Melihat ada kata Cerita Laga di sampul novel itu, saya langsung membelinya. Sejak tahun 1990-an, saya penggemar setia semua cerita laga. Mulai dari kisah laga yang dibuat Asmaraman S Kho Ping Hoo, hingga novel-novel silat yang bertaburan di masa itu.
Saya masih bisa menyebutkan di luar kepala. Yang paling terkenal adalah Senopati Pamungkas, karya Arswendo. Selain itu, ada banyak cerita lain, mulai dari Wiro Sableng yang dijuluki Pendekar Kapak Mau Naga Geni 212, Pendekar Rajawali Sakti, Dewa Arak, hingga Pendekar Pulau Neraka.
Saya pun membaca beberapa cerita silat dari negeri Tiongkok, yakni Pendekar Pemanah Rajawali yang dikarang Jin Young, hingga Pedang Langit dan Golok Naga atau To Liong To. Ada pula cerita pendekar dari Jepang. Dua yang membekas di kepala adalah Musashi dan Taiko, yang ditulis Eiji Yoshikawa. Saking terkenalnya Musashi, sampai-sampai guru besar Fakultas Hukum Unhas, Ahmad Ali, menamai anaknya Musashi.
Di masa itu, cerita-cerita silat mudah ditemukan di mana-mana. Serial Kho Ping Hoo dan Wiro Sableng dijual di lapak-lapak koran dengan harga murah. Jika malas membeli, ada banyak rumah baca yang memberikan tarif murah untuk sekadar membaca di tempat atau dibawa pulang.
Kini. Cerita-cerita silat sangat sulit ditemukan. Terakhir, saya membaca serial Nagabumi yang dibuat Seno Gumira Adjidarma. Kesan saya, novel ini terlampau tebal. Terlalu banyak karakter yang berpetualang.
Belum lama ini, saat berkunjung ke toko buku, saya melihat novel Saga dari Samudra yang ditulis Ratih Kumala. Seingat saya, Ratih bukan penulis cerita laga. Terakhir novelnya yang saya baca adalah Gadis Kretek yang tak lama lagi tayang di Netflix.
Tapi saya penasaran dengan isinya. Apalagi waktu kecil, saya pernah menonton serial legenda di TVRI yang salah satu episodenya mengisahkan Jaka Samudra.
Novel ini bercerita tentang Jaka Samudra atau Sunan Giri. Di masa kecil, dia dihanyutkan dalam peti yang kemudian terapung-apung di laut Jawa. Dia ditemukan satu kapal dagang milik Nyai Ageng Pinatih. Jaka diangkat anak dan dibesarkan oleh Nyai Ageng Pinatih, syahbandar sekaligus saudagar kaya di Pelabuhan Gresik.
Nyai Ageng Pinatih diyakini berasal dari Campa, Vietnam. Almarhum suaminya adalah Patih Semboja, dari Kerajaan Blambangan, yang dikenal memeluk Hindu. Nyai mendapat izin dari Raja Majapahit untuk memiliki sebidang tanah di Gresik, yang kemudian dikelola untuk bisnis perniagaan.
Sejak kecil, Jaka Samudra sudah punya keistimewaan. Di antaranya adalah bisa memancaran sinar yang menyilaukan. Di saat bayi, sinar menyilaukan itu menyelamatkan nyawanya dan Nyai Ageng saat rombongan mereka diserbu para perampok.
Selanjutnya Jaka meninggalkan rumah utuk berguru pada Sunan Ampel. Di usia dewasa, Jaka tahu kalau ayahnya adalah Syaikh Maulana Ishak, salah satu penyebar Islam di Jawa, yang kemudian mukim di pasai.
Saya melihat tak ada hal baru dalam novel ini. Cerita tentang Jaka Samudra sudah pernah saya baca dan tonton di salah satu serial televisi. Meskipun mencantumkan kata laga, novel ini juga tak detail membahas laga.
Sangat beda dengan serial Kho Ping Hoo, yang membedakan antara Ginkang )ilmu meringankan tubuh) dan Iwekang (ilmu tenaga dalam). Bahkan serial Wiro Sableng digambarkan lebih detail. Saat Wiro hendak mengeluarkan pukulan sinar matahari, tangannya tiba-tiba putih keperakan dan menyilaukan mata. Demikian pula saat mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni, terdengar suara mengaung laksana ribuan tawon mengamuk.
Novel ini datar-datar saja. Tak banyak kisah adegan laga. Yang menarik buat saya adalah penggambaran bagaimana Islam masuk ke tanah Jawa dan perlahan menggantikan Hindu. Para wali atau penyebar Islam tidak digambarkan sebagai mereka yang datang membawa pengetahuan dan membawa masyarakat ke hidup yang lebih baik, melainkan sosok sakti mandraguna dan bisa berkelahi.
Novel ini mengingatkan saya pada buku The bandit Saints of Java yang ditulis George Quinn. Di satu bagian buku ini, dia menjelaskan, bagaimana lautan menjadi simbol dari kekuatan dan mukjizat dalam beberapa tradisi Islam.
Di khazanah Islam Jawa, ada dua sunan yang terkait erat dengan lautan. Pertama, Jaka Samudra yang secara harfiah bermakna Pemuda dari Lautan, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri. Kedua, Sunan Kalijaga, yang dalam banyak syair digambarkan berguru pada Nabi Khidir di satu lingkungan serupa lautan.
Dari penuturan George Quinn, saya mendapat kesan kalau kisah para wali lebih bernuansa mitos ketimbang sejarah. Ada banyak kisah yang tak punya bukti sejarah yang kuat, bahkan kisah itu sengaja dikaburkan, dengan dalih para wali sendiri yang tidak ingin sejarah hidupnya diketahui orang lain.
Dalam kisah Jaka Samudra di novel ini, kita disodori fiksi yang telah lama hidup di masyarakat dan diyakini sebagai kebenaran. Kita disuguhi kisah-kisah kesaktian, sesuatu yang identik dengan masa pra-Islam. Kita dihadapkan dengan kisah kehebatan seorang manusia, yang bisa menaklukan sihir seorang penguasa dari masa pra-Islam, kemudian menyunting seorang gadis, lalu mendirikan pondok pesantren.
Sebagai bacaan saat senggang, ini cukup menarik. Saya cukup terhibur.