Koleksi Novel di Ruang Tengah


HAL pertama yang menarik hati saat tiba di Bau-Bau adalah perpustakaan mini yang dibuat Atun di dalam rumah. Ia mengoleksi novel-novel sebanyak satu rak yang cukup besar dan berisikan berbagai jenis novel, mulai dari yang ringan, hingga novel yang berkategori berat. Rencananya, ia ingin buka rental novel di kota sekecil ini, sebuah keputusan yang tidak teralu kusetujui sebab buku bukan untuk disewakan hingga lecek. Buku untuk dibaca dan diselami, dikayakan maknanya, menjadi obat bagi jiwa.

Buku-buku itu dipajang dalam sebuah rak di tengah rumah. Rak ini terbuat dari jati dan dulunya menjadi tempat bapak menyimpan berbagai buku-bukunya, baik buku sejarah, maupun buku-buku biografi. Setelah bapak berpulang ke Rahmatullah, selanjutnya nasib rak buku ini mengenaskan. Buku-bukunya raib entah ke mana, dan rak ini harus menerima nasib yaitu disimpan di dapur, menjadi tempat periuk yang pantatnya hitam seperti jelaga.

Andai rak ini seperti manusia, mungkin ia akan sangat bahagia. Di tangan Atun, rak itu mengalami transformasi dari tempat periuk hingga kembali jati dirinya sebagai tempat buku. Ia ‘naik kelas’ yang awalnya disimpan di dapur, kini disimpan di ruang tengah dan menampung berbagai jenis novel-novel yang baru-baru dan bagus kualitas cetaknya. Ia menjadi saksi dari sikap kami warga rumah yang setiap saat selalu memandanginya, melihat koleksi-koleksi buku, dan mereka-reka apakah kami sudah membaca novel itu ataukah belum.

Sebuah novel adalah sebuah dunia. Di dalamnya ada kisah tentang banyak orang dari berbagai bangsa-bangsa dengan dinamika dan karakter masing-masing. Melalui novel-novel itu, Atun sedang menganyam mimpinya. Ia sedang mencari titik pijak dunia dan karakter-karakter yang dipilihnya. Ia memandang dunia, kemudian mencari sosok yang diperankannya di situ. Semuanya dimulai dari koleksi yang disimpan dalam rak buku tua itu.(*)

0 komentar:

Posting Komentar