Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Membaca Ulang Iksaka Banu



Sembari menunggu keberangkatan pesawat singa, saya membaca kembali buku kumpulan cerpen Semua untuk Hindia yang ditulis Iksaka Banu, yang direkomendasikan Prof Ariel Heryanto. 

Kesan saya tak berubah sejak pertama membelinya pada bulan Mei 2014. Buku ini tidak membahas sejarah yang hitam putih. Penulis, dengan berani, mengurai kisah dari sudut pandang orang Belanda yang dicap nista oleh sejarah kita. Ia melihat peristiwa dari sudut berbeda. Siapapun bisa berpotensi jahat, tanpa memandang warna kulit dan asal bangsanya.

Buku ini membentang sketsa watak manusia yang penuh warna. Di setiap kumpulan, ada manusia baik dan ada manusia jahat. Tergantung kita melihatnya dari sudut mana. Namun jika kita membebaskan diri dari segala prasangka, kita akan melihat semua sudut sama saja. Selalu ada dinamika. Selalu ada gejolak. Selalu ada kebaikan, juga kejahatan. 

Kolonialisme dan rasisme memang tengik. Tapi keduanya bukan sesuatu yang mudah dituding dan dijelaskan bentuknya. Keduanya tersimpan sebagai endapan pikiran dalam diri seseorang. Siapapun bisa kolonialis dan rasis sepanjang hanya mengakui eksistensi dirinya, tanpa membuka ruang untuk mereka yang posisinya berbeda. 

Atas dasar itu, saya tak henti mengagumi Mandela. Saat dia terpilih sebagai Presiden Afrika, setelah menjalani penahanan selama 27 tahun di Pulau Robben, Mandela tak lantas memusuhi, juga tidak membalas dendam pada orang kulit putih. Ia menawarkan permaafan, rekonsiliasi, dan menatap masa depan yang lebih cerah. 

Ia mengatakan, "Saya telah berjuang melawan supremasi kulit putih. Saya juga telah berjuang melawan supremasi kulit hitam." Yang dilawannya adalah sesuatu yang tumbuh bak parasit di kepala orang yang merasa memonopoli kebenaran. Ia menegaskan bahwa supremasi dan sikap merasa benar bisa tumbuh di mana-mana, dan menjangkiti siapapun. Ketika jadi pemimpin, ia tak membalas dendam. Ia memaafkan, tapi tak melupakan, sebab keping sejarah itu bisa saja tumbuh di masa depan. 

Saya pun terkenang Pramoedya Ananta Toer. Kata Pramoedya, kemerdekaan bukanlah hasil tempur di medan laga dengan senapan menyalak. Kemerdekaan bermula dari ide-ide kebebasan yang berkecambah pada pikiran yang terbuka dan peka dengan situasi terjajah. Kemerdekaan adalah akumulasi dari kerja banyak pihak, termasuk sejumlah kulit berwarna, kulit kuning, dan juga kulit putih yang menyemai ide-ide progresif. 

Dari sudut jendela yang di sana nampak pesawat singa, saya memikirkan banyak pertanyaan yang tak juga usai. Saya membayangkan betapa banyaknya belukar dogma dan sulur-sulur masa silam yang harus ditebas oleh anak bangsa. Saya membayangkan Ibu Pertiwi, yang entah apakah sedang bersusah hati ataukah bersuka hati. Semoga saja air matanya tak berlinang. Mungkin saja dia sedang lara, merintih, dan berdoa.




Saat Mahathir Menyengat Etnik Bugis

Mahathir Mohamad

NAMPAKNYA, isu SARA tengah hangat di mana-mana. Setelah Gubernur Anies Baswedan berpidato dan menyebut kosa kata pribumi yang memicu reaksi, kini mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menuai hal yang sama. Mahathir menyebut Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak sebagai lanun (perompak) Bugis, lalu memintanya kembali ke tanah Bugis. Pernyataan Mahathir memicu protes. Media-media di Malaysia membesarkan peristiwa ini. Bahkan, etnik Bugis di Malaysia menggelar protes dan menuntut permintaan maaf.

Pertanyaan penting yang pantas diajukan adalah bagaimanakah persepsi tentang Bugis yang sudah menyejarah di Malaysia? Apa hikmah yang bisa dipetik dari pernyataan Mahathir yang memicu protes keras dan reaksi spontan dari orang Bugis di Malaysia sana? Bagaimana memahami diaspora dan gerak orang Bugis yang menurunkan raja-raja di tanah Malaysia?

***

MULANYA acara itu adalah pertemuan yang diprakarsai Himpunan Rakyat Sayangi Malaysia bertajuk Sayangi Malaysia Hapuskan Kleptokrasy, pada 14 Oktober silam. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, berpidato dengan semangat yang berapi-api. Ia mengecam tindakan Perdana Menteri Najib Razak yang disebutnya melakukan korupsi uang rakyat.

“Negara kita hari ini dipimpin oleh penyamun, pencuri, perompak. Mungkin karena dia berasal dari lanun Bugis. Entah macam mana dia sesat sampai ke Malaysia. Pergi baliklah ke Bugis. Kerana kamu adalah bencana. Pencuri. Mencuri duit kita. Untuk kesenangan hidup mewah dirinya dan keluarganya. Termasuk istrinya Rosmah,” kata Mahathir. (selengkapnya bisa dilihat DI SINI).

Pernyataan Mahathir memicu reaksi keras. Media Malaysiakini.com melansir reportase mengenai protes keras dari Peratuan Bugis Johor. Salah satu pemimpin organisasi ini, Md Sah Daeng Matatah, mengatakan, pernyataan Mahathir telah menghina masyarakat Melayu Bugis di seluruh Malaysia, termasuk keluarga diraja.

"Tidak patut Tun Mahathir cakap begitu. Itu dah rasis. Berapa ramai orang Melayu Bugis di sini? Sultan Melayu ramai dari keturunan Bugis di Johor, Selangor, Perak, Kelantan dan ramai lagi. Orang Bugis bukan lanun. Itu (lanun) digelar oleh orang putih. Kita (Bugis) adalah pahlawan dan ini juga disebut dalam sejarah," katanya.

Kata Md Sah, sebagai seorang senior, Mahathir tak sepatutnya menghina suku bangsa orang lain. "Jangan hina orang Bugis. Tak patut dia cakap seperti itu. Dia sepatutnya jaga mulut. Patutnya sebagai orang yang sudah tua, dia kerap pergi ke masjid, sepatutnya dia bertaubat di hujung usia ini," katanya.

“Jika tidak tahu tentang Bugis baik jangan disebut sebab ia soal maruah kami. Orang Bugis yang berada di negara ini bukan sahaja duduk di Johor tetapi sampai ke Sabah dan Sarawak ada orang Bugis,” katanya.

Mantan pengurus Persatuan Bugis Johor, Lokman Talib menyebut perkataan lanun Bugis yang disebut Tun Mahathir sebagai keterlaluan. “Kenapa tidak suka dengan seseorang itu, bangsa dan keturunannya disebut-sebut, malah dikatakan pula lanun.
Perlu diingatkan ramai Sultan Melayu di negara ini berketurunan Bugis. Jadi saya minta supaya dia segera buat permohonan maaf sebab perkara ini sudah melibatkan maruah seluruh orang Bugis,” katanya. 

Media Sinar Harian yang terbit di Malaysia, melaporkan Persatuan Bugis Johor telah membuat laporan ke polisi demi menuntut Mahathir atas pernyataannya yang dianggap rasialis itu. Pemimpin organisasi ini, Datuk Awang Mohamad, mengatakan Mahathir mengguris hati masyarakat Bugis di Malaysia dan nusantara.

Reaksi serupa juga muncul dari Persatuan Asosiasi Bugis di Kota Tinggi. Pemimpinnya Abd Kader Baso mengancam akan melaporkan Mahathir ke Kepolisian Kota Penawar, Kota Tinggi, Johor. Mahathir didesak segera meminta maaf kepada masyarakat Bugis karena telah melukai hati orang Bugis. Perilakunya dinilai sama sekali tidak mencerminkan seorang negarawan.

Harian The Star juga mengutip pernyataan organisasi Persatuan Rumpun Bugis Malaysia yang mengecam Mahathir. Pengurus organisasi itu, Tasman Matto, mengatakan, Mahathir tidak seharusnya mengucapkan kalimat itu. “Bagaimana jika kami bertanya pada dia dari mana dia berasal?”

demonstrasi yang dilakukan orang Bugis di Putrajaya

Warga Malaysia mafhum kalau nenek moyang Mahathir berasal dari Kerala, India. Mahathir sendiri mengakui asal-usulnya dan kerap hadir di berbagai kegiatan yang menghimpun masyarakat keturunan India. Sebagai negara yang turut dibangun para imigran yang telah beranak pinak, sepantasnya Mahathir memahami keragaman etnik itu. Idealnya, dia menghargai asal-usul seseorang, tanpa harus melakukan diskriminasi berbasis ras.

Setelah pernyataan itu memicu reaksi, Mahathir coba mendinginkan situasi. Kepada media ia mengatakan tidak bermaksud menghina orang Bugis. Yang dikatakannya adalah lanun Bugis yakni perompak Bugis sebagai nenek moyang Najib.

Pernyataan Mahathir memang politis. Konteksnya adalah ada tuduhan terhadap Najib melakukan korupsi. Demonstrasi telah beberapa kali digelar demi memprotes Najib. Pernyataan Mahathir disampaikan dalam satu orasi politik yang isinya memprotes korupsi yang diduga dilakukan Najib. Hanya saja, pernyataan itu kemudian menyerempet isu etnik yang segera memicu protes dari berbagai kalangan orang Bugis di Malaysia.

Reaksi Indonesia

Dari Indonesia, reaksi protes juga bermunculan. Pakar filologi Universitas Hasanuddin, Profesor Nurhayati Rahman, turut membagikan link pernyataan Mahathir di media sosial. Nurhayati juga menulis dalam akun media sosialnya, "Luar biasa penghinaannya ke orang Bugis. Padahal Mahathir selama ini dikenal sebagai salah satu tokoh Asia Tenggara yang sangat bijak."

Reaksi juga muncul dari beberapa budayawan Bugis. Di antaranya adalah Idwar Anwar yang menyebutkan silsilah beberapa Raja di Malaysia yang merupakan keturunan Bugis. Kata Idwar, seharusnya Mahathir paham sejarah Melayu yang banyak dipengaruhi oleh keturunan Bugis. Idwar menyebut bangsawan dari Luwu yang membangun Malaysia, di antaranya adalah Opu Daeng Cellak yang kemudian menjadi Raja Selangor pertama.

Kontribusi orang Bugis pada dunia Melayu juga ditunjukkan lewat sosok Raja Ali Haji, seorang sastrawan yang perannya sangat penting. Ia adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 sekaligus pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu yang digunakan Malaysia. Raja Ali Haji adalah keturunan Opu Dg Cellak asal Luwu. Raja Ali Haji juga sekaligus cucu dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV dari Kesultanan Lingga-Riau (sekarang bagian Malaysia) sekaligus saudara Raja Lumu, Sultan pertama Selangor-Malaysia.

Ditambah lagi fakta bahwa dari sembilan raja yang pernah memerintah di Malaysia, pada umumnya merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu. Salah satunya pemangku Kerajaan Selangor yang merupakan keturunan dari Kerajaan Luwu.

Tebaran Hikmah

TERLEPAS dari kontroversi pernyataan Mahathir, setidaknya ada dua hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa ini.

Pertama, pernyataan Mahathir secara eksplisit menyampaikan begitu kuatnya pengaruh etnik Bugis di peta politik Malaysia. Dengan menyebut asal-usul Nadjib, ia menegaskan kekuatan etnik Bugis yang bisa menaikkan seorang warganya hingga ke tampuk pemerintahan tertinggi di negara itu.

Kedua, pernyataan Mahathir juga menunjukkan adanya prasangka (stereotype) terhadap orang Bugis yang dianggap sebagai lanun, bajak laut, atau perompak (pirates). Prasangka ini dahulu disematkan oleh para pedagang Eropa yang dahulu kerap bentrok dengan para pelaut Bugis di lautan Pasifik.

Akademisi Universitas Hasanuddin, Andi Ahmad Yani, mengatakan para pedagang Eropa kerap menyebut para bajak laut Bugis itu sebagai “Boogeyman” yang sering menjadi mimpi buruk bagi pedagang, sekaligus menjadi horor yang dibisikkan ke anak-anak kecil di Eropa. “Boogeyman” disebutkan tak kenal takut, menyeramkan, dan penuh keberanian.

Akademisi Malaysia, Zuraidah Ghaniat yang menulis buku tentang Bugis di Malaysia mengakui adanya anggapan tentang bajak laut ini. Zuraidah yang mengaku sebagai keturunan Bugis yang telah lama menetap di Malaysia, mengakui anggapan tentang Bugis di Malaysia sebagai petarung yang berani dan bajak laut yang efektif. Baginya, selama berabad-abad, orang Bugis adalah penjelajah lautan di Asia Tenggara. Orang Bugis punya dominasi di lautan.

Zuraidah Ghani dan buku mengenai Bugis yang ditulisnya

Zuraidah melakukan riset tentang Bugis dengan tujuan untuk mengingatkan generasi muda Malaysia akan asal-usulnya, agar tidak lupa pada budayanya sendiri. Dia menghabiskan waktu selama 10 tahun untuk riset tentang sejarah Bugis, filosofi hidup, dan pentingnya Bugis dalam kebudayaan Melayu di Johor dan Selangor, serta keluarga kerajaan.

Namun, anggapan bajak laut ini dibantah oleh peneliti Christian Pelras, yang menyebutnya sebagai prasangka yang justru keliru dan tak berakar. Kata Pelras, yang menulis buku The Bugis ini, anggapan keliru tentang Bugis telah lama ada di masyarakat sebab Bugis adalah suku bangsa hebat yang justru tak banyak dikenali. Salah satu informasi yang keliru itu ialah anggapan bahwa orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dulu kala. Makanya, tak tepat jika mereka disebut sebagai bajak laut (pirates).

Anggapan keliru ini bersumber dari banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh di berbagai wilayah Nusantara, dari Singapura sampai Papua, dan dari bagian selatan Filipina hingga ke pantai barat laut Australia. Anggapan ini, menurut Pelras, adalah keliru karena ”dalam kenyataan sebenarnya orang Bugis pada dasarnya adalah petani”, sedangkan aktivitas maritim mereka baru benar-benar berkembang pada abad ke-18.

Dalam hal perahu Phinisi yang terkenal dan dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk dan model akhirnya sebenarnya baru ditemukan antara pengujung abad ke-19 dan dekade 1930-an. Demikian pula halnya dengan predikat bajak laut yang diberikan kepada orang Bugis, sama sekali keliru dan tidak berdasar.

Walau Pelras menyangkal ciri kepelautan manusia Bugis seperti di atas, ia tetap mengakui adanya ciri-ciri khas yang melekat pada manusia Bugis. Salah satu ciri terpenting manusia Bugis ialah ”mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India”. Yang kedua ialah tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.

Di bidang kesusastraan, orang Bugis juga memiliki tradisinya sendiri, baik sastra lisan maupun tulisan. Catatan yang ditunjukkan oleh Pelras untuk hasil sastra Bugis itu ialah La Galigo. Karya sastra ini merupakan perpaduan antara sastra lisan dan tulisan dan merupakan salah satu epos sastra terbesar di dunia.

***

PERNYATAAN Mahathir disampaikan dalam konteks politik. Reaksi atas pernyataan ini tak perlu berlebihan. Kalaupun banyak orang Bugis di Malaysia yang ingin berlanjut ke ranah hukum, maka itu juga harus dilihat dalam konteks politik. Boleh jadi, iklim politik negeri itu dipengaruhi oleh iklim politik di sini, yang mudah tersinggung oleh satu pertanyaan, lalu buat demo berjilid-jilid.

Terlepas dari peristiwa yang tengah hangat di negeri jiran sana, satu hikmah yang juga tak boleh dilupakan adalah semakin hangatnya diskusi mengenai Bugis di Malaysia. Banyak orang yang mulai melacak asal-usulnya, menelusuri siapa nenek moyangnya, lalu berusaha membangun kembali jaringan kekerabatan yang nyaris punah.

Diskusi ini harus terus dimulai demi memahami diaspora Bugis serta jejaknya di banyak peradaban Asia Tenggara. Yang harus diperkuat di masa mendatang adalah kajian serta riset mendalam tentang Bugis dan semua suku bangsa lain sehingga di ranah akademisi tetap menjadi tuan di negeri sendiri. Indonesia harus memperkuat studi tentang masyarakatnya sendiri agar pengetahuan itu tidak lantas berpindah ke negara lain.

Jika tidak dikelola dengan baik, maka kekayaan intelektual, yang merupakan pusaka dan warisan dari nenek moyang, yang seharusnya berguna untuk memperkaya kearifan di jaman kini, akan menjadi milik bangsa lain. Pada titik itu, kita hanya bisa gigit jari.


BACA JUGA:








Jangan Bunuh Dwi Hartanto

Dwi Hartanto

JAGAD intelektual dan media di tanah air sontak heboh. Seseorang yang mengaku ilmuwan muda dan sempat dielu-elukan masyarakat, ternyata tak lebih dari seorang pembual yang merekayasa informasi dirinya hanya demi sanjungan dan ucapan “wow.” Sepekan terakhir, berbagai peristiwa yang mengungkap kebohongan itu bermunculan. Mulai dari dicabutnya gelar kehormatan dari Kedutaan Indonesia di Belanda, sidang komisi etik di satu kampus, hingga munculnya pernyataan resmi di atas kertas bermeterai.

Anak muda bernama Dwi Hartanto itu segera menjadi bulan-bulanan media massa. Dia dihabisi dan dituding sebagai pembual yang menimbulkan kehebohan. Dia dianggap sebagai biang dari semua histeria, yang kini dianggap sebagai hal memalukan bagi banyak kalangan. Anak muda itu dinyatakan bersalah dan harus menanggung semua akibat. Padahal, dia tak sendirian.

Dia berada dalam satu ekosistem media dan masyarakat yang ikut berkontribusi pada kebohongan skala berjamaah. Dia memang sukses mengecoh banyak orang, akan tetapi banyak orang justru menikmati kebohongan itu dan menangguk untung dari kehebohan itu.

Memang, anak muda itu berbohong. Tapi kebohongannya tidak akan menimbulkan skala heboh dan besar jika tidak diliput secara massif oleh banyak media. Kebohongan itu hanya akan menjadi obrolan lepas di warung kopi, jika saja tak ada satu program khusus televisi, dengan host cantik dan cerdas, yang kemudian ikut menyiarkan “prestasi” hebat anak muda itu. Cobalah hitung dengan seksama, berapa banyak pendapatan media dan stasiun televisi dari orkestra kebohongan yang melibatkan mereka?

Jika hari ini semua media seakan “membantai” anak muda itu, maka boleh jadi itu untuk menutupi rasa malu sebab telah ikut membesarkan si anak muda itu, menyebarkan kebohongan itu ke banyak titik, tidak melakukan cek dan ricek atas semua fakta. Hari ini, kita nyaris tak menemukan satupun berita yang isinya pengakuan salah dari media sebab telah ikut berkontribusi pada kebohongan yang direproduksi secara massal.

Marilah kita bersama-sama membuat pengakuan. Bahwa ada satu aspek paling penting dari disiplin media yang hilang, yakni disiplin verifikasi. Mahaguru jurnalistik, Bill Kovach, menyebut verifikasi sebagai sesuatu yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni. Infotainmen fokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.

Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.

Kata Bill Kovach, ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: (1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; (2) Jangan mengecoh audiens; (3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; (4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; (5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

Dalam kasus Dwi Hartanto, semua media hanya fokus pada apa yang diucapkan anak muda itu, tanpa mau berlelah-lelah untuk mencari informasi seberapa benar apa-apa yang dikatakannya? Mengapa tak ada yang sekadar iseng mengecek melalui Paman Google, apakah pada lomba sains tertentu, si anak muda itu benar mendapatkan award tertinggi? Atau hal paling mudah. Pernahkah ada orang yang iseng-iseng mengetik nama anak muda itu di web kampusnya, sekadar memastikan nama lengkap dan profesinya di situ?

Dalam pandangan saya, anak muda itu hanya sekadar mencari panggung. Dia ingin tampil dalam sorot kekaguman dan apresiasi banyak orang. Dia tak punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Dia lalu merekayasa fakta-fakta demi mengecoh banyak orang. Dia mengarang cerita serupa fiksi, yang seketika menghebohkan. Kebohongannya mengecoh banyak orang termasuk media massa, hingga akhirnya tampil di televisi.

Anak muda itu benar-benar jeli sebab melihat ada hasrat nasionalisme dan kebanggaan berlebihan pada bangsa. Pada bangsa yang masyarakatnya merasa inferior dan hanya bisa menyaksikan perlombaan sains bangsa lain, kisahnya akan segera menghebohkan. Kita telah lama krisis kisah hebat mengenai pencapaian di panggung dunia, sehingga saat ada anak muda yang konon tampil ke depan, kita sontak membanggakannya, tanpa sikap kritis dan upaya mengecek kembali. Media langsung heboh dan menyiarkannya. Pembaca berdatangan. Jumlah iklan akan bertambah.

Namun, anak muda itu seorang amatiran. Dia bukan pembohong profesional. Tidak sehebat para pembohong di dunia politik yang bisa merekayasa informasi ala kerja-kerja spin doctors. Di era millenium seperti ini, tampil bohong di media ibarat menjadikan diri sebagai sasaran dari sejumlah pemburu yang sedang mengintip dengan senjata. Banyak orang yang bisa mengecek identitas dirinya dan melacak informasi ke kampus-kampus yang diklaimnya. Dia pikir berbohong di era digital seperti ini sama dengan membual di warung kopi, di mana orang tak mungkin mengecek seberapa benar informasi itu.

Jika dia memang pembohong profesional, dia akan menolak tampil di media. Mungkin dia akan mengontrol publisitas sebab media massa disaksikan banyak pihak termasuk para ilmuwan. Hasrat tampil hebat di panggung telah membuatnya lupa bahwa banyak orang yang mengenalnya, dan setiap saat bisa membuka lakon yang dimainkannya. Pada titik ini, dia tersandung oleh imajinasi akan kehebatan dan popularitas, serta decak kagum. Ia pembohong bodoh, yang seolah tak paham bahwa media massa adalah panggung yang bisa dilihat dan dicek banyak orang seketika. Saat banyak orang mulai melacak pengakuan-pengakuannya, banyak hal tersingkap.

Dalam beberapa sisi, anak muda itu mengingatkan saya pada seorang pembual paling mengagumkan yakni Dr Karl May. Pengarang kisah Winnetou Kepala Suku Apache. Di penjara, Karl May membual di hadapan para narapidana penjara tentang pertemuannya dengan Winnetou, Kepala Suku Indian Apache. Ia malah menggambarkan bagaimana padang perburuan prairie, pertarungan tangan kosong, hingga nasib suku Indian yang sekarat. Karl May bercerita seakan-akan dirinya yang disebut Old Shatterhand, seorang petarung di alam perburuan liar itu. Belakangan, ketahuan kalau dirinya tak pernah ke padang suku Indian. Bahkan gelar Doktor yang dipasang di depan namanya adalah palsu.

Bedanya dengan Dwi Hartanto adalah sejak awal kebohongan Karl May dianggap sebagai fiksi yang menarik untuk dituliskan. Salah satu penerbit di Jerman bisa mencium bau uang yang banyak dari kisah-kisah itu jika ditulis dan disebarkan. Kisah Winnetou ditulis dan disebarkan. Orang terbius dengan petualangan dan persahabatan di padang perburuan. Kisah itu mempesona dunia, menginspirasi banyak orang, jua membasahi imajinasi orang-orang akan pentingnya memanusiakan semua orang.

Beda lainnya adalah penampilan sosok Dwi Hartanto cukup meyakinkan. Dia seorang mahasiswa program doktoral di kampus bergengsi itu. Istilah-istilah teknis yang dikeluarkannya cukup membuat kita terperangah. Dia punya akses dan kuasa pada perbendaharaan istilah sains yang membuat banyak orang kehilangan nalar dan sikap kritis. Bagi saya, tanpa perlu menyebut prestasi hebat itu, Dwi Hartanto sudah bisa menjadi sosok inspiratif. Tak mudah menjadi mahasiswa dan bisa belajar di kampus teknologi terbaik di dunia itu. Apa daya, dia ingin sesuatu yang berlebih.

Saya malah berharap kisah yang dituturkan Dwi Hartanto dikemas menjadi fiksi, yang nantinya akan laris-manis. Ceritanya tentang Lethal Weapon from the Sky akan mengalahkan kisah Digital Fortress dari Dan Brown. Kisahnya tentang pengembangan pesawat militer generasi terbaru sangat layak tampil di layar film dan menambah khasanah kisah yang menggetarkan kita semua.

Nah, dengan melihat betapa amatirnya kebohongan itu, serta betapa bodohnya media yang menelan informasi itu bulat-bulat, janganlah kita ikut-ikutan membunuh karakter anak muda itu. Biarlah ini menjadi pelajaran berharga baginya untuk setia pada proses dan menghargai capaian-capaiannya, tanpa harus membuat glorifikasi. Anak muda itu masih punya peluang untuk menjadi yang terbaik, sepanjang dia bisa belajar dari kasus ini, dan menjadikannya pengalaman berharga untuk setia pada tahapan menjadi ilmuwan besar.

Di sisi lain, marilah kita berrefleksi dan merenungi mengapa kita menjadi bagian dari kebohongan massif dari media-media kita yang setiap saat meneror kita, melalui layar televisi, lembaran media massa, hingga layar ponsel kita semua.

Marilah kita menertawakan diri sendiri.