Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2021

 


Tahun 2021 sudah berlalu. Bagi saya, ini tahun-tahun yang penuh perjuangan. Pandemi belum berakhir, malah berada di titik puncak. Saya pun kehilangan pekerjaan, dan terpaksa bertahan hidup dari tabungan. Rasanya lebih aman tinggal di rumah daripada sibuk mencari kerja.

Dunia di tahun 2021 persis dunia yang digambarkan dalam kisah-kisah bertemakan distopia. Setiap hari ada sirine ambulans. TOA masjid tak henti memberikan pengumuman ada lagi warga yang meninggal.

Di tahun 2021 dunia terasa horor. Kita ditantang untuk survive dan bertahan di rumah, sembari menundukkan kepala untuk teman dan sahabat yang berpulang karena pandemi.

Saat tinggal di rumah, saya hanya menghabiskan waktu untuk tiga hal: bermain bersama anak, menonton film, dan membaca buku. Di tahun ini, saya menghitung-hitung, porsi belanja buku lebih banyak di banding tahun-tahun sebelumnya.

Tahun 2021, budaya membaca saya mulai bergeser. Saya mulai terbiasa membaca di gadget. Sejak berlangganan Gramedia Digital dan Aplikasi Perpusnas, saya mengurangi intensitas ke toko buku. Lebih aman dan nyaman membaca atau membeli versi online.

Setahun silam, ada banyak buku dan artikel bagus mengenai pandemi. Tahun ini, tema-tema buku jadi lebih variatif. Ada beberapa buku yang saya baca dan meninggalkan jejak di kepala. Berikut, beberapa di antaranya:

 

The Age of Surveillance Capitalism (Soshana Zuboff)

Ini jenis buku yang muram. Isinya mengingatkan saya pada Homo Deus yang ditulis Yuval Noah Harari. Buku ini membahas tentang betapa kita hanya menjadi pion di tengah percaturan perusahaan teknologi informasi.

Setiap hari kita dalam pengawasan dari berbagai platform milik perusahaan besar. Kapitalisme telah mengawasi semua prilaku kita, lalu perlahan menggiring kita untuk menyukai lalu membeli sesuatu.


Teknologi perlahan mengubah peradaban kita. Dulu, ketika mesin cetak ditemukan Guttenberg, pengetahuan menjadi mudah tersebar ke mana-mana, yang kemudian menggoyahkan gereja di abad pertengahan. Teknologi mengkalibrasi ulang pemikiran kita, sehingga ilmu pengetahuan lahir sebagai anak kandungnya.

Kini, di era Zuckerberg, kapitalisme hadir dalam bentuk baru. Bukan lagi dalam iklan dan baliho, tapi dalam semua aktivitas yang terpantau di media sosial.  Shoshana Zuboff, professor perempuan di Harvard, memotret femomena ini dengan sangat baik. Dia membahas mutan baru dari kapitalisme yang menggunakan teknologi.

Zuboff menyebut mutan baru ini sebagai “kapitalisme pengawasan.” Kapitalisme ini bekerja dengan menyediakan layanan gratis yang digunakan oleh miliaran orang dengan senang hati, memungkinkan penyedia layanan tersebut untuk memantau perilaku pengguna tersebut dengan detail yang mencengangkan – seringkali tanpa persetujuan eksplisit mereka.

  

Vaxxers (Sarah Gilbert & Catherine Green)

Buku ini adalah kisah pertarungan manusia melawan virus Covid-19. Buku ini berkisah tentang Sarah Gilbert, peneliti yang mengembangkan vaksin Astra Zeneca. Buku ini ditulis bersama koleganya Dr Catherine Green.

Buku ini sama bagusnya dengan buku The Emperror of All Maladies: Biography of Cancer, karya Siddharta Mukherjee yang meraih Pulitzer. Dalam buku ini, kita diajak tur untuk melihat laboratorium tempat peneliti bekerja keras menyelamatkan umat manusia.


Saya ingat meme di Twitter, definisi superhero di abad ini sudah bergeser. Bukan lagi para jagoan dan pendekar. Mereka adalah para peneliti yang bekerja di laboratorium. Mereka mencari jalan untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan.

Buku ini mengisahkan suka duka dan perjalanan untuk menemukan vaksin. Kisahnya paling epik dalam sejarah manusia di abad ke-21, yang disebut banyak media lebih dramatis dari pendaratan manusia di bulan, sama hebatnya dengan penemuan DNA, serta lebih menegangkan dari perjalanan manusia ke puncak Everest.

Para peneliti melawan pandemi dengan senjata sains. Mereka menjalani momen yang mendebarkan di tengah badai. Mereka memisahkan fakta dari fiksi. Mereka bekerja untuk membuat vaksin dalam waktu singkat. Dunia menyaksikan kerja mereka, yang memberi nyala harapan bagi masa depan.

Sarah Gilbert mengibaratkan dirinya seolah masuk dalam 'a race against virus' atau balapan melawan virus yang memiliki kecepatan tinggi. Dia berpacu melawan virus yang dengan cepat menyebar. Setiap hari ada jutaan warga dunia meninggal.

Setiap hari, dia tertekan oleh pemerintah dan media yang tidak sabar menunggu hasil kerjanya.  Dia berkejaran dengan waktu dan memeras semua energinya untuk menemukan vaksin Covid.

  

Wali Berandal Tanah Jawa (George Quinn)

Ini buku yang bergizi dan ditulis dengan gaya memikat. Membaca buku ini serasa membaca catatan perjalanan yang ditulis seorang travel blogger atau penulis senior. Kita diajak mengikuti petualangan, perjumpaan, dan kelana dari seseorang di tanah Jawa. Bahkan kita ikut merasakan detak jantung dan tarikan napas penulisnya.

Saya nyaris tak percaya saat mengetahui penulisnya adalah seorang profesor di Australian National University (ANU). Gaya menulisnya mengingatkan saya pada buku Sembilan Wali dan Siti Jenar yang ditulis sastrawan Seno Gumira Ajidarma.


Bedanya, George Quinn tidak sekadar menyajikan catatan perjalanan. Ada dialog-dialog, diskusi dan renungan mendalam yang bisa dibaca dengan sederhana, namun terselip makna yang dalam. Di mata saya, dia menulis dengan kepiawaian seorang etnografer dalam melukis kebudayaan, teknik bercerita ala penulis novel, serta renungan mendalam ala seorang profesor.

Buku yang judul aslinya Bandit Saints of Java ini adalah kombinasi dari catatan perjalanan, kisah-kisah masa silam yang bergema hingga masa kini, juga sisi batiniah masyarakat Jawa yang tetap berdenyut di masa kini.

Penulisnya, George Quinn mencatat, di tengah Indonesia yang kian modern serta ada tarikan kuat untuk berislam ala Timur Tengah, orang-orang Jawa tetap mempertahankan tradisi ziarah dan mengunjungi makam-makam keramat.

Mereka tak sekadar ziarah. Ada upaya untuk menelusuri masa silam, membangun relasi kuat dengan tokoh yang hidup di masa lalu, lalu menyerap kekuatan masa silam untuk masa kini.

Buku ini memotret banyak paradoks yang memikat. Saya menemukan kisah para wali atau sunan yang nyentrik, filosofi Jawa, juga cerita mereka yang datang ziarah. Nuansanya yang ditulis sangat kaya.

Wajar saja jika buku ini mendapat penghargaan sebagai sebagai karya non-fiksi terbaik di Australia. Buku perjalanan, juga ilmu sosial, terbaik yang saya baca tahun ini.

  

The Nutmeg;s Curse (Kutukan Pala)

Buku The Nutme’s Curse ibarat keping yang hilang dari kisah kolonialisme dunia di abad ke-18. Selama ini, kita mengira, bangsa-bangsa asing datang mengambil pala, lalu  menguasai Nusantara. Jalur rempah terbentuk yang membawa banyak dampak dalam kehidupan kita.

Sejarah kita hanya berhenti di titik ini.


Menurut penulisnya, Amitav Ghosh, kisah pala belum berakhir. Justru pala adalah titik awal untuk memahami bagaimana perubahan iklim, kerusakan ekologis, serta krisis di masa kini. Kehancuran ekologi dimulai dari pandangan manusia yang melihat alam sebagai obyek dan sasaran eksploitasi.

Sebelum abad ke-18, pala hanya berasal dari sekelompok pulau vulkanik kecil di timur Nusantara, yang dikenal sebagai Kepulauan Banda. Saat menyebar ke seluruh dunia, pala menjadi sangat berharga.

Di Eropa abad ke-16, hanya segelintir yang bisa membeli rumah. Berkat pala, para pedagang Eropa menjadi penakluk dan penjajah. Masyarakat di daerah jajahan harus membayar mahal untuk mendapatkan akses ke komoditas berharga ini.

Amitav Ghosh berpendapat, nasib berdarah Kepulauan Banda memperingatkan ancaman bagi kita saat ini. Lintasan kekerasan di pulau penghasil pala itu  mengungkapkan pola pikir kolonial yang membenarkan eksploitasi kehidupan manusia dan lingkungan alam.

Kutukan Pala memaparkan argumen kalau dinamika perubahan iklim saat ini berakar pada tatanan geopolitik berabad-abad yang dibangun kolonialisme barat. Makanya, rempah-rempah, seperti pala, harus diletakkan sebagai jantung yang mengubah peradaban, mendorong manusia untuk eksploitasi alam demi mengejar kekayaan, lalu menyisakan nestapa bagi aman dan masyarakat lokal.

Seusai membaca buku ini, saya terkenang ucapan John Keay, penulis buku The Spice Route. “Sejarah dipenuhi paradoks. Tapi tidak ada yang sedahsyat kisah eksplorasi bumi yang diwakili perburuan rempah.”

 

The Banda Journal (Fatris MF)

Di tahun 2021, saya membaca tiga buku dari Fatris MF, penulis asal Minang. Ketiganya adalah The Banda Journal, Kabar dari Timur, dan Hikayat Sumatera. Ketiga buku ini sama memikatnya. Kekuatannya pada cara bertutur (storytelling) yang bisa bikin pembacanya betah mengikutinya.

The Banda Journal adalah kolaborasi antara naskah yang ditulis memikat oleh Fatris MF, dan foto-foto situasi terkini di Pulau Banda yang dihasilkan Muhammad Fadli.


Dalam buku ini, saya membaui aroma petualangan yang pekat. Fadli dan Fatris punya ketekunan ala peneliti dan kepekaan para jurnalis. Mereka datang berkali-kali ke Banda, merekam banyak realitas, mendialogkan dengan banyak naskah, lalu menjerat realitas itu dalam naskah dan foto.

Hasilnya adalah kolaborasi yang mengasyikkan. Gaya menulisnya bertutur dan membawa kita untuk menyelam jauh ke masa silam Banda, perjumpaan dengan banyak pendatang, hingga situasinya kini yang memilukan.

Banda dipotret dari banyak sisi, mulai dari penaklukan, kejayaan, hingga masa kini yang kondisinya kian menyedihkan. Tak ada lagi jejak Banda sebagai pulau yang dahulu menjadi incaran semua korporasi besar internasional. Hari ini, Banda adalah satu titik di peta besar Nusantara yang hanya punya kisah masa silam, tanpa kisah masa kini dan masa depan.

The Banda Journal memotret dinamika yang terentang beberapa abad, yang kemudian dikemas dengan gaya menulis ala etnografi. Kita menemukan timbunan kisah dan teks-teks masa silam yang dijalin dengan pengamatan mendalam di masa kini.

  

Marketing 5.0: Technology for Humanity

Buku ini adalah terapan dari berbagai pandangan tentang interaksi manusia dan digital. Sejujurnya, saya tak menemukan hal baru yang berbeda dengan buku Marketing 3.0 dan Marketing 4.0 yang ditulis Hermawan Kartajaya. Tapi buku ini lebih update dengan situasi kekinian.

Marketing 5.0: Technology for Humanity terasa lebh humanis. Buku ini menjelaskan lima trend yang mempengaruhi dunia pemasaran.


Pertama, munculnya generasi digital savvy. Generasi ini sering disebut milenial dan Gen Z. Mereka meramaikan wacana, menentukan arah baru di dunia kerja, serta mengubah lanskap komunikasi di abad ini.  

Kedua, gaya hidup Phygital semakin berkembang. Phygtal adalah singkatan dari Physical dan Digital. Di era ini, interaksi tidak lagi fisik, tetapi lebih banyak digital. Hampir semua kegiatan, mulai dari belanja, ngobrol, rapat, seminar, perkuliahan, hingga diskusi dilakukan melalui daring.

Ketiga, dilema digitalisasi. Kian massifnya penetrasi ruang digital dalam kehidupan kita menimbulkan banyak kekhawatiran. Ada banyak pekerjaan yang akan hilang. Ada banyak kecakapan baru yang dibutuhkan. Selain itu, ada kekhawatiran tentang keamanan dan ruang privasi yang kian terancam di era digital.

Keempat, makin sempurnanya perangkat teknologi. Berkat Google yang menyediakan platform gratis atau rumah bagi beragam aplikasi, setiap hari kita menyaksikan berbagai aplikasi yang memudahkan kehidupan manusia.

Kelima, munculnya simbiosis antara manusia dan mesin. Kolaborasi manusia dan mesin telah menjadi penanda abad ini. Mesin membantu manusia untuk menganalisis semua data dan memberi rekomendasi banyak kebijakan ekonomi baru.

Membaca buku mengenai marketing selalu membuat kaki terasa membumi. Orang marketing selalu tahu cara bagaimana menjabarkan perkembangan terbaru yang kemudian mengubah cara memasarkan sesuatu.

  

Jalan Panjang untuk Pulang (Agustinus Wibowo)

Sebagian orang tidak begitu suka buku terbaru karya Agustinus Wibowo ini. Buku ini tidak fokus kayak buku-buku sebelumnya yang berkisah tentang perjalanan ke satu lokasi. Buku ini setting-nya melompat-lompat. Mulai dari Cina, Mongol, Tajikistan, Papua New Guinea, hingga tanah Eropa.

Tapi saya justru sangat menyukainya. Bagian paling saya sukai adalah bab 2 yang membahas perjalanan menuju Papua New Guinea. Catatannya bikin saya merenung. Kita bertetangga dengan satu wilayah, tapi kita tidak banyak tahu tentang wilayah itu. Kita lebih banyak melihat ke negeri-negeri jauh di sana yang sejahtera, lalu abai pada mereka yang tinggal di samping republik kita, yang kondisinya bisa jadi lebih buruk.


Agustinus berkelana ke Papua New Guinea dan menemukan kenyataan perih tentang garis batas. Apa yang disebut sebagai garis batas itu sering kali sesuatu yang datang dari atas, tanpa sepengetahuan mereka yang tinggal di satu tempat.

Saya ingat pengalaman mengunjungi Sota, Merauke, perbatasan dengan PNG. Banyak warga Sota mengaku punya kebun dan keluarga di wilayah PNG. Namuns ejak garis batas antara Belanda dan Inggris dibuat, tiba-tiba saja mereka tidak bisa mengakses wilayah seberang.

Tulisan lain yang juga menarik adalah kisah mengenai mereka yang dituduh pemberintak, Agustinus bertemu para pejuang Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda hingga pejuang Papua Merdeka. Mereka sangat mencintai tanah airnya, dan punya cita-cita besar. Apa daya, langkah politik itu membuat mereka tercerai-berai dari tanah airnya sendiri.

Saya rasa, buku ini bukan sekadar catatan perjalanan. Ini kisah tentang mereka yang mempertanyakan identitas, politik, budaya, dan juga persinggungan dengan komunitas lain. Buku yang menarik.

  

Ten Lessons for A Post Pandemic World (Fareed Zakaria)

Ada dua kolumnis Amerika yang selalu saya buru karyanya. Mereka adalah Thomas L Friedman dan Fareed Zakaria. Mereka selalu membahas fenomena globalisasi, tatanan dunia, hingga perubahan sosial.

Terkhusus Fareed Zakaria, saya mulai mengikuti karyanya sejak membaca Post-American World (saya beberapa kali meresensinya). Menurut saya, dia penulis yang kritis dan berani. Dia mengkritik banyak negaranya sendiri, lalu membandingkannya dengan negara lain.


Dalam buku terbarunya, Zakaria membahas tentang apa dampak pandemi bagi tatanan dunia. Dia membahas bagaimana seharusnya institusi negara bekerja Menurutnya, Amerika Serikat adalah contoh buruk dari kualitas bernegara.

Institusi kesehatan di negara itu porak-poranda saat dihantam badai pandemi. Padahal negara lain justru bisa bertahan dan bisa tetap memberikan pelayanan terbaik. Kata Zakaria, terpenting bukanlah kuantitas, melainkan kualitas pemerintahan. Bukan soal seberapa besar suatu negara, tapi seberapa efektif melayani warganya.

Zakaria lalu membuat daftar 10 pelajaran dari pandemi, sekaligus memprediksi dunia pasca-pandemi. Di antaranya adalah maraknya digital, globalisasi tidak mati, dunia menjadi bipolar, dan banyak hal.

  

Humankind (Rutger Bregman)

Saya penasaran membaca buku ini karena ada endorse dari David Wallace Wells, penulis The Uninhabitable Earth. Dia mendiskusikan buku ini di twitter. Kebetulan pula, buku ini sudah ditranslet dan diterbitkan oleh Gramedia.



Berbeda dengan bukunya David Wallace Wells yang menawarkan distopia atau masa depan yang kelam, buku ini justru menawarkan harapan kuat tentang masa depan. Premis utama di buku berjudul Human Kind: Sejarah Penuh Harapan ini adalah manusia itu baik dan senang bekerja sama.

Kebaikan itu sudah muncul sejak eranya Homo Sapiens sejaman dengan Homo Neanderthal hingga ke eranya big data. Buku ini menggemakan gagasan filsuf Rousseau yang mengatakan manusia baik, dan memprotes filsuf Thomas Hobbes yang bilang manusia jahat.

Nah, tema yang dibahas memang agak rumit sebab menyangkut filsafat manusia. Namun cara bercerita dalam buku ini sangat memikat. Penulisnya banyak memakai contoh tentang manusia yang dibahas dalam buku fiksi. Gaya menulisnya mirip dengan buku Barking Up the Wrong Tree yang renyah dan sangat asyik diikuti.

Satu lagi. Saat membaca buku ini, saya teringat pada Steven Pinker, pemikir yang dikagumi Bill Gates, yang juga sangat optimis melihat masa depan manusia. Buku ini ibarat oase atau telaga jernih berisi harapan-harapan baik tentang manusia.

  

Stop Membaca Berita (Rolph Dobelli)

Barangkali, Rolf Dobelli menjadi musuh semua media. Dia menganjurkan untuk tidak rutin membaca berita di media.

Katanya, setiap hari kita diterpa dengan ribuan informasi. Mulai dari bencana alam, pandemi, perceraian artis, dan banyak hal. Sejak dua abad lalu, kita menciptakan pengetahuan beracun yang disebutnya berita. Berita seperti gula bagi tubuh. Terasa sedap, mudah dicerna, dan dalam jangka panjang bisa merusak.


Dia menyebut beberapa alasan untuk berhenti membaca berita. Katanya otak kita bereaksi secara tidak seimbang kepada tipe informasi yang berbeda. Kita mudah bereaksi dengan informasi yang memalukan, mengejutkan, berisik, dan cepat berubah.

Pihak produsen berita sangat pandai mengambil sisi yang mengejutkan otak kita. Pengelola media tahu persis bagaimana membuat makan malam kita terganggu. Kita gampang tersentak menghadapi fakta yang sensasional.

Katanya lagi, berita tidak selalu relevan. Hitung saja, dalam dua belas bulan terakhir, seseorang bisa mengonsumsi 10.000 potongan berita. Dalam sehari bisa lebih dari 30 berita atau informasi.

Terakhir, berita membuang-buang waktu. Setengah populasi manusia menghabiskan waktu untuk membaca kejadian-kejadian. Secara global, itu adalah kehilangan produktivitas.

Dia menganjurkan untuk abaikan berita. Bacalah buku-buku yang berkualitas. Ikuti artikel mendalam dengan argumentasi yang kuat. Sebab tidak ada yang mengalahkan buku dalam membantu kita untuk membuat keputusan besar dalam hidup kita.

  

Prisma: Globalisasi Digital

Ini bukan buku, melainkan jurnal ilmiah. Tapi saya ingin masukkan dalam daftar ini sebagai buku yang saya sukai. Isinya adalah kumpulan tulisan yang melihat berbagai dampak dari digital. Edisi ini mengajak kita semua untuk tetap kritis. Tidak lantas menelan mentah-mentah semua retorika mengenai revousi industri 4.0.



Saya menyukai artikel Heru Nugroho, pengajar UGM, mengenai nalar algoritma dalam masyarakat digital. Tulisan lain yang saya sukai adalah ekonomi digital. Ada rasa penasaran, apakah ini menguntungkan seluruh anak bangsa, ataukah hanya kelompok tertentu.

Setelah dekian dekade berlalu, jurnal Prisma tetap kritis dan keren. Tetap jadi jurnal ilmu sosial dan ekonomi paling eksis dalam sejarah republik ini. Tetap jadi rujukan bagi pengkaji. Tetap jadi barometer untuk liihat telaah para ilmuwan kita memahami fenomena. 

***

ITULAH sebagian buku-buku yang saya baca di tahun 2021. Masih ada beberapa buku lain yang menarik dan belum sempat saya tuliskan di sini. Ada beberapa novel dan fiksi bagus yang belum saya tuliskan.

Semoga di tahun baru, ada banyak buku bagus terbit dan mewarnai hari-hari kita. Bagi saya, surga adalah satu tempat yang penuh buku-buku. Melalui buku, kita bisa bertualang ke mana-mana, memandang ke mana saja, juga berdiskusi dan bertanya ke banyak orang.

Buku adalah cermin untuk melihat diri kita yang sering merasa hebat, padahal kita hanya berjalan di tempat. Kita tak bergerak.

 

BACA:

Buku yang Saya sukai di Tahun 2020

Buku yang Saya sukai di Tahun 2019

Buku yang Saya sukai di Tahun 2018

Buku yang Saya sukai di Tahun 2017

Buku yang Saya sukai di Tahun 2016

Buku yang Saya sukai di Tahun 2015