Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Cuh....!!! Mahasiswa Bebal

GERAKAN mahasiswa Makassar sudah tiba pada titik memuakkan. Masak, hanya karena persoalan tempat hiburan malam (THM) saja bisa menyebabkan demonstrasi dan menutup jalan. Dengan massa hanya 10 orang, mereka sudah begitu pongah dan “memaksa” semua warga ikut merasakan dampaknya berupa kemacetan yang dahsyat. Mereka tidak peka dengan sumpah serapah banyak orang yang mengumpat karena aksesnya ke mana-mana bisa terhambat.
Andaikan demonstrasi itu demi memperjuangan kepentingan orang banyak, mungkin tak mengapa. Namun, isunya hanya persoalan hiburan malam, kok bisa jadi demonstrasi dan menutup jalan. Beredar isu kalau demo itu dilatari keengganan sejumlah pengusaha memberi “setoran” pada mahasiswa. Artinya, demonstrasi itu hanya untuk menguras kantong pengusaha. Betapa memalukannya!!
Parahnya, sang mahasiswa itu masih saja mengklaim kalau apa yang mereka lakukan demi kepentingan orang banyak.Sepertinya, mahasiswa Makassar sudah didera “penyakit” parah. Tak ada prestasi besar yang ditorehkan di sini. Hanya kepongahan serta senandung lama bahwa mahasiswa adalah agen perubahan sosial. Cuh…..!!!!!!

Patte’ne: Serpih Kejayaan Khalwatiyah




BERKUNJUNG ke Desa Patte’ne tidak terlalu membangkitkan hasrat religiusitas. Daerah yang terletak di dekat Daya ini sejatinya adalah pusat pertumbuhan tarekat Khalwatiyah, sebuah tarekat yang diperkenalkan oleh ulama besar yang meninggal di Cape Town, Afrika, Syekh Yusuf Al Makassari. Sayang sekali, serpih khalwatiyah itu tak terlalu nampak saat menyusuri Patte’ne. Yang ada hanyalah suasana yang tak jauh berbeda dengan jalan-jalan di tempat lain.

Saat menyusuri jalan di Patte’ne, tak ada sedikitpun tanda bahwa di situ adalah pusat tarejat. Rumah-rumah penduduk tidak begitu menyolok sebagaimana lazimnya di tempat lain. Banyak motor yang berseliweran di jalan utama di situ. Beberapa kali saya melirik perempuan yang melintas dengan pakaian yang sempit hingga menampakkan lekuk tubuhnya serta celana pendek yang menonjolkan bentuk tungkainya yang indah. Saya lalu bertanya dalam hati, apakah ini memang Patte’ne yang masyhur itu, atau apakah kemasyhuran Patte’ne hanyalah imajinasi liarku belaka? Saya tak paham. Barangkali Patte’ne menyimpan banyak hal yang mesti dieksplorasi lebih jauh, Mungkin penduduknya sangat bersahaja sehingga tak mau menampilkan sosok religiusitas. Mereka bersahaja dan berdoa secara diam-diam. Tidak over acting seperti penganut aliran lainnya..

Pada saat menyusuri jalan di pusat pengembangan tarekat khalwatiyah ini, saya menyaksikan banyak warga yang membangun lapak-lapak buat pedagang. Lapak itu dibangun dari bambu yang dibangun hingga menyerupai dangau atau gubuk yang ada di tengah sawah. Sepanjang jalan menuju masjid keramat di situ, dipenuhi dengan lapak-lapak bambu yang membentuk petak-petak. “Rencananya, petak ini mau disewakan sama pedagang. Di sini, setiap acara maulid, selalu rame dengan banyak orang. Makanya, banyak pedagang yang datang di sini,” kata Andi Alim, salam seorang warga di situ saat kutanyai.

Bagi penganut tarekat Khalwatiyah, momentum maulid adalah momentum yang sangat penting dan sakral dalam tradisi mereka. Rasulullah dipandang sebagai sentrum atau pusat perkembangan ajaran sehingga menjadi inspirasi yang tak pernah surut. Rasulullah sipandang sebagai manusia sempurna yang segala prilaku dan tindakannya menjadi teladan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Makanya, mereka menggelar sejumlah ritual berupa zikir untuk mengenang lahirnya Rasulullah. Momen zikir ini dilaksanakan secara massal dan menghadirkan seluruh penganut tarekat dari segala penjuru di tanah air hingga manca negara. “Kalau luar negeri, banyak jamaah dari Malaysia yang datang. Biasanya mereka carter kapal khusus dan tinggal di rumah penduduk di sini,” kata Alim.(*)

Khutbah Jumat Berbahasa Bugis


SHALAT Jumat kali ini saya laksanakan di Masjid Nurul Hidayah yang terletak di tengah pasar di jantung Kota Maros, Sulsel. Bersama temanku Nasri Abduh, saya singgah shalat dalam perjalanan menemani Bento untuk mewawancarai sejumlah penganut tarekat Khalwatiyah. Kami agak terlambat menuju Maros sebab hujan terus mengguyur Kota Makassar. Untunglah, shalat Jumat masih bisa dilaksanakan.

Meski sudah sering shalat Jumat di luar Kota Makassar, shalat kali ini cukup unik kurasakan. Betapa tidak, ceramah Jumat –sebagai salah satu rukun shalat—disampaikan dalam bahasa Bugis. Terpaksa, saya cuma bisa bingung dan tak tahu apa makna pernyataan dari sang khatib. Mungkin ceramahnya sangat menarik sebab hampir semua orang terpaku dan menatap tanpa berkedip. Sesekali, penonton tersenyum di saat sang khatib menyisipkan guyon di tengah ceramahnya. Sayang, saya tak tahu sama sekali apa materi ceramah tersebut. Saya merasa blank.

Dalam pantauan saya, sebagian besar masjid di luar Kota Makassar selalu menggunakan bahasa daerah dalam ceramah. Mungkin ini terkait permintaan audience yang menginginkan agar disampaikan dalam bahasa daerah. Memang, masyarakat Bugis hingga kini masih menjadikan bahasa Bugis sebagai bahasa utama dalam pergaulan sehari-hari. Kurasa, ini adalah hal yang sangat positif sebab bisa lebih menyentuh masyarakat setempat. Pesan itu bisa menembus berbagai sekat dan kategori sosial, mulai dari orang tua, pemuda, hingga anak-anak. Sayangnya, pesan itu akan blank bagi orang luar sepertiku yang hingga kini tak juga pandai bahasa Bugis. Barangkali akan lebih baik jika ada translator atau penterjemah sehingga pesan itu bisa pula dimaknai mereka yang tak pandai bahasa Bugis. Cuman, apakah ini tidak melanggar adab dan syariah? Apakah ini tidak akan menimbulkan kontroversi di masyarakat? Apakah kreativitas ini tidak dianggap sebagai propaganda Yahudi? Entahlah. Kalau ada yang tertarik, coba saja usulkan ini.(*)

E-Mail Baskara

(Ini adalah e-mail yang dikirimkan oleh sejarawan Baskara T Wardaya. Saya sungguh bahagia dapat balasan e-mail dari beliau)


Rekan Yusran yang baik,
Senang sekali saya mendapat email perkenalan dari Anda, sekaligus lukisan singkat mengenai keadaan di P Buton di sekitar Tragedi '65 itu. Saya sangat terharu dan ingin mendengar lebih banyak. Syukur-syukur nanti kita bisa ketemu, entah di mana, entah kapan.
Selama ini saya memang hanya tahu tentang tragedi pembantaian dan stigmatisasi massal di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, namun tidak tahu tentang apa yang terjadi di Buton. Oleh karena itu saya tertarik sekali. Semoga waktu dan kesempatan kita cocok untuk bicara lebih lanjut tentang hal ini. Siapa tahu kita bisa ketemu dan berdiskusi dengan teman-teman di PUSDEP.
Karena sekarang ini sudah hampir jam 01:00 dinihari, saya hanya bisa nulis sekian dulu. Nanti kita sambung lagi ya.
Sekali lagi terima kasih dan selamat berjuang.
Salam dari jauh,
Baskara

Arsip sebagai Jendela Masa Silam

HARI ini saya singgah ke gedung arsip di Jl Perintis Kemerdekaan, Makassar. Niatku untuk menyaksikan sejumlah arsip tentang Buton pada tahun 1965-1970. Saya ingin menelusuri catatan-catatan untuk menjelaskan sejumlah kejadian yang ada di masa tersebut. Saya berharap ada sesuatu yang menarik dan penting di situ.

Saya agak tercengang saat melihat begitu banyaknya arsip yang dikelola dan disimpan di lembaga tersebut. Semua arsip itu disimpan dalam format yang rapi dan disimpan secara digital sehingga memudahkan proses pencarian. Sayangnya, arsip yang disimpan secara digital tidak terlalu banyak. Sebagian besar arsip yang ada masih dikelola secara manual: dicatat dalam buku katalog sehingga memudahkan proses pencarian. Aturan yang berlaku di sini adalah para pengunjung tidak diizinkan memasuki ruang arsip. Mereka hanya boleh membuka katalog, kemudian menuliskan arsip yang dikehendaki. Selanjutnya, petugas arsip yang akan membawakan arsip tersebut untuk dibaca ditempat.

Ini adalah pengalaman pertama bagiku mengunjungi gedung arsip. Saya agak penasaran apa sesungguhnya yang disimpan di gedung itu. Bagiku, masa lalu adalah sebuah misteri dan lorong yang susah dikenali. Masa lalu seakan pergi begitu saja dan sesekali hadir kembali lewat tuturan generasi kini yang suka mengatasnamakan masa lalu. Melalui arsip, masa lalu tidak beringsut begitu saja. Arsip bisa menjadi jembatan untuk mengenali apa yang sesungguhnya terjadi pada masa lalu sekaligus menjadi rujukan untuk melakukan sesuatu di hari ini.

Makanya, tradisi ilmiah kita tidak banyak mengajarkan betapa pentingnya mengelola arsip. Arsip adalah catatan yang bisa menjadi jejak kehadiran serta merekam suasana yang berdenyut pada suatu masa. Sebuah arsip bukanlah artefak yang beku, melainkan hidup dan memiliki kisah tentang sesuatu. Ia lahir dari satu periodisasi sejarah tertentu dan bisa menggambarkan dinamika serta interaksi sosial yang pernah terjadi pada suatu masa. Sebuah arsip tidaklah netral. Arsip lahir melalui kepentingan dan kontestasi mereka-mereka yang punya kepentingan dengan persoalan kearsipan.

Pengalaman menyaksikan banyak arsip itu sungguh berharga bagi saya. Mudah-mudahan, suatu saat saya bisa menyibak banyak misteri di masa silam untuk dilihat realitasnya pada masa kini. Mudah-mudahan arsip bisa menjadi jendela untuk melongok dan berdialog dengan masa silam, kemudian menentukan apa yang terjadi di hari ini. Bukankah sastrawan Jerman, Goethe, pernah bilang bahwa mereka yang tidak bisa mengambil hikmah dari masa 3.000 tahun adalah mereka yang hidup tidak dengan akalnya??

Makassar, 19 Maret 2008
Pukul 22.11 (disaat sendirian di ruang rapat eLSIM)

I Hate Pilkada Sulsel

HARI ini liputan media massa sungguh menjemukan. Hampir semua liputan media adalah soal politik. Semuanya didominasi berita kemenangan Syahrul Yasin Limpo di kasasi Mahkamah Agung (MA). Syahrul mengatakan, “Ini adalah kemenangan rakyat Sulsel!!” Pernyataan ini sungguh memuakkan. Sejak kapan rakyat ikut-ikutan bertarung di arena pilkada? Bukankah nama rakyat hanya disebut di ajang kampanye dan setelah itu hilang tersaput angin? Rakyat hanya menjadi penyaksi di saat semua pejabat itu pesta pora dengan proyek dan memenuhi kantongnya dengan duit. Rakyat hanya bisa menangis sedih.

Saya muak dengan politik. Bagiku, politik adalah wilayah yang paling menjemukan. Politik menjadi arena di mana siasat, strategi serta taktik saling berbenturan. Politik adalah sebuah panggung di mana manusia menampilkan berbagai karakter demi sebuah tujuan. Ia bersifat instrumental tatkala hanya menjadi sebuah perpanjangan tangan belaka. Barangkali politik adalah lautan tanda-tanda. Kita hanya menyaksikan tanda-tanda yang sifatnya permukaan sehingga membutuhkan kejernihan untuk menyelam lebih jauh demi menemukan makna. Politik ibarat sebuah gunung es. Kita hanya menyaksikan puncaknya saja dan menabak-nebak apa yang berada di bawahnya. Sebuah misteri yang mesti dipecahkan dengan cara menautkan berbagai serpih dan realitas menjadi satu bangunan yang utuh.

Makassar, 19 Maret 2008
Pukul 06.56 (saat bangun pagi)

Sastra dan Dunia Atap Langit



SASTRAWAN adalah mahluk paling angkuh di muka bumi ini. Mereka menghasilkan karya yang hanya dipahami oleh diri mereka sendiri, sementara orang lain justru harus berkerut kening untuk memahami apa yang mereka tulis. Ketika orang lain kesulitan memahami teks tersebut, langsung divonis tidak punya apresiasi seni yang baik. Semakin susah dipahami, dianggap semakin berkualitas. Mereka hanya asyik dengan dirinya dan tidak pernah peduli dengan fakta betapa sulitnya memahami apa yang dimaksudkan sang sastrawan. Seolah-olah sastra adalah dunia yang berada di atas langit dan tidak mendaratkan kakinya di atas bumi.

Sastrawan adalah mahluk paling angkuh karena sibuk membangun kategori sastra berkualitas dan sastra tidak berkualitas. Mereka merumuskan sendiri mana yang layak disebut sastra dan mana yang tidak layak. Atas dasar semua kategori tersebut, mereka lalu memvonis sesuatu sebagai sastra ataupun bukan. Ketika ada novel yang laris manis, langsung divonis sebagai selera murahan dan bukan sastra. Seakan-akan sastra adalah sesuatu yang eksklusif dan untuk memahaminya dibutuhkan pendalaman dan prasyarat yang kadang hanya dipahami oleh mereka.

Sastrawan adalah mahluk paling angkuh karena menggelar diskusi bedah karyanya, namun tak pernah siap dengan konsekuensi sebuah perdebatan. Ketika muncul apresiasi, maka langsung girang dan menganggap si pemberi apresiasi berbicara dengan sangat jujur, namun ketika muncul kritikan atau masukan, maka mereka berdalih bahwa si pengkritik tidak punya apresiasi sastra. Ketika peserta diskusi bedah karyanya sangat sedikit, maka langsung divonis bahwa orang-orang terjebak pada kedangkalan dunia kapitalisme.

Sastra adalah dunia atap langit yang bisa menggiring seseorang ke puncak keangkuhan dan memandang sinis pada yang lain. Bukankah setiap orang adalah sastrawan? Bukankah di setiap kebudayaan selalu saja ada tradisi untuk menjelmakan kata sebagai jalinan yang menggambarkan refleksi atas dunia yang sedang dihadapi? Bukankah semua tradisi lisan dan tulis adalah sastra?

Ayat-Ayat Cinta seperti Film Rhoma Irama


APA sih istimewanya film Ayat-Ayat Cinta? Hari ini saya menyaksikan banyak orang yang berjubel untuk menyaksikan film itu. Saya belum pernah menyaksikan film tersebut. Namun kusaksikan banyak penonton yang tersedu-sedu dan membasuh matanya dengan sapu tangan usai menyaksikan film ini. Kata orang, film itu cukup mengharukan dan mengandung pesan-pesan moral yang sungguh menyentuh.

Meski belum lihat nonton, namun novelnya telah lama kutamatkan. Malah, saya sempat mengirimkan novel itu kepada ibuku di kampung sebab saya tahu persis dia senang dengan bacaan yang Islami. Saya harus jujur bahwa novelnya cukup menyentuh. Kata-katanya mengalir deras dan kadang-kadang menyentakku. Meskipun, saya merasa logika ceritanya terlalu linear. Sosok Fahri terlampau sempurna. Seolah-olah sosok ini terlalu beruntung dalam meniti langkahnya di Mesir. Ia ditaksir banyak gadis, serta dikenal sangat alim dan tinggi kadar kecendekiaannya.

(belum selesai)


10.000 BC yang Kehilangan Greget


KEMARIN saya nonton film 1.000 BC. Awalnya, saya pikir film ini berisikan interpretasi tentang bagaimana manusia di zaman purba saling berinteraksi dan memaknai dunianya. Saya membayangkan bagaimana upaya manusia purba untuk bisa bertahan hidup dalam situasi di mana teknologi belum banyak ditemukan. Ternyata, gambaran saya itu agak berbeda dengan realitas yang disajikan di film itu.

Memang, gambar-gambar yang disajikan dalam film ini sungguh memukau. Sutradara Ronald Emmerich sanggup menghadirkan binatang-binatang purba yang amat besar dan perkasa, suku-suku kuno --mulai dari suku berbadan pendek, suku yang menyempalkan gading di dagunya, hingga suku yang tinggal di semak-semak, serta aksi jagoan manusia purba.

Tetapi cerita film itu sungguh mengecewakan. Sejak awal film, saya sudah kecewa dengan aktor yang menggunakan bahasa Inggris dengan fasih dan sempurna. Saya membayangkan pola komunikasi manusia purba adalah tidak dengan kata, namun sebuah struktur bunyi yang agak kacau, namun terdapat pola-pola yang berulang. Namun, mendengar manusia purba berbincang dalam film ini, saya serasa dibohongi. Dengan dialog yang menggunakan bahasa yang rapi tersebut, saya seakan-akan sedang menyaksikan manusia modern yang berbaju kulit kayu. Saya tidak bisa menghadirkan kenyataan bahwa film ini adalah tentang manusia purba sebab tema pembicaraannya begitu kompleks dan menunjukkan bahwa masyarakat purba di film itu sesungguhnya sudah lama memasuki masa modern.

Saya membayangkan film ini dibuat dengan sangat realistis, berbasis data etnografi tentang bagaimana karakteristrik manusia purba, namun tetap tidak kehilangan unsur dramatisasi serta ketegangan sebagaimana yang bisa ditemukan dalam sebuah film fiksi. Tetap saja mengikuti logika pasar, namun detail-detail cerita tetap harus dijaga biar tidak melulu menghamba pada logika pasar. Di sinilah letak kegagalan film ini. Kelihatannya tidak didukung dengan riset antropologis dan arkeologis yang memadai. Makanya, gambar yang disajikan tidak begitu detail dan tidak banyak menyentuh elemen kebudayaan. Jangan heran jika melihat film ini seakan kehilangan nyawa dan gagal memunculkan imajinasi yang kuat.

Kelebihan film ini adalah adanya gambar yang seorisinal mungkin. Penonton serasa melihat alam saat manusia belum merusaknya. Gunung es yang tampak begitu dingin dan ganasnya sampai gurun pasir yang menyesatkan. Maklum saja, lokasi shooting dilakukan di beberapa negara seperti Afrika Selatan, Namibia, Selandia Baru selatan, juga Thailand. Kehadiran binatang buas juga terlihat sangat asli. Gerakan mereka halus. Teknologi computer generated imagery (CGI) berhasil menghidupkan mammoth, macan bertaring besar, dan phorusrhacids yang bentuknya menyerupai burung unta.(*)