Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2020


Tahun 2020 akan segera berlalu. Setahun silam, saya banyak membeli dan menumpuk buku lalu menunda waktu untuk membacanya. Orang Jepang menyebutnya Tsundoku. Orang barat menyebutnya bibliomania. Tahun ini, saya merasa cukup produktif. 

Sejak pandemi, praktis, waktu saya lebih banyak di rumah. Saya mengisi waktu dengan menonton sebanyak mungkin film baru. Saya berlangganan Netflix, Disney Hotstar, Vidio, juga sangat rajin menonton channel NatGeo.

Saya pun menyempatkan banyak waktu untuk membaca di sela-sela mengerjakan beberapa pekerjaan. 

Yang menarik, di masa pandemi, saya melihat banyak artikel-artikel bagus bermunculan di internet. Wabah dan pandemi menjadi panggung bagi para intelektual dunia untuk menjelaskan kepada publik mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, dan bagaimana dunia pasca-pandemi.

Saya cukup menikmati beberapa artikel bagus dari sejarawan Yuval Noah Harari, sastrawan Arundhati Roy, filsuf Slavoj Zizek, ilmuwan Ethan Siegel, juga beberapa penulis global. Pandemi ini menjadi arena bagi mereka untuk membuka perspektif baru, serta menuntun publik yang dalam istilah Heidegger, sebagai “memisah terang dari gelap.”

Meski demikian, saya tetap berusaha meng-update buku-buku terbaru. Saya tidak tahu persis angkanya, namun saya yakin tahun ini tidak banyak buku baru yang terbit. Kalaupun terbit, beberapa dijual melalui pre-order agar penerbit punya cukup uang untuk mencetaknya dalam situasi ekonomi yang cukup sulit. 

Selama pandemi, saya sangat jarang ke toko buku. Beruntung, saya mengikuti informasi baru melalu Instagram beberapa penerbit, sehingga ketika ada buku terbaru, langsung saya pesan. Di banding tahun sebelumnya, frekuensi saya membeli buku agak berkurang.

Dalam situasi itu, saya menemukan banyak buku bagus. Lagi-lagi, makna bagus di sini selalu subyektif sebab selalu bergantung pada akses pada buku serta waktu yang cukup untuk membaca dan meresapinya. Ketika menemukan buku yang saya sukai, biasanya saya membacanya berulang-ulang.

Di tahun 2020, saya mencatat beberapa buku yang menarik. Saya menyusunnya secara acak:


Pandemic: Covid-19 Shakes the World  (Slavoj Zizek)

Saya anggap ini buku yang paling provokatif di tahun 2020. Filsuf Slavoj Zizek menyebut virus ini ibarat pukulan ala “Kill Bll” yang menghantam kapitalisme. Dalam film Kill Bill 2 yang disutradarai Quentin Tarantino, terdapat pukulan “Five Point Palm Exploding Heart Technique” yakni kombinasi lima serangan yang menyasar lima bagian tubuh. Saat Bill dihantam dengan jurus ini, dia merasa baik-baik saja, tetapi saat berjalan lima langkah, jantung meledak. Inilah salah satu pukulan paling mematikan dalam ilmu bela diri.



Saat virus ini menyerang, kapitalisme seakan baik-baik saja. Masih bisa mengatur napas dan langkah. Tapi, seiring waktu, virus ini bisa menumbangkan kapitalisme, sebagaimana kebocoran nuklir di Chernobyl yang menumbangkan Uni Soviet. Sistem sekarang tidak akan terus berjalan seperti biasanya sehingga dibutuhkan sebuah perubahan radikal.

Menurut Zizek, virus memaksa kita untuk memikirkan satu konsep masyarakat alternatif yang melampaui konsep negara-bangsa. Virus masyarakat alternatif ini menekankan pada solidaritas dan kerja sama global. (BACA: Virus yang Membangkitkan Komunisme)


Kepunahan Keenam (The Sixth Extension), karya Elizabeth Kolbert

Dalam versi bahasa Inggris, buku ini terbit tahun 2014 dan merupakan peraih Pulitzer sebagai buku nonfiksi terbaik. Saya membaca buku ini pada momen ketika saya merenungi Covid-19 yang muncul akibat kehadiran manusia yang mempengaruhi tatanan ekologis.

Ini buku yang muram. Isinya adalah sejarah kekalahan dari spesies yang bukannya tidak bisa beradaptasi dengan bumi, tapi perlahan tersingkir dan punah oleh spesies manusia. Ini kisah tentang kian tingginya laju kepunahan berbagai hewan sejak era pertama bumi terbentuk.


Dulu, banyak spesies punah karena asteroid atau gunung meletus dalam skala besar. Kini, semua kepunahan itu disebabkan manusia, spesies yang merasa dirinya paling hebat sehingga merasa punya kuasa dewa untuk mengatur alam semesta.

Elizabeth Kolbert menulis kepunahan itu serupa membuat catatan perjalanan, dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu laboratorium ke laboratorium lain. Alam semesta digambarkan sebagai sejarah perebutan ruang demi keseimbangan. Tapi manusia memasuki arena dan membawa ideologi penaklukan. Hewan liar tersingkir. Semua hutan dirambah dan menjadi perkebunan.


Perang Melawan Influenza (Ravando)

Judul lengkapnya Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial. Penulisnya Ravando, sejarawan muda alumnus Leiden yang kini lagi di Aussie.

Biasanya ketika membaca buku sejarah, saya serasa terlempar ke masa silam. Tapi buku ini justru berbeda. Fakta-fakta yang disajikannya membuat saya berkaca ke masa kini. Isinya sangat aktual. Kaya data.  


Jika saja kata Pandemi Spanyol diganti dengan kata Covid-19, maka kita tetap menemukan fakta yang sama. Mulai dari Dinas Kesehatan Hindia Belanda yang memandang remeh penyakit ini, korban yang berjatuhan, juga banyaknya hoaks mengenai obat penyakit ini. 

Saya suka catatan dari Profesor Hans Pol mengenai perlunya melihat aspek kesehatan dan penyakit dalam menyusun historiografi. Epidemi atau penyakit seharusnya menjadi lensa untuk memandang perubahan sejarah dan masyarakat. Ini mengingatkan saya pada Jared Diamond yang menjelaskan bagaimana kuman bisa mengubah sejarah.

Seusai membaca buku ini, kesimpulan saya adalah kita memang tak pernah belajar dari sejarah. Ibarat sedang berjalan, kita selalu jatuh di lubang yang sama. Kita selalu mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan di masa silam. Kita tak menyerap hikmah masa silam untuk membuat kita lebih tangguh di masa kini.


Gen: Perjalanan Menuju Pusat Kehidupan (Siddhartha Mukherjee)

Dua tahun lalu, saya membeli buku The Gene: An Intimate History yang ditulis Siddhartha Mukherjee di Bandara Lombok. Ketika versi terjemahan keluar, saya langsung memesannya. Tentunya, lebih menarik baca buku versi bahasa Indonesia. Lebih mengalir. 

Penulis buku Siddhartha Mukherjee adalah profesor kedokteran di Columbia University. Dia keturunan India. Dia pernah memenangkan pulitzer untuk karyanya yang berjudul The Emperor of All Maladies: A Biography of Cancer (Kekaisaran Penyakit: Biografi Kanker). 



Gen adalah satu gagasan yang mengguncang dalam sejarah sains, Tiga penemuan gagasan fundamental di dunia sains yang bermunculan sepanjang abad ke-20: atom, bit, dan gen, terus berkembang sehingga menjadi wacana sendiri dalam sains. Gen adalah unit informasi terkecil makhluk hidup yang tidak dapat dibagi lagi. 

Buku Gen membahas secara komprehensif apa itu gen, serta memaparkan sejarah konsep gen serta kisah-kisah ilmuwan. Buku ini juga memaparkan masa depan riset mengenai gen. 

Sesuai judulnya an intimate history, buku ini memang terasa intim. Saat bercerita, penulisnya banyak mengutip sastrawan mulai dari George Orwell, Albert Camus, hingga Haruki Murakami.  Kita seakan mendengar seorang Opa penuh pengalaman yang bercerita ringan. Kita seakan menyaksikan film mengenai para peneliti gen yang membahas karyanya.


The Socrates Express (Eric Weiner)

Sejak membaca Geography of Bliss, mengenai perjalanan mencari konsep bahagia di berbagai negara, saya menjadi penggemar catatan perjalanan Eric Weiner. Dia tidak sekadar jalan-jalan dan foto-foto. Dia selalu berusaha menemukan makna. Dia menetapkan misi dalam petualangannya.


Kali ini, saya membaca catatannya bersentuhan dengan wacana filsafat. Saya terkenang buku Dunia Sophie yang ditulis Jostein Gaarder. Sebagaimana Dunia Sophie, The Socrates Express juga meramu filsafat menjadi catatan perjalanan yang menyenangkan.

Saya sepakat dengan pernyataan Henry Manampiring di bagian pendahuluan, filsafat itu akan selalu aktual. Manusia akan selalu berhadapan dengan problem yang sama, dari zaman ke zaman. Dulu orang berpedang, kini memakai nuklir. Substansinya sama.

Yang kita temukan di sini bukanlah sejarah dan perkembangan pemikiran, tetapi petualangan seorang manusia yang mengenali tema-tema filsafat dalam aktivitasnya di abad kekinian. Ada perspektif masa lalu, yang dipraksiskan di masa kini, lalu mengalami dialog2 dan dibenturkan dengan realitas kekinian.

Yang paling diuntungkan dari dialog ini adalah kita, pembaca yang menikmati menu buku ini serupa mencicipi hidangan segar bagi jiwa.


Kisah dari Kebun Terakhir (Tania Murray Li)

Saya selalu terkesima jika membaca kerja-kerja intelektual Tania Murray Li. Profesor antropologi asal Kanada ini selalu produktif melahirkan riset etnografis dan pengamatan mendalam dalam setiap karya-karyanya. 

Beberapa waktu lalu, saya membaca bukunya berjudul The Will to Improve yang lalu menjadi satu lensa ketika melihat desa. Ketika saya berkunjung ke desa, beberapa teori dan argumentasi Tania Li terus hadir dalam benak. Istilah yang sering saya kutip adalah “teknikalisasi permasalahan” yakni cara orang kota menjinakkan orang desa melalui aturan, pengetahuan, dan berbagai hal teknis. Seakan-akan orang kota lebih tahu dan lebih berhak bicara tentang desa.


Tahun ini, saya membaca buku terbarunya yang sudah diterjemahkan yakni Kisah dari Kebun Terakhir. Isinya adalah riset etnografis di Sulawesi yang membahas bagaimana kemunculan kapitalis di antara penduduk adat di perbukitan yang memprivatisasi lahan demi menanam kakao.

Tania Li berfokus pada masyarakat Lauje, baik itu yang tinggal di pesisir maupun perbukitan. Penelitian etnografis yang dilakukan selama dua puluh tahun (1990-2009) tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Lauje di perbukitan tidak selalu menolak narasi pembangunan dan modernisasi. 

Mereka malah ingin merasakan derap langkah kemajuan dan pembangunan. Tanpa disadari, hasrat ini lalu menyeret mereka untuk bersaing satu sama lain dalam praktik kapitalisme yang kemudian berujung pada kesenjangan.


The Real Marketing (Hermawan Kartajaya)

Saya bukan marketer atau pemasar. Tapi setiap kali ada buku baru yang dibuat para marketer, saya selalu tidak sabar untuk membacanya. Di antara nama-nama penulis yang saya tunggu2 adalah Rhenald Kasali dan Hermawan Kartajaya.

Hermawan selalu menulis sesuatu dengan cara yang sesederhana mungkin. Dia tidak suka memusingkan pembacanya. Beda dengan para ilmuwan sosial dan politik yang suka jlimet. Kalaupun Hermawan memakai kata dalam bahasa Inggris, biasanya kata-kata yang mudah dipahami dan pasaran.


Selain itu, Hermawan menulis berdasarkan pengalaman sendiri. Saya suka membaca catatan, yang penulisnya memakai kata “saya.” Sebab di situ ada unsur personal, serta perjalanan seseorang memahami sesuatu. Kita diajak masuk ke dalam pikiran seseorang untuk menelusuri pesan dan makna.

Dia juga peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia suka mengambil contoh apa yang ada di sekitarnya. Di buku terbarunya ini, The Real Marketing, dia menjelaskan tentang game, film The Rings, konten Youtube, dan K-Pop. Dia selalu update dengan informasi terbaru, bahkan apa saja yang tengah happening di kalangan anak2 jaman now.

Dia menjelaskan perjalanan konsep pemasaran yang dikembangkannya, sehingga dirinya menjadi satu dari 50 orang yang mengubah marketing dunia. Dia menjelaskan bagaimana dirinya bisa berkolaborasi dengan para guru marketing yakni Al Ries, Jack Trout dan Kehnichi Ohmae, serta Philip Kottler yang disebut sebagai the father of modern marketing. Kini, Hermawan telah mendunia.


Pangeran dari Timur (Iksaka Banu dan Kurnia Effendi)

Novel ini masuk dalam list saya. Ini adalah novel sejarah mengenai Raden Saleh, salah satu pelukis paling hebat di masa kolonial.

Sebagai penggemar fiksi sejarah, saya lama menunggu buku ini. Dulu, ketika membaca tetralogi Pulau Buru dan beberapa karya lain dari Pramoedya Ananta Toer, saya selalu berharap ada yang rutin menulis tentang masa silam, dari sisi yang tidak biasa.


Beruntung, saya bisa berinteraksi dengan karya-karya Iksaka Banu. Mulanya, saya mengoleksi bukunya Semua untuk Hindia. Selanjutnya saya membaca Sang Raja, terakhir Teh dan Pengkhianat. Iksaka adalah penulis yang dua kali mendapatkan Khatulistiwa Literary Award.

Bagi saya, Iksaka Banu itu unik. Dia melihat sejarah tidak secara hitam putih. Dalam dua bukunya, dia mengurai kisah dari sudut pandang orang Belanda yang dicap nista oleh sejarah kita. Dia melihat peristiwa dari sudut berbeda. Siapa pun bisa berpotensi jahat, tanpa memandang warna kulit dan asal bangsanya.

Dia membentang sketsa watak manusia yang penuh warna. Ada manusia baik dan ada manusia jahat. Tergantung kita melihatnya dari sudut mana. Jika kita membebaskan diri dari segala prasangka, kita akan melihat dinamika. Selalu ada gejolak. Selalu ada kebaikan, juga kejahatan.


Kuasa Uang (Burhanuddin Muhtadi)

Dalam konteks literatur politik, buku Kuasa Uang ini sangat menarik. Buku ini mulanya disertasi yang dibuat Burhanuddin Muhtadi untuk mendapatkan gelar doktor di satu universitas di Australia.


Saya menemukan banyak kesimpulan menarik di buku ini. Di antaranya, orang Indonesia ternyata lebih jujur mengakui adanya praktik politik uang dibandingkan dengan orang di negara-negara lain. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa jual beli suara dalam pemilu di Indonesia memang bukan tabu. 

Buku membahas bagaimana gelombang politik uang semakin menjadi-jadi setelah Orde Baru runtuh pada 1998, terutama setelah sistem proporsional terbuka diterapkan pada 2009. Perubahan sistem kelembagaan dan sistem pemilu membuat caleg harus menghasilkan personal votes melalui ketokohan pribadinya ketimbang lewat kampanye berbasis partai. 


Creative Collaboration (Abdullah Azwar Anas)

Tidak banyak kepala daerah yang mau berbagi tentang pengalamannya memimpin. Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas adalah pengecualian. Dia mencatat pengalamannya selama dua periode memimpin, menguraikan apa saja yang telah dilakukan, serta memberikan catatan tentang masa depan.

Tahun lalu, saya puas sekali saat membaca bukunya yang berjudul Anti Mainstream Marketing. Dia menjelaskan secara rinci bagaimana kiatnya memasarkan Banyuwangi yang dulu identic dengan santet, terbelakang, juga angker. Dia melakukan branding pariwisata yang berbasis pada tradisi dan budaya, lalu membawa Banyuwangi menjadi salah satu daerah yang maju pariwisatanya.


Dia mengemas bukunya dengan sangat menarik. Konsepnya eye catching. Mencolok mata. Banyak foto warna dan juga kutipan penting. Dia sengaja membuat buku yang tidak rumit, tapi bisa dipahami siapa saja.

Dalam Creative Collaboration, dia menjelaskan kerja-kerja di balik kian banyaknya penghargaan untuk Banyuwangi. Dia membahas kolaborasi kreatif yang menjadi kekuatan. Kerja kolaborasi tidak hanya dilakukan dengan pihak luar, misalnya pemerintah pusat maupun para pengusaha dan arsite, tapi juga kolaborasi dengan warganya sendiri.


Menjadi Penulis (Puthut EA)

Saya dua kali mengkhatamkan buku Menjadi Penulis ini. Buku ini hadir dengan konsep yang sederhana dan menarik. Isinya adalah catatan-catatan tentang dunia menulis, yang ditujukan bagi siapa saja yang hendak menjadi penulis.


Saya suka dengan celotehan Puthut EA yang realistis saat membahas dunia menulis. Dia tidak seperti para motivator atau mentor yang bercerita hebat-hebat tentang dunia menulis. Dia bercerita realistis dan apa adanya, kalau dunia menulis memang tidak seindah melihatnya dari luar. Dunia menulis bukanlah dunia yang bergelimang uang.

Namun dia tidak sekadar memaparkan sedu-sedan. Dia juga memberikan peta bagi mereka yang hendak menekuni dunia menulis. Di antaranya adalah memperluas kerja kepenulisan. Bukan sekadar fiksi, tapi masuk ke non fiksi, melakukan riset, jadi ghost writer, serta apa saja yang terkait dunia menulis.


Serial Bumi (Tere Liye)

Sebelumnya saya bukan pembaca novel yang ditulis Tere Liye. Saya tak pernah membaca satu pun bukunya. Namun saya tergoda membacanya saat melihat banyaknya anak-anak me-review serial Bumi di Youtube.  Saya pikir selama ini Tere Liye adalah penulis dengan genre Islami. Ternyata dia merambah ke berbagai genre, termasuk fantasi.

Serial ini mengenai tiga kanak-kanak yang masing-masing punya kemampuan hebat.  Raib bisa menghilang, Seli bisa mengeluarkan petir, dan Ali adalah anak yang jenius. Ketiganya bertualang melintasi dunia paralel. 


Dalam novel ini, bumi adalah semesta yang di dalamnya terdapat empat dunia paralel yang hidup damai dan tak saling berhubungan. Ada klan Bumi, klan Bulan, klan Matahari, dan klan Bintang. Namun ada sejumlah orang yang punya kemampuan untuk melintasi empat dunia itu, lalu memicu peperangan.

Gambaran tentang empat klan itu sangat imajinatif. Jika novel Harry Potter, semesta dibangun melalui sihir, serial ini menampilkan teknologi yang canggih dengan uraian yang menarik.

Pantas saja jika novel Bumi sudah dicetak hingga 29 kali. Bahkan lanjutannya juga dicetak puluhan kali. Wow. Ini rekor bagi buku fantasi yang dibuat oleh orang Indonesia. Saya juga tidak menyangka ada fantasi sekeren Harty Potter yang malah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sekarang sudah ada Earth, juga Moon, dan Sun. 


Dia Gayatri (Bre Redana)

Setahun ini, saya membaca dua novel yang ditulis Bre Redana yakni Majaphit Milenia dan Dia Gayatri. Dua-duanya semacam reminder tentang Majapahit, sebagai salah satu imperium paling besar yang menguasai Asia Tenggara.

Dia Gayatri menarik. Kisahnya dimulai dari balai lelang di London. Saat itu, ada dua orang yang sangat kaya dan berebut patung Gayatri. Selanjutnya, kisah bergulir ke masa lalu saat Gayatri hadir di masa awal Kerajaan Majapahit berdiri.  Gayatri digambarkan sebagai sosok yang visioner, yang mengawal Majapahit sejak awal berdiri hingga masuk ke era Hayam Wuruk, dengan patihnya Gadjah Mada.


Saya berharap banyak pada novel ini. Sayangnya, penulisnya kurang berani mengembangkan kisah hingga menjadi teka-teki menarik. Isinya datar-datar saja. Terlalu setia dengan teks sejarah. Padahal jika dikemas lebih baik, kisah ini bisa seheboh Da Vinci Code yang ditulis Dan Brown.

Namun, saya tetap menyukainya. Kekuatan Bre Redana adalah bisa menggambarkan peristiwa sejarah dengan detail sehingga pembaca seolah membaca laporan jurnalistik yang memikat.


The Poppy War (R.F. Kuang)

Ini fiksi yang saya baca di akhir tahun. Saya tidak menyangka kalau fiksi yang terbit tahun 2019 ini semenarik ini. Saya membacanya novel sepanjang lebih 500 halaman ini tanpa jeda. Saya menyelesaikannya hanya dalam waktu tiga hari. 

Kisah dalam novel ini adalah versi fiksi dari sejarah Cina. Ada semacam penggabungan antara kisah sejarah dan fiksi juga mitologis. Dari sisi cerita, saya serasa membaca gabungan antara Harry Potter, Hunger Games, How to Train Your Dragon, dan Game of Thorne. Kisahnya mengenai anak perempuan yatim piatu miskin di satu negeri fantasi di Cina yang kemudian masuk akademi militer paling hebat, lalu menjadi petarung hebat.


Rin, demikian nama perempuan itu, mulanya diremehkan oleh para anak-anak panglima yang belajar bela diri sejak kecil. Bahkan dia ditolak oleh guru bela diri karena dianggap rakyat jelata. Seorang guru yang aneh melihat bakatnya, lalu mengajarinya bela diri dengan cara mengambil dari kitab-kitab di perpustakaan.

Anak itu tak cuma belajar bela diri, tapi juga sampai mendalami shamanisme hingga dirinya bisa mengundang Dewa Phoenix. Dalam satu pertempuran dan posisinya terdesak, datang Dewa Phoenix memasuki dirinya sehingga memiliki kemampuan membakar.

Keren abis!

*** 

Tahun 2020 segera berlalu. Besok, semua kalender 2020 akan disingkirkan. Lembaran baru segera dimulai. Jika di tahun 2020 banyak warga bumi yang pergi karena Covid, saya berharap tahun 2021 akan memancarkan harapan baru.

Semoga kita menjadi bagian dari warga bumi yang survive melalui abad pandemi, semoga kita semua tetap memelihara hasrat membaca, hasrat berbagi, serta terus menyirami bumi dengan kebaikan-kebaikan.

Semoga kita terus menyerap kebaikan dari hikmah-hikmah yang terpancar dalam semua literasi. Bahwa di balik setiap bencana selalu ada harapan baru, selalu ada kehidupan baru, dan selalu ada visi yang lebih arif dalam memandang kehidupan.

Semoga.


BACA:

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2019

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2018

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2015


"Silicon Valley" di Gowa-Tallo


 Jalur rempah itu hanya menyisakan nestapa. Demikian sejarawan itu berkisah saat kami bertemu di Jakarta. Dia merujuk pada kedatangan bangsa-bangsa asing ke Nusantara di abad ke-16 dan abad ke-17 yang hendak mencari rempah-rempah di Maluku. 

Tak sekadar berdagang, muncul hasrat untuk menguasai wilayah demi memonopoli rantai pasok perdagangan komoditas. Negeri-negeri dicaplok, dibikin bertikai. Setelah itu, korporasi besar seperti VOC bisa menguasai semua rantai pasok perdagangan. Kota-kota di Eropa pesta pora.

Saya ingat bab favorit di buku Why Nations Fail yang ditulis ekonom terkemuka Amerika Serikat, Daron Acemoglu dan James Robinson. Bab itu menjelaskan tentang kejayaan Maluku yang kemudian porak-poranda akibat kedatangan bangsa asing. 

Di abad itu, Maluku punya komoditas yang paling dicari. Namun, kerajaan-kerajaan lokal tidak bisa mengelola semua komoditas itu untuk membangun kerajaan yang makmur sebagaimana Kerajaan Inggris atau Kerajaan Belanda di sana. Di Maluku, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore tidak menjadi kerajaan besar dan kuat. 

Kata Acemoglu, ada kegagalan untuk membangun satu sistem politik yang inklusif. Maluku serupa bola yang diperebutkan korporasi asing, hingga akhirnya menyisakan kesengsaraan dan kepedihan bagi warga yang dilanda kemiskinan.

Acemoglu memaparkan, institusi politik-ekonomi suatu negaralah yang menjadi penentu. Negara yang institusi politik-ekonominya bersifat inklusif, cenderung berpotensi untuk menjadi negara kaya. 

Sementara negara yang institusi politik-ekonominya bersifat ekstraktif, cenderung tinggal menunggu waktu untuk terseret ke dalam jurang kemiskinan, instabilitas politik, dan menjadi negara gagal. 

Namun, ketika menelusuri beberapa cerita di abad itu, saya menemukan kisah berbeda pada Kerajaan Gowa-Tallo. Pada saat kerajaan lain di timur hanya mengizinkan bangsa asing untuk mengeruk sumber daya lalu menjualnya, atau sekadar persinggahan, Gowa-Tallo menjadi negeri yang punya visi besar.

Para penguasa Gowa menjadikan Pelabuhan Makassar seperti Singapura di masa kini. Mereka membangun pelabuhan, juga pergudangan. Penguasa Gowa mengerahkan armada semut untuk mengumpulkan komoditas di Maluku, lalu menyimpannya di gudang-gudang di Makassar, kemudian mempersilakan semua korporasi internasional untuk berdagang di Makassar. Tak perlu belanja ke Maluku.

Di abad ke-17, Makassar menjelma seperti Silicon Valley yang sangat inklusif. Makassar menyediakan platform bisnis di mana semua orang bisa datang dan tinggal bersama. Makassar persis Google yang menjadi rumah bagi semua aplikasi, dan tumbuh bersama. Demi memperluas pengaruh, penguasa Gowa dan Tallo menyebarkan ideologi Islam ke negara-negara sekitarnya.

Apa yang kita kenal dengan konsep bisnis sebagai platform, serta hackathon dalam bisnis Start-Up sudah dilakukan di abad ke-17 di mana Makassar menjadi penyedia coworking space bagi semua pebisnis.

Setelah Malaka jatuh, juga kemunduran Jawa, Makassar menjadi kota dunia serta transit bagi semua perdagangan komoditas. Perekonomian berkembang pesat di bawah arahan Sultan Alauddin yang mengikuti penguasa sebelumnya dalam menerapkan prinsip mare libirum. 

“Dalam pandangan kami bumi diciptakan untuk masing-masing kita dan laut diciptakan untuk semua. Jika anda melarang kami berlayar di laut, itu sama saja mengambil roti dari mulut kami,” kata Sultan Alauddin.

Saking majunya, Makassar mulai mengintip dunia sains. Makassar menjadi tempat paling ambisius di Nusantara dalam menjangkau ilmu pengetahuan. Berbagai kitab ditransliterasi dalam bahasa Makassar, termasuk kitab pembuatan mesiu dari Andreas Moyona. Teleskop Galileo didatangkan. Bahkan dibangun menara untuk memantau bintang, yang dalam bahasa lokal disebut Maccini Sombala.

Kian besarnya Makassar memantik persaingan dengan korporasi dagang VOC. Para petinggi VOC ingin monopoli, sementara penguasa Makassar berprinsip untuk membangun platform bagi bisnis. Dua hal yang diminta VOC ditolak yakni monopoli perdagangan di kawasan timur, dan blokade kapal dagang yang singgah ke Makassar.

Konflik pun pecah. Namun orang-orang Makassar telah mempersembahkan satu perang yang dicatat Anthony Reid sebagai perang paling mengerikan yang pernah dihadapi VOC.  Benteng Somba Opu jatuh. 

Sultan Hasanuddin, penguasa Makassar, dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya yang serupa MoU akuisisi saham. Beberapa poin penting yang amat merugikan di situ adalah: (1) VOC berhak monopoli perdagangan, (2) Semua bangsa asing diusir dari Somba Opu, (3) Gowa-Tallo mengganti biaya perang, (4) beberapa wilayah Gowa diserahkan kepada VOC.

Pelabuhan jatuh. Makassar porak-poranda. Hilanglah satu lapis peradaban dan kejayaan emas perdagangan dalam sejarah kita. Yang tersisa adlah nestapa kolonialisme dan monopoli bangsa asing.

Di abad ini, kita hanya bisa mengenang.



Mantra Gratis GOOGLE di Era Free-Economy


Di suatu panas yang terik, anak muda itu menemui saya di satu kafe. Dia seorang penulis. Namun dia masih mencari cara bagaimana menjadikan kegiatan itu menghasilkan. Dia mengajukan pertanyaan yang membuat saya terdiam.

“Mengapa Abang tidak pasang iklan di blog? Mengapa mau saja menulis gratisan, tanpa dibayar? Apakah menulis blog bisa menghasilkan?”

Saya menjawab singkat. Jika ingin jadi meraup dollar di internet, maka gunakan rumus dari Google. Gratiskan semua layanan. 

Dia tak puas. Dia bertanya lagi, duitnya dari mana? Dia semakin penasaran.

Anak muda itu mewakili pandangan banyak orang yang melihat semua kegiatan harus menghasilkan. Tanpa duit, maka semua upaya dianggap sia-sia. Padahal di era internet, semua aktivitas digital mengarah ke gratis. 

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital

Google adalah salah satu perusahaan yang memulai revolusi itu. Semua aktivitas di Google, mulai dari jasa email, search engine, google photo, cloud server, hingga google drive sengaja digratiskan. Hebatnya, meski menggratiskan layanan, Google menjadi salah satu perusahaan paling kaya di dunia. 

Gratis menjadi mantra yang dipakai semua aktivitas digital. Inilah eranya Free-Economy (ekonomi gratisan). Di Youtube, kita bisa melihat banyak akademisi, peneliti, artis, hingga pesulap yang berbagi konten secara gratis. 

Lihat saja Facebook, yang penggunanya hingga miliaran di seluruh dunia, namun menggratiskan layanannya, termasuk WhatsApp dan Instagram. Kita nyaman ber-facebook karena tidak perlu bayar. Selagi ada sinyal, maka kita bisa beraktivitas.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kalimat: “There ain't no such thing as a free lunch.” Sering disingkat jadi “No Free Lunch.” Istilah itu pertama kali muncul di bar-bar New Orleans, Amerika Serikat, pada tahun 1872. Istilah ini juga pouler di San Francisco pada era gold rush. 

Makan siang gratis menjadi strategi agar orang-orang memenuhi bar, lalu memesan makan siang gratis, kemudian ikut memesan minuman. Pihak bar mendapatkan untung dari harga minuman. Memang benar, tidak ada yang gratis sebab ada subsidi silang di situ.

BACA: Sepuluh Alasan untuk Menulis Blog

Hal yang sama berlaku di era kekinian. Dalam buku Free: The Future of A Radical Price, yang ditulis Chris Anderson, terdapat penjelasan rinci dari mana Google, Facebook, Wikipedia, dan semua start-up teknologi mendapatkan uang. Prinsipnya adalah raup keuntungan jutaan dolar dengan memberikan gratis kepada konsumen. 

Menurut Chris Anderson, pendapatan tidak harus diperolah langsung dalam sebuah transaksi. Pendapatan bisa didapatkan dari jalur tak langsung yang justru mendapatkan keuntungan berlimpah. 

Strategi Google adalah distribusi maksimum. Semua layanan digratiskan agar penggunaannya kian meluas. 

Semakin banyak pengguna Google dan juga Facebook, maka dua perusahaan itu akan semakin diuntungkan. Sebab semua tindakan kita di internet akan direkam dengan baik menjadi big data. Dengan kata lain, Google dan Facebook butuh asupan informasi dari pihak lain untuk diindeks, diorganisir, dan dikemas untuk menjadi uang.


Ketika pengguna internet semakin meluas, lalu ada ketergantungan pada Google, mulailah pelan-pelan ada yang berbayar. 

Dalam dunia digital, ada istilah Freemium. Maksudnya, layanan digratiskan. Tapi jika ingin lebih maka konsumen harus siap membayar. Saya ingat sewaktu lagi suka-sukanya bermain game Mortal Kombat. Saking seringnya kalah karena senjata terbatas, saya tidak sadar telah menggesek kartu kredit untuk membeli senjata di permainan itu. Tujuannya agar bisa menang. Saya masuk dalam jebakan pembuat game agar mereka semakin kaya. 

Saya juga punya pengalaman bertransaksi rutin di Google. Dulu, saya pengguna email gratisan dari Google. Saya juga menyimpan semua file di Google Cloud. Saya tak perlu khawatir kalau computer rusak atau bepergian dan tidak bawa laptop. Semua file tersimpan rapi di awan (cloud).

Belakangan, saya merasa kapasitas penyimpanan semakin tidak cukup. Sebab kapasitas Cloud yang gratis hanya 15 GB. Saya pun membayar 30 dollar per tahun untuk membayar cloud dengan kapasitas 100 GB. Saya juga masih membayar 10 dollar per bulan untuk domain di blogger.

Kata Chris Anderson, ada 5 persen dari semua pengguna Google yang seperti saya, yang membayar rutin untuk membayar semua layanan. Saat semua orang punya ketergantungan pada Google untuk mencari informasi, pelan-pelan Google menerapkan bayaran bagi penyedia informasi untuk bisa tampil di halaman depan.

Melalui Google Adwords, perusahaan itu menjadi biro iklan raksasa terbesar di dunia. Seluruh dunia butuh bantuan Google untuk menyebarkan konten. Perlahan, Google meraup untung dari hanya lima persen pengguna internet. Itu cukup untuk menjadikan Google sebagai salah satu perusahaan terkaya.

***

Saya menatap anak muda di hadapan saya. Mengikuti strategi Google, saya memintanya untuk sebanyak mungkin berbagi informasi di media sosial. Saya berikan contoh bagaimana akademisi, pesohor, para profesor kelas dunia berbagi konten secara gratis di platform media sosial. 

Mereka ingin memperkuat personal branding sehingga bisa mendapatkan manfaat lain di luar dari aktivitas digital yang gratisan.

BACA: Jadi Penulis Makmur di Era Digital

Tulis sebanyak mungkin dan sebagus mungkin, kemudian sebarkan secara gratis melalui media sosial. Buat tulisan itu viral sehingga menyebar sampai titik terjauh. Semakin jauh tulisan itu menyebar, maka semakin populer dirinya,  sehingga menjadi top of mind di pikiran banyak orang. Jadikan web atau blog sebagai etalase agar orang melihat kapasitas dan kemampuan.

Saat branding itu kuat, tanpa promosi sekalipun, orang akan membutuhkan jasanya terkait pekerjaan tulis-menulis. Orang akan menghubungi, tanpa perlu bertanya apa seseorang bisa mengerjakannya. 

Google memberikan pelajaran betapa pentingnya menggunakan dunia maya untuk mendapatkan keuntungan berlimpah. Bahwa follower aktif harus dikelola dengan baik sehingga menjadi potensi ekonomi yang bisa digerakkan. 

Tak perlu alergi dengan gratisan. Lihat grup musik Radiohead yang menggratiskan semua lagunya di internet. Dampaknya adalah semua tiket konsernya selalu habis terjual, merchandise makin laris, undangan konser terus berdatangan. Sponsor terus antre. Media pun rajin meliput kegiatan mereka.


Tengok pula media-media online yang menggratiskan semua layanan. Dua hal yang dikejar oleh media online yakni lalu lintas kunjungan atau julah visitors, dan interaksi. Semua media online mengincar skor Alexa, kepunyaan Google, agar mempengaruhi lobi pada pengiklan. Malah, media itu memasang Google Adsense agar meraup pendapatan dari Google.

Kita sedang berada di era Free-Economy, saat semua selebriti, pengamat sosial, hingga akademisi membuka kanal Youtube dan membuat konten gratisan. Bahkan semua politisi membuka kanal medsos untuk membagikan semua kegiatan dan pemikirannya. Semuanya gratis. 

Namun benarkah gratis? Kata Chris Anderson, tak ada yang benar-benar gratis. Orang-orang mengeluarkan biaya untuk internet. Saat singgah ke satu blog, jumlah visitor bisa dimonetasi atau diuangkan, serta bisa berdampak pada kian tingginya digital currency dari pemilik blog. Uangnya memang tidak terlihat, tapi ada pengaruh yang bisa dikelola dan kelak akan menjadi sumber penghasilan. 

BACA: Tujuh Kiat Konten Serius Jadi Viral

Tak semua menanti kucuran dollar dari Youtube. Jauh lebih banyak yang mengincar pendapatan dari semakin kuatnya personal branding berkat gagasan yang dibagikan.

“Terus, apa Abang sudah bisa mendapatkan manfaat dari layanan gratis itu?” 

Saya tersenyum.




Lelaki yang Mencintai Selam Gua


Dua malam lalu, saya berjumpa dengannya di Creative Space, Baubau. Dia, Robin Cuesta, seorang warga Perancis yang menghabiskan separuh hidupnya untuk keliling dunia. Dia bertualang untuk menyelami gua-gua penuh air di bawah tanah. Dia spesialis Cave Diver atau penyelam gua.

Dia sudah beberapa bulan di Baubau. Dia mengaku jatuh cinta saat menyelam di Gua Laulawi di Desa Lasongko, Buton Tengah. Kedalaman airnya 20 meter, dan panjang gua yang bisa ditelusuri baru lima kilometer.

“Saya menyelam dengan membawa empat tabung. Itu pun belum sampai ujung,” kata Robin. Dia meyakini, Gua Laulawi adalah gua air bawah tanah yang terpanjang di Indonesia, bahkan dunia. 

Robin tak sekadar membuat klaim. Dia dan timnya yang beranggotakan peneliti dari UGM telah membuat pemetaan tentang gua itu. Berbekal pemetaan itu, Pemda Buton Tengah tengah mendaftarkan Gua Laulawi untuk rekor di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai  gua terpanjang. 

Saya penasaran dengan Robin. Saat berbincang, saya mengecek namanya di Google. Jejak digitalnya cukup banyak. Dia cukup terkenal dan sering menjadi pemateri mengenai penyelaman gua. Terbaru, dia menjadi pembicara utama dalam diskusi yang diadakan Indonesian Speleological Society, yakni organisasi yang menghimpun pencinta karst dan gua-gua.

Robin telah bertualang di banyak negara. Tidak heran jika dia bisa menjelaskan dengan detail bagaimana penyelamatan sejumlah anak pemain bola di Thailand yang terjebak dalam gua air bawah tanah. Dia pun sering menyelam di gua itu.

Di Indonesia, dia sudah menyelam ke banyak lokasi, mulai Aceh hingga Papua. Tidak heran jika dia menjadi instruktur selam gua yang cukup disegani. Saat saya bertemu dengannya di Baubau, dia ditemani sejumlah mahasiswa UGM yang juga penyelam gua. Sehari sebelum ngopi, dia didatangi beberapa penyelam dari Jakarta yang sengaja datang ke Baubau demi menemui Robin. 

Mereka belajar selam gua pada Robin yang disebut sebagai salah satu instruktur selam gua terbaik. Di dunia selam gua, pengalamannya cukup panjang.

Saya membayangkan betapa menantangnya dunia yang digeluti Robin. Dia punya hobi yang tidak biasa. Saya selama ini hanya tahu kegiatan susur gua. Ternyata ada juga Cave Diver yang menyelami gua-gua berair. 

Tentu saja, penyelam gua berbeda dengan penyelam di lautan (ocean diver). Di laut, jika habis oksigen, bisa langsung naik ke atas. Di gua, situasinya berbeda. Saat oksigen habis, penyelam tidak bisa langsung naik ke atas, sebab sering kali permukaan gua-gua bawah air hanya memiliki ruang oksigen terbatas.

Seorang mahasiswa UGM yang saat itu menemani Robin bercerita: “Pernah saya naik ke permukaan gua, hanya ada 30 centi jarak air ke langit gua.” katanya. Makanya, penyelam gua harus punya perencanaan yang matang. Dia harus menghitung semua risiko sebelum terjun menyelam.

Saya makin penasaran dengan kisahnya. Saya pikir masyarakat kita banyak yang menjauhi gua-gua. Ada yang beranggapan gua dihuni oleh hantu-hantu, atau binatang liar seperti ular. Saya pun tak tahan untuk bertanya. “Apakah saat mendatangi gua tidak takut sama ular?” 

Robin tersenyum, lalu tertawa. Rupanya, dia menemui pertanyaan itu, dari masyarakat Indonesia, mulai Aceh hingga Papua. Banyak yang menanyakan itu. Malah ada yang bertanya apakah dirinya pernah bertemu naga atau ular putih.

Bahkan ibunya di Perancis pernah meneleponnya saat ada berita mengenai ular piton yang menelan manusia di Pulau Muna. Apalagi, Buton Tengah berada di Pulau Muna yang merupakan rumah bagi ular yang menelan manusia itu.

“Kalau pun ada ular, maka palingan hanya di mulut gua. Kalau di dalam gua, ular tidak mungkin tinggal. Di dalam gua, ular tidak punya mangsa. Dia juga tidak bisa melihat. Oksigen juga terbatas,” katanya.

Saya menikmati perbincangan dengan Robin, khususnya saat dia bercerita bagaimana aktivitas caving atau susur gua bisa menjadi cave diver (penyelam gua). Saya penasaran dengan hobi yang di mata saya terbilang aneh. Dia petualang yang menemui kegairahan saat menyusuri gua-gua bawah air, utamanya gua yang belum pernah disinggahi manusia. Dia tertantang untuk mendatangi tempat-tempat yang tidak bisa dijangkau manusia lainnya.

Apa yang dicari di gua bawah air?” kembali saya bertanya. Robin bercerita tentang petualanganya dengan mata berapi-api. Dia penuh semangat. Saya bisa merasakan getaran semangat hebat itu.

Saya masih ingin berbincang banyak. Apa daya, di luar sana, langit mulai mendung. Bintang gemintang mulai tertutupi. Saatnya beranjak. Dalam bahasa Perancis, saya mengucap selamat malam.

"Bonne soirée"


Budak dari BUTUNG



Dia mengirimkan beberapa arsip melalui grup percakapan. Sahabat itu, Senja Kala Yahya, bekerja sebagai arsiparis senior di Arsip Nasional RI. Saya dan dirinya ikut dalam satu pekerjaan mengenai Jalur Rempah-Rempah. 

Arsip yang dia kirimkan membuat saya tersentak. Dia bilang, ini arsip mengenai daftar lelang atas 66 budak dari Buton di tahun 1755. Hah? Saya terdiam. 

Saya teringat memoar Michelle Obama berjudul Becoming. Saat mengetahui dia keturunan budak, dia butuh waktu merenung kemudian menerima kenyataan itu apa adanya. Tidak penting siapa Anda di masa lalu, yang terpenting adalah siapa Anda di masa kini dan masa depan. Kata Master Oogway dalam Kungfu Panda: “Yesterday is history, tomorrow is mistery.”

Sebelumnya, saya sudah sering membaca publikasi mengenai maraknya perbudakan di Buton. Dalam satu catatannya Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen pernah singgah ke Buton dan mengatakan daerah ini miskin, komoditas yang bisa dijual adalah kayu dan budak. 

Sejarawan Sri Margana pernah menulis aktivitas perdagangan budak. Ada kongkalikong antara pedagang, pejabat VOC dan Pemerintah Belanda, perkenier, dan peran bajak laut.  Kota-kota pantai di Maluku seperti Ambon, Seram, dan Banda adalah tempat-tempat penting sebagai pusat perdagangan budak. 

Para pedagang budak di Maluku mempunyai jaringan di Timor, Sumba, Sumbawa, Bali, Makassar, Butung (Buton), dan Batavia bahkan sampai ke Asia Tenggara.  

Itulah keping sejarah kelam yang pernah dilalui. Namun, jangan menghakimi masa silam. Sebab apa yang terjadi di masa lalu, boleh jadi kita lakukan di masa sekarang. 

Saya pandangi arsip yang dikirimkan sahabat itu. Di situ ada nama-nama, kemudian angka-angka. Karena ini lelang, setiap orang punya harga berbeda. Ada yang harganya 20 gulden, ada yang cuma 4 gulden.

Saya hanya bisa membayangkan lelang budak, sebagaimana pernah saya lihat dalam drama Little Missy di stasiun TVRI. Para budak, di antaranya bernama Justo, Sebastio, Fulgensio,  berdiri di satu panggung, kemudian fisiknya dilihat para pembeli. Mereka yang kuat diberi harga lebih mahal.

Nilai dari setiap budak adalah valuasi atas aset yang dia miliki. Jika fisiknya kuat, maka valuasinya tinggi. Di era modern, kita pun melakukan valuasi atas aset yang dimiliki seseorang. Jika punya pendidikan dan skill tinggi, maka valuasinya akan tinggi. Jika dia melamar karyawan, maka pasti akan minta gaji tinggi. Namun jika valuasinya rendah, dalam artian tidak punya skill dan pendidikan, maka harganya akan murah di pasar kerja. 

Dalam drakor Start-Up, sosok Han Ji Pyeong (mirip saya kan?) adalah investor yang jago dalam menilai valuasi satu aset. Saat pertama datang ke Samsan Tech, perusahaan milik Nam Do San, dia langsung bilang perusahaan itu tidak punya masa depan. Valuasinya rendah. Sebab hanya punya produk IT yang susah dipahami publik.

Saat Nam Do San pulang dari Amerika dan sukses mengembangkan algoritma untuk sistem kemudi otomatis bersama CEO Soe Dal Mi yang cantik, Han Ji Pyeong minder untuk menawarkan investasi. Karena dia tahu, valuasi perusahaan itu sudah sangat tinggi, sehingga investor akan berebut.

Di era digital, valuasi menjadi hal biasa. Dulu ada aplikasi Klout yang memberikan nilai atas apa yang Anda lakukan. Jika Anda dianggap punya jejaring tinggi, skor akan tinggi, dan mendapat banyak fasilitas. 

Kembali pada perbudakan, apakah praktik itu menunjukkan masa kini lebih manusiawi ketimbang masa lalu? Tunggu dulu. Dua pekan silam, saya berjumpa sejarawan Dr Mukhlis Paeni yang bercerita mengenai Pulau Bunce di Sierra Leone, Afrika. Dulu, pulau ini menjadi penampungan budak Afrika sebelum dibawa ke Inggris dan Amerika.

“Fasilitas yang ada di tempat penampungan budak itu masih jauh lebih baik dari pekerja di era modern sekarang,” kata Mukhlis.

Saya mengiyakan pendapatnya. Saya ingat kawan Muh Abdi dari Destructive Fishing Watch (DFW) yang sedang mengadvokasi para anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing. Mereka diperlakukan seperti budak yang tidak punya martabat. Saat mereka tewas di laut, mayatnya dibuang begitu saja. Jejaknya hilang begitu saja.

Di masa kini, kita memang tidak menamakannya budak. Tapi praktik itu tetap berjalan. Jejaknya masih terasa pada tindakan kita yang memperlakukan orang lain sebagai bawahan dan rendahan. 

Saya masih ingin berbagi informasi tentang budak, sejurus kemudian HP berdering. Ada suara perempuan yang bertanya: “Kakanda ganteng, lagi di mana? Ayo kita makan parende. Adik yang traktir.. Setelah itu kita cari tempat untuk bobo siang.” 

Mohon maaf. Saya harus mengakhiri catatan ini.



Parende Kepala Ikan


Ibu itu menyilakan saya duduk. Di warung berdinding bambu di Pasar Wameo, Baubau, dia menghidangkan sepiring ikan parende kepala ikan. Saya melihat kuah panas dengan asap membumbung. Aroma rempah-rempah tercium. Ludah saya serupa minyak panas yang mendesis di kuali dan siap menelan ikan.

Yang saya nikmati di Kota Baubau adalah berbagai olahan kuliner seafood yang rasanya orisinal, tak bisa ditemukan di tempat lain. Ada khazanah kekayaan budaya dalam mengemas rasa yang unik di semua daerah.

Saya ingat dua aktivis NGO di Jakarta yang pernah ke Baubau dan mendiskusikan parende, sejenis sop ikan yang khas. Mereka pernah mencicipi parende, dan menemukan semacam kode rasa unik yang melekat di lidah. Kata mereka, nikmatnya tidak bisa ditemukan di daerah lain.

Mereka pernah meminta resep parende itu lalu meraciknya sendiri. Tapi tetap saja rasanya tidak sama. Seorang di antaranya berpendapat, perbedaan rasa itu ada pada jenis bahan yang digunakan. “Di Buton, parende diolah dengan belimbing yang rasanya berbeda. Di Jakarta, tak ada yang menjual belimbing itu,” katanya.

Belimbing yang dimaksud adalah belimbing wuluh atau belimbing hijau. Di Buton, sering disebut tangkurera. Semasa kecil, belimbing itu tumbuh liar di perkampungan. Semasa kanak-kanak, saya suka memetik belimbing itu lalu mengunyahnya. Rasanya masam. Sangat masam. Kok dulu saya bisa suka yaa? 

Seorang kawan di kampus IPB bercerita, satu bibit tanaman bisa menghasilkan rasa berbeda jika ditanam di dua lokasi berbeda. Ada pengaruh jenis tanah, curah hujan, serta unsur-unsur hara. 

Saya ingat dulu Istri mengirimkan bibit ubi cilembu di Bogor untuk ditanam di kampung halamannya di Bone, Sulsel. Ketika dipanen, rasanya beda. Ternyata ubi cilembu akan mengeluarkan semua rasa manisnya saat ditanam di Jawa Barat. Di titik ini, saya bisa paham mengapa rasa parende di Buton berbeda dengan parende yang diolah di tempat lain. 

Kuliner memang terkait budaya. Sejauh-jauhnya saya berkelana hingga ke negara-negara lain, mencicipi berbagai menu di resto modern, selera saya tetap selera kampung. Entah kenapa, saya tidak bisa menemukan di mana nikmatnya makanan seperti Spageti, hamburger, dan pizza. Demikian pula saat mencoba beberapa kuliner Asia, tetap saja lidah saya sulit mengenali di mana nikmatnya.

Ada semacam algoritma di lidah yang hanya mengenali menu-menu tertentu yang karib sejak saya mulai mengenal rasa. Sebab rasa nikmat terkait budaya, pengalaman personal, dan petualangan, yang kemudian membentuk genangan konsep-konsep dalam pikiran kita.

Saat berkunjung ke banyak kota di tanah air, saya selalu mencari keunikan rasa dalam kuliner lokal. Di Ambon dan Kupang, saya terkenang rasa pada olahan tuna yang khas. Saat ke Manado, saya menyukai ikan rica-rica yang pedasnya bisa membuat kita lupa kalau di sekeliling kita ada banyak gadis manis berseliweran.

Demikian pula dengan kuliner parende di Baubau. Biasanya,  ketika menemukan kuliner enak, saya tidak langsung menghabiskannya. Saya makan dengan pelan-pelan. Saya nikmati setiap sendok makanan itu. Kadang saya menggelengkan kepala sembari berharap agar rasa nikmat itu menyebar. Kata temanku, kuliner ternikmat adalah kuliner yang bikin kita lupa sama semua utang. Hah?

Entah kenapa, kuliner lokal akan terasa nikmatnya saat dimakan di warung kaki lima, saat dimakan dengan tangan yang langsung menyentuh nasi dan ikan, saat ada hembusan angin sepoi-sepoi, saat satu kaki diangkat ke kursi, saat mata memandang lautan lepas, saat telinga mendengar suara nelayan yang perahunya sandar di pesisir lalu para pedagang kecil merubungi baskom besar berisi ikan.

Semuanya menjadi unsur-unsur yang menambah nikmatnya kuliner. Saya ingat pernah menulis tentang kopi ternikmat. Bukan di kafe-kafe mahal. Tapi kopi yang disajikan petani kopi di tengah kebun kopi, saat lelah menyergap tubuh.

Sehari setelah pulang dari warung parende, ibu saya menyajikan ikan itu di rumah. Saat mencicipinya, barulah saya tahu dari mana semua konsep nikmat itu muncul. Ternyata, kuliner ternikmat adalah kuliner yang dibuat oleh ibu sendiri, kuliner yang disuapkan ibu pertama kali sembari meyakinkan anaknya kalau itu nikmat, kuliner yang  rasanya terpatri dan mmbekas, serta membayangi seseorang ke mana pun dia menjelajah.

Jauh-jauh saya berkelana, lidah saya hanya mengenali satu kuliner ternikmat, yakni yang dibuat oleh ibu sendiri. Di situ ada memori, nostalgia, dan selaksa kisah-kisah. Di situ ada algoritma rasa yang terbentuk lalu menjadi tempat kembali seorang anak yang bisa menjelajah ke mana pun, namun suatu saat akan kembali ke kampung demi mendapatkan rasa nostalgik itu.

Saya ingat puisi dari penyair Zawawi Imron: “Ibu ke manapun aku bergerak, matamu yang akan jadi tempat kembaliku.” Di sini, saya ingin mengubah liriknya” “Ibu kemanapun lidahku bertualang rasa, sentuhanmu yang akan selalu menjadi tempat terbaik dan ternikmat.”


Kisah Bocah Penyelam Koin



Serasa ada yang hilang di sini. Di Pelabuhan Murhum, Baubau. Dulu, setiap kali saya datang, selalu ada banyak anak-anak yang bermain di laut. Anak usia 10 tahun sudah berperahu, mendayung koli-koli dengan penuh ceria, lalu merapat ke dermaga. Kali ini, saya datang bukan pada saat yang tepat.

Dulu, jika ada yang melempar koin, mereka akan melompat dari koli-koli (sejenis kano atau perahu kecil) dan menyelam hingga ke dasar. Sejurus kemudian, mereka muncul di air sembari mengacungkan koin. Mereka menampilkan atraksi kelihaian menyelam selevel dewa, seolah-olah mereka bisa bernapas di air. 

Saya terkenang masa kecil. Pernah ada masa di mana saya berperahu, bermain di laut hingga azan magrib, lalu mencari kerang di malam hari. Betapa bebasnya masa-masa itu, di mana orang tua tak terlalu khawatir melihat anaknya bermain hingga bosan di lautan.

Di tahun 2000-an, media Jakarta melabel penyelam koin itu sebagai pengemis lautan. Jurnalisnya hanya melihat sekilas. Dia terjebak dgn bingkai orang kota yang malas untuk verifikasi dan mendalami setiap keping informasi. Dia tidak menyelami kehidupan anak-anak penyelam koin itu. Dia tidak tahu kalau orang tua anak itu adalah pemilik kapal, bahkan ada nakhoda yang bertualang ke timur.

Anak-anak itu sedang bergembira dan bersenang-senang. Mereka bermain-main di lautan, tanpa pernah takut dengan risiko tenggelam. Mereka melihat lautan sebagai semesta yang mengasih dan menyapih mereka. 

Saya ingat catatan Ligtvoet, orang Belanda yang datang ke Buton di tahun 1800. Dia bercerita tentang tradisi melaut yang sudah cukup lama. Orang Buton sejak lama menjadikan lautan sebagai kanvas yang kemudian dilukis dengan berbagai jejak dan penjelajahan. 

Seperti halnya  bangsa maritim lainnya, mereka meyakini kebenaran petuah bangsa Bajo bahwa lautan adalah suatu wilayah luas yang bisa disinggahi siapa saja. Bahwa di atas lautan, semua manusia berbaur menjadi satu dan saling belajar bagaimana menaklukkan ombak demi menjaga keseimbangan perahu dan tidak tenggelam. 

Lautan bukan sekedar air yang tenang dan bergelombang, namun arena untuk mengasah kecakapan dan tradisi maritim. Mereka mengembangkan layar kebudayaan sebagai strategi menghadapi semesta yang membentang. Inilah cikal-bakal dari tradisi maritim sebagai khazanah kekayaan bangsa.

Saya juga ingat Christian Pelras yang menyebut bangsa-bangsa pelaut di Nusantara yakni Bajo, Makassar, Mandar, Buton, dan Using (Madura). 

Sayang, hari ini, tidak semua orang Buton masih memelihara tradisi maritim. Kalaupun ada yang tersisa, kita bisa melihatnya di kalangan masyarakat Cia-Cia dan Wakatobi yang lelakinya mengembangkan layar dan menjelajah hingga Maluku Papua, kemudian mengikuti angin ke wilayah barat. 

Mereka meramaikan tradisi bahari sebagai pelaut, nakhoda, pedagang, bahkan ada yang memilih jalan sebagai bajak laut. Mereka berumah di tanah rantau, tetap memelihara tradisi maritim yang menautkannya dengan nenek moyang di tanah Buton. 

Mereka menjadikan lautan sebagai kanvas untuk dilukis dengan berbagai sapuan warna.

Saya mengenang para bocah penyelam koin ini. Mereka calon pelaut besar yang kelak akan menghadapi ganasnya gelombang samudera. Mereka adalah bahari yang mempertahankan tradisi emas para pelaut bangsa ini yang memahatkan jejak petualangan hingga ke negeri yang jauh seperti Australia, ataupun Singapura hingga ke Madagaskar. 

Mereka adalah calon nakhoda dan pelaut besar yang kelak hidup meniti buih dari atas perahu, menjaga warisan kearifan tradisi sebagai bangsa pelaut, sekaligus menggedor kesadaran banyak orang tentang betapa kayanya lautan negeri ini

.

Foto: Rustam Awat


Misal Kita di Posisi MAHFUD MD

Mahfud MD bersama ibunya 

Di Pamekasan Madura, ibu berusia 99 tahun itu menerima telepon dari anaknya. Hari itu, di tahun 2019, Presiden Jokowi akan mengumumkan kabinetnya. Ibu bernama Sitti Khotijah itu ditemui para jurnalis yang bertanya apa ada firasat anaknya jadi menteri.

Dia mengaku anaknya, Mahfud MD, sering menelepon dirinya. Namun tak ada informasi politik. Anaknya tak pernah bahas politik, apalagi negara. Anaknya, minta didoakan agar selalu diberikan keselamatan dan kesehatan dalam keluarganya.

"Terakhir telepon dua hari kemarin dan bilang semoga semua keluarga di sini baik-baik semua dalam keadaan sehat dan beliau juga meminta doa ke saya semoga diberi keselamatan sekeluarga," kata Sitti Khotijah kepada Tribun, 21 Oktober 2019.

Mahfud MD adalah anaknya yang kelima. Setiap bulan, Mahfud akan selalu pulang ke rumah untuk menjenguk dirinya yang kini lanjut usia. Ketika pulang, Mahfud tidak bercerita apa pun terkait dirinya akan dipanggil menjadi menteri atau tidak. 

“Dia tidak pernah cerita apa-apa,” kata Khotijah. Di matanya, Mahfud adalah anak yang sangat berbakti. Mahfud tak pernah sekali pun menyakiti dirinya. Mahfud juga anak yang sangat akur dengan semua saudaranya.

Seorang ibu adalah sentrum dari pergerakan seorang anak. Ibu adalah semesta yang melahirkan, merawat hingga tumbuh dan membesar, serta menjadi pohon rindang yang selalu memberikan keteduhan bagi seorang anak.

Seorang ibu juga adalah matahari yang memberi cahaya terang ke mana pun seorang anak bergerak. Seorang ibu meletakkan semua bahagia dan sedihnya pada anaknya. Saat anaknya sedih, dia akan jauh lebih sedih, Saat anaknya gembira, dia akan jauh lebih gembira.

Kata Kahlil Gibran, ibu adalah kata tersejuk yang di lantunkan oleh bibir-bibir manusia. “Ibuku” merupakan sebutan terindah.  Kata yang semerbak penuh cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Masih kata Gibran, Ibu adalah segalanya.  Ibu adalah penegas kita di kala lara, impian kita dalam rengsa, rujukan kita di kala nista. Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa merestui dan memberkatinya.

Peradaban kita hari ini adalah peradaban penuh kasih sayang kepada ibu. Bahkan ketika sepuh, dia tetap menjadi payung bagi anaknya di kala terik dan hujan. Saking hebatnya kasih sayang itu, dia menolak dipayungi saat dirinya telah menua. Di hadapan anaknya dia akan selalu jadi pohon rindang, meskipun daun, ranting, cabang, dan dahannya mulai berguguran.

*** 

Selasa, 1 Desember 2020, ratusan orang mendatangi rumah Sitti Khotijah, Ibunda Mahfud MD, di Pamekasan, Madura.  Massa berdatangan setelah sebelumnya demonstrasi di kantor Polres. Mereka mendesak agar polisi tidak memanggil seorang imam untuk dimintai keterangan sebagai warga.

Di depan rumah Mahfud, yang kini ditempati ibu kandungnya, massa merangsek ke pintu rumah yang terkunci. Mereka teriak-teriak meminta penghuni rumah untuk keluar. Bahkan, ada sebagian massa yang mendorong pagar rumah tersebut. 

"Kalau sama-sama orang Madura, Mahfud tolong keluar. Jangan ngumpet dan temui kami," kata salah satu massa aksi.

Saya membayangkan bagaimana respon ibunda Mahfud yang kini berusia 100 tahun itu. Dia mungkin bertanya-tanya ada apa gerangan. Di usia yang sepuh itu, dia tidak paham politik. Dia hanya tahu anaknya tengah mengemban amanah untuk bangsa dan Negara.

Ibu itu akan panik. Usia 100 tahun adalah usia untuk menenangkan diri dan beribadah, serta menjauh dari duniawi, bukan usia yang tepat untuk menghadapi serbuan massa yang menyebut-nyebut nama Tuhan. Tapi Tuhan tidak diam. Tuhan tidak bersama mereka.

Politik memang menumpulkan nalar. Dalam politik, Anda bisa jadi pion yang digerakkan seseorang. Bahkan rumah yang dihuni seorang ibu yang berusia 100 tahun bisa jadi sasaran marah. Solidaritas pada seseorang, yang entah siapa, telah menggantikan solidaritas pada warga sekampung. 

Mahfud MD merespon dengan cara yang sangat sabar. Dia tetap tenang. Dia lebih dulu memastikan ibunya yang saat ini tengah berada di rumah Pamekasan dalam keadaan aman dan dijaga ketat. "Ibu aman," katanya.

Setelah itu dia mulai mencuit, "Saya selalu berusaha menghindar untuk menindak orang yang menyerang pribadi saya, karena khawatir egois dan sewenang-wenang, karena saya punya jabatan. Saya siap tegas untuk kasus lain yang tak merugikan saya. Kali ini mereka mengganggu ibu saya, bukan mengganggu Menko Polhukam," tegasnya.

Sebagai pejabat publik, tugasnya adalah menegakkan hukum dan menjaga keadaban. Dia lebih memilih cara-cara yang lebih elegan, demi menjaga kehormatan ibunya, sosok yang paling dihormati dan dijaganya.

Jika kita dalam posisi Mahfud, apa yang akan kita lakukan? Saya pasti akan marah semarah-marahnya. Saya akan siap bertempur dengan orang-orang yang berani-beraninya bersuara keras pada sosok yang selama ini menjadi matahari kehidupan. 

Saya akan memilih bertarung untuk membela kehormatannya. Bahkan ketika ibu melarang, saya akan tetap membelanya. Jika sepanjang hidupnya didedikasikan untuk menumbuhkan, merawat, dan menyiapkan jalan untuk saya, maka saya pun akan melakukan hal yang sama. Saya bukan Mahfud. Saya rakyat biasa. Butuh kesabaran luar biasa untuk memilih jalannya.

Bagi kita bangsa Indonesia, tantangan besar yang kita hadapi adalah munculnya pandangan diri sebagai yang paling benar. Kita hanya mendengar suara diri dan junjungan kita, tanpa mau menempatkan diri kita di posisi orang lain, tanpa jernih melihat dari banyak sisi. 

Kita sering merasa paling alim dan paling benar, lalu mengabaikan orang lain. Padahal, di mana pun sekolah dan siapa pun gurunya, tidak ada yang mengizinkan sekelompok manusia datang mengepung rumah seorang ibu atas kebijakan politik seorang anak di satu kota yang jauh. Kita gagal memisahkan mana yang harus disikapi dan tidak, dan bagaimana merespon sesuatu dengan cara beradab, yang menunjukkan ketinggian ilmu dan budi. 

Kita mengaku pengikut Muhammad, tapi kita lupa kalau Muhammad adalah orang yang memuliakan ibu, lebih dari apapun. Tapi itulah kita, yang selalu merasa benar. Bahkan kalimat "Surga ada di telapak kaki seorang ibu" bisa saja diganti menjadi "surga ada di junjungan pemimpin politik."

Iya kan?