TAHUN baru hadir kembali. Kalender terus disobek. Penanggalan berganti. Suara riuh memecah malam yang kelelahan. Dan.... suara terompet kembali memekakkan telinga. Teetttt...tett.......Suara itu begitu keras hingga aku menutup telinga.
Depan kantor Indosat, tepat di Jalan Medan Merdeka Barat, di seberang Tugu Monas, aku hanya bisa menutup telinga atas bunyi terompet yang begitu memekik. Klakson kendaraan bermotor bersahut-sahutan dan saat bersamaan sebuah kembang api melesat ke angkasa. Byar.......Byar............Kembang api itu memecah. Sebuah kombinasi warna yang menarik dan mencolok mata. Ada teriakan “Selamat Tahun Baru!!!!!!” Semua histeris. Aku melongo dan memandang sekeliling.
Terus terang, aku tak begitu suka keramaian. Di tengah keramaian, aku kerap merasa terasing. I feel lonely. Aku sulit meleburkan jiwaku dalam histeria massa yang begitu gemuruh. Jiwaku seakan-akan hendak menentang dan menolak menjadi bagian dari sebuah barisan di mana semua identitas dan kelas langsung lebur. Tiba-tiba saja, aku jadi bertanya-tanya, kok aku bisa berada di tempat itu. Seakan-akan aku masuk dalam sebuah portal dimensi dan terlempar dalam situasi yang ramai dan melimpah ruah.
Aku selalu cemas setiap memasuki tahun baru. Ada perasaan gamang dengan umur yang terus berlari sementara karya dan prestasi tak juga beranjak. Aku selalu menghitung sejauh mana pencapaianku dan apa yang harus aku lakukan. Meskipun, jujur saja, kadang-kadang aku cuma bisa sampai pada tingkat tekad belaka. Ketika berhadapan dengan proses untuk mewujudkan semua tekad itu, aku langsung kelelahan dan seakan kehabisan napas. Kadang aku merasa seperti mobil besar yang berjalan tertatih-tatih karena begitu sarat dengan beban. Aku seakan kehabisan energi untuk menggapai pelabuhan mimpiku satu per satu.
Setiap tahun baru, selalu ada refleksi yang terus menambah bilangan ketakutanku akan masa depan. Aku berusaha untuk tetap berefleksi di tengah massa yang demikian histeris menyambut tahun baru. Apa gerangan yang dipikirkan mereka? Apa semua masalah dan problem mereka sudah tuntas hingga punya hak melampiaskan kesenangan dengan cara yang membabi buta.
Aku rasa, orang-orang di sekitarku ini tak begitu peduli dengan waktu. Mereka hanya melihat itu sebagai momen untuk berbagai hal. Apakah itu momen untuk berubah, atau momen untuk pesta mabuk serta merobek sebuah keperawanan. Yah, di kota seperti Jakarta, segalanya bisa terjadi di luar dugaan. Aku ingat artikel media massa yang menebutkan, di negara seperti Korea, tahun baru identik dengan nginap di hotel sembari ditemani wanita pekerja seks. Kayaknya fenomena itu juga mulai hadir di Jakarta. Setidaknya, ada teman yang mau traktir untuk nginap di hotel. Aku rasa, Jakarta mulai terjangkit virus yang ada di Korea.
Usai pesta kembang api di Monas, aku bergerak menuju Jalan Jaksa, sebuah jalan yang menjadi nadi kehidupan malam di Jakarta. Aku memasuki satu kafe. Di dalamnya banyak orang barat sedang bercengkerama. Kafe ini didominasi orang asing. Mereka banyak terlihat di mengelilingi meja kecil yang di atasnya ada bir dan minuman beralkohol lainnya. Awalnya aku ingin mencoba barang satu atau dua gelas. Tapi niat itu aku urungkan dan hanya memesan coca cola. Aku melihat sekeliling. Busyet!!!! Ada dua orang bule di depanku yang sedang berciuman. Yang wanita sangat cantik seperti khas wanita Eropa Timur. Tapi yang pria, alamak!!!! Kata temanku, aku masih jauh lebih ganteng. Wah, beruntung juga pria itu.
Semua orang di situ sesekali berteriak. Aku terus gamang. Apakah cuma aku seorang diri yang dikepung pertanyaan sejauh mana pencpaianku di saat umur terus berlari? Entahlah. Aku memilih pulang dan merebahkan badanku yang lelah. Aku memilih tidur.
Depan kantor Indosat, tepat di Jalan Medan Merdeka Barat, di seberang Tugu Monas, aku hanya bisa menutup telinga atas bunyi terompet yang begitu memekik. Klakson kendaraan bermotor bersahut-sahutan dan saat bersamaan sebuah kembang api melesat ke angkasa. Byar.......Byar............Kembang api itu memecah. Sebuah kombinasi warna yang menarik dan mencolok mata. Ada teriakan “Selamat Tahun Baru!!!!!!” Semua histeris. Aku melongo dan memandang sekeliling.
Terus terang, aku tak begitu suka keramaian. Di tengah keramaian, aku kerap merasa terasing. I feel lonely. Aku sulit meleburkan jiwaku dalam histeria massa yang begitu gemuruh. Jiwaku seakan-akan hendak menentang dan menolak menjadi bagian dari sebuah barisan di mana semua identitas dan kelas langsung lebur. Tiba-tiba saja, aku jadi bertanya-tanya, kok aku bisa berada di tempat itu. Seakan-akan aku masuk dalam sebuah portal dimensi dan terlempar dalam situasi yang ramai dan melimpah ruah.
Aku selalu cemas setiap memasuki tahun baru. Ada perasaan gamang dengan umur yang terus berlari sementara karya dan prestasi tak juga beranjak. Aku selalu menghitung sejauh mana pencapaianku dan apa yang harus aku lakukan. Meskipun, jujur saja, kadang-kadang aku cuma bisa sampai pada tingkat tekad belaka. Ketika berhadapan dengan proses untuk mewujudkan semua tekad itu, aku langsung kelelahan dan seakan kehabisan napas. Kadang aku merasa seperti mobil besar yang berjalan tertatih-tatih karena begitu sarat dengan beban. Aku seakan kehabisan energi untuk menggapai pelabuhan mimpiku satu per satu.
Setiap tahun baru, selalu ada refleksi yang terus menambah bilangan ketakutanku akan masa depan. Aku berusaha untuk tetap berefleksi di tengah massa yang demikian histeris menyambut tahun baru. Apa gerangan yang dipikirkan mereka? Apa semua masalah dan problem mereka sudah tuntas hingga punya hak melampiaskan kesenangan dengan cara yang membabi buta.
Aku rasa, orang-orang di sekitarku ini tak begitu peduli dengan waktu. Mereka hanya melihat itu sebagai momen untuk berbagai hal. Apakah itu momen untuk berubah, atau momen untuk pesta mabuk serta merobek sebuah keperawanan. Yah, di kota seperti Jakarta, segalanya bisa terjadi di luar dugaan. Aku ingat artikel media massa yang menebutkan, di negara seperti Korea, tahun baru identik dengan nginap di hotel sembari ditemani wanita pekerja seks. Kayaknya fenomena itu juga mulai hadir di Jakarta. Setidaknya, ada teman yang mau traktir untuk nginap di hotel. Aku rasa, Jakarta mulai terjangkit virus yang ada di Korea.
Usai pesta kembang api di Monas, aku bergerak menuju Jalan Jaksa, sebuah jalan yang menjadi nadi kehidupan malam di Jakarta. Aku memasuki satu kafe. Di dalamnya banyak orang barat sedang bercengkerama. Kafe ini didominasi orang asing. Mereka banyak terlihat di mengelilingi meja kecil yang di atasnya ada bir dan minuman beralkohol lainnya. Awalnya aku ingin mencoba barang satu atau dua gelas. Tapi niat itu aku urungkan dan hanya memesan coca cola. Aku melihat sekeliling. Busyet!!!! Ada dua orang bule di depanku yang sedang berciuman. Yang wanita sangat cantik seperti khas wanita Eropa Timur. Tapi yang pria, alamak!!!! Kata temanku, aku masih jauh lebih ganteng. Wah, beruntung juga pria itu.
Semua orang di situ sesekali berteriak. Aku terus gamang. Apakah cuma aku seorang diri yang dikepung pertanyaan sejauh mana pencpaianku di saat umur terus berlari? Entahlah. Aku memilih pulang dan merebahkan badanku yang lelah. Aku memilih tidur.