Membingkai Ide yang Berserak Catatan yang Menolak Lupa

Asyiknya Pulang Mudik

Tanggal 26 September mendatang, saya akan pulang kampung dengan menumpang KM Lambelu. Meskipun tak dapat tiket kelas II, namun saya cukup senang bisa mendapatkan tiket kelas ekonomi. Saya bisa membayangkan bahwa nantinya saya akan berjubel dengan banyak orang demi mendapatkan tempat untuk berbaring di kapal. Saya bisa membayangkan bagaimana susahnya berdesakan dan tidur dengan hanya memakai alas tikar. Namun semuanya akan buyar ketika saya membayangkan nikmatnya saat tiba di kampung. Mudik bukan cuma soal merayakan Lebaran saja, namun soal menemukan oase pelepas dahaga kerinduan yang sesaat membuat kita tidak memikirkan pekerjaan atau aktivitas yang melelahkan.(*)


Berapa Biaya Sebulan di Jakarta?

Berapa sih uang yang dibutuhkan selama sebulan agar survive di jakarta? Jawaban atas pertanyaan ini bisa bervariasi. Tergantung pada seberapa kebutuhan dan pengeluaran masing-masing. Namun, kemarin saya ngobrol dengan seorang teman yang bekerja pada satu perusahaan bonafid di jakarta. Tahu berapa biaya per bulannya? Ia menjawab angka Rp 10 juta.

Saya agak terkejut. Perusahaan tempatnya bekerja adalah perusahaan urutan ketiga pembayar pajak terbesar di Indonesia. Mestinya ia hidup sangat berkecukupan. Namun, penampilan temanku itu setiap harinya sama saja denganku. Dandanannya biasa, bajunya juga tidak mahal. Bahkan, saat kami jalan, biaya yang dia keluarkan serba hemat. Ia tak punya kenderaan pribadi sehingga setiap hari menggunakan jasa angkutan umum. Ia hidup sederhana. Barusan ia punya laptop, namun sudah dijual lagi dengan harga miring demi membeli batu bata pembangunan rumahnya.

Lantas, ke mana biaya sebesar itu? Ia menuturkan, biaya itu habis untuk segala keperluan rumah tangganya. Dua anaknya sudah mulai sekolah dan butuh biaya besar sebulan. Biaya sekolah di Jakarta sangat besar kjika dibandingkan biaya di daerah. Kemudian biaya pembelian susu bisa mencapai Rp 600 ribu sebulan. Kemudian keperluan pembantu bisa sampai Rp 1,5 juta. Belum lagi melunasi biaya rumah, telepon, listrik, air, hingga macam-macam. "Biaya angkot saja, saya bisa habis Rp 3 juta sebulan," katanya.

Saya tidak menyangka kalau biaya yang dibutuhkan di kota seperti ini bisa sebesar itu sehingga bekerja di satu perusahaan bonafid sekalipun, tidak menjadi jaminan bakal hidup berkecukupan. Andaikan dia hidup di daerah, maka pasti dana sebesar itu bisa untuk hidup yang sangat layak dan berfoya-foya.(*)


Pelangi di Atas Gelagah Wangi




TUNTAS juga saya membaca buku Pelangi di Atas Gelagah Wangi: Drama Cinta di Senja Kala Majapahit. Buku setebal 704 halaman yang berisikan prahara cinta pada setting masa runtuhnya Majapahit serta bangkitnya Kesultanan Demak ini, saya tuntaskan dalam waktu yang cukup lama, yaitu sekitar seminggu lebih.

Biasanya, jika saya membaca hingga dua minggu lebih, artinya buku itu tidak terlampau istimewa. Saya seakan memaksakan diri untuk bisa menuntaskannya.

Bagiku, buku ini tidak terlalu mengasyikkan. Malah, ceritanya agak membosankan sebab hanya berkisar pada kisah cinta segitiga antara Mpu Janardana, Endang Puspitasari dan Endang Kusumadewi, tiga tokoh dari padepokan yang beragama Syiwa. Belakangan, dua tokoh di antaranya kemudian masuk Islam dan bergabung dengan bala tentara Demak, yang bagaikan air bah meluluhlantantakkan Majapahit. Saya banyak mendapat pengetahuan baru setelah membaca buku ini.

Salah satunya adalah fakta genealogis raja-raja Jawa yang berasal dari satu keturunan. Sejak era Ken Arok menikahi Ken Dedes dan mendirikan Kerajaan Singasari, maka semua keturunannya yang kemudian menjadi pemimpin di Pulau Jawa.

Tatkala perubahan sedang berlangsung dan tatanan berganti, tetap saja keturunan Ken Arok yang menjadi pemimpin. Itu bisa dilihat pada saat berdirinya Kesultanan Demak. Pemimpin kerajaan Islam ini adalah Raden Patah, yang juga merupakan putra Prabu Brawijaya (Raja Majapahit terakhir), yang menikah dengan Putri Campa, asal Cina. Artinya, nujuman pada Ken Dedes –yang konon katanya akan menurunkan semua raja Jawa—bukanlah nujuman isapan jempol.

Fakta lain yang menarik adalah Jawa adalah negeri yang berhamburan dengan ragam mitos serta kepercayaan. Semua tanda alam dilihat sebagai mitos dan di dalamnya ada makna yang harus disibak. Baik suara burung di malam hari hingga pelangi di siang hari ditafsirkan sebagai tanda alam yang hendak mengabarkan sesuatu.

Ketika Raden Patah mendirikan perkampungan di Gelagahwangi, Prabu Brawijaya menyaksikan ada pelangi di atas perkampungan itu, yang kemudian ditafsirkan bahwa ada harapan baru yang bersemi di sana. Dan Majapahit akan segera tenggelam oleh kerajaan baru yang akan segera berdiri di atas Hutan Gelagahwangi itu.

Mitos dan rasionalitas adalah dua sisi koin dalam kosmologi Jawa. Sayangnya, novel ini tidak mengeksplorasi lebih jauh. Novel ini dipenuhi gambaran kisah cinta yang alurnya berjalan seperti sinetron. Saat membaca bagian awal, saya seakan bisa menebak apa yang menjadi kelanjutannya. Namun, itulah tradisi penceritaan ala novel dan sinetron Indonesia.

Kita masih miskin kreativitas dalam mengeksplorasi sebuah cerita. Terlepas dari itu, saya salut juga dengan pengarang novel ini S. Tidjab yang berani menuliskan naskah sandiwara radio menjadi sebuah buku. Saya salut dengan semangatnya.(*)

Buku, Film, dan Secercah Impian

KEMARIN saya diajak teman berkunjung ke sekretariat Jaringan Kerja Budaya (JKB), sebuah lembaga yang bergerak di bidang pengembangan sejarah lisan serta sains sosial kritis. JKB satu kompleks dengan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) serta Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Penggiatnya adalah sejumlah aktivis kemanusiaan di bawah koordinasi Hilmar Farid dan John Roosa. Sudah lama saya ingin berkunjung ke sana. Apalagi sejak membaca karya-karya mereka, khususnya Tahun yang Tak Pernah Berakhir, serta Pretext for the Mass Murder –buku yang banyak mendapat penghargaan di bidang ilmu sosial. Sekretariat JKB terletak di depan Mal Tamini, tidak jauh dari tempat wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Sejak pagi, saya sudah menunggu di Cak Tarno Institute di kampus UI, kemudian sama-sama temanku Dyah dan Riri menuju ke JKB. Saat tiba di sana, saya langsung ke perpustakaan dan saat itu juga saya langsung tercengang. Meski koleksi bukunya tidak sebanyak perpustakaan UI, namun ada ribuan buku bagus tersimpan di situ. Perpustakaan itu menyimpan ribuan koleksi ilmu sosial dan humaniora dalam berbagai bahasa, kebanyakan bahasa Inggris. Tak hanya itu, perpustakaan ini juga menyimpan begitu banyak kaset dan cd yang berisikan transkrip wawancara dengan korban-korban kemanusiaan atau mereka yang dilumpuhkan haknya pada masa Orde Baru.

Buat anda yang hendak melakukan riset ilmu sosial, maka singgahlah sejenak ke perpustakaan ini. Anda tidak akan kehabisan bahan serta bisa berdiskusi dengan mereka yang ahli di bidangnya. Pengelola perpustakaan ini adalah Fauzi. Dia mahasiswa bidang magister di Pascasarjana Sejarah UI. Fauzi orangnya pendiam, dan kerap menenggelamkan dirinya pada banyak bacaan. Hebatnya, ia bisa langsung mengerti buku apa yang hendak kita cari dan bisa menemukan di mana posisi buku itu pada rak yang berjejer di situ. Saat saya datang dan minta dicarikan buku bertemakan memory and history, ia langsung memberikan tiga buah buku yaitu Labirynth of Memory, Memmory and History (karya La Capra), serta The Oral History Reader. Demikian pula ketika temanku Dyah hendak membaca buku dialog seputar Pramoedya Ananta Toer dengan tema kebudayaan. Fauzi langsung menemukan buku yang dimaksud.

Usai membaca, saya diajak melihat gedung yang di sebelah dan berisikan ribuan VCD ataupun DVD film. Melihat semua itu, saya merasa sangat bahagia. Beberapa kali saya pernah bilang pada sejumlah teman bahwa mimpiku adalah memiliki rumah yang di dalamnya ada banyak buku serta film. Bagiku, buku dan film adalah dua hal yang bisa mendatangkan sejuta kebahagiaan bagiku. Membaca buku adalah sebentuk rekreasi yang bisa membawa kita terbang tinggi dan melanglangbuana. Kita tidak hanya berpindah tempat dan lokasi hingga titik terjauh, namun kita juga bisa berdialog dan berdebat dengan penulis buku itu sendiri. Sebuah dialog yang melintasi ruang dan waktu. Bukankah gagasan adalah sesuatu yang tak pernah padam dan tetap hidup meski penuturnya sudah tak ada?

Buku dan film. Dua sisi yang menjadi mimpiku. Saya ingin tenggelam dalam ribuan buku dan film. Saya ingin menceburkan diri dalam derasnya ombak gagasan manusia dari berbagai penjuru bumi. Meskipun boleh jadi saya tidak memiliki gagasan besar dan orisinil, namun saya cukup puas bila bisa berenang di dalam lautan gagasan itu. Saya tak punya cita-cita setinggi gunung. Saya hanya ingin punya rumah kecil dan di dalamnya ada ribuan buku dan film. Dua hal yang menjadi obsesi, mimpi, dan ambisiku.(*)


Lega, Ujian Proposalku Selesai

UJIANKU akhirnya selesai digelar. Perasaanku sangat lega, seolah lepas dari sebuah beban yang sungguh berat. Selama lebih dari dua bulan, saya berjibaku dan bekerja keras demi melewati ujian proposal ini. Banyak hal yang saya lakukan demi melewati hari yang sangat menegangkan ini. Mulai dari membaca banyak jurnal internasional, mengumpulkan banyak data, menuliskan proposal tesis, hingga mengeditnya.

Namun proses yang paling melelahkan adalah bagaimana menjinakkan kekalutan berpikirku yang menganggap ini proses yang berat dijalani. Ketakutan dan kekhawatiran adalah mimpi buruk yang sering membuat langkahku gemetaran sepanjang penyusunan proposal ini. Saya takut kalau-kalau proposal ini justru melenceng jauh dari yang semestinya. Selain itu, saya juga takut kalau-kalau tulisanku tidak standar dan asal-asalan. Selama dua tahun perkuliahan, saya selalu merasa tulisanku jelek, sebagaimana yang pernah dikatakan dua dosenku yaitu Suraya Afiff dan Ninuk Kleden. Keduanya pernah mengkritik caraku menulis. Kalimat kritik mereka seakan mengiang terus di telingaku. Saya ingin membuktikan bahwa mereka salah. Saya ingin mereka tahu bahwa saya bisa melahirkan karya.

Saat konsultasi tesis adalah saat yang melegakan bagiku. Ketua programku Dr Iwan Tjitradjaja (Pak Iwan) mengatakan proposalku tidak cocok diajukan sebagai tesis. Ia bilang, mestinya proposal itu diajukan untuk program doktoral. Malah, beberapa hari sebelumnya ia meneleponku dan berkomentar bahwa proposalku punya kualitas yang excellent. Sementara Prof Achmad Fedyani Saifuddin (Pak Afid) menuliskan catatan di proposalku bahwa proposal ini intensinya besar dan sudah dikerjakan dengan sangat baik. Ia minta agar aku menajamkannya secara metodologis sehingga punya kesahihan yang bisa diandalkan.

Saya sungguh tersanjung dan tak bisa berkata apa-apa. Ternyata, dosen di UI ini begitu gentle dan mengatakan sesuatu secara apa adanya. Ketika proposal itu bagus, mereka tidak segan-segan memujinya. Demikian pula ketika satu proposal jelek, maka mereka akan mengatakan juga hal yang sama secara apa adanya. Inilah bentuk kejujuran ilmiah. Untuk itu, saya merasa diapresiasi.

Saat ujian berlangsung, saya tidak menyangka banyak peserta yang hadir. Mungkin karena judul proposalku cukup menarik dan mencolok mata, menyebabkan begitu banyak mahasiswa pascasarjana yang hadir. Saya melihat ada peneliti sejarah yang namanya cukup populer di kalangan penggiat studi sejarah, ikut hadir dan membuatku agak tegang. Pada awal presentasi saya agak nervous. Namun saat mulai menjawab pertanyaan, saya sudah merasa rileks. Saya mulai bisa menguasai forum sehingga bisa menjawab semua hal-hal yang ditanyakan. Kebanyakan orang-orang menganggap pendekatan memory studies adalah hal yang baru dalam kepustakaan antropologi dan sejarah. Pertanyaan yang muncul berkisar pada hubungan antara memory, sejarah, serta posisi penelitian. Bagiku, semua pertanyaan itu kian menunjukkan bahwa studi ini sangat penting dan bisa menyibak banyak hal. At least, saya merasa lega karena bisa mempertahankan tesis ini dan memberikan jawaban atas semua hal yang ditanyakan. Komentar Direktur Ong Hok Ham Institute, Andi Achadiat, masih mengiang di telingaku. “Saya kira ini adalah sumbangan penting dalam studi sejarah Indonesia.” Saat itu saya cuma menjawab singkat. “Tidak Mas. Saya cuma mau bermaksud menyusun tesis, tanpa punya pretensi sejauh itu. Saya hanya ingin pulang kampung dan menjadi orang biasa,” kataku.(*)

Depok, 17 September 2008


Prof Fedyani Minta Tanda Tanganku

SEBELUM ujian proposalku dimulai, saya menghadiahkan buku yang baru kususun yaitu Menyibak Kabut di Keraton Buton kepada dua penguji. Ternyata, sambutan mereka sangatlah positif dan menghargai hasil karyaku tersebut. Prof Fedyani (Pak Afid) mengaku salut atas pencapaianku tersebut. Malah, ia meminta tanda-tanganku di buku itu. Katanya, “Sebagaimana lazimnya terjadi di dunia ilmiah, biasanya tanda tangan penulis buku sangat penting dan bisa menjadi kebanggan bagi mereka yang menerima buku tersebut.” Wah… saya jadi malu nih.(*)

Depok, 17 September 2008


Seribu Kunang-Kunang di Slipi Jaya


HARI ini saya berbuka puasa di Mal Slipi Jaya, yang terletak di Slipi, Jakarta Barat. Saya diajak seorang kawan yang bekerja di Bank BCA yang terletak di seberang Mal Slipi. Perjalanan ke Slipi cukup jauh juga kutempuh. Dari kampus UI Depok, saya naik kereta AC menuju Cawang, selanjutnya naik bus no 46 menuju Slipi.

Mal Slipi Jaya ini tidak seberapa besar, namun terletak di satu perempatan yang cukup sibuk di Jakarta Barat. Di situ, ada pula flyover atau jalan layang dengan aktivitas kendaraan yang sangat sibuk. Meskipun mal yang kukunjungi ini tidak seberapa besar, namun gedungnya cukup tinggi. Bersama temanku, saya naik hingga lantai teratas dan singgah ke Restoran Solaria. Restoran ini dindingnya dari kaca sehingga pengunjungnya bisa memandang tembus ke keluar dan melihat langsung jalanan yang sibuk di bawah sana.

Saya duduk pada tempat yang paling strategis sehingga pemandangannya sangat mengasyikkan. Dari lantai yang tinggi itu, saya meihat kesibukan dibawah, mulai dari kendaraan yang berjubel, orang-orang yang sibuk dan melintas, hingga jalanan yang tak pernah sepi. Memandang ke depan, saya menyaksikan rerimbunan gedung tinggi yang mencakar langit. Gedung-gedung itu seperti hutan yang seakan menghalangi pandangan mataku yang hendak melihat kejauhan. Menjelang magrib, lampu jalanan mulai menyala. Pemandangannya makin indah. Melihat ke bawah, saya melihat kenderaan yang banyak seperti kunang-kunang di malam hari. Saya tiba-tiba teringat cerpen Umar Khayam yang judulnya Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Mungkin pemandangan yang kusaksikan ini pantas diberi judul Seribu Kunang-Kunang di Slipi. Mirip juga yaa.(*)

Depok, 16 September 2008


Antri Zakat sebagai Potret Negeri Salah Urus

SAYA turut sedih. Sebanyak 21 orang tewas di Pasuruan, Jawa Timur, saat antri pembagian zakat. Demi uang Rp 20 ribu, sejumlah anak negeri ini harus mempertaruhkan nyawa dan menjemput maut. Demi uang Rp 20 ribu, rakyat Indonesia hanya bisa berkelahi dan saling menonjok sesamanya. Sementara di belahan lain negeri ini, ada orang yang terpilih menjadi menteri --yang katanya mengurusi kemiskinan— namun kerjanya hanya duduk manis, namun bisa meraup pemasukan hingga lebih Rp 20 miliar sehari.

Masih bisakah kita bicara keadilan ketika beberapa di antara kita punya hobi mengumpulkan mobil mewah, memakai sepatu mahal dari luar negeri, memakai handphone jenis blackberry seharga lebih Rp 15 juta, sementara masih banyak rakyat lain yang menyambut puasa dengan tangis karena lapar. Masih banyak anak kecil yang hanya bisa menangis lepas di malam hari ketika perut melilit karena lapar, sementara sang ayah masih sibuk bekerja membanting tulang dan sedang antri mendapatkan zakat yang jumlahnya tak seberapa itu. Masih banyak warga Indonesia yang mengais-ngais sampah di sela-sela suara azan yang menggema di pekatnya malam.

Masih bisakah kita bicara kesejahteraan ketika sistem ekonomi kita hanya memberikan akses yang luas kepada kelompok yang berkuasa, namun menutup rapat-rapat pintu bagi mereka yang kecil. Sistem ekonomi yang murah senyum dan memberikan triliunan uang pada kreditur yang kaya, sementara mereka yang miskin tak dapat apa-apa kecuali zakat yang hanya Rp 20 ribu sekali setahun. Adakah tempat bagi rakyat kecil di negeri ini ketika mereka hanya disebut dalam jumlah persentase kecil, yang setiap kali terjadi penurunan angka seolah itu adalah keberhasilan pemerintah. Bukankah mereka yang kecil itu adalah manusia juga yang sedang berjuang lepas dari segala jerat kemiskinan yang membelitnya?

Saya sedih dan hanya bisa menyaksikan. Kemarin, Wapres Jusuf Kalla mengatakan masyarakat Indonesia saat ini sudah sangat sejahtera, lebih sejahtera di banding pemerintahan manapun. Namun hari ini puluhan orang tewas terinjak saat berebut zakat. Mungkin saja ia akan enteng mengatakan, “Ah, santai sajalah. Mereka itu jumlahnya cuma tiga persen saja dari total penduduk kita.” Waduh… inilah negeri yang selalu berakrobat dengan angka, namun miskin empati.(*)

Depok, 15 September 2008


Reuni KKU dan Oase Persinggahan

ALUMNI Ilmu Komunikasi Unhas menggelar buka puasa di Restoran Saung Gading di Sarinah, Jakarta Pusat. Saat datang ke situ, saya baru sadar kalau jumlah kami para alumni Ilmu Komunikasi Unhas sangatlah banyak di Jakarta. Rata-rata, mereka punya pekerjaan yang sangat prestisius, mulai dari produser di salah satu televisi swasta, karywan bank, pengusaha di jaringan bisnis besar, desain grafis di satu production house, sutradara sinetron, hingga jurnalis di sejumlah media besar di Jakarta.

Saya datang ke acara ini dengan mengenakan pakaian batik yang rapih. Saya senang melihat banyak kawan yang sudah sukses. Lebih senang lagi ketika melihat banyak gadis teman kuliah yang sekarang sudah jadi wanita karier dengan dandanan ala wanita karier Jakarta. Mereka tampak sangat cantik. Saat berbincang dengan mereka, mendatangkan perasaan senang di benakku. Ajang reuni dan buka puasa dipenuhi pembicaraan tentang tentang kekonyolan-kekonyolan di masa kuliah. Kami dipenuhi tawa, canda, serta suasana yang akrab sebagaimana layaknya keluarga. Saya jadi ingat kalimat Gegen, salah seorang senior kami di situ yang menginginkan agar keluarga komunikasi bisa menjadi oase persinggahan dari kepenatan kami melewati kemacetan di Jakarta. Kayaknya itu benar.(*)

Jakarta, 14 September 2008


Like A Rolling Stone


SALAH satu penyanyi yang paling saya suka adalah Mick Jagger. Ketika menyanyi, vokalis The Rolling Stone ini tampak seakan sedang bermain-main, sehingga begitu menyenangkan disaksikan. Kadang ia mendelik, mencibir, berbaring atau meringis. Sesekali ia memutar-mutar mike dengan tangannya, kemudian melompat ke arah kerumunan penonton, lalu dipapah menuju panggung. Pernah pula ia menyanyi dan melepas celana jeansnya ke arah penonton yang langsung heboh dan berebut mendapatkan celana sang maestro.

Mick Jagger menjadi sosok yang menyihir. Ia menyanyi dengan lepas, selepas burung merpati yang lepas dari kurungan. Berjingkrak di atas panggung mendatangkan sensasi yang luar biasa, sebagaimana yang dirasakan Picasso saat melukis di atas kanvas. Kita melihat ada teriakan kebebasan dan kebencian pada sesuatu yang diformalisasi, sesuatu yang distandarisasi dengan kriteria estetik. Musik rock adalah ekpresi pemberontakan melepaskan beban hidup yang mencekik. Kanal dari segala penat dan stres menghadapi hari. Kita manusia modern selalu mencari kanal pelepasan. Tak bisakah kita melepas semua rutinitas yang diformalisasi dan mengikuti naluri kita sebagaimana Mick Jagger di atas panggung.(*)


Sahur dan Makan di Hotel

SUDAH empat hari saya bermalam di Hotel Kaisar di Jalan Duren Tiga, Jakarta. Temanku menggelar proyek pelatihan untuk para pemadam kebakaran dan menginap di kamar hotel tersebut. Bersama seorang temannya, ia merasa sunyi sehingga ia kemudian mengajakku. Kami menempati fasilitas kamar yang cukup mewah. Setiap buka puasa atau makan, kami diservis dengan beragam menu yang enak sehingga perut penuh dan tidak terasa lapar selama menjalani puasa.(*)

Jakarta, 11-14 September 2008


Tinju Sang Kiai


KEMARIN saya ke Toko Buku Gramedia di Matraman, Jakarta. Niatku adalah membeli buku terbaru Emha Ainun Nadjib yang judulnya Tinju Sang Kiai. Bukunya cukup mahal, namun tidak seberapa bagi rasa ingin tahuku yang berkobar. Emha adalah salah satu penulis idolaku yang menginspirasi saya ketika pertama membaca sejumlah pustaka yang berat-berat. Ketika saya masih meraba-raba dan belajar memetakan beragam isu, karya Emha sudah hadir menyapaku. Makanya, Emha menempati posisi tersendiri dalam dunia penjelajahanku bersama Pramoedya, Goenawan mohammad, ataupun Ignas Kleden.

Namun, Emha bagiku agak berbeda dengan penulis lainnya tersebut. Analisis Emha bersifat kultural dan membumi sehingga kita tidak sedang melihat terang teoritis yang melangit dalam membaca gejala sosial, kita sedang memasuki cara pikir yang simpel dan membumi dalam cara berpikir rakyat Indonesia. Saya selalu menekankan bahwa Emha itu sangat membumi. Ia tidak menawarkan spektrum persoalan yang luas dan latah mengutip teori asing yang menjemukan. Namun ia berkontemplasi dan menyelam dalam sejarah peradaban dan dinamika manusia Indonesia. Ia mengumpulkan ceceran pengetahuan dalam kebudayaan bangsa, kemudian memandang persoalan dengan cara yang khas sebagaimana rakyat memandang sesuatu. Cara pandang itu kemudian bersintesis dengan cara pandang sufisme yang ditekuninya. Itulah Emha Ainun Nadjib yang melihat sesuatu dengan jernih.


Ujian Hari Rabu

Hari Rabu (17/9) mendatang, saya akan menjalani ujian proposal. Saya akan mempertahankan rencana penelitian saya di hadapan sejumlah guru besar yaitu Prof Dr Susanto Zuhdi (Ketua Departemen Sejarah UI), Prof Achmad Fedyani Saifuddin (Guru Besar Departemen Antropologi UI), serta Dr Iwan Tjitradjaja (Ketua Departemen Antropologi UI).Saya merasa nervous dan agak deg-degan. Namun, semoga semuanya bisa berjalan dengan lancar.

Selama beberapa hari ini, saya di kampus Depok untuk konsultasi masalah rencana penelitianku tentang Ingatan yang Menikam. Untungnya, kedua pembimbingku memberikan motivasi yang sangat berharga sehingga saya merasa lebih percaya diri. Pendekatan studi ingatan yang saya gunakan dianggap tidak masalah dan diminta agar segera diteruskan. Demikian pula dengan pendapatku yang berupaya mensintesakan sejumlah teori besar. Semoga Allah tetap membuka pintu langit untukku. God... give me the power....


Strategi Pengemis di Bulan Puasa

BULAN puasa adalah berkah bagi semua orang. Tak hanya politikus yang membangun citra tentang dirinya di hadapan konstituen, namun seorang pengemis juga melihat bulan ini sebagai momentum tepat untuk meningkatkan besaran pemasukannya melalui sejumlah strategi cerdik dalam memanfaatkan momentum bulan puasa. Jika politikus mencitrakan dirinya sebagai seorang yang religius demi meraup massa, demikian pula dengan para pengemis. Prinsipnya sama yaitu bagaimana memaksimalkan strategi citra dalam meraup keuntungan pragmatis.

Ilmu sosial kita jarang belajar secara arif dari kelompok marginal seperti mereka. Padahal, mereka juga punya dinamika dan menjalani hidup yang penuh strategi atau siasat agar tidak tenggelam di tengah hiruk-pikuk kota. Apa yang mereka lakukan adalah sebuah strategi marketing serta psikologi praktis yang cukup jitu dan langsung bisa diverifikasi di arena di mana mereka berada. Mereka mewakili subkultur kelompok yang juga menggunakan segala strategi atau daya-daya demi bertahan hidup dan tidak menjadi pecundang di tengah persaingan di rimba raya ibu kota ini.

Hari ini saya mengamati tingkah polah pengemis di kereta rute Jakarta-Bogor. Dalam perjalananku menuju kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, saya menyaksikan tingkah polah pengemis di kereta ini yang berbeda dengan biasanya. Di sini ada beberapa jenis pengemis yang kusaksikan. Pertama, pengemis yang meminta belas kasihan dan berjalan membawa kaleng rombeng. Biasanya, pengemis ini tidak hanya mengangsurkan kaleng itu kepada penumpang, namun selalu diiringi dengan suara yang memelas dan sanggup membuat iba. Semakin memelas, maka semakin ibalah yang menyaksikannya. Selain suara, terkadang cacat tubuh bisa menjadi senjata ampuh untuk meraup duit. Saya sering menyaksikan pengemis yang menyeret-nyeret kakinya yang penuh kudis dengan suara memelas (dalam satu tayangan TransTV, ternyata kudis itu bukan asli, tapi sengaja dibuat pengemis dengan teknik tertentu sebagai strategi mengemis). Menurutku, ini adalah sebuah strategi yang sangat hebat dan biasanya cukup efektif.

Kedua, pengemis yang berjalan sambil menyanyi dengan suara pas-pasan dan memakai baju lusuh. Mereka mencitrakan dirinya sebagai pengamen. Perbedaannya adalah pada kemampuan vokal. Seorang pengamen jarang menyanyi lagu hanya satu bait terus meminta uang. Mereka akan menuntaskan lagu dan diiringi dengan alat musik tertentu. Sementara pengemis, hanya menyanyi satu bait dan tidak diiringi alat musik. Ia hanya bertepuk tangan, atau memakai botol aqua kosong yang diisi beras dan menggoyangnya hingga berbunyi. Kadang-kadang, kaleng rombeng atau kantung lusuh untuk meminta uang dari penumpang kereta itu, dibawa anaknya yang masih kecil.

Pada bulan puasa ini, ada sesuatu yang berbeda jika dilihat dari penampilan mereka. Jika biasanya pengemis hanya mengenakan baju lusuh, kali ini situasinya agak berbeda. Mereka banyak yang mengenakan jilbab, sedangkan lelakinya mengenakan kopiah. Saat berjalan dengan anaknya, maka si anak didandani dengan jilbab. Tak hanya itu, di saat berjalan, mereka meminta uang dengan sesekali mengutip ayat Al Qur’an atau atau memelas dengan menyebut ini bulan Ramadhan. Saya termasuk orang yang cukup iba atas penampilan dan suaranya. Ketika saya memasukkan uang Rp 1.000 di kaleng rombeng itu, saya mendengarnya mengucapkan terima kasih dan mengucap “Alhamdulillah… Syukur ya Allah..” Ucapannya ini menjadi strategi yang langsung berbuah. Beberapa orang di sekitarku langsung memasukkan uang ke kantung lusuh itu. Dan si pengemis kembali mengucapkan, “Alhamdulillah ya Allah atas segala nikmat dan karunia-Mu ini…” Sementara pengemis yang modus operandinya seperti pengamen, lebih sering menyanyikan lagu Islam misalnya lagu Hadad Alwi atau Opick. Di saat menyanyi, ia akan menyapa dulu dengan salam dan meminta maaf karena penumpang terganggu atas kehadirannya. “Bukan maksud saya mengganggu bapak ibu di bulan puasa. Tapi saya sedang mencari makan dan berjuang untuk hidup…” Sebuah strategi yang cukup efektif untuk memikat orang yang mendengarnya.

Apa hikmah (leasson learned) yang bisa dipetik dari kisah ini? Manusia adalah mahluk yang selalu berstrategi. Manusia bukanlah agen yang pasif dan tunduk saja dalam satu sistem sosial, namun manusia adalah agen yang aktif dan menjalankan beragam strategi untuk bertahan dan tidak tergilas peradaban. Masyarakat pengemis adalah masyarakat yang berusaha untuk lepas dari jeratan kemiskinan yang membelit tubuhnya. Ketika pemerintah seakan membungkam kehadiran mereka dan hanya menyebutnya dengan angka statistik tingkat kemiskinan, para pengemis justru berupaya keras untuk bebas dari jerat kemiskinan. Pengemis bukanlah mereka yang diam, namun mereka yang selalu aktif dengan berbagai strategi. Saya sering kecewa ketika mendengar statistik yang disebut pemerintah dan mengatakan angka kemiskinan telah turun. Apakah turunnya angka kemiskinan adalah karena pemerintah ataukah karena pengemis yang berusaha lepas dari jerat kemiskinan? Saya sering menanyakan itu. Argumen pemerintah kita seolah-olah mereka yang membuat pengemis makin sejahtera. Mereka mengabaikan fakta bahwa pengemis juga berusaha dan berstrategi untuk survive.(*)

Jakarta, 9 Sept 2008


Batavia Tak Peduli Puasa

MASKAPAI Batavia Air adalah maskapai yang tidak peduli dengan puasa. Di saat banyak penumpangnya sedang puasa, mereka tetap saja membagikan makanan di pesawat, yang lebih banyak dibanding biasanya. Meskipun penumpang sudah menolaknya dengana alsan puasa, namun pramugarinya tetap ngotot memberikan makanan dan mengatakan “Ntar dibalikin aja kalo gak makan.” Masalahnya adalah apakah mereka tahu kalau yang mereka lakukan telah melanggar privasi orang yang sedang puasa?

Jakarta, 8 Sept 2008


Aku Ingin Melanglang Buana

AKU ingin lepas dari rasa lumpuh yang menjerat kedua tungkaiku. Aku ingin menerabas segala sekat yang membelenggu tubuhku. Sekat-sekat itu seakan menenggelamkanku pada pencarian yang tak pernah berujung, sebuah teka-teki yang tak kunjung terpecahkan. Aku ingin memburai kepompong yang menghalangi keinginanku untuk menatap horison realitas. Aku bosan hidup dalam sebuah tempurung kelapa sehingga hanya mengenali kenyataan yang lebarnya tak lebih dari jangkauan tanganku. Terlalu lama aku dibelit rasa mapan dan keangkuhan pengetahuan yang bersemayam di benakku. Aku ingin membalik tempurung itu, menghancurkannya kemudian menatap alam dengan tanpa rasa takut.

Aku ingin merentangkan tangan hingga ke ujung dunia dan menggapai seluruh jejak pencapaian manusia. Aku ingin merdeka dari segala batasan yang hanya meletakkan diriku sebagai titik kecil dari fenomen semesta, seolah-olah aku hanya sekerat materi yang berbatas. Aku ingin melanglang buana dan menembus segala batas yang sanggup dijelajahi sains serta pikiran kembaraku. Aku ingin lepas dan terbang tinggi dan menembus mega-mega, melihat bumi hingga titik terjauh, melihat langsung bagaimana bumi menyapa pagi, melepas senja, kemudian memeluk malam. Melihat langsung bagaimana bumi membasahi tubuhnya dengan sapuan aneka warna pelangi, sebuah mosaik lukisan semesta.

Aku ingin menjadi matahari yang sanggup menyinari bumi, tanpa sedikitpun mengenal lelah. Menghadirkan pagi serta cahaya dengan tak pernah meminta balas. Aku ingin menjelma menjadi cahaya kecil yang menyelusup pada setetes embun dan berkilau hingga memancarkan keindahan yang semerbak di seantero bumi. Setetes embun yang bening dengan cahaya pengetahuan yang menerangi jagad pengetahuan. Menjadi cahaya dan api pemyelamat bagi sekelilingku


Asyiknya Berinternet di Kampus Unhas

HARI ini saya berbuka puasa di kampus Unhas. Lama tak singgah ke warung Mace, hari ini saya singgah juga. Sambil menunggu waktu buka puasa, saya mengaktifkan internet dan asyik selancar di beberapa situs. Satu hal yang mengasyikkan di Unhas adalah adanya akses internet wireless 24 jam. Setiap orang yang datang dan membawa laptop, bisa langsung mengaksesnya secara gratis. Menurutku kebijakan itu sungguh mengasyikkan. Saya juga melihat kebijakan akses internet seperti ini di kampus Universitas Indonesia (UI). Sayangnya, kebijakan itu hanya diperuntukkan buat mahasiswa saja.

Semua mahasiswa yang punya laptop, diwajibkan membawa laptopnya ke UPT Komputer untuk diregistrasi dan menandatangani formulir bahwa itu adalah laptop kita sendiri. Mahasiswa harus melampirkan kartu mahasiswa dan kopian IRS dari program studi. Petugas UPT Komputer akan memasukkan kode tertentu sebagai tanda registrasi. Selanjutnya, kita memiliki akses internet yang berlaku hanya selama tiga bulan. Jika hendak memperpanjang, maka harus registrasi lagi.

Kembali ke asyiknya internet di Unhas. Kebijakan akses internet di semua fakultas itu, mnyebabkan adanya wabah laptop di Unhas. Kini, laptop bukan lagi benda yang mewah dan menunjukkan kelas sosial tertentu. Kini, laptop menjadi hal yang biasa dan menjadi perlengkapan keseharian bagi warga Unhas. Menjadi hal biasa ketika menyaksikan mahasiswa menenteng laptop atau mengakses internet di mana-mana.(*)


Pulau Buton, Pulau Sejarah yang Terabaikan

Buton adalah nama pulau yang di sebelah tenggara jazirah Pulau Sulawesi. Pulau ini diapit oleh lautan yaitu Laut Banda di sebelah utara dan timur, kemudian Laut Flores di sebelah selatannya, sedangkan di sebelah barat terdapat Selat Buton dan Teluk Bone. Di pulau ini, dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan atau kesultanan yang bernama Buton atau Wolio. Daerah kekuasaan Kesultanan Buton pernah meliputi, selain Pulau Buton, juga beberapa pulau di kawasan antara Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Pusat pemerintahannya terletak di pesisir barat bagian selatan Pulau Buton, sekitar Kota Bau-Bau, yang dikenal dengan nama Wolio atau Keraton Buton.

Selama ini, studi-studi tentang Buton banyak dilakukan berdasarkan catatan yang dilakukan orang Belanda, misalnya Ligvoet (1878), ke Van Den Berg (1937, 1939, 1940) sampai kepada Schoorl (1985, 1987). Mereka menelaah aspek antropologis baik mengenai ritual, konsepsi kesultanan serta masyarakatnya, hingga catatan tentang kejadian-kejadian penting yang ada di Buton. Ligtvoet dan Berg adalah perwakilan pemerintah Belanda yang ditugaskan di Buton dan bertugas untuk merekam kejadian-kejadian penting seperti pelantikan sultan serta situasi keamanan di wilayah itu. Mereka juga mencatat sejumlah catatan penjelajah sebelumnya yang pernah singgah ke Buton seperti Jan Pieterszoon Coen, Appolonius Scotte dll. Sebagai pegawai pemerintah kolonial, catatan Ligtvoet dan Berg penuh nuansa penaklukan yang dalam istilah Edward Said, penuh bias etnosentrik.

Bias ini mempengaruhi beberapa orang sarjana asing yang datang belakangan. Akibatnya, sering terjadi perbedaan konsepsi antara ilmuwan asing tersebut dengan warga lokal --yang sayangnya suara mereka harus menjadi suara yang lirih dan tidak senyaring para sarjana asing tersebut.

Dua contoh pandangan yang sangat etnosentrik yang bisa saya angkat di sini adalah pernyataan JP Coen yang sinis ketika melihat Buton. Ia mengatakan, “Di sini terdapat rakyat miskin, budak murah, dan orang tidak banyak dapat berdagang di sini. Di sini, penduduk makan ubi yang disebut calabi.“ Pernyataan ini khas para penjelajah yang melihat satu wilayah hanya dari sisi resource atau sumber daya yang harus dikuasai. Pernyataan lainnya yang juga menunjukkan bias etnosentrik adalah Schoorl (1985) –yang dipengaruhi catatan Ligtvoet-- yang melihat Buton dalam posisi tarik-menarik beragam kekuatan lainnya. Secara jelas, bisa dilihat:

......”Dalam persetujuannya yang pertama dengan Buton pada 1613, VOC membujuknya supaya jangan melakukan kegiatan bermusuhan dengan raja Buton atau terhadap warganya yang manapun (Corpus Diplomaticum 1907:105). Sejak saat itu hingga 1667, Kerajaan Buton serupa bola bulu tangkis (shuttle cock) dalam suatu pertandingan antara Makassar, Ternate, dan VOC....” (cetak tebal oleh penulis)

Kalimat ”serupa bola bulu tangkis” inilah yang kemudian banyak dijadikan asumsi dasar oleh sejarawan yang memandang Buton sebagai rebutan beragam kepentingan. Sejarawan Susanto Zuhdi (1999) juga memulai disertasinya dengan pernyataan ini, kemudian mencari sejumlah sumber dan fakta yang bisa mendukung pernyataan itu. Padahal, jika ditanyakan kepada warga Buton sendiri, mereka selalu menganggap Buton tidak pernah dijajah. Hubungan yang terjadi dengan sejumlah bangsa asing adalah hubungan perdagangan yang di dalamnya boleh jadi ada pasang surut. Artinya, analisis ”dari bawah” yang merupakan interpretasi orang Buton atas dunianya terkadang diabaikan karena para peneliti lebih fokus menggali data dan catatan masa silam.

Sumber pustaka yang kaya baik dari sarjana asing maupun lokal, hingga kini belum dimanfaatkan untuk menuliskan satu etnografi yang kaya dan sangat lengkap mengenai Buton. Padahal, saya berkeyakinan studi tentang Buton sangat penting dilakukan sebab bisa menjadi pintu gerbang untuk menjelaskan bagaimana situasi di Indonesia timur, yang dalam hal ini menjadi lokasi persebaran migran Buton sejak beberapa abad silam. Tiadanya etnografi yang lengkap ini menjadi catatan tersendiri bagi peneliti yang datang belakangan. Sayangnya, hingga kini belum ada satu upaya sistematis untuk menyusun etnografi tersebut. Akhirnya, Buton selalu dilihat dengan cara pikir kebudayaan dominan.

Catatan paling banyak tentang Buton justru dilahirkan para sejarawan. Padahal, catatan sejarawan selalu menempatkan Buton dalam posisi yang “kalah”. Zuhdi (1999) mengatakan: sejarah Buton adalah sejarah yang terkalahkan. Sebab selama ini, penafsiran sejarah Buton kerap dilihat hanya berdasarkan cara pandang pemilik sejarah dominan seperti Bugis, Makassar, maupun Ternate sehingga keberadaannya seakan diabaikan. Padahal Sahlins (1985) mengatakan, perbedaan waktu dan tempat akan merefleksikan perbedaan sejarah juga. Sahlins mengatakan, “The different cultural orders have their own modes of historical actions, conciousness, and determinations – their own historical practice. Other times, other customes, and according to otherness of the custom, the distinctive anthropology that is needed to understand any given human course.” Semua tempat memiliki sejarahnya masing-masing sebab sejarah tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan.(*)


Dapat Tiket Murah

Saya udah di Makassar. Hari Senin besok saya akan berangkat ke Jakarta. Kebetulan, tadi sudah beli tiket pesawat Batavia Air sebesar Rp 500.000. Biaya yang cukup murah untuk ukuran tiket pesawat yang sekarang ini udah mencapai Rp 1 juta ke atas. Thanks for my friend ILO yang udah bantu mengusahakan tiket. Jika tak ada Ilo, mungkin saya berangkat nanti hari Rabu dengan kapal KM Labobar. Saya udah cek tiket di Wartel Jayanti dan ternyata biayanya sampai Rp 500 ribu lebih. Padahal, biasanya untuk naik kapal laut, duit segitu cuma buat tiket. Tidak termasuk biaya keseharian di kapal, termasuk minum kopi, makan ayam di kantin, atau beli roti. Saya cukup beruntung karena dapat tiket murah.