Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Yang Tua Berdamai, Yang Muda Saling Tebas

 


Dua organisasi kedaerahan di Makassar saling bertempur. Mereka serupa dua klan dalam Game of Throne yang punya dendam dan ingin saling menghabisi. Mereka saling serbu, lalu ada bagian tubuh yang ditebas.

Mereka serupa pasukan pembela kebenaran yang menyerbu satu asrama mahasiswa, yang kemudian dibalas dengan penyerangan serupa.

Banyak pihak mulai bersuara. Generasi tua yang tidak mengenal anak muda itu langsung bertemu dan menyatakan damai. Aneh. Lain yang berkelahi, lain pula yang mengikat salam perdamaian. Kenapa bukan anak muda itu?

“Anak-anak itu tak pantas mengklaim sebagai representasi etnik. Mereka hanya kumpulan orang,” kata seorang kawan di media sosial.

BACA: Lelaki Bugis yang Menikah dengan Badik


Di era ini, anak muda hanya peduli pada kelompoknya. Saat seorang temannya ditebas, solidaritas bersama hadir. Di sisi lain, kita semua malas mencari di mana akar masalahnya. 

Setiap kali ada kekerasan, kita tak paham asal-muasal dan akar masalah. Kita memilih jalan pintas. Yang tak bertikai malah berdamai. Sementara anak muda tetap memelihara dendam yang berkarat-karat. Ibarat api dalam sekam.

Di masa mendatang, api dalam sekam itu suatu saat bisa membesar, kemudian peristiwa serupa terulang kembali, tanpa ada ikhtiar serius untuk menyelesaikannya.

Peristiwa kekerasan bukanlah hal baru. Di sekujur peradaban sejarah tanah Celebes, tradisi kependekaran telah lama berurat akar. Di masa lalu, tradisi kependekaran punya kanalisasi. Sering ada chaos yang bersimbah darah, tapi sering pula menemukan solusi damai.

Sering, nenek moyang memilih bermigrasi ke lokasi lain, ketimbang menyabung nyawa dan memburai usus dengan badik. Mereka memilih berkelana ke tanah Borneo, menelusuri jalur laut menuju Singapura, dan Malaysia. Mereka menjadi raja-raja dan penguasa di tanah baru.

Di kampus-kampus Makassar, kekerasan pernah menjadi nyanyian yang mengiringi dinamika mahasiswa. Tawuran pernah menjadi bab penting dalam berbagai literatur dinamika mahasiswa hingga tahun 2000-an.

Di kampus Unhas, pernah ada masa di mana tawuran serupa mata kuliah. Polanya, mahasiswa saling lempar, setelah itu tertawa-tawa saat bertemu di pete-pete kampus, atau asrama mahasiswa. Tawuran menjadi kanalisasi untuk melepas penat dan resah.

Namun, peristiwa terbaru ini tak bisa dibilang sama dengan dulu. Peristiwa kekerasan itu terjadi saat mahasiswa negeri lain tenggelam dalam Metaverse dan sibuk meriset tentang kecerdasan buatan. Banyak pula yang tenggelam dalam postingan tik tok, lalu bikin konten joged-joged.

Jika kalangan terdidik sudah bertindak serupa preman pasar, maka itu adalah alarm dari sesuatu yang tidak beres di sekitar kita.

Hal paling terang di situ adalah adanya ketidakpercayaan pada otoritas. Di negara-negara modern, tindakan melanggar hukum selalu menjadi domain aparat. Saat rumah diserbu, maka aparat hukum akan bersiaga dan mengantisipasi apapun yang terjadi.

Anak-anak muda itu tidak percaya aparat. Mereka memilih untuk menyerbu dengan badik terhunus, serta parang untuk menebas. Mereka memilih tradisi heroik, tanpa memikirkan apa dampak tindakan itu bagi mereka, termasuk bagi pihak yang ditebas.

Anak muda itu juga dibesarkan dengan kisah keberanian. Ada rasa kagum saat kisah tentang para pendekar dan jagoan dikisahkan. Kita tak merasakan kebanggaan yang sama saat tradisi cendekia dan intelektualitas dibentangkan.

Kekerasan terus menjadi ritus yang berulang. Hari ini, dua kubu bisa dibilang impas sebab sama-sama anggotanya ditebas. Besok-besok, duel serupa akan kembali terjadi. Arenanya bisa kembali bersimbah darah.

Namun tak adil jika hanya menyalahkan anak-anak muda itu. Mereka mengikuti emosi kolektif dari sejumlah orang yang menyebut-nyebut nilai kepahlawanan.

BACA: Syair Lelaki Bugis di Pulau Penyengat


Di era 4.0, saat mahasiswa kian bergabung dalam percakapan global, organisasi kedaerahan di Makassar malah tumbuh subur.

Saya menduga kuat ada pengaruh dari sistem politik di situ. Sebelum era desentralisasi, organisasi berbasis daerah nyaris sekarat. Mahasiswa lebih suka ke senat di kampus, ang jelas-jelas punya anggaran. Banyak pula yang masuk organisasi ekstra kampus. 

Banyak organisasi daerah yang nyaris bubar. Saat sistem politik mengalami desentralisasi, semua organisasi daerah hidup lagi dan mendapat darah segar.

Politik lokal melahirkan para penguasa baru, pemain baru, dan juga para petualang politik yang menjadikan adik-adik itu sebagai basis massa. Asrama mahasiswa daerah terus berdiri. Banyak orang rela menjadi kakak yang siap membiayai adik-adik itu demi menjaga basis massa.

Di titik ini, ada aksi ada reaksi. Ada perintah, ada kompensasi. Ada arahan, ada juga bayaran. Ada yang berdamai, ada yang tetap memelihara dendam.

Bagaimana saat ada yang berkelahi? “Ah, itu kesalahan oknum. Bukan kesalahan kelompok,” kata seorang “kakak” dengan santainya di satu kafe.

Jauh di Makassar sana, kita melihat ada getir dan juga pilu pada keluarga yang anaknya ditebas.



Hellbound

 


Sejak serial Winter Sonata, drama Korea perlahan menyebar ke seluruh dunia. Dulu, temanya identik dengan cinta-cintaan, dua hati yang terpisah, hingga cinta bersemi saat kanker darah menyerang.

Kini kisahnya lebih kompleks. Lihat saja Squid Games yang kisahnya bermuara pada konflik kelas antara kaum kaya dan kaum miskin, dalam satu skema permainan mematikan.

Terbaru, lihatlah Hellbound. Serial ini tayang di Netflix sejak Jumat kemarin. Kisahnya coba bermain di wilayah antara nalar dan supranatural, antara surga dan neraka, batas antara iman dan rasio, hingga bagaimana konsepsi dosa dan pendosa.

Ceritanya, ada orang yang dihampiri satu sosok serupa bayangan. Sosok ini dianggap malaikat. Sosok itu memberitahukan kapan orang itu akan meninggal, serta akan masuk ke neraka.

Pada hari H, datang tiga sosok monster berwarna hitam, serupa Hulk berwarna hitam, yang lalu menyerang, membanting-banting, hingga membakar manusia itu. Setelah itu, tiga monster akan menghilang.

Semua aksi monster itu bisa dilihat semua orang. Aksi itu direkam dengan kamera ponsel sehiingga videonya menyebar di media sosial. Publik resah menyaksikan hukuman dari Neraka yang hadir di bumi.

Dalam situasi di mana semua orang tidak punya jawaban megenai apa yang terjadi, muncul sosok yang mengaku telah memperingatkan semua orang sejak lama. Dia mengklaim tahu persis suara Tuhan dan mengapa hukuman itu dijatuhkan ke manusia.

Dia punya konsep tentang dosa, serta konsekuensinya, yakni neraka. Dia membuat daftar siapa saja yang dihakimi monster itu, lalu apa saja dosa yang telah dilakukannya.

Mereka yang pernah membaca uraian sosiolog Emile Durkheim, pasti tidak akan terkejut menyaksikan serial ini. Kata Durkheim, agama tumbuh dari tengah-tengah masyarakat. Sebab fakta sosial selalu lebih kuat dari fakta individu.

Dalam kisah Hellbound, sejumlah orang membentuk keyakinan baru yang disebut The New Truth. Mereka membentuk satu institusi keagamaan, yang mengelola semua ketakutan manusia menjadi iman dan keyakinan. Mereka membuat ritus dan pemujaan. Bahkan mereka membentuk jamaah.

Seiring waktu, muncul kelompok garis keras yang hendak mengambil alih peran monster dari neraka. Kelompok yang menamakan dirinya Arrowhead ini ingin menegakkan sesuatu yang diklaim sebagai perintah Tuhan. Saat ada orang yang dianggapnya menyimpang, mereka akan menghakimi.

Namun, apa yang dianggap sebagai perintah Tuhan itu selalu merupakan interpretasi dan penafsiran. Bagian akhir dari Hellbound menampilkan kejutan. Perintah langit itu bisa berbeda. Manusia hanya berusaha memahami perintah langit, dan belum tentu pemahaman itu benar. Manusia hanya bisa mengira-ngira, hanya bisa menghampiri. Pemahaman bisa sangat terbatas.

Saya melihat Hellbound berusaha memotret, lalu mengolok-olok perilaku kita sebagai umat beragama. Drama ini sukses menampilkan fenomena masyarakat modern yang mengalami krisis nilai sehingga mencari jawaban atas berbagai hal, yang tidak selalu bisa ketemu.

Saya pikir, drama ini hendak mengkritik histeria orang beragama yang selalu merasa tahu persis apa pesan langit. Iman yang sejatinya merupakan pengalaman individual berubah menjadi pengalaman kolektif.

Di era informasi, masyarakat terjebak dalam bias konfirmasi dan mengira realitas hanya seperti apa yang dibayangkan. Padahal realitas itu justru sangat kompleks. Daripada  berusaha memastikan orang lain masuk neraka, lebih baik menyiapkan diri kita untuk terhindar dari neraka.

Sutradara Yeon Sang-ho, yang pernah membuat Train to Busan, berharap serial ini tidak hanya dikonsumsi, tapi bisa memberi makanan bagi pikiran. Dia ingin serial tidak sekadar ditonton, tapi bisa didiskusikan lebih jauh. Sebab fenomena itu ada di sekitar kita.

Yang saya lihat, serial Korea semakin cerdas. Menonton Squid Games serasa membaca buku mengenai ironi kapitalisme. Sedangkan Hellbound, kita seakan menyaksikan genesis munculnya agama, dan perilaku umat beragama yang merasa telah menemukan kebenaran.

Untunglah pembuat Hellbound ada di Korea. Serial ini pun tak spesifik membahas agama tertentu. Jika saja di Indonesia, barangkali pembuatnya tak bisa tidur nyenyak. Banyak hal bisa terjadi.


Karma Investing

 


Raffi Ahmad sedang cuan. Saham RANS Entertainment dibeli oleh Elang Mahkota Teknologi (EMTK). RANS Entertainment akan kerja sama dengan unit bisnis di Emtek yakni PT Surya Citra Media Tbk (SCMA), pemilik stasiun televisi SCTV, Jumat 12 November 2021 kemarin.

Raffi akan menerima uang sebesar 248 miliar rupiah untuk 17 persen saham. Dia tetap pemegang saham mayoritas. Dia semakin tajir melintir.

Saya ingat dua bulan lalu bertemu Raffi. Dia bercerita tentang ekspansi bisnis. Setelah beli klub bola, dia beli klub basket. Bisnisnya mulai merambah ke mana-mana.

Namun berita pembelian saham RANS oleh Emtek itu cukup mengejutkan saya. Betapa tidak, SCTV adalah stasiun tivi yang cukup besar. Kok mau-maunya membeli saham bisnis yang produknya masih berupa vlogger dan Youtuber?

Seorang kawan bercerita, di dunia investasi, ada yang disebut Karma Investing. Kita tahu perusahaan besar seperti Google, Apple, Amazon, Alibaba, Tencent, Facebook, hingga Microsoft dahulu adalah perusahaan kecil yang mengalahkan raksasa.

Mereka melakukan disrupsi teknologi lalu mengalahkan pemain lama. Facebook mengalahkan Friendster. Google mengalahkan Yahoo. Apple mengguncang IBM.

Rupanya, perusahaan besar selalu khawatir kelak akan ada seorang jenius di perusahaan kecil yang suatu saat akan mengalahkan mereka. Mereka takut akan karma berupa tumbangnya mereka oleh perusahaan kecil yang terus berkembang.

Makanya, saat melihat ada perusahaan kecil yang sedang tumbuh, mereka akan buruan untuk membeli sahamnya. Bahkan harga mahal sekalipun. Sebelum tumbuh dan besar, maka sahamnya harus dikuasai. Biar tidak jadi ancaman.

Saya ingat Disney, yang dipimpin Edwin Catmull, pernah mengakuisisi Pixar, yang saat itu dipimpin Steve Jobs, sebesar 7,4 miliar dollar pada tahun 2016. Catmull diprotes pemegang saham Disney karena valuasi Pixar terlalu mahal pada masa itu. Padahal Pixar masih kecil, sedang Disney sudah lama jadi raksasa.

Jawabannya sangat mengena: “Permasalahannya, bukan seberapa mahal harga yang harus dibayarkan sekarang, tetapi berapa harga yang harus kita bayar nanti, jika Pixar sudah menggusur Disney.”

Prediksinya benar. Pixar unggul dengan teknologi animasi 3D, pada saat Disney masih mengandalkan kartun 2D. Kini, semua film animasi memakai teknologi 3D. Andai saat itu Disney tidak membeli Pixar, saat ini perusahaan itu akan serupa Yahoo yang tinggal nama.

Mungkin saja logika Karma Investing ini sedang melanda Emtek hingga membeli saham RANS. Kita sama tahu, pola menonton televisi generasi sekarang beda dengan dulu. Anak-anak kita mulai berpaling ke Yutub. Mereka tidak lagi menanti siaran di televisi.

Mereka punya jadwal nonton yang fleksibel di Youtube dan berbagai platform streaming.

Generasi milenial mengubah pola bisnis. Pihak televisi pun mau tak mau harus berbenah. Harus mengubah model bisnis. Kata kawan, bisnis televisi sedang masuk masa senjakala. Perlahan kue iklannya digerogoti para influencer dan Yutuber.

Biaya mahal di industri ini dikalahkan oleh bisnis gratisan di Yutub. Cukup modal segelas kopi, Yutuber bisa buat konten yang punya potensi lebih populer dari tayangan televisi.

“Udah kaya, dapat karma pula. Beda tipis dengan saya,” kata seorang kawan jomblo. Dia juga mendapat karma. Pacarnya direbut orang lain. Dulu, dia sering merebut pacar orang.

Saya senyum-senyum mendengar ceritanya.


Sungai THE BEATLES yang Tak Pernah Berhenti Mengalir

 


Liverpool tidak hanya punya legenda bernama Mo Salah. Liverpool ibarat rahim yang pernah melahirkan jenius besar di dunia musik yakni The Beatles. Popularitasnya bertahan selama beberapa dekade, menghadirkan revolusi dalam musik, juga menjadi penanda British Invasion ke seluruh dunia.

Di Disney Hosttar, dokumenter terbaru tentang The Beatles tayang sejak 25 November 2021. Judulnya adalah Get Back. Semua fans grup musik ini di seluruh dunia menyambut film dokumenter karya Peter Jackson ini dengan gemuruh.

Selama dua hari, saya menyaksikan serial dokumenter yang terdiri atas tiga episode ini. Peter Jackson mengolah berbagai rekaman video The Beatles yang tersembunyi dari publik selama lebih 50 tahun.

Memang, di masa kini, ada banyak nama musisi hebat, mulai dari BTS, Adele, Lady Gaga hingga Ed Shreean.  Tapi generasi 1960-an hingga 1980-an lebih diberkati. Generasi ini merasakan hingar-bingar musik berkualitas dari para dewa-dewa yang selalu abadi.

The Beatles berada di singgasana para dewa musik sejak tahun 1960-an. Grup ini hanya bisa disaingi, namun tak pernah digantikan. Anak muda Liverpool menjadi penanda invasi budaya pop hingga seluruh dunia, masa di mana kapitalisme merambah musik sehingga selera pun ikut dipengaruhi.

BACA: Musisi Jenius yang Menyayangi Kucing


Film dokumenter ini kembali menghangatkan semua nostalgia dan ingatan tentang grup musik ini. Film ini mengajak penonton untuk flashback ke sesi rekaman The Beatles pada Januari 1969, yang menjadi momen penting dalam sejarah musik. Mereka menjalani latihan demi latihan serta menulis 14 lagu baru sebagai persiapan konser live pertamanya dalam lebih dari dua tahun.

Dokumenter ini menjernihkan berbagai isu atas band legendaris ini. Konon, mereka pisah karena Yoko Ono sering merecoki latihan band ini. Konon, ada ego besar di antara mereka sehingga sulit berdamai. Bahkan banyak yang berspekulasi mengenai keretakan antara Paul McCartney dan George Harrison.

Kita bisa melihat panggung belakang The Beatles di mana mereka berkolaborasi untuk tampil di satu hajatan besar. Di sini, mereka bukan lagi empat anak muda berponi dari Liverpool yang menginvasi musik dunia.

Mereka adalah empat pria dewasa yang sudah punya pasangan masing-masing, dan berkumpul kembali untuk latihan musik demi tampil di hadapan publik. Mereka tampil apa adanya, bukan untuk show, tetapi sisi mereka yang paling orisinil.

Sisi inilah yang membuat dokumenter ini terasa istimewa. Kita melihat bagaimana karakter mereka di belakang panggung, yang fokus bekerja, memainkan lagu-lagu lama yang tidak pernah tampil ke publik, juga sesekali saling bercanda.

Mereka menjadi manusia biasa, yang berkumpul untuk satu tujuan bersama. Mereka adalah empat jenius yang coba untuk meredam ego demi penampilan terbaik. Meskipun sejumlah pihak menyebut keretakan di antara mereka mulai menjalar,  mereka tetap tampil profesional.

Saya kagum dengan militansi mereka dalam bekerja. Mereka tak terlihat lelah dan non-stop terus latihan. Sebagai penonton, kita seakan dimanjakan saat emndengar beberapa lagu yang terasa akrab di telinga.

Saat melihat mereka bekerja, saya teringat catatan Malcolm Gladwell dalam buku Outliers. Katanya, tak ada sukses yang jatuh dari langit. Semua kesuksesan muncul dari kerja keras dan militansi untuk selalu menghasilkan yang terbaik.

Dia mencontohkan The Beatles. Ada masa di mana The Beatles melakukan perjalanan ke Hamburg antara tahun 1960 dan akhir tahun 1962. Di masa itu, bar-bar di Hamburg, Jerman, kerap membawa musisi dari Liverpool. Mereka tampil di bar-bar yang menyajikan tarian erotis.

Pemilik bar punya konsep untuk membawa pemusik, yang bermain non-stop, berjam-jam lamanya, untuk mencegat orang yang keluar masuk. The Beatles bermain selama delapan jam sehari, tanpa dibayar. Mereka melakukannya selama tujuh hari dalam seminggu. Selama hampir dua tahun, mereka tampil seperti itu.

Gladwell memperkirakan, The Beatles telah naik panggung sebanyak 1.200 kali sebelum menggapai ketenaran. Mereka ditempa di hadapan pengunjung bar, belajar dari tatapan cuek orang-orang, belajar meracik berbagai jenis aliran musik, hingga menemukan sisi terbaik mereka di dunia hiburan.

Sepulang dari Hamburg, mereka lebih disiplin dan lebih fokus dalam bermusik. Mereka bekerja keras saat latihan dan berpengalaman tampil hingga ribuan kali. Pada saat mereka mencapai kesuksesan pada tahun 1964, mereka telah tampil live sekitar 1.200 kali, sesuatu yang jarang digapai banyak grup musik hari ini.

Bagi Gladwell, The Beatles adalah contoh dari kesuksesan yang lahir dari kerja keras dan semangat tak kenal menyerah.

Sedikit berbeda dengan Gladwell, saya melihat kesuksesan The Beatles adalah kombinasi dari kejeniusan, serta ekosistem yang mendukung. Jika saja Paul dan John tak sering bersama latihan musik saat pulang sekolah, tak bakal lahir grup revolusioner itu. Jika saja, tak ada ekosistem musik dan atmosfer yang mendukung, John Lennon hanya berakhir sebagai buruh di pelabuhan kota Liverpool.

Kita tak bisa mengabaikan sisi paling jenius dan paling kreatif dari band ini. Semua personelnya punya sisi terbaik yang berhasil dikeluarkan melalui kerja-kerja kolektif dan latihan bersama.

Berkat film dokumenter Get Back, kita mengenang kembali grup musik luar biasa, yang memulai sejarah dari kota kecil Liverpool ini. Kita mendapat pelajaran penting, mereka adalah manusia biasa yang memulai semuanya dari berpijak di bumi.

Inspirasi dan kreativitasnya seakan berasal dari langit. Namun, mereka adalah sosok yang kakinya memijak di bumi. Sebagai manusia biasa, mereka mudah marah saat disakiti, mudah tertawa saat melihat tayangan media yang membahas mereka, juga sesekali memegang ego dan tak mau kompromi.

Sebagai dokumenter yang merekam aktivitas secara diam-diam, serial ini tak bisa dipaksa untuk memberikan jawaban atas banyak hal. Saya penasaran dengan proses kreatif lahirnya banyak lagu abadi dari grup musik ini.  Saya ingin tahu mengapa John Lennon begitu realis, Paul optimis, dan George yang spiritualis.

Namun, tak mungkin menjawab pertanyaan hanya dalam tiga episode dokumenter. Saya yakin nama band ini akan abadi dalam sejarah. Dia masih akan dikenang hingga ratusan tahun mendatang.

Ibarat sungai, The Beatles adalah sungai tak pernah berhenti mengalir. Bukan saja dalam hal inspirasi, tapi juga dalam barisan renungan dan kesan seusai mendengar liriknya yang kuat.

Seusai menyaksikan documenter ini, saya menonton konser legendaris The Beatles saat tampil di atap Gedung. Di situ, ada lagu Don’t Let Me Down yang dinyanyikan John Lennon dengan suara melengking. Saya suka syairnya:


I'm in love for the first time

Don't you know it's gonna last

It's a love that lasts forever

It's a love that had no past

Don't let me down

Don't let me down


Facebook Metaverse

 


“Imagination is more important than knowledge.”

Kalimat ini datang dari fisikawan besar Albert Einstein. Imajinasi dipupuk dengan mitos, dongeng, fiksi, juga sastra. Imajinasi lahir dari dongeng-dongeng pengantar tidur, dari kisah-kisah petualangan, juga dari jawaban mitos atas fenomena alam.

Sebagian orang menganggap imajinasi hanya menghabiskan waktu. Tapi lihatlah sejarah peradaban. Imajinasi selalu mendahului penciptaan sains. Sebelum manusia membuat pesawat, pernah ada orang yang mengkhayal tentang benda terbang yang dikemudikan manusia.

Tak semua orang mengenal siapa Jules Verne. Tapi banyak penemu dan ilmuwan yang mengidolakannya setinggi langit. Tahun 1800-an, dia sudah membuat berbagai novel dan fiksi sains yang menjadi kompas bagi ilmuwan.

Dia sudah berimajinasi tentang kapal selam listrik, luar module untuk menuju bulan, hingga pesawat ruang angkasa. Siapa sangka, semua imajinasinya perlahan diwujudkan oleh sains. Tak ada Jules Verne, tak ada banyak penemuan.

Beberapa hari lalu, Mark Zuckerberg mengumumkan tentang perubahan nama Facebook menjadi Metaverse. Zukckerberg bercerita tentang realitas virual, augmented reality yang akan dibangun oleh banyak ilmuwan hingga tahun 2025.

Mark membayangkan, akan ada satu dunia di mana semua orang berinteraksi di situ. Cukup memakai perangkat teknologi virtual reality, kita masuk ke dunia itu. Kita bisa memilih hendak memakai avatar apa, lalu bisa berinteraksi dengan avatar orang lain. Kita bisa jalan-jalan, memasuki gedung, atau malah mendaki ke Everest dengan avatar kita.

Dalam tuturan Mark Zuckerberg: “Di masa depan, Anda akan dapat berteleportasi secara instan sebagai hologram untuk berada di kantor tanpa bepergian, di konser dengan teman, atau di ruang tamu orang tua Anda untuk mengejar ketinggalan.”

Mark berbicara di saat yang tepat. Gara-gara pandemi, banyak orang yang bosan dengan kerja kantoran. Di Amerika, banyak anak muda memilih berhenti kerja kantoran, dan fokus kerja di rumah. Pandemi telah menyuburkan ideologi rebahan di kalangan anak muda kita. Mending kerja santai di rumah, bisa rebahan trus nonton Netflix.

Sepintas, apa yang disampaikan Mark bukanlah hal yang baru. Generasi 1990-an pernah memainkan game The Simps di mana mereka seolah masuk dalam game. Anak-anak sekarang memainkan Roblox di mana mereka berada dalam satu semesta.

Bedanya, dalam Metaverse, Anda masuk ke dalam dunia itu, berinteraksi, kenalan, belanja, bahkan bisa main seks. Hah? Dalam film Demolition Man, ada adegan seseorang memasuki dunia virtual lalu bertemu avatar gadis seksi.

Newsweek mencatat, imajinasi Mark sama persis dengan apa yang tertulis di dua fiksi terkenal yakni Snow Crash dan Ready Player One.

Snow Crash adaah novel bertemakan distopia yang terbit tahun 1992. Penulis fiksi Neal Stephenson bercerita tentang Metaverse sebagai ruang virtual bersama yang menghubungkan semua dunia virtual menggunakan internet dan augmented reality.

Augmented reality adalah teknologi yang menempatkan gambar yang dihasilkan komputer di atas pandangan pengguna tentang dunia nyata.

Sedangkan Ready Player One, yang sudah difilmkan dan disutradarai Steven Spielberg, menceritakan dunia di mana orang-orang setiap hari berinteraksi dalam game.

Hingga suatu hari, ada kuis atau tantangan, lalu semua orang berusaha memenangkan kuis. Lalu, ada pengusaha besar yang ingin menguasai semua semesta permainan lalu melakukan segala cara.

Dua novel fiksi ini menjadi kompas yang memandu Mark Zuckerberg dengan proyek Metaverse. Imajinasinya bisa merentang jauh dan ke mana-mana hingga mencipta satu dunia baru di mana semua orang bisa bertemu dan berinteraksi dengan kripto.

Tidak heran, di negara-negara maju, imajinasi dipupuk dengan sastra, dongeng, mitos, cerita rakyat, juga berbagai cerita petualangan. Membaca sastra dan fiksi sama pentingnya dengan belajar sains dan teknologi. Tanpa khayalan liar, tak lahir kisah-kisah mengenai penciptaan dan inovasi.

Di berbagai perpustakaan luar negeri, buku fiksi dan komik sama pentingnya dengan buku sains. Anak-anak diperkenalkan dengan fiksi. Imajinasi liar mereka dipupuk hingga bertunas, tumbuh, akarnya menghujam ke bumi, dahan dan rantingnya menjangkau mega-mega.

Benar kata Einstein, logika bisa membawa Anda ke A sampai Z. Tapi imajinasi bisa membawa Anda ke mana-mana.”

Di Jepang, membaca komik atau manga dianggap sama pentingnya dengan membaca ensiklopedi. Mantan Perdana Menteri Jepang Shizo Abe adalah penggemar komik. Selain untuk imajinasi, Jepang menjadikan komik, cosplay, dan anime sebagai penanda budaya.

Sayangnya, di negeri kita, fiksi dianggap rendah. Membaca novel dianggap menghabiskan waktu. Bahkan komik pun dihindari. Kisah superhero dianggap tidak berguna. Anak-anak diajari hafalan. Imajinasinya tenggelam.

Jika saja imajinasi menjadi tolok ukur kemajuan bangsa, maka kita tertinggal jauh. Lagi-lagi kita hanya jadi pemakai, bukan pencipta. Kita hanya pengekor.



Melihat Mama yang Kian Renta

 


Berita duka itu datang saat saya kuliah di semester dua. Bapak saya meninggal tanpa ada jejak sakit. Semuanya serba mendadak.

Bapak meninggalkan istri dan empat anak. Kami semua masih sekolah. Saat itu, saya membayangkan masa depan yang gelap. Sebagaimana lazimnya orang Buton lainnya, yang saya pikirkan adalah merantau dan buang diri ke Ambon. Atau tidak ke Papua. Bisa pula Malaysia.

Di saat gelap itu, Mama menjadi matahari yang menguatkan hati.  Dia tak lama bersedih. Dia bangkit dan meyakinkan anaknya untuk tetap sekolah. Tak sepeser pun jatah bulanan dikurangi.

Dia hanya seorang guru sekolah dasar, lulusan SPG. Gajinya tak seberapa. Dia pikul beban sebagai kepala keluarga. Setiap hari dia melangkah dengan tertatih-tatih ke sekolah untuk mengajar. Dia bangkit sebab ada kaki-kaki yang membutuhkannya.

Sampai detik ini saya tidak paham bagaimana rumusnya bisa bertahan dan menyekolahkan empat anak. Gaji guru yang tak seberapa itu dikirimkannya untuk semua anaknya.

Rupanya dia tak cuma mengajar. Sepulang sekolah, dia membuat es kantong, kadang manisan kedondong. Setiap hari dia ke sekolah membawa termos es kantong yang dijual ke murid-murid. Hasilnya recehen. Tapi itu cukup untuk sekadar biaya hidup.

Dia perencana keuangan paling hebat yang pernah saya kenal. Dia sisihkan receh demi receh untuk anaknya. Dia menjalani hidup yang bersahaja demi kebahagiaan anaknya. Saat semua anaknya berhasil, dia tak pernah meminta. Dia matahari yang selalu memberi.

Kini, dia perlahan menua. Langkahnya kian tertatih. Tapi masih saja dia memikirkan anaknya. Semangat dan dedikasinya tetap menyala-nyala, meskipun fisiknya kian lelah.

Bersamanya saya selalu kehilangan kata. Tubuh renta itu adalah oksigen yang memberi saya nafas kehidupan.

Tangan yang kecil dan keriput itu pernah memikul beban yang jauh lebih kuat dari apa pun.

Kaki yang kian berat menyangga tubuh itu adalah kaki yang setiap langkahnya adalah ibadah untuk anak-anaknya. Dia paripurna sebagai manusia yang mendedikasikan dirinya untuk anaknya. Dia lulus tempaan demi tempaan kehidupan.

Di mata yang kian tua dan sayu itu, saya bercermin dan melihat betapa bengalnya diri ini yang belum juga bisa memuliakannya.

Di mata itu, saya melihat potret diriku yang angkuh dan sesumbar hendak berpetualang dan menaklukan dunia, namun tak kuasa untuk memikul bebannya, tak kuat menjadi matahari seperti dirinya.

Di mata itu, saya melihat diri ini yang bangsat, dan dia yang selalu siap jadi telaga jernih untuk tempat kembaliku saat hendak membasuh karat di hati. Kurenangi dan kuselami samudera hatinya yang amat luas.



Titan Teknologi

 


Di lini masa Twitter, saya membaca berita itu. Amerika membocorkan laporan intelijen militer. Agustus lalu, Cina melakukan testing rudal hypersonic yg mengelilingi bumi, kemudian turun menghantam sasaran.

Pihak militer Amerika terkesima, kemampuan Cina jauh di atas yang mereka pikirkan. Rudal terbang ke luar angkasa, persis seperti space shuttle, kemudian turun menghujam ke satu titik di bumi. Tak ada anti rudal yang bisa mencegatnya karena bergerak di orbit.

Hari ini, saya menemukan lagi satu berita heboh di Twitter. Pentagon dilaporkan terkejut melihat Cina meluncurkan pesawat stealth fighter dengan dua pilot pertama di dunia. Pesawat tempur ini menggunakan konsep NGAD (next generation air dominance), di mana pilot kedua fokus mengendalikan drone yg terbang bersama pesawat utama. Wow.

Persaingan AS dan Cina bukan sekadar ekonomi dan dagang, tapi juga merambah ke bidang teknologi dan sains. Ini kenyataan yang mengejutkan.

Dalam buku Tech Titans of China yang ditulis Rebecca A Fannin, saya menemukan banyak kisah tentang persaingan teknologi itu. Buku ini diterbitkan Gramedia dengan judul Raksasa-Raksasa Teknologi Tiongkok.

Bagi generasi 1990-an, pasti akan berpendapat kalau Cina adalah negara peniru, yang menjiplak semua teknologi dan menjual murah. Betapa kagetnya generasi ini saat menyadari Cina bukan lagi menjadi peniru, tapi Cina perlahan jadi pioneer.

Amerika punya raksasa teknologi yang disebut FAANG akronim dari Facebook, Apple, Amazon, Netflix, dan Google. Cina pun kini memiliki raksasa teknologi yakni BAT, akronim dari Baidu, Alibaba, dan Tencent. Orang Amerika mengidolakan Mark Zuckerberg, Jeff Bezos, dan Sergey Brinn. Orang Cina mengidolakan Robin Li (Baidu), Jack Ma (Alibaba), dan Ma Huateng (Tencent).

Jangan lupa, Cina juga punya Tik Tok yang kini mendunia, dan digandrungi oleh warga Amerika sendiri.Tik Tok telah berkembang sangat pesat sehingga menjadi ancaman bagi raksasa media sosial seperti Facebook, yang merilis versi Tik Tok-nya sendiri (dan tidak terlalu sukses) yang disebut Lasso.

Ada juga Huawei yang terdepan dalam riset 5G.

Cina punya masa lalu sebagai pusat inovasi. Dunia mengenali inovasi seperti Kertas, Kembang Api, hingga Layang-layang. Tidak mengherankan jika Cina saat ini akan melanjutkan tren sejarah.

Teknologi telah menjadi jauh lebih kompleks dan beragam daripada satu dekade lalu, dengan munculnya AI, aplikasi seluler, mobil listrik, mobil swa-kemudi, big data, robotika, drone, dan ekonomi berbagi. Muncul pula komputer kuantum, rudal hypersonic. Bahkan mulai muncul ide matahari buatan.

Anda boleh gak percaya, tapi di semua bidang itu, Cina kini menjadi pemenangnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Seperti pernah saya katakan, Cina dan Amerika boleh unggul teknologi, tapi kita pegang kunci surga. Kita menguasai semua hafalan dan kunci jawaban untuk hari akhir. Yang lain cuma punya kunci dunia.

Buku menarik di akhir pekan.


Bos DUCATI Tidak Paham BUDAYA Kita

 


Media asing melaporkan bos Ducati marah-marah. Insiden dibukanya motor Ducati dianggap sangat memalukan. Katanya, peristiwa itu hanya terjadi 40 tahun lalu di negara dunia ketiga.

Banyak netizen yang murka setinggi langit. Di negara Indonesia yang kian modern dan memimpin negara-negara G20, tindakan membuka barang milik orang lain lalu pamer di medsos itu serupa aib.

Padahal, bos Ducati itu yang harusnya dikiritisi. Harusnya ada fatwa protes kepadanya. Dia seenaknya mengeluarkan komentar yang memojokkan kita semua. Dia tidak paham budaya orang Indonesia. Apa saja?

Pertama, budaya kepo. Kata Ivan Lanin, kepo adalah serapan dari dialek Hokkian atau Min Nan. Kepo bermakna rasa ingin tahu yang berlebihan. 

Warga kita selalu penasaran dengan isi tas orang lain. Masih ingat, beberapa tahun lalu, di Bandara Sukarno Hatta sempat heboh mengenai tas-tas bagasi bandara yang sudah dalam keadaan terbuka, dan sejumlah barang dikabarkan hilang.

Di negeri kita, orang selalu penasaran dengan sesuatu yang ditutupi. Lihat saja tayangan media kita penuh dengan gosip tentang rumah tangga selebritis, gosip mengenai istri gelap politisi, hingga gosip mengenai tokoh yang konon katanya melakukan babi ngepet.

Hanya di negeri ini, soal apakah seseorang sudah pindah agama bisa menjadi diskusi yang alot dan menyita energi berhari-hari. Urusan pindah agama yang semestinya menjadi hak pribadi seseorang bisa jadi bahan perdebatan untuk digoreng-goreng hingga disate-sate.

Politisi kita suka menutupi banyak hal. Bukan hanya bisnis PCR di balik penderitaan rakyat, tapi juga banyak menyembunyikan kekayaan negara. Coba tanya, siapa sih yang bikin maskapai burung itu bangkrut? Gelap.

Kedua, budaya pamer. Seseorang di Lombok yang melakukan unboxing motor Ducati lalu foto-foto dan pamer-pamer di media sosial itu mencerminkan budaya kita. Dia hendak pamer dirinya punya akses ke motor-motor balap. Dia ingin pamer ke netizen. Dia seakan ingin berkata: “Lihat nih, saya bisa pose dengan motor Ducati. Kalian gak bisa, Dasar misqueen.”

Di sekitar kita, budaya pamer di medsos menjadi hobi banyak orang. Setiap hari kita melihat orang-orang pamer lagi di resto-resto mahal, lagi wisata di tempat-tempat berkelas dan premium, serta lagi bersama tokoh penting, mulai dari Erick Thohir hingga Lord Luhut.

Politisi kita juga suka pamer. Pejabat publik dengan santainya tampil di acara komedi seakan lupa kalau banyak warganya yang lagi dilanda banjir. Politisi pamer masuk got di semua kanal media, setelah itu popularitasnya naik dan jadi pemimpin. Bahkan ada pula kepala daerah yang jauh-jauh ngasih masukan ke Papua sana, padahal daerahnya gak bagus-bagus amat.

Pamer adalah bagian dari budaya kita. Mulai dari politisi, pejabat publik, hingga rakyat jelata. Banyak orang yang rela menjadi “pemanjat sosial”, sekadar buat konten. Anda mungkin pernah baca tentang remaja yang beraksi dengan menghentikan truk di jalan raya. Buat apa? Buat pamer dan konten medsos. Dia seakan berkata, “Hey cewek-cewek. Lihat aksi heroik saya. Cowok-cowok lain pada cemen tuh.”

Ketiga, budaya suka melempar masalah. Lihat saja pernyataan yang mewakili Mandalika Gran Prix Association (MGPA). Dia bilang, “Ada pihak yang tidak berkepentingan dan tidak mengerti proses yang sedang berlangsung lalu mengambil gambar dan mem-viralkan dengan isi berita yang tidak sesuai."

Kata-kata “tidak berkepentingan” itu kan ngawur. Lha, orang itu kan punya kepentingan, yakni ingin foto, pamer, dan pansos. Semua orang punya kepentingan. Jika hendak “mensterilkan” harusnya sejak awal dilarang. Batasi siapa saja yang punya akses ke motor-motor itu. Bikin kartu akses yang hanya bisa dijangkau sebagian orang.

Anda bisa bayangkan, seseorang yang setiap harinya naik motor supra fit, itu pun cicilan, tiba-tiba saja lihat motor-motor balap yang harrganya ratusan juta hingga miliaran. Pastilah penasaran dan ingin berpose.


Daripada sibuk menyalahkan pihak tidak berkepentingan, lebih baik mengaku salah, lalu lakukan evaluasi menyeluruh. Sampaikan pesan ke pihak Ducati kalau kesalahan itu telah diidentifikasi dan diperbaiki. Kedepannya hal serupa tidak akan terjadi lagi.

Keempat, budaya bully berjamaah. Saat kasus unboxing itu terungkap, sontak semua netizen yang maha benar melakukan bully dan sorak-sorai di medsos. Langsung trending topic. Kita dengan mudahnya mengolok-olok secara beramai-ramai. Bagusnya sih, tetap tenang. Serahkan kepada otoritas atau pihak berwajib.

Penduduk negeri +62 ini mengira dirinya ramah-ramah dan lucu-lucu, persis syair lagu Trio Kwek Kwek. Banyak yang mengira kita adalah negara yang santun dan berbudaya.

Padahal, riset yang dilakukan Microsoft di bulan Februari 2021, menyebutkan kita adalah negeri yang paling tidak sopan di jagad digital. Kita dengan seenaknya mengumpat, memaki, dan perang kata dengan orang lain. Kita tak terbiasa duduk manis dan bicara sopan di dunia maya.

Gaes…. Bukankah pelakunya itu adalah anak bangsa yang seharusnya diedukasi, diajari, dan dicerahkan?

Tindakan unboxing itu bisa saja dianggap wajar ketika security dan pejabat juga hanya sibuk foto-foto biar viral. Anak bangsa itu hanya meniru kebiasaan para petingginya yang juga suka pamer kerjaan orang lain. Saat dilihatnya ada motor balap yang berdiri gagah, naluri pamer dan foto-foto segera bangkit.

Kelima, budaya melihat bule lebih tinggi. Mungkin karena kelamaan dijajah, kita sering melihat orang bule lebih tinggi. Kita seakan ditakdirkan untuk melayani mereka. Sering kali kita menganggap mereka selalu benar. Padahal tidak seharusnya demikian.

Pernyataan bos Ducati itu mesti dipertanyakan. Pernyataan tentang “negara dunia ketiga”itu seharusnya dikritik keras. Sebab pernyataan itu terdengar rasis dan tidak adil. Seakan-akan ada anggapan kalau negara-negara dunia pertama itu lebih maju dan beradab.

Padahal, bagi yang sering ke luar negeri, semuanya terasa sama saja. Bahkan di negara, yang katanya maju pun, masih saja kita temukan perilaku warganya yang tidak beradab.

Istilah negara dunia pertama dan dunia ketiga telah ketinggalan zaman dan memiliki konotasi negatif. Istilah itu digunakan untuk mendeksripsikan negara-negara di dunia berdasarkan status ekonominya. Negara dunia ketiga menduduki posisi setelah negara dunia pertama dan kedua namun lebih tinggi statusnya ketimbang negara dunia keempat. 

Terminologi negara dunia ketiga digunakan pada Agustus 1952 oleh seorang ahli demografi sekaligus sejarawan ekonomi Prancis, Alfred Sauvy. Dia menjelaskan ketidakberdayaan negara-negara yang kala itu baru saja merdeka, yakni negara-negara kawasan Asia dan Afrika. Negara-negara ini dahulu ikut Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung.

Sekarang, istilah ini jadi tidak relevan. Asia adalah wilayah yang sekarang tengah glowing dan melejit. Banyak negara-negara maju muncul dari Asia. Masa depan adalah milik Asia, yang dahulu identik dengan negara berkembang. Malah Eropa sedikit lagi ibarat nenek tua yang hanya mengenang masa lalu yang gemilang.

So, daripada sibuk memuji-muji bos Ducati dan menyalahkan anak bangsa, lebih baik kita fokus ke balapan di Mandalika. Lebih baik kita menyaksikan bagaimana mata dunia mengarah ke bangsa ini, yang dahulu dunia ketiga, kini telah menyelenggaran event balap motor berkelas dunia.

Lebih baik, kita mengerahkan energi untuk sesuatu yang lebih berkelas.

 


Memori di Ujung Lidah

 

sepiring parende

IBU itu menghidangkan semangkuk olahan ikan yang disebut parende. Melihat isi mangkuk, lalu membaui kuah panas itu, lidah dan ludah bergejolak. Persis seperti minyak goreng dalam kuali yang sudah dipanaskan, dan siap menyambut ikan yang akan digoreng.

Ada banyak memori yang tersimpan di ujung lidah kita. Makanya, sejauh-jauhnya kita merantau, bahkan seberapa banyaknya kuliner yang pernah kita cecap, tetap saja ada rasa tertentu yang terekam di lidah kita.

Di titik ini, kuliner bukan cuma soal rasa enak dan tidak enak, sebab yang namanya rasa selalu subyektif. Di ujung lidah kita, ada kode-kode kebudayaan, yang menjadi panduan bagi kita untuk menilai enak dan tidak enaknya sesuatu.

Bagi saya yang lahir dan besar di pesisir laut, kuliner yang terenak adalah olahan sea food. Rasa nikmatnya sukar dilukiskan. Tapi bagi seseorang yang lahir dan besar di Puncak, Bogor, maka olahan sayuran dan dedaunan terasa lebih nikmat di lidah. Ini soal budaya.

Kuliner juga selalu terkait lokasi, juga suasana. Pernah saya membaca catatan Profesor Rhenald Kasali tentang kuliner. Katanya, dia sudah mencoba berbagai menu di hotel berbintang di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Entah kenapa, dia tidak menemukan ada menu kuliner Nusantara yang sangat enak dan nikmat di situ.

Dia mencontohkan sate. Di semua restoran dan hotel berbintang, rasa sate selalu hambar. Menurutnya, sate ternikmat adalah sate yang dinikmati di warung pinggir jalan, di mana penjualnya mengipas-ngipas sate di atas bara api, yang asapnya masuk ke dalam warung.

Rasanya semakin nikmat saat Anda memakannya dengan satu kaki naik ke atas kursi, di tengah suasana panas, sehingga keringat menetes-netes.

Pernah pula saya ikuti tuturan budayawan Sulsel Ishak Ngeljaratan. Menurutnya, konro ternikmat adalah konro yang ada di warung kecil di Lapangan Karebosi.

Saat Anda makan, ada banyak anjing yang menunggu Anda di jarak lima meter. Ketika satu tulang selesai dicicipi, langsung dilempar ke anjing yang menyambut dengan bersahutan. Baginya, itu konro ternikmat.

Hari ini kita sulit mengalami rasa nikmat yang digambarkan Ishak Ngeljaratan. Karebosi sudah jadi arena modern, yang di bawahnya ada mal perbelanjaan. Karebosi sudah dipagari. Bukan lagi Karebosi dahulu yang dipenuhi aktivitas warga, mulai dari penjual obat, pemain catur, pengangguran, pedagang asongan, hingga maling amatiran.

Di sini, di kota Baubau, yang dahulu menjadi pusat dari Kesultanan Buton, kota kecil yang dahulu selalu disinggahi kapal-kapal besar yang menyusuri jalur rempah ke timur, kota kecil yang dicatat dalam diari Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen dan Piter Both, saya menatap semangkuk parende.

Di warung kecil di pinggir laut, saya merasakan angin sepoi-sepoi, hembusan angin timur yang semilir. Di sebelah sana, ada suara-suara nelayan yang begitu perahunya sandar langsung disebur para pedagang kecil.

Hidung saya membaui satu rasa unik yang akrab dengan diri sejak pertama mengenal dunia. Saya ingat almarhum bapak yang suka kuliner ini. Saya ingat masa kecil yang sering bolos ke sekolah gara2 main di laut. Saya ingat ombak-ombak dan tarian samudera. Saya ingat tawa riang kanak-kanak yang menyelam koin.

Semuanya berpadu menjadi satu memori yang mengiringi acara makan parende hari ini. Saya menatap mangkuk sembari menyendok dan menghirup aromanya.

Hmm... Yummy!


Sekelumit Sejarah Pallubasa

 


Semangkuk pallubasa itu dihidangkan di depan saya, di Warung Pallubasa Serigala, Kelapa Gading, Jakarta. Saya menghirup aroma yang amat akrab di hidung.

Saat mencobanya sesendok, pikiran saya melayang ke masa kecil, saat nenek menyajikan nasu wolio, olahan ayam khas Buton. Saya mengenali rasa kelapa goreng yang disanggrai. Hampir sama.

Pallubasa disajikan di mangkuk serupa coto makassar, tapi rasanya sangat beda. Jika coto makassar menggunakan bumbu kacang tanah yang dihaluskan, pallubassa menggunakan kelapa yang disanggrai.

Saat mencoba sesendok lagi, pikiran saya seakan terlempar ke Jalan Serigala, Makassar, hampir 20 tahun silam. Saat itu, saya harus antri di warung kaki lima demi menikmati pallubasa yang otentik. Setiap hari orang-orang antri demi mendapatkan seporsi kuliner nikmat berupa jeroan sapi yang empuk dan lembut di lidah.

Saya menatap pallubasa di hadapan saya. Seorang kawan pernah bercerita, dahulu pallubasa adalah kuliner murah milik rakyat jelata. Yang menikmati pallubasa adalah para pekerja, para buruh, kuli bangunan, tukang becak, dan mereka yang berpeluh keringat saat beraktivitas.

Mengapa murah? Sebab inti dari kuliner ini bikanlah campuran isi atau daging yang mahal-mahal. Bagian dari sapi yang membentuk semesta pallubasa adalah bagian yang tidak dibutuhkan oleh pemilik sapi.

Bagian itu diberikan pada pemotong sapi sebagai jatah atau upah (tawana papolonga). Biasanya adalah bakal susu (kandala po), baluta atau darah sapi.  Baluta merupakan darah sapi yang saat disembelih, ditampung dalam batang bambu, kemudian dibekukan.

Bagian lainnya adalah payudara sapi, biji pelir sapi, usus lurus atau parru lambusu, latto-latto atau bagian daging yang bercampur dengan tulang rawan, dan gantungan jantung.

Daging yang tak diinginkan ini, kemudian diolah oleh para papolong atau pemotong sapi. Mereka menambahkan berbagai rempah serta bumbu kelapa goreng sehingga melahirkan kuliner yang otentik dan rasanya akrab di lidah.

Namun yang namanya rasa tak pernah bisa dibagi-bagi dalam kasta. Makanan yang tadinya murah, sontak menjadi buah bibir banyak kalangan. Kini, semua orang bisa mengonsumsi Pallubasa. Kuliner ini sudah bisa dinikmati di hotel berbintang, malah pernah tampil di ajang Indonesian Master Chef.

Saat hendak menyendok ketiga kalinya, sayup-sayup saya mendengar alunan musik jazz dari warung sebelah. Dahulu, jazz adalah musik khas pekerja Afro-American, yang dibuat di sela-sela kerja paksa. Musik menjadi ruang bagi para budak kulit hitam untuk sejenak melupakan getirnya hari-hari yang dijalani.

Saya membayangkan para papolong atau pemotong sapi yang menciptakan kuliner pallubasa ini. Mereka punya kreativitas setingkat dewa saat meramu bahan yang biasa ini menjadi kuliner hebat. Mengolah kuliner adalah ruang pelepasan, di mana mereka sejenak berekspresi dan mengeluarkan segenap daya cipta.

Biarpun hari ini pallubasa bersalin rupa menjadi kuliner khas di tempat mahal, bahkan berkelana hingga Jakarta, Singapura, Malaysia, juga Australia, tetap saja ada jejak keringat, aroma tubuh pekerja penuh keriangan, serta senandung saat mengolah hal sederhana.

Para maestro bukan mereka yang mengolah resep dengan barang mahal, tetapi mereka yang sentuhan jemarinya bisa mengubah hal biasa menjadi luar biasa. Kuliner bukan soal mewah tidaknya bahan, tetapi kejeniusan dalam mengolah bahan yang ada, memberinya sentuhan rasa, meninggalkan jejak abadi di lidah.

Kembali, saya hendak menyendok sesendok kuah pallubassa. Sayup-sayup ada suara Louis Amstrong yang suaranya serak-serak basah. Dia berkata: “And I think to myself. What a wonderful world.” Bagi orang kreatif dan berpikir damai, dunia akan selalu indah.

Tanpa berpikir lagi, sesendok kuah Pallubasa masuk ke dalam mulut. Ada rasa bahagia saat menikmati kuliner lezat ini. Ada berbagai kenangan yang hadir lalu beranjak. Hmm…  Nyamanna!