oleh lautan, ia tak juga bertemu apa yang dicarinya. Ia lalu kembali ke perkampungan.

Keesokan harinya, kembali aku menemukan pemandangan yang sama. Perempuan itu selalu menghilang di lorong yang sama. Belakangan, beberapa penduduk mengisahkan bahwa perempuan itu tinggal di Lorong Janda, yang merupakan sebutan bagi sebuah lorong yang didiami banyak janda nelayan. Konon, lebih 100 nelayan tewas saat hendak menyelam untuk mengambil teripang di dasar laut.

Mereka yang tewas itu meninggalkan istri-istri yang harus tetap hidup untuk menafkahi keluarganya. Tak semuanya berhasil menemukan jodoh lagi. Sisanya harus hidup dan menjalani peran sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Merekalah yang kini mendiami lorong janda.

Mengapa sampai tewas saat menyelam? Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW), Muhammad Abdi, yang kutemui di dekat lokasi selam, menuturkan bahwa para nelayan itu tidak menyelam dengan alat selam canggih, sebagaimana yang disaksikan di acara-acara televisi. “Mereka menyelam dengan menggunakan kompresor, atau alat penyembur oksigen. Jelas sekali, alat itu bisa berbahaya bagi mereka saat di laut,” katanya.

Selama ini, aku hanya mengenal kompresor sebagai alat yang sering digunakan oleh tukang tambal ban demi mengisi angin di tepi jalan raya. Biasanya, alat itu berwarna merah. Bagaimana dan mengapa digunakan untuk menyelam?

“Selang kompresor dibawa oleh nelayan turun ke dasar laut. Biasanya, mereka jepit alat itu di mulut untuk kemudian dipakai bernapas,” kata seorang penyelam yang kutemui di dekat areal penyelaman. Tentu saja, udara yang dihasilkan pasti kotor. Para nelayan itu sedang bermain-main dengan bahaya. Namun, apakah mereka punya pilihan yang lebih baik untuk meningkatkan kegiatan ekonominya?

Biasanya, kompresor disambung dengan selang sepanjang 150 meter, lalu digunakan tiga penyelam sekaligus dengan cara dipasang bercabang. Para penyelam lalu masuk ke dalam laut dan mencari teripang di pasir atau yang terapung sepanjang jangkauan selang mereka. Mereka memakai kaca mata atau masker plastik yang menyuplai udara dari kompresor melalui mulut. Pakaian mereka seadanya, padahal semakin dalam, maka semakin dingin pula suhu. Mereka sering kehilangan panas tubuh yang kemudian menimbulkan keram atau kesemutan.

Di pulau kecil itu, aku juga bertemu dengan Daeng Reka, seorang nelayan pencari teripang yang lumpuh sejak enam bulan terakhir. Lelaki yang memiliki tiga anak ini dahulu mencari teripang dnegan cara menyelam dengan kedalaman hingga 20 meter selama setengah jam demi mengumpulkan banyak teripang. “Mengambil teripang itu sulit, apalagi kalau hanya andalkan kompresor. Saya juga ingin sekali pakai alat selam. Tapi mau beli pake apa?” katanya sambil memperhatikan kakinya yang kini tak bisa bergerak.

gerbang selanat datang di pelabuhan Barrang Lompo

anak-anak pulau sedang bermain dengan ikan Nemo

ikan Nemo di dalam gelas plastik

Sejak teripang menjadi komoditas yang mahal, para nelayan berusaha untuk mendapatkannya. Jika hanya menjadi nelayan biasa, penghasilan mereka hanyalah sekitar 70 ribu per hari atau sekitar 2 juta per bulan. Sementara ketika menjadi peyelam teripang, mereka bisa mendapatkan penghasilan hingga 2 juta dalam sepuluh hari. Di saat kebutuhan nelayan kian meninggi, serta keinginan untuk menyekolahkan anaknya ke kota-kota, mereka lalu tergiur untuk menjadi penyelam teripang.

Daeng Reka hanya bisa tersenyum kecut. Sejak dirinya menderita lumpuh, Daeng Reka tidak pernah ke dokter. Untuk mengobati kedua kakinya agar tidak terasa sakit sehingga ia hanya menggunakan obat tradisional yang diracik oleh keluarganya. Mungkin ini pula yang menyebabkan angka kematian nelayan terus meningkat.

Data yang dihimpun sebuah lembaga swadaya masyarat (LSM) beberapa tahun silam menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk pulau sebanyak hampir 4.000 orang, ada sekitar 800 orang yang menderita kelumpuhan. Banyak di antaranya yang menderita lumpuh sejak menjadi penyelam teripang.

***

DI Lorong Janda itu, aku melihat satu sketsa kehidupan yang menggiriskan. Para nelayan itu adalah para pejuang kehidupan yang mengerahkan segala daya demi mencukupi kebutuhan keluarga. Mereka pun ingin menggapai zona nyaman, menyekolahkan anak-anaknya ke kota besar, serta memiliki rumah bagus, lalu menggapai gelar haji.

Mereka menempuh berbagai risiko berbahaya demi orang-orang di sekitarnya. Mereka adalah para lelaki yang memilih untuk bertarung demi memenangkan kehidupan. Demi menggapai kehidupan yang lebih nyaman itu, mereka mempertaruhkan nyawa, lalu meninggalkan para istri yang terpaksa harus menghidupi keluarganya dalam situasi yang serba terbatas.

berpose di perahu nelayan

menuju Barrang Lompo

Sayangnya, pengetahuan yang terbatas serta kurangnya pehatian dari pemerintah dan lembaga terkait menjadi penyebab kian banyaknya nelayan yang tewas saat menyelam. Malah, pemerintah sering tak menawarkan solusi ketika melarang nelayan mengambil teripang. Di beberapa kepulauan seperti Natuna, aku mendengar informasi bahwa para nelayan membuat konsensus untuk berhenti menyelam dengan kompresor. Hanya saja, tak semua pulau memiliki kesepakatan seperti itu. Para nelayan akhirnya terpaksa menyelam demi kehidupan yang lebih baik, sebagaimana yang disaksikannya di berbagai televisi.

Di Lorong Janda itu, aku menyaksikan satu keping kegetiran. Daeng Reka tak tahu harus menjawa apa ketika kutanyai tentang pemilihan presiden. Ia hanya menjawab dengan suara lirih, “Saya ingin presiden yang punya kepedulian pada nelayan. Saya ingin yang bisa membantu masyarakat nelayan. Saya tak ingin yang hanya bisa berkoar-koar, tanpa ada bukti.”

Aku terdiam. Sementara di televisi, ada tayangan tentang seorang calon presiden yang datang mendaftar dengan iringan ribuan massa yang berteriak-teriak Allahu Akbar. Hey, apakah ada nelayan di barisan itu?



Kelakar Sehat Orang Papua


bersama para penari di Papua Barat


ENTAH kenapa, dari sekian banyak sahabatku di Papua, semuanya kocak-kocak. Mereka tak ingin banyak pusing atau stres. Mereka amat produktif menciptakan banyak humor-humor yang sanggup membuat perut sakit saking seringnya tertawa. Pada mereka kutemukan kebahagiaan serta pandangan bahwa hidup ini tak usah dibuat terlalu serius. Hidup ini harus dilihat secara simpel, dari sisi yang paling kocak. Iya khan?

Dua hari lalu, aku berkunjung ke kota Sorong, Papua Barat. Aku ikut dalam rombongan kementerian. Kami menggelar rapat bersama aparat pemda beberapa kabupaten di Papua, serta beberapa tokoh masyarakat. Kami hendak memantapkan persiapan Sail Raja Ampat yang akan diadakan sebulan lagi.

Sejak pertama tiba, aku sudah membayangkan situasi yang berbeda. Rombongan Jakarta dipimpin oleh seorang pejabat yang sangat serius. Ketika rapat dimulai, sang pejabat itu kembali serius. Ia tak pernah mengemukakan kelakar. Biasanya, semua orang, terutama para stafnya, akan lebih banyak diam dan mendengarkan. Pejabat itu sangat suka menjelaskan beberapa hal jlimet, dengan bahasa yang ilmiah. Saat bahas kebijakan serta visi kementeriannya, ia sangat fokus. Mungkin saja keseriusan itu akibat dari tingginya volume pekerjaan serta keinginan untuk berprestasi. Entahlah.

Lain halnya dengan teman-teman dari Papua. Sejak pertama datang, mereka sudah sibuk membahas hal-hal yang lucu, sembari tertawa. Ketika mengikuti rapat, mereka hanya fokus selama 10 atau 15 menit, dan selajutnya diisi dengan membahas hal-hal yang tak perlu. Namun aku justru amat menyenanginya.

Pejabat itu menjelaskan tentang perntingnya tanaman maskot. Ia meminta agar semua daerah di Papua menyiapkan tanaman maskot, yang nantinya akan ditanami oleh Presiden SBY dan Ibu Ani saat Sail Raja Ampat. Ketika ditanya tentang tanaman maskot, sahabat-sahabat dari Papua itu menjawab dengan lelucon.

“Bapak-bapak harus punya tanaman maskot. Apa bapak dari Manokwari sudah punya tanaman itu?” tanya sang pejabat.
Sudah ibu,” kata lelaki asal manokwari itu dengan yakin
“Apa tanamannya?”

“Namanya daun bungkus. Itu maskot Papua,”

Mendengar kata Daun Bungkus, semua orang Papua terpingkal-pingkal. Aku pun ikut tertawa keras. Sementara sang pejaat itu tetap serius. Malah, ia mencatat usulan dari orang Papua itu tentang daun bungkus sebagai maskot daerah. Pejabat itu tak paham bahwa daun bungkus adalah jenis daun yang berfungsi untuk memperbesar kemaluan. Khasiat daun itu serupa ramuan Mak Erot yang cukup legendaris di Jawa Barat sebab dianggap bisa memperbesar kelamin pria.

Apakah daun bungkus adalah maskot Papua?

Ternyata sahabat yang mengusulkan itu hanya bercanda. Ketika semua orang selesai tertawa, ia lalu menyebut beberapa tanaman. Di antaranya adalah pohon matoa, buah merah, serta sukun. “Kabupaten Raja Ampat terkenal dengan sukunnya. Kalau ada sukun enak di Papua ini, pasti langsung diblang dari Raja Ampat,” kata seorang warga.

koteka

lukisan dinding
anak kecil yang sedang memancing

Sepuluh menit selanjutnya, diskusi mulai serius. Namun ketika membahas tentang perlunya mendatangkan duta wisata dari beberapa daerah yang pernah mengadakan Sail Indonesia yakni Wakatobi dan Manggarai, kembali seorang sahabat mengajukan ide kocak.

“Kalau Wakatobi, tidak usah datangkan duta wisata. Bikin habis ongkos. Lebih baik jemput orang Buton di pasar, terus kasi pake baju adat. Murah khan?” katanya.

Semua orang tertawa sebab menyadari tentang betapa banyaknya orang Wakatobi, maupun Buton di Papua Barat. Beberapa orang setuju dengan alasan itu. Daripada jauh-jauh mendatangkan duta wisata dari Wakatobi, lebih baik meminta warga Papua asal Wakatobi yang berpakain adat. Idenya cukup cerdas.

Sayangnya, sang pejabat itu tak juga bisa menemukan bagian lucu dari saran sahabat di situ. Pejabat itu masih tetap serius. Ia lalu bertanya dengan serius.

“Apa masih ada tanaman maskot lain?” tanyanya.
“Ada ibu. Namanya daun gatal,” kata seorang peserta diskusi.

Kembali semua orang tertawa, ketika sang pejabat itu hanya diam. Aku pun ikut tertawa keras. Seusai diskusi, aku mencatat hal penting. Bahwa para sahabat dari Papua itu mengajariku sesuatu yang sederhana, namun amatlah penting dalam menata kehidupan. Bahwa di tengah kompleksitas masalah serta kesibukan yang bertubi-tubi, rasa humor harus tetap dijaga demi menjaga mood serta menjalin keakraban.

Selagi sesuatu bisa dihadapi dengan bercanda, lantas kenapa pula harus sangat serius? Bukankah dengan bercanda segala hal menjadi cair? Bukankah pula rajin tertawa, sebagaimana sahabat dari Papua itu, amatlah menyehatkan bagi tubuh?




Ikan Nemo di Barrang Lompo


anak kecil dengan ikan Nemo di Barrang Lompo

DI Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan, aku melihat seorang nelayan yang membawa ikan-ikan hias di perahunya. Ketika kudekati, ada banyak ikan kecil berstrip merah dan kuning. Aku langsung kaget, Ternyata ikan itu adalah ikan Nemo, yang pernah tampil dalam film Finding Nemo. Berapa harganya? “Seribu rupiah per ekor,” kata nelayan itu. Hah?

Jelas saja aku terkejut. Di banyak kota, ikan hias itu dijual amat mahal. Sementara di Pulau Barrang Lompo, ikan itu justru tak berharga. Ikan itu kemudian dipasok oleh nelayan ke pedagang ikan hias yang tersebar di kota-kota. Nelayan itu tak banyak mendapat untung, sementara pedagang justru bisa kaya gara-gara ikan itu.

Aku lalu mengeluarkan uang empat ribu rupiah. Nelayan itu menyimpan empat ikan ke dalam gelas plastik. Kukatakan padanya bahwa aku hendak memotret ikan itu. Saat mengambil beberapa gambar, datang seorang gadis kecil yang juga ingin difoto. Kuminta ia memegang gelas berisi ikan itu. Setelah beberapa jepretan, aku memperlihatkan hasilnya. Anak kecil itu tersenyum senang.

Ketika mengingat film Finding Nemo, aku mengingat sahabatku Jaya. Katanya, tujuan film itu adalah mengajak anak-anak untuk menyaksikan ikan Nemo di habitatnya. Sayangnya, yang terjadi adalah eksploitasi ikan tersebut untuk kepetingan komersial. Dari karang-karang indah di Pulau Barrang Lompo, ikan itu lalu dibawa ke kota-kota untuk kemudian didagangkan ke banyak warga-warga kaya yang ingin mempercantik rumahnya, atau mungkin memberikan hiburan bagi anak-anak kecil.

Aku memikirkan mata rantai perjalanan ikan itu. Rasanya, ikan itu lebih baik tetap tinggal di habitatnya, ketimbang harus pindah ke banyak akuarium, atau menjadi tontonan anak kecil di satu rumah mewah berlantai marmer. Rasanya, jauh lebih baik menyaksikan ikan itu di dasar laut, di tengah karang-karang indah, ketimbang memajangnya di akuarium. Yah, aku miris dan sedih juga ketika merenungi kenyataan ini. 

Sebelum beranjak, kuambil gelas berisi ikan Nemo itu, lalu melepasnya ke laut. "Good bye Nemo. Say hi to Dori and also the turtles.."

nelayan yang membawa ikan hias
 
ikan Nemo di dalam gelas (1)



Seorang Filsuf yang Berbaju Unik


sahabat bernama Jasa saat sedang beratraksi di Kota Tua

IBARAT sebuah panggung besar, kota Jakarta menjadi ruang hidup dari sedemikian banyak orang. Seringkali kita hanya fokus pada sejumlah sosok penting dan tersohor, dan mengabaikan jutaan manusia lain yang berjibaku demi memperpanjang kehidupan. Merekalah para warga biasa yang mengasah dirinya untuk selalu survive, dan tak sudi terseret ombak kehidupan.

***

LELAKI itu memakai jas berwarna keperakan. Topinya juga keperakan. Sepintas, ia mengingatkanku pada sosok Joker dalam film Batman. Lelaki itu tersenyum saat melihatku. Namun aku justru tidak tersenyum. Aku justru tersentak saat melihat dirinya yang seolah berbaring di udara. Belum reda keterkejutanku, ia menyapa, lalu sedetik berikutnya, kepalanya seolah terlepas. Wow..!

Aku lalu mendekat dan tersenyum kepadanya. Kumasukkan beberapa lembar uang ke keranjang kecil di hadapannya. Ia semakin tersenyum lebar, lalu melanjutkan atraksi duduk dan baring di udara. Hingga senja mulai memeluk sore di Kota Tua, Jakarta, ia masih setia beratraksi. Banyak orang menyimpan uang di keranjang itu. Dan ketika malam memayungi langit, ia lalu berkemas untuk pulang.

Ketika adzan Isha berkumandang, ia lalu bersiap-siap hendak pulang. Aku lalu mendekat dan mengajaknya kenalan. Namanya Jasa. Ia berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Berbeda dengan para manusia batu atau pemakai kostum unik di kota tua, ia mengaku bekerja sendirian. Ia tak terikat dengan manajemen manapun. Ia mengembangkan beberapa trik, latihan selama beberapa bulan, serta berlatih cara menghibur orang  banyak, sebelum akhirnya tampil di Kota Tua.

“Kerja seperti ini butuh kreativitas tinggi. Gak mungkinlah orang-orang akan mendekat dan melempar uang ke keranjang jika tak ada hal unik yang kita tawarkan,” katanya sembari berkemas.

Ia berbicara tentang pentingnya kreativitas. Aku ingat di beberapa seminar bisnis, para pemateri terus mengampanyekan kreativitas. Rhenald Kasali, Hermawan Kertajaya, dan Mario Teguh juga selalu bicara tentang pentingnya kreativitas. Namun pembahasan pria ini lebih menarik. Sebab ia berbicara tentang hal-hal yang sederhana, serta berbasis pada pengalaman. Melalui hal sedehana yang dilakukannya, ia lalu membuat premis-premis tentang kehidupan. Jika rumus yang diyakininya gagal, pastilah ia akan memunculkan strategi lain. Ia seorang pemikir sekaligus manajer yang siap mengoperasionalkan gagasan.





Tiga kali kutanya tentang rahasia triknya yakni berbaring di udara. Tapi ia selalu menggelang. Ia tak mau mengungkap rahasianya. Ia hanya memberi sedikit clue atau petunjuk. “Saya butuh sekitar dua bulan untuk latihan. Itupun, otot-otot saya kaku. Untungnya, saya berhasil, Saya masih mengevaluasi trik ini. Kalau publik sudah bosan, saya akan menggantinya dengan trik lain,” lanjutnya.

Ia sangat bersemangat. Tiga tahun silam, ia adalah pemain teater di Magelang, Jawa Tengah. Ia biasa tampil di panggung. Hingga suatu hari, nahas menimpanya. Ia kecelakaan. Lebih tiga tahun, ia hanya tinggal di rumah demi memulihkan kondisi fisiknya. Pada suatu hari, ia memutuskan untuk ke Jakarta. Setelah mencoba beragam profesi, ia akhirnya memilih jadi pekerja kreatif di lapangan depan bekas kantor Gubernur Hindia Belanda di Kota Tua. Di situlah ia menemukan penghidupannya.

“Saya lagi mempersiapkan atraksi baru. Pasti akan heboh. Nanti, saya akan bisa terbang selama beberapa detik. Penasaran? Datang ke sini tiga bulan mendatang,” katanya.
“Hebat. Apakah kamu mendapat penghasilan cukup dari atraksi di sini,” tanyaku.
“Sebenarnya tak seberapa. Tapi saya bahagia menghibur orang lain. Bagi saya, tak perlu banyak duit. Yang penting halal dan bukan hasil korupsi. Yang penting, kehidupan tetap ngasih rezeki. Biarpun tak seberapa bagi orang lain, bagi saya itu sangat bernilai,” katanya lalu tersenyum.

Aku terkesima. Ternyata bangsa Indonesia tak pernah kehilangan energi kreatif dan kearifan. Pada mereka yang bekerja di jalanan ini, selalu ada elemen shock yang membuatku terus menghargai betapa hebatnya masyarakat kita mengasah diri, lalu mengemas setiap pengalaman menjadi nutrisi yang memperkaya kehidupan.

Pada lelaki seperti Jasa, aku menemukan kearifan memaknai hidup, kejujuran dalam menghadapi hari-hari yang kadang berat, serta keyakinan bahwa membahagiakan orang lain jauh lebih penting daripada sekadar mengincar materi dan penghidupan yang layak. Pada dirinya, aku menemukan cermin untuk melihat kehidupan dengan lebih positif dan lebih bening. Ia adalah filsuf muda yang berpakaian unik demi menjaga agar nadi kehidupan tetaplah berdenyut.

Jika kehidupan ini ibarat persimpangan yang sering mempertemukan kita dengan orang lain, semoga kelak, aku dan dirinya masih akan dipertemukan dalam satu resonansi gelombang yang sama.  Setidaknya, di Kota Tua kami bisa bertemu dan berbincang barang sepatah atau dua patah kata.



Ultah Jusuf Kalla yang Tak Biasa


saat acara ultah

DI tengah suhu politik yang kian memanas serta banyaknya pertemuan para politisi, mantan Wapres Muhammad Jusuf Kalla justru menggelar hajatan yang sederhana namun penuh makna. Ia dikelilingi para kerabat, sahabat, serta sejumlah pesohor negeri ini.  Ia merayakan ultah ke-72, yang diwarnai kejutan tak biasa dari beberapa orang. Apakah gerangan?

 ***

RUMAH di Kebayoran itu nampak lebih ramai dari biasanya di hari Kamis, 15 Mei 2014. Di depannya ada banyak mobil yang terparkir di tepi jalan. Banyak orang datang dengan memakai baju batik yang rapi.  Di depan rumah itu, sejumlah polisi dan tim penamanan ikut berjaga.

Gerbang rumah itu terbuka lebar. Meskipun banyak penjaga, namun semua orang bebas keluar masuk. Saya datang bersama para sahabat dari Institut Pertanian Bogor (IPB), serta Rektor Universitas Trilogi Jakarta. Kami langsung melewati penjaga, lalu masuk ke pintu depan, hingga akhirnya ke ruang tengah dan bertemu dengan pemilik rumah, Muhammad Jusuf Kalla (JK).

Saat itu, JK tengah berbincang santai dengan beberapa orang. Ketika kami datang, ia lalu menoleh ke arah kami, kemudian datang berbincang-bincang. Kang Asep, Rektor Untri, lalu mengobrol dengan Pak JK tentang agenda diskusi di kampusnya yang rencananya akan dihadiri Pak JK.

Saya lalu memutuskan ke halaman belakang. Di taman kecil itu, ada banyak makanan tersedia. Saya melihat ada beberapa pengamat politik, di antaranya adalah Tjipta Lesmana dan Eep Saefullah Fattah. Tak jauh dari situ, ada pula Fahmi Idris (mantan menteri tenaga kerja), Hamid Awaluddin (mantan menteri kehakiman), serta beberapa orang tokoh politik yang wajahnya sering tampil di layar kaca. Ketika memperhatikan mereka, datang Boge Rahman Farisi yang mulai sering tampil di layar kaca. Kami lalu bercerita hal-hal ringan tentang keluarga.

Di acara itu, saya juga bertemu Syamsu Rizal, yang kini menjadi Wakil Kota Makassar. Kami bercerita hal yang lucu-lucu sembari tertawa ngakak. Rupanya, Syamsu Rizal sengaja datang ke Makassar demi menghadiri acara itu. Padahal, ia baru seminggu dilantik di jabatan barunya. Ketika kami berbincang, Pak JK sempat datang nimbrung dan bertanya, “Gimana Pak Wakil? Saya dengar saat pelantikan ada kebakaran besar yaa?” tanyanya.

bersama Wakil Walikota Makassar, Syamsu Rizal

Memang, ketika pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Makassar, kebakaran melanda pasar sentral. Konon, kebakaran itu adalah yang terbesar dalam 20 tahun terakhir ini. Makanya, ketika mendaat pertanyaan Pak JK, Syamsu Rizal lalu menjelaskan penanganan yang dilakukan pemkot. Saa bercerita, saya lalu menyela, “Gimana kalau foto dulu. Ayo semuanya ambil posisi. Senyum yaa. Ciisss..”

Menjelang siang, rumah itu kian kebanjiran tamu. Pak JK lalu mempersilakan semua tamu ke sebelah rumahnya. Ternyata rumah di samping itu didiami oleh seorang anaknya. Di situ, ada tenda besar serta meja kursi yang disusun serupa lobi hotel. Pak JK lalu mendatangi satu meja yang di atasnya terdapat sebuah kue besar bertuliskan Selamat Ulang Tahun Pak JK. Di atas kue itu, ada lilin berbentuk angka 72. Rupanya, Pak JK merayakan ultah yang ke-72.

Hamid Awaluddin lalu bertindak sebagai MC. Ia mempersilakan Pak JK untuk meniup lilin ultah. Rupanya, Pak JK meminta cucu-cucunya untuk ikut meniup. Suasananya sangat meriah sebab semua hadirin bertepuk tangan lalu ikut menyanyi. JK lalu mempersilakan Sekretaris Dewan Masjid Indonesia (DMI) untuk membacakan doa. Setelah itu, suasananya kembali meriah.

Saya beberapa kali menghadiri acara yang diadakan di rumah Pak JK. Kesan saya selalu sama yakni beliau selalu berusaha untuk dekat dengan siapa saja. Bahkan ketika menjadi wapres pun, ia menghindari keprotokoleran yang kaku. Ia lebih suka bertemu dengan siapa saja secara langsung, tanpa diwakili.

Usai bernyanyi, Hamid lalu mengumumkan bahwa akan ada kejutan. Ia mempersilakan Pak JK membuka sebuah tirai yang dipakai untuk menutupi sesuatu. Ternyata, di situ ada setumpuk buku berjudul Rekam Jejak JK yang ditulis Prof Wim Poly, seorang ekonom yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Ternyata, yang tak biasa dari ultah itu adalah adanya beberapa buku yang ditulis tentang beliau. Hamid sempat menjelaskan secara singkat tentang isi buku itu, setelah itu, ia mempersilakan smeua orang untuk ikut mengambilnya. Saya sangat senang karena diberikan satu buku.

buku Rekam Jejak JK

memotong kue
JK berpose bersama tamu-tamu

Belakangan ini, ada banyak buku yang terbit mengenai JK. Berbeda dengan politisi lainnya, JK adalah politisi yang cukup sering diulas dalam banyak buku. Ia dianggap memiliki orisinalitas serta keberanian dalam mengeksekusi beberapa keputusan kontroversial. Ia berani pasang badan, sepanjang ia meyakini bahwa apa yang dikerjakannya benar. Mungkin karena alasan itu pula, banyak yang tidak menyukainya. Namun saya meyakini bahwa yang menyenanginya jauh lebih banyak. Buktinya adalah ultahnya dihadiri banyak orang.

Entah kenapa, banyak orang justru tak membahas politik di acara itu. Mungkin saja orang-orang paham bahwa momen acara itu bukanlah momen politik. Momennya adalah momen khidmat untuk mendoakan agar Pak JK selalu dianugerahi kesehatan dan kekuatan sehingga tetap bisa memberikan banyak kontribusi bagi bangsa.

Jelang pulang, saya menemui seorang staf pribadi Pak JK. Saya meminta agar beliau bisa menjadwalkan kehadiran Pak JK pada acara diskusi tentang resolusi konflik. Staf pribadi Pak JK bertanya tentang tanggal. Ketika saya menyebut tanggal 20 Mei, staf itu lalu menepuk jidatnya. Ia seorlah sedang berpikir keras. Ia lalu berkata dengan suara yakin.

Mudah-mudahan bapak bisa datang. Tanggal 20 Mei nanti, Pak JK akan menjalani tes kesehatan sebagai salah satu kandidat wapres di ajang pilpres,” katanya.
“Hah. Lantas Pak JK berpasangan dengan siapa?”

Staf itu tak mau menjawab dengan lantang. Ia lalu berbisik di telingaku dengan suara pelan. Tanpa mendengar kata-katanya pun, saya sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Saya rasa orang-orang sudah bisa menduga ke mana Pak JK akan berlabuh sejak bulan Januari silam.