Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Pesan Tersembunyi dalam Puisi JUSUF KALLA





BEBERAPA waktu lalu, film Athirah yang mengisahkan kiprah ibunda Jusuf Kalla tayang di layar-layar bioskop tanah air. Publik mendapatkan gambaran seperti apa peran penting sosok ibu bagi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kini, Jusuf Kalla kembali berkisah tentang orang penting dalam kehidupannya. Ia bercerita tentang istrinya Mufidah, yang telah menemaninya dalam mahligai pernikahan selama 50 tahun.

Ia menulis puisi yang merangkum pertemuan dan perjuangannya mendapatkan Mufidah hingga akhirnya mereka menikah lalu bersama-sama membangun bisnis. Puisi itu juga menyimpan banyak pesan-pesan tersembunyi yang bisa diurai demi memahami satu keping kenyataan yakni di balik satu sosok besar, terdapat banyak sosok hebat yang menjadi tanah gembur agar sosok itu tumbuh kokoh, dengan daun dan ranting yang menjangkau mega-mega impian.

***

BAPAK itu berdiri menuju panggung. Seluruh pasang mata menyaksikan bapak itu, Haji Muhammad Jusuf Kalla, yang berjalan di tengah sorotan lampu Hotel Dharmawangsa, Minggu (27/8) silam. Langkahnya tegap. Sorot matanya memancar ketegasan. Ia akan bersiap membacakan puisi sebagai kado ulang tahun perkawinan yang ke-50.

Usia 50 tahun perkawinan bukanlah usia yang singkat. Semua orang bisa berikrar di hadapan penghulu untuk mengekalkan ikatan cinta dalam kesediaan untuk hidup dalam mahligai pernikahan. Tapi tak semua orang bisa mencapai tahun ke-50 pernikahan, dengan gelora dan perasaan sebagaimana pasangan yang malu-malu saat dinikahkan.

Jusuf Kalla membacakan puisi yang ditulisnya sebagai kado. Ia menulis puisi untuk istrinya, Mufidah, yang telah menemaninya selama setengah abad. Puisi itu serupa esai pendek. Lebih mirip narasi atas apa yang telah lewat. Isinya serupa perjalanan ke masa 50 tahun silam demi menemukan diri yang masih muda dan berdegup saat melihat perempuan itu. Selama ini, nyaris tak pernah terdengar Jusuf Kalla menulis puisi. Jika ia sampai menulis dan membaca puisi, berarti ia hendak merangkum gelora dan perasaannya sendiri. Ia hendak mengawetkan kenangan dan gemuruh rasa, lalu menjejalkannya dalam kalimat-kalimat puitis.

Di bahagian awal, Jusuf mengisahkan perjumpaan dengan Mufidah. Ia mengenal Mufidah di sekolah yang sama. Ayah dan ibu Mufidah adalah guru yang bertugas di Makassar. Keluarganya adalah bagian dari sejumlah warga beretnis Minang yang tinggal di Makassar sejak lama. Ia mengatakan:

Aku pertama kali melihatmu, waktu kita di SMA. Kita bersebelahan kelas. Karena kau adik kelasku. Aku terpesona dengan kesederhanaanmu. Walaupun kau sempat takut tak peduli padaku. Aku menyukaimu pada detik pertama aku melihatmu. Tujuh tahun lamanya aku berusaha untuk mendekati dan meyakinkanmu. Tapi engkau seperti jinak-jinak merpati. Sama dengan nama jalan di depan rumahmu. Antara mau dan tidak sering membingungkan tidak jelas.

Sebagai orang Bugis, Jusuf Kalla menyadari adanya perbedaan budaya di antara mereka. Dalam banyak hal, budaya Bugis dan Minang memiliki pertautan, tapi juga punya banyak perbedaan. Budaya Bugis lebih bersifat patrilineal, yakni suatu adat yang mengatur keturunan berasal dari pihak ayah. Sementara Minang justru bersifat matrilineal, yang menekankan pentingnya garis kekerabatan ibu.

Keberadaan orang-orang dari tanah Sumatera di Makassar telah berlangsung lama. Orang Melayu dan Minang telah lama berada di Sulawesi. Sejarah mencatat, sekretaris Sultan Hasanuddin dahulu adalah Encik Amin, seorang Minang yang kemudian masyhur karena menulis Syair Perang Makassar. Syair ini menggambarkan Perang Makassar yang disaksikan Encik Amin pada tahun 1667-1668. Terhadap perbedaan budaya ini, Jusuf mengatakan:

Akar budaya kita memang berbeda, antara Bugis dan Minang. Orangtuamu terkadang khawatir karena engkau anak perempuan satu-satunya. Adiknya laki-laki semua. Orangtuaku pula sering salah mengerti adat Minang. Kenapa perempuan lebih banyak menentukan. Perbedaan yang nyaris menduakan kita. Kalau ke rumahmu harus siap untuk sabar. Mendengar petuah bapakmu dengan suara yang pelan, seperti guru menasehati muridnya. Karena memang bapak dan ibumu juga guru.

Aku ingin menemuimu tapi bapakmu menyembunyikanmu. Kau baru dipanggil keluar kalau saya permisi pulang. Sebenarnya itu termasuk perilaku yang kejam. Datang ke rumahmu sore hari sebelum magrib, begitu magrib aku berdiri dan adzan dengan fasih. Keluar salat berjamaah yang diimami oleh bapakmu. Ini juga penting dengan bapakmu aku juga lagi shalat.

Setelah mengisahkan pertemuan dengan Mufidah, bait-bait selanjutnya mengisahkan bagaimana pejuangannya untuk memenangkan hati Mufidah. Saat Mufidah terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Ekonomi di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Jusuf lalu menjadi asisten dosen agar bisa mengajar di kelas Mufidah, Saat Mufidah bekerja sebagai kasir di Bank BNI, lagi-lagi Jusuf menjadi nasabah yang paling sering berkunjung, Hingga akhirnya Mufidah melihat ketulusan itu hingga akhirnya bersedia menikah.

Setelah tamat SMA kau bekerja di BNI. (Lalu) kuliah sore. Sampai kuliah aku juga bekerja di kantor bapakku, agar bisa sering terbang, sekali seminggu aku minta menjadi asisten dosen dan mengajar di kelasmu tanpa honor. Semua itu agar bisa bertemu denganmu, dan melihat senyummu. Keras sekali perjuanganku tapi demi menatapmu. Akhirnya kau luluh juga.

Ayahku akhirnya memahami perbedaan adat kita, selain ibuku dan sahabatnnya memberi nasihat. Mungkin juga setelah membaca buku Hamka, tenggelamnya kapal Van der Wijk. Semua itu karena untuk melihat senyummu. Saat orangtuaku melamarmu untuk jadi istriku, aku melihat cakrawala tersenyum perjuangan cinta bertahun-tahun yang berbuah manis.

Pernikahan menjadi awal bagi kerja keras keduanya. Mufidah yang tadinya bekerja di BNI, akhirnya memilih untuk mendampingi Jusuf mengelola bisnis. Jusuf tumbuh di iklim keluarga yang berprofesi sebagai pebisnis. Ayahnya, Hadji Kalla, adalah pebisnis angkutan yang masa itu menguasai trayek Makassar – Bone. Ibunya, Hajjah Athirah, adalah pedagang kain sutera yang juga memiliki bisnis toko kelontong.

Jusuf Kalla tumbuh dalam iklim keluarga yang menjadi lahan gembur bagi dirinya untuk menggapai banyak hal. Ayah dan ibunya adalah pebisnis, juga aktivis organisasi kemasyarakatan. Sejak masih menjadi mahasiswa, Jusuf telah merasakan pengaruh orangtua dalam membesarkan kariernya. Ia belajar di rumah bagaimana berinteraksi dengan banyak orang, serta menguatkan karakternya.

Di masa mahasiswa, Jusuf adalah aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan juga penggerak Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Rumahnya kerap menjadi tempat berkumpul bagi para aktivis mahasiswa. Ditambah lagi ayahnya adalah pengurus Nahdlatul Ulama (NU), sedang ibunya telah lama aktif di Aisyiyah, Muhammadiyah. “Di rumah saya itu ganti-ganti orang rapat. Hari ini NU, besok Aisyiyah. Kalau HMI tiap hari. Tapi ibu tidak pernah mengeluh, Tiap malam ratusan orang datang. Ibu saya masak, lalu pergi tidur di kamarnya, Teman-teman kalau mau makan langsung ke dapur ambil sendiri, Tapi ibu tidak pernah merasa terganggu,” katanya dalam buku Inspirasi JK.

Setelah menikah, istrinya, Mufidah, pun ikut terlibat membantunya mengurusi banyak urusan bisnis. Peran Mufidah sangat vital dalam hal membantu bisnis, juga mengurus dan merawat semua anak-anak. Jusuf mengatakannya dalam bait berikut:

“Setelah kita menikah, aku menjalankan perusahaan ayahku. Kau sekretaris, merangkap keuangan karena kita belum bisa, memegang pegawai tambahan. Di samping mengasuh anak dan mengurus rumah dengan baik. Anak-anak kita kau asuh sendiri tanpa suster-suster seperti cucu kita sekarang.”

Selama 50 tahun kau chef terbaik yang kukenal karenanya kita jarang makan di restoran. Di kantor pun setiap hari kau kirim makanan. Teman-teman selalu menunggu apa yang akan kau hidangkan. Kau tahu cintamu terus mengitariku karena hidangan yang kau buat. 50 tahun kita jalani, 33 tahun di Makassar dan 17 tahun di Jakarta. Sungguh suatu perjalanan yang panjang.

Bisa dikatakan bahwa lingkungan membentuk Jusuf Kalla mencapai posisi seperti sekarang. Ayah dan ibunya mengasah insting bisnisnya. Istrinya menjadi partner sekaligus membantunya untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak. Peran lingkungan sangat besar dalam membentuk Jusuf hingga menjadi sosok penting di masa kini.

Dalam buku Outliers, yang pertama kali terbit tahun 1988, Malcolm Gladwell mengatakan bahwa kesuksesan tidak berasal dari angka nol. Semua orang berutang pada orang tua dan dukungan orang lain. Kesuksesan adalah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai “keuntungan yang terakumulasi”. Tempat dan kapan seseorang tumbuh besar memiliki pengaruh yang cukup besar.

Gladwell menolak anggapan tentang keberhasilan yang semata-mata dipicu oleh kecerdasan. Menurutnya, keberhasilan seseorang menggapai satu kesuksesan tidak bisa dilihat hanya dari satu aspek saja, melainkan terdapat hal yang lebih rumit, kompleks, dan hanya bisa dipahami dengan menelusuri kehidupan orang tersebut.

Gambaran yang paling sederhana namun gamblang dipaparkan Gladwell dalam cerita singkat mengenai pohon. Pohon ek tertinggi di hutan menjadi yang tertinggi bukan semata-mata karena dia paling gigih. Dia menjadi yang tertinggi karena “kebetulan” tidak ada pohon lain yang menghalangi sinar matahari kepadanya, tanah di sekelilingnya dalam dan subur, tidak ada kelinci yang mengunyah kulit kayunya sewaktu masih kecil, dan tidak ada tukang kayu yang menebangnya sebelum dia tumbuh dewasa.

Pada masa itu, Jusuf Kalla menerima amanah dari ayahnya untuk membesarkan perusahaan dalam bendera NV Hadji Kalla.  Biarpun perusahaan itu kemudian core bisnisnya adalah otomotif, akan tetapi juga merambah ke sektor komoditas, mulai dari jagung, kakao, coklat, dan sebagainya. Pernah Jusuf diprotes direkturnya. “Bapak tiap hari urus petani, beras, jagung kakao, atau tambak. Kapan bisa fokus jual mobil?” Jusuf menjawab, “Yang urus jual mobil itu adalah kamu. Tugas saya adalah mencari pembeli mobil. Kalau saya tidak urus pertanian, meningkatkan produksi jagung, meningkatkan produksi kakao, ikan, dan udang, siapa yang akan beli mobil?”

Mufidah menjadi mata rantai penting yang membantu Jusuf menggapai banyak hal. Jika ayah dan ibunya menyediakan peta jalan agar anaknya eksis di bisnis, Mufidah menjadi sosok yang setiap hari menyaksikan berbagai sisi suka dan duka suaminya. Ia hadir di saat-saat paling sulit, hingga saat menggembirakan, Ia menyaksikan jatuh bangunnya suaminya di ranah politik, hingga akhirnya sukses menjadi wakil presiden untuk kedua kalinya, suatu capaian sejarah yang belum tentu bisa dulang oleh anak bangsa lainnya.

Demi mengapresiasi posisi Mufidah yang mendampingi segenap hari-harinya, Jusuf menulis kalimat penutup yang sangat indah. Kalimat ini adalah refleksi dari apa yang dirasakannya sebagai seorang lelaki Bugis yang sering tidak terbuka menyampaikan apresiasinya. Ia mengatakan:
“Kau perempuan hebat istriku. Dalam aura kesederhanaanmu tersimpan energi yang dahsyat. Orang Bugis tak fasih berkata-kata indah. Kecintaannya ditunjukkan oleh perilaku, bahasa tubuh, dan senyumnya. Untuk romantis pun aku tak pandai ucapkan dengan kata-kata. Karena itu aku minta maaf kepadamu, karena selama 50 tahun aku tak pernah beri bunga sambil berucap i love you.”

Jusuf memang tak terbuka mengatakan cinta. Tapi seluruh gerak-gerik dan bahasa tubuhnya menggambarkan cinta itu. Entah disengaja atau tidak, dia menyimpan kata-kata cinta itu setelah 50 tahun hidup bersama.

Di saat banyak orang dengan mudahnya mengucapkan cinta setelah itu pergi begitu saja, Jusuf menunggu 50 tahun untuk menyampaikan kata itu. Dia memang baru pertama mengungkapkannya, tapi Mufidah tahu, di balik setiap tatap suaminya, di setiap resah dan gelisah lelaki itu, atapun di setiap senyum dan bahagianya, terdapat banyak cinta yang butir-butirnya selalu memperkaya hari-harinya.



Bogor, 29 Agustus 2017



Tafsir Gladwell atas Daud versus Goliat




JIKA sedang tak ada pekerjaan, saya suka mengamati presentasi dari sejumlah pesohor di Ted Talk melalui kanal Youtube. Ted Talk memilih orang-orang hebat di bidangnya untuk menyebarkan inspirasi. Saya cukup menyukai beberapa presentasi yang membahas topik-topik mengejutkan serta penuh inspirasi.

Semalam, saya menonton presentasi dari Malcolm Gladwell, seorang penulis tema-tema sains, manajemen, dan budaya di The New Yorker. Saya mengoleksi beberapa buku Gladwell. Di antaranya adalah The Tipping Point dan Outlier. Dalam presentasi itu, Gladwell menafsirkan ulang kisah Daud versus Goliat. 

Kisah tentang Daud versus Goliat ini ada dalam agama-agama besar yakni Islam, Kristen ataupun Yahudi. Kisah ini sering dibahas demi menggambarkan kemenangan yang tak diduga, dari seseorang yang kecil dan dianggap tak berdaya melawan raksasa petarung yang diprediksi akan menang. Gladwell punya interpretasi lain. Justru anak kecil itu lebih kuat, sedang raksasa itulah titik paling lemah. Hah?

Gladwell meyakini kisah ini memang pernah terjadi di Israel pada masa 3.000 tahun silam. Lokasinya di Sefela, dataran tinggi Israel. Pada masa silam, wilayah yang kini terdiri atas Israel dan Palestina terdiri atas dua wilayah pemukiman yakni pantai dan pegunungan. Kawasan pantai di sepanjang Mediterania, kini menjadi lokasi kota Tel Aviv, dan pegunungan yang menjadi tempat kota-kota seperti Yerussalem, Hebron, Betlehem, dan Hebron.

Sefela menjadi jalur strategis bagi tentara musuh dari pantai yang naik ke pegunungan dan mengancam. Itulah yang terjadi saat musuh Israel naik ke pegunungan dan mengancam penduduk kawasan itu. Musuh itu datang dari Kreta, wilayah Yunani. Israel yang dipimpin Raja Saul datang dengan bala tentara untuk mempertahankan diri. Keduanya berada di pegunungan terpisah, yang dibatasi Lembah Tarbantin. Kedua pasukan itu hanya saling pandang, sebab untuk menyerang lawan, harus turun lembah, lalu naik gunung. Itu saja cukup menguras tenaga, sehingga mudah dikalahkan lawan. Mudah pula lawan menjatuhkan batu besar yang akan membunuh pasukan satunya.

Dalam situasi itu, pasukan musuh mengirim salah satu prajurit terkuat untuk menantang lawan. Di masa itu, cara ini dilakukan untuk segera mengakhiri pertempuran. Cukup dua orang berkelahi sampai mati. Pemenangnya akan menjadi pemenang peperangan. Prajurit terkuat yang dikirim lawan Israel itu adalah seseorang bertubuh raksasa, berbaju zirah, membawa perisai dan tombak. Kekuatannya seperti legenda. Namanya Goliat.

Melihat lawan, prajurit Israel mulai ketakutan. Raja Saul lalu meminta siapapun di antara pasukannya yang berani agar tampil ke depan. Namun tak ada yang maju. Hingga akhirnya, datang seorang anak kecil yang berpakaian gembala. Anak itu berniat untuk melawan Goliat. Raja Saul memandang remeh anak itu, dan memintanya mundur. Tapi anak itu tetap ingin maju. Anak itu bernama Daud.

Hampir semua kitab membahas peristiwa ini dengan memosisikan Daud, dalam Alkitab disebut David, sebagai sosok lemah, anak kecil, tak berdaya. Sementara Goliat, dalam Islam disapa Jaluth, digambarkan seorang lelaki bertubuh raksasa, kuat berkelahi, petarung yang membuat takut semua orang. Kita semua tahu siapa pemenang duel yang digambarkan tak seimbang itu.

Marilah kita melihat ulang kisah ini berdasarkan Injil dan Taurat, sebagaimana dikatakan Gladwell.

Melihat gembala itu, Saul mengatakan, "Kau tak bisa melawannya. Tidak mungkin. Kau masih kecil. Ini prajurit terkuat." Namun, gembala itu bersikukuh. Ia berkilah, "Tidak, Paduka tidak mengerti, aku sudah mempertahankan hewan ternak dari serangan singa dan serigala selama bertahun-tahun. Aku bisa."

Saul tak punya pilihan. Tak ada orang lain yang maju. Maka ia menyerah, "Baiklah." Kemudian ia berkata, "Tapi kau harus memakai zirah ini. Kau tak bisa pergi tanpa ini." Maka Saul memberikan zirahnya pada gembala itu, dan si gembala menolak. Ia menampik, "Aku tak bisa memakai ini." 

Dalam Injil, sebagaimana dikatakan Gladwell, tertulis, "Aku tak bisa memakai ini karena aku belum mencobanya." Ini berarti, "Aku belum pernah memakai zirah." Gembala itu malah membungkuk ke tanah dan memungut lima batu lalu menyimpannya dalam kantung dan mulai berjalan menuruni sisi gunung untuk mendatangi raksasa itu. 

Sang raksasa melihat sosok ini mendekat, dan berteriak, "Datanglah padaku agar aku bisa memberi dagingmu pada burung-burung di udara dan hewan-hewan di padang." Ia melontarkan cemooh seperti ini kepada orang yang datang untuk menantangnya. Gembala itu datang semakin dekat, lalu raksasa itu melihat gembala membawa tongkat. Hanya itu yang dia bawa. Bukan senjata, hanya tongkat gembala, dan raksasa berkata -- merasa terhina -- "Apa aku ini anjing sehingga kau datang padaku dengan tongkat-tongkat?"

Anak gembala itu mengeluarkan batu dari sakunya, memasangnya di ketapel, memutar dan kemudian melontarkannya. Batu itu mendarat tepat di antara kedua mata raksasa -- tepat di tempat paling rentan-- dan raksasa terjatuh. Entah mati atau tak sadarkan diri,  anak gembala mendekat dan mengambil pedangnya kemudian memenggal kepalanya. Musuh Israel berbalik dan lari bergitu saja.

Dalam kisah ini, Daud dianggap sebagai anak bawang, anak kemarin sore. Bahkan, ungkapan "Seperti Daud melawan Goliat," masuk dalam bahasa kita sebagai metafora untuk kemenangan yang meragukan oleh pihak yang lemah atas sosok yang jauh lebih kuat. Mengapa Daud diangap anak bawang? Ya, kita menganggapnya anak bawang karena dia seorang bocah, anak kecil, dan Goliat adalah raksasa besar yang kuat. Kita juga menganggap Daud anak kemarin sore, karena Goliat adalah prajurit berpengalaman, dan Daud hanya gembala.

Namun, yang paling penting, kita menganggapnya anak bawang karena dia hanya punya batu dan ketapel, sementara Goliat dilengkapi dengan semua senjata modern, baju zirah yang mengkilat, pedang, lembing, dan tombak.

Interpretasi Gladwell

Gladwell mulai menginterpretasi kisah ini. Frase "Daud hanya punya ketapel," adalah kesalahan pertama yang kita buat dalam memahami kisah ini. Dalam perang kuno, ada tiga jenis prajurit. Ada kavaleri, pasukan berkuda, dan berkereta. Ada infanteri berat, pasukan jalan kaki,  serdadu bersenjata pedang dan tameng serta semacam zirah. Kemudian ada artileri yakni para pemanah. Yang lebih penting lagi, pelontar atau pembawa ketapel. Pelontar adalah orang yang punya kantung kulit yang dipasangi dua tali panjang. Mereka menaruh proyektil, entah batu atau bola timbal, di dalam kantung itu, lalu memutarnya, kemudian melontarkannya ke depan. Itulah yang dimiliki Daud.

Bahkan, pelontar adalah senjata yang luar biasa ampuh. Ketika Daud menggulirnya seperti ini, ia memutar pelontar mungkin sekitar 6 atau 7 putaran per detik, dan itu berarti saat dilepaskan, batu akan melaju ke depan sangat cepat, berkisar 35 meter per detik. Jauh lebih cepat daripada bola bisbol yang dilempar pengumpan bisbol terbaik. 

Selain itu, bebatuan di Lembah Tarbantin bukan batu biasa, melainkan barium sulfat, dengan kepadatan dua kali batu biasa. Jika kita melakukan perhitungan balistik, pada daya penetrasi batu yang terlontar dari pelontar Daud, kurang lebih sama dengan daya penetrasi dari pistol kaliber 45.  Senjata yang mematikan. Kata Gladwell, catatan sejarah menunjukkan bahwa pelontar yang berpengalaman mampu membidik dan melukai bahkan membunuh sasaran pada jarak hingga 180 meter. 

Dari sejarah abad pertengahan, kita tahu bahwa pelontar mampu membidik burung yang terbang. Mereka luar biasa akurat. Ketika Daud berjalan mendekat -- ia bukan berjarak 180 meter dari Goliat, ia cukup dekat dengan Goliat -- saat ia segaris dan melontar batu pada Goliat, ia memang berniat dan berharap dapat mengenai Goliat pada titik yang paling rentan di antara kedua matanya. Jika Anda ingat lagi sejarah perang kuno, Anda akan menemukan bahwa seringkali pelontar adalah faktor penentu melawan infanteri dalam berbagai jenis pertempuran.


Siapakah Goliat? Ia adalah anggota infanteri berat. Ekspektasinya ketika menantang bangsa Israel untuk duel adalah ia akan melawan anggota infanteri berat juga. Ia berkata, "Datanglah padaku agar aku bisa memberi dagingmu pada burung di udara dan hewan di padang." Frasa kuncinya adalah "Datanglah padaku." Datanglah padaku karena kita akan bertarung, satu lawan satu, seperti ini. 

Saul berekspektasi sama. Daud berkata, "Aku ingin melawan Goliat," dan Saul memberikan zirahnya karena Saul berpikir, "Saat kau bilang 'melawan Goliat,' maksudnya 'bertarung satu lawan satu,' infanteri lawan infanteri."

Namun, Daud tidak memiliki ekspektasi apa pun. Ia tidak akan melawan Goliat seperti itu. Untuk apa? Ia seorang gembala. Sepanjang karirnya ia menggunakan pelontar untuk mempertahankan ternak dari serangan singa dan serigala. Di situlah letak kekuatannya. 

Ia adalah gembala yang berpengalaman dalam menggunakan senjata mematikan ini berhadapan dengan raksasa lamban ini yang dibebani zirah seberat puluhan kilogram. Senjata yang sangat berat yang hanya berguna dalam pertempuran jarak dekat. Goliat adalah mangsa empuk. Ia tak punya kesempatan. Jadi, mengapa kita terus menganggap Daud anak bawang? Mengapa kita terus menganggap kemenangannya meragukan?

Bagian kedua inilah yang penting. Kita bukan saja salah memahami Daud dan senjata pilihannya. Namun, kita juga sangat keliru memahami Goliat. Goliat bukan seperti kesan yang ditampilkan. Ada segala macam petunjuk tentang ini dalam berbagai kitab, hal-hal yang cukup membingungkan saat diingat lagi dan tidak cocok dengan gambarannya sebagai prajurit terkuat. 

Pertama, Alkitab mengatakan bahwa Goliat dituntun seorang pengawal ke dasar lembah. Aneh, bukan? Prajurit terkuat yang menantang bangsa Israel untuk bertarung satu lawan satu. Mengapa ia dituntun oleh oleh seorang pemuda ke medan tempur? Kedua, Alkitab membuat catatan khusus mengenai betapa lambannya Goliat bergerak, hal aneh lain saat menggambarkan prajurit terkuat yang terkenal kala itu. 

Kemudian ada hal yang sangat aneh tentang berapa lama Goliat bereaksi saat melihat Daud. Jadi, Daud turun dari gunung, dan ia jelas tidak bersiap-siap untuk bertarung satu lawan satu. Tak disebutkan bahwa dia berkata, "Aku akan melawanmu seperti ini." Ia bahkan tidak membawa pedang. Mengapa Goliat tidak bereaksi terhadap hal itu? Seolah-olah ia tidak sadar apa yang akan terjadi hari itu. Lalu ada komentar aneh untuk Daud: "Apa aku ini anjing sehingga kau datang padaku dengan tongkat-tongkat?" Tongkat-tongkat? Daud hanya punya satu tongkat.

Ya, ternyata ada banyak spekulasi dalam komunitas medis selama bertahun-tahun tentang apakah ada sesuatu yang salah secara fundamental dengan Goliat, sebuah upaya untuk memahami segala anomali yang nyata. Banyak artikel ditulis. Artikel pertama pada tahun 1960 dalam Indiana Medical Journal, yang mengawali rantai spekulasi yang bermula dengan penjelasan untuk tinggi Goliat. 

Jadi, Goliat tiga kali lebih tinggi di atas semua rekannya pada masa itu, dan biasanya jika seseorang sangat jauh dari kelaziman, ada penjelasan untuk itu. Jadi, bentuk paling umum dari gigantisme adalah kondisi yang disebut akromegali, dan akromegali disebabkan tumor jinak pada kelenjar pituitari yang berakibat kelebihan produksi hormon pertumbuhan. Sepanjang sejarah, sebagian besar raksasa terkenal pernah menderita akromegali. Orang tertinggi sepanjang masa ialah pria bernama Robert Wadlow yang masih tumbuh saat meninggal pada umur 24 dan tingginya 272 cm. Ia menderita akromegali. 

Anda ingat pegulat André the Giant? Terkenal. Juga menderita akromegali. Abraham Lincoln pun diduga menderita akromegali. Siapa pun bertubuh tinggi di luar kelaziman, begitulah penjelasan pertama yang muncul. Akromegali memiliki sekumpulan efek samping sangat khasyang terkait dengannya, utamanya terkait dengan penglihatan. Tumor pada kelenjar pituitari, saat tumbuh, kerap mulai menekan syaraf visual dalam otak yang berakibat penderita akromegali mengalami penglihatan ganda atau rabun jauh yang parah.

Maka ketika orang-orang mulai berspekulasi tentang masalah yang mungkin dialami Goliat, mereka bilang, "Tunggu dulu, dia kelihatan dan terdengar seperti penderita akromegali." Hal itu juga akan menjelaskan begitu banyak keanehan tentang perilakunya hari itu. Mengapa ia bergerak begitu lamban dan harus diantar turun ke dasar lembah oleh seorang pengawal? Karena ia tak bisa berjalan sendiri. Mengapa dia begitu tidak sadar sehingga ia tak mengerti bahwa Daud tidak akan bertarung sampai saat paling terakhir? Karena Goliat tak bisa melihat Daud. Ketika ia berkata, "Datanglah padaku agar aku bisa memberi dagingmu pada burung-burung di langit dan hewan-hewan di padang." Frasa "Datanglah padaku" adalah petunjuk atas kerentanannya juga. Datanglah padaku, karena aku tak bisa melihatmu. Lalu ada pernyataan, "Apa aku ini anjing sehingga kau datang padaku dengan tongkat-tongkat?" Ia melihat dua tongkat padahal Daud hanya punya satu.

Jadi bangsa Israel di atas gunung melihat ke bawah dan mengira dia adalah musuh yang luar biasa tangguh. Mereka tidak mengerti bahwa sumber kekuatannya yang nyata adalah juga sumber kelemahannya yang terbesar. Di sinilah, kata Gladwell, ada pelajaran yang sangat penting bagi kita semua. Raksasa tidak sekuat dan setangguh penampilan mereka. Kadang-kadang anak gembala menyimpan pelontar di sakunya.

Banyak Pelajaran

KISAH Daud versus Goliat yang diinterpretasi Gladwell ini sering dikutip dalam berbagai training manajemen dan motivasi. Seorang yang nampak biasa-biasa, boleh jadi memiliki kekuatan yang tak terduga. Profesor Yohannes Surya menyimpuljan tiga pelajaran dari kisah ini.

Pertama, Daud tahu kekuatan yg dimilikinya (intelektual, skill dan spiritual). Ia berpengalaman dan mahir menggunakan senjata hebat yaitu pelontar batu yang mampu meluncurkan batu dengan kecepatan tinggi tapi sangat akurat seperti sebuah pistol.

Kedua, Daud tahu kekuatan musuh. Goliath tinggi besar, punya kekuatan hebat, sulit dikalahkan kalau bertarung jarak dekat. Jadi Daud memilih pertarungan jarak jauh. Sama seperti seorang berpistol akan menang kalau bertarung jarak jauh lawan pendekar hebat bersenjatakan pedang.

Ketiga, Daud  tahu suasana medan perang. Ia tahu pertarungan berlangsung di lembah dan suasana saat itu tidak ada angin kencang. Kalau saja angin sangat kencang, mungkin sulit bagi Daud menggunakan pelontar itu.

Kita pun bisa menggunakan kisah ini untuk menjelaskan banyak hal. Kesimpulan sederhana, seperti yang dikatakan ahli strategi perang Sun Tzu. “Kalau kita tahu kekuatan diri, tahu kekuatan musuh, tahu medan perang maka 1000 kali perang 1000 kali menang.” Inilah mantra yang banyak dipakai para CEO untuk membawa perusahaannya memenangkan persaingan.


Bogor, 27 Agustus 2017






Setinggi Bintang, Serendah Intan


SETIAP kali membaca catatan tentang pencarian ilmu pengetahuan, hasrat saya selalu meluap-luap. Saya merasakan kerja keras, ikhtiar yang tak pernah mau dikalahkan kemalasan, serta mimpi-mimpi sebagai cahaya terang yang memandu perjalanan. Melalui catatan itu, saya tak sekadar berkaca tentang betapa banyaknya tantangan, yang segera dikalahkan oleh semangat baja, tapi juga betapa banyaknya pelajaran hidup yang segera bisa dipetik untuk memperkaya langkah demi langkah.

Hampir semua pencari pengetahuan merasakan betapa banyaknya onak dan duri di perjalanan. Tapi mereka tetap bergerak ke depan. Yang tetap menjaga ritme langkah mereka adalah harapan untuk menemukan cahaya di akhir perjalanan. Harapan ini merasuk dalam semangat untuk terus bergerak, sembari bergerak menjawab berbagai persoalan di sekitarnya. Memang, tak semua akan menggapai akhir perjalanan yang diharapkan. Tapi perjalanan itu sendiri telah memperkaya hidupnya dengan warna-warni pengalaman.

Di periode awal kemerdekaan Indonesia, penyair Chairil Anwar mencatat, “Aku suka dengan mereka yang muda. Aku suka dengan mereka yang masuk menemui malam.” Baginya, kemudaan adalah kekuatan untuk menjebol banyak hal. Anak-anak muda ditakdirkan untuk melakukan hal-hal hebat berpikir sampai batas yang paling bisa dijangkau, mendiskusikan bangsa sampai pada titik paling revolusioner. Melalui perjalanan pemikiran itu mereka belajar lalu mencari di mana letak koordinat berpikirnya, sekaligus menetapkan satu posisi pijak.

Sayangnya, tak semua anak muda menyadari kemudaannya. Banyak di antara mereka yang justru ‘berkhianat” pada kemudaannya. Banyak yang terjebak dengan rutinitas lalu mengejar hal-hal simbolik, berusaha untuk hidup yang makmur, mengikuti arus dinamika sosial yang menghamba pada materialisme. Hidup seolah perlombaan untuk menjadi yang terdepan, terhebat, terbanyak mengumpulkan pundi-pundi. Mereka yang di jalur ini adalah mereka yang mainstream, menyerahkan diri pada arus dominan. Mereka yang hidup serupa sinetron.


Namun selalu saja ada anak-anak muda yang menantang arus. Selalu saja ada kekuatan-kekuatan yang mendesak dalam diri untuk lepas dan menelusuri titik paling jauh yang bisa digapai. Anak-anak muda ini tak hendak menyerah pada tabiat masyarakat. Mereka mengalir mengikuti panggilan-panggilan lirih dalam batinnya yang menyuruhnya untuk melihat dunia. Mereka lalu dipertemukan semangat kuat tentang masa depan yang lebih ramah kepada siapa saja. Demi tujuan itu, mereka menceburkan diri dalam danau pembelajaran agar kelak bisa menepi dan membawa air pencerahan itu ke banyak orang.

Mereka menantang arus. Ini bukan lagi era di mana anak muda hanya bisa belajar ke kampus, lalu belajar, dan kembali ke rumah. Ini juga bukan eranya duduk di rumah dan mengetahui sesuatu hanya melalui browsing atau bertanya ke Google. Ini adalah eranya berpetualang, menyatu dengan semesta, dan menemukan berbagai jawaban. Anak-anak muda tak hanya belajar, tapi juga menyaksikan alam, menelusuri setiap helai daun kehidupan, merasakan bagaimana kehidupan menjalar melalui kulit pohon hingga cabang, reranting, lalu dedaunan.

Pada anak-anak muda ini kita menemukan semangat dan kekuatan bangsa kita.

***

Di hadapan saya terletak naskah buku berjudul Pijar Hingga Terang menyajikan kepingan-kepingan pembelajaran yang akan selalu abadi. Buku ini bukanlah jenis buku yang sekali terbit, lalu dilupakan begitu saja. Buku ini akan selalu abadi dan menjadi saksi dari pergulatan anak-anak muda yang hendak menemukan dunianya. Kekuatannya terletak pada spirit kaum muda yang hendak memecahkan persoalan bangsanya, sembari mencari satu ikhtiar atau jalan keluar melalui pendidikan. Buku ini menyajikan mimpi yang serupa bintang di langit, namun juga menyimpan kearifan yang serupa intan di dasar samudera. Bahwa impian memang harus dikerek tinggi-tinggi, hanya saja setiap orang harus menyadarinya bahwa kakinya masih memijak ke bumi.

Dengan memakai metafor pijar, buku ini hendak meniatkan perjalanan dan pengetahuan serupa pijar cahaya yang menerangi. Kalimat “Pija Hingga Terang” ini mengisyaratkan satu proses yang selalu bergeral. Pengetahuan bermula setitik, setelah itu membesar, hingga akhirnya menerangi dunia. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diam, melainkan sesuatu yang harus dicari, harus ditemukan, harus dipetik, harus dibagikan kepada pihak lain agar pengetahuan itu terus berpijar dan terus menerangi.

Mereka yang menulis di buku ini dipersatukan oleh semangat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mereka bukanlah tipe anak HMI yang mudah anarkis dan tersulut emosinya, lalu menggedor kekuasaan dengan ketapel kecilnya. Mereka yang menulis di sini adalah mereka yang setia pada jalan pedang pengetahuan. Mereka meneropong bangsa dari berbagai titik yang tidak biasa. Penjelajahan mereka adalah upaya untuk keluar dari kekusutan persoalan bangsa. Mereka tetap menggedor kuasa, tapi dengan cara memahami realitas dengan jernih. Tulisan adalah cahaya terang bagi mereka untuk mengatasi kegelapan pengetahuan.

Makanya, setiap lembar dalam buku ini memberikan banyak pelajaran. Saya tak henti bercermin pada anak muda yang menulis di sini. Saya tak saja menemukan alur pikir yang logis dalam menemukan jawab atas banyak kata tanya, saya merasakan guratan emosi dan hasrat kuat untuk bangsa ini. Beberapa tulisan di buku ini menyediakan spasi untuk sejenak merenung. Bahwa bangsa ini telah jauh berjalan, akan tetapi masih banyak hal yang harus segera diatasi dan diselesaikan.

Mereka yang menulis di buku ini bukanlah mereka yang merasakan bagaimana tarikan-tarikan politik kepentingan dan hasrat berkuasa sedang bekerja. Bukan pula anak muda yang menghamba pada kekuatan-kekuatan politik yang sesekali melacurkan semangat mudanya dengan segepok materi. Di sini, saya menemukan ‘jiwa murni’ yang semata-mata ingin melihat bangsa ini lebih baik. Di sinilah saya menemukan orisinalitas buku ini yang membedakannya dengan buku lain. Orisinalitas itu terletak pada kekhasan cara pandang yang belum dicemari oleh tarikan politik dan faksi atau kelompok. Orisinalitas itu ada pada ketulusan menilai sejauh mana coreng-moreng di wajah bangsa demi menghapusnya dengan segenap energi terbaik.

Beberapa tulisan di buku ini sesaat membuat saya merenung. Dahulu saya berpikir bahwa cahaya terang pengetahuan terletak di ujung. Dahulu saya beranggapan bahwa yang terpenting dari setiap kisah penemuan cahaya adalah episode paling akhir, di mana orang-orang menebarkan benih cahaya itu ke mana-mana. Belakangan saya merasa pandangan itu keliru. Yang tak kalah penting adalah memulai perjalanan serta ikhtiar menemukan cahaya. Perjalanan itu sendiri menyimpan banyak cahaya kisah yang selalu menarik untuk dikisahkan. Perjalanan itu sendiri menyimpan banyak cahaya yang pantas untuk ditebarkan ke mana-mana.

Anak muda di buku ini disebut penulis Paolo Coelho sebagai ksatria cahaya, the warrior of light. Coelho sendiri punya satu rumusan sederhana tentang para ksatria cahaya. Seorang ksatria tidak menghabiskan hari-harinya untuk memainkan peran yang dipilihkan orang lain. Dia mencari, menemukan jalan, lalu membagikan pengetahuan itu ke banyak orang. Kata Coelho, “A warrior does not spend his days trying to play the role that others have chosen for him.” 

Selamat membaca!


CATATAN:


Tulisan ini dibuat sebagai pengantar atas buku Pijar Hingga Terang: Kumpulan Gagasan Kebangsaan Awardee YIB 2016. Sebuah kehormatan diminta untuk menulis pengantar.