Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Tribute to Agus Amri

SEORANG sahabat bukanlah seseorang yang hanya datang menemani Anda ketika sedang senang, tapi juga seseorang yang bersedia meluangkan waktu demi Anda ketika sedang susah. Seorang sahabat adalah sosok yang menjadi embun bagi duka, sumber air bagi rasa haus, dan tempat mengadu ketika hati sedang gundah-gulana dan meriang. Seorang sahabat adalah sosok yang meredam duka, menelan sedih, dan menguatkan diri kita untuk kokoh dalam menghadapi banyak hal..

Saya menemukan tipikal sahabat seperti ini pada diri seseorang bernama Agus Amri. Saya memang lama tak bersua dengannya. Saya juga lama tak bertemu dengannya. Namun, ketika saya sedang dirundung masalah, Agus adalah orang pertama yang menyapa, meredam semua sedih dan lara, menumbuhkan sikap optimisme serta keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Bagi saya, Agus lebih dari seorang sahabat. Ia seperti saudara yang mustahil akan meninggalkanmu. Ia punya sekuntum asa, sesuatu yang paling saya butuhkan pada saat-saat seperti ini. Dan ia tak pernah lelah membagikan sekuntum asa itu pada semua sahabat terdekatnya. Dan betapa beruntungnya saya yang menjadi salah satu sahabat dekat dari alumnus terbaik yang dilahirkan di rahim Fakultas Hukum Unhas.

Persahabatan saya dengannya sudah berusia lebih 10 tahun. Saya mengenalnya tahun 1997, ketika saya menjadi peserta LK 2 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saat itu, Agus menjadi salah seorang panitia. Pada masa itu, rambutnya gondrong dan kotor bagai seorang pemuda pengangguran yang saban hari hanya bermalas-malasan. Saat itu, ia selalu membawa seruling. Dan ketika banyak mahasiswi melintas, ia akan segera meniup seruling itu, dan mengalunlah soundtrack film Titanic, yang segera buat para mahasiswi histeris dan tiba-tiba melemparinya. Hehehehe….

Suatu hari, saya bertemu di Ramsis Unhas. Ia menyapa saya dengan panggilan ‘Abang’, sebuah panggilan kehormatan bagi seorang anak HMI. Padahal, ia jelas lebih tua dari saya. Namun rupanya, kalimat ini adalah mantra yang cukup efektif agar kami menjadi sahabat. Dan sejak saat itu pula, saya sering bersama dengannya, bertualang dari satu basic training (bastra) HMI ke bastra yang lain. Bersama sahabat-sahabat yang lain, kami juga berpetualang sebagai demonstran yang sering berpanas-panas ria di jalan raya. Kami menjalani takdir sebagai musuh aparat, berkejaran dengan waktu, dan meniti takdir mulia sebagai mahasiswa pembela kebenaran, sesuatu yang dicibir saat ini.

Kami juga berkelana ke rimba-rimba gagasan, mendialogkan berbagai pahaman dan kebenaran, hingga akhirnya kembali berpijak ke bumi demi mencari jalan nasib masing-masing. Dan dimulailah petualangan di lajur kehidupan. Ibarat sebuah persimpangan, saya dan dirinya terpisah jauh sebab masing-masing mencari jalannya sendiri-sendiri.

Kini, ia datang menyapa. Ia mengetuk sanubariku yang sedang resah. Ia menawarkan nectar, minuman sejuk para dewa yang dibawanya dari petualangan menyusuri belantara kehidupan. Ia menjadi tempat bertanya yang menguatkan kaki dan tangan ini agar kembali kekar demi menerabas semua onak dan duri. Ah… betapa beruntungnya saya punya sahabat seperti dia.(*)


Es Teler Ternikmat di Makassar

DI Kota Makassar, ada dua tempat makan es teler yang menjadi favoritku. Pertama, es teler Panaikang di dekat kuburan Panaikang. Dikarenakan letaknya yang dekat kuburan Islam di Panaikang, es teler ini kadang diplesetkan menjadi es teler rasa kuburan. Rasanya sangat nikmat. Dugaan saya, ada semacam bumbu rahasia yang dibuat dari buah durian, serta susu coklat. Sedangkan es teler kedua yang jadi favoritku adalah es teler Tanah Abang. Inilah yang akan saya bahas dalam tulisan ini.
 
 

Es teler Tanah Abang terletak di jalan masuk Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Dulunya, es teler ini hanya disimpan dalam sebuah gerobak biasa, yangdi dekatnya terdapat banyak kursi plastik. Kemarin, saat aku hendak mencicipi es ini, ternyata tempatnya sudah berpindah. Bukan lagi di pinggir jalan, melainkan sudah menempati sebuah ruko di pintu masuk BTP. Kata temanku, sewa ruko ini cukup mahal karena terletak di pinggir jalan utama.

Harganya juga tidak seberapa mahal. Cuma sekitar Rp 5.000 untuk es teler biasa dan Rp 7.000 untuk rasa super. Tapi dari segi rasa, bedanya hanya sedikit. Aku paling suka dengan campuran alpokat yang digiling hingga halus. Kemudian, ada semacam cairan manis yang menutupi es serta buah-buahan. Saat mencoba es ini, aku memberinya point 8, beda tipis dengan es teler panaikang yang kuberi nilai 9. Bagiku, kedua es teler ini adalah es teler ternikmat di Kota Makassar. Mau coba???

Pantai Akkarena dan Kemasan yang Kreatif

PANTAI Akkarena di kawasan Tanjung Bunga, Makassar adalah contoh pantai yang dari sisi alamnya tidak terlalu indah. Ketika melihat pantai ini, saya tidak terlalu terkesan. Pasirnya berwana hitam, tidak terlalu panjang. Sungguh tidak tepat untuk menjadi tempat berleha-leha bagi turis asing.



Kelebihannya terletak pada kemasan pantai yang kreatif dan unik. Selain memberlakukan tarif masuk Rp 10.000 per orang, pantai ini cukup bersih dari sampah dan kotoran yang berserakan. Saya melihat ada tempat lapang yang dibeton semen, trus diletakkan kursi-kursi kayu yang unik serta tenda payung.

Di situ juga ada panggung yang pada malam tertentu sering diisi dengan penampilan band papan atas. Kemudian, ada pula jembatan kayu, yang sering digunakan untuk membuat foto pra-wedding. Tak jauh dari situ, ada fasilitas outbond yang berisikan permainan, baik untuk orang dewasa, maupun untuk anak-anak. Menurut informasi yang saya baca di media massa, fasilitas outbond ini sering disewa oleh beberapa perusahaan di Makassar.



Pantai ini menjadi contoh dari penataan kawasan yang kreatif, meskipun dari sisi alamnya tidak terlalu indah. Kekuatannya adalah pada gagasan yang kreatif untuk mengemas sesuatu yang sederhana, menjadi sesuatu yang luar biasa dan mendatangkan pemasukan yang lumayan bagi pemiliknya. Inilah kelebihan Akkarena.(*)

Babak Baru Krisdayanti

DI antara semua penyanyi kondang negeri ini yang tengah naik daun, barangkali hanya Krisdayanti yang menikmati bagaimana sensasi diterjang berbagai liputan media infotainment. Apapun yang dilakukannya, pastilah menjadi berita. Mulai dari isu perselingkuhan, perceraian dengan Anang Hermansyah, bahkan saat jalan-jalan ke Australia sekalipun bisa menjadi gosip. Barusan saya menyaksikan infotainment. Disebutkan bahwa keberangkatan KD ke Australia diduga untuk menggugurkan kandungan, buah cintanya dengan Raul Lemos.

Segala hal yang menyangkut KD adalah berita. Dan segala hal yang menyangkut berita KD bisa menjadi gossip. Timbunan gossip yang setiap hari direproduksi secara terus-menerus oleh pekerja infotainment dan media membuat kita jadi kabur mengetahui mana yang merupakan kenyataan, dan mana yang bukan kenyataan. Pada titik ini, media massa tidak lagi memisahkan mana terang fakta dan mana terang gossip, namun perlahan-lahan menciptakan kisah sendiri yang dirangkai menjadi satu, hingga sebuah dunia baru yang tumbuh, seolah-olah apa yang ada di dalamnya menjadi hidup dan bermakna.

Di rumah, kakak saya setiap hari menyaksikan tayangan infotainment. Setiap kali muncul berita KD, maka ia akan segera melempar televisi dengan kertas atau benda lain. “Saya kesal kalau liat perempuan selingkuh.” Ia membenci habis-habisan segala hal yang menyangkut KD. Malah, ia membuang semua koleksi lagu KD yang dulu begitu digandrunginya. Bahkan lagu-lagu yang dulu menjadi soundtrack atas kisah cintanya sendiri. Kakak saya hidup dalam satu lanskap kenyataan yang dibangun media massa. Ia hidup dalam sebuah dunia yang sesunguhnya adalah imajinasi atau rekaan media massa. Ia jauh lebih percaya infotainment ketimbang sekeping fakta-fakta pemberitaan yang dibuat media massa lainnya.

Saya sendiri melihat fenomena infotainment dengan sikap berbeda. Saya tahu persis bahwa para pekerja media semacam itu selalu membutuhkan sensasi untuk menyedot perhatian publik sehingga rating meningkat, dan iklan mengalir. Saya pernah punya pengalaman menemani pekerja minfotainment dalam menguber dan menciptakan isu. Dalam khasanah infotainment, akurasi atau ketepatan adalah urusan nomor sekian. Yang pertama dimiliki adalah kemampuan mengendus mana yang layak menjadi sensasi, dan mana yang tidak.

Pada mulanya adalah sebuah informasi, baik benar maupun salah. Selanjutnya adalah bagaimana memverifikasi kebenaran tersebut. Nah, upaya yang dilakukan pekerja infotainment adalah menyodorkan dulu sebuah isu, dan terserah bagaimana para selebritis menanggapinya. Segala reaksi marah, sedih, jengkel, atau kesal adalah berita yang layak tayang. Nantinya, si narrator akan membeberkan apa gossip yang sedang mendera, dan muncullan tayangan sang artis yang mencoba diwawancarai, namun menolak memberikan komentar. Dan segera setelah berita itu tayang, maka terbentanglah sebuah dunia baru yang seolah jauh lebih real ketimbang dunia sesungguhnya. Dan kakak saya adalah bagian dari dunia baru yang diciptakan media massa tersebut.

Babak Baru

Di luar dari dunia imajinasi itu, saya selalu bertanya-tanya, bagaimanakah perasaan para selebritis yang diterpa berbagai gossip tersebut? Saya membayangkan situasi yang tertekan atau depresi karena menjadi bulan-bulanan media. Apalagi, beberapa waktu lalu, artis Luna Maya sempat depresi dan menumpahkan kekesalannya melalui Twitter. Bagaimakah halnya dengan KD?

Nah, hari ini saya membaca liputan Kompas.com yang memuat reaksi tersebut. Ternyata, KD justru tidak pusing sedikitpun dengan berita-berita tersebut. Baginya, semua berita itu adalah risiko yang mesti dihadapi seorang pesohor seperti dirinya. Ia sadar bahwa ketika memilih karier di dunia selebritis, segala hal tentang dirinya akan selalu menjadi santapan media. Dan sekian tahun pengalaman di dunia ini telah membentuk karakternya, mengasah wataknya untuk tidak selalu terpancing dengan aneka pemberitaan tersebut.

“Benar-benar fitnah. Memang di industri ini harus kebal kuping, tapi dengan umur sekarang ini, enggak cuma kebal kuping, tapi harus kebal emosi dan batin. Semoga tetap tertib, konsen pikiran saya, saya enggak mau ambil pusing,” katanya, sebagaimana dilansir Kompas.com.

Saya melihat bahwa KD bisa menarik jarak sedemikian rupa dengan media massa. Ia bisa memosisikan dirinya saat berhadapan dengan semua pekerja media, sekaligus menarik jarak dengan semua liputan apapun tentang dirinya. Di banding para artis yang mudah merasa dicemarkan nama baiknya oleh media, KD bisa menentukan posisi yang tepat, sekaligus melihat semua informasi dengan kritis. Saya yakin, untuk menggapai posisi seperti KD jelas tidak mudah. Di zaman ketika semua orang mudah gusar dengan pemberitaan, KD justru bisa menentukan posisi yang tepat, tanpa harus terlibat provokasi masalah yang lebih jauh. Di zaman seperti ini, tiba-tiba saja banyak orang yang amat peduli dengan nama baik dan akan melakukan apapun demi mempertahankan nama baik itu. Tapi KD justru berbeda.

“Sepupu saya yang kasih tahu berita yang enggak enak itu. Dari zaman ibu saya, yang single itu, hujatan enggak baik dan enggak pantes itu sudah sering. Jadi sekarang saya dan Yuni harus solid menjaga nama baik keluarga saya. Saya hanya bisa tawakal dan ikhtiar kepada Allah dan semoga dosa saya hilang kalau saya sering difitnah,” ujarnya.



Entah apa yang sedang berkecamuk di pikirannya. Mungkin ia sedang berpikir simpel. Daripada meributkan sesuatu yang kelak akan menambah huru-hara informasi, mendingan tenang-tenang saja menanggapinya. Dan kelak semuanya akan berlalu bersama angin. Mungkin inilah yang kemudian membentuk karakternya untuk bisa menentukan posisi saat diterjang berbagai liputan media.(*)


Beli City of Bones

HARI ini saya membeli novel City of Bone. Novelnya cukup tebal, sekitar 660 halaman. Biasanya, saya membeli novel setelah ada rekomendasi dari beberapa teman. Tapi entah kenapa, baru lihat sampul, serta membaca bagian belakang buku, saya tiba-tiba kepincut untuk membacanya. Saya jadi penasaran bagaimana isinya.

Sepintas, novel ini mirip kisah Twilight Saga karya Stephenie meyer. Hanya saja, ini bukan kisah percintaan vampir dan manusia yang hendak diganggui oleh manusia srigala (werewolf). Ini adalah kisah tentang kaum Nephilim (manusia keturunan malaikat) yang membasmi iblis demi melindungi manusia. Di tengah pergulatan tersebut, terselip kisah cinta antara manusia biasa dengan seorang keturunan malaikat. 

Wow.. kisahnya pasti seru, deg-degan, sekaligus romantis. Mudah-mudahan saya bisa segera menghabiskan novel tebal ini.(*)

Bisakah Saya Dibukakan Pintu Maaf?

KEMBALI saya menulis permintaan maaf atas tulisan saya yang menyakiti. Setelah mengklarifikasi semua tulisan itu DI SINI dan DI SINI, saya kembali menghaturkan niat baik untuk menyelesaikan semua masalah yang mendera. Saya tidak tahu, apakah klarifikasi itu cukup ataukah tidak. Saya berharap masukan banyak pihak. Saya berharap semua masalah bisa segera dicairkan, sehingga saya dan beberapa teman lain bisa terbebas dari masalah yang menghimpit ini. Saya berharap semuanya bisa berakhir dalam damai.

Saya berharap beribu maaf yang saya ajukan bisa mendapatkan jawaban. Saya tulus mengajukan semua ini, sebab hingga kini selalu didera rasa bersalah. Sebagaimana janji saya pada klarifikasi, saya akan menjadikan masalah ini sebagai pelajaran berharga. Saya berjanji untuk tidak lagi mengulanginya. Malah, saya bersedia menghapus semua tulisan blog ini sehingga semuanya bisa kembali normal seperti sedia kala. Apapun yang bisa saya lakukan, akan saya tempuh demi menyelesaikan semua permasalahan ini. Bisakah saya dibukakan pintu maaf?

Al Markaz dan Sebuah Simbol Kemenyatuan

JELANG azan mengalun di suatu Jumat, suasana Masjid Al Markaz Al Islami menyemut dengan manusia. Di jalan-jalan koridor yang dilewati para jamaah salat Jumat, para pedagang menggelar barang-barang demi menjajakan sesuatu. Mereka mengais rezeki dari ribuan jamaah salat Jumat yang memenuhi masjid termegah di Sulawesi Selatan itu.

Masjid Al Markaz Al Islami
kubah masjid yang menjulang

Saya tak pernah menghitung berapa kali salat Jumat di situ. Mungkin sudah tak terhitung. Tapi, hari ini saya tiba-tiba saja sibuk memperhatikan banyaknya pedagang yang memenuhi sekitar masjid tersebut. Dulu, --sewaktu masih kuliah—saya selalu menyempatkan diri untuk salat Jumat demi mendapatkan edisi majalah Tempo yang baru lewat seminggu. Dengan cara rajin membeli majalah bekas, saya seolah berlangganan majalah itu, meskipun ketika membacanya, saya harus berpikir mundur. Biasanya, saya juga tak hanya membeli majalah Tempo, melainkan juga beberapa buku loakan, serta tabloid Bola terbaru.

Hari ini, saya tak berniat membeli Tempo. Saya hanya memperhatikan banyaknya aktivitas di lantai dasar masjid. Mulai dari perpustakaan, taman kanak-kanak (TK), seni bela diri, koperasi, perkantoran, hingga kantin-kantin yang berderet rapi. Saya juga melihat aula yang selalu disewakan kalau ada acara perkawinan, maupun diskusi rutin. Kian banyaknya aktivitas di situ, membuat saya terus berpikir. Batin saya terus mencerna apa yang saat ini saya saksikan.

koridor yang penuh pedagang
pedagang kaligrafi di Al Markaz
pedagang parfum

Mungkin ini adalah sebuah gambaran ideal bahwa sebuah masjid bukanlah sekadar tempat beribadah semata. Sebuah masjid bukanlah sekadar tempat di mana kita melafalkan dimensi kecintaan kepada Allah semata. Bukan pula sekadar portal untuk menyublimkan semua pengharapan kita tentang masa depan yang lebih baik. Sebuah masjid adalah sebuah sentrum (pusat) dari berbagai aktivitas. Tidak sekadar garis tegak lurus antara manusia dengan Tuhannya, melainkan juga garis horizontal di mana manusia saling mencari penghidupan demi mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Selama ini kita terlampau salah kaprah melihat masjid. Kealpaan kita manusia modern adalah saat mereduksi masjid sebagai ruang ruhaniah belaka, tanpa menjadikannya sebagai sumbu dari aneka aktivitas. Mestinya, masjid menjadi pusat segala aktivitas, sekaligus menjadi pusat dari berbagai kegiatan politik demi menyatakan suatu sikap terhadap apa yang terjadi di negeri ini.

Saya pernah membaca tulisan Kuntowijoyo tentang dinamika pasar dan masjid pada masa Rasulullah. Saya lupa persis bagaimana penjelasannya. Yang melekat dalam benak saya, pada zaman Rasul, masjid adalah oase yang sejuk untuk membahas berbagai masalah mulai dari masalah keagamaan dan spiritualitas, hingga masalah politik dan kenegaraan yang pelik. Sementara pasar adalah ruang tempat manusia mencari nafkah. Pasar adalah tempat manusia saling berkontestasi dalam sebuah sistem yang dikendalikan oleh kekuatan nilai, yang mata airnya memancar dari masjid. Masjid sebagai sumber nilai, dan pasar sebagai arena kontestasi, adalah bagian dari kekayaan khasanah peradaban Islam. Sinergi masjid dan pasar menjlema menjadi pilar utama yang menempatkan politik dan agama bisa disangga kekuatan ekonomi yang memadai. Melalui sinergi inilah, peradaban Islam mulai kokoh berdiri. Islam dijelmakan menjadi sesuatu yang mengubah sejarah, sesuatu yang mengubah peradaban.

Lantas, mengapa kita tidak berpikir untuk kembali merevitalisasi masjid sehingga fungsinya tidak hanya sebagai ruang spiritual saja? Ini menjadi pertanyaan yang mengiang-ngiang. Dugaan saya, pikiran kita terlanjur digerogoti pola berpikir sekuler yang mulai merasuki gelombang pemikiran sejak zaman pencerahan (renaissance) melanda Eropa. Kita adalah generasi yang dibesarkan oleh cara berpikir ilmiah, yang secara kultural tumbuh dari sengketa dengan cara berpikir keagamaan.

Para ilmuwan adalah nabi baru yang menggantikan para rahib. Dan kita terlanjur terbiasa memisahkan urusan dunia dan urusan akhirat. Urusan dunia bisa tumbuh seliar mungkin, sedangkan urusan akhirat akan serahkan kepada para pemuka agama dan para rahib penyebar kebenaran. Kita adalah generasi terbelah yang pikiran kita melalangbuana sebagai hasil dari proses berpikir di masa Eropa, namun jiwa dan hati kita masih merindukan agar tatanan nilai Tauhid menjadi sumbu utama dalam kehidupan.

koridor dalam masjid
kubah masjid dilihat dari dalam

Tapi di Al Markaz Al Islami, saya menyaksikan bahwa semangat keislaman itu bisa menjadi ruh yang menggerakkan banyak hal, mulai dari ekonomi, pendidikan, dan perbaikan ahlak. Di masjid itu, ada harapan yang merekah tentang kemenyatuan Islam dengan berbagai aktivitas duniawi yang kesemuanya bisa ditata sekaligus, tanpa harus saling menggantikan. Meskipun apa yang saya lihat di situ masih skala yang sifatnya mikro, namun terasa ada semangat yang kuat untuk membangkitkan semangat untuk mewarnai peradaban itu. Mungkin kelak, Al Markaz akan menjadi awal dari merekahnya semengat Islam yang mengintegrasikan masjid dan pasar. Semoga.(*)


Mitologi yang Kurang Greget

FILM Clash of The Titans (COTT) terasa kurang greget. Tak ada sesuatu yang mengejutkan dari film ini. Pikiran saya masih belum bisa melihatnya sebuah film yang lebih baik dari film yang sama dibuat tahun 1981. Saya masih menjagokan film lama, ketimbang film sekarang yang hanya menang dari sisi special effect dan aksi-aksi yang mendebarkan. Tapi, jika dibanding dengan film Percy Jackson and The Ligthning Thief –yang juga membahas mitologi Yunani--, saya masih menjagokan film COTT.

poster film Clash of the Titans

Ini adalah kisah tentang Perseus (Sam Worthington), keturunan Dewa Zeus, yang dibesarkan di antara para manusia dan tak pernah tahu kalau ia memiliki kekuatan dewa. Perseus bahkan tak bisa berbuat banyak ketika keluarganya menjadi korban keganasan Hades (Ralph Fiennes), Dewa Kegelapan, yang berusaha menguasai seluruh alam semesta.

Perseus dengan kepala Medusa
Bagi saya sendiri, kisah Perseus ini adalah kisah paling menarik dalam keseluruhan mitologi Yunani. Sebagaimana yang saya baca dari beberapa novel Rick Riordan, kisah Perseus adalah satu-satunya kisah yang happy ending atau berakhir bahagia. Biasanya, seorang pahlawan selalu mengalami tragedi alias sad ending. Ini bisa dilihat pada kisah beberapa pahlawan mahsyur seperti Hercules dan Odysseus, atau Achilles. Entah kenapa, mitologi Yunani selalu menempatkan kisah pahlawan pada sisi tragis. Saya jadi terkenang ucapan Uncle Ben kepada Peter ‘Spiderman’ Parker, “Semakin besar kekuatan, semakin besar tanggung jawab.” Mungkin, para pahlawan itu tewas mengenaskan akibat tanggung jawab yang diembannya.

Kisah film ini dimulai ketika penduduk pulau Argus mulai membangkang pada para dewa. Mereka membakar kuil, merobohkan patung-patung dan ini membuat para dewa di Olympia gusar. Hades pun turun untuk memberi pelajaran pada orang-orang yang tak tahu berterima kasih ini. Hades meminta korban. Ia mengambil Andromeda (Alexa Davalos) dan mengancam akan melepas monster Kraken jika warga Argus tetap membangkang.

Sayang Hades salah memilih musuh. Perseus yang sudah tak tahan lagi melihat ulah Hades yang telah membunuh orang tua angkatnya memutuskan untuk melawan. Bersama beberapa prajurit, Perseus pun berangkat mencari cara untuk mengalahkan Kraken dan menyelamatkan Andromeda. Misi ini bukan misi yang mudah. Perseus harus menghadapi banyak penghuni alam kegelapan sebelum bisa menemukan Andromeda.

Film ini, sebelumnya sudah pernah diedarkan oleh Warner Bros. Menurut situs kapanlagi.com, ide dasarnya adalah menghidupkan lagi kisah lama ini dalam bentuk visual yang lebih bisa diterima konsumen saat ini. Artinya, tak akan banyak perubahan yang dilakukan kecuali memperbaiki sisi visual dan itu tidak akan terlalu sulit karena teknologi film saat ini jelas jauh lebih maju dari tahun 1981.

Penyimpangan

lukisan Perseus--Andromeda
Bagi anda yang belum pernah menonton film lamanya, film ini cukup menghibur, meskipun saya agak kecewa karena ada banyak penyimpangan dari versi mitologisnya. Penyimpangan paling nyata adalah ketika Perseus justru tidak menikah dengan Andromeda. Dalam film ini, Perseus menikah dengan Io, seorang manusia yang dikutuk Dewa Zeus untuk selalu muda dan abadi.

Pada bagian ini, saya agak kecewa. Berdasarkan beberapa buku mitologi yunani yang saya baca, justru Perseus kemudian menikahi Andromeda setelah menyelamatkannya dari monster Kraken. Dalam film ini, Perseus hanya menyelamatkan Andromeda saja, tanpa bernioat menikahinya. Zeus lalu menghidupkan kembali Io demi Perseus. Andaikan penulis scenario tetap setia dengan kisah percintaan Perseus dengan Andromeda, pastilah akan makin seru. Sebab misi Perseus untuk memenggal kepala Medusa dan menyelamatkan Argos bukan sekedar misi pahlawan pembela bumi saja, namun ada misi untuk menyelamatkan sisi lain dirinya.

Sayangnya, bagian melankolis ini justru dihilangkan. Tapi tak apa. Setidaknya film ini cukup menghibur.(*)


Keterangan:

Gambar 1: Poster film
Gambar 2: Patung Perseus memegang kepala Medusa. Karya Antonio Canova yang diselesaikan tahun 1801 (Vatican Museums)
Gambar 3: Lukisan saat Perseus menyelamatkan Andromeda. Dibuat oleh Giorgio Vasari pada tahun 1570

Mitos-Mitos Manusia Modern

BANK Mega membangun pusat perkantoran yang megah di kawasan Tanjung Bunga Makassar, berdekatan dengan Trans Studio World, pusat hiburan keluarga yang juga dimiliki oleh owner Bank Mega. Di antara berbagai bangunan yang ada di Kota Makassar, barangkali bangunan ini bisa masuk dalam 10 bangunan termegah di Kota Makassar.

pusat perkantoran Bank Mega di Tanjung Bunga, Makassar

Dari puluhan lantai bangunan tersebut, hal yang unik adalah tidak adanya lantai empat (4). Menurut informasi seorang kawan, angka 4 bagi warga keturunan Tionghoa adalah angka yang berarti mati dan tidak membawa hoki. Entahlah, apakah ini penjelasan yang sesungguhnya ataukah tidak. Yang jelas, inilah desas-desus yang beredar di masyarakat luas.

Jika saja desas-desus itu benar, artinya sedang terjadi mitologisasi pada tataran berpikir manusia modern. Di tengah zaman yang kian mengagungkan rasionalitas seperti ini, kita masih belum beranjak dari cara berpikir mitos. Padahal, kata sejumlah orang, proses berpikir melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari mitos, religi-metafisik, hingga positifistik, yang melandasi lahirnya ilmu pengetahuan modern. Namun nampaknya tidak demikian. Pada saat seseorang jadi sangat rasional dan positivistik, ia bisa saja masih berpikir mitologis.

pusat perkantoran Bank Mega

Jangan heran kalau di kantor Bank Mega tersebut, tak ditemukan lantai empat. Sementara di banyak hotel besar dunia, juga tidak pernah ditemukan kamar 13. Bahkan, tak ada juga lantai 13. Jangan heran pula, bisnis paling marak saat ini adalah bisnis perdukunan. Seorang dukun bukan lagi seorang yang kumuh, tradisional, dan ndeso. Melainkan sudah bertransformasi menjadi sosok berjas, dan ke mana-mana selalu menenteng laptop. Pernah sekali saya ke rumah Ki Joko Bodo di Jakarta. Wow.. rumahnya megah seperti kastil dalam film Harry Potter. Di rumah itu, ada pula semacam pertapaan dan ruang-ruang gelap untuk mengamalkan meditasi, atau mungkin santet.

Kata Ki Joko Bodo, sebagaimana dilansir media massa, pelanggannya kebanyakan para politisi ataupun para pengusaha yang ingin sukses atau ingin menjegal lawan bisnisnya. Saya hanya bisa geleng kepala melihat kenyataan ini. Mungkin, tabiat zaman kita mulai aneh. Sesuatu yang irasional, tiba-tiba saja menjadi bagian dari kesadaran kita sendiri. Lantas, bagaimanakah menjelaskan fenomena ini?

Saya teringat Van Peursen yang menulis buku Strategi Kebudayaan pada tahun 1974. Menurutnya, mitos adalah sesuatu yang tidak rasional, tidak didasari eksplanasi ilmiah, namun diterima begitu saja sebagai kebenaran. Masih kata Van Peursen, dahulu manusia tradisional menjawab semua fenomena alam melalui kisah-kisah mitologi. Bagi bangsa Norwegia, petir adalah kejadian ketika Dewa Thor mengayunkan kapaknya. Sementara bagi bangsa Jawa, gerhana bulan adalah proses ketika raksasa Batara Kala hendak menelan bulan. Pengetahuan-pengetahuan itu jelas tidak keliru sebab pada masanya bisa menuntaskan dahaga keingintahuan manusia. Dan hadirnya pengetahuan modern secara perlahan memberikan penjelasan ilmiah atas semua gejala. Pengetahuan mitologi itupun mulai terkubur.

Tapi, tanda-tanda zaman kita mulai menunjukkan sesuatu yang aneh. Inilah zaman ketika mitos dan rasionalitas saling berbaur dan berkelindan menjadi satu. Malah, para pemikir seperti Habermas melihat kebenaran sains atau kebenaran ilmiah adalah mitos baru. Jangan-jangan, kita juga terlalu menuhankan metodologi ilmiah sebagai satu-satunya pengabsah atas kebenaran. Dan kalau diskusi ini diarahkan pada dunia politik kita, akan nampaklah gejala mitologisasi pada sejumlah tokoh politik. Seolah-olah politik adalah sesuatu yang hanya diwariskan pada sejumlah lingkaran keluarga saja.

Pada titik inilah bangsa kita sedang berpijak. Pada titik inilah benih-benih pemikiran post-modernisme mulai mewabah bagai cendawan. Meskipun pada akhirnya pemikiran ini akan terkubur juga sebagaimana puluhan gagasan dalam ilmu social lainnya, namun kita kelak akan menyaksikan satu fajar pemikiran baru yang lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Setiap pemikiran akan selalu berdialektika sebab ketika pemikiran itu statis, maka bisa menjelma menjadi mitos baru.

Satu pelajaran yang bisa dipetik, mitos dan rasionalitas adalah dua sisi mata uang koin yang saling melengkapi. Tidak saling meniadakan. Mungkin, inilahj penjelasan yang paling masuk akal hari ini. Atau, adakah penjelasan lain?


Makassar, 25 April 2010

Temukan Pelangi






DI balik sebuah awan hitam pekat, 
selalu ada pelangi yang indah. 
Di balik setiap permasalahan, 
selalu ada cahaya yang menyinari.
Temukan jalan untuk menyingkirkan
setiap kerikil langkahmu(*)

Mencicipi Kuliner, Mencicipi Kebudayaan

bersama Bondan Winarno

DALAM satu acara di Denpasar, Bali, saya bertemu dengan Bondan Winarno, seorang presenter acara kuliner di televisi yang cukup tersohor di negeri ini. Kebetulan pula, kami bertemu dalam satu acara makan siang sehingga bisa ngobrol banyak hal sambil tertawa-tawa. Memang menyenangkan berbincang dengan Bondan. Bukan saja wawasannya yang luas karena sudah bertualang di banyak tempat, melainkan juga karena penguasaannya atas khasanah sejarah, serta rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik sebuah kuliner atau masakan.

Sebagai jurnalis senior, ia sangat menyenangkan diajak ngobrol, apalagi saat diajak membahas tentang berbagai jenis makanan di berbagai daerah-daerah. Kata Bondan, hampir semua daerah memiliki khasanah pusaka yakni aneka kuliner yang hingga kini masih lestari. Ia menolak anggapan bahwa masuknya berbagai kuliner impor akan mematikan semua kuliner lokal. Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kuliner asing itu yang terancam gulung tikar oleh kuliner lokal.

“Kita sering khawatir sama pengaruh McDonald. Padahal, gerainya di seluruh Indonesia nggak lebih dari 115. Malah jumlahnya makin berkurang. Demikian pula dengan Starbuck yang bangkrut di mana-mana. Orang Indonesia berpikir, ngapain ngopi di Starbuck dan harus bayar sampai 50 ribu rupiah. Mending ngopi di pinggir jalan. Di Bali ini, harga ngopi di pinggir jalan cuma dua ribu rupiah. Padahal kenikmatannya sama saja,” katanya.

Bondan hendak menjelaskan betapa tangguhnya para pengusaha kuliner kita. Bahkan, saat krisis menerjang, justru para pengusaha kuliner yang paling tangguh menghadapinya. Ia menjelaskan jika dihitung secara kuantitatif, maka jumlah pengusaha kuliner bisa sampai separuh dari jumlah pengusaha di Indonesia. “Pengusaha kuliner itu bukan cuma tukang masak saja. Sebab semua peternak, pedagang ayam, juga masuk dalam kategori pengusaha kuliner. Demikian pula petani. Mereka semua menyediakan bahan untuk kuliner,” katanya. Sayangnya, pemerintah tidak begitu peduli dengan pusaka kuliner. Padahal, jika kuliner dikelola dan dikemas secara kreatif, maka akan menjadi satu kekayaan budaya serta potensi wisata yang sangat besar.

“Sebenarnya, ini kan soal kemasan. Kita tidak mengemas kuliner kita secara kreatif. Misalnya saja di bali ini kita mengenal menu bernama Pencong. Ini masakan ayam yang amat enak. Pada masa lalu, resep ini hanya dibuat ketika ada ayam aduan yang kalah. Andaikan sejarah ini diceritakan, pastilah semua orang akan ngiler dan penasaran untuk mencoba,” lanjutnya lagi.

Inilah yang saya sukai dari Bondan. Ia menjelaskan aspek-aspek sejarah yang bersemayam di balik setiap kuliner sehingga kita jadi penasaran untuk mencobanya. Ternyata di balik setiap masakan atau kuliner, terselip demikian banyak kisah-kisah yang bisa dieksplorasi dan menunjukkan bagaimana sebuah kebudayaan tumbuh dan berkembang. Ternyata, kuliner bisa menjadi sebuah jendela atau pintu masuk untuk menjelaskan banyak hal. Mulai dari kebiasaan-kebiasaan yang ada di suatu tempat, bahan-bahan alami yang mudah ditemukan, hingga pelapisan sosial ketika satu kuliner di masa silam hanya dikonsumsi oleh keluarga bangsawan.

Ternyata kuliner bisa menjadi starting point untuk menjelaskan kebudayaan secara lebih luas. Dalam khasanah ilmu sosial yang menganut logika induktif, kuliner menjadi pintu masuk yang akan membawa seseorang memasuki jantung sebuah kebudayaan melalui pengenalan akan khasanah alam, serta dinamika dan interaksi antar manusia yang ada di dalamnya. Melalui kuliner bernama Pencong tersebut, kita bisa mengenal lebih jauh tradisi sabung ayam, potensi alam Bali, serta bagaimana dinamika manusia-manusia Bali yang mengolah kuliner tersebut.

parende ikan merah

Saya sendiri teringat cerita tentang jenis ikan merah di Pulau Buton. Pada masa kesultanan, setiap kali seorang nelayan Bajo menemukan ikan tersebut, ia akan segera mengantarnya ke keraton untuk diserahkan kepada sultan. Kisah ini jelas menarik sebab membuka lapis-lapis realitas sosial tertentu. Mulai dari fakta interaksi orang Bajo dengan pihak kesultanan, posisi seorang sultan sebagai simbol pemimpin negeri yang dicintai seluruh warga, hingga bagaimana konsep ikan yang enak dan tidak enak, dalam konsepsi orang-orang Buton. Kesemuanya adalah lapis-lapis kenyataan yang bisa diketahui hanya dengan mengetahui cerita tentang ikan merah yang ditemukan para nelayan Bajo dan diserahkan ke istana.

Kelemahan Bondan adalah ia mencicipi kuliner sebagaimana layaknya seorang turis. Bahkan, ketika menulis kuliner, ia menuliskannya sebagai makanan enak belaka, tanpa mengurainya secara lebih dalam, tanpa menjelaskan dinamika-dinamika sosial serta bagaimana manusia memaknai kuliner itu di sepanjang sejarah dan peradaban. Mungkin inilah yang menjadi tantangan bagi para ilmuwan sosial dan akademisi kita. Tantangan untuk memulai studi kebudayaan melalui perspektif kuliner.(*)


Kasihan Satpol Pamong Praja!!

KASIHAN para anggota Satpol Pamong Praja (PP). Mereka hanya warga biasa yang juga hidup dalam kemiskinan. Mereka hanya orang-orang kecil yang juga tak berdaya. Tapi mereka didoktrin sebagai prajurit yang setiap saat harus siaga di medan laga. Mereka harus siap menjalankan perintah apapun, bahkan menyerang tetangganya sendiri. Mereka dididik ala militer dan didoktrin untuk melihat warga kecil sebagai musuh yang harus dilenyapkan. Mereka diajari untuk menggusur, menyiksa, dan memukuli sesamanya.

seorang anggota satpol PP saat rusuh Priok (foto: kompas.com)

Di Priok, anggota Satpol PP itu menjadi bidak catur yang diperhadap-hadapkan dengan warga. Hingga tulisan ini dibuat, sudah dua anggota PP yang tewas akibat bentrok. Saya sedih membayangkan bagaimana anggota keluarganya menghadapi hari-hari yang berat setelah sang bapak –yang anggota PP itu- berpulang. Para anggota PP itu bukanlah para jenderal yang hidup bergelimang harta. Mereka hanya warga biasa yang setiap saat harus rela antri minyak tanah, setiap saat harus mengetatkan ikat pinggang karena tidak makan. Ketika dua orang anggota PP tewas, maka dua keluarga telah kehilangan penopang ekonominya. Inilah ironi menjadi warga kecil.

Di Priok, mereka harus menjadi perpanjangan tangan dari seorang bos besar yang memberi kata perintah untuk menggusur makam Mbah Priok. Mereka menjadi kaki tangan untuk mengamankan sebuah permintaan seorang bos, tanpa ada kesempatan untuk menolak. Saya yakin, banyak di antara anggota PP itu yang enggan menggusur. Namun, apalah daya ketika sebuah titah telah dijatuhkan, maka mereka harus siap menyabung nyawa untuk mewujudkan titah tersebut. Mereka menjadi prajurit bodoh yang siap menyapu semua ranjau, bahkan mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Kemarin, Priok membara. Saya menyaksikan melalui tayangan televisi tentang konflik yang memecah antara warga biasa dengan anggota PP. Saya sedih menyaksikan anak bangsa diadudomba atas perintah seorang bos besar. Saya sedih melihat sesama warga sendiri diperlakukan bagai ayam aduan di satu medan laga. Sementara para pengambil kebijakan justru hanya memberi perintah, menyaksikan lewat televisi. Dan ketika bentrok itu kian memanas, para bos besar itu datang bagai pahlawan kesiangan, menghimbau agar konflik dihentikan, menegakkan aturan dan hokum. Padahal, merekalah yang memantik semua kejadian ini.

Konflik Priok menjadi alarm yang mengajarkan kita banyak hal. Pertama, konflik sesama warga ibarat bara api yang mudah dipantik dengan cara menjadikan para anggota PP sebagai barisan terdepan. Meskipun para anggota PP adalah warga biasa, namun mereka dididik bak militer yang setiap saat harus mematuhi perintah ke medan laga. Mereka adalah sipil yang berwatak militer. Atas nama ketertiban, mereka dengan mudahnya diperintahkan untuk menghardik warga, meskipun para anggota satpol PP itu adalah bagian dari warga biasa yang juga sama susahnya. Anggota Satpol PP didoktrin sebagai bagian dari perangkat pemerintahan daerah. Mereka direkrut dari para pemuda pengangguran demi mengamankan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Masyarakat mengenal PP hanya sebagai penggusur yang katanya menegakkan ketertiban. Padahal, fungsi PP sesungguhnya adalah memelihara keamanan dan ketertiban serta menegakkan peraturan daerah (Perda). Satpol berkedudukan di provinsi, maupun kabupaten/ kota. Konflik di Priok menunjukkan bahwa anggota PP paling empuk menjadi sasaran yang berhadapan dengan warga dan memicu konflik.

Kedua, Tanjung Priok menjadi arena yang memperlihatkan kita wajah penguasa yang sesungguhnya. Para penguasa adalah mereka yang bersembunyi lalu memberi perintah agar warga memukuli sesamanya. Ketika konflik memanas, mereka lalu datang sebagai pahlawan yang membawa kesejukan. Para penguasa kita bukanlah sosok yang genteleman mengakui semua kesalahan, mengakui semua perintah dan kebijakan yang keliru. Penguasa kita hanyalah sosok yang melemparkan kesalahan pada para warga kecil, dan dengan entengnya menyebut para anggota PP itu bodoh, lalu bertingkah seolah pahlawan yang menegakkan aturan, menghukum yang salah.

Namun, bisakah kita dengan seenaknya mengkambinghitamkan para anggota PP itu? Jika anggota PP itu hanya kaki tangan saja, tentulah ada otak yang harus dimintai pertanggungjawaban atas nyawa yang melayang tersebut. Bukankah harus ada sosok jantan yang mengakui semua kesalahan dan tidak dengan seenaknya menyalahkan para kaki tangannya. Mungkin inilah ironi bangsa ini. Entah kenapa, kita mudah menyalahkan mereka yang hanya kaki tangan. Sementara banyak di antara kita yang mengipas-ngipas dan menjadi pahlawan.(*)


Wisnu yang Diterbangkan Garuda

DI atas punggung garuda, Wisnu duduk dengan sorot mata tajam. Entah apa yang sedang dipandangnya. Mungkin ia sedang terbang mengangkasa dan memandang bumi yang di dalamnya terdapat manusia yang saling menghancurkan. Wisnu sedang menjalankan takdirnya sebagai dewa yang memelihara seluruh semesta. Ia adalah bagian dari trinitas suci penyeimbang semesta bersama Brahma sang pencipta, dan Syiwa, sang dewa penghancur.

Garuda yang menjadi tunggangan Dewa Wisnu
 
Wisnu memandang semesta. Pada sorot mata bijaksana itu, terletak nasib takdir saujana, seluruh alam semesta, di mana manusia hanya bagian kecil. Saya menyaksikan patung Wisnu yang menunggang garuda di Monumen Garuda Wisnu Kencana di kawasan pebukitan Bali. Sudah lebih 10 tahun, monument ini belum juga tuntas. Meskipun masih jauh dari sempurna, namun beberapa patung sudah dipamerkan dan sukses menyedot ribuan pengunjung baik turis dalam negeri, maupun turis internasional. 

Titisan Dewa Wisnu

 Patung yang sudah dipamerkan adalah patung Wisnu dan garuda yang dikendarainya. Patung-patung itu dipamerkan secara terpisah. Konon, menurut pengelola, mereka kekurangan duit untuk menyatukannya menjadi sebuah bangunan utuh. Kelak, patung Wisnu yang sewdang mengendarai garuda itu akan bertengger di atas sebuah bangunan bertingkat 14. Kelak, patung ini akan menjadi patung tertinggi di dunia dan menjadi bagian dari keajaiban dunia. Sampai detik ini, Bali memelihara ambisi untuk menjangkau dunia. 

Patung Wisnu yang berdiri kokoh

Bali memang memenuhi syarat tersebut. Mereka punya pematung sekaliber I Nyoman Nuarta yang telah berpengalaman menghasilkan patung-patung raksasa. Mereka juga punya banyak pekerja seni yang mumpuni untuk menghasilkan proyek-proyek prestisius ini. Sayangnya, proyek ini masih tersendat. Menurut sorang guide, pemerintah masih setengah hati membantu proyek yang akan menghabiskan APBD Bali hingga triliunan rupiah ini. Pantas saja jika proyek ini masih belum tuntas.

maket patung
Tapi patung ‘setengah jadi’ yang dipamerkan tersebut sudah bikin semua turis terkagum-kagum. Bukan hanya patung saja, mereka juga membangun sebuah amfiteater dan hampir setiap malam menyajikan pagelaran tari kolosal. Sayangnya, saya datang pada sore hari. Namun saya cukup puas menyaksikan latihan tari yang menghadirkan ratusan siswa taman kanak-kanak dan sekolah dasar (SD) kelas satu.

Mungkin, kelebihan orang Bali adalah mereka bisa mengemas sebuah gagasan menjadi sesuatu yang menjual. Inilah yang dinamakan kreativitas. Dan ekonomi Bali bisa menggeliat karena tingginya kreativitas ini.(*)

Denpasar, 10 April 2010

Bali Menyimpan Bom Waktu

NAMANYA Nyoman. Usianya sudah sepuh, sekitar 60 tahun. Selama beberapa hari ini, ia menjadi tukang opjek pribadi yang mengantar saya mengitari sudut-sudut kota Denpasar. Selama perjalanan tersebut, saya selalu mengajaknya berbincang. Ia menikmati saat-saat ketika saya tercengang melihat sekeliling, tersentak melihat bule berbikini, hingga tersentak saat menyaksikan perkampungan internasional di sekitar kawasan Pantai Kuta.

berpose di depan bangunan milik asing

Kata Nyoman, dahulu ia punya tanah yang cukup luas di sekitar pantai. Namun semuanya tinggal kenangan. Ketika ditawar mahal oleh seorang investor, ia lalu melepas tanahnya. Hanya dalam hitungan tahun, hasil penjualan tanah itu sudah ludes. Ia banting stir menjadi tukang ojek yang setiap hari menawarkan jasa di sekitar Kuta. Di saat tidak ada penumpang, ia lalu duduk mengaso di sekitar pantai sambil melihat pemandangan. Ia hanya bisa menatap iri pada bule-bule yang lalu lalang dan menghabiskan uang di negeri ini. Nyoman hanya bisa sedih ketika melihat rerimbunan hotel, yang dahulu adalah tanah tempatnya bermukim bersama anak istri.

turis asing di jalan raya

Pada hari ini, Bali bukan lagi sebuah tempat eksotik di mana warganya hidup harmonis dengan pertanian yang subur atau laut yang melimpah bagi pata nelayan. Pada hari ini, Bali adalah sebuah kampong internasional yang penuh dengan hotel-hotel dan berbagai jasa pariwisata. Sebagai industri, pariwisata menjadi tumpuan serta napas yang memenuhi atmosfer. Di sini, setiap jengkal tanah menjadi lahan bisnis. Uang menjadi agama baru yang dikejar dengan penuh nafsu. Para pemodal raksasa menyerbu Bali dan menyingkirkan pria seperti Nyoman. Maka bertumbuhanlah berbagai hotel dan gedung-gedung yang menopang industri pariwisata. Bangunan-bangunan yang megah dan mentereng, yang hanya bisa disaksikan dari kejauhan --dengan penuh decak kagum—oleh warga setempat, seperti Nyoman.

“Dulunya semua gedung itu dimiliki investor lokal. Ternyata itu hanya kedok. Semuanya dimiliki bule,” kata Nyoman dengan menggeram. Setelah bertanya pada beberapa orang, barulah saya paham maksudnya. Ternyata, rata-rata pemilik semua infrastruktur pariwisata itu bukan lagi warga Bali. Warga Bali banyak yang hanya menjadi kaki tangan para investor. Mereka adalah pion-pion kecil yang tak berdaya ketika berhadapan dengan para pemilik modal. 

Kata Nyoman, para bule itu punya seribu akal untuk menyiasati aturan. Mereka memakai nama karyawannya untuk bertransaksi, membeli tanah, membangun property hingga memasarkan tanah tersebut. “Mulanya bule-bule itu mengontrak rumah. Lama kelamaan mereka melobi untuk membeli rumah tersebut. Karyawannya yang nota bene adalah oprang Bali lalu diminta bertandatangan dan mengurus surat-surat. Setelah itu, barulah si bule kembali mengelola rumah itu,” kata Nyoman.

Ada pula modus lain. Para bule itu menyewa rumah untuk jangka waktu hingga 10 tahun. Setelah itu, mereka merenovasi rumah tersebut, lalu dipasarkan melalui internet hingga ke manca negara. Ketika tamu berdatangan, mereka mulai menenggak untung. “Keuntungannya bisa belipat-lipat dari sewa rumah,” kata Nyoman lagi seraya menghembuskan asap rokok.

Saya hanya bisa masygul mendengar kisah Nyoman. Tiba-tiba saya teringat pengalaman seorang teman di luar negeri. Saat berkenalan dengan seorang warga asing, ia menyebut Indonesia. Sang bule justru tidak mengenal Indonesia. Teman lalu menyebut Bali. Bule itu langsung paham. Saat teman itu menjelaskan lebih lanjut tentang Bali sebagai bagian kecil dari Indonesia, warga asing itu langsung memprotes. “Bali is Bali. Not Indonesia,” katanya dengan kukuh.

Saat mendengar kisah itu, saya hanya tersenyum saja, tanpa paham maksudnya. Tapi, pengalaman berbincang dengan Nyoman seolah menerbangkan saya pada kisah seorang teman di luar negeri. Saya mulai paham mengapa Bali disebut bukan bagian dari Indonesia. Mungkin saja karena semua properti dan asset wisata sudah berpindah tangan. Orang bali bukan lagi pemilik yang punya otoritas mengatuir semuanya. Orang Bali hanyalah penonton yang melihat dari pinggiran. Banyak di antara mereka yang hanya menjadi pekerja biasa, menjadi kaki tangan dari sebuah perusahaan besar.

Bali menjadi bom waktu, yang menanti saat tepat untuk meletup. Jutaan warga miskin yang hanya menjadi pekerja biasa itu adalah sekam yang mudah dipantik oleh sebuah api kecil. Mereka adalah potensi sekaligus ancaman bagi harmoni kehidupan social yang telah dibangun slama ribuan tahun di tanah itu. Ini hanya soal waktu. Entah apakah kelak akan kita saksikan dentuan social itu, ataukah tidak.(*)


Denpasar, 9 April 2010

Pantai Kuta yang Eksotik

JANGAN bandingkan Pantai Kuta dengan pantai-pantai lain di Indonesia. Pantai Kuta memang panjang hingga beberapa kilometer dengan ombak yang ganas. Pantai Kuta memang penuh dihampari pasir putih yang menawan dan para turis bisa bergolek ria di situ. Pantai Kuta memang dilengkapi infrastruktur yang lengkap, mulai dari peralatan surfing, payung-payung hingga kursi-kursi untuk berbaring bersama kerabat. Tapi, bukan itu yang menjadi daya tariknya.

suasana di pantai kuta (foto: yusran darmawan)
interaksi di pantai kuta (foto: yusran darmawan)

Daya tarik Pantai Kuta adalah manusia-manusia Bali yang adaptif dengan kultur pariwisata yang memberi napas bagi pulau ini. Manusia Bali yang sudah eksis sejak ratusan tahun lalu dan telah terbiasa dengan kultur turisme serta perjumpaan-perjumpaan dengan busaya asing. Mereka menjadi magnet yang memperkukuh daya saing pariwisata. Mereka menjadi bagian dari sosok yang hidup dari dunia pariwisata serta menjadi denyut nadi pariwisata Bali.

Selama berada di Pantai Kuta, saya banyak mengamati tingkah polah orang Bali khususnya mereka yang berada di lapisan grass root. Mereka bisa memposisikan dirinya sebagai kawan yang baik bagi para turis. Mereka fasih berbahasa Inggris, meskipun mereka tidak belajar di bangku sekolahan. Saya melihat ibu-ibu para pemijat atau bocah penjaga papan luncur yang fasih berbahasa Inggris, padahal mereka hidup dan besar di jalan raya.

seorang gadis tengah ditato di punggung

Saya yakin, tak banyak yang dilakukan pemerintah untuk meng-upgrade kemampuan mereka dalam hal bahasa dan hospitality (keramahan). Tapi mereka tumbuh dari jalan raya, dimatangkan oleh persaingan mencari nafkah, sehingga menempa mereka dnegan beragam keahlian yang dipungut dari jalan raya. Mereka menjadi sosok yang memperlancar jalannya mesin besar bernama industri pariwisata.(*)


Denpasar, 9 April 2010

Potret Gadis Manis di Monumen Tragedi Bom Bali

SAYA membayangkan jerit tangis dan teriak mencekam ketika menyaksikan tugu peringatan bom Bali di Legian, Kuta. Saya membayangkan suatu malam yang penuh gelak tawa. Botol-botol bir memenuhi meja, dan music keras yang mengalun dari sekelompok pemusik yang tengah beratraksi di sudut kafe. Tiba-tiba, terdengar ledakan besar. Langit serasa runtuh. Sekian detik berikutnya, bau anyir darah memenuhi atnosfer, api yang melalap habis, dan teriakan-teriakan histeris berpadu dengan isak tangis.

berpose depan monumen peringatan bom bali

Di sini, di depan tugu peringatan bom Bali, semuanya menjadi kenangan yang pilu. Saya membayangkan betapa perih perasaan sanak keluarga mereka yang menjadi korban saat menatap monument ini. Saya hanya bisa berimajinasi bahwa di sini dahulu terdapat dua buah kafe yang kemudian menjadi sasaran peledakan. Di sini, pernah ada gelak tawa yang sedetik berikutnya menjadi lolongan tangisan. Yang tersisa di sini hanyalah sebuah tugu peringatan sebagai pertanda bahwa dahulu pernah terjadi sesuatu di sini, sesuatu yang amat mengerikan.

foto gadis manis di tugu bom, bali
foto gadis manis di tugu bom bali

 Mengapa orang-orang harus membuat monument peringatan? Sebab ada kenangan atau ingatan yang hendak diwariskan di situ. Sebuah kejadian memang perih untuk dikenang. Namun kejadian tersebut harus memberi makna agar kita di masa kini, dan generasi di masa depan bisa belajar dari kejadian tersebut. Dalam konteks bom Bali, tugu peringatan itu menjadi semacam sirine yang selalu member tanda peringatan. Bahwa di Legian pernah terjadi ledakan bom yang menewaskan ratusan sesamanya sendiri, sesama manusia yang juga menerima tanggungjawab untuk menjadi khalifah. Tanggung jawab untuk memakmurkan sesama.

depan monumen bom Bali

 Monumen itu tidak cuma menjadi ingatan yang menikam. Monument itu juga menjadi kisah tentang sekelompok manusia yang rela mengorbankan sesamanya demi memperjuangkan sebuah utopia tentang surga dan jalan pembebasan. Saya tak hendak membahas tentang benar salah dalam tulisan ini. Saya hanya sedih saat melihat beberapa lembar potret gadis manis berambut pirang yang sedang tersenyum di monument itu. Entah siapa yang meletakkannya, tapi senyum dalam potret itu seolah membawa pesan penting bagi kita di masa kini. Sebuah pesan damai yang kuncupnya mekar di hati yang menyaksikannya. Sebuah senyum yang kemudian membangkitkan rasa bersalah. Ah, kenapa harus ada bom Bali?


Denpasar,  9 April 2010


Kaos Joger dan Jualan Kreativitas

SAYA seorang penggemar baju kaos oblong. Pada beberapa tempat yang saya kunjungi, saya selalu berusaha membeli baju kaos oblong yang kreatif dan unik-unik. Saya juga senang ketika dibelikan baju kaos unik seperti Dagadu, C-59 atau produsen kaos lainnya. Namun saya jauh lebih senang ketika mengunjungi langsung pusat penjualan kaos kreatif, sebagaimana yang saya alami hari ini ketika berada di Denpasar, Bali. 

dinding yang dipenuhi desain kaos

Hari ini, saya amat bahagia setelah mengunjungi outlet produsen kaos terbesar di negeri ini yakni kaos Joger.Sebelumnya, tak pernah ada rencana untuk mengunjungi pusat penjualan kaos Joger ini. Semuanya terjadi secara kebetulan. Dalam kunjungan ke Bali ini, saya menginap di Wisma Bima, yang terletak di Jalan Raya Kuta, tak jauh dari Pantai Kuta yang tersohor itu. Saat keluar hotel untuk cari makan, seorang karyawan menunjukkan letak kaos Joger yang ternyata tepat berada di depan hotel yang saya inapi. Dengan penuh semangat, saya lalu singgah ke pusat penjualan Joger tersebut. Saat itulah saya terpengarah.

langit-langit yang juga penuh desain kaos
pengunjung yang membeludak

Hal pertama yang saya catat adalah ternyata Joger bukan sekadar penjualan baju kaos oblong. Joger sudah bertransformasi menjadi satu institusi bisnis yang jualan utamanya adalah kreativitas. Meskipun kaos oblong adalah salah satu jualan utama, namun saya menyaksikan banyak barang dijual di situ. Mulai dari pin, gantungan kunci, pernak-pernik dalam rumah, hiasan dinding, tas, sepatu, sandal, kemeja, hingga kaos oblong. Tapi, semua barang tersebut dikemas dengan cara yang sangat kreatif dan tidak terpikirkan oleh banyak orang.

Tema besar yang diusung dan dipromosikan Joger adalah “Pabrik Kata-Kata.” Ini bukan sekedar tagline yang kosong, namun diwujudkan dalam kreatifitas mengemas kata-kata yang unik ke dalam wadah kaos oblong, tas, dan berbagai benda lainnya. Pemilik Joger berhasil mengolah kata-kata secara kreatif sehingga menjadi kekuatan utama dalam produk yang mereka hasilkan. Dengan kemasan yang kreatif, dan unik, mereka berhasil menyajikan produk yang kemudian menjadi trend setter bagi produk kaos lainnya. Saat masuk ke dalam pabrik Joger, saya melihat ada banyak kata-kata yang tercetak di dinding. Hiasan dindingnya sangat kreatif dengan berbagai kata-kata itu. Bahkan, saat saya bertanya pada karyawan toko, jam berapa bukanya, jawabannya juga lucu. “Jam 10 pagi waktu Joger,” katanya. Mana ada waktu Joger?

pemilik Joger dan profile yang lucu
berbagai plakat dan penghargaan

Tahukah anda berapa pemasukan per hari? Bondan Winarno –presenter acara kuliner di televisi—mengatakan, pada akhir pecan (jumat – Sabtu – Minggu), jumlah pengunjung yang melakukan transaksi adalah 30.000 orang. Jika seorang pengunjung bertransaksi Rp 100.000, maka diperkirakan dalam sehari transaksinya bisa sampai Rp 3 Miliar. Menurut pengalaman saya, antrian pengunjung yang panjang itu, rata-rata membeli sampai sekeranjangpakaian atau pernak-pernik. Artinya, transaksinya dalam sehari bisa sampai lebih Rp 10 miliar. Hitung sendiri berapa jumlah pemasukannya dalam sebulan. Pantas saja pemilik Joger bisa kaya raya.

Mulanya, saya mengira pemilik Joger adalah seorang biasa yang tiba-tiba menemukan ide untuk kaos kreatif. Tapi, Bondan bilang, pemilik Joger itu adalah adik pengusaha Jaya Suprana. Memang, bakat bisnis bisa lahir dari keluarga pebisnis juga. Di situ ada banyak hal yang tidak mungkin dipelajari di berbagai sekolah bisnis. Yakni keberanian dan kemampuan mengendus peluang. Itulah yang dimiliki oleh Joger sehingga menjadi satu kerajaan bisnis yang hebat.(*)

Denpasar, 9 April 2010

BH Impor dan Celana Jeans

Pudarnya Makna Merek di Pulau Kecil


HARI ini saya mengantar ibu berbelanja ke Pasar Wameo, yang terletak di Kota Bau-Bau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra). Saya menyaksikan sebuah lapak-lapak yang menjajakan aneka BH impor yang dikerubuti banyak perempuan. Lapak itu baru saja menggelar dagangannya berupa BH impor yang diobral murah, hanya sekitar Rp 2.500. Saya mengenali satu di antara perempuan yang mengerubuti dagangan tersebut. Saat mendekat, perempuan itu menunjukkan sebuah BH kepada saya sambil berteriak, ”Gila Yus… Di Jakarta, harganya bisa ratusan ribu. Di sini, harganya cuma dua ribu lima ratus rupiah. Wow!!!” 

BH impor yang dijual di lapak-lapak

Beberapa hari yang lalu, saya juga menemani seorang peneliti LIPI yang bergelar doktor, alumnus perguruan tinggi ternama di Perancis. Ia hendak mewawancarai seorang nelayan di tepi Pasar Wameo. Saat sedang asyik berbicara, sang doktor tersentak melihat baju si nelayan. Ia memperhatikan gambar buaya dan lalu berteriak “La Coste. Ini kan baju yang sangat mahal di luar negeri?”

Lebih terkejut lagi saat sang doktor menyaksikan sepatu sang nelayan yang bermerk Adidas tipe koleksi khusus yang amat sulit didapatkan. Ia lalu melihat ke sekeliling dan menemui fakta bahwa rekan-rekan nelayan itu juga memakai baju merek mahal saat sedang menjajakan ikan. Ia kebingungan dan menoleh ke saya untuk mendapatkan jawaban. Saya hanya tersenyum dan menjelaskan bahwa di pulau ini, merek-merek mahal adalah hal biasa sebab warga membelinya dengan harga murah. Kok bisa? Sebab merek mahal itu dijajakan sebagai pakaian bekas yang laris di lapak-lapak kecil atau digelar begitu saja di tanah. 

Sang doktor itu jelas amat terkejut. Ia belajar amat keras hingga ke luar negeri demi perbaikan ekonomi, agar mengenakan pakaian merek-merek mahal. Baginya, merek mahal adalah semacam sosialita atau etiket untuk memasuki pergaulan di tingkat jetset atau tingkatan elite (sstt… bukan ekonomi sulit lho). Tapi di sini, di pulau kecil ini, merek mahal kehilangan nilai sosial dan nilai estetisnya sebab menjadi barang murah yang dijual secara obral dan bisa dijangkau siapa saja. Di pulau ini, merek seperti Nike atau Adidas diturunkan statusnya menjadi merek sepatu yang dikenakan seorang nelayan, sebagaimana yang ditemui sahabat saya, seorang doktor jebolan universitas di Perancis.

suasana penjualan RB
kaos kaki impor ikut dijual

Saya tidak sedang bercanda. Sejak saya masih kecil, berbagai barang merek ternama sudah membanjiri Kota Bau-Bau. Semua barang-barang tersebut adalah barang second atau barang bekas yang didatangkan dari luar negeri melalui kapal perdagangan antar pulau yang ilegal. Makanya, barang tersebut sering disebut barang selundupan yang tidak berizin.

Di Sulawesi Selatan (Sulsel), pakaian bekas itu dinamakan ”cakar” sebab saat membelinya, pakaian itu hanya dihamparkan di atas tikar, dan para pembeli mesti mengais-ngais seolah ayam yang sedang mencakar. Sementara di Pulau Buton sendiri, barang tersebut dinamakan RB (dibaca: erbe). Ada juga warga yang memplesetkan RB adalah singkatan dari Rombongan Bupati. Kata warga, ini singkatan dari kata ”rombengan” atau bekas. Entah sejak kapan istilah ini dipakai. Saya memperkirakan barang-barang tersebut mulai menjamur sejak tahun 1980-an, saat banyak pelaut Buton khususnya dari Wakatobi yang berlayar ke Singapura dan saat kembali membawa pakaian yang dimasukkan dalam karung tersebut.

Aliran Barang

Beberapa pedagang yang saya tanyai mengaku RB itu mereka datangkan dari Wakatobi. Sejak dulu, pelaut Wakatobi sudah dikenal sebagai pelaut ulung yang menjangkau negera-negara lain hanya dengan menggunakan kapal layar. Mereka punya seribu trik untuk melewati penjagaan patroli perbatasan atau petugas bea cukai. Kata seorang teman, para pelaut Wakatobi memiliki semacam mantra untuk mengelabui patroli perbatasan. Saat mereka merapal mantra, maka kapalnya akan lenyap, tidak nampak di mata para anggota patroli. Dan sejak tahun 1980-an, berbagai barang-barang ”impor” tersebut membanjiri Pulau Buton dan sekitarnya, hingga mencapai Sulawesi Selatan.

Pemerintah beberapa kabupaten di Sulsel sempat mewacanakan pelarangan barang tersebut. Tapi entah kenapa, larangan tersebut bagai nyanyi sunyi yang sayup-sayup terdengar. Lagian, siapa sih yang sanggup melarang sebuah mata rantai kebutuhan yang sudah terjalin lama dan melibatkan banyak pihak dengan berbagai kepentingan. Mulai dari pelaut, pedagang, hingga akhirnya tiba ke konsumen sebagai mata rantai terakhir. 

Para konsumen jelas tidak peduli dengan larangan tersebut. Mereka jelas menginginkan barang yang murah, bermerek, meskipun itu barang bekas. Saat pakaian itu dikenakan, tak mungkinj ada yang menanyakan apakah itu pakaian bekas atau tidak. Sepanjang bitu nampak gagah, anda bisa saja mengaku bahwa itu dibeli pada sebuah butik ternama di Perancis. Lagian, para pejabat secara diam-diam juga menjadi konsumen produk RB ini. Pernah sekali, saat saya sedang memilih-milih pakaian, saya berpapasan dengan seorang pejabat di Bau-Bau. Saat saya sapa, ia menjawab, ”Daripada kita beli mahal di Jakarta, lebih baik kita beli di sini. Murah meriah khan?” Benar juga Pak! 

Satu hal yang harus dicatat, RB tidak hanya pakaian berupa baju, celana atau BH. Jika suatu saat anda ke Buton atau Wakatobi, jangan terkejut jika melihat begitu banyak barang RB. Mulai dari sepatu, kaos kaki, tas, ransel, karpet bulu, selimut, gorden, tirai, hingga barang-barang elektronik seperti televisi, radio, handphone, hingga laptop. Bahkan, seorang kawan menuturkan bahwa di Wakatobi, banyak sepeda motor merk ternama yang merupakan barang RB. Jangan tanya soal harga, sebab harganya jelas jauh lebih murah daripada yang tertera pada label harga di kota-kota.

Bagaimana Menafsirnya?

Nah, bagaimanakah menafsirkan fenomena kehadiran barang-barang RB di Buton? Saya punya beberapa argumentasi. Terserah kepada Anda hendak bersepakat atau tidak. Pertama, dari sisi nasionalisme. Indonesia adalah negeri yang sejak dulu menjadi ’tempat sampah’ dari bangsa-bangsa di sekitarnya. Mungkin saja tingkat pertumbuhan ekonomi di negara sekitar kita sudah sedemikian meninggi, sehingga tingkat konsumsi juga ikut meninggi. Dalam dunia konsumsi, berlaku istilah bahwa merk yang hari ini ngetrend, bisa saja akan tertinggal jauh keeskan harinya. Makanya, konsumsi yang terus digenjot, akan melahirkan banyak ”sampah-sampah” barang bekas yang kemudian dipasarkan ke negara sekitanya. Kita boleh saja sedih dengan fenomena ini. Tapi inilah faktanya.

Kedua, kehadiran barang-barang RB itu menjadi paradoks yang menarik untuk disimak. Bayangin, pada saat warga kota sibuk bekerja keras demi mengumpulkan pundi-pundi yang selangit demi mengejar barang bermerek, warga yang tinggal di pulau tiba-tiba saja mengenakan merek mahal, tanpa perlu bekerja keras. Mereka bisa mendapatkannya dengan harga murah, namun saat dikenakan bisa meningkatkan gengsi pemakainya. Gengsi? Tunggu dulu. Jika dikenakan di Bau-Bau atau Wakatobi, jelas menjadi barang yang kehilangan fungsi sosial dan estetisnya. Namun saat dikenakan di kota-kota besar, maka barang itu kembali mendapatkan fungsi sosialnya. Jangan terkejut dan depresi saat menyaksikan seorang nelayan kecil yang penghasilnnya hanya Rp 10.000 per hari, bisa ginta-ganti merek mahal. Itu sih biasa. Saya lebih suka menyebut fenomena ini sebagai olok-olok warga kampung terhadap warga kota. Artinya, warga kampung sedang mengolok-olok warga kota yang begitu gandrung dengan merek-merek mahal.

suasana penjualan RB

 Ketiga, fenomena ini mengisyaratkan perlunya kembali meninjau beberapa teori sosial yang membahas tentang merek dan gaya hidup. Beberapa teori dari Dick Hebdigge yang melihat karakter konsumsi modern, serta Erving Goffman yang melihat tubuh sebagai lanskap penyemaian gaya hidup modern, serta Pierre Bourdieu yang melihat selera dan gaya hidup sebagai sesuatu yang sudah dirancang secara sosial. Semua teori itu jelas kurang tepat untuk melihat fenomena merek mahal yang kehilangan makna di pulau-pulau kecil.

***

Sebagai seorang warga biasa, ngapain saya memikirkan berbagai teori sosial tersebut. Biarin itu jadi tugas para akademisi atau para ilmuwan sosial. Mending saya bisa belanja murah dan setelah itu bergaya dengan merek-merek mahal tersebut. Iya khan?


Pulau Buton, 7 April 2010
Saat kembali dari Pasar Wameo