KEMARIN saya nonton film 1.000 BC. Awalnya, saya pikir film ini berisikan interpretasi tentang bagaimana manusia di zaman purba saling berinteraksi dan memaknai dunianya. Saya membayangkan bagaimana upaya manusia purba untuk bisa bertahan hidup dalam situasi di mana teknologi belum banyak ditemukan. Ternyata, gambaran saya itu agak berbeda dengan realitas yang disajikan di film itu.
Memang, gambar-gambar yang disajikan dalam film ini sungguh memukau. Sutradara Ronald Emmerich sanggup menghadirkan binatang-binatang purba yang amat besar dan perkasa, suku-suku kuno --mulai dari suku berbadan pendek, suku yang menyempalkan gading di dagunya, hingga suku yang tinggal di semak-semak, serta aksi jagoan manusia purba.
Tetapi cerita film itu sungguh mengecewakan. Sejak awal film, saya sudah kecewa dengan aktor yang menggunakan bahasa Inggris dengan fasih dan sempurna. Saya membayangkan pola komunikasi manusia purba adalah tidak dengan kata, namun sebuah struktur bunyi yang agak kacau, namun terdapat pola-pola yang berulang. Namun, mendengar manusia purba berbincang dalam film ini, saya serasa dibohongi. Dengan dialog yang menggunakan bahasa yang rapi tersebut, saya seakan-akan sedang menyaksikan manusia modern yang berbaju kulit kayu. Saya tidak bisa menghadirkan kenyataan bahwa film ini adalah tentang manusia purba sebab tema pembicaraannya begitu kompleks dan menunjukkan bahwa masyarakat purba di film itu sesungguhnya sudah lama memasuki masa modern.
Saya membayangkan film ini dibuat dengan sangat realistis, berbasis data etnografi tentang bagaimana karakteristrik manusia purba, namun tetap tidak kehilangan unsur dramatisasi serta ketegangan sebagaimana yang bisa ditemukan dalam sebuah film fiksi. Tetap saja mengikuti logika pasar, namun detail-detail cerita tetap harus dijaga biar tidak melulu menghamba pada logika pasar. Di sinilah letak kegagalan film ini. Kelihatannya tidak didukung dengan riset antropologis dan arkeologis yang memadai. Makanya, gambar yang disajikan tidak begitu detail dan tidak banyak menyentuh elemen kebudayaan. Jangan heran jika melihat film ini seakan kehilangan nyawa dan gagal memunculkan imajinasi yang kuat.
Kelebihan film ini adalah adanya gambar yang seorisinal mungkin. Penonton serasa melihat alam saat manusia belum merusaknya. Gunung es yang tampak begitu dingin dan ganasnya sampai gurun pasir yang menyesatkan. Maklum saja, lokasi shooting dilakukan di beberapa negara seperti Afrika Selatan, Namibia, Selandia Baru selatan, juga Thailand. Kehadiran binatang buas juga terlihat sangat asli. Gerakan mereka halus. Teknologi computer generated imagery (CGI) berhasil menghidupkan mammoth, macan bertaring besar, dan phorusrhacids yang bentuknya menyerupai burung unta.(*)