Di Jakarta sendiri, menurut informasi Tempo (7/12), banyak remaja Jakarta yang protes, kenapa film itu tayang pada bulan Desember. Mereka ingin agar film itu tayang bersamaan dengan penayangan film ini di AS yaitu bulan November. Maklumlah, film ini diangkat berdasarkan sebuah novel yang sangat laris karangan Stephenie Meyer. Setelah era serial Harry Potter, barangkali novel Twilight inilah yang paling membius para remaja di seluruh dunia.
Saya sendiri tertarik menyaksikan film ini karena terprovokasi oleh resensi yang dibuat Leila S Chudori di
Tempo. Saya bukan tipe orang yang rajin mengikuti tayangan film terbaru. Namun saya hanya menonton film ketika ada yang merekomendasikannya. Membaca tulisan Chudori yang agak bombastis tentang kehebatan flm ini, tak urung membuat saya kian penasaran. Apalagi setelah membaca liputan media tentang betapa hebohnya pemutaran film ini di AS. Andai Chudori tidak merekomendasikannya, barangkali tidak akan saya tonton. Apalagi, disebutkan kalau film ini adalah percintaan seorang remaja manusia dengan vampir. Mendengar kata vampir saja saya sudah ngeri, apalagi jika harus menyaksikannya.
Hiiiiiii. Setelah menyaksikannya di Metropole XXI, saya harus mengubah banyak image yang selama ini bersarang di kepalaku. Bagiku, film ini sama mengejutkannya dengan Harry Potter. Menonton film ini laksana kita sedang memasukkan mercon yang kemudian meletus dalam kepala kita. Karakter Harry Potter ciptaan pengarang JK Rowling itu telah mengubah image tentang dunia sihir. Jika dulunya orang berpikir bahwa penyihir itu identik dengan nenek sihir, kekumuhan, iblis, setan, maka serial Harry Potter telah mengubahnya. Sihir adalah bagian dari sebuah keahlian yang bisa dipelajari layaknya sekolahan. Mereka yang disebut penyihir itu adalah bagian dari masyarakat umum, berinteraksi dengan orang banyak, dan boleh jadi hidupnya agak teraniaya dari dunia sosial.
Lantas, di mana letak kelebihan
Twilight? Kelebihannya adalah mengubah image yang selama ini melekat tentang vampir. Selama ini kita menganggap vampir sebagai sintesis manusia dan binatang buas yang haus darah dan selalu membunuh manusia lainnya. Dalam berbagai film Cina, vampir adalah sejenis mayat hidup yang juga mengisap darah. Seseorang yang diisap darahnya oleh vampir, akan kehilangan kesadaran dan menjadi bagian dari vampir itu. Namun di film
Twilight, kita sedang menyaksikan vampir yang hidup di era modern, mengalami pergulatan batin, serta berbaur dengan masyarakat umum. Mereka juga terdiri atas vampir yang jahat dan vampir yang idealis. Jika vampir jahat membunuh manusia, maka vampir idealis justru hanya meminum darah binatang
(mereka menyebutnya vegetarian). Vampir ini juga melindungi manusia, meskipun ada hasrat meminum darah yang berusaha dilawannya. Vampir ini sangatlah manusiawi.
Twilight mengisahkan seorang remaja perempuan bernama Isabella Swan
(diperankan si cantik Kirsten Steward) yang pindah ke York, negara bagian Washington, yang senantiasa diliputi mendung dan hujan. Dalam situasi hatinya yang remuk akibat keluarganya broken home, ia lalu mengasingkan diri ke daerah yang lebih banyak hujan itu. Di kota itu, ia bersekolah dan bersosialisasi dengan banyak remaja lainnya. Di sekolah barunya, ia lalu bertemu dengan seorang pemuda yang berwajah dingin dan pucat. Pemuda itu selalu menyendiri dengan saudara-saudaranya. Sebuah insiden ketika Isabella nyaris ditabrak mobil, si pemuda bernama Edward Cullen
(diperankan Robert Pattinson, pemeran Cedric Digory dalam Harry Potter IV) kemudian melesat dan menyelamatkannya. Secepat kilat, pemuda itu menyambar sang gadis lalu menahan mobil yang bergerak dengan kecepatan tinggi.
Gadis itu lalu penasaran dan kemudian menelusuri siapa pemuda pucat itu. Setelah mempelajari folklor dan dongeng Indian, ia semakin penasaran tentang sosok pemuda ini. Ternyata, pemuda itu adalah seorang vampir yang murung dengan dunianya. Ia tak mau menjadi monster sehingga bersama keluarganya hanya meminum darah binatang saja. Lewat serangkaian konfik, cinta pun bersemi tatkala sang pemuda menggendong sang gadis melesat di antara pohon-pohon cemara
(duh... saya suka sekali adegan ini). Mereka menerima perbedaan dan saling menjaga. Bagian
ending film sungguh mendebarkan ketika vampir jahat mengincar gadis itu sehingga si vampir tampan itu harus berjibaku menyelamatkan sang gadis.
Ada kesamaan dan perbedaan dengan Harry Potter. Saya sepakat dengan ulasan Leila S Chudori bahwa kelebihan Harry Potter karena dia menjelaskan kultur penyihir, lengkap dengan sejumlah istilah baru, binatang sihir, serta jenis-jenis mantra. Novel Harry Potter mengajak kita memasuki dunia baru yang sungguh berbeda. Kita seolah sedang menyaksikan suatu dunia lain yang sangat dekat dengan dunia kita, namun memiliki karakteristik serta kebudayaan berbeda.
Twilight tidak terlalu menawarkan kisah kehidupan vampir yang utuh, lengkap dengan kebudayaannya.
Twilight menggambarkan vampir seperti layaknya manusia biasa yang selalu dilematis dan hendak lepas dari dunianya. Manusia vampir adalah mereka yang boleh jadi ada di sekitar kita, tanpa perbedaan jelas.
Hanya saja, kelebihannya
–dan saya kira tak bisa dikalahkan Harry Potter—adalah romansa kisah cinta yang mengharu biru. Kisah cinta yang hadir bukanlah cinta yang material atau fisik semata. Kedua sosok di film ini bisa meleburkan segala batasan hingga akhirnya sang gadis bisa menyatu dengan sosok sang pemuda. Adegan yang menurutku paling menyentuh adalah ketika sang gadis mempersilahkan sang vampir tampan agar menggigit lehernya. “Izinkan saya menjadi bagian dari dirimu.“ Sang pemuda lalu menjawab,
“Tidak. Aku tak ingin kehadiranku menjauhkanmu dari segala peluang. Aku ingin kau tetap menjadi manusia. Aku ingin hidupmu berjalan sebagaimana seharusnya. Biar saya menyaksikanmu dari tepi batas twilight ini,“ katanya.
Duhhh..... sangat menyentuh. Pantas saja anak muda Jakarta pada
klepek-klepek menyaksikan adegan ini. Saya sih agak geli melihat mereka yang menangis di sekelilingku. Tapi, saya kemudian terkejut juga setelah menyeka mataku.
Kok tiba-tiba mataku basah?Depok, 6 Desember 2008
www.timurangin.blogspot.com