Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

SBY Menang Banyak, Prabowo Tak Pernah




SEMINGGU terakhir, peta politik kita menjadi amat dinamis. Mulanya adalah koalisi pemerintah bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Bogor, kemudian berpose dengan penuh senyum bahagia dan seakan meledek. Keesokan harinya, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Bagaimanakah memahami posisi dan peran masing-masing pihak? Siapa yang akan diusung masing-masing koalisi kemudian berhadapan di arena pilpres? Benarkah SBY menang banyak dan menjadi pengendali semua situasi? Siapa menang banyak dan siapa menang sedikit? 

Marilah kita memahami peta politik kita dengan penuh riang gembira.

*** 

PRABOWO Subianto akhirnya bertemu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden dua periode. Keduanya sama-sama berlatar militer. Berasal dari angkatan yang sama. Tapi coba lihat gestur saat keduanya jumpa pers. SBY berposisi sebagai seorang bapak yang bijak dan tenang saat bicara. Sementara Prabowo berposisi sebagai anak yang sibuk melempar kritik. Sesekali dia melihat gestur SBY, apakah kalimatnya benar ataukah salah.

SBY menampilkan sosok seorang priyayi. Kalimatnya tertata. Dia memegang catatan yang dipandanginya dari balik lensa kaca mata. Dengan membaca catatan, dia ingin mengesankan sesuatu yang terjaga. Dirinya sangat berhati-hati dan tidak ingin asal ngomong. Di situ, dia menunjukkan betapa dia pandai menata kata. Gesturnya berbeda dengan Prabowo yang langsung berbicara terbuka, menyoroti pemerintah, lalu menyelipkan pujian pada SBY.

Pertemuan itu menunjukkan betapa piawainya SBY dalam mengendalikan situasi. Dia menampilkan sosok sebagai pemimpin dan pengendali. Sementara Prabowo malah tenggelam di balik pesona dan kharisma SBY. Padahal, Prabowo adalah sosok yang selama ini menjadi perekat kelompok oposisi. Dia adalah anti-tesis Jokowi yang menjadi satu-satunya figur yang menyatukan oposisi.

Wajah Prabowo sumringah. Dia beberapa kali tersenyum. Saat bertemu SBY, Prabowo seakan lupa dengan semua sahabat dan tokoh-tokoh dari partai koalisi yang selama beberapa tahun menjadi mitranya yang setia. Dia lupa bagaimana PKS dan PAN yang selama ini menjadi mitra setianya di parlemen. Di satu layar televisi, seorang kader PKS berulang-ulang mengatakan semoga Prabowo tidak lupa pada kesetiaan partainya.

Di hadapan jurnalis, keduanya belum memastikan siapa capres dan cawapres. Pernyataan mereka sama-sama masih ngambang. Intinya mereka akan berkoalisi, siapa pun capres dan cawapresnya.  Bagi mereka yang berada di sisi oposisi, penentuan siapa pasangan yang berlaga sungguh tidak mudah. 

Memang, di atas kertas Prabowo punya elektabilitas yang paling tinggi di kalangan semua figur oposisi. Dia juga yang paling siap untuk menghadapi Jokowi. Akan tetapi, partai-partai oposisi memikirkan seberapa besar dampak “efek ekor-jas” atau coat tail effect. Maksudnya adalah pengaruh figur pada peningkatan suara di Pemilu. Partai seperti PAN dan PKS mulai ragu dan bertanya, apakah dengan mendukung Prabowo, suara mereka bisa meningkat, ataukah pilihan itu hanya menguntungkan Partai Gerindra? Istilah kasarnya, “Kalau gue dukung elo, lantas gue dapet ape?”

Pemilu kali ini berbeda dengan pemilu sebelumnya. Kali ini, pemilu legislatif digelar bersamaan dengan pemilihan presiden. Siapa pun calon presiden yang dipilih maka akan membawa pengaruh pada suara partai. Efek ekor jas ini dinikmati Partai Demokrat pada tahun 2004 dan 2009 saat mengusung figur SBY sebagai calon presiden. Partai ini berlimpah suara dan menaikkan banyak kader di parlemen. 

Tahun 2014 lalu, PDIP diuntungkan oleh efek ekor jas ketika popularitas Jokowi melejit. Kini, partai-partai koalisi pemerintah yang memajang gambar Jokowi dalam semua sosialisasi. Partai-partai itu yakin figur Jokowi bisa meningkatkan perolehan suara mereka. 

Pertanyaannya, pernahkah partai-partai seperti PAN, PKS, Demokrat memajang figur Prabowo dalam kampanye mereka? Partai-partai itu tahu bahwa figur Prabowo amat identik dengan Gerindra. Jika mereka memajang gambar Prabowo, maka yang menikmati limpahan suara pemilih adalah Partai Gerindra. Mereka hanya jadi penggembira yang bertepuk tangan atas kesuksesan partai berlambang garuda itu.

Bulan lalu, saya sudah katakan bahwa partai-partai oposisi mulai ragu untuk mengajukan Prabowo. Pengalaman di pilkada serentak barusan mengajarkan bahwa Prabowo tidak bisa menjadi figur yang akan mengerek suara dari calon-calon yang mereka usung. Makanya, beberapa partai mulai berpaling ke figur lain. 

Saya sudah pernah menulis bahwa sejak usai pilkada serentak, Prabowo tidak bisa menjadi lokomotif yang menghela semua partai koalisi. Kekalahan banyak figur yang didorong Prabowo di provinsi-provinsi dengan penduduk padat kian membuat kaki-kakinya rapuh. Tanpa banyak hulubalang yang setia di daerah, dia bisa kalah dan bakal menerima nasib sebagai capres abadi.
Lagian, semua partai-partai sudah melakukan survei. Potensi kemenangan Prabowo kecil. Jika dipaksakan untuk didorong, maka sama dengan memasuki arena untuk menjemput kekalahan. Partai ingin menang biar bisa mengatur pemerintahan, biar bisa mengatur ritme kekuasaan, bisa membumikan visi dan idealisme partai (kalau ada), bisa membesarkan kader untuk sirkulasi kekuasaan.

Bukan rahasia lagi jika PAN dan PKS tidak ingin mengajukan Prabowo sebagai capres. PKS malah menginginkan figur lain yakni Anies Baswedan. Rencananya, Anies akan dipasangkan dengan salah satu dari sembilan kader PKS. Partai ini berharap Prabowo bisa legowo dan ikhlas menyerahkan dukungan kepada Anies. Demikian pula hanya dengan PAN. Partai berlambang matahari biru ini juga berharap akan menikmati “efek ekor jas” dengan mengajukan Anies, sebab figur ini tidak identik dengan partai mana pun. Pertanyaannya, apakah Prabowo akan bersedia?

Bagi Prabowo, persoalannya tidak sesederhana itu. Mimpi jadi presiden sudah lama dipendamnya. Dia sudah memasuki arena berkali-kali. Dirinya pun memang masih ingin merebut posisi itu. Ini adalah kesempatan terakhirnya. Jika akhirnya dia diminta mendorong Anies, maka dia berpotensi untuk dua kali ditelikung oleh orang yang pernah didorongnya. 

Pertama, Prabowo dahulu mendorong Jokowi untuk maju di pilkada DKI Jakarta. Saat itu Prabowo berpikir bahwa Jokowi akan membantunya untuk menang di pilpres. Ternyata malah melawannya di pilpres dan mengalahkannya. Kedua, dia juga mendorong sosok Anies Baswedan di pilkada DKI Jakarta. Jika sosok ini maju di pilpres, maka berarti Prabowo dua kali ditelikung dari upayanya menggapai mimpinya bagi bangsa dan negara. Apa kata dunia?

Bagi kader-kader Gerindra, persoalannya tidak sesederhana itu. Bagi mereka, Prabowo adalah figur yang masih menjadi magnet kuat untuk menarik pemilih. Caleg Gerindra ingin menggelar kampanye dengan cara memasang foto diri saat bersanding dengan Prabowo. Jika yang diajukan partai bukan Prabowo, apakah mereka mau memajang foto dengan capres itu? Saya yakin mereka lebih suka memajang foto bersama Prabowo sebagai simbol partai, sesuai dengan motto “Setia Hingga Akhir.”

***

DALAM situasi yang seakan deadlock, pihak Cikeas mulai mengambil alih kendali. Pada mulanya SBY hendak menyodorkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk berpasangan dengan Jokowi. Gerilya telah lama dilakukan. AHY juga sudah roadshow ke daerah-daerah. Pemilih milenial mulai digarap. AHY disiapkan menjadi idola baru, meskipun belum jelas benar apa saja kontribusi atau karya nyata yang dimiliki AHY. Sayangnya, proposal agar AHY digaet Jokowi ditolak oleh partai koalisi pemerintah.

Sebagai seorang ahli strategi, SBY paham bagaimana mengatur ritme dan melakukan lobi politik. Dia menemui Prabowo untuk membahas rencana koalisi. Mereka tak bicara figur yang didorong. Media dan orang-orang berspekulasi bahwa figur yang didorong adalah Prabowo – AHY. 

Di mata saya, duet ini adalah duet yang tidak menarik. Keduanya dari militer yang kemudian mundur. Ada yang dimundurkan, dan ada yang sengaja mundur. Karier mereka tak sampai puncak. Satu dimundurkan saat sudah berpangkat bintang yakni letnan jenderal. Satunya mundur saat masih berpangkat mayor.

Di internal Gerindra, suara-suara kritis mulai mencuat. Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono menyebut AHY sebagai sosok boncel, anak kecil yang tidak punya pengalaman. Biarpun belakangan dia ditegur karena pernyataannya, faktanya dia memang menyampaikan sesuatu apa adanya. Dia tidak ingin Prabowo berdampingan dengan AHY. Dia tidak ingin Prabowo masuk dalam “jebakan betmen.”

Hubungan Gerindra dan Demokrat tidaklah seindah hubungan Gerindra dengan PKS dan PAN. Bersama PKS dan PAN, Gerindra sama-sama menjadi kekuatan oposisi yang kritis pada pemerintah. Sementara Demokrat justru lebih sering menjadi pesaing. Bukan rahasia lagi, sejak dulu hubungan Prabowo dan SBY tidak akur. Meskipun mereka satu angkatan di Akademi Militer, SBY lebih jeli dalam menempatkan posisinya sehingga bisa jadi presiden selama dua periode.

Hubungan dua partai yang tak akur itu terakhir muncul di pilkada Jawa Barat. Tiba-tiba saja Partai Demokrat membangun koalisi dengan partai oposisi lain, kemudian seolah-olah memaksa Gerindra untuk ikut gabung dengan duet Dedy Mizwar dan Syaikhu. Demi menjaga marwah dan gengsi partai, Gerindra memilih mengajukan kader sendiri dan menarik PKS. Gerindra memasangkan kadernya Sudrajat dan kader PKS yakni Syaikhu. Sementara Demokrat akhirnya memasangkan Dedy Mizwar dan Dedi Mulyadi dari Golkar. Poin yang saya amati adalah Gerindra tak ingin masuk dalam skema permainan Demokrat.

BACA: Kiat Membangun Laskar Media Sosial di Era Politik 4.0

Suara kritis juga datang dari PKS. Partai ini mengingatkan Gerindra akan kebersamaan mereka dalam keadaan susah dan senang. PKS ingin agar Prabowo memberikan kursinya ke Anies, yang kemudian menggandeng kader mereka yakni Aher. Ini adalah skenario yang paling diinginkan PKS. Bagi Gerindra, skenario ini juga bagus sebab PKS adalah teman koalisi yang paling setia. Bolehlah membahagiakan kawan seiring yang hadir dalam segala suka dan duka.

Namun manuver SBY bisa membuyarkan semuanya. Koalisi Gerindra dan Demokrat bisa mengajak PAN, sebab dalam pernyataannya, SBY yakin bisa mengajak partai itu. Selama ini juga PAN seakan-akan franchise dari Partai Demokrat, mengingat kedekatan SBY dengan Hatta Radjasa. PKS akan dibiarkan kesepian jika kebersamaan dua partai itu terus melaju.

Jika melihat peta permainan partai oposisi, maka figur yang harus didorong sebagai capres bukanlah Prabowo. Saya menduga kuat, manuver SBY adalah memasangkan Anies Baswedan dengan AHY, kemudian membuat “jebakan betmen” agar Prabowo mundur terhormat. 

Prabowo akan diyakinkan, daripada maju dan kalah, mendingan mundur tapi menang dengan cara lain. Bisa jadi, Prabowo juga berpikir asal bukan Jokowi. Yang penting menang. Tawaran itu diterima. Duet Anies dan AHY akan masuk arena. Demokrat pegang kendali. Demokrat lalu mendorong AHY untuk jadi presiden pada 5 tahun berikutnya. Maka Demokrat akan berkuasa selama 15 tahun. Satu periode menjadi wakil Anies. Sepuluh tahun berikutnya sebagai presiden. Sementara Gerindra dan PKS hanya bisa bertepuk tangan di luar lingkaran inti kekuasaan.

Jika skenario ini berjalan dan Anies Baswedan bersama AHY menang (ini cuma pengandaian), maka SBY menjadi seorang pengatur strategi paling brilian sebab berhasil mengondisikan partai-partai oposisi dalam irama yang direncanakannya. SBY adalah ahli strategi yang dicatat dalam sejarah kita sebagai pemenang paling banyak dalam perhelatan politik.

Sementara Prabowo akan dicatat sebagai nasionalis yang meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya. Prabowo akan dikenang sebagai pemimpin oposisi yang tak pernah sampai puncak. Sejarah akan mencatat dirinya tidak pernah memegang tongkat komando kekuasaan tertinggi. Benarkah? Bukankah sejarah hanya akan mencatat para pemenang?

Kita akan menunggu babak baru dari adu taktik di panggung politik kita dalam waktu yang tak lama lagi.



Berbekal Media Sosial, Anak Muda ini Memenangkan Obama




Apakah Anda seorang politisi yang hendak menenangkan pemilihan, tapi tidak punya banyak uang? Apakah Anda ingin memaksimalkan kekuatan anak muda yang memiliki satu visi yang sama untuk meraih cita-cita bersama Anda?

Tak perlu malu untuk belajar pada anak muda bernama Chris Hughes. Dalam usia 23 tahun, dia telah menaikkan Obama sebagai Presiden Amerika Serikat. Kok bisa?

***

USIANYA baru 23 tahun saat dirinya diminta senator Barrack Obama untuk merancang kampanye kreatif. Chris Hughes menerima tantangan itu, demi membuktikan satu hal yang diyakininya bahwa cara-cara lama dalam memenangkan politik sudah usang. Era internet menuntut orang-orang untuk berkreasi dengan cara baru.

Chris diminta Obama untuk merancang strategi agar senator itu bisa masuk bursa presiden. Chris yakin bahwa sang senator bisa menjadi orang besar yang akan mengendalikan Amerika Serikat. Tapi jalan ke arah itu memang terjal.

Pada musim dingin tahun 2007, Obama bukan siapa-siapa. Lelaki berkulit hitam itu belum diunggulkan. Ia malah kalah pamor dengan Hillary Clinton yang jauh lebih siap dari sisi apa pun. Chris tahu bahwa Obama masih jauh dari kemenangan. Ketika Chris ditunjuk Obama untuk merancang kampanye, orang-orang mencemooh. “Bagaimana mungkin anak bau kencur bisa membawamu ke kemenangan?” kata orang-orang kepada Obama.

Orang-orang tidak tahu bahwa Chris punya sesuatu yang tidak dimiliki generasi tua di Amerika. Ia setiap hari berselancar di media sosial. Ia bisa membangun pesona dan pengikut melalui strategi mengemas pesan. Ia  lalu merancang satu model kampanye yang bisa menyentuh banyak orang, berbiaya minim, serta sangat efektif. Ia lalu berpaling ke teknologi internet. “Tak ada cara lain. Hanya melalui internet, saya bisa menyapa banyak orang secepat mungkin,” katanya, sebagaimana dicatat dalam buku Grown Up Digital yang ditulis Don Tapscott.

Chris tahu bahwa ia tak punya banyak waktu untuk mengetuk rumah. Daya jelajahnya terbatas. Semasa kuliah di Harvard, ia sekamar dengan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook. Di masa awal, Chris ikut mengembangkan Facebook. Ia tahu persis bagaimana jejaring sosial seperti Facebook telah mengubah kehidupan mahasiswa di kampus-kampus, yang membuat mereka cepat terkoneksi dan terhubung satu sama lain. Ia ingin menggunakan kekuatan media sosial untuk mengorganisir kampanye, “mengetuk” jutaan rumah warga Amerika, lalu membentuk citra dan karakter kuat untuk Obama.

Ia lalu merancang website my.barrackobama.com atau My Bo. Dia membangun komunitas online yang beranggotakan jutaan orang. Ia mengadaptasi model kerja organisasi baru di internet. Terkait pesan kampanye, ia tidak membuat satu markas besar, yang lalu berhak mengeluarkan semua pesan kampanye untuk disebar ke mana-mana. Ia tak merancang keseragaman semua pesan kampanye, sebagaimana dilakukan oleh berbagai organ kampanye. Ia memberikan piranti kebebasan bagi semua individu untuk berkreasi di dunia digital, melalui kampanye, pesan berantai, hingga penggalangan dana.

BACA: Kiat Membangun Laskar Media Sosial di Era Politik 4.0

Dia merancang sesuatu yang disebut sebagai platform bersama. Ia melihat Facebook yang hanya menyediakan platform, kemudian diisi oleh semua pengguna. Cara yang dilakukan Chris adalah memberdayakan relawan dan pengguna media sosial sehingga semua orang merasa dekat dengan Obama sehingga rela melakukan apapun untuk membantu Obama menjadi presiden. Chris membangun satu platform kerja yang memungkinkan dirinya mengorganisir semua relawan. 

Cara Chris membangun platform lalu menjadi rujukan bagi semua manajer kampanye. Padahal, yang dilakukannya hanya meniru cara kerja Google dan Facebook. Dua raksasa internet itu hanya menyediakan platform atau ruang yang kemudian diisi oleh warga dunia. Google dan Facebook menggratiskan semua layanan, asalkan orang-orang mau bergabung dan berbagi sesuatu di situ. 

Belakangan, kedua raksasa itu mengelola big data yang berupa kepingan informasi yang dimasukkan semua penggunanya untuk berbagai keperluan. Dua perusahaan itu menjadi kaya raya dan raksasa berkat kesediaan pelanggan untuk berbagi apa pun secara gratis.

Dari sisi politik, yang dilakukan Chris menjadi strategis. Sebab dia tidak perlu turun tangan untuk mengorganisir semua kegiatan. Dia hanya menyediakan platform, yang kemudian dimanfaatkan banyak relawan untuk merancang kampanye kreatif. Perubahan dimulai dari sini.

Hanya dalam hitungan bulan, popularitas Obama terkerek tinggi. Media sosial memainkan peran yang signifikan di lanskap politik Amerika Serikat. Eksperimen Chris tidak sia-sia. Chris sukses mengemas Barrack Obama sebagai harapan baru bagi lanskap politik Amerika Serikat. Ia tidak melakukannya dengan cara tradisional, yakni kampanye, pengerahan massa, ataupun aksi memasang baliho. Ia melakukannya melalui media sosial. Ia melakukannya di Facebook, Twitter, dan berbagai kanal media sosial lainnya.

Chris membuat semua orang berpaling ke media sosial. Para konsultan dan praktisi politik mulai melihat pentingnya mengorganisir semua orang melalui media sosial. Media baru ini tak hanya digunakan untuk berkampanye, di beberapa tempat, media ini juga digunakan untuk mengonsolidasikan kekuatan memenangkan agenda politik. Yang dilakukan Chris menjadi pembelajaran berharga. 

Dua Strategi

Belajar pada Chris dan Obama, maka dua strategi utama yang ditempuh mereka untuk memenangkan kontestasi politik. Dua strategi itu adalah strategi offline dan online. Strategi offline mengandalkan door to door, pertemuan dengan banyak orang, serta aksi massa. Strategi online adalah strategi memaksimalkan media online untuk memenangkan proses politik.

Kita bisa lihat sinergi dua strategi itu pada beberapa hal penting:

Pertama, pengelolaan isu secara kontekstual berbasis internet. Kekuatan Obama adalah bisa menyerap hal-hal baru. Makanya, tugas Chris Hughes bukan hanya menjadi partner diskusi, tapi juga memberikan informasi baru kepadanya. Ketika Obama hendak berkunjung ke satu tempat, maka Chris akan memberikan masukan tentang apa saja topik-topik yang menjadi perbincangan publik di tempat itu.

Di sinilah pentingnya raksasa informasi seperti Google bisa mengolah semua data-data percakapan dan pencarian di internet pada wilayah itu. Data itu lalu dikerucutkan menjadi empat sampai lima topik pembicaraan, yang akan diolah menjadi pidato oleh Obama. Makanya, pidatonya selalu kontekstual. Dia tidak pernah mengulang-ulang kalimat yang sama dalam setiap pidato. Dia selalu punya kebaruan, serta topik-topik yang memang ingin didengarkan orang di satu wilayah.

Kedua, pemberdayaan semua relawan di media sosial. Kekuatan Chris adalah bisa menginspirasi dan menggerakkan semua relawan medsos. Dia lalu melibatkan mahasiswa dan anak-anak muda untuk merancang kampanye-kampanye kreatif yang unik-unik. 

The Kid Who Made Obama President

Chris melibatkan mahasiswa untuk membentuk komunitas muda yang melakukan fundrising atau pengumpulan dana demi mengelola kegiatan kreatif. Misalnya membuat pin, bros, gantungan kunci, kipas, dan banyak hal lain. Anak-anak muda secara sukarela membentuk relawan yang lalu menjelaskan program secara kreatif, menggunakan animasi, foto, kemudian diunggah di media sosial. 

Ketiga, menjadikan relawan sebagai ujung tombak kampanye di media sosial. Demi mengikuti kampanye Obama, maka setiap orang diwajibkan untuk mengisi form yang di dalamnya terdapat informasi mengenai data diri dan alamat email. Semua email yang masuk dikelola dalam satu sistem database dan email gateway center. Dengan cara demikian, pesan email yang dibuat Obama dan tim kampanye dapat diteruskan langsung ke semua email yang telah dikelola.

Anda bisa bayangkan, betapa senangnya seorang warga biasa yang menerima pesan langsung dari Obama. Ditambah lagi pesan-pesan itu sederhana, mudah dicerna, dan berisi pesan inspiratif. Warga itu akan menjadi juru kampanye baru yang lalu menyebarkan semua pesan indah yang diterimanya ke orang lain di sekitarnya. Dia akan bercerita betapa dekatnya dia dengan seorang politisi hanya karena setiap saat menerima email darinya. 

Harap diingat, kampanye paling efektif adalah kampanye yang berbasis mouth to mouth. Dari mulut ke mulut. Anda mendengar dari seseorang, kemudian bercerita ke orang lain. Jika itu terjadi, maka dalam waktu cepat semua orang akan mendapat informasi itu dan memiliki sikap yang sama.

*** 

MASIH banyak strategi Chris Hughes lainnya. Tapi sebagai awal, cukup beberapa kiat di atas dipaparkan. Beberapa artikel lanjutan tentang dirinya bisa di baca DI SINI, DI SINI, dan DI SINI.

Pengaruh Chris sangat besar. Manajer kampanye Obama, David Plouffe, mengatakan, “Teknologi telah digunakan sebagai jejaring untuk menangkap orang-orang dalam kampanye, tapi bukan untuk mengarahkan. Chris melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Dia membangun sesuatu yang memang diinginkan kandidat, tapi sering kali dianggap belum penting. Dia membangun mekanisme virtual untuk mendorong opini publik dan aksi komunitas.”

Chris sendiri tetap rendah hati. Dia menilai apa yang dilakukannya tidak istimewa. Banyak orang yang berpikir sepertinya, tapi tidak punya cara untuk mewujudkannya. Dia hanya mengikuti nalurinya sebagai anak muda yang ingin berbuat sesuatu pada bangsanya, dengan cara menaikkan pemimpin yang benar.

Entah, apa Chris paham. Yang pasti, apa yang dilakukannya adalah sejarah.




Bukan JOKOWI di Media Sosial




DAHULU, kita hanya menemukan aktivitas dan komentar seorang pejabat publik melalui media massa. Kini, sikap, pikiran, dan pendapat mereka dengan mudahnya bisa ditemukan melalui media sosial. Kita menemukan mereka menyempil di tengah barisan warga biasa, menyaksikan mereka dari dekat, dan bisa mengikuti apa saja yang mereka lakukan.

Negeri kita menjadi negeri paling sibuk dan berisik di media sosial. Seorang kawan di luar negeri pernah bertanya pada saya, apa sih yang dilakukan orang Indonesia sampai-sampai menjadi negeri yang tinggi percakapannya di media sosial? Kawan itu tidak paham tentang cebong dan kampret. Dia juga tidak tahu bahwa di sini, bahkan hal-hal seperti etnik dan pilihan presiden bisa membuat tengkar dan debat kusir yang panjang.

Data dari Wearesocial.com juga menyebutkan negara-negara yang terbanyak menggunakan Facebook. Terbanyak adalah India (250 juta orang), Amerika Serikat (230 juta), Brazil (130 juta), Indonesia (130 juta), dan Mexico (83 juta). Anda bisa bayangkan, betapa ramainya perbincangan di media sosial di Indonesia, yang kebanyakan didominasi oleh kaum muda dan generasi milenial. Mereka saling bertukar pesan dan melihat bagaimana respon publik di situ.

Seiring dengan kian banyaknya orang Indonesia yang bercakap-cakap di media sosial, para politisi, pesohor, artis, dan juga tokoh masyarakat ramai-ramai menyerbu media sosial dengan membawa berbagai jargon dan isu. Di antara semua pesohor dan pejabat publik, Presiden Joko Widodo adalah yang paling aktif dan paling massif bergerilya di situ. Di semua lini media sosial, dia selalu memiliki akun pribadi. 

Perlu dicatat, akun Presiden Jokowi bukanlah yang paling populer. Akun milik Prabowo Subianto paling populer di Facebook, dengan jumlah penggemar hingga 9,6 juta orang. Selanjutnya Joko Widodo (7,9 juta), dan Susilo Bambang Yudhoyono (5,9 juta). Namun jika dilihat substansi dan pengelolaan konten secara kreatif, maka Presiden Jokowi adalah pemenangnya.


Tak hanya facebook, twitter, instagram, hingga Youtube pun dirambah Jokowi. Di situ, dia mengabarkan semua kegiatannya yang begitu banyak di negeri luas ini. Publik pun membanjiri semua postingannya dengan komentar. Saya cukup lama menjadi follower beliau di banyak akun medsos. Saya salut pada informasi yang terus-menerus di-update. Dalam sehari, bisa lebih lima postingan di situ. Semua kegiatan Jokowi dicatat secara lengkap.

Namun, belakangan saya mulai tidak tertarik membaca postingan Presiden Jokowi di akun media sosialnya. Saya mencatat ada beberapa hal yang membuat jenuh sehingga postingan itu jadi tidak menarik.

Pertama, media sosial milik Jokowi terkesan satu arah. Kesannya, media sosial hanya sekadar wadah untuk menginformasikan kepada publik apa saja aktivitas presiden. Padahal, publik media sosial, atau kerap disebut netizen, berharap ada interaksi, dialog, atau ajang berdiskusi tentang berbagai topik. Posisi media sosial bagi tim Jokowi hanya sebagai kanal yang memuat aktivitas, tanpa menjadi ruang berdialog atau kanal menampung aspirasi. Semua tanggapan terkesan dicuekkan begitu saja.

Kedua, media sosial milik Jokowi terasa benar dikerjakan tim sukses, bukan oleh Jokowi sendiri. Makanya, informasi yang disajikan adalah informasi ala tim humas yang isinya hanya kebaikan-kebaikan dan aktivitas. Padahal media sosial harusnya menjadi kanal untuk menemukan sisi paling orisinil dari seseorang. Dilihat dari sisi ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih lebih baik dalam mengelola media sosialnya. Publik tahu mana postingan yang langsung dari jemari SBY sebab biasanya ada kode *SBY.

Postingan itu mulai tak beda jauh dengan hasil kerja tim-tim humas di daerah-daerah. Hanya menampilkan kegiatan seremonial pejabat. Padahal, saya berharap bisa menemukan sisi orisinil seseorang di media sosial itu. Postingan yang dikemas tim humas ini jadinya tidak menampilkan sisi paling lucu, paling heboh, dan paling disukai dari sosok Jokowi. 

Dalam banyak postingan, saya malah tidak tertarik mengikutinya karena informasinya sudah ada di media massa. Kalaupun dikerjakan tim humas, harusnya lebih kreatif. Tim harus bisa merekam perasaan sang presiden saat bertemu orang lain, sesuatu yang tak selalu bisa ditangkap oleh jurnalis media.

Ketiga, narasi yang ditulis di situ tidak sesuai dengan gaya tutur Jokowi. Ini sudah pernah disampaikan beberapa blogger Kompasiana saat bertemu Jokowi di istana negara. Saya lupa siapa yang sampaikan, tapi saat itu ada yang memprotes mengapa narasi di medsos kok beda dengan keseharian Jokowi. Sebab kesehariannya terkesan santai, suka bercanda, dan bahasanya sederhana. Sementara di media sosial, Jokowi kadang terlalu serius, penuh data-data dan angka, juga sesekali ngesastra dan serupa novelis. 
Kerja berat tim Jokowi nanti adalah bagaimana memahami gaya bertutur Jokowi, kemudian menjadikannya strategi dalam mengemas pesan-pesan di media. Sebab kekuatan Jokowi ada pada kesederhanaan dan bahasa tutur yang muda dipahami. Tak perlu serius-seriuslah sebab Pakde Jokowi sendiri gak seserius itu dalam interaksi sehari-hari.

Ketiga, kanal media sosial milik Jokowi belum dikelola maksimal melalui strategi online dan offline yang terpadu. Kesan saya, antara kerja online dan kerja offline berjalan sendiri-sendiri, tanpa saling berdialog. Maksud saya, tak ada percakapan di dunia maya, yang seharusnya bisa menampung aspirasi. Seharusnya, tim Jokowi menggunakan kanal itu untuk bertanya kepada publik, yang kemudian dikelola sebagai mekanisme untuk penyusunan kebijakan publik. Jokowi bisa saja bertanya ke warga tentang apa yang harus dilakukan atau tanggapan mereka atas isu politik.

Idealnya, beberapa aktivitas langsung atau offline bisa digelar berdasarkan rekomendasi atau masukan di dunia online. Pengelolaan online harus bersinergi dengan pengaturan kegiatan offline. Jokowi bisa saja berkunjung ke satu lokasi, lalu mengundang orang-orang melalui akun media sosial miliknya. Atau bisa juga memperbanyak kuis, mengadakan sayembara khusus yang bisa diikuti siapa pun, atau secara berkala mengadakan teleconference dengan para penggemarnya di media sosial yang ada di berbagai kota.



Keempat, sistem pengelolaan informasi itu cenderung terpusat. Semua informasi hanya mengalir dari satu kanal, tanpa melibatkan partisipasi publik. Saya paham bahwa dalam konteks akun resmi media sosial, informasi harus langsung dari Jokowi dan timnya. Hanya saja, mesti dipikirkan bagaimana mekanisme pelibatan publik dalam diseminasi informasi tersebut.

Saya membayangkan, semua relawan Jokowi lalu membentuk kluster-kluster atau kelompok di semua wilayah, sehingga setiap ada informasi, langsung disebar secara cepat di kanal-kanal yang selama ini tidak dijangkau Jokowi. Model kerja ini bisa menyiasati keterbatasan jangkauan akun Facebook milik Jokowi sehingga bisa menjaring penggemar dari banyak sisi.

Kelima, akun media sosial Jokowi belum dikembangkan sebagai platform politik untuk menampung semua persoalan yang dihadapi masyarakat, juga belum bisa menjadi sarana advokasi atas semua kepentingan publik. Jika saja dikembangkan ke arah itu, maka kanal media sosial itu akan menjadi jendela bagi warga untuk menyampaikan keluh kesah, yang selanjutnya akan diverifikasi tim Jokowi, yang akan memberikan laporan dan update sejauh mana keluh kesah itu disampaikan.

Jika saja media sosial itu menjadi jendela bagi Jokowi untuk menampung masukan dalam penyusunan kebijakan publik, maka ruang-ruang publik itu akan menopang demokratisasi serta membangun kedekatan seorang kepala negara dengan warganya. Kebijakan bisa dikawal prosesnya, sekaligus bisa pula dipantau hasilnya, yang kelak akan memberikan efek positif dalam kerja-kerja Jokowi.

*** 

TAK ada gading yang tak retak. Meskipun ada celah, tetap saja akun media sosial Presiden Jokowi menjadi model paling bagus dalam pengelolaan media sosial di tanah air kita. Melalui akun media sosial itu, kita bisa melihat secara langsung apa yang dirasakannya, serta apa saja yang dilakukannya untuk tanah air Indonesia.

Bagi sebagian besar netizen, maka Jokowi seakan hadir dan berdialog langsung. Tapi bagi sebagian lainnya, akun itu hanya menambah satu kanal informasi yang semuanya mudah ditemukan di banyak media massa.






Kiat Membangun Laskar Media Sosial di Era Politik 4.0




Apakah Anda seorang politisi yang sedang butuh cara untuk menjangkau banyak kaum milenial yang sering berkeliaran di media sosial? Apakah Anda seorang calon presiden atau kepala daerah yang butuh strategi agar semua postingan bisa viral lalu disukai generasi milenial? 

Jika ya, bacalah artikel ini dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. 

***

SUATU hari di tahun 2014, seorang kawan mengajak saya untuk mengelola satu fanpage di Facebook bertemakan cinta. Pada dasarnya saya bukan orang yang suka memosting tema-tema cinta. Tapi, melihat jumlah follower aktif dari fanpage itu yang mencapai jutaan, saya tertarik. Saya penasaran ingin tahu apa manfaatnya.

Yang dilakukan sederhana. Kami hanya konsisten memosting kalimat-kalimat cinta yang kemudian langsung mengena di hati generasi milenial. Secara sukarela, para anggota  yang kemudian secara sukarela menyebarkannya secara viral. Dalam sehari, saya bisa menyiapkan tiga kalimat indah, rayuan, ataupun kisah-kisah inspiratif yang disebarkan hingga ribuan kali dalam sehari.

Sebulan jelang pemilihan presiden, pihak Facebook menutup fanpage itu dengan berbagai pertimbangan. Saya tidak tahu persis apa pertimbangannya. Saat itu, beberapa rekan sesama admin kemudian tersebar. Beberapa admin langsung laris manis di kalangan para politisi ataupun pengguna jasa social media marketer. Seorang di antaranya diajak menjadi salah satu tenaga ahli dan pengelola media sosial dari salah seorang calon presiden yang menjadi penantang Jokowi. Saya sendiri memilih jadi seorang pengangguran yang amat suka diajak ngopi.

Salah seorang kawan lain bekerja di DPR untuk seorang politisi muda terkenal yang mengelola akun di media sosial hingga punya follower aktif yang banyak. Jurus yang dipakai di fanpage bertema cinta itu digunakan. Sang politisi cepat sekali diterima generasi milenial. Setiap hari dia berinteraksi dan saling sapa melalui media sosial. 

Bahkan, ketika berkunjung ke daerah pemilihan (dapil), dia mengumumkan ajakan untuk bertemu di satu tempat dengan follower-nya. Sungguh mengejutkan ketika yang hadir sangat banyak. Jauh melampaui ekspektasinya. Ternyata media sosial bisa menjadi sarana yang sangat ampuh untuk mengumpulkan orang-orang, memviralkan ide-ide dan gagasan positif, lalu menjadi senjata untuk melakukan transformasi sosial.

Di situ, saya menyadari betapa besar potensi mengelola fanpage yang anggotanya ratusan ribu hingga jutaan. Ternyata, mengelola fanpage bisa menjadi kekuatan bagi seorang politisi untuk menyentuh banyak kalangan, lalu mengelola mereka menjadi barisan relawan yang secara sukarela mengampanyekan seseorang ke mana-mana. Sepanjang konten bisa dikelola dengan baik, maka konten itu bisa tersebar dengan amat cepat, yang sering kali tak terduga.

Ternyata, media sosial bisa menjadi senjata.

***

INDONESIA akan segera menggelar panggung pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Di banding sebelumnya, pemilu kali ini terasa berbeda. Benar kata Jusuf Kalla, kampanye pemilu dan pilpres tak lagi identik dengan pengerahan massa dalam jumlah banyak yang bisa memacetkan lalu lintas. Tapi kampanye bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan semua saluran dan teknologi yang bisa menjangkau banyak orang.

Dalam amatan saya, di era yang disebut para pengamat sebagai era 4.0 yang ditandai dengan dunia digital dan era internet of things, cara pandang terhadap politik juga mengalami pergeseran.

Pertama, di era 4.0, kerja-kerja pemasaran politik harus diarahkan pada bagaimana menguatkan jejaring relawan, sehingga politik menjadi kerja-kerja bersama yang melibatkan banyak pihak. Politik seyogyanya dikelola menjadi misi bersama yang harus digapai demi memperjuangkan berbagai agenda-agenda penting untuk bangsa.

Di negara seperti Amerika Serikat (AS), kerja-kerja politik dilakukan dengan merekrut relawan yang memiliki visi dan misi yang sama. Di negeri kita, kerja relawan adalah kerja tim sukses yang targetnya hanya bagaimana mengumpulkan massa, tanpa menyiapkan landasan kuat sehingga kegiatan politik menjadi lebih berdaya.

Kedua, politik di era 4.0 akan fokus pada keseimbangan antara kerja-kerja offline dan kerja-kerja online. Yang dimaksud offline adalah kegiatan politik melalui temu kader, kunjungan, kampanye, dialog, anjangsana, pelatihan, ataupun aksi spanduk dan baliho. Sedang kerja online adalah memaksimalkan semua jaringan media sosial sehingga pesan dan visi-misi diketahui semua khalayak.

Politik di era 4.0 adalah bagaimana menggunakan jaringan media sosial yang efektif dan efisien. Hipotesis yang dibangun adalah semakin banyak likers, maka semakin tinggi elektabilitas. Mengapa? Sebab generasi milenial adalah generasi yang sukar dikendalikan dalam skema politik yang penuh mobilisasi. Generasi ini adalah generasi apolitis yang harus didekati dengan cara-cara unik. Mereka harus diyakinkan, dibujuk, diberikan fakta, sehingga secara sadar mau menjadi relawan yang membantu seorang politisi.

Ketiga, politik di era 4.0 akan memberikan penguatan pada bagaimana membangun infrastruktur teknologi dalam mengelola semua isu dan jaringan relawan. Politik dikelola dengan cara profesional dan berbasis teknologi. Suara publik bisa dipantau melalui percakapan media sosial. Pemilihan isu kampanye bisa ditemukan melalui analisis atas keyword atau kata-kata kunci yang sedang marak di internet pada satu lokasi. Seorang politisi bisa bicara lebih efektif seba sebelumnya punya pemetaan detail tentang apa saja yang dilakukan dan dibicarakan di dunia maya.

Tak hanya itu, para calon pemilih bisa dideteksi melalui teknologi informasi. Algoritma Facebook dan Google bisa dengan mudahnya mempertemukan kita dengan pemilih di satu lokasi, sehingga memudahkan kita yang hendak menyebarkan pesan secara viral agar dilihat oleh calon konstituen kita. Kita pun bisa dengan mudah mengevaluasi semua isu yang diviralkan, melihat kembali sejauh mana jangkauan, seberapa disukai publik, setelah itu menyusun perencanaan matang bagaimana “menggempur” media sosial dengan isu-isu tertentu.

***

Kata kunci yang harus dipegang untuk memenangkan pertarungan di era politik 4.0 adalah kuasai generasi milenial. Sebab beberapa lembaga sudah melansir fakta bahwa pemilih akan didominasi oleh generasi milenial yang berusia pada rentang 15-39 tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah generasi milenial pada tahun 2019 adalah 48 persen, yang kesemuanya adalah wajib pilih.

Melihat potensi suara yang begitu besar, beberapa partai dan kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi pemilu sudah mulai dengan serius melirik dan menarget generasi milenial. Hampir semua politisi, partai politik, dan organisasi politik berusaha memikat generasi milenial dengan cara memasuki rimba media sosial, tempat generasi ini berinteraksi.

Namun, banyak politisi yang justru merasa gagap ketika memasuki dunia ini. Banyak politisi ataupun calon presiden berdandan ala generasi milenial, mengenakan celana jeans, rambut dengan model kekinian, lalu tersenyum sembari mengalungkan sejadah di pundaknya. Ada juga calon presiden yang ikut dalam rombongan motor vespa, atau menaiki motor keren tanpa spion, juga menggelar kompetisi game online di satu kota.



Banyak politisi yang justru mengira bahwa ketokohan di dunia nyata pasti akan berdampak di dunia maya. Ini keliru besar. Sebab dunia maya adalah dunia yang egaliter dan tanpa hierarki. Tak ada orang hebat di situ. Semuanya dalam posisi setara dan berinteraksi. Bahkan seorang mantan ibu negara bisa didebat dan ditentang oleh seorang warga biasa.

Maka seorang politisi tenar amat terkejut saat dirinya hanya diikuti segelintir orang. Dia pun harus pandai membangun komunikasi yang egaliter, bukan searah sebagaimana sering dipraktikkannya di ruang-ruang sosial. Demi memikat generasi milenial, seorang politisi mesti menempatkan dirinya sebagai warga biasa, yang berinteraksi tanpa ada sekat, kemudian memosisikan semua orang sebagai sahabat atau mitra dekat.

Prinsip-prinsip ini memang sederhana. Tapi akan begitu sulit dipraktikkan oleh mereka yang selama ini terbiasa ditinggikan oleh orang lain. Di dunia maya, Anda harus menjadi diri sendiri dan menanggalkan pola komunikasi yang berharap sanjungan atau kesopanan di atas rata-rata. Anda harus siap untuk didebat seorang anak kemarin sore, tanpa harus kehilangan harga diri Anda sebagai seorang politisi.

Pengelolaan media sosial ini menjadi penting. Sebab media sosial bukan lagi arena yang dipandang sebelah mata. Media sosial menjadi gerbang untuk memahami dinamika isu dan percakapan masyarakat. Media sosial juga bisa menjadi ruang untuk menyebarkan satu ide yang kemudian didiskusikan warga, sehingga berkembang menjadi luas.

*** 

Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan untuk mengelola media sosial dengan efektif? Apakah yang diperlukan agar kita punya armada media sosial yang baik dan bisa memikat hati semua calon konstituen sehingga bersedia untuk menjadi relawan dan membantu kerja-kerja politik?

Saya akan memberikan beberapa kiat praktis.

Pertama, jika tak punya waktu untuk mengelola sendiri, maka bangunlah satu tim media sosial yang tangguh. Kerja-kerja tim adalah bagaimana meningkatkan jumlah follower dan jangkauan media sosial yang beranggotakan orang-orang atau pemilih di satu kawasan. Namun tim ini harus menyadari bahwa kampanye di media sosial bukan dengan cara memasarkan tanda gambar dan foto seseorang secara terus-menerus.

Kerja tim ini lebih pada soft campaign atau mengelola postingan yang punya value dan bisa mencerahkan publik. Yang hendak diubah adalah top of mind publik bahwa seseorang punya kriteria atau ciri sebagai politisi yang bisa dipercaya. Akun seorang politisi yang baik tidaklah menjadi wadah untuk melempar hujatan dan makian, sebab tidak semua orang nyaman dengan itu. Namun selalu memberikan pencerahan, membuka wawasan, serta persuasif dalam meyakinkan orang-orang. 

Belajar pada tim media sosial saat pilkada DKI lalu, skema kerja tim bisa mengarah pada tiga hal. (1) Pusat komando yang merupakan pangkalan data dan informasi, kemudian disebarkan ke semua jejaring cyber army yang tersebar di semua titik, (2)  Tim Social Media Army memiliki pasukan lapangan yang tugasnya adalah mempercepat tersebarnya informasi, (3) Tim Defensif bertugas untuk menyusun klarifikasi dan bantahan di media social, (4) Tim Supportif bertindak sebagai litbang yang mengumpulkan data, fakta, dan riset.

Soal skema kerja biasanya fleksibel dan tergantung pada kebutuhan.

Kedua, Setelah tim terbentuk, buatlah satu pengelolaan konten yang berkualitas. Sebab konten yang berkualitas akan menentukan seberapa banyak orang akan menyukai postingan tersebut. Tim ini secara reguler membuat postingan, serta berpartisipasi dalam diskusi publik di media sosial melalui upaya memberikan komentar, kuliah daring (kultweet), diskusi, sharing informasi



Prinsipnya, satu informasi bisa diarahkan ke berbagai kanal media sosial. Tinggal disesuaikan dengan karakter media sosial itu. Misalnya pengguna Twitter menyukai postingan yang sederhana dan langsung pada sasaran. Sementara Facebook suka dengan postingan yang provokatif, tapi bisa mencerahkan.

Tim pembuat konten kreatif ini tidak hanya beranggotakan pembuat konten yang kreatif, tapi juga beberapa orang yang menguasai IT, yang bisa bantu memetakan apa saja perbincangan publik, lalu merekomendasikan apa saja postingan yang bisa dibuat. Tim IT juga bertugas untuk memviralkan setiap informasi, serta bisa memahami cara kerja dan algoritma Facebook dan Google, serta media sosial lainnya. Tim ini juga harus dilengkapi dengan seorang graphic designer yang tugasnya mengemas postingan jadi menarik sehingga dipahami publik pada berbagai lapis usia.

Ketiga, memperluas jejaring dengan para relawan. Tim harus menyusun tim-tim kecil yang bekerja di setiap komunitas, menyusun kerja-kerja pemberdayaan relawan, serta sering melakukan upgrading dengan semua relawan media sosial. Polanya adalah membuat banyak “peternakan” akun, yang tujuannya adalah membuat satu pesan tersebar secara cepat di banyak komunitas.

Ciri generasi milenial adalah prosumer. Mereka tak ingin sekadar menjadi konsumer, melainkan ingin dilibatkan sebagai produsen yang merancang informasi dan menyebarkannya ke mana-mana. Yang harus dilakukan adalah membangun kerangka pikir yang sama, menyesuaikan ritme kerja dan tema-tema yang akan diposting, serta sesekali membuat ledakan informasi secara serentak sehingga publik medsos akan heboh dan mulai mempertimbangkan pilihan politik pada seorang politisi.

*** 

MENGELOLA media sosial untuk generasi milenial memang gampang-gampang sulit. Gampang sebab Anda hanya mengikuti sejumlah protokol yang sudah dibuat. Sulit karena harus konsisten dan selalu belajar dan meng-update informasi. Makanya, pengelolaan media sosial mirip dengan pengelolaan redaksi media massa. Bedanya, media sosial harus selalu melakukan evaluasi, serta memiliki target dan rencana yang lebih cepat proses eksekusinya.

Jika langkah-langkah itu diterapkan, maka hasilnya akan menakjubkan. Citra seseorang terbentuk. Jaringan relawan yang siap bekerja tanpa bayaran akan tersebar di semua lokasi, serta banyaknya pertemanan yang bisa membuahkan hasil-hasil yang produktif bagi seseorang. Yang terpenting, politik bisa dikelola dalam relasi yang sejajar dan saling membutuhkan.

Konstituen bisa membumikan idealismenya dengan cara mempercayakan pada satu politisi. Di sisi lain, politisi akan bekerja untuk memahami keinginan konstituennya dan secara terukur bisa melihat sejauh mana kiprahnya dalam bekerja untuk orang banyak.



Mandzukic yang Melangkah di Awan


poster Madzukic di Slavonski Board, Kroasia

TAK ada sedikit pun bayangan bagi Mario Mandzukic bahwa Kroasia akan menembus babak final. Datang ke Rusia, dirinya hanya ingin bermain bagus. Syukur-syukur bisa membuat sejarah. Makanya, ketika Kroasia mengalahkan Rusia, dia begitu gembira. Striker Juventus itu mentraktir bir warga sekampungnya di Slavonski Board sebagai pesta kemenangan. 

Media setempat menyebut Mandzukic tidak lupa dengan kampung halamannya. Situs Croatiaweek melaporkan, Mandzukic membayar 25.000 kuna, atau setara dengan 3.400 euro untuk semua minuman warga seusai kemenangan Kroasia atas Rusia. Baginya, itu tak seberapa jika dibandingkan rasa gembira yang tumpah ruah karena sukses mengalahkan Rusia di kampung halamannya. 

Bagi warga Slavonski Board, Mandzukic adalah pahlawan yang mengharumkan nama daerah. Dia seorang pesepakbola yang ulet dan energinya tak habis-habis saat mengenakan baju timnas Kroasia. Dia juga seorang dermawan, yang tak hanya mentraktir bir, tapi juga pernah memberikan uang jumlah besar bagi pemadam kebakaran di kampungnya.

Di Piala Dunia 2018, takdir sedang memihak Kroasia. Tadinya, Mandzukic berpikir hanya datang sebagai penggembira. Ketika mengalahkan Nigeria, Argentina, Islandia, dirinya mulai melihat harapan. Puncaknya adalah ketika timnya berhasil mengalahkan Denmark dalam partai hidup mati saat kedua tim harus menjalani laga adu penalti. Di situlah harapan Mandzukic mulai mekar.

Jalan ke arah takdir itu tak mudah. Seusai menang melawan Denmark, Kroasia kembali harus bertarung hidup mati melawan Rusia. Kembali, pertandingan itu harus diakhiri dengan adu penalti. Mandzukic mengatakan timnya tak sedang bertanding bola. “Kami berperang dan berdarah-darah untuk bisa terus melaju,” katanya.

Tim Kroasia bermain lebih lama dari tim manapun. Saat melawan Denmark, kemudian Rusia, mereka bermain hingga dua kali perpanjangan waktu, kemudian adu penalti. Melalui peperangan itu, mental bertanding mereka terasah. 

“Tekanan terbesar kami adalah saat melawan Denmark di babak 16 besar. Tapi sejauh ini kami sangat menikmati setiap pertandingan di Piala Dunia ini,” kata Mandzukic saat jumpa pers sebelum pertandingan melawan Inggris. Rekannya, Andres Kramaric, yang pernah bermain untuk Leicester saat menjadi kampiun Liga Inggris, juga memberi komentar.

“Kami respek pada Inggris sebagai tim besar. Tapi kami juga berharap Kroasia bisa menjadi negara terkecil yang pernah menjangkau babak final. Inggris bermain dengan cara berbeda. Tapi, mereka harus hati-hati karena ini adalah semi-final. Mungkin, keberuntungan ada pada sisi Kroasia,” katanya.

Mandzukic dan Kramaric benar. Pertandingan itu menjadi milik Kroasia. Kekuatan Kroasia adalah dinamo permainan yang tak pernah usang. Serangan mereka bagaikan air bah, yang tak pernah mengenal lelah. Dari sisi taktik, tim Kroasia biasa saja. Namun, tim ini adalah tim paling adaptif yang bisa mengikuti gaya bermain lawan, lalu menemukan titik lemahnya, untuk kemudian ditekuk dan dipatahkan.

Kekuatan lain yang tak terlihat adalah spirit nasionalisme yang terus berkobar. Saat mengenakan pakaian timnas Kroasia, semangat Mandzukic berkobar. “Saya merasakan sesuatu yang berbeda. Sebuah hal istimewa ketika bisa melakukan sesuatu untuk tim nasional,” katanya. Ketika mengenakan seragam itu, dirinya bukan lagi menjadi pahlawan bagi warga kampung Slavonski Board, tapi menjadi pahlawan bagi semua bangsa Kroasia.

Seorang jurnalis pernah menulis suasana di ruang ganti timnas Kroasia. Di situ, semua pemain melingkari Mandzukic dan pelatih. Suara khas Mandzukic bergema nyaring. “Kita telah menunggu beberapa tahun untuk kesempatan ini. Kemenangan sangat dekat. Kita akan meninggalkan tetes kenikmatan terakhir untuk mencapai mimpi kita. Kita akan siap berperang,” katanya.

Timnas Kroasia memang diisi barisan pemain yang lapar. Sebagai pemain, mereka telah berjaya di klub masing-masing dan pernah dikalungi menjadi juara. Saat bermain bersama Bayern Muenchen, Madzukic pernah memenangkan Piala Champion. Demikian pula Luca Modrid bersama Real Madrid, dan Ivan Rakitic bersama Barcelona. Mereka telah melanglangbuana dalam berbagai pertarungan hidup mati di kancah sepakbola profesional.

Wajar saja jika mereka tak kenal takut. “Kroasia memang punya pemain berpengalaman. Tapi bermain sebagai tim nasional, kami masih hijau. Belum banyak sejarah. Kami respek pada semua lawan kami. Tapi tak ada takut pada kami. Kami sangat percaya pada kemampuan kami,” katanya lagi.

Mandzukic memang seorang pemain besar. Kiper Inggris, Jordan Pickford adalah salah satu fans beratnya. Duel mereka di lapangan adalah duel antara idola dan seorang fans. Mandzukic pun tak ragu-ragu memuji Pickford yang disebutnya punya masa depan cerah. “Dia menunjukkan potensi besar. Saya yakin dia punya masa depan cerah. Tapi saya juga yakin kami punya cara untuk mengejutkannya.”

Maka sejarah baru tercipta. Mandzukic dan kawan-kawan sukses melangkah ke partai final. Dia berhasil merobek gawang Pickford saat babak perpanjangan waktu. Dahulu, pahlawan masa kecil mereka yakni Davor Suker dan Zvonimir Boban hanya sanggup menapak ke babak semi-final. Kini, Kroasia telah melangkah jauh. Bahkan sedikit lagi menggamit piala. Namun, apakah mereka tidak lelah dengan pertandingan-pertandingan lama yang menguras tenaga?

“Lelah? Kami tak pernah lelah. Kami sedikit lagi menggapai semua mimpi kami. Sekarang ini kami sudah melangkah di awan untuk merebut bintang mimpi kami,” katanya sebagaimana dicatat dailystar.co.uk.

Partai final mendatang akan menjadi ajang paling seru untuk menggoreskan sejarah. Satu tim hendak mengulang sejarah sebagai pemenang. Sedang tim lain akan melampiaskan rasa haus dan lapar untuk menggapai kemenangan. Dunia sedang menanti, sembari menyobek lembaran sejarah baru. 

Yang pasti, di partai final itu, semangat Mandzukic akan kembali bergelora saat mendengar semua fans Kroasia menyanyikan lagu Moja Croatia, lagu yang diciptakan rapper Kroasia bernama Slusaj Stoka yang selalu menyatukan semua fans. 

Pobjeda, borba, veselja, nacija… 
Volim te jako, 
Moja Croatia

Kemenangan, pertarungan, sukacita, bangsa ...
Aku sangat mencintaimu,
Kroasiaku


Yang Menjengkelkan dari Gibran Jokowi




WAJAR saja jika banyak yang datang melakukan aksi di depan outlet penjualan martabak milik Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Jokowi Widodo (Jokowi). Sebab Gibran harusnya bertingkah seperti anak pejabat dan penguasa lainnya. Mereka yang melakukan aksi itu mungkin saja hendak mengatakan, Gibran harusnya tahu diri bahwa sebagai putra presiden, dia tak harus merendahkan diri dengan jualan martabak.

Ada banyak suara yang membahas Gibran. Seseorang mengatakan, "Harusnya dia main-main dengan proyek APBN. Dia tak perlu bersusah payah sebagaimana jalan yang ditempuhnya sekarang sebagai pengusaha. Dia cukup datang cengengesan di kantor kementerian, maka banyak dirjen dan menteri akan sukarela membagikan proyek-proyek disertai upeti dan angpao." 

Ada lagi yang berkata: "Harusnya dia belajar pada anak-anak pejabat di negaranya yang dengan mudahnya menjadi kaya raya berkat proyek-proyek yang disetorkan bawahan bapaknya. Kenapa pula dia tidak mau meniti karier di dunia politik, sebab bisa saja mendapatkan karpet merah untuk jadi calon presiden berkat restu bapaknya. Dia tak perlu antrean, sebab ketika dirinya datang, mendadak semua orang jadi petugas partai."

Tapi kok dia malah jualan martabak? Kalaupun dia mau tetap ngotot jualan martabak, bisa saja dia meminta negara untuk menjadikan martabak buatannya sebagai produk nasional yang disajikan dalam semua jamuan kenegaraan, mulai dari level istana sampai desa. Dia cukup bilang ya, maka semua birokrasi akan dengan sukarela melakukannya.

Dia lupa. Di negerinya sendiri, menjadi putra seorang pejabat adalah menempati strata sosial yang berbeda dengan kebanyakan orang lain. Anda cukup ongkang-ongkang kaki dan menunjuk pada titik mana Anda hendak melakukan usaha. Dia cukup melirik seorang pejabat dan pengusaha, maka semuanya akan dibawakan di hadapannya. 

Makanya, Gibran menjadi seorang anak presiden yang menjengkelkan. Tujuan dari dagang atau bisnis adalah mencari untung. Masak dia mau saja menempuh jalan yang panjang dan sukar demi mendapat untung. Bagaimana jika gagal? Apakah dia tidak merasa malu sebab bekerja keras demi sesuatu yang tidak pasti? 

***

ANDAIKAN bisa bertemu Gibran, saya ingin bercerita banyak hal. Tak jauh dari kampung saya, putra seorang bupati ditahan aparat karena terbukti menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kabupaten hingga hampir mencapai angka 10 miliar rupiah. Dia bebas bebas menggunakan dana negara hingga miliaran. Maklumlah, ayahnya bupati. Mana ada yang berani menentang?

Catatan tentang transaksi yang dilakukan pemuda itu memang ada di mana-mana. Ia pernah menutup satu bar ataupun karaoke di satu kota demi menjamu semua teman-temannya. Ia seorang flamboyan yang ke mana-mana bersama para gadis. Seorang teman bercerita kalau terdapat satu kamar jenis presidental suite di satu hotel mewah di Jakarta, yang hanya bisa ditempati olehnya selama setahun. Ia membawar sewa selama setahun penuh, meskipun ia tidak setiap saat ada di Jakarta.

Mungkin, tak masalah jika prilaku berfoya-foya itu menggunakan dana pribadi. Parahnya, ia tak punya usaha ataupun bisnis yang bisa menunjang sikap berfoya-foya itu. Bapaknya adalah seorang bupati yang punya kuasa atas miliaran dana pusat yang dititipkan ke daerah melalui berbagai skema anggaran. Memang, tak mudah mencairkan dana itu. Ada mekanisme yang harus ditempuh. Akan tetapi ayahnya seorang bupati yang bebas mengeluarkan memo kepada bendahara daerah.

Berbekal secarik memo, ia lalu mengontak bendahara daerah. Dengan sedikit ancaman pencopotan dari posisinya. Birokrasi bergerak laksana hamba yang setiap saat memenuhi keinginan sang putra mahkota. Tercatat beberapa kali transfer dana publik ke rekening pribadi. Tercatat pula transfer dana publik ke rumah karaoke, rumah pijat, rumah mode, salon, hingga beberapa resto mewah. 

Birokrasi punya banyak mekanisme yang diperhalus dengan istilah-stilah, misalnya penyegaran, penguatan visi bupati, fit and proper test, hingga berbagai nama lain yang ujung-ujungnya adalah pencopotan birokrat yang tak bersedia menghamba pada kepala daerah. Berani membantah, siap-siap kehilangan jabatan. Jika anda masih joblo, tentu tak masalah. Tapi jika anda seornag profesional yang punya keluarga, maka siap-siap untu menyanyikan lagu “sakitnya tuh di sini.”

Anda jangan terkejut dengan kenyataan ini. Reformasi dan desentralisasi telah memindahkan kewenangan pusat ke daerah-daerah. Di masa reformasi, terdapat banyak wacana untuk menguatkan daerah. Tapi fakta yang muncul cukup menggiriskan. Di banyak tempat, yang muncul sebagai kepala daerah adalah mereka yang tidak punya karakter melayani. Yang muncul adalah transformasi dari kerajaan atau kesultanan ke dalam birokrasi. Kepala daerah adalah raja, yang lain adalah abdi.

Putra bupati menjadi putra mahkota yang juga harus disembah. Jika tak ingin ketahuan sebagaimana kepala daerah yang disebut di atas, ada banyak mekanisme lain. Misalnya menjadikan sang putra sebagai kontraktor yang dimodali ayahnya, kemudian menadah semua proyek pemerintah daerah. 

Dengan cara ini, semua proyek infrastruktur masuk kas pribadi, kemudian digunakan untuk hal lain, misalnya menjadi ketua partai politik, menjadi ketua organisasi massa. Di ajang pemilihan, sang putra mahkota itu lalu menjadi caleg, yang menggunakan kekuatan uang, hingga akhirnya terpilih menjadi anggota dewan. Nanti siap-siap jadi bupati untuk menggantikan ayahnya.

Bisa pula cara lain. Sang putra mendapat jatah kuasa pertambangan, yang kemudian digunakan untuk mengeruk hasil bumi. Kalau cara ini berisiko, ada lagi yang lebih simpel, yakni membeli tanah warga dengan harga murah, setelah itu menyusun ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) lalu membangun infrastruktur di sekitar tanah sang putra. Harga tanah melonjak drastis. 

Kalau masih berisiko, ada lagi cara lain. Buka saja satu toko bahan bangunan, toko makanan, toko alat tulis, toko foto kopi. Nanti semua rekanan pemda diarahkan untuk belanja di situ. Anggaran di-markup, sisakan untuk bagi-bagi, setelah itu simpan mliaran rupiah ke bank. Sang putra lalu kaya-raya.

Semuanya bisa terjadi. Ayahnya kan bupati.

***

MAKANYA, betapa jengkelnya beberapa kawan saya melihat Gibran yang hanya jual martabak. Jika ia tinggal di daerah, ia sudah lama menjadi bahan tertawaan. Ia benar-benar beda dengan keuarga pejabat di daerah-daerah yang sibuk membangun dinasti lalu mewariskan kekuasaan dan juga materi hanya untuk keluarganya. Jika saja ia berpikir uang, posisinya sebagai putra presiden bisa membuatnya kaya-raya dalam sekejap, tak perlu berjualan martabak. 

Ah, mungkin Gibran terlampau lugu. Dia tidak belajar dari putra-putri presiden sebelumnya yang mengeruk dana negara demi mengalirkannya ke perusahaan pribadi. Dia tidak belajar bagaimana putri presiden yang di awal-awal mendapat tender ratusan kilometer jalan tol, lalu mendapat lagi jatah saham hingga lebih 30 persen di beberapa bank terbesar. 

Saudara dari putri itu lalu mendapat monopoli perdagangan cengkeh, jatah 1 dollar dari setiap barel penjualan BBM, penjualan mobil hingga mie instan, usaha penerbangan, ratusan perusahaan tambang, hingga payung hukum negara untuk proyek mobil nasional yang ternyata mobil asal Korea, yang telah dibebaskan bea-masuk agar murah dijual. 

Si Gibran itu memang beda. Kenapa pula ia tidak berpikir untuk membuat banyak yayasan-yayasan, lalu mengelola dana negara di yayasan itu? Dia bisa belajar dari anak pejabat sebelumnya yang membangun masjid dan rumah sakit di mana-mana, namun menyelip sisa anggaran dalam jumlah sangat besar? 

Atau tak usahlah jauh-jauh. Anggaplah Gibran ini malas bekerja dan ingin santai di rumah. Mengapa pula ia tak berpikir untuk menjadi komisaris dari banyak perusahaan yang dengan sukarela akan menyerahkan posisi itu kepadanya, sebagai bentuk upaya “menjilat” kepada ayahnya demi proyek-proyek besar?

Jika saja Gibran membuka mata, mengapa pula ia tak meniru orang-orang yang mengaku relawan, yang merasa berjasa besar menaikkan ayahnya sebagai presiden, lalu teriak-teriak mengkritik demi jabatan komisaris BUMN? Mengapa pula ia tak meniru para politisi yang dulu memaki dan menyebar kampanye negatif ayahnya, lalu setelah ayahnya jadi presiden, para politisi itu datang ke istana dengan bersimpuh lalu cengengesan, sembari berkata, “Apakah bisa kami berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara?” Tapi melalui apa? “Melalui proyek!”

***

TAPI saya justru melihat Indonesia yang lebih benderang dengan kehadiran anak muda seperti Gibran. Dengan caranya sendiri, ia menginspirasi rakyat Indonesia untuk bekerja keras dengan tangan sendiri, keluar dari bayang-bayang ayahnya, berpeluh keringat demi menegakkan kemandirian. Saya bangga melihat seorang anak muda yang memilih untuk memulai dari nol, tanpa harus memanfaatkan posisi keluarga, menggunakan aji mumpung, atau melingkar pada lapis-lapis elite kuasa demi membangun kartel.

Dengan caranya sendiri, anak muda ini telah ‘menampar’ putra-putri pejabat yang hanya bisa memanfaatkan jabatan dan posisi ayahnya demi memenuhi kebutuhan pribadi. Gibran menunjukkan bahwa menemukan jalan nasib sendiri jauh lebih terhormat daripada sikap kongkalikong dan memanfaatkan posisi serta jabatan bapaknya. Bapaknya pun tak kelihatan menyiapkan satu jalan tol baginya untuk kelak menjadi politisi yang punya hak eksklusif untuk menentukan calon presiden.

Gibran memisahkan antara wilayah kerja bapaknya, serta wilayah garis edarnya, dan tak punya niat untuk mencampur-baurkan keduanya. Ia sadar bahwa jabatan presiden adalah amanah. Ia tahu bahwa pada jabatan itu melekat tanggungjawab, kerja keras, bukannya kemudahan-kemudahan dalam berbagai urusan. Ia memilih menjadi rakyat biasa yang bekerja, namun sesekali bisa mencandai ayahnya, yang kebetulan menjabat sebagai presiden di negara kepulauan terbesar di dunia.

Melalui anak muda seperti Gibran, kita bisa berharap pada tanah air Indonesia yang lebih hebat di masa mendatang. Kita berharap akan tumbuhnya lapis generasi baru yang menghadapi derasnya samudera kehidupan dengan mengayuh di atas biduk sendiri, dengan mengembangkan layar sendiri lalu memanggil angin perubahan, demi mencapai pulau kebangsaan yang indah-permai.

Makanya, mereka yang tak suka Gibran lalu berdemo di depan usaha martabaknya adalah mereka yang berharap Indonesia mundur ke belakang, pada era ketika seorang anak presiden bisa semewah-mewahnya dengan menggunakan kuasa ayahnya. 

Mereka yang tak suka Gibran adalah mereka yang masih berpikir ala kerajaan, ketika seorang anak mendapat limpahan semua kemewahan dan pengaruh, bisa melakukan semua hobi mahal, sosialita, dan bisa pilih-pilih teman hanya dari kalangan bangsawan. Mereka yang tak suka Gibran adalah mereka yang mentalnya masih feodal, masih mengira seorang anak pejabat harusnya foya-foya dengan fasilitas ayahnya.

Mereka yang tak suka Gibran adalah mereka yang tak mampu menghargai bahwa setetes keringat dari kerja keras adalah berlian yang jauh lebih bernilai dari apapun. Di keringat itu, ada kemandirian, ikhtiar untuk tegak, serta keberanian menghadapi hidup yang penuh risiko dengan cara berdiri di atas kaki sendiri. 

Di situ ada kekuatan untuk tegak, tanpa harus manja pada orang lain, juga bapak sendiri. Di situ ada pertaruhan bahwa lebih terhormat bekerja dengan tangan sendiri, dengan keringat yang menetes-netes, ketimbang menggunakan sesuatu yang bukan hak.

Salut buat Gibran.