Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Sutra Sengkang Warna Merah Marun

27 Desember 2006

AKHIRNYA selesai juga mendampingi ujian promosi calon doktor. Rasanya lelah juga menjadi ajudan dan harus mengingatkan pertanyaan mana yang harus dijawab.

Aku tidak sendirian. Aku justru ditemani seorang sohibku yaitu Fikriyah. Di sela-sela pekerjaannya yang padat sebagai staf ahli, ia mau saja menemaniku untuk mendampingi si calon doktor itu. Oh ya, kali ini aku tidak mengenakan jaket kuning (yah, untunglah). Aku mengenakan baju batik sutra berwarna merah marun. Baju itu terlihat sangat indah di acara promosi doktor ini. Batik ini terbuat dari bahan sutra dari Sengkang (Sulsel), dipinjamkan oleh Pak Azis, seorang mahasiswa program doktor asal Sulsel yang juga menjadi sohibku.

Pada saat ke kampus, aku belum mengenakan batik itu. Aku mengenakan baju kaos oblong warna merah dan memakai celana kain warna hitam serta sepatu. Kusimpan baju batik itu dalam tas ranselku. Saat tiba di ruang sidang, tiba-tiba semua mata menoleh ke arahku sambil memprotes. Mulai dari sekretaris program yaitu Mbak Wati, Mbak Wiwin, Mbak Tina, sampai si calon doktor, ikut-ikutan protes kenapa aku belum mengenakan baju batik. Aku cuma tersenyum sambil menunjuk tasku.

Rasanya seru juga melihat ujian promosi doktor. Masing-masing penguji akan bertanya sesuai dengan kepakarannya. Di antara para penguji, aku mengapresiasi beberapa orang yaitu Prof Robert Lawang, Prof Achmad Fedyani, dan Dr Iwan Tjitradjaja. Pertanyaan mereka begitu cerdas dan langsung menyentuh substansi yang dibahas.

Oh ya, peserta ujian doktor kali ini bernama Saharuddin. Dia dosen IPB dan ternyata berasal dari Raha, Sultra. Aku kaget juga karena Raha itu di dekat Pulau Buton. Secara kultur, kami tak jauh berbeda. Saat ujian, ada begitu banyak orang Raha yang datang menyaksikan. Mereka rata-rata kuliah di Bogor. AKu sempat bercengrama dengan mereka. Bahkan, ada di antara mereka yang sempat sekolah di Bau-bau. Wah, menyenangkan juga kumpul dengan sesama warga Sulawesi Tenggara. Ah, aku jadi rindu pulang nih....

Sial, Aku Harus Pakai Jaket Kuning

SETIAP kali ada ujian promosi doktor, akan ada mahasiswa yang memakai baju batik atau jaket kuning (jakun) --jaket almamater UI-- untuk mendampingi si calon doktor saat menjawab pertanyaan. Biasanya, mekanismenya dilakukan secara acak dan mahasiswa yang ditunjuk harus bersedia. Meski akan pakai jaket kuning ala Soe Hok Gie, aku tetap merasa stres. SIal, aku tiba-tiba dapat giliran untuk mendampingi calon doktor itu.

Aku akan menjadi ajudan dan harus mendampingi calon doktor di ajang promosi. Ia membantu mengingatkan kalau ada pertanyaan yang belum terjawab atau mengingatkan kalau lupa sesuatu. Acara promosi itu hanya merupakan ajang seremonial dan show saja. Acara ini akan dihadiri seluruh kolega sang calon doktor termasuk para dosen penguji. Dan di acara itu, aku harus jadi ajudan.

Tiba-tiba saja, aku membayangkan jadi pemegang pancasila pada saat upacara bendera di masa Sekolah dulu. Aku paling nggak mau jadi pemegang pancasila saat upacara. Bayangkan, berdiri di tengah lapangan untuk menemani pembina upacara yaitu kepala sekolah. Betapa stresnya. Kini, aku menjalani hal yang sama.

Aku tak mengerti apa tujuannya mahasiswa dijadikan ajudan doktor. Mungkin untuk mengasah motivasi dan menumbuhkan tekad agar melanjutkan pendidikan sampai tingkat doktor seperti yang didampingi itu. AKu tak tahu.

Independence Day

23 Desember 2006

AKHIRNYA aku merasakan atmosfer kemerdekaan. Aku benar-benar bahagia karena menyelesaikan semua ujian final test. Meski untuk itu, badanku lelah karena begadang dan bikin tugas. Yang penting selesai juga.

Dari empat mata kuliah yang kuambil, hanya satu mata kuliah yang menyelenggarakan ujian tulis. Sisanya berupa tugas yang harus diselesaikan di rumah. Tapi, susahnya minta ampun. Untuk menyelesaikan tugas itu, butuh membaca banyak buku. Itupun tak ada jaminan kalau membaca buku akan membawa pada pemahaman dan bisa menjawab soal dengan baik. But, itulah dinamikanya perkuliahan.

Kemarin aku juga bahagia. Mata kuliah psikologi nilainya udah keluar. AKu dapat nilai A. Padahal, aku rasa ujianku pas-pasan. Kok bisa dapat A? Ah, masa bodo. Aku senang karena jika ada mata kuliah lain yang hasilnya pas-pasan, IP-ku tidak akan jeblok karena udah ada yang dapat nilai A. Mestinya rasa senang ini dirayakan. Cuma, gimana caranya dirayakan kalau uang di kantongku pas-pasan. Yang bisa aku lakukan adalah menyusun prioritas apa yang harus dilakukan saat ini. Aku harus melakukan sesuatu untuk mengisi masa libur sekaligus mencari cara untuk bayar SPP.

Gandhi, The Greatest Man....

(Dua hari lalu, aku nonton film berjudul Gandhi yang disutradarai Richard Attenborough serta diperankan aktor Ben Kingsley di kampus UI. Aku begitu tersentuh dan ingin "menangkap" jejak film itu pada esai ini).........


GANDHI membaca novel karya sastrawan Rusia, Leo Tolstoy. Aku tak tahu novel apa yang dibaca pria tua dan renta ini. Tapi aku perkirakan Gandhi membaca novel paling dahsyat dan menggetarkan dari Tolstoy yang berjudul From War and Peace. Novel ini ditulis pada tahun 1886 dan berkisah tentang kekaisaran Napoleon Bonaparte yang menginvasi Rusia --negara asal Tolstoy-- dan mengguratkan kisah dan satire penuh sedu sedan tentang kata damai.

Apa yang membekas di hati pria tua renta bernama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi ini? Sebuah getar ataukah pencerahan (enlightment) yang turun dari langit dan memasuki kalbunya. Ataukah sebuah refleksi tentang begitu sulitnya dan begitu berdarah-darahnya menegakkan kata damai di tengah belantara keangkuhan manusia. Entahlah. Aku tak tahu.

Dua hari yang lalu –di sela jadwal ujian yang padat—aku menonton film lama berjudul Gandhi dan diperankan aktor masyhur Inggris bernama Ben Kingsley. Film ini diputar di kampus usai diskusi tentang mereka yang mewarnai sejarah. Film ini begitu menggugah hingga kilasan gambarnya terus melintas-lintas di benakku selama dua hari. Sampai-sampai aku mimpi ketemu Gandhi.

Aku tak bisa melupakan adegan ketika Gandhi wafat hingga menggetarkan India pada 30 Januari 1948, dua tahun setelah ia memerdekakan negerinya. Nyaris seluruh penduduk India menyemut di jalanan demi melepas jenazah sang Mahatma –dalam bahasa Sansekerta, kata ini bermakna “Great Soul” atau Jiwa Agung—untuk dibakar dalam sebuah peristiwa kolosal yang terbesar di India. Baik tua dan muda, miskin atau kaya, semuanya berdiri rapi dan menangis sesunggukan dengan atau tanpa suara atas tewasnya pria yang cintanya pada India mengalir bak sungai deras.

Seorang reporter BBC London melaporkan peristiwa itu dengan begitu menyentuh. “Hari ini kita menyaksikan kesedihan yang didengungkan dengan lirih oleh jutaan warga India. Mereka sedang menangisi kematian seorang pria bernama Gandhi. Seorang pria tanpa kekayaan. Tanpa harta yang melekat di badannya. Tanpa jabatan dan kedudukan. Apalagi prestise. Seorang pria yang hanya punya sekeping hati. Namun sekeping hati itu telah mengharu-biru dunia. Sekeping hati itu telah mencairkan seluruh batas keangkuhan manusia. Sekeping hati yang mungkin lebih agung dari Yesus pada ratusan tahun silam.”

Bayangkan, “lebih besar dari Yesus!!!!” Gandhi telah menunjukkan pada dunia kalau manusia bisa mempunyai keluasan hati yang tak bertepi. Jika Yesus mengajari manusia akan cinta yang dahsyat namun Gandhi menjelajah lebih jauh lagi. Ia berhasil menunjukkan kalau cinta memiliki kedalaman dan keindahan estetik yang bisa mengejawantah menjadi sebuah gerakan sosial dan mengemansipasi masyarakat, sesuatu yang belum sempat dilakukan Yesus. Gandhi bisa membawa masyarakat pada pencerahan atau apa yang disebut Heidegger sebagai “membawanya dalam terang dan memisahnya dari gelap.”

Gandhi telah memporak-porandakan semua bangunan teori dari antropolog dan psikolog tentang watak manusia. Ia juga meruntuhkan teori modernitas dan kecenderungan anti mitos dan desakralisasi ketokohan. Ia menunjukkan pada dunia bahwa perlawanan tak mesti dengan cara konflik bersenjata atau cara dar der dor. Ia melakukannya dengan penuh cinta serta kemampuan membaca spirit bangsanya yang tengah dilanda kemiskinan dan keterbelakangan. Wajar saja jika dia menjadi pahlawan karena integritas serta komitmen yang luar biasa untuk bersama warganya yang miskin.

Di Afrika Selatan tahun 1896, di saat membaca Leo Tolstoy, Gandhi masih berprofesi sebagai pengacara muda yang berpakaian necis dan jas licin. Di dalam kereta itu, alumnus Fakultas Hukum di University of College ini membandingkan Tolstoy dengan cinta kasih Yesus. Gandhi bukanlah Kristen. Ia hanyalah seorang Hindu yang taat namun begitu mengidolakan Yesus. Ia telah menyerap inti dan baris terpenting dari agama dan kisah besar yang dituturkan dari generasi ke generasi.

Usai membaca, ia merenung dan memanggil kondektur kereta api yang berkebangsaan Eropa. Ah, tak disangka, ia menjadi obyek dari fragmen menyedihkan tentang rasialisme. Ia diusir dan dihardik dari kereta hanya karena ia adalah seorang India dan tidak berkulit putih. “Saya seorang pengacara dan punya uang untuk membayar kelas eksekutif dari kereta ini,” teriaknya sambil menunjukkan tiket. Tapi kondektur kereta yang berkulit putih itu tak mau tahu. Ia menendang pantat Gandhi hingga jatuh dari stasiun dan kemudian melemparkan kopernya. Gandhi ingin berteriak dan melawan. Tapi ia ingat ajaran cinta dari Yesus yang dengan bijak berkata,”Jika seseorang menampar pipi kananmu, berikanlah pipi kirimu.”

Ajaran cinta itu begitu membekas hingga ia tak peduli meski diusir bagai binatang ternak. Akhir tahun 1800-an adalah masa ketika rasialisme dan superioritas kulit putih menemukan momentumnya. Namun di Afrika, Gandhi menjadi pahlawan ketika mengorganisir ribuan buruh dan karyawan pabrik asal India untuk melakukan mogok massal sebagai bentuk protes atas diskriminasi. Gandhi melawan pasukan bersenjata dengan ribuan pengikutnya hanya dengan cara duduk tiarap di jalan raya dan pasrah meski dipukuli. Ia dipenjara namun tetap sabar dan terus mengingat Yesus. Tapi kepasrahan itu membawa dampak besar ketika seluruh bangsa Afrika langsung luluh hingga memenuhi semua tuntutannya.

Hingga kembali ke India, ia tak pernah surut mengobarkan api cinta itu. Saat itu, negerinya tengah dijajah Inggris. Penjajahan itu berlangsung dalam bentuk pencaplokan wilayah, penyiksaan fisik, serta pelestarian ketergantungan rakyat India pada seluruh produk Inggris. Tiap hari ada saja warga India yang mati baik karena penyiksaan maupun karena kelaparan berkepanjangan. Gandhi tersentuh. Ia lalu melepas jasnya dan berganti pakaian dengan hanya selembar kain. Di saat banyak pemimpin nasionalis berpakaian necis dan hidup mewah, ia justru memilih hidup miskin sebagaimana rakyat India.

Ia menjadikan kemiskinan sebagai sebuah pilihan. Ia memilih hidup asketis, miskin, dan tidak berdaya, demi mendekatkan diri pada bangsanya. Ia tak peduli meski dipenjara dengan berbagai tuduhan sepanjang itu dilakukan demi menghentikan aksi sewenang-wenang Inggris. Tubuhnya yang hitam dan renta hanya dibalut selembar kain putih. Badannya yang kurus terlihat jelas. Bicaranya tetap fasih dan menggetarkan warga yang selalu datang minta petunjuk. Lewat laku spiritual seperti itu, ia menjadi idola seluruh publik. Dalam kemiskinan itu, ia lalu menyusun strategi. Ia melihat betapa warga India begitu tergantung pada produk Inggris yaitu garam dan pakaian. Gandhi lalu mengorganisir seluruh warga untuk jalan kaki ke lautan. Di situ ia mengambil air laut dan mengolahnya menjadi garam. Ia menyerukan agar berhenti menggunakan produk Inggris.

Aku paling tersentuh adegan saat melihat Gandhi menggunakan alat penenun dan menenun kainnya sendiri. Jutaan warga India ikut menenun biar tidak memberi ruang bagi Inggris untuk melestarikan ketergantungan. Ia telah mengajarkan cinta sekaligus kemandirian pada kekuatan sendiri. Ia mengajari warga India untuk tidak menjadi barat dan tak malu, apalagi minder, pada identitas India. Ia tak bergeming dengan propaganda Inggris kalau India itu jorok, kumuh, dan rusak. Ia punya cinta dan lewat itu ia menghentikan seluruh kerusuhan. Bahkan, ia menghentikan kekejaman Inggris pada India hingga akhirnya India bisa merdeka. Di saat merdeka, ia menolak jabatan dan meminta pengikutnya yaitu Pandit Jawarharlal Nehru untuk menjadi pemimpin. Ia menolak jabatan dan memilih menjadi rakyat jelata yang hanya memakai selembar kain dan tidak pakai sandal. Semuanya dilakukan dengan cinta yang dimanifestasikan lewat puasa.

Aku rasa, Gandhi menjadi monumen besar yang dipahat dalam sejarah peradaban manusia. Ia berhasil menjadi bentuk lain dari keunikan manusia di abad 21 yang kian materialistis dan mendewakan materi hingga mengincar kekayaan dengan berbagai cara. Ia juga menjadi prasasti dari cinta kasih yang mengejawantah dan sanggup membebaskan bangsanya. Lantas, apa yang tersisa dari Gandhi? Yang tersisa adalah India yang perkasa. Penguasaan atas teknologi informasi dan nuklir yang kian meninggi, perlahan menggeliat menjadi raksasa ekonomi hingga mengancam AS, serta sebuah negeri eksotik di mana warganya masih melestarikan meditasi, yoga. Lewat itu mereka memasuki gerbang modernisasi. Lantas, bagaimana dengan bangsa Indonesia? Tanyalah pada rumput yang bergoyang.

Stress Mikir Ujian

Minggu depan, beberapa mata kuliah sudah mulai ujian. Kayaknya, puncak masa stress perkuliahan sebentar lagi akan menjelang. AKu udah deg-degan membayangkan betapa beratnya ujian ini.

AKu sudah mulai belajar keras. Targetku adalah bisa lulus dengan nilai yang maksimal. Setidaknya itulah pencapaianku untuk semester pertama di kampus kuning ini. Aku tak muluk-muluk. Rasanya kuliah ini begitu berat bagiku. Bukan karena materinya yaa. Aku merasa berat memikirkan bagaimana menghadapi masalah keuangan saat kuliah. Inilah bedanya antara aku dan teman-temanku.

Kalau mereka bisa kuliah dengan lancar dan tak ada masalah, aku jusru penuh dengan persoalan. Konsentrasiku kerap buyar kalau memikirkan keuangan yang hingga kini belum stabil juga. Makanya, kalaupun hasilnya tak maksimal, mungkin itu adalah konsekuensi dari beratnya menghadapi persoalan keuangan.

Tapi saya belajar untuk menghadapinya dengan pnuh keseriusan. Dari semua mata kuliah, palingan cuma satu yang aku rasa agak bermasalah. Itupun mata kuliah pilihan saja. Setelah itu, semuanya berjalan lancar dan tak ada masalah berarti.

Na, hal yang paling berat aku pikirkan sekarang adalah bagaimana biaya kuliahku nanti? AKu stress kalau mengingat kenyataan harus membayar SPP pada bulan Januari ini. Soalnya, untuk uruisan ini, UI begitu kejam dan kadang tak peduli dengan persoalan yang dihadapi oleh mahasiswanya. Rasa-rasanya tak ada ampun bagi siapapun yang tidak bayar. Itu yang banyak terjadi pada tyeman mahasiswa Makassar yang kemudian gagal merampungkan studi.

Aku ingat kalau masih punya honor penelitian dari Kak Makbul sebesar Rp 500 ribu. Kemudian, masih ada sisa gajiku di PT VSM sebesar Rp 2 juta. Masih ada honor buat buku untuk KBRI Malaysia. Cuma, jumlahnya aku belum tahu. Di luar itu, akua belum punya sumber duit yang lain. Kayaknya, aku harus bekerja keras dan melakukan gerilya demi bisa menuntaskan kuliah ini.

Itu belum seberapa jika membayangkan bagaimana harus mencukupi kebutuhan makan minum setiap hari. Ah, ingatan itu cukup mengganggu persiapan menghadapi final test ini.

Arjun Appadurai dan Sensasi Globalisasi




SEMALAM aku membaca beberapa wawancara dan tulisan dari antropolog India yaitu Arjun Appadurai. Aku tertarik membaca Appadurai karena nyaris dalam setiap literatur globalisasi, nama Appadurai pasti disebut. Ia memiliki concern yang sangat dalam pada studi tentang globalisasi sebagai sebuah gejala kebudayaan kontemporer. 

Aku rasa, analisis Appadurai lebih jenial jika dibandingkan dengan Alvin Toffler yang terkenal itu. Meski bacaanku pada Toffler tidak banyak, namun aku bisa merasakan kalau Toffler hanya berkutat pada masa depan (maklumlah, ia kan futurolog), sedangkan Appadurai justru menyelam jauh ke dalam masa kini dan masa lalu. 

Ia menelusuri dampak globalisasi serta menjelaskan fenomena ini ke dalam berbagai istilah mulai dari ethnoscapes, mediascapes, technoscapes, financescapes, dan ideoscapes. Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan Appadurai dengan Toffler. Tidak kok. Aku hendak berkata kalau studi Appadurai tentang globalisasi sungguh unik. 

Selama ini, wacana globalisasi banyak diwarnai oleh analisis ekonomi politik internasional. Aku jarang menemukan analisis terhadap globalisasi yang melihatnya dari sisi kultural serta implikasi metodologisnya pada perubahan sosial. Kalaupun ada yang menganalisis aspek kultural, maka biasanya itu dilakukan para sosiolog dan analisis itu kerap hanya berada di permukaan dan tidak menyelam jauh ke samudera persoalan. 

 Namun Appadurai berbeda. Aku melihat Appadurai sebagai seorang "Dilthey India" yang melakukan kritikan pada sejarah hari ini sekaligus membangun proyek epistemologi yang tidak didominasi oleh tradisi positivistik. Tidak dikuasai oleh pandangan yang Eropasentris atau wacana dominan sebagaimana digunakan "barat" ketika memandang "timur." 

Wajar saja kalau nama profesor ini kemudian ditempatkan pada gerbang pemikir cultural studies sebagaimana Edward Said, Stuart Hall, ataupun Michel Foucault. Appadurai juga melakukan refleksi internal sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Talal Asad dalam karyanya Anthropology and The Colonial Encounter. 

Refleksi ini bermuara pada gagasan kalau ada krisis atau masalah dalam dunia epistemologi. Bahwa ada mekanisme kuasa yang tengah bekerja dan bersemayam di balik sains. Sesuatu yang kemudian digunakan sebagai lanjutan dari proyek kolonialisme dan imperialisme. Mungkin refleksi itu bisa dilakukan karena ia dibesarkan di India sebagai bagian dari negara dunia ketiga. 

Justru dengan identitas India itu, Appadurai kemudian memiliki ciri dan wawasan tersendiri ketika menjadi konsultan senior di Global Initiatives at The New School di New York. Di kota New York pula, Appadurai mendapatkan penghargaan kehormatan sebagai profesor sebagaimana John Dewey dalam bidang ilmu sosial. 

Hingga kini, Appadurai menjadi Provost and Senior Vice President for Academic Affairs at The New School. Ia lahir dan belajar di Bombay. Dia belajar di St. Xavier's High School and melanjutkan pendidikan di Elphinstone College sebelum datang ke Amerika Serikat (AS). Dia meraih gelar BA dari Brandeis University pada tahun 1967, dan gelar M.A. (1973) serta Ph.D. (1976) dari Universitas Chicago. 

 Nah, apa yang khas dari pandangannya tentang globalisasi? Appadurai menguraikan kalau globalisasi bukan sekedar proyek homogenisasi. Homogenisasi ini menjadi concern studi dari para pengamat globalisasi seperti Francis Fukuyama, Dennis Goulet, ataupun dari beberapa pengamat media massa seperti Hammelink dan Schiller.

Jika yang lain melihat adanya proses penyeragaman budaya, maka Appadurai justru melihat perubahan yang tidak berlangsung secara linear. Menurutnya, ada respon lokal atau adaptasi secara lokalitas terhadap semua proyek keseragaman tersebut. Respon itu kemudian melahirkan sebuah bentuk heterogenitas. Adaptasi lokal ini menyebabkan adanya variasi atau keberagaman dalam merespon satu kebudayaan. 

 Hadirnya Coca-Cola tidak lantas membuat warga Indonesia serentak menjadi anak kandung kebudayaan barat. Tapi terjadi adaptasi dan respon yang bisa jadi berbeda dengan barat. Jangan heran kalau melihat warga Indonesia menganggap makan di McDonald sebagai hal yang mewah, padahal di AS itu justru dilihat sebagai “junk food” atau makanan sampah Appadurai juga melihat proses perubahan kebudayaan itu terjadi pada cakupan atau scope yang kecil. 

Ini bisa menjelaskan kalau Korea sempat mengalami proses Jepangisasi, Srilanka mengalami Indianisasi, Kamboja mengalami Vietnamisasi, hingga Rusianisasi untuk orang Armenia dan Baltik. Proses perubahan budaya ini berlangsung secara tidak sadar dan berada pada mindset atau kerangka berpikir. Artinya, globalisasi tidaklah sekedar proyek barat ke negara dunia ketiga namun lebih dilihat sebagai aspek pelebaran ruang yang kemudian membawa implikasi pada aspek metodologis. 

Bukan sekedar aspek geografis tapi lebih merujuk pada aspek psikografis yang bermuara pada gaya hidup dan sikap dalam memandang sesuatu. Lantas, apa yang menyebabkan perubahan itu? Appadurai melihat aktivitas kebudayaan yang kerap disebutnya sebagai IMAJINARY atau proses imajinasi sosial. 

Menurtnya, iamajinasi itu dibentuk dari lima dimensi mengalirnya kebudayaan global yaitu Ethnoscapes, Mediascapes, Technoscapes, Financescapes, Ideoscapes. Istilah SCAPE, digunakan untuk menggambarkan secara lebih dalam konstruksi perspektif yang ada dalam sejarah, linguistik, dan politik, yang diperankan secara berbeda oleh sejumlah aktor dalam konteks nation-state, multinasional, komunitas diasporik. 

Ini juga termasuk kelompok sub nasional yang berpindah-pindah seperti halnya agama ataupun ekonomi politik. Gagasan ini berasal dari Benedict Anderson yang terkenal dengan tesisnya tentang IMAGINED COMMUNITY atau komunitas terbayang. 

 Dalam pandangan ini, apa yang disebut identitas tidak lebih dari sebentuk konstruksi pemikiran atas sesuatu. Tidak lebih dari bentuk idealisasi atau proses membayang-bayangkan sesuatu. So, apa yang disebut sebagai lokal-nasional, Bugis, Jawa ataupun Indonesia, tidak lebih dari proses membayangkan sesuatu itu. Bagi Appadurai, imajinasi adalah bagian dari praktik sosial. 

Sebentuk fantasi yang membuat kita seakan lari dari realitas dan lari dari bentuk dunia yang dibentuk dari sejumlah strutur dan asumsi-asumsi. Imajinasi menjadi field yang terorganisir dari praktik sosial. Bentuk negosiasi antara agen individual dan global. Negosiasi ini disebut Appadurai sebagai fields of possibility. 

 Ah, capek. Cukup sampai sini aja yaaa.....


Pesona Intelektual dan Rekahan Apresiasi

1 Desember 2006

KEMARIN aku menghadiri diskusi di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Sebuah diskusi yang interaktif dan seru. Temanya adalah Warisan Geertz untuk Indonesia. Pembicara yang hadir adalah Ignas Kleden, PM Laksono, dan Eri Seda.

Dalam jadwal tertulis kalau acara ini akan dimoderatori oleh Iwan Tjitra Djaja. Ternyata, hingga acara dimulai, Iwan tak juga hadir. Akhirnya, diskusi tetap digelar, meskipun menghadirkan seorang moderator pengganti. Sayang sekali, padahal beberapa teman sesama mahasiswa UI justru ingin melihat Pak Iwan mengadu argumen. Tapi tak apa.

Selain digelar Kompas, acara ini menghadirkan sejumlah penulis opini Kompas. Di antaranya adalah Effendy Gazali, Budiman Sudjatmiko, Agus Muhammad, Dita Indah Sari, Sukardi Rinakit, dan banyak lagi.

Aku sendiri hadir dalam diskusi ini sebagai peserta. Seorang teman dari Litbang Kompas mengundangku untuk hadir. Malah, aku juga menerima SMS dari Ignas Keleden yang memintaku untuk hadir dan menyimak gagasannya.

Dalam diskusi ini, relevansi pemikiran Clifford Geertz dibahas. Semuanya memberikan analisis terhadap studi Geertz serta posisi ilmu sosial hari ini. Rasa kagum atas kerja intelektual Geertz sangat terpancar di forum ini.

Barangkali, tak ada intelektual Indonesia yang bisa mencapai tataran seperti yang dicapai Geertz, sang profesor antropologi dari Harvard University itu. Ia menjadi prasasti dari dedikasi serta ikhtiar yang begitu dahsyat untuk mengembangkan studi budaya serta upaya untuk memaknai dengan dalam setiap ragam kebudayaan dan fenomena sosial.

Karya Geertz yang begitu banyak mulai dari The Interpretation of Culture, After The Fact, Local Knowledge, Work as Author, Negara Theater, hingga The Religion of Java, menyisakan tema-tema yang tak pernah habis dibahas. Satu bentuk persembahan kultural bagi ilmuwan Indonesia untuk mengikuti jejak dan dinamikanya.

Ah, aku tidak ingin berpanjang-panjang membahas tentang bagaimana posisi intelektual Geertz. Di acara itu, aku terkesima melihat bagaimana publik memandang sosok Ignas Kleden.

Apakah yang ada di benak Ignas? Begitu banyak orang yang datang dan memperkenalkan diri kepadanya. Begitu banyak apresiasi atas karya-karyanya yang begitu menggugah dan inspiratif. Bahkan, ada peserta diskusi --yang tak malu-malu-- menyebut buku Ignas yang berjudul Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan sebagai sumber inspirasinya.

Apa pula yang ada di benak ilmuwan yang beragama Katolik ini? Di acara itu ia tampil dengan begitu smart dan menguasai persoalan. Semua pertanyaan dan gugatan dari peserta diskusi bisa ditangkisnya. Pemahamannya begitu luas. Aku paling suka bagian ketika dia menjelaskan cara melihat secara proporsional seorang ilmuwan sosial. Menurutnya, harus dilihat dari dua sisi yaitu pengaruhnya pada body of knowledge (tubuh pengetahuan) dan tools of analytical (alat analisis). Dua hal ini laksana dua kepak sayap elang yang mengangkat ilmu pengetahuan membumbung tinggi ke angkasa.

Cara menjelaskannya begitu dalam. Semua ajakan debat diladeninya. Ia memberikan argumen dari sisi epistemologis. Penguasaannya pada dinamika teori kebudayaan dan ranah filsafat telah membuat Ignas tampil dengan sangat berbeda.

Dan itu menimbulkan apresisasi. Banyak pihak yang selalu mengutip gagasannya. Malah, begitu banyak orang yang ingin sekedar berjabat tangan dengannya

Aku teringat film Beautiful Mind tentang seorang fisikawan peraih nobel yaitu John Nash. Dalam film yang dibintangi Russel Crowe ini, ada beberapa adegan yang menurutku sangat menyentuh dan meninggalkan jejak di benakku.

Pada awal film, John Nash datang ke satu kantin di dekat kampusnya di Princeton University. Ia melihat seorang profesor yang berpengaruh memasuki kantin dan duduk di satu meja. Tiba-tiba saja, semua profesor lain serta tamu yang hadir di kantin mendatangi profesor itu sambil menjabat tangannya serta meletakkan pulpennya sebagai simbol apresiasi.

Nash sangat tersentuh melihat apresiasi itu. Siapa sangka, puluhan tahun kemudian, justru ia yang berada pada posisi profesor itu. Di saat duduk di satu meja, semua profesor tiba-tiba saja datang menyalaminya dan ikut-ikut meletakkan pulpen sebagai tanda apresiasi. Ilmuwan yang selama puluhan tahun menderita skhizofrenia atau penyakit gila itu justru akhirnya mendapatkan apresiasi atas atas kontribusinya pada bidang fisika, ekonomi, serta pergulatan hidupnya yang penuh dinamika. Mulai dari penyakt skizophrenia-nya hingga ketulusan sang istri dalam menyembuhkannya hingga normal dan meraih nobel fisika.

Barangkali agak berlebihan jika menyamakan Ignas Kleden dengan John Nash. AKu cuma melihat titik singgungnya: bahwa intelektualitas bisa memiliki pesona yang menyengat. Sebuah gagasan intelektual bisa melahirkan rekahan apresiasi yang tulus dan tanpa interest. Yang ada adalah sebentuk kekaguman sebagai hasil dari titik tengkar debat dan proses menggeluti sebuah pemikiran secara intens.

Ternyata, masih ada saja ruang untuk apresiasi. Selalau saja ada titik untuk mengharagai potensi intelektualitas. Di negeri ini, masih ada ryuang itu, meski kapitalisme secara perlahan menjerat semuanya hingga kita seakan tergagap.


Tiah Bermalam di Kos

18 November 2006

KAKKAKU TIAH datang dan bermalam di rumahku yang luas ini. Akhirnya, ada juga keluargaku yang datang langsung melihat kehidupanku di Jakarta. Selama ini, mereka hanya mendengar bagaimana susahnya saya di Jakarta.

Kini, mereka sudah bisa mendengar penuturan Tiah yang datang ke Jakarta untuk membawakan presentasi tentang gizi dan kesehatan. Ia adatang bersama suaminya Kak Syam.

Saya menemui mereka di Pusat Perbelanjaan Mangga Dua. Seperti halnya orang daerah lain yang datang, mereka sangat mengagumi kota yang sumpek ini. Mereka tercengang melihat Jakarta dan menilainya sangat megah jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.

Mereka keliling ke berbagai pusat perbelanjaan dan menghabiskan banyak uang. Saya heran juga melihat gaya hidup mereka yang sangat boros. Untuk rekreasi di Dunia Fantasi, Ancol, mereka harus carter mobil sebesar Rp 300 ribu. Padahal, saya sudah kasih saran untuk naik kereta ke Stasiun Jakarta Kota dan membayar Rp 1.500 per orang. Kemudian naik taksi dan bayar cuma Rp 25 ribu.

Katanya sih, mau mengelilingi semua kawasan Ancol. Padahal, untuk mengelilingi Dunia Fantasi di ANcol saja, waktu sehari tidaklah memadai. Kayaknya, mereka dikerjai sama pemilik rumah yang mereka tempati. Mereka dikira orang kaya dari Makassar yang hendak berbelanja dan menhabiskan juang di Kota Jakarta. Yah, itulah persepsi warga Jakarta terhadap kami para pendatang.

Kembali ke borosnya pengeluaran kakakku. Seingatku, mereka sedang membangun rumah. Mereka selalu memikirkan biaya pembuatan pagar. APa boleh buat. Mereka dikerjai.

Semalam, kakakku akhirnya datang melihat kos-kosanku. Saat tiba di kos, ia beberapa kali tercengang. Ia tak menyangka kalau aku memiliki kos-kosan yang begini besar. Ia terheran-heran melihat kos-kosanku yang katanya sangat mewah untuk ukuran mahasiswa.

Saya cuma beruntung saja. Rumah kos ini begitu luas dan baru saya yang menempatinya. Dikarenakan sendirian, saya sering ketakutan di malam hari. Apalagi, seorang temanku di UI sering menakut-nakuti dan mengatakan kalau biasanya ada mahluk gaib yang menempati rumah kosong.

Kalau ditanya tentang apakah percaya sama mahluk gaib, saya selalu menjawab tidak. Saya menjawab itu karena nggak mau dibilang takut. Padahal, sesungguhnya saya sangat ketakutan pada mahluk baik yang bernama setan, iblis ataupun jin.

Saya pernah mendengar seorang antropolog yang mengatakan kalau ketakutan pada mahluk gaib adalah simbol dari kurangnya pengetahuan serta ketidakmampuan menggunakan sains sebagai cara untuk membaca berbagai gejala sosial.

Mahluk gaib juga kerap didefinisikan sebagai manifestasi dari ruang tertentu dalam diri manusia yang gagal mencapai Yang Maha Sempurna. Sebuah bentuk kegagalan mencari jawab secara metafisis atas berbagai persoalan yang dihadapi.

Berbagai defenisi itu tak juga mampu memutus lingkaran ketakutanku. Tetap saja khawatir dan membayangkan tiba-tiba saja ada sesuatu yang aneh. Malah, saat tidur aku suka terjaga kalau ada bunyi yang mencurigakan. Padahal, bisa jadi itu hanya bunyi tikus got yang sedang berlarian di selokan. Atau bisa jadi itu hanya bunyi logam yang memuai akibat cuaca dingin.