Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Pria Asal Morowali di Balik Pencapresan Anies Baswedan

Tulisan ini dimuat di Apahabar.com, tanggal 27 Januari 2023

Ahmad Ali mendampingi Anies Baswedan

Biar pun Anies Baswedan punya ribuan relawan, biar pun Anies punya elektabilitas tinggi sebagaimana direkam sejumlah lembaga survei, dia tidak akan bisa masuk arena pemilihan presiden jika tidak didorong oleh partai politik.

Di Partai NasDem, partai yang mendeklarasikan nama Anies lebih awal, ada sosok Ahmad Ali yang selalu pasang badan. Ahmad Ali juga membangun komunikasi dengan partai koalisi dan menentukan wacana. Dia mendatangi sekretariat Gerindra dan PKB, yang membuat Partai Demokrat panas dingin.

Ahmad Ali membuat partai itu kian kikuk karena tidak punya ruang untuk mencalonkan AHY sebagai cawapres. Tidak heran jika nama mantan aktivis HMI ini disebut politisi Demokrat dengan nyinyir. Manuvernya membuat ketum AHY harus turun tangan untuk menjelaskan beberapa hal. Demokrat tak punya pilihan lain selain koalisi dengan NasDem. Istilah orang Makassar: “kandang paksa.”

Sejak deklarasi Relawan IndonesiAnies, pria asal Morowali itu selalu terlihat bersama Anies dalam kunjungan ke seluruh Indonesia. Dia sukses membangun opini, meramaikan diskursus politik. Dia meluruskan tudingan banyak orang terhadap Anies.

Dia percaya diri kalau partainya adalah pengendali wacana, bukan dikendalikan wacana. Dia adalah sosok yang mendesak partai agar segera mendeklarasikan Anies. Dia yakin kalau momentum harus diciptakan, harus dibentuk. Saat partai lain masih gamang, dia membawa NasDem bergerak lebih cepat.

Selama sekian dekade perpolitikan Indonesia hanya didominasi para politisi dari Jawa. Kini, politisi dari Morowali bisa membuat haru-biru politik Indonesia. Ahmad Ali menunjukkan pada kita bahwa politik itu bukan semata hitung-hitungan angka di atas kertas.

Politik adalah wacana yang terus diperdebatkan dalam medan pertarungan gagasan-gagasan. Politik adalah jalan keluar untuk menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan kebangsaan.

Kisah Ahmad Ali adalah kisah politisi yang bergerak dari tepian, kemudian masuk ke jantung partai politik, setelah itu nyaris terpental, kemudian bangkit kembali. Seorang kawan di DPR RI mengibaratkan Ahmad Ali serupa burung phoenix yang sudah jadi debu, kemudian berhasil bangkit kembali.

“Di awal 2022, dia nyaris terpental dari partai. Dia diturunkan dari posisi Ketua Fraksi NasDem di DPR RI,” kata seorang kawan di partai itu.

Ahmad kecewa karena penggantinya adalah Robert Rouw, yang sebelumnya menjadi anggota DPR dari Gerindra. Baginya, partai adalah arena kaderisasi. Seharusnya partai mendahulukan kader yang tumbuh dan mengakar bersama partai, bukan kader cabutan dari partai lain.

Saat itu, Ahmad Ali membawa surat pengunduran diri ke Surya Paloh. Respon Surya adalah merobek-robek surat pengunduran diri itu. Ahmad Ali masih dibutuhkan untuk beberapa peran strategis di partai.

Jauh di Morowali, Sulawesi Tengah, Ahmad Ali dilahirkan dari keluarga pengusaha. Seorang penulis di Kompasiana bercerita tentang sosok Ahmad Ali yang masih keturunan Tionghoa. Bapaknya, Haji Sun, adalah warga keturunan. Ketika dia berencana masuk panggung politik, bapaknya sempat berkata:

“Ingat, kamu anak keturunan. Lebih baik kamu jadi pengusaha saja. Tidak usah masuk politik,” kenangnya.

Tapi Ahmad tidak patah arang. Dia menemui ibunya Hajjah Sya’diah untuk meminta nasihat. Ibunya berkata: “Jadilah orang yang berguna bagi orang lain. Jika di politik kamu merasa bisa berguna untuk orang lain, lakukanlah.”

Ahmad tersentuh oleh kalimat ibunya. Kalimat ini lalu menjadi semacam kompas baginya untuk mengarungi dunia politik. Dia ingin bisa memberi manfaat bagi banyak orang melalui dunia politik.

Sebelum masuk ke dunia politik, dia sudah menempa dirinya di berbagai organisasi. Dia cukup lama berkecimpung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palu. Di organisasi ini, dia membangun jejaring dengan banyak orang. Daya nalar dan intelektualitasnya pun terasah di organisasi ini.

Ahmad bukan tipe politisi yang langsung melompat ke puncak. Karier politiknya dimulai dari bawah. Tahun 2009, saat dirinya terpilih sebagai anggota DPRD Morowali dari Partai Patriot Pancasila. Selama di DPRD Morowali, dia tercatat tidak pernah mengambil gajinya karena langsung disumbangkan untuk pembangunan rumah ibadah, honor imam masjid, dan para marbot atau penjaga masjid.

Dia hanya bertahan dua tahun di DPRD, kemudian memilih mundur sebab merasa tidak bisa berbuat banyak. Kursi partainya hanya dua, sehingga tidak berdaya dalam pengambilan keputusan di dewan. Selain itu, ia juga melihat banyak praktik politik yang tidak sesuai dengan idealismenya.

“Di dewan itu, hitam dan putih bisa diatur. Semuanya tergantung kesepakatan. Banyak hak rakyat dikorbankan karena semua orang berpikir untuk kepentingan pribadinya,” katanya dalam satu kesempatan.

Uniknya, ketika mundur, pimpinan dewan tidak serta-merta memproses pengunduran diri itu atas desakan masyarakat. Ada sejumlah orang yang meminta dirinya tidak dimundurkan dulu karena masih mengharapkan gajinya untuk pembangunan masjid.

Tahun 2013, dia bergabung ke Partai Nasdem dan mendapat amanah sebagai Ketua DPW Nasdem Sulteng. Perjuangannya dimulai di sini. Dia lalu mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI tahun 2014 dan sukses masuk parlemen.

Dia melenggang ke DPR RI setelah menangguk suara sebanyak 119.000. Padahal, perolehan suara Nasdem Sulteng hanya sekitar 50.000 suara.

Kariernya terus meroket hingga akhirnya diangkat menjadi Bendahara Umum Partai Nasdem. Saat Ketua Fraksi Nasdem Johnny G Plate mundur dari posisinya karena ditarik menjadi juru bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin, Ahmad lalu diberi amanah lain yakni sebagai ketua fraksi.

Setelah itu, dia menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai NasDem, satu tingkat di bawah Surya Paloh sebagai ketua umum.

Sejak mendampingi Anies ke manapun, banyak orang memprediksi jalannya tidak akan mulus. Ada sinyalemen kalau dirinya bakal dibidik oleh penegak hukum. Posisinya sebagai politisi sekaligus pengusaha tambang bisa membuat dirinya seperti sasaran empuk.

“Dia tahu kalau dia bisa dibidik kapan pun. Dia sudah siap untuk itu,” kata seorang kawan yang dekat dengannya.

Jalan politik kita memang tidak mulus. Jalan itu penuh dengan gripis dan kerikil. Selama dua periode Jokowi maju sebagai presiden, Ahmad Ali setia mengawalnya. Kini, saat dirinya hendak menyodorkan calon lain, berbagai tudingan menimpanya.

Padahal, semua yang dilakukannya masih tetap dalam bingkai yang sama, yakni melihat Indonesia lebih baik. Pilpres adalah arena untuk menyodorkan gagasan-gagasan, bukan untuk menang-menangan.

Entah pilihannya benar atau salah, biar sejarah yang kelak akan menyodorkan catatan. Kita semua akan menjadi penyaksi yang tak sabar untuk membacanya.



Di Mekah, Erick Thohir Melihat Kostum Inter Milan

Tulisan ini dimuat di Apahabar.com, pada Senin, 16 Januari 2023

Eric Thohir dan Roberto Mancini


Diiringi sejumlah influencer kondang, Erick Thohir mendaftar untuk bursa calon Ketua Umum PSSI. Dia menjadi tumpuan untuk mengembalikan marwah sepakbola tanah air. Dia seakan menjadi jawaban dari ribuan harapan para suporter yang setia mendatangi stadion.

Di ranah olah raga, nama Menteri BUMN ini sangat kondang. Dia anak bangsa pertama dan terakhir yang memimpin klub Inter Milan di kasta tertinggi Liga Italia. Dia pun dikenal sebagai orang yang gandrung olah raga sejak usia belia.

Namun tahukah Anda kalau keputusan untuk membeli klub raksasa Liga Italia itu muncul saat umroh di Mekah, saat dirinya melihat sosok jamaah berkaos Inter Milan, yang di punggungnya terdapat tulisan Wesley Sneijder?

Dalam buku berjudul (Bukan) Kisah Sukses Erick Thohir yang ditulis Abdullah Sammy, Erick Thohir bercerita banyak tentang Inter Milan. Sejak masih kecil, dia sudah menyenangi klub yang identik dengan warna biru hitam itu.

“Saya mengidolakan Inter sejak kecil. Saat itu, ada trio Jerman yakni Lothar Matthaus, Andreas Brehme, dan Jurgen Klinsman,” katanya.

Mulanya, dia tak memiliki bayangan akan mengambil alih saham klub idolanya itu. Suatu hari, dia berkunjung ke Amerika Serikat. Ada satu private equity yang penasaran dengan Erick yang saat itu berinvestasi di klub MLS dan DC.

Rupanya dia ditawari untuk mengambil alih saham satu klub bola. Identitas klubnya masih dirahasiakan. Saat dia setuju, barulah diberi tahu kalau klub itu adalah Inter Milan yang diidolakannya sejak kecil. Dia terkejut.

Ada sejumlah keraguan di hatinya. Dia tak pernah khawatir soal dana, sebab punya banyak relasi bisnis dan rekanan yang siap membantu. Dia membayangkan betapa kerasanya persaingan klub bola di Italia. Apalagi, kakaknya Boy Thohir meragukan keputusannya.

Erick tetap maju. Dia punya prinsip, ketakutan dan pikiran negatif yang menghambat seseorang untuk maju.

“Saat kita terlalu negatif dalam berpikir, energi dan fokus akan terbuang percuma Berbisnis itu sudah sulit dan akan jauh lebih sulit jika kita hanya capai memikirkannya, ketimbang melaksanakannya,” katanya.

Baginya, kalkulasi bisnis tak selalu tepat. Kadang apa yang direncanakan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Namun yang jadi soal, bukanlah kalulkasi yang salah, tapi bagaimana menyikapi semua tantangan.

“Masalahnya bukan pada benar dan salah, tapi bagaimana cara kita untuk agile, beradaptasi pada setiap perubahan,” katanya.

Dalam proses mengambil alih Inter Milan, dia mendapat pengalaman spiritual yang unik. Saat itu, dia terbang ke Madinah untuk umrah dan ziarah. Saat salat di Masjid Kubro, dia mendapati seorang jemaah memakai baju kebesaran Inter Milan bernomor punggung 10 dengan nama Wesley Sneijder.

“Saat itu saya kaget mengingat tidak biasa orang salat subuh pakai baju olahraga. Kebetulan bajunya adalah Inter Milan, klub yang saat itu ada dalam pikiran saya apakah akan ambil risiko investasi di situ, katanya.

Dia melihatnya sebagai pertanda. Baginya, tak ada sesuatu yang kebetulan. Kepada rekan yang menemaninya, dia berkata ini bisa jadi petunjuk, bisa jadi godaan.

Siangnya, dia kembali terkejut saat kembali di masjid dan menemui penampakan yang sama. Dia bertemu pria yang kembali berbaju Inter Milan. “Saya semakin percaya bahwa itulah salah satu petunjuk. Jadi, bismillah,” katanya.

Mulailah Erick mengambil-alih Inter Milan. Tantangan yang dihadapinya tidaklah mudah. Maklum, sepak bola Italia dikuasai banyak keluarga konglomerat berpengaruh. Mulai Berlusconi hingga Agnelli.

Saat itu, musim 2012-2013, kondisi Inter Milan tidak sedang fit. Klub itu finish di urutan sembilan. Performa klub sedang jatuh-jatuhnya. Saham klub juga terus menurun, dari 215 juta dollar AS menjadi 151 juta dollar AS.

Langkah pertama yang dilakukannya adalah mengajak pemain legendaris Inter Milan, yakni Zavier Zanetti untuk bergabung. Pria asal Argentina itu diangkat sebagai wakilnya. Dia juga mengajak mantan petinggi Manchester United, Michael Bollingbroke untuk bergabung.

Dia juga membeli pemain bintang. Di antaranya adalah Lautaro Martinez, Stefan de Vrij, Milan Skiniar, Alessandro Bastoni, dan Marcelo Brozovic.

Erick juga sering hadir di Stadion Guiseppe Meazza. Dia tak segan turun ke lapangan untuk menegur jajaran pelatih dan tim. Sahabat Erick, Muhammad Lutfi bersaksi, Erick pernah menegur langsung pelatih Roberto Mancini di lapangan. Saat itu, Mancini sudah menjadi pelatih besar.

“Saya akan selalu fair pada anggota saya. Tidak peduli latar belakangnya,” kata Erick.

Kinerjanya terus membuahkan hasil. Nilai ekonomis Inter Milan terus melonjak. Dari 151 juta dollar AS terus meroket hingga 475 juta dollar AS. Data Deloitte mencatat pertumbuhan bisnis Inter Milan yang pesat di masa Erick.

Hingga akhirnya di musim 2018/2019, Erick menyerahkan estafet klub yang kian stabil kepada Steven Zhang. Saat itu, dia baru saja mengemban amanah negara untuk mensuskseskan Asian Games di Jakarta.

Namun Inter Milan sudah jauh lebih baik dan stabil. Berkat pemasukan bisnis di era Erck, Zhang mendatangkan pelatih Antonio Conte, serta pemain kaliber, yakni Romelo Lukaku, Niccolo Barella, dan Achraf Hakimi. Tahun 2021, Inter Milan meraih scudetto.

Banyak kalangan yang menilai, keberhasilan itu adalah buah dari perjalanan panjang yang landasannya telah dibangun di era Erick Thohir. Keberhasilan klub adalah hasil dari kerja kolektif yang dilakukan banyak orang, termasuk adanya landasan kuat di era sebelumnya.

***

KINI, Erick Thohir menyatakan siap untuk menakhodai PSSI. Jika berhasil, tantangan yang dihadapinya kian berat. Di Italia, sepak bola telah lama menemukan keteraturannya. Ada banyak skandal yang melibatkan mafia, juga kartel, namun secara umum, publik Negeri Pizza itu tetap menjaga marwah sepak bola sebagai identitas bersama.

Dia belum tentu sukses di sini, di tanah yang sepak bolanya tanpa prestasi, namun bisa menyebabkan tewasnya pendukung hingga ratusan orang. Dia belum tentu bisa mengelola wasit, penonton, pengurus federasi, pemain, hingga pejabat publik yang terus mencari popularitas di sepak bola.

Di negeri ini, sepak bola ibarat rumah bermain yang dipenuh banyak mafia. Semua pihak hendak mengendalikan sepak bola demi berbagai kepentingan, entah itu politik ataupun kekuasaan.

Erick pun bisa terjebak dengan kepentingan jangka pendek, tanpa benar-benar menjadikan sepak bola sebagai etalase prestasi anak bangsa. Dia bisa saja menjadikan bola hanya sebagai batu loncatan untuk melesat.

Di luar kekhawatiran itu, niat baiknya untuk memimpin PSSI mesti didukung semua anak bangsa. Dengan pengalamannya di kancah sepak bola internasional, dia bisa menjadi lahan gembur bagi tumbuhnya kelopak bunga prestasi anak bangsa, yang memekar dan semerbak di panggung antar bangsa.

Dia bisa menjadikan sepak bola sebagai jalan terang untuk menampilkan sisi terbaik anak bangsa, yang selama sekian tahun kering kerontang tanpa tetes-tetes prestasi. Dia bisa membuat sejarah baru dan menunjukkan pada dunia tentang bangsa kita yang tangguh di laut, jaya di darat, serta penuh talenta di lapangan hijau.